Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH CASE 2

DEMAM BERDARAH DENGUE

Kelompok Tutorial B-2

M. Ariq Fiqih 1610211080


Denina Kusumaningayu P 1610211002
Nahdah Aidah 1610211110
Adhila Khairinnisa 1610211101
Mei Putra Daya 1610211060
Iqlima Luthfiya 1610211114
I Gusti Ayu Putu Kendran 1610211112
Hafshah 1610211062
Yoga Sugema 1610211038

Tutor : dr. Sri Wahyuningsih, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA


Jalan RS. Fatmawati, Pondok Labu, Jakarta Selatan 12450
BAB I

KASUS

Halaman I

Pada saat anda sedang bekerja di Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit,
datang seorang pasien bernama Tn. Kasno, laki-laki 27 tahun yang dibawa
keluarganya dengan keluhan demam tetapi kaki dan tangannya teraba dingin. Tiga
hari yang lalu Kasno panas tinggi mendadak terus menerus namun tidak disertai
menggigil. Kasno sudah minum obat penurun panas namun panasnya hanya turun
beberapa jam kemudian panasnya naik kembali. Selama demam pasien mengalami
mimisan, lemas, mual, nafsu makan menurun, nyeri otot, sendi yang tidak begitu
hebat dan nyeri kelopak mata serta sakit kepala. Keluhan tidak disertai batuk, pilek,
nyeri tenggorokan tetapi ada sesak napas.

Satu hari sebelumnya pasien sudah berobat ke klinik 24 jam dekat rumahnya,
oleh dokter dilakukan tes bendungan pada lengannya dan hasilnya timbul bintik-
bintik merah pada lengan yang dibendung dan pasien disarankan untuk periksa darah
namun pasien menolak dengan alas an biaya.

Terdapat perdarahan spontan dari gusi pada siang hari sebelum dibawa ke
UGD rumah sakit, BAB berdarah tidak ada, dan BAK jarang. Riwayat perdarahan
lama, mudah berdarah dan mudah memar tidak ada. Riwayat obat-obatan tertentu
dalam jangka waktu lama tidak ada. Riwayat penyakit serupa sebelumnya disangkal,
namun tetangganya da yang menderita penyakit serupa. Pasien belum menikah. Tidak
pernah minum alkohol. Riwayat penggunaan narkoba suntik disangkal. Merokok
disangkal.tidak ada riwayat banjir dilingkungan tempat tinggal.

Pertanyaan :

1. Identifikasi masalah pasien


2. Hipotesis apa yang dapat anda buat dari masalah pasien tersebut?
3. Informasi apa lagi yang anda butuhkan untuk menangani pasien ini?
Halaman 2

Pemeriksaan fisik Tn. Kasno


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : gelisah / delirium
BB/TB : 50kg/160cm
Tanda Vital : TD : 90/60 Nadi : 110x/menit regular
RR : 26x/menit T : 36,8°C
Kepala : Konjungtiva anemia (-), ikterik (-), perdarahan gusi (+),
pembesaran KGB (-)
THT : Nafas cuping hidung (-), faring tidak hiperemis, tonsil T2-T2
tenang
Thoraks :
Cor : Batas kanan : linea sternalis dekstra
Batas kiri : linea midklavikularis sinistra
Batas atas : intercostal space III kiri
Bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-), S3 gallop (-),
takikardia
Pulmo : Vokal fremitus normal kiri = kanan, vesicular breathing sound kiri
= kanan, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, lemas, NT epigastrium (+), bising usus (+) normal, hepar
dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Petechie (+) pada lengan dan kaki, edema (-)/(-), akral dingin
(+/+) dan lembab, sianosis pada ujung kaki (+)/(+)

Pertanyaan :
1. Masalah apa saja yang anda dapat pada pemeriksaan fisik di atas?
2. Hipotesis apa yang dapat anda buat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
diatas?
3. Bagaimanakah menurut anda penanganan awal bagi pasien? Apakah
penangan pasien tersebut tergantung hasil pemeriksaan penunjang?
Jelaskan jawaban saudara!
4. Pemeriksaan tambahan apa yang dibutuhkan bagi pasien tersebut?
Halaman 3

Pemeriksaan Laboratorium : Pasien Tn. Kasno


Darah

- Hb : 15 gr% Ht : 50%
- Leukosit : 4800/mm3 Trombosit : 72.000/mm3
- Hitung jenis : -/1/2/51/44/2 CT dan BT : dbn
Tes fungsi hepar
- SGOT : 65 U/L - SGPT :34 U/L
Tes Widal
- Typhi titer O (-) titer H 1/80
- Paratyphi A titer AO (-) titer AH (-)
- Parathyphi B titer BO (-) titer BH (-)
Tes Urin :
- Warna : kuning - Reaksi : asam
- Kekeruhan : jernih - Bau : amoniak
- Albumin : (-) - Reduksi : (-)
- Urobilin : (+) - Bilirubin : (-)
- Sedimen : eritrosit (-), leukosit 0-1/LP, epitel banyak, silinder (-), kristal
amorf (+)
Tes feses :
- Warna : kuning - Bau : indo skatol
- Konsistensi: lembek, lender (-), darah (-), parasite (-), eritrosit (-), leukosit (-),
telur cacing (-)
Pemeriksaan serologi : NS1 anti dengue (+)

Pertanyaan :
1. Masalah apa saja yang anda dapat pada pemeriksaan penunjang di atas?
2. Diagnosis apa yang dapat anda buat dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan penunjang di atas?
3. Apa yang anda ketahui tentang pemeriksaan IgM dan IgG anti dengue?
Kapan diperlukannya pemeriksaan serologi tersebut?
4. Bagaimanakah menurut anda penatalksanaan yang tepat untuk pasien
tersebut?
5. Bagaimana system rujukan bagi pasien tersebut?
6. Tatalaksana pada anak
BAB II
OVERVIEW CASE
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Basic science


3.1.1 Demam
Demam adalah keadaan dimana temperatur rektal >38 0C. Menurut American
Academy of Pediatrics (AAP) suhu normal rektal pada anak berumur kurang dari 3
tahun sampai 38 0C, suhu normal oral sampai 37,5 0C. Pada anak berumur lebih dari 3
tahun suhu oral normal sampai 37,2 ˚C , suhu rektal normal sampai 37,8 0C.
Sedangkan menurut NAPN (National Association of Pediatric Nurse) disebut demam
bila bayi berumur kurang dari 3 bulan suhu rektal melebihi 38 0C. Pada anak umur
lebih dari 3 bulan, suhu aksila dan oral lebih dari 38,3 0C.
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung
dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang,
misalnya terhadap toksin bakteri, peradangan, dan rangsang pirogenik lain. Bila
produksi sitokin pirogen secara sistemik masih dalam batas yang dapat ditoleransi
maka efeknya akan menguntungkan tubuh secara keseluruhan; tetapi bila telah
melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh. Batas kritis
sitokin pirogen sistemik tersebut sejauh ini belum diketahui.
3.1.2 Mekanisme Demam
Sebagai respons terhadap rangsangan pirogenik,maka monosit, makrofag, dan
sel-sel Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen
(IL-1, TNFα, IL-6 dan interferon) yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus
untuk meningkatkan patokan termostat. Hipotalamus mempertahankan suhu di titik
patokan yang baru dan bukan di suhu tubuh normal. Sebagai contoh, pirogen endogen
meningkatkan titik patokan menjadi 38,9 0C, hipotalamus merasa bahwa suhu normal
0
prademam sebesar 37 C terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme-
mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu tubuh.
Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan suhu tubuh
berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk
mengatasi berbagai rangsang. Rangsangan eksogen seperti eksotoksin dan endotoksin
menginduksi leukosit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan yang poten
diantaranya adalah IL-1 dan TNFα, selain IL-6 dan interferon (IFN). Pirogen endogen
ini akan bekerja pada sistem syaraf pusat pada tingkat Organum Vasculosum
Laminae Terminalis (OVLT) yang dikelilingi oleh bagian medial dan lateral nucleus
preoptik, hipotalamus anterior, dan septum palusolum. Sebagai respons terhadap
sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi sintesis prostaglandin, terutama
prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur siklooksigenase 2
(COX-2), dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh terutama demam.
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui
sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal macrophage
inflammatory protein-1 (MIP-1), suatu kemokin yang bekerja secara langsung
terhadap hipotalamus anterior. Berbeda dengan demam dari jalur prostaglandin,
demam melalui aktivitas MIP-1 ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik.
Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas,
sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi
pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan
demikian, pembentukan demam sebagai respons terhadap rangsangan pirogenik
adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme
termoregulasi.
3.1.3 Penerapan klinis
Demam pada anak dapat diukur dengan menempatkan termometer ke dalam
anus, mulut, telinga, serta dapat juga di ketiak segera setelah air raksa diturunkan,
selama satu menit dan dikeluarkan untuk segera dibaca.
Pengukuran suhu mulut aman dan dapat dilakukan pada anak usia di atas 5
tahun. Pengukuran ini juga lebih akurat dibandingkan dengan suhu ketiak.
Pengukuran suhu ketiak (aksila) mudah dilakukan, namun hanya menggambarkan
suhu perifer tubuh yang sangat dipengaruhi oleh vasokonstriksi pembuluh darah dan
keringat sehingga kurang akurat. Pengukuran suhu melalui anus atau rektal cukup
akurat karena lebih mendekati suhu tubuh yang sebenarnya dan paling sedikit
terpengaruh suhu lingkungan, namun pemeriksaannya tidak nyaman bagi anak.
Pengukuran suhu melalui telinga (infrared tympanic) keakuratannya masih
diperdebatkan oleh para ahli.
Pemeriksaan suhu tubuh dengan perabaan tangan tidak dianjurkan karena
tidak akurat sehingga tidak dapat mengetahui dengan cepat jika suhu mencapai
tingkat yang membahayakan. Pengukuran suhu inti tubuh yang merupakan suhu
tubuh yang sebenarnya dapat dilakukan dengan mengukur suhu dalam tenggorokan
atau pembuluh arteri paru. Namun ini sangat jarang dilakukan karena terlalu invasif.
Adapun kisaran nilai normal suhu tubuh adalah :
 Suhu oral, antara 35,5° – 37,5° C
 Suhu aksila, antara 34,7° – 37,3° C
 Suhu rektal, antara 36,6° – 37,9° C
 Suhu infrared tympanic, antara 35,7° – 37,5° C
Suhu tubuh yang diukur di mulut akan lebih rendah 0.5-0.6°C (1°F) dari suhu
rektal. Suhu tubuh yang diukur di ketiak akan lebih rendah 0.8-1.0°C (1.5-2.0°F)
dari suhu oral. Suhu tubuh yang diukur di timpani akan 0.5-0.6°C (1°F) lebih rendah
dari suhu ketiak.
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, demam mempunyai manfaat
melawan infeksi. Namun demam juga memberikan dampak negatif diantaranya
terjadi peningkatan metabolisme tubuh, dehidrasi ringan, dan dapat membuat anak
sangat tidak nyaman. Penanganan demam sebaiknya tidak hanya berpatokan pada
tingginya suhu, tetapi apabila anak tidak nyaman atau gelisah sehingga dapat
mengganggu penilaian, demam perlu diobati.

3.2 Hemostasis
3.2.1 Mekanisme Hemostasis
Hemostasis berasal dari kata haima (darah) dan stasis (berhenti), merupakan
proses yang amat kompleks, berlangsung secara terus menerus dalam mencegah
kehilangan darah secara spontan, serta menghentikan perdarahan akibat kerusakan
sistem pembuluh darah. Ada beberapa komponen penting yang terlibat dalam
proses hemostasis yaitu endotel pembuluh darah, trombosit, kaskade faktor
koagulasi, inhibitor koagulasi dan fibrinolysis.
Proses hemostasis yang berlangsung untuk memperbaiki kerusakan pada
pembuluh darah dapat dibagi atas beberapa tahapan, yaitu hemostasis primer yang
dimulai dengan aktivasi trombosit hingga terbentuknya sumbat trombosit.
Hemostasis sekunder dimulai dengan aktivasi koagulasi hingga terbentuknya
bekuan fibrin yang mengantikan sumbat trombosit. Hemostasis tertier dimulai
dengan diaktifkannya sistem fibrinolisis hingga pembentukan kembali tempat yang
luka setelah perdarahan berhenti.
Pembuluh darah yang normal dilapisi oleh sel endotel. Sel endotel yang utuh
bersifat antikoagulan dengan menghasilkan inhibitor trombosit (nitrogen oksida,
prostasiklin, ADPase), inhibitor bekuan darah/lisis (trombomodulin, heparan, tissue
plasminogen activator, urokinase plasminogen aktivator, inhibitor jalur faktor
jaringan). Sel endotel ini dapat terkelupas oleh berbagai rangsangan seperti asidosis,
hipoksia, endotoksin, oksidan, sitokin dan shear stress. Endotel pembuluh darah
yang tidak utuh akan bersifat prokoagulan dengan menyebabkan vasokonstriksi
lokal, menghasilkan faktor koagulasi (tromboplastin, faktor von Willebrand,
aktivator dan inhibitor protein C, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1),
terbukanya jaringan ikat subendotel (serat kolagen, serat elastin dan membran
basalis) yang menyebabkan aktivasi dan adhesi trombosit serta mengaktifkan faktor
XI dan XII.
Trombosit dalam proses hemostasis berperan sebagai penutup kebocoran
dalam sistem sirkulasi dengan membentuk sumbat trombosit pada daerah yang
mengalami kerusakan. Agar dapat membentuk sumbat trombosit maka trombosit
harus mengalami beberapa tahap reaksi yaitu aktivasi trombosit, adhesi trombosit
pada daerah yang mengalami kerusakan, aggregasi trombosit dan reaksi
degranulasi. Trombosit akan teraktivasi jika terpapar dengan berbagai protein
prokoagulan yang dihasilkan oleh sel endotel yang rusak. Adhesi trombosit pada
jaringan ikat subendotel terjadi melalui interaksi antara reseptor glikoprotein
membran trombosit dengan protein subendotel terutama faktor von Willebrand
sedangkan aggregasi trombosit terjadi melalui interaksi antar reseptor trombosit
dengan fibrinogen sebagai mediator. Degranulasi trombosit akan melepaskan
berbagai senyawa yang terdapat dalam granul sitoplasma trombosit (serotonin,
katekolamin, histamin, ADP, ATP, siklik AMP, ion kalsium dan kalium, faktor
trombosit 3 dan 4, B-tromboglobulin, PDGF, plasminogen, fibrinogen, protein
plasma, tromboksan A2). Senyawa-senyawa ini akan menstimulasi aktivasi dan
aggregasi trombosit lebih lanjut hingga menghasilkan sumbat trombosit yang stabil,
mengaktifkan membran fosfolipid dan memfasilitasi pembentukan komplek protein
koagulasi yang terjadi secara berurutan.
Proses pembekuan darah terdiri dari serangkaian reaksi enzimatik yang melibatkan
protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid dan ion
kalsium. Faktor pembekuan beredar dalam darah sebagai prekursor yang akan
diubah menjadi enzim bila diaktifkan. Enzim ini akan mengubah prekursor
selanjutnya untuk menjadi enzim. Jadi mula-mula faktor pembekuan darah
bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai enzim. Proses pembekuan darah
dimulai melalui dua jalur yaitu jalur intrinsik yang dicetuskan oleh adanya kontak
faktor pembekuan dengan permukaan asing yang bermuatan negatif dan melibatkan
F.XII, F.XI, F.IX, F.VIII, HMKW, PK, PF.3 dan ion kalsium, serta jalur ekstrinsik
yang dicetuskan oleh tromboplastin jaringan dan melibatkan F.VII, ion kalsium.
Kedua jalur ini kemudian akan bergabung menjadi jalur bersama yang melibatkan
F.X, F.V, PF-3, protrombin dan fibrinogen. Rangkaian reaksi koagulasi ini akan
membentuk trombin dan mengubah fibrinogen menjadi benang-benang fibrin yang
tidak larut. Fibrin sebagai hasil akhir dari proses pembekuan darah akan
menstabilkan sumbatan trombosit.
Pembekuan darah merupakan proses autokatalitik dimana sejumlah kecil
enzim yang terbentuk pada tiap reaksi akan menimbulkan enzim dalam jumlah
besar pada reaksi selanjutnya. Ada mekanisme kontrol untuk mencegah aktivasi dan
pemakaian faktor pembekuan darah secara berlebihan yaitu melalui aliran darah,
mekanisme pembersihan seluler dan inhibitor alamiah. Aliran darah akan
menghilangkan dan mengencerkan faktor pembekuan darah yang aktif dari tempat
luka yang selanjutnya faktor pembekuan darah yang aktif ini akan dibersihkan dari
sirkulasi darah oleh hati. Dalam keadaan normal plasma darah mengandung
sejumlah protein yang dapat menghambat enzim proteolitik yang disebut sebagai
inhibitor seperti antitrombin, alfa 2 makroglobulin, alfa 1 antitripsin, C1 esterase
inhibitor, protein C, protein S. Inhibitor ini berfungsi untuk membatasi reaksi
koagulasi agar tidak berlangsung secara berlebihan sehingga pembentukan fibrin
hanya terbatas disekitar daerah yang mengalami cedera. Antitrombin akan
menghambat aktivitas trombin, F.XIIa, F.XIa, F.Xa, F.IXa, F.VIIa, plasmin dan
kalikrein. Protein C yang diaktifkan oleh trombin dengan kofaktor trombomodulin
akan memecah F.Va dan F.VIIIa menjadi bentuk yang tidak aktif dengan adanya
kofaktor protein S. Alfa 1 antitripsin akan berperan dalam menginaktifkan trombin,
F.XIa, kalikrein dan HMWK. C1 inhibitor akan menghambat komponen pertama
dari sistem komplemen, F.XIIa, F.XIa dan kalikrein.
Untuk membatasi dan selanjutnya mengeliminasi bekuan darah maka sistem
fibrinolisis mulai bekerja sesaat setelah terbentuknya bekuan fibrin. Deposisi fibrin
akan merangsang aktivasi plasminogen menjadi plasmin oleh aktivator plasminogen
seperti tissue plasminogen aktivator (t-PA), urokinase plasminogen aktivator (u-
PA), F.XIIa dan kallikrein. Plasmin yang terbentuk akan memecah fibrinogen dan
fibrin menjadi fibrinogen degradation product (FDP). Dengan proses ini fibrin yang
tidak diperlukan dilarutkan sehingga hambatan terhadap aliran darah dapat dicegah.
Untuk menghindari terjadinya aktivitas fibrinolisis yang berlebihan, tubuh
mempunyai mekanisme kontrol berupa inhibitor aktivator plasminogen (PAI-1)
yang akan menginaktivasi t-PA maupun u-PA, dan alfa 2 antiplasmin yang akan
menetralkan aktivitas plasmin yang masuk ke sirkulasi.

3.3 Clinical Science


3.3.1 Definisi DBD
Istilah "dengue" dalam bahasa Spanyol berarti halus (atau lambat dan
hati-hati), merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan gaya
berjalan seseorang yang menderita nyeri tulang [CITATION Wil18 \l 1057 ].
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/ nyeri
sendi, ruam, limfadenopati, diatesis hemoragik, leukopenia, trombositopenia,
hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit yang terjadi akibat
penumpukan cairan di rongga tubuh [ CITATION Suh14 \l 1057 ]. Demam
berdarah dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan
penyakit infeksi virus dengan vektor nyamuk spesies Aedes aegypti dan
Aedes albopticus sebagai vektor primer, serta Aedes polynesiensis, Aedes
scutellaris, serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder [CITATION
Kem17 \l 1057 ].

3.3.2 Etiologi DBD


Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh empat jenis atau serotipe
virus dengue (DENV), antara lain DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV-4 yang
dikelompokkan berdasarkan karakteristik antigenik dan genetik [CITATION
Ban16 \l 1057 ]. Virus Dengue (DENV) merupakan virus RNA dengan selubung,
tergolong dalam genus Flavivirus dan famili Flaviviridae .[ CITATION Wer12 \l
1057 ]. Flavivirus berukuran kecil (40-65 nm) dan berbentuk bulat dengan selubung
lipid. Genom flavivirus terdiri dari 11.000 basa dan memiliki tiga protein struktural
serta tujuh nonstruktural [ CITATION Ooi11 \l 1057 ]. Genom virus RNA untai
tunggal terdiri dari daerah yang tidak diterjemahkan (Untranslated Region atau UTR)
pada ujung 5’ dan 3’ genom, reading frame yang terdiri dari 3 protein struktural yang
mengkode 3 nukleokapsid atau protein inti (C), membrane-associated protein (prM
atau M) dan protein selubung (ENV atau E), diikuti oleh 7 protein nonstruktural (NS)
terdiri dari: NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5. NS1 adalah glikoprotein
yang sangat penting untuk replikasi virus, dapat ditemukan pada organel ataupun
permukaan sel yang terinfeksi [ CITATION Vai15 \l 1057 ]. Dalam darah,
peningkatan NS1 terjadi bersamaan dengan onset terdeteksinya IgM pada kasus
infeksi primer akut dan IgG pada infeksi nonprimer akut [ CITATION Amb17 \l
1057 ]. Semua flavivirus memiliki epitop yang realtif sama pada protein selubung
yang menghasilkan reaksi silang yang luas dalam tes serologis, sehingga sulit untuk
menegakkan diagnosis serologis dari infeksi flavivirus [ CITATION Ooi11 \l 1057
].

3.3.3 Epidemiologi DBD


Penyakit DBD endemis di lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika,
Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat. Selama epidemi demam
berdarah, faktor resiko terjadinya infeksi pada orang yang belum pernah terpapar
virus kurang lebih 40-50%, tetapi bisa mencapai 80–90%. Diperkirakan 500.000
orang dengan DBD memerlukan rawat inap setiap tahun, dimana sebagian besar di
antaranya adalah anak-anak dan 2,5% diantaranya meninggal dunia. Tanpa adanya
pengobatan yang tepat, angka kematian akibat Penyakit DBD dapat melebihi 20%
[ CITATION Ala12 \l 1057 ].

Di Indonesia, angka kejadian DBD pada tahun 2016 sebanyak 204.171


kasus dengan pasien rawat inap terbanyak pada usia 5 – 14 tahun. Data tahun
2017, terdapat kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) sebanyak 68.407 kasus
dengan jumlah kematian sebanyak 444 orang dengan case fatality rate sebesar
0,75% [CITATION Kem17 \l 1057 ]. Angka kejadian DBD pada tahun 2018
berjumlah 65.602 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 462 orang dan
case fatality rate sebesar 0,70%. Jumlah kasus DBD di tahun 2018 paling
banyak terjadi di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan
Timur, Kalimantan Barat dan DKI Jakarta. [CITATION Kem19 \l 1057 ].
Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun 2019 sendiri telah
menjadi KLB pada beberapa wilayah di Indonesia seperti Sulawesi
Utara, Kabupaten Kapuas di Kalimantan Tengah, serta Kabupaten Manggarai
Barat dan Kota Kupang di Nusa Tenggara Timur dengan angka kejadian DBD
hingga bulan Februari 2019 mencapai 16.692 kasus dengan 169 orang
meninggal dunia [CITATION Kem191 \l 1057 ].
Penyakit DBD juga disebabkan oleh faktor-faktor yang saling
berinteraksi, antara lain [CITATION Put18 \t \l 1057 ] [ CITATION Suh14 \l
1057 ]
1. Faktor agent yaitu virus dengue dan vektornya berupa perkembangbiakan vektor,
kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari
satu tempat ke tempat yang lain;
2. Pejamu atau host yaitu sikap dan perilaku hidup dan kebersihan, pendidikan,
pekerjaan, umur, suku bangsa, kerentanan dan paparan penyakit, serta terdapatnya
penderita di lingkungan atau keluarga;
3. Lingkungan yaitu kepadatan penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah,
mobilitas penduduk, curah hujan, suhu, maupun sanitasi.
Sumber: CDC, 2019

Gambar 1 Peta Negara dengan Resiko Tinggi Dengue

3.3.4 Vektor Penularan Penyakit DBD


Penyakit Demam Berdarah Dengue ditransmisikan melalui nyamuk
dengan nyamuk spesies Aedes aegypti dan Aedes albopticus sebagai vektor
utama pembawa penyakit, serta Aedes polynesiensis, Aedes scutellaris, serta
Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder [CITATION Kem17 \l 1057 ]. Pada
umumnya, nyamuk-nyamuk yang menjadi vektor virus dengue lebih mudah
ditemukan di perkotaan dan area padat penduduk daripada vektor malaria
[CITATION CDC19 \l 1057 ] serta menyerang pada siang hari dimana Aedes
aegypti dan Ae. Albopictus sebagai vektor penyebab penyakit DBD terbanyak
di Polinesia, Ae. scutellaris complex spp. di Malaysia, Ae. nivaeus complex
spp. di Afrika Barat, Ae. furcifer-taylori complex spp., dan baru-baru ini di
Eropa oleh Ae. albopictus [CITATION Wer12 \l 1057 ].
Nyamuk yang menjadi vektor dengue berada di dalam ruangan dan paling
aktif sekitar 2 jam setelah matahari terbit dan beberapa jam sebelum matahari
terbenam[CITATION Wil18 \l 1057 ]. Vektor virus dengue, baik Ae. aegypti
maupun Ae. albopictus memiliki empat tahap siklus hidup yaitu telur, larva, pupa,
dan dewasa [CITATION WHO111 \l 1057 ].
Sumber: Thomas, et al., 2015

Gambar 2 Distribusi Nyamuk Aedes aegypti

Ae. aegypti tersebar luas di daerah tropis dan subtropis di Asia Tenggara dengan
penyebaran paling umum adalah di daerah perkotaan. Urbanisasi cenderung
menyediakan habitat yang cocok untuk Ae. aegypti. Lingkungan hidup yang baik
untuk Ae. aegypti adalah rumah kumuh, rumah toko dan flat bertingkat. Di negara-
negara Asia Tenggara, ketinggian 1000 hingga 1500 meter di atas permukaan laut
tampaknya menjadi batas untuk distribusi Ae. aegypti. Pada daerah dengan

ketinggian yang lebih rendah (<500 meter) populasi nyamuk Ae. aegypti biasanya
sedang hingga berat sementara daerah pegunungan (>500 meter) memiliki populasi
rendah. Ae. aegypti merupakan spesies diurnal, spesies betina memiliki dua periode
aktivitas menggigit yaitu di pagi hari selama beberapa jam setelah fajar dan di sore
hari selama beberapa jam sebelum gelap. Puncak dari aktivitas Ae. aegypti
sebenarnya dapat bervariasi sesuai dengan lokasi dan musim. Ae. aegypti umumnya
tidak menggigit di malam hari, tetapi nyamuk ini tetap akan beraktivitas di malam
hari pada ruangan yang terang. Ae. aegypti dewasa memiliki umur sekitar 3-4
minggu, tetapi memiliki kemampuan bertahan hidup yang lebih lama selama musim
hujan [CITATION WHO111 \l 1057 ].
Ae. albopictus tersebar luas di Asia baik di negara tropis maupun di iklim
sedang dan juga tersebar luas di semua negara di Asia Tenggara. Ae. albopictus
adalah spesies yang lingkungan hidupnya di hutan, namun telah beradaptasi dengan
lingkungan pedesaan, pinggiran kota dan perkotaan. Nyamuk ini tumbuh dan
berkembang di lubang pohon, tunggul bambu dan sudut antara cabang batang atau
daun di habitat hutan dan dalam wadah buatan di perkotaan. Tidak seperti Ae.
aegypti, lingkungan hidupnya tidak berhubungan dengan tipe perumahan tetapi
cenderung di daerah dengan ruangan terbuka dan vegetasi. Nyamuk ini menggigit
pada waktu senja dan fajar serta siang hari. Hasil penelitian laboratorium mengenai
Ae. albopictus menyatakan bahwa: i) betina hidup lebih lama daripada jantan; dan ii)
perempuan biasanya hidup empat hingga delapan minggu di laboratorium tetapi dapat
bertahan hidup hingga tiga hingga enam bulan [CITATION WHO111 \l 1057 ].

3.3.5 Patofisiologi

Tn. Kasno 27th

Faktor prediposisi

Lingkungan Host
Agent
Tetangga mempunyai Nyamuk (aedes
DEN V I-IV
keluhan serupa aegepty)

Nyamuk terinfeksi virus

Virus dengue replikasi di glandula saliva nyamuk (8-10 hari)


Reaksi imun (Sel T aktivasi sel B sel plasma)

Antibody non-neutralizing
Gigit dan (2ndmanusia
menghisap darah infection)

Antibody membantu penempelan dengan makrofag


st
DENV
(antibody masuk (1enchancement)
dependent infection)

Makrofag
Infeksisebagai
sel dendritic / makrofag / histiosit/ sel hepar Viremia
APC
Aktivasi T helper

CD8+ CD4+

Membunuh TH1
makrofag yang
terinfeksi Sel B
Aktivasi monosit

Mediator inflamasi IgM


IgG
IL-1 Endotel perifer
Aktivasi
IGE2 komplemen

Mialgia Menghasilkan
Peningkatan set point anafilatoksin
Atralgia
DEMAM (C3a, C5a)

Dimusnahkan sel mast dan basofil Kerusakan endotel

Histamin Agregasi trombosit


Peningkatan permeabilitas vaskular Dimusnahkan RES

Kebocoran plasma Trombositopenia

HT↑↑ Dimusnahkan
Cairan dalam
RES
rongga
Pendarahan

PAN Orbital
Petekie
Epitaksis
Efusi pleura Nyeri
Orbital
Sesak nafas

Perfusi perifer Jarang BAK TD Gelisah/


delirium
HR↑ RR↑
Sianosis Akral dingin
3.3.6 Manifestasi Klinis Penyakit DBD
Gejala umum Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah demam akut disertai
sakit kepala, nyeri muskuloskeletal, dan ruam. Tingkat keparahan penyakit dan
manifestasi klinis bervariasi sesuai dengan usia dan jenis virus. Infeksi virus dengue
biasanya asimptomatik atau tidak spesifik, terdiri atas demam, malaise, infeksi faring,
gejala saluran pernapasan atas, dan ruam. Gejala ini dialami terutama oleh anak-anak.
Serotipe virus DENV-2 dan DENV-4 lebih banyak menyebabkan infeksi pada orang
yang belum pernah mengalami infeksi yang disebabkan oleh flavivirus sebelumnya.
Tingkat keparahan penyakit DBD juga dapat meningkat pada bayi dan orang tua
[ CITATION Ban16 \l 1057 ].

Masa inkubasi DBD terjadi 4 sampai 7 hari, kemudian diikuti demam serta
sakit kepala bagian depan yang parah, menggigil, dan nyeri retroorbital yang
berkembang secara tiba-tiba, nyeri otot dan punggung bawah, dan nyeri perut
[ CITATION Ban16 \l 1057 ]. Demam berdarah dengue itu sendiri dibagi menjadi
tiga fase, yaitu fase demam, fase kritis, dan fase pemulihan. Fase demam berlangsung
selama 5 sampai 7 hari ditandai dengan demam tinggi, sakit kepala dan retro-orbital,
arthralgia, mialgia, malaise, mual, dan muntah. Temperatur inisial demam dapat
mencapai 102–105°F (38.9–40.6°C) dan biasanya bertahan 2–7 hari. Demam turun
sampai 37°C setelah beberapa hari, namun kembali meningkat 12-24 jam kemudian
(pola “pelana kuda”) [ CITATION Ooi11 \l 1057 ]. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan adanya radang pada tenggorokan, limfadenopati, dan hepatomegali yang
biasanya terjadi pada akhir fase demam. Pada sebagian besar pasien, fase demam ini
diikuti oleh fase pemulihan sehingga dapat dianggap sebagai episode demam
sederhana. Fase kedua atau fase kritis dimulai 3 sampai 7 hari sejak timbulnya
demam dan berlangsung selama 24-48 jam. Demam yang menurun adalah gejala khas
pada awal fase kritis [ CITATION Ban16 \l 1057 ]. Fase ini juga ditandai dengan
leukopenia <5000 sel/mm3 dan limfositosis yang disertai peningkatan limfosit
atipikal, peningkatan nilai hematokrit 10-20% serta terjadinya perbesaran dan
perlunakan hati [ CITATION Dep12 \l 1057 ]. Syok dapat terjadi selama fase ini
karena dua alasan, yaitu kehilangan cairan yang berlebihan tanpa asupan cairan
memadai dan perdarahan internal yang banyak terjadi pada saluran cerna. Setelah
melewati fase kritis, fase selanjutnya adalah fase pemulihan. Fase ini terjadi 48-72
jam setelah fase kritis ditandai dengan keadaan umum yang membaik, tanda vital
stabil, nafsu makan meningkat, hematokrit stabil atau menurun sampai 35-40%, serta
diuresis telah kembali normal [ CITATION Dep12 \l 1057 ]. Cairan yang
sebelumnya mengalami ekstravasasi akan masuk kembali ke dalam kompartemen
intravaskular. Gagal jantung atau edema pleura dapat terjadi apabila pemberian cairan
dilakukan secara berlebihan [ CITATION Raj12 \l 1057 ]. Pemulihan dapat
diikuti oleh periode panjang dari kegelisahan, mudah lelah, dan bahkan depresi
[ CITATION Ban16 \l 1057 ].

Sumber: Thomas, et al., 2015


Gambar 3 Manifestasi Klinis, Patofisiologi dan Klasifikasi DBD
Mayoritas individu biasanya tidak menunjukkan gejala. Keluhan yang
paling umum adalah anoreksia, mual, muntah, hiperestesia kulit, dan
dysgeusia [ CITATION Ban16 \l 1057 ]. Awal manifestasi klinis ditandai dengan
timbulnya demam, kelelahan, sakit kepala, nyeri retro-orbital, mual, muntah,
mialgia dan artralgia, dan ruam petekie. Manifestasi lanjut biasanya
berhubungan dengan infeksi berat yang ditandai dengan syok, gangguan
pernapasan, perdarahan hebat, dengan atau tanpa kerusakan organ yang parah
[ CITATION Wil18 \l 1057 ].
Tabel 1 Derajat Klinis Infeksi Dengue
No Klasifikasi Derajat Tanda dan Gejala Laboratorium
1 Demam Demam dengan 2 dari  Leukopenia (leukosit
Dengue tanda berikut: ≤5000 sel/mm³)
 Sakit kepala  Trombositopenia
 Nyeri retro-orbital (trombosit <150.000
 Nyeri otot sel/mm³)
 Nyeri sendi  Peningkatan
 Ruam hematokrit (5-10%)
 Manifestasi  Tidak terdapat tanda
perdarahan kebocoran plasma
 Tidak terdapat tanda
kebocoran plasma
2 Demam I Demam disertai manifestasi  Trombositopenia
Berdarah perdarahan (tes tourniket (<100.000 sel/mm³
Dengue positif) dengan tanda  Peningkatan
kebocoran plasma hematokrit (≥20%)
3 Demam II Tanda dan gejala klinis  Trombositopenia
Berdarah seperti pada derajat I (<100.000 sel/mm³
Dengue disertai perdarahan spontan  Peningkatan
hematokrit (≥20%)
4 Demam III Tanda dan gejala klinis  Trombositopenia
Berdarah seperti pada derajat I atau II (<100.000 sel/mm³
Dengue disertai kegagalan sirkulasi  Peningkatan
(hipotensi, nadi lemah, hematokrit (≥20%)
restlessness, tekanan nadi
sempit ≤ 20 mmHg)
5 Demam IV Tanda dan gejala klinis  Trombositopenia
Berdarah seperti pada derajat III (<100.000 sel/mm³
Dengue disertai syok berat; tekanan  Peningkatan
darah dan nadi yang sulit hematokrit (≥20%)
dinilai
Sumber: Hardani, 2018

3.3.7 Diagnosis DBD


Diagnosis demam berdarah dengue (DBD) dapat ditentukan dari:
[CITATION WHO111 \l 1057 ]
a. Manifestasi klinis, antara lain:
a) Demam dengan awitan akut, tinggi dan terus-menerus, berlangsung 2
hingga 7 hari dalam banyak kasus.
b) Manifestasi hemoragik termasuk tes tourniquet positif, petekie,
purpura (di lokasi vena puncture), ekimosis, epistaksis, perdarahan
gusi, dan hematemesis dan / atau melena.
c) Pembesaran hati (hepatomegali).
d) Syok, ditandai dengan tanda dan gejala seperti takikardia, perfusi
jaringan yang buruk dengan denyut nadi lemah dan tekanan nadi
menyempit (≤20 mmHg) atau hipotensi dengan kulit yang dingin,
lembab, dan / atau gelisah.
b. Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis demam berdarah dengue (DBD), antara lain: [ CITATION Suh14 \l
1057 ] [CITATION WHO111 \l 1057 ]
a) Leukosit. Jumlah leukosit umumnya normal atau menurun dengan
neutrofil sebagai sel dominan pada fase demam awal. Jumlah leukosit
dan neutrofil mencapai titik terendah menjelang akhir fase demam.
Pada hari ketiga dapat ditemui limfositosis relatif (>45% dari total
leukosit) disertai terdapatnya limfosit plasma biru pada hapusan darah
tepi >15% dari jumlah total leukosit.
b) Trombosit. Di fase awal demam jumlah trombosit normal, kemudian
mengalami penurunan ringan pada hari ketiga sampai kedelapan.
Penurunan jumlah trombosit dapat terjadi secara tiba-tiba menjadi
≤100.000 sel/mm³ pada akhir fase demam sebelum memasuki fase
kritis atau timbulnya syok. Jumlah trombosit berkorelasi dengan
tingkat keparahan penyakit DBD, namun perubahan ini biasanya
berdurasi pendek dan kembali normal selama masa pemulihan.
c) Hematokrit. Nilai hematokrit normal pada fase awal demam.
Peningkatan ringan mungkin terjadi karena demam tinggi, muntah dan
anoreksia. Peningkatan nilai hematokrit dimulai pada hari ketiga
demam, dan mengindikasikan terjadinya kebocoran plasma apabila
peningkatannya >20% dari nilai awal.
d) Hemostasis. Sebagian besar kasus menunjukkan penurunan fibrinogen,
protrombin, faktor VIII, faktor XII, antitrombin III dan yang lebih
jarang penurunan plasmin inhibitor. Pada kasus berat dengan disfungsi
hati yang nyata, faktor pembekuan darah yang mengalami penurunan
umumnya merupakan faktor-faktor yang dipengaruhi oleh vitamin K,
seperti faktor V, VII, IX dan X. Pada sebagian kasus DBD, terjadi
pemanjangan waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin, serta
waktu trombin juga mengalami pemanjangan pada kasus yang berat.
e) Protein. Umumnya terjadi albuminuria ringan dan hipoproteinemia
sebagai akibat dari kebocoran plasma.
f) Enzim hati. AST dan ALT dapat mengalami peningkatan dengan rasio
AST:ALT > 2.
g) Elektrolit. Dapat terjadi hiponatremia dan lebih berat pada syok, dan
hipokalsemia.
h) Asidosis metabolik dan peningkatan nitrogen urea darah dapat terjadi
pada kasus syok berkepanjangan.

Selain pemeriksaan darah rutin, terdapat beberapa pemeriksaan


laboratorium yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit
DBD, yaitu:
a) Isolasi virus, berfungsi untuk mengetahui karakteristik serotipe atau
genotipe virus,
b) Asam nukleat virus, dengan menggunakan reverse transcriptase-
polymerase chain reaction (RT-PCR), metode amplitudo isotermal dan
lain-lain.
c) Antigen virus, yaitu mendeteksi glikoprotein flavivirus (NS1)
d) Pemeriksaan imunoserologi, meliputi:
 IgM: dapat terdeteksi mulai hari ketiga sampai kelima, meningkat
hingga minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari.
 IgG: mulai terdeteksi pada hari ke-14 pada infeksi primer dan hari
ke-2 pada infeksi sekunder.
e) Lain-lain: uji HI untuk keperluan surveilans, NS1 yang dapat dideteksi
pada hari pertama sampai hari kedelapan.
Berdasarkan WHO 2011 kriteria yang digunakan untuk menegakkan
diagnosis pasien demam berdarah dengue (DBD) antara lain:
a. Periode demam akut selama dua sampai tujuh hari,
b. Manifestasi hemoragik, yang terdiri dari gejala berikut: tes tourniquet positif,
petekie, ekimosis atau purpura, maupun perdarahan dari mukosa, saluran
pencernaan, tempat injeksi, atau lokasi lain.
c. Jumlah trombosit ≤ 100.000 sel/mm3
d. Tanda kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang
ditunjukkan dari gejala berikut:
 Meningkatnya hematokrit/hemokonsentrasi ≥20% dari baseline atau
perlambatan pada proses pemulihan,
 Bukti adanya kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia/albuminaemia.

Sumber: WHO, 2011


Gambar 4 Respon Primer dan Sekunder Infeksi Dengue
Pada saat terjadi infeksi DBD, IgM dapat ditemukan sekitar hari ke-3
sampai hari ke-5 demam, yang kemudian meningkat dengan cepat sekitar 2
minggu dan menurun ke tingkat yang tidak terdeteksi setelah dua sampai tiga
bulan[CITATION WHO111 \l 1057 ]. Antibodi IgG terdeteksi pada tingkat rendah
di akhir minggu pertama, kemudian meningkat dan menetap untuk periode
yang lebih lama [CITATION WHO111 \l 1057 ]. Perbedaan infeksi primer dan
sekunder dengue dapat ditentukan pada saat pemeriksaan laboratorium dengan
memperhatikan kenaikan titer antibodi IgG. Pada infeksi primer antibodi IgG
meningkat kurang lebih pada hari ke-14 demam, sedangkan pada infeksi
sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua dengan titer antibodi IgM
yang lebih rendah dari infeksi primer[ CITATION Put18 \l 1057 ]. Oleh karena
itu, rasio IgM/IgG dapat digunakan untuk membedakan infeksi dengue primer
dan sekunder [CITATION WHO111 \l 1057 ]. Diagnosis dini infeksi primer dapat
ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari kelima, diagnosis
infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan
antibodi IgG dan IgM yang cepat [ CITATION Put18 \l 1057 ].
Peningkatan konsentrasi aminotransferase hati juga dilaporkan dalam
sebagian besar kasus demam berdarah, dengan tingkat aspartat
aminotransferase (AST) awalnya lebih tinggi daripada kadar alanine
aminotransferase (ALT) dan kadarnya lebih tinggi pada DBD daripada
demam dengue. Pada kasus yang fatal, temuan histopatologis mirip dengan
demam kuning ringan awal, dengan hipertrofi sel Kupffer, focal ballooning,
dan nekrosis hepatosit di zona tengah hepar, perubahan lemak tubuh ringan,
dan sedikit respon sel mononuklear periportal [ CITATION Ban16 \l 1057 ]

3.3.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari Demam Berdarah Dengue (DBD) meliputi:
chikungunya, measles, rubella, influenza, hepatitis A, serta penyakit yang
disebabkan oleh infeksi virus lainnya, seperti virus Epstein-Barr, Enterovirus
atau Hantavirus. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri, antara lain:
meningokoksemia, leptospirosis, tifoid, melioidosis, rickesttsia,
demam
skarlet serta penyakit akibat parasit yaitu malaria [ CITATION WHO111 \l 1057 ].

3.3.9 Tatalaksana
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk infeksi dengue, prinsip
utama terapi adalah terapi suportif dengan pemeliharaan volume cairan
sirkulasi sebagai tindakan terpenting dalam penatalaksanaan kasus DBD.
Terdapat 5 protokol penatalaksanaan kasus DBD berdasarkan Perhimpunan
Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi
Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, antara lain:[ CITATION Suh14 \l
1057 ]
a. Protokol 1
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama
pada pasien yang diduga mengalami DBD atau pasien DBD serta digunakan sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat inap.
 Hb, Ht, trombosit normal atau 100.000 – 150.000sel/mm³, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya, atau bila keadaan memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
 Hb, Ht normal dengan trombosit <100.000 sel/mm³ dianjurkan untuk dirawat.

 Hb, Ht meningkat dengan trombosit normal atau turun dianjurkan untuk dira
Keluhan DBD

Hb, Ht, Hb, Ht normal Hb, Ht normal Hb, Ht meningkat


Trombosit Trombosit Trombosit Trombosit
normal 100.000 – ≤100.000 sel/mm³ normal/turun
150.000 sel/mm³

Observasi Observasi
Rawat jalan Rawat jalan Rawat Rawat
Periksa Hb, Ht Periksa Hb, Ht
Leukosit, Leukosit,
Trombosit/ 24 Trombosit/ 24 jam
jam

B
agan 1 Protokol 1 Penatalaksanaan DBD

Pada pasien DBD juga terdapat warning sign yang digunakan oleh tenaga kesehatan
untuk melakukan observasi dan penatalaksanaan segera serta menjadi salah satu
kriteria rawat inap pasien, antara lain: [ CITATION WHO111 \l 1057 ]

1. Tidak ada perbaikan klinis/perburukan keadaan sesaat sebelum atau selama


transisi ke fase afebris.

2. Muntah persisten, tidak bisa minum

3. Nyeri abdomen yang berat

4. Lesu dan / atau gelisah, perubahan perilaku mendadak .

5. Perdarahan: epistaksis, tinja hitam, hematemesis, perdarahan menstruasi yang


berlebihan, urin berwarna gelap (hemoglobinuria) atau hematuria.

6. Pusing

7. Pucat, tangan dan kaki dingin serta berkeringat.


8. Kurang / tidak ada produksi urine selama 4-6 jam .

b. Protokol 2
Protokol penatalaksaan digunakan sebagai petunjuk dalam pemberian cairan
pada tersangka DBD di ruang rawat inap. Volume cairan kristaloid per hari yang
diperlukan dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

1500  [ 20 x (BB dalam kg – 20) ]

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit dan


trombosit secara berkala sesuai dengan kadar hemoglobin, hematokrit dan
trombosit sebelumnya.

Suspek DBD
Perdarahan spontan dan masif (-)
Syok (-)

Hb, Ht 10-20% Hb, Ht meningkat >20%


Hb, Ht normal
Trombosit <100.000 Trombosit <100.000 sel/mm³
Trombosit <100.000
sel/mm³
sel/mm³
Infus kristaloid Protokol pemberian cairan
Infus kristaloid
Hb, Ht, trombosit tiap DBD dengan Ht meningkat
Hb, Ht, trombosit tiap 24
12 jam ≥20%
jam

Bagan 2 Protokol 2 Penatalaksanaan DBD

c. Protokol 3
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk penatalaksanaan pasien DBD yang
mengalami peningkatan hematokrit ≥20%. Evaluasi dilakukan secara berkala,
yaitu 3-4 jam pertama setelah pemberian cairan intravena kristaloid 6-7
ml/kg/jam, dan evaluasi 2 jam setelahnya. Apabila terdapat tanda-tanda syok
maka tatalaksana yang diberikan sesuai protokol tatalaksana sindrom syok
dengue. Jika syok telah teratasi maka tatalaksana pemberian cairan dapat
dimulai kembali sesuai dengan terapi pemberian cairan awal.
Sumber: Suhendro, et al., 2014

Gambar 5 Protokol 3 penatalaksanaan DBD

d. Protokol 4
Protokol ini mencakup penatalaksanaan perdarahan spontan pada pasien
DBD, dengan gejala dan tanda seperti perdarahan hidung atau epistaksis yang
tidak terkendali setelah pemberian tampon hidung, hematemesis, melena dan
hematuria, serta perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi sebanyak 4-5
ml/KgBB/jam. Pemberian heparin dilakukan apabila terdapat tanda-tanda
koagulasi intravaskular diseminata (KID).
Sumber: Suhendro, et al., 2014

Gambar 6 Protokol 4 Penatalaksanaan DBD

e. Protokol 5
Protokol ini merupakan protokol penatalaksanaan sindrom syok dengue. Hal
yang harus diperhatikan adalah mengatasi rejatan sesegera mungkin dengan
penggantian cairan intravaskular yang hilang. Cairan kristaloid adalah pilihan
utama dalam melakukan penatalaksanaan. Selain cairan kristaloid, pasien juga
diberikan oksigen 2-4 liter/menit dan pemeriksaan penunjang lain harus
dilakukan seperti pemeriksaan darah lengkap, hemostasis, analisis gas darah,
kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin. Pengawasan
rejatan harus dilakukan terutama 48 jam pertama sejak terjadi rejatan. Hal lain
yang perlu diperhatikan adalah hematokrit, apabila terjadi peningkatan
hematokrit setelah pemberian cairan kristaloid 20-30 ml/KgBB/jam selama
20-30 menit maka cairan koloid merupakan pilihan terapi, namun apabila
terjadi penurunan hematokrit, terapi yang diberikan adalah transfusi darah
segar 10ml/KgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sumber: Suhendro, et al., 2014

Gambar 7 Protokol 5 Penatalaksanaan DBD

Tatalaksana dengue pada anak dapat dibagi menjadi 3 sesuai dengan


perjalanan penyakit DBD yang terdiri dari 3 fase. Pada fase demam pengobatan yang
diberikan adalah pengobatan simptomatik dan suportif, meliputi: [ CITATION WHOta \l
1057 ] [ CITATION Dep12 \l 1057 ]
a. Larutan oralit, jus buah, susu, air taji atau air sirup sebagai pengganti kehilangan
cairan akibat muntah, diare, demam maupun kebocoran plasma.
b. Parasetamol merupakan antipiretik pilihan pertama dengan dosis
10mg/KgBB/dosis setiap 4 jam apabila demam >38°C. Pemberian aspirin dan
ibuprofen merupakan kontraindikasi.
c. Apabila terdapat tanda dehidrasi atau muntah hebat, dapat diberikan cairan
intravena sesuai dengan tatalaksana dehidrasi sedang, antara lain:
 Cairan intravena yang diberikan hanya larutan isotonik seperti Ringer
laktat atau asetat,
 Kebutuhan cairan parenteral
o Berat badan <15 kg : 7 mg/KgBB/jam
Berat badan 15-40 kg : 5 mg/KgBB/jam
Berat badan >40 kg : 3 mg/KgBB/jam
o Tanda vital dan diuresis dipantau setiap jam dan pemeriksaan
laboratorium (hematokrit, trombosit, leukosit dan hemoglobin)
dilakukan setiap 6 jam.
o Apabila terdapat penurunan hematokrit dan keadaan klinis membaik,
jumlah cairan intravena dapat diturunkan secara bertahap sampai
keadaan stabil.

 Tatalaksana syok terkompensasi (compensated shock) diberikan apabila


terjadi perburukan klinis.
Pada fase kritis pasien biasanya harus dirawat di rumah sakit dan diberikan asupan
cairan sesuai kebutuhan, serta dilakukan pencatatan tanda vital, hasil laboratorium,
dan cairan yang masuk dan keluar dalam lembar khusus. Pada fase ini, tatalaksana
untuk pasien dengan resiko tinggi, seperti bayi, pasien dengan kelainan jantung
bawaan, DBD derajat III dan IV, perdarahan berat, penurunan kesadaran, serta
obesitas perlu diberi perhatikan khusus agar tidak terjadi komplikasi atau keadaan
lain yang tidak diinginkan. Tatalaksana utama berupa pemberian cairan intravena
yang diberikan apabila terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan
hematokrit 10-20%, serta pasien tidak mau makan dan minum melalui oral, dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Cairan intravena tidak perlu diberikan sebelum terjadinya kebocoran plasma.
2. Cairan yang digunakan adalah golongan kristaloid, baik ringer laktat ataupun
ringer asetat.
3. Cairan intravena diberikan sesuai dengan kebutuhan rumatan ditambah defisit 5-
8% atau setara dengan dehidrasi sedang.
4. Pasien dengan berat badan >40 kg, total cairan intravena yang diberikan setara
dengan dewasa, yaitu 3000 ml/hari.
5. Pada pasien obesitas, perhitungkan cairan intravena yang diberikan didasarkan
pada berat badan idéal.
6. Pada kasus non syok, cairan intravena diberikan sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan berat badan, yaitu:
Berat badan <15 kg : 6-7 ml/ kgBB/jam,
Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam
Berat badan >40 kg : 3-4 ml/kgBB/jam

7. Tetesan intravena disesuaikan secara berkala dengan mempertimbangkan kondisi


klinis seperti tanda vital, keadaan umum, kemampuan pengisian kapiler, dan
hasil pemeriksaan laboratorium seperti hemoglobin, hematokrit, leukosit,
trombosit, serta volume urin.
8. Waktu pemberian cairan intravena tidak lebih dari 48 jam.
Kemampuan memberikan cairan dan pemantauan tanda vital pada fase ini dapat
menentukan prognosis dan bertujuan untuk mewaspadai gejala syok. Kegagalan tata
laksana pada fase ini biasanya disebabkan oleh penggunaan cairan hipotonik dan
kertelambatan penggunaan koloid selama fase kritis. Apabila terjadi syok, maka
tatalaksana yang diberikan adalah

 Berikan oksigen 2-4 L/menit secara nasal.

 Berikan cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB atau tetesan lepas selama 10-15
menit sampai tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian turunkan sampai
10 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam
sesuai kondisi klinis dan laboratorium pasien.
 Jika tidak terdapat perbaikan klinis, ulangi pemberian cairan kristaloid 20
ml/kgBB secepat-cepatnya, maksimal 30 menit atau pertimbangkan
pemberian koloid 10-20ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.

 Jika tidak terdapat perbaikan klinis dan nilai hematokrit dan hemoglobin
menurun, maka dapat dipertimbangkan adanya perdarahan tersembunyi.
Tatalaksana yang harus diberikan pada kondisi tersebut adalah
o Melakukan tindakan yang tepat untuk menghentikan perdarahan.
o Berikan transfusi darah sesuai kebutuhan, dengan indikasi apabila
terdapat kehilangan darah bermakna atau >10% volume darah total.
o Transfusi darah yang diberikan berupa packed red cell (PRC) 5
ml/kgBB/kali atau sediaan darah segar 10 ml/kgBB/kali apabila PRC
tidak tersedia
o Transfusi trombosit hanya diberikan pada kondisi tertentu dengan
ketentuan 0,2U/kgBB/dosis. Tranfusi sediaan ini bertujuan untuk
menghentikan perdarahan masif yang terjadi.

 Pemberian cairan dapat dihentikan pada fase penyembuhan untuk


menghindari terjadinya kelebihan cairan yang dapat mengakibatkan
komplikasi seperti edema paru dan gagal jantung. Pada sebagian besar kasus,
cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
Selain pemberian cairan intravena, tatalaksana pada fase kritis juga diberikan untuk
koreksi gangguan metabolit dan elektrolit, seperti hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia, dan asidosis. Cairan intravena harus dihentikan setelah pasien
memasuki fase penyembuhan, dan gangguan elektrolit pada fase ini dapat diatasi
dengan pemberian larutan oralit atau buah-buahan. Kegagalan tatalaksana pada
pasien DBD biasanya terjadi karena kegagalan pemantauan pada pemberian cairan
intravena, baik jumlah tetesan maupun jumlah cairan pengganti, kegagalan
mengetahui perdarahan internal atau tersembunyi, dan pemberian tatalaksana lain
yang tidak perlu sehingga mempengaruhi lamanya rawat inap pasien [ CITATION Dep12
\l 1057 ].
3.3.10 Komplikasi
Komplikasi neurologis dikaitkan terutama dengan perubahan
metabolik dan perdarahan fokal intrakranial yang kadang-kadang dapat terjadi
secara masif, tetapi invasi virus di SSP dan ensefalitis juga dapat terjadi
[ CITATION Ban16 \l 1057 ] . Komplikasi yang dapat terjadi adalah kegagalan
multiorgan seperti efusi paru masif dan gangguan pernafasan, gagal jantung,
disfungsi hati dan ginjal. Syok dapat terjadi dan apabila berlangsung lama
dapat menyebabkan asisdosis metabolik dan perdarahan hebat karena
terjadinya koagulasi intravaskular diseminata (KID) [CITATION WHO111 \l 1057
].

3.3.11 Prognosis
Prognosis penyakit DBD ditentukan oleh pemahaman penyakit dan
bagaimana perjalanan klinis infeksi virus, imunologis, dan faktor host. Pada DBD,
gejala timbul secara mendadak dan tidak ada tanda-tanda awal yang memungkinkan
untuk memprediksi hasil yang parah. Fasilitas pelayanan dan perawatan pasien rawat
inap dan rawat jalan yang baik, manajemen penatalaksanaan yang optimal, dan
strategi penatalaksanaan yang digunakan untuk mempersingkat durasi fase kritis
menjadi faktor penting yang dapat meningkatkan atau memberikan prognosis terbaik
bagi pasien demam berdarah dengue [CITATION Lum09 \l 1057 ].

Anda mungkin juga menyukai