KASUS
Halaman I
Pada saat anda sedang bekerja di Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit,
datang seorang pasien bernama Tn. Kasno, laki-laki 27 tahun yang dibawa
keluarganya dengan keluhan demam tetapi kaki dan tangannya teraba dingin. Tiga
hari yang lalu Kasno panas tinggi mendadak terus menerus namun tidak disertai
menggigil. Kasno sudah minum obat penurun panas namun panasnya hanya turun
beberapa jam kemudian panasnya naik kembali. Selama demam pasien mengalami
mimisan, lemas, mual, nafsu makan menurun, nyeri otot, sendi yang tidak begitu
hebat dan nyeri kelopak mata serta sakit kepala. Keluhan tidak disertai batuk, pilek,
nyeri tenggorokan tetapi ada sesak napas.
Satu hari sebelumnya pasien sudah berobat ke klinik 24 jam dekat rumahnya,
oleh dokter dilakukan tes bendungan pada lengannya dan hasilnya timbul bintik-
bintik merah pada lengan yang dibendung dan pasien disarankan untuk periksa darah
namun pasien menolak dengan alas an biaya.
Terdapat perdarahan spontan dari gusi pada siang hari sebelum dibawa ke
UGD rumah sakit, BAB berdarah tidak ada, dan BAK jarang. Riwayat perdarahan
lama, mudah berdarah dan mudah memar tidak ada. Riwayat obat-obatan tertentu
dalam jangka waktu lama tidak ada. Riwayat penyakit serupa sebelumnya disangkal,
namun tetangganya da yang menderita penyakit serupa. Pasien belum menikah. Tidak
pernah minum alkohol. Riwayat penggunaan narkoba suntik disangkal. Merokok
disangkal.tidak ada riwayat banjir dilingkungan tempat tinggal.
Pertanyaan :
Pertanyaan :
1. Masalah apa saja yang anda dapat pada pemeriksaan fisik di atas?
2. Hipotesis apa yang dapat anda buat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
diatas?
3. Bagaimanakah menurut anda penanganan awal bagi pasien? Apakah
penangan pasien tersebut tergantung hasil pemeriksaan penunjang?
Jelaskan jawaban saudara!
4. Pemeriksaan tambahan apa yang dibutuhkan bagi pasien tersebut?
Halaman 3
- Hb : 15 gr% Ht : 50%
- Leukosit : 4800/mm3 Trombosit : 72.000/mm3
- Hitung jenis : -/1/2/51/44/2 CT dan BT : dbn
Tes fungsi hepar
- SGOT : 65 U/L - SGPT :34 U/L
Tes Widal
- Typhi titer O (-) titer H 1/80
- Paratyphi A titer AO (-) titer AH (-)
- Parathyphi B titer BO (-) titer BH (-)
Tes Urin :
- Warna : kuning - Reaksi : asam
- Kekeruhan : jernih - Bau : amoniak
- Albumin : (-) - Reduksi : (-)
- Urobilin : (+) - Bilirubin : (-)
- Sedimen : eritrosit (-), leukosit 0-1/LP, epitel banyak, silinder (-), kristal
amorf (+)
Tes feses :
- Warna : kuning - Bau : indo skatol
- Konsistensi: lembek, lender (-), darah (-), parasite (-), eritrosit (-), leukosit (-),
telur cacing (-)
Pemeriksaan serologi : NS1 anti dengue (+)
Pertanyaan :
1. Masalah apa saja yang anda dapat pada pemeriksaan penunjang di atas?
2. Diagnosis apa yang dapat anda buat dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan penunjang di atas?
3. Apa yang anda ketahui tentang pemeriksaan IgM dan IgG anti dengue?
Kapan diperlukannya pemeriksaan serologi tersebut?
4. Bagaimanakah menurut anda penatalksanaan yang tepat untuk pasien
tersebut?
5. Bagaimana system rujukan bagi pasien tersebut?
6. Tatalaksana pada anak
BAB II
OVERVIEW CASE
BAB III
PEMBAHASAN
3.2 Hemostasis
3.2.1 Mekanisme Hemostasis
Hemostasis berasal dari kata haima (darah) dan stasis (berhenti), merupakan
proses yang amat kompleks, berlangsung secara terus menerus dalam mencegah
kehilangan darah secara spontan, serta menghentikan perdarahan akibat kerusakan
sistem pembuluh darah. Ada beberapa komponen penting yang terlibat dalam
proses hemostasis yaitu endotel pembuluh darah, trombosit, kaskade faktor
koagulasi, inhibitor koagulasi dan fibrinolysis.
Proses hemostasis yang berlangsung untuk memperbaiki kerusakan pada
pembuluh darah dapat dibagi atas beberapa tahapan, yaitu hemostasis primer yang
dimulai dengan aktivasi trombosit hingga terbentuknya sumbat trombosit.
Hemostasis sekunder dimulai dengan aktivasi koagulasi hingga terbentuknya
bekuan fibrin yang mengantikan sumbat trombosit. Hemostasis tertier dimulai
dengan diaktifkannya sistem fibrinolisis hingga pembentukan kembali tempat yang
luka setelah perdarahan berhenti.
Pembuluh darah yang normal dilapisi oleh sel endotel. Sel endotel yang utuh
bersifat antikoagulan dengan menghasilkan inhibitor trombosit (nitrogen oksida,
prostasiklin, ADPase), inhibitor bekuan darah/lisis (trombomodulin, heparan, tissue
plasminogen activator, urokinase plasminogen aktivator, inhibitor jalur faktor
jaringan). Sel endotel ini dapat terkelupas oleh berbagai rangsangan seperti asidosis,
hipoksia, endotoksin, oksidan, sitokin dan shear stress. Endotel pembuluh darah
yang tidak utuh akan bersifat prokoagulan dengan menyebabkan vasokonstriksi
lokal, menghasilkan faktor koagulasi (tromboplastin, faktor von Willebrand,
aktivator dan inhibitor protein C, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1),
terbukanya jaringan ikat subendotel (serat kolagen, serat elastin dan membran
basalis) yang menyebabkan aktivasi dan adhesi trombosit serta mengaktifkan faktor
XI dan XII.
Trombosit dalam proses hemostasis berperan sebagai penutup kebocoran
dalam sistem sirkulasi dengan membentuk sumbat trombosit pada daerah yang
mengalami kerusakan. Agar dapat membentuk sumbat trombosit maka trombosit
harus mengalami beberapa tahap reaksi yaitu aktivasi trombosit, adhesi trombosit
pada daerah yang mengalami kerusakan, aggregasi trombosit dan reaksi
degranulasi. Trombosit akan teraktivasi jika terpapar dengan berbagai protein
prokoagulan yang dihasilkan oleh sel endotel yang rusak. Adhesi trombosit pada
jaringan ikat subendotel terjadi melalui interaksi antara reseptor glikoprotein
membran trombosit dengan protein subendotel terutama faktor von Willebrand
sedangkan aggregasi trombosit terjadi melalui interaksi antar reseptor trombosit
dengan fibrinogen sebagai mediator. Degranulasi trombosit akan melepaskan
berbagai senyawa yang terdapat dalam granul sitoplasma trombosit (serotonin,
katekolamin, histamin, ADP, ATP, siklik AMP, ion kalsium dan kalium, faktor
trombosit 3 dan 4, B-tromboglobulin, PDGF, plasminogen, fibrinogen, protein
plasma, tromboksan A2). Senyawa-senyawa ini akan menstimulasi aktivasi dan
aggregasi trombosit lebih lanjut hingga menghasilkan sumbat trombosit yang stabil,
mengaktifkan membran fosfolipid dan memfasilitasi pembentukan komplek protein
koagulasi yang terjadi secara berurutan.
Proses pembekuan darah terdiri dari serangkaian reaksi enzimatik yang melibatkan
protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid dan ion
kalsium. Faktor pembekuan beredar dalam darah sebagai prekursor yang akan
diubah menjadi enzim bila diaktifkan. Enzim ini akan mengubah prekursor
selanjutnya untuk menjadi enzim. Jadi mula-mula faktor pembekuan darah
bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai enzim. Proses pembekuan darah
dimulai melalui dua jalur yaitu jalur intrinsik yang dicetuskan oleh adanya kontak
faktor pembekuan dengan permukaan asing yang bermuatan negatif dan melibatkan
F.XII, F.XI, F.IX, F.VIII, HMKW, PK, PF.3 dan ion kalsium, serta jalur ekstrinsik
yang dicetuskan oleh tromboplastin jaringan dan melibatkan F.VII, ion kalsium.
Kedua jalur ini kemudian akan bergabung menjadi jalur bersama yang melibatkan
F.X, F.V, PF-3, protrombin dan fibrinogen. Rangkaian reaksi koagulasi ini akan
membentuk trombin dan mengubah fibrinogen menjadi benang-benang fibrin yang
tidak larut. Fibrin sebagai hasil akhir dari proses pembekuan darah akan
menstabilkan sumbatan trombosit.
Pembekuan darah merupakan proses autokatalitik dimana sejumlah kecil
enzim yang terbentuk pada tiap reaksi akan menimbulkan enzim dalam jumlah
besar pada reaksi selanjutnya. Ada mekanisme kontrol untuk mencegah aktivasi dan
pemakaian faktor pembekuan darah secara berlebihan yaitu melalui aliran darah,
mekanisme pembersihan seluler dan inhibitor alamiah. Aliran darah akan
menghilangkan dan mengencerkan faktor pembekuan darah yang aktif dari tempat
luka yang selanjutnya faktor pembekuan darah yang aktif ini akan dibersihkan dari
sirkulasi darah oleh hati. Dalam keadaan normal plasma darah mengandung
sejumlah protein yang dapat menghambat enzim proteolitik yang disebut sebagai
inhibitor seperti antitrombin, alfa 2 makroglobulin, alfa 1 antitripsin, C1 esterase
inhibitor, protein C, protein S. Inhibitor ini berfungsi untuk membatasi reaksi
koagulasi agar tidak berlangsung secara berlebihan sehingga pembentukan fibrin
hanya terbatas disekitar daerah yang mengalami cedera. Antitrombin akan
menghambat aktivitas trombin, F.XIIa, F.XIa, F.Xa, F.IXa, F.VIIa, plasmin dan
kalikrein. Protein C yang diaktifkan oleh trombin dengan kofaktor trombomodulin
akan memecah F.Va dan F.VIIIa menjadi bentuk yang tidak aktif dengan adanya
kofaktor protein S. Alfa 1 antitripsin akan berperan dalam menginaktifkan trombin,
F.XIa, kalikrein dan HMWK. C1 inhibitor akan menghambat komponen pertama
dari sistem komplemen, F.XIIa, F.XIa dan kalikrein.
Untuk membatasi dan selanjutnya mengeliminasi bekuan darah maka sistem
fibrinolisis mulai bekerja sesaat setelah terbentuknya bekuan fibrin. Deposisi fibrin
akan merangsang aktivasi plasminogen menjadi plasmin oleh aktivator plasminogen
seperti tissue plasminogen aktivator (t-PA), urokinase plasminogen aktivator (u-
PA), F.XIIa dan kallikrein. Plasmin yang terbentuk akan memecah fibrinogen dan
fibrin menjadi fibrinogen degradation product (FDP). Dengan proses ini fibrin yang
tidak diperlukan dilarutkan sehingga hambatan terhadap aliran darah dapat dicegah.
Untuk menghindari terjadinya aktivitas fibrinolisis yang berlebihan, tubuh
mempunyai mekanisme kontrol berupa inhibitor aktivator plasminogen (PAI-1)
yang akan menginaktivasi t-PA maupun u-PA, dan alfa 2 antiplasmin yang akan
menetralkan aktivitas plasmin yang masuk ke sirkulasi.
Ae. aegypti tersebar luas di daerah tropis dan subtropis di Asia Tenggara dengan
penyebaran paling umum adalah di daerah perkotaan. Urbanisasi cenderung
menyediakan habitat yang cocok untuk Ae. aegypti. Lingkungan hidup yang baik
untuk Ae. aegypti adalah rumah kumuh, rumah toko dan flat bertingkat. Di negara-
negara Asia Tenggara, ketinggian 1000 hingga 1500 meter di atas permukaan laut
tampaknya menjadi batas untuk distribusi Ae. aegypti. Pada daerah dengan
ketinggian yang lebih rendah (<500 meter) populasi nyamuk Ae. aegypti biasanya
sedang hingga berat sementara daerah pegunungan (>500 meter) memiliki populasi
rendah. Ae. aegypti merupakan spesies diurnal, spesies betina memiliki dua periode
aktivitas menggigit yaitu di pagi hari selama beberapa jam setelah fajar dan di sore
hari selama beberapa jam sebelum gelap. Puncak dari aktivitas Ae. aegypti
sebenarnya dapat bervariasi sesuai dengan lokasi dan musim. Ae. aegypti umumnya
tidak menggigit di malam hari, tetapi nyamuk ini tetap akan beraktivitas di malam
hari pada ruangan yang terang. Ae. aegypti dewasa memiliki umur sekitar 3-4
minggu, tetapi memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih lama selama musim
hujan [CITATION WHO111 \l 1057 ].
Ae. albopictus tersebar luas di Asia baik di negara tropis maupun di iklim
sedang dan juga tersebar luas di semua negara di Asia Tenggara. Ae. albopictus
adalah spesies yang lingkungan hidupnya di hutan, namun telah beradaptasi dengan
lingkungan pedesaan, pinggiran kota dan perkotaan. Nyamuk ini tumbuh dan
berkembang di lubang pohon, tunggul bambu dan sudut antara cabang batang atau
daun di habitat hutan dan dalam wadah buatan di perkotaan. Tidak seperti Ae.
aegypti, lingkungan hidupnya tidak berhubungan dengan tipe perumahan tetapi
cenderung di daerah dengan ruangan terbuka dan vegetasi. Nyamuk ini menggigit
pada waktu senja dan fajar serta siang hari. Hasil penelitian laboratorium mengenai
Ae. albopictus menyatakan bahwa: i) betina hidup lebih lama daripada jantan; dan ii)
perempuan biasanya hidup empat hingga delapan minggu di laboratorium tetapi dapat
bertahan hidup hingga tiga hingga enam bulan [CITATION WHO111 \l 1057 ].
3.3.5 Patofisiologi
Faktor prediposisi
Lingkungan Host
Agent
Tetangga mempunyai Nyamuk (aedes
DEN V I-IV
keluhan serupa aegepty)
Antibody non-neutralizing
Gigit dan (2ndmanusia
menghisap darah infection)
Makrofag
Infeksisebagai
sel dendritic / makrofag / histiosit/ sel hepar Viremia
APC
Aktivasi T helper
CD8+ CD4+
Membunuh TH1
makrofag yang
terinfeksi Sel B
Aktivasi monosit
Mialgia Menghasilkan
Peningkatan set point anafilatoksin
Atralgia
DEMAM (C3a, C5a)
HT↑↑ Dimusnahkan
Cairan dalam
RES
rongga
Pendarahan
PAN Orbital
Petekie
Epitaksis
Efusi pleura Nyeri
Orbital
Sesak nafas
Masa inkubasi DBD terjadi 4 sampai 7 hari, kemudian diikuti demam serta
sakit kepala bagian depan yang parah, menggigil, dan nyeri retroorbital yang
berkembang secara tiba-tiba, nyeri otot dan punggung bawah, dan nyeri perut
[ CITATION Ban16 \l 1057 ]. Demam berdarah dengue itu sendiri dibagi menjadi
tiga fase, yaitu fase demam, fase kritis, dan fase pemulihan. Fase demam berlangsung
selama 5 sampai 7 hari ditandai dengan demam tinggi, sakit kepala dan retro-orbital,
arthralgia, mialgia, malaise, mual, dan muntah. Temperatur inisial demam dapat
mencapai 102–105°F (38.9–40.6°C) dan biasanya bertahan 2–7 hari. Demam turun
sampai 37°C setelah beberapa hari, namun kembali meningkat 12-24 jam kemudian
(pola “pelana kuda”) [ CITATION Ooi11 \l 1057 ]. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan adanya radang pada tenggorokan, limfadenopati, dan hepatomegali yang
biasanya terjadi pada akhir fase demam. Pada sebagian besar pasien, fase demam ini
diikuti oleh fase pemulihan sehingga dapat dianggap sebagai episode demam
sederhana. Fase kedua atau fase kritis dimulai 3 sampai 7 hari sejak timbulnya
demam dan berlangsung selama 24-48 jam. Demam yang menurun adalah gejala khas
pada awal fase kritis [ CITATION Ban16 \l 1057 ]. Fase ini juga ditandai dengan
leukopenia <5000 sel/mm3 dan limfositosis yang disertai peningkatan limfosit
atipikal, peningkatan nilai hematokrit 10-20% serta terjadinya perbesaran dan
perlunakan hati [ CITATION Dep12 \l 1057 ]. Syok dapat terjadi selama fase ini
karena dua alasan, yaitu kehilangan cairan yang berlebihan tanpa asupan cairan
memadai dan perdarahan internal yang banyak terjadi pada saluran cerna. Setelah
melewati fase kritis, fase selanjutnya adalah fase pemulihan. Fase ini terjadi 48-72
jam setelah fase kritis ditandai dengan keadaan umum yang membaik, tanda vital
stabil, nafsu makan meningkat, hematokrit stabil atau menurun sampai 35-40%, serta
diuresis telah kembali normal [ CITATION Dep12 \l 1057 ]. Cairan yang
sebelumnya mengalami ekstravasasi akan masuk kembali ke dalam kompartemen
intravaskular. Gagal jantung atau edema pleura dapat terjadi apabila pemberian cairan
dilakukan secara berlebihan [ CITATION Raj12 \l 1057 ]. Pemulihan dapat
diikuti oleh periode panjang dari kegelisahan, mudah lelah, dan bahkan depresi
[ CITATION Ban16 \l 1057 ].
3.3.9 Tatalaksana
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk infeksi dengue, prinsip
utama terapi adalah terapi suportif dengan pemeliharaan volume cairan
sirkulasi sebagai tindakan terpenting dalam penatalaksanaan kasus DBD.
Terdapat 5 protokol penatalaksanaan kasus DBD berdasarkan Perhimpunan
Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi
Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, antara lain:[ CITATION Suh14 \l
1057 ]
a. Protokol 1
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama
pada pasien yang diduga mengalami DBD atau pasien DBD serta digunakan sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat inap.
Hb, Ht, trombosit normal atau 100.000 – 150.000sel/mm³, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya, atau bila keadaan memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
Hb, Ht normal dengan trombosit <100.000 sel/mm³ dianjurkan untuk dirawat.
Hb, Ht meningkat dengan trombosit normal atau turun dianjurkan untuk dira
Keluhan DBD
Observasi Observasi
Rawat jalan Rawat jalan Rawat Rawat
Periksa Hb, Ht Periksa Hb, Ht
Leukosit, Leukosit,
Trombosit/ 24 Trombosit/ 24 jam
jam
B
agan 1 Protokol 1 Penatalaksanaan DBD
Pada pasien DBD juga terdapat warning sign yang digunakan oleh tenaga kesehatan
untuk melakukan observasi dan penatalaksanaan segera serta menjadi salah satu
kriteria rawat inap pasien, antara lain: [ CITATION WHO111 \l 1057 ]
6. Pusing
b. Protokol 2
Protokol penatalaksaan digunakan sebagai petunjuk dalam pemberian cairan
pada tersangka DBD di ruang rawat inap. Volume cairan kristaloid per hari yang
diperlukan dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Suspek DBD
Perdarahan spontan dan masif (-)
Syok (-)
c. Protokol 3
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk penatalaksanaan pasien DBD yang
mengalami peningkatan hematokrit ≥20%. Evaluasi dilakukan secara berkala,
yaitu 3-4 jam pertama setelah pemberian cairan intravena kristaloid 6-7
ml/kg/jam, dan evaluasi 2 jam setelahnya. Apabila terdapat tanda-tanda syok
maka tatalaksana yang diberikan sesuai protokol tatalaksana sindrom syok
dengue. Jika syok telah teratasi maka tatalaksana pemberian cairan dapat
dimulai kembali sesuai dengan terapi pemberian cairan awal.
Sumber: Suhendro, et al., 2014
d. Protokol 4
Protokol ini mencakup penatalaksanaan perdarahan spontan pada pasien
DBD, dengan gejala dan tanda seperti perdarahan hidung atau epistaksis yang
tidak terkendali setelah pemberian tampon hidung, hematemesis, melena dan
hematuria, serta perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi sebanyak 4-5
ml/KgBB/jam. Pemberian heparin dilakukan apabila terdapat tanda-tanda
koagulasi intravaskular diseminata (KID).
Sumber: Suhendro, et al., 2014
e. Protokol 5
Protokol ini merupakan protokol penatalaksanaan sindrom syok dengue. Hal
yang harus diperhatikan adalah mengatasi rejatan sesegera mungkin dengan
penggantian cairan intravaskular yang hilang. Cairan kristaloid adalah pilihan
utama dalam melakukan penatalaksanaan. Selain cairan kristaloid, pasien juga
diberikan oksigen 2-4 liter/menit dan pemeriksaan penunjang lain harus
dilakukan seperti pemeriksaan darah lengkap, hemostasis, analisis gas darah,
kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin. Pengawasan
rejatan harus dilakukan terutama 48 jam pertama sejak terjadi rejatan. Hal lain
yang perlu diperhatikan adalah hematokrit, apabila terjadi peningkatan
hematokrit setelah pemberian cairan kristaloid 20-30 ml/KgBB/jam selama
20-30 menit maka cairan koloid merupakan pilihan terapi, namun apabila
terjadi penurunan hematokrit, terapi yang diberikan adalah transfusi darah
segar 10ml/KgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sumber: Suhendro, et al., 2014
Berikan cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB atau tetesan lepas selama 10-15
menit sampai tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian turunkan sampai
10 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam
sesuai kondisi klinis dan laboratorium pasien.
Jika tidak terdapat perbaikan klinis, ulangi pemberian cairan kristaloid 20
ml/kgBB secepat-cepatnya, maksimal 30 menit atau pertimbangkan
pemberian koloid 10-20ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
Jika tidak terdapat perbaikan klinis dan nilai hematokrit dan hemoglobin
menurun, maka dapat dipertimbangkan adanya perdarahan tersembunyi.
Tatalaksana yang harus diberikan pada kondisi tersebut adalah
o Melakukan tindakan yang tepat untuk menghentikan perdarahan.
o Berikan transfusi darah sesuai kebutuhan, dengan indikasi apabila
terdapat kehilangan darah bermakna atau >10% volume darah total.
o Transfusi darah yang diberikan berupa packed red cell (PRC) 5
ml/kgBB/kali atau sediaan darah segar 10 ml/kgBB/kali apabila PRC
tidak tersedia
o Transfusi trombosit hanya diberikan pada kondisi tertentu dengan
ketentuan 0,2U/kgBB/dosis. Tranfusi sediaan ini bertujuan untuk
menghentikan perdarahan masif yang terjadi.
3.3.11 Prognosis
Prognosis penyakit DBD ditentukan oleh pemahaman penyakit dan
bagaimana perjalanan klinis infeksi virus, imunologis, dan faktor host. Pada DBD,
gejala timbul secara mendadak dan tidak ada tanda-tanda awal yang memungkinkan
untuk memprediksi hasil yang parah. Fasilitas pelayanan dan perawatan pasien rawat
inap dan rawat jalan yang baik, manajemen penatalaksanaan yang optimal, dan
strategi penatalaksanaan yang digunakan untuk mempersingkat durasi fase kritis
menjadi faktor penting yang dapat meningkatkan atau memberikan prognosis terbaik
bagi pasien demam berdarah dengue [CITATION Lum09 \l 1057 ].