Anda di halaman 1dari 94

PREVALENSI CARRIER METHICILLIN-RESISTANT

STAPHYLOCOCCUS AUREUS (MRSA) PADA MAHASISWA


KEPANITERAAN KLINIK DI RUMAH SAKIT UMUM
PROVINSI BAHTERAMAS

Hasil Penelitian

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana (S1)


Pada Program Studi Pendidikan Dokter
Halaman Sampul

Oleh:

Sandhi Wirya Andrayuga


K1A116054

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Prevalensi Carrier Methicillin-Resistant Staphylococcus


aureus (MRSA) pada Mahasiswa Kepaniteraan Klinik di
Rumah Sakit Umum Provinsi Bahteramas

Nama : Sandhi Wirya Andrayuga

NIM : K1A116054

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

Telah disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Irawaty, Sp. PK., M.Kes Sufiah Asri Mulyawati, S. Si., M. Kes

Mengetahui,
Koordinator Program Studi Pendidikan Dokter FK UHO

dr. Arimaswati, M.Sc


NIP. 19821213 200912 2 003

ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Sandhi Wirya Andrayuga

NIM : K1A116054

Program Studi : Pendidikan Dokter

Judul : Prevalensi Carrier Methicillin-Resistant Staphylococcus


aureus (MRSA) pada Mahasiswa Kepaniteraan Klinik di
Rumah Sakit Umum Provinsi Bahteramas

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar – benar
merupakan hasil kaya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan skripsi ini hasil karya orang lain,
maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Demikian
pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya, agar dapat dimanfaatkan
sebagaimana mestinya.

Kendari, Juli 2020

Yang menyatakan,

iii
Sandhi Wirya Andrayuga

K1A1 16 054

iv
ABSTRAK

PREVALENSI CARRIER METHICILLIN-RESISTANT STAPHYLOCOCCUS


AUREUS (MRSA) PADA MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK DI RUMAH
SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS

Oleh :

Sandhi Wirya Andrayuga


K1A116054

Latar Belakang. Prevalensi Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) di


wilayah Asia seperti Jepang dan Singapura mencapai lebih dari 50% sedangkan di
wilayah Amerika, Australia, beberapa negara Eropa berkisar antara 25-50%. Skrinning
sejak dini potensi penyakit yang bisa berakibat patogen di rumah sakit akan sangat
bermanfaat mengingat adanya bahaya dari bakteri patogen yang dapat ditularkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi carier MRSA pada mahasiswa
kepaniteraan klinik di RSUP Bahteramas.

Metode. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif observasional. Penelitian


ini melakukan identifikasi kolonisasi bakteri Staphylococcus aureus dengan uji
pewarnaan Gram, uji katalase, dan kemampua fermentasi manitol, setelahnya dilakukan
uji sensitivitas bakteri terhadap antibiotik cefoxitin untuk mengetahui adanya bakteri
MRSA dan analisis untuk mengetahui prevalensi dari carier kolonisasi MRSA yang ada.
Penelitian ini menggunakan 29 sampel dari mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD
Bahteramas.

Hasil. Berdasarkan hasil uji Katalase dan pewarnaan Gram pada seluruh sampel
diperoleh 20 sampel positif memiliki kolonisasi S. aureus, lalu dilakukan uji sensitivitas
antibiotik cefoxitin dan diperoleh 2 sampel (10%) yang sensitif terhadap antibiotik dan 18
sampel (90%) yang resisten terhadap antibiotik atau merupakan Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA).

Kesimpulan. Ditemukan adanya kasus MRSA pada mahasiswa kepaniteraan klinik di


Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Bahteramas dengan persentase kejadian adalah
62%.

Kata Kunci. Antibiotik, kepaniteraan klinik, MRSA,

v
ABSTRACT

PREVALENCE OF METHICILLIN-RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS


(MRSA) CARRIER IN CLINIC PARTNERSHIP STUDENTS IN GENERAL
HOSPITAL OF THE BAHTERAMAS

By :

Sandhi Wirya Andrayuga


K1A116054

Background. The prevalence of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)


in the Asian region such as Japan and Singapore reaches more than 50% while in
America, Australia, some European countries range between 25-50%. Early screening for
potential diseases that can cause pathogens in hospitals will be very beneficial given the
dangers of pathogenic bacteria that can be transmitted. This study aims to determine the
prevalence of carier MRSA in clinical clerkship students at Bahteramas General Hospital.

Method. The research method used was descriptive observational. This study identified
the colonization of Staphylococcus aureus with Gram stainning, catalase test, and
mannitol fermentation ability bacteria and tested the sensitivity of bacteria to antibiotics
to determine the presence of MRSA bacteria, after that an analysis is carried out to
determine the prevalence of existing MRSA colonization carriers. This study used 29
samples from clinical clerkship students at Bahteramas Regional Hospital.

Result. Based on the results of the Catalase test, Gram staining, and mannitol
fermentation ability in all samples obtained 20 positive samples had S. aureus
colonization, then an cefoxitin antibiotic sensitivity test was obtained and 2 samples
(10%) were sensitive to cefoxitin antibiotics and 18 samples (90%) were resistant to
antibiotics or were Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).

Conclusion. There was a case of MRSA in clinical clerkship students at the Bahteramas
Provincial General Hospital with a percentage of incidence of 62%.

Keywords. Antibiotics, Clerical clinic, MRSA.

vi
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puja dan syukur kita haturkan atas kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa,

karena berkat asung kertha wara nugraha-Nya sehingga penyusunan skripsi yang

berjudul “Prevalensi Carrier Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus

(MRSA) pada Mahasiswa Kepaniteraan Klinik di Rumah Sakit Umum Provinsi

Bahteramas” ini dapat terselesaikan tepat pada waktu yang ditentukan.

Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan dan motivasi serta

bimbingan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih dengan bangga penulis

persembahkan kepada kedua Orang Tua tercinta Bapak Dr. Ir. I Made Guyasa,

M.P. dan ibu Prof. Dr. Ir. Gusti Ayu K. Sutariati, M.Si yang telah membesarkan,

menyayangi, mendukung, memotivasi, memfasilitasi, mengontrol, dan selalu

mendoakan penulis hingga dapat menyelesaikan studi. Terima kasih yang sebesar-

besarnya penulis ucapkan kepada dr. Irawaty, Sp. PK., M.Kes selaku dosen

pembimbing I dan Sufiah Asri Mulyawati, S. Si., M. Kes selaku dosen

pembimbing II yang telah memberi kesempatan dan petunjuk kepada penulis

sehingga proposal penelitian ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih juga

penulis tujukan kepada:

1. Rektor Universitas Halu Oleo

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

3. Ketua Jurusan Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

4. Koordinator Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas

Halu Oleo

vii
5. Ibu Rahmawati, S. Kep., M. Kes dan dr. Hilma Yuniar Tamrin, M. Kes., Sp.

PK selaku penguji ujian penulis.

6. Ibu Andi Noor Kholidha, S.Si., M. Biomed selaku penguji ujian, penasehat

akademik, dan kepala Laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Halu

Oleo

7. Kak Gayuh agastia selaku staf laboratorium yang memberikan banyak

bantuan, pengetahuan dan saran kepada penulis selama penelitian

8. Seluruh dosen pengajar dan staf Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

yang telah membimbing mahasiswa khususnya penulis dalam menuntut ilmu

9. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

angkatan 2016 L16AMENTUM. Terimakasih atas doa dan dukungannya

selama ini.

10. Kakak-kakak angkatan 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014, dan 2015 serta

adik-adik angkatan 2017, 2018, dan 2019

Dengan segala kekurangan yang ada penulis berharap skripsi ini dapat

memberikan manfaat bagi penulis maupun seluruh pembaca.

Kendari, Juli 2020


Penulis

Sandhi Wirya Andrayuga

viii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI................................................................iii
ABSTRAK..............................................................................................................iv
ABSTRACT.............................................................................................................v
KATA PENGANTAR............................................................................................vi
DAFTAR ISI........................................................................................................viii
DAFTAR TABEL....................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................5
C. Tujuan Penelitian..................................................................................5
D. Manfaat Penelitian................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................7
A. Tinjauan Umum Variabel.....................................................................7
B. Kerangka Teori...................................................................................26
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................27
A. Rancangan Penelitian..........................................................................27
B. Waktu dan Lokasi Penellitian.............................................................27
C. Populasi dan Sample Penelitian..........................................................28
D. Teknik Pengumpulan Data/Prosedur Penelitian..................................30
E. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif.........................................36
F. Analisis Data.......................................................................................37
G. Alur Penelitian....................................................................................38
H. Etika Penelitian...................................................................................38

ix
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................41
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian...................................................41
B. Hasil Penelitian...................................................................................42
C. Pembahasan.........................................................................................50
D. Keterbatasan Penelitian.......................................................................56
BAB V PENUTUP...............................................................................................57
A. Simpulan.............................................................................................57
B. Saran .............................................................................................................57

Daftar Pustaka........................................................................................................58
Lampiran ...............................................................................................................62

x
DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 1 Kriteria Penggunaan Disk Diffusion Cefoxitin 22


Tabel 2 Kriteria Penggunaan Disk Diffusion Cefoxitin 34
Tabel 3 Karakteristik Sampel 41
Tabel 4 Identifikasi Isolat Bakteri 44
Tabel 5 Faktor risiko MRSA 47

xi
DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Judul Gambar Halaman

Gambar 1 Staphylococcus aureus dilihat dari mikroskop 8


Gambar 2 Struktur S. Aureus 9
Gambar 3 Kerangka Teori 26
Gambar 4 Alur Penelitian 36
Gambar 5 RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara 39
Gambar 6 Laboratorium Mikrobiologi FK UHO 40
Gambar 7 Apusan streak pada media Nutrient Agar 42
Gambar 8 Beberapa hasil uji pewarnaan gram, uji katalase, 43
dan uji fermentasi manitol

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Judul Lampiran Halaman

Lampiran 1 Riwayat Hidup 57


Lampiran 2 Surat Persetujuan Etik 58
Lampiran 3 Surat Izin Penelitian Kedokteran UHO 59
Lampiran 4 Lembar Penjelasan Kepada Calon Responden 60
Lampiran 5 Lembar Pernyataan Kesediaan Menjadi 62
Responden
Lampiran 6 Lembar Pertanyaan Kondisi Responden 63
Lampiran 7 Data Responden 69
Lampiran 8 Dokumentasi Penelitian 72

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Staphylocccus adalah spesies bakteri yang berbentuk bulat atau bola,

tersusun bergerombol menyerupai buah anggur dan menghasilkan pigmen.

Staphylococcus merupakan bakteri patogen yang ditemukan pada kulit dan

dianggap sebagai flora normal, namun Staphylococcus dapat menyebabkan

infeksi pada luka dan biasanya berupa abses. Infeksinya dapat menular

selama ada nanah yang keluar dari lesi atau hidung. Infeksi yang lebih serius

dapat menyebabkan pneumonia, mastitis, flebitis, meningitis, dan infeksi

saluran urine bahkan hinggga infeksi kronis seperti osteomielitis dan

endokarditis (Aini, 2015).

Kemalaputri dkk (2017) mengatakan bahwa Staphylocccus aureus (S.

aurens) merupakan bakteri patogen bagi manusia dan hampir semua orang

pernah mengalami infeksi S. aureus dengan derajat keparahan yang beragam.

Staphylocccus aureus adalah salah satu bakteri Gram positif yang hidup pada

membran mukosa manusia. Bakteri tersebut dapat melakukan kolonisasi pada

kulit sehingga menyebabkan peningkatan risiko infeksi saat terjadi luka.

Risiko infeksi menjadi lebih tinggi karena bakteri tersebut memiliki faktor

virulensi yang beragam. Prasanti dan Winarto (2010) menyatakan S. aureus

merupakan salah satu mikroorganisme patogen penting yang menjadi

1
2

penyebab infeksi pada umumnya bagi komunitas dan rumah sakit. Pada

manusia kolonisasi S. aureus paling banyak ditemukan di nares anterior.

Karier S. aureus merupakan sumber potensial infeksi. Begitu pula

kolonisasinya sering menimbulkan infeksi. Carrier S. aureus menjadi faktor

risiko mayor bagi infeksi invasif dan penularan strain antar pasien.

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri

S. aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin.

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus mengalami resistensi karena

perubahan genetik yang disebabkan oleh paparan terapi antibiotik yang tidak

rasional. Transmisi bakteri berpindah dari satu pasien ke pasien lainnya

melalui alat medis yang tidak diperhatikan sterilitasnya. Transmisi dapat pula

melalui udara maupun fasilitas ruangan, misalnya selimut atau kain tempat

tidur (Erikawati dkk, 2016).

Diperkirakan saat ini terdapat sekitar 2-3% populasi populasi umum

yang memiliki MRSA dalam tubuh mereka (Meta et al, 2014). Menurut

World Health Organization (2017), MRSA merupakan patogen prioritas 2

(tinggi) untuk diteliti dan diperdalam guna membuat antibiotik baru (World

Health Organization, 2017). Orang dengan MRSA pada tubuh mereka

diperkirakan memiliki kemungkinan 64% lebih tinggi untuk mengalami

kematian (World Health Organization, 2018). Kebanyakan bakterimia

Staphylococcus aureus terjadi pada pasien yang sebelumnya telah

terkolonisasi bakteri di tubuhnya. Pada penelitian Marzec dan Bessesen,


3

(2016) ditemukan pasien dengan kolonisasi bakteri MRSA memiliki risiko

bakterimia 19,89 kali lipat lebih tinggi untuk terjadinya bakterimia

dibandingkan dengan pasien tanpa kolonisasi bakteri S. aureus. Kasus

bakterimia yang disebabkan oleh MRSA, 80% strain bakteri yang ditemukan

pada darah penderita adalah identik dengan bakteri yang sebelumnya

berkolonisasi di tubuh pasien.

Pengobatan akibat infeksi Staphylocccus aureus umumnya

menggunakan antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan ataupun

membunuh bakteri tersebut namun seiring berjalannya waktu muncul strain

bakteri yang resistan terhadap antibiotik yang mempersulit proses pengobatan

sehingga infeksi terus menyebar dan biaya pengobatan semakin meningkat.

Adanya infeksi oleh Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus

meningkatkan total jumlah infeksi “Healthcare-Associated Infections” (HAIs)

oleh mikroorganisme patogen (Prasanti dan Winarto, 2010).

Menurut Kemalaputri dkk, (2017) MRSA merupakan penyebab utama

infeksi “Healthcare-Associated Infections” (HAIs), yaitu infeksi yang

didapatkan di rumah sakit yang berupa infeksi pascaoperasi, infeksi saluran

pernapasan, infeksi saluran urin maupun infeksi peredaran darah. Infeksi

HAIs atau dikenal juga dengan infeksi dapatan rumah sakit kebanyakan

disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya kuman komensal pada

manusia yang sebelumnya tidak jarang menyebabkan infeksi pada orang

sehat. Infeksi MRSA menyebar ke seluruh dunia dengan jumlah yang terus
4

meningkat. Menurut Green (2012), prevalensi MRSA di wilayah Asia seperti

Jepang dan Singapura mencapai lebih dari 50% sedangkan di wilayah

Amerika, Australia, beberapa negara Eropa berkisar antara 25-50%.

Prevalensi di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia belum banyak

diketahui karena penelitian mengenai MRSA masih sedikit.

Menurut Zakai (2015) kelompok mahasiswa memungkinkan untuk

berkontribusi menularkan infeksi kepada pasien yang dirawat di rumah sakit.

Mahasiswa kedokteran harus menerima pengetahuan yang cukup mengenai

langkah-langkah pengendalian untuk menghindari penyebaran infeksi ini di

rumah sakit. Mahasiswa dianggap sebagai kelompok usia yang aktif, relatif

lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah dan membaur bersama orang

lain, maupun berkontak langsung dengan pasien. Hal tersebut menimbulkan

asumsi bahwa frekuensi kontak dengan orang lain maupun kontak dengan

suatu objek di lingkungan karier S. aureus maupun MRSA lebih tinggi

dibandingkan kelompok usia lain.

Mahasiswa kepaniteraan klinik akan sering berinteraksi dan berkontak

langsung dengan media maupun alat medis di rumah sakit baik itu dalam

tahap sebagai seorang ko-assisten (koas) maupun dokter, oleh karenanya

skrining sejak dini potensi penyakit yang bisa berakibat patogen di rumah

sakit akan sangat bermanfaat mengingat adanya bahaya dari bakteri patogen

terutama MRSA yang bisa ditularkan oleh kepaniteraan klinik maupun dokter
5

itu sendiri dapat dicegah sebelum mereka masuk rumah sakit maupun

dihentikan sumber penularan yang sudah terjadi.

Penelitian ini menjadi penting dilakukan untuk dapat mencegah

penularan bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus saat

mahasiswa kepaniteraan klinik terjun langsung ke lingkungan rumah sakit

dengan mengetahui prevalensi carrier MRSA yang ada pada mahasiswa

tersebut.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah berapa prevalensi carier

MRSA pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUP Bahteramas?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umumnya yaitu untuk mengetahui prevalensi carier

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada mahasiswa

kepaniteraan klinik di RSUP Bahteramas.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini yaitu untuk :

a. Mengetahui adanya carier kolonisasi bakteri Methicillin-Resistant

Staphylococcus aureus (MRSA) pada mahasiswa kepaniteran klinik

di RSUP Bahteramas.
6

b. Menganalisis prevalensi carier kolonisasi Methicillin-Resistant

Staphylococcus aureus (MRSA) pada mahasiswa kepaniteraan klinik

di RSUP Bahteramas.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk landasan ilmiah

prevalensi carier Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).

2. Manfaat Aplikatif

a. Bagi institusi

Penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam

pengembangan pra pencegahan penyakit yang disebabkan infeksi

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) di rumah

sakit.

b. Bagi masyarakat

Penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi

tambahan bagi masyarakat mengenai perkembangan infeksi

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) di rumah

sakit.

E. Manfaat Metodologis
7

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk

penelitian selanjutnya dalam menganalisis Methicillin-Resistant

Staphylococcus aureus (MRSA).


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Variabel

1. Tinjauan Umum Staphylococcus sp.

Staphylococcus sp. adalah bakteri Gram positif berbentuk kokus

yang merupakan flora normal utama pada kulit dan hidung manusia yang

dapat menyebabkan penyakit infeksi (Jawetz, 2005 dalam Oktaviani dan

Mas’ari, 2017). Bakteri Staphylococcus sp. ini termasuk organisme katalase

positif dan oksidase negatif, disamping kemampuan memproduksi

koagulase untuk menggumpalkan darah (Toelle dan Lenda, 2014).

Menurut Adam (2006) Staphylococcus sp dapat berbentuk bundar

atau lonjong, tidak bergerak, besarnya ±0,8 µm, dan bergerombolan seperti

buah anggur. Dalam identifikasinya bilamana ditanam dalam perbenihan,

terlihat koloni-koloni yang dari atas terlihat bundar dan dari sisi meninggi.

Koloni dapat berwarna putih (S. albus), kuning kehijau-hijauan (S. citreus)

dan kuning tua seperti emas (S. aureus). Dari berbagai klasifikasi

Staphylococcus, yang bersifat patogen adalah Staphylococcus golongan

aureus (S. aureus).

a) Staphylococcus aureus

Menurut Todar (1998), Nurwantoro (2001) dan Paryati (2002)

dalam Dewi (2003) Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan

bakteri Staphylococcus yang membentuk koloni berwarna abu-abu

sampai kuning emas tua karena S. aureus membentuk pigmen lipochrom

8
9

yang menyebabkan koloni tampak berwarna keemasan dan kuning jeruk.

Pigmen kuning tersebut membedakannya dari Staphylococcus

epidermidis yang menghasilkan pigmen putih. Staphylococcus aureus

tumbuh pada suhu 6,5-46 oC dan pada pH 4,2 -9,3 yang bersifat non-

motil, non spora, anaerob fakultatif, mengkoagulase plasma kelinci,

katalase positif dan oksidase negatif. Koloni S. aureus tumbuh dalam

waktu 24 jam dengan diameter mencapai 4 mm. Koloni pada perbenihan

padat berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Pigmen kuning

keemasan timbul pada pertumbuhan selama 18-24 jam pada suhu 37 oC,

tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 oC).

Pigmen tidak dihasilkan pada biakan anaerobik atau pada kaldu.

Gambar 1. Staphylococcus aureus dilihat dari mikroskop

Sebagai bakteri Gram positif, S. aureus memiliki dinding sel

tebal, yang terdiri atas 50% berat peptidoglikan, namun tidak memiliki

membran luar. Peptidoglikan terdiri dari sub unit bergantian asam N-

asetilglukosamin dan N-asetilmuramat, rantai peptida dihubungkan oleh


10

jembatan pentaglycine. Konstituen utama lebih lanjut dari dinding sel

adalah asam sitokin ribitol, terikat secara kovalen dengan peptidoglikan,

dan asam lipoteikloro, yang tertanam di membran.

Gambar 2. Struktur S. aureus

b) Klasifikasi Staphylococcus aureus

Menurut Rosenbach (1884) dalam Mahmudah dkk, (2013),

klasifikasi S. aureus antara lain:

Kingdom : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus

c) Patogenitas dan Cara Penyebaran Staphylococcus aureus

Menurut Adam (2006) patogenitas S. aureus dapat timbul dan

dapat hilang. Penyakit yang ditimbulkannya adalah radang di kulit atau di


11

bawah kulit dan menimbulkan bisul yang bernanah lubang berisi nanah

ini disebut abses. Kuman-kuman di dalam abses dapat menembus masuk

ke dalam darah dapat menimbulkan sepsis dan menimbulkan abses di

tempat lain. Toelle dan Lenda (2014) mengatakan faktor patogenitas S.

aureus berhubungan dengan ada atau tidak adanya produksi enzim

koagulase.

Menurut Jawetz dkk (2005) dalam Dewi (2013) Staphylococcus

mengandung polisakarida dan protein yang bersifat antigenik dan

merupakan substansi penting di dalam struktur dinding sel. Peptidoglikan

merupakan suatu polimer polisakarida yang mengandung subunit-subunit

yang tergabung, merupakan eksoskeleton yang kaku pada dinding sel.

Peptidoglikan dirusak oleh asam kuat atau lisozim. Hal tersebut penting

dalam patogenesis infeksi, yaitu merangsang pembentukan interleukin-1

(pirogen endogen) dan antibodi (pirogen endogen) dan antibodi opsonik,

juga dapat menjadi penarik kimia (kemotraktan) leukosit

polimorfonuklear, (kemotraktan) leukosit mempunyai aktifitas mirip

endotoksin dan mengaktifkan komplemen.

Bakteri memiliki mekanisme untuk mengurangi kerentanan

terhadap peptida antimikroba yang diproduksi di jaringan dan sel (seperti

neutrofil dan trombosit), S. aureus mengurangi muatan negatif

permukaannya dengan aksi protein Dlt dan MprF. Strategi lain untuk

menetralisir peptida kationik adalah sekresi staphylokinase dan


12

aureolysin, dengan karakteristik keduanya mengikat peptida antimikroba

yang berasal dari host (Karna dan Giovani, 2017)

Staphylococcus aureus banyak ditemukan pada lipatan kulit,

seperti di perineum dan aksilla, namun kolonisasi terbanyak ditemukan di

nares anterior. Bakteri ini juga dapat berkolonisasi di luka yang kronik,

contohnya pada eksem, varises, dan ulkus decubitus. Staphylococcus

aureus dapat menyebabkan infeksi pada luka dan biasanya berupa abses

yang merupakan kumpulan nanah atau cairan dalam jaringan yang

disebabkan oleh infeksi. Infeksinya dapat menular selama ada nanah

yang keluar dari lesi atau hidung. Infeksi yang lebih serius dapat

menyebabkan pneumonia, mastitis, flebitis, meningitis, dan infeksi

saluran urine bahkan hingga infeksi kronis seperti osteomielitis dan

endokarditis (Aini, 2015).

Penyebaran S. aureus terhadap pasien dapat terjadi melalui

transmisi udara dan alat medis. Menurut Sherris John C dalam Lutpiatina

(2017) S.aureus dapat muncul karena adanya kontaminasi dari luka

infeksi pada pasien, alat-alat kedokteran, dan dari udara pernafasan

(hidung dan mulut) serta kulit dan pakaian petugas. Seorang karier pada

dokter, perawat, atau pegawai rumah sakit lainnya dapat juga dapat

menjadi sumber penularan.

d) Epidemiologi

Secara historis, Staphylococcus aureus telah menjadi bakteri

patogen utama baik pada infeksi di rumah sakit (Hospital Acquired


13

Infections) maupun infeksi pada komunitas masyarakat (Community

Acquired Infections) (Eveilard dkk, 2005; Galkowska dkk, 2009; Wang

dkk,2009). Sebelum ketersediaan antibiotik, infeksi invasif yang

disebabkan oleh S.aureus sering berakibat fatal. Pengenalan penisilin

meningkatkan prognosis untuk pasien dengan infeksi Staphylococcus

berat, tapi setelah beberapa tahun digunakan secara klinis, resistensi

muncul karena produksi beta-laktamase.

Menurut laporan National Nosocomial Infections Surveilance

System-Centers for Disease Control and Prevention (NNISS-CDC) di

tahun 2004, diantara pasien dengan infeksi oleh karena Staphylococcus

aureus, infeksi dengan MRSA di Instensive Care Unit (ICU) USA

sebesar 59,5% dari seluruh kasus infeksi oleh karena bakteri (Maclayton

dkk, 2006).

Suatu penelitian tentang galur resisten MRSA menunjukkan

bahwa di wilayah Amerika Latin, MRSA resisten terhadap 6 golongan

antimikroba, sedangkan di Amerika Serikat dan Kanada resisten terhadap

3 golongan antimikroba. Resistensi tertinggi juga terjadi terhadap

eritromisin (95%) dan klindamisin (88%) di semua wilayah tersebut

secara umum vankomisin masih efektif (Yuwono,2010).

Di Asia, S.aureus yang resisten terhadap ciprofloksasin mencapai

37%. Sedangkan strain MRSA yang resisten terhadap isoxazoyl

penicillins seperti methicillin, oxacillin, flucloxacillin serta semua

antibiotik yang mengandung beta-laktam cukup tinggi persentasenya di


14

Asia, seperti Taiwan mencapai 60%, Cina 20%, Hong Kong 70%,

Filipina 5%, dan Singapura 60% (Mardiastuti dkk, 2007; Nathwani

dkk,2008).

e) Cara Mendeteksi Staphylococcus aureus

Identifikasi untuk membedakan S. aureus dengan Staphylococcus

lainnya didasarkan pada kriteria fenotipik, meliputi morfologi

pertumbuhan koloni, uji katalase, koagulase serta adanya fermentasi

mannitol pada Mannitol Salt Agar. Identifikasi S. aureus dengan uji

koagulase dilakukan dengan plasma darah kelinci (Bruckler dkk, 1994)

dan dilanjutkan penanaman koloni pada Mannitol Salt Agar (MSA). Uji

MSA dilakukan dengan cara mengambil koloni menggunakan ose dan

dikultur pada media MSA, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama

18-24 jam. Hasil pertumbuhan koloni S. aureus ditandai dengan

perubahan warna dari merah menjadi kuning.

S. aureus pada media Mannitol Salt Agar (MSA) akan terlihat

sebagai pertumbuhan koloni berwarna kuning dikelilingi zona kuning

keemasan karena kemampuan memfermentasi mannitol. Jika bakteri

tidak mampu memfermentasi mannitol, maka akan tampak zona (Dewi,

2013).

2. Antibiotik Beta-Laktam

a) Definisi

Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh

mikroorganisme khususnya dihasilkan oleh fungi atau dihasilkan secara


15

sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri

dan organisme lain (Utami, 2011).

b) Mekanisme Kerja Antibiotik Beta-Laktam

Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai golongan obat yang

mempunyai struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin,

monobaktam, karbapenem, dan inhibitor beta-laktamase. Obat-obat

antibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar

efektif terhadap organisme Gram -positif dan negatif. Antibiotik beta-

laktam mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat

langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang

memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri (Kemenkes,

2011).

1) Penisilin

Golongan penisilin mempunyai persamaan sifat kimiawi,

mekanisme kerja, farmakologi, dan karakterisktik imunologis dengan

sefalosforin, monobaktam, karbapenem, dan penghambat beta-

laktamase. Semua obat tersebut merupakan senyawa beta laktam yang

dinamakan demikian karena mempunyai cincin laktam beranggota

empat yang unik (Katzung, 2012).

Penisilin mempunyai mekanisme kerja dengan cara

mempengaruhi langkah akhir sintesis dinding sel bakteri

(transpepetidase atau ikatan silang), sehingga membran kurang stabil


16

secara osmotik. Lisis sel dapat terjadi, sehingga penisilin disebut

bakterisida (Mycek et al., 2001).

2) Sefalosporin

Sefalosporin dan analog 7-metoksinya, sefamisin seperti

cefoxitin, cefotetan, dan cefmetazole adalah antibiotik beta-laktam yang

berkaitan erat dengan penislin secara struktur dan fungsional.

Sefalosporin dan sefamisin mempunyai mekanisme kerja sama dengan

penislin dan dipengarungi oleh mekanisme resistensi yang sama, tetapi

obat-obat tersebut lebih cenderung menjadi lebih resisten dibandingkan

penislin terhadap beta-laktam (Mycek et al, 2001).

3) Monobaktam (beta-laktam monosiklik)

Aktivitas resisten terhadap beta-laktamase yang dibawa oleh

bakteri Gram-negatif aktif terutama terhadap bakteri Gram-negatif.

Aktivitasnya sangat baik terhadap Enterobacteriacease, P. aeruginosa,

H. influenzae dan gonokokus. Sebagian besar obat diekskresi utuh

melalui urin (Kemenkes, 2011).

4) Karbapenem

Karbapenem merupakan antibiotik lini ketiga yang mempunyai

aktivitas antibiotik yang lebih luas daripada sebagian besar beta-laktam

lainnya. Spektrum dengan aktivitas menghambat sebagian besar Gram-

positif, Gram negatif, dan anaerob (Kemenkes, 2011). Obat ini

menunjukkan peranan dalam terapi empirik karena obat ini aktif

terhadap organisme Gram positif penghasil penisilinase dan organisme


17

Gram negatif, anaerob dan Pseudomonas aeruginosa, meskipun strain

pseudomunas lainnya resisten (Mycek et al, 2001).

5) Inhibitor beta-laktamase

Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik beta-laktam

dengan cara menginaktivasi beta-laktamase. Golongan antibiotik ini

adalah asam klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam. Asam klavulanat

merupakan suicide inhibitor yang mengikat beta-laktamase dari bakteri

Gram-positif dan Gram-negatif secara ireversibel. Obat ini dikombinasi

dengan amoksisilin untuk pemberian oral dan dengan tikarsilin untuk

pemberian parenteral. Tazobaktam dikombinasi dengan piperasilin

untuk penggunaan parenteral. Waktu paruhnya memanjang dengan

kombinasi dan ekskresinya melalui ginjal (Kemenkes, 2011)

c) Antibiotik Cefoxitin

Cefoxitin merupakan antibiotik golongan cefalosporin generasi

kedua. Cefoxitin adalah senyawa yang berhasil meningkatkan kemampuan

obat cephamycin yang awalnya hanya mencakup bakteri Gram negatif,

kini bisa mencakup bakteri Gram positif dan tahan terhadap kerusakan

oleh beta-laktamase. Cefoxitin dinobatkan sebagai antibiotik semi-sintetis

karena kandungannya yang disintetis secara artifisial. Modifikasi ini

memperluas spektrumnya sehingga memungkinkan cefoxitin efektif dalam

melawan infeksi akibat bakteri Gram positif. Cefoxitin membunuh bakteri

dengan menghambat pembentukan mukopeptida dari dinding sel bakteri

dan aktif melawan sejumlah besar aerobik (mereka yang membutuhkan


18

oksigen) dan anaerobik (mereka yang dapat tumbuh tanpa oksigen)

bakteri. Cefoxitin tidak aktif melawan Pseudomonas dan Enterococci,

yang merupakan penyebab infeksi serius di rumah sakit. Beberapa bakteri

terkenal yang Cefoxitin aktif melawan Staphylococcus aureus,

Streptococcus pneumoniae, E-coli, Neisseria gonorrhea, Neisseria

meningitidis (meningococcus), keracunan makanan Salmonella dan

Shigella, serta Propionibacterium acnes yang bertanggung jawab untuk

kondisi kulit jerawat vulgaris (Honestdocs, 2019).

3. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah salah satu

strain S. aureus yang resistan antibiotik. Strain tersebut resisten terhadap

antibiotik methicillin dan antibiotik golongan β-laktam. Methicillin-resistant

Staphylococcus aureus, yang tahan terhadap semua antibiotik β-laktam,

teridentifikasi setelah methicillin diperkenalkan ke dalam praktek klinis (Lowy,

2003; Hardy dkk, 2004; Palavecino, 2014). MRSA termasuk ke dalam

Emerging Infection Pathogen sebagai infeksi “Healthcare-Associated

Infections” (HAIs) yang berada di peringkat keempat setelah Escherichia coli,

Pseudomonas aeruginosa, dan Enterococcus (Budiman, 2019).

Menurut Erikawati dkk, (2016) Methicillin-resistant Staphylococcus

aureus mengalami resistensi karena perubahan genetik yang disebabkan oleh

paparan terapi antibiotik yang tidak rasional. Deurenberg & Stobberingh

(2008) dalam Kemalaputri dkk, (2017) resistensi terjadi akibat ekspresi jenis

Penicillin Binding Protein 2a (PBP2a) yang memiliki afinitas rendah terhadap


19

antibiotik golongan β-laktam. Afinitas yang rendah menyebabkan PBP2a tidak

berikatan dengan antibiotik golongan β-laktam sehingga biosintesis

peptidoglikan tetap berjalan. Ekspresi protein PBP2a terjadi karena adanya

elemen genetik Staphylococcal Cassete Chromosome mec (SCCmec) yang

membawa gen mecA sebagai pengkode PBP2a.

Infeksi oleh MRSA bisa menimbulkan masalah-masalah serius. Infeksi

MRSA dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, memperlama masa

rawat pasien di rumah sakit dan biaya perawatan akan menjadi lebih mahal.

Risiko kematian pada bakterimia yang disebabkan oleh MRSA bernilai dua

kali lebih besar daripada bakterimia oleh Methicillin Sensitive Staphylococcus

aureus (MSSA) (Sari, 2016).

Prevalensi MRSA pada berbagai rumah sakit di dunia berkisar antara 2-

70% dengan angka rata-rata 20%. Oleh karena penyebaran MRSA terjadi antar

rumah sakit dan menimbulkan masalah infeksi di rumah sakit maka MRSA

sering juga disebut Hospital Associated MRSA (HA-MRSA). Data

menunjukkan bahwa sekitar 25% isolatS.aureus penyebab infeksi di rumah

sakit di Amerika Serikat adalah MRSA (Yuwono, 2010). Di Amerika Serikat,

prevalensi MRSA dari tahun 1996 sampai 2000 meningkat pada pasien rawat

inap dari 30.1% menjadi 45.7% dan pada pasien rawat jalan sebesar 17.3%

menjadi 28.6% (Liana, 2014). Prevalensi di bawah 5% dijumpai di Belanda

dan beberapa Negara Skandinavia, karena ketatnya penggunaan antimikroba

dan keberhasilan program pengendalian infeksi MRSA (Yuwono, 2010).


20

Prevalensi MRSA tahun 2016 di jalur Gaza, Palestina mencapai 22.8%,

di Pakistan prevalensi MRSA meningkat dari 23% pada tahun 1999 menjadi

38.5% pada tahun 2001 dan meningkat lagi menjadi 43% pada tahun 2005

(Liana, 2014).

a) Faktor Risiko MRSA

Menurut Erikawati dkk, (2016) faktor risiko terhadap kejadian

karier MRSA adalah penggunaan antibiotik yang tidak tepat indikasi,

dosis, durasi pemakaian maupun meningkatnya kejadian infeksi HAIs

pada lingkungan tersebut. Faktor lain yang menjadi faktor risiko kejadian

terjadinya infeksi MRSA adalah adanya perawatan yang lama dirumah

sakit, adanya riwayat pembedahan, pemasangan alat invasif ke dalam

tubuh seperti kateter dan infus, tindakan dialysis, riwayat penggunaan

antibiotik, dan keadaan immunocompromised.

Mahmudah dkk (2013) mengatakan kurangnya penggunaan sarung

tangan dan masker sesuai standar prosedur rumah sakit, kurangnya

penyediaan antiseptik, maupun kurangnya kebiasaan cuci tangan dapat

menjadi faktor risiko terjadinya infeksi MRSA. Keseringan terjadinya

kontak langsung dengan lingkungan yang terkontaminasi dan kurangnya

perhatian terhadap kebersihan masing-masing individu maupun

lingkungan dapat menjadi faktor risiko utama infeksi MRSA.

Setiap tahun, ratusan juta pasien di seluruh dunia dipengaruhi

oleh infeksi terkait perawatan kesehatan. Lebih dari setengah dari infeksi

dapat dicegah dengan membersihkan tangan saat melakukan perawatan


21

pasien. Infeksi yang terjadi akibat perawatan kesehatan ini biasanya

terjadi ketika kuman yang ditransfer oleh tangan penyedia layanan

kesehatan menyentuh pasien. Dari 100 pasien rawat inap, setidaknya 7 di

Negara maju dan 10 di Negara-negara berkembang akan memperoleh

infeksi terkait perawatan kesehatan. Diantara pasien sakit kritis dan

rentan di unit perawatan intensif, angka itu meningkat menjadi sekitar

30/100 (WHO, 2013).

Prosedur perawatan pasien memungkinkan terkolonisasinya kuman

di tangan petugas kesehatan, sehingga timbul indikasi cuci tangan.

Kebiasaan pelaksanaan prosedur cuci tangan sesudah kontak, karena

banyaknya petugas kesehatan yang kurang menyadari pentingnya cuci

tangan sebelum memulai pekerjaannya. Padahal, jika melakukan praktek

cuci tangan, pasien mungkin terlindungi dari organisme pathogen yang

dibawa petugas kesehatan. Kebersihan tangan merupakan salah satu

tindakan penting dalam tata laksana pasien kritis yang dirawat di unit

perawatan intensif (intensive care unit / ICU). Pasien kritis yang dirawat di

ICU umumnya rentan terhadap infeksi nasokomial akibat daya tahan tubuh

rendah dan pemasangan kateter invasive multiple. Salah satu tolok ukur

keberhasilan pencegahan dan pengendalian infeksi di ICU adalah ada

tidaknya transmisi oleh kuman Methicillin-resistant Staphylococcus

aureus (MRSA) dengan melakukan salah satu tindakan yaitu kebersihan

tangan (Rundiyati, 2015).


22

b) Cara Penyebaran MRSA

Menurut Erikawati dkk, (2016) ada lima keadaan yang dapat

meningkatkan risiko transmisi bakteri MRSA. Lima keadaan tersebut

antara lain kepadatan populasi manusia, kontak kulit ke kulit yang

intens/sering, integritas kulit yang terganggu, adanya permukaan benda

atau lingkungan yang terkontaminasi bakteri MRSA, dan kurangnya

kebersihan.

Bakteri MRSA dapat menyebar dengan cara yang sama dengan

penyebaran bakteri S. aureus yang masih sensitif. Menurut Royal College

of Nursing (2005) dalam Budiman (2019) bakteri ini dapat menyebar

dengan cara sebagai berikut :

1) Penyebaran endogen

Penyebaran endogen dapat terjadi jika orang dengan bakteri

Staphylococcus, menyebarkan bakteri dari satu bagian tubuh mereka

ke bagian tubuh yang lain. Ajarkan pasien untuk mencuci tangan dan

jangan menyentuh luka, kulit yang rusak, atau alat-alat yang invasif.

Cara ini dapat meminimalisir penyebaran secara endogenous.

2) Penyebaran eksogen

Penyebaran ini terjadi dari satu individu ke individu lain

melalui kontak kulit langsung atau melalui lingkungan atau peralatan

yang terkontaminasi. Kulit yang bersisik bisa saja mengontaminasi

lingkungan jika mereka terlepas dan mengontaminasi lingkungan

sekitarnya.
23

c) Cara Mendeteksi MRSA

Identifikasi MRSA sama dengan mengidentifikasi S. aureus

dengan uji katalase, pewarnaan Gram, penanaman koloni pada Mannitol

Salt Agar (MSA), kemudian dilanjutkan pengujian kepekaan terhadap

antibiotik. Pengujian kepekaan terhadap antibiotik dilakukan setelah

proses identifikasi koloni bakteri Staphylococcus aureus selesai.

Penentuan MRSA dapat dilakukan dengan melihat hasil resisten terhadap

antibiotik cefoxitin dan oxacilin.

Hasil cefoxitin lebih mudah untuk ditafsirkan dan lebih mudah

dibaca (Felten, A., 2002; Mimica, 2007 Pottumarthy, S., T. R. Fritsche,

dan R. N. Jones, 2005 dalam Mustikawati dkk, 2015). Menurut Dwiyanti

dkk, (2015) MRSA ditentukan dengan penggunaan cefoxitin karena lebih

akurat dibandingkan oxacillin. Mustikawati dkk (2015) menyatakan bahwa

sensitivitas dan spesifisitas cefoxitin lebih tinggi dibandingkan dengan

oxacilin. Hasil tabulasi dari cakram oxacilin sering menghasilkan zona

yang kabur sehingga disalah tafsirkan sebagai bukti sensitivitas oxacilin

(Pottumarthy, S., T. R. Fritsche, dan R. N. Jones, 2005 dalam Mustikawati

dkk, 2015). Clinical Laboartory Standard Internasional (CLSI)

merekomendasikan penggunaan cefoxitin dengan metode difusi

cawan/Kirby bauer untuk menentukan MRSA (Yuwono, 2012 dalam

Dwiyanti dkk, 2015).

Pengujian menggunakan metode disc diffusion (Kirby Bauer

method) dengan kertas-kertas cakram berdiameter 6 mm yang telah berisi


24

antibiotik cefoxitin dalam konsentrasi tertentu untuk melihat terjadinya

hambatan pertumbuhan bakteri S. aureus pada media Agar Mueller Hinton

setelah waktu inkubasi selesai (Erikawati dkk, 2016).

Hambatan pertumbuhan bakteri di atas Agar Mueller Hinton yang

diamati selanjutnya diukur diameter hambatan pertumbuhan bakterinya

untuk setiap jenis konsentrasi cakram antibiotika. Hasil pengukuran

diameter hambatan pertumbuhan bakteri tersebut kemudian disesuaikan

dengan pengukuran kepekaan antibiotik yang dibuat oleh Clinical and

Laboratory Standards Institute (CLSI) 2018 yang dapat dilihat pada tabel

1, sehingga dapat ditentukan apakah bakteri yang diujikan masih sensitif

atau sudah resisten terhadap suatu antibiotik. Bakteri S.aureus strain

MRSA teridentifikasi apabila didapatkan hasil resisten terhadap antibiotik

cefoxitin (didapatkan hambatan pertumbuhan bakteri S. aureus

berdiameter ≤ 21mm). (Erikawati dkk, 2016).

Tabel 1. Kriteria Penggunaan Disk Diffusion Cefoxitin

Patogen Susceptible Resistant


Staphylococcus aureus ≥ 22 mm ≤ 21 mm
Sumber : Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) 2018

3. Mahasiswa Kepaniteraan Klinik di RSUP Bahteramas

Pendidikan Dokter adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk

menghasilkan dokter yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan

pelayanan kesehatan primer dan merupakan pendidikan kedokteran dasar

sebagai pendidikan universitas. Pendidikan kedokteran dasar terdiri dari 2


25

tahap, yaitu tahap sarjana kedokteran dan tahap profesi dokter (Konsil

Kedokteran Indonesia, 2012)

Setelah dalam bentuk pendidikan formal dan latihan selama proses

pendidikan di Fakultas Kedokteran, mahasiswa yang selanjutnya berada pada

fase klinik dianjurkan bahkan diwajibkan untuk mengaplikasikannya di Rumah

Sakit. Pertemuan dengan pasien dapat membantu mahasiswa fase klinik untuk

membangun pengalaman dalam penguasaan ilmu dan keterampilan klinik

untuk membuat diagnosis, meningkatkan keterampilan komunikasi sehingga

memulai hubungan dokter-pasien yang baik (Sayed-Hasan dkk, 2012).

Mahasiswa kepaniteraan klinik dianggap sebagai kelompok usia yang

aktif, relatif lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah dan membaur

bersama orang lain, terlebih lagi mahasiswa kepaniteraan klinik yang sering

melakukan praktikum dan berkontak langsung dengan pasien. Hal tersebut

menimbulkan asumsi bahwa frekuensi kontak dengan orang lain maupun

kontak dengan suatu objek di lingkungan karier S. aureus maupun MRSA lebih

tinggi dibandingkan kelompok usia lain (Prasanti, 2010).

Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Bahteramas merupakan rumah

sakit pusat rujukan di wilayah Sulawesi Tenggara. Status RSUD Bahteramas

saat ini adalah Rumah Sakit dengan Akreditasi Paripurna (Bintang 5) oleh

Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) dan juga sebagai Rumah Sakit

Pendidikan Kelas B dan berfungsi sebagai Rumah Sakit Pendidikan bagi

dokter, dan tenaga kesehatan lainnya. Sejak tanggal 21 November 2012 RSU

Prov Sultra pindah lokasi dari di Jalan Dr. Ratulangi  No. 151 Kelurahan
26

Kemaraya Kecamatan Mandonga ke Jalan Kapt. Pierre Tendean No. 50

Baruga, dan bernama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bahteramas Prov.

Sultra (RSUD Bahteramas).

Mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUP Bahteramas merupakan

mahasiswa kedokteran yang telah melalui tahap pendidikan formal dan latihan,

namun dalam proses kepaniteraan klinik tentu ada kemungkinan ditemukannya

kolonisasi S. aureus bahkan MRSA pada mahasiswa kepaniteraan klinik

tersebut. Mahasiswa yang terkolonisasi MRSA dalam jangka panjang dapat

menjadi sumber penularan, carrier (pembawa) yang membawa organisme di

kulit dan hidung lalu menularkan bagi banyak orang. Sebagian besar orang

menjadi carrier MRSA bersifat asimptomatik dan tidak pernah

memperlihatkan gejala klinis, terutama apabila mereka sehat. (Gould &

Christine, 2003 dalam Dwiyanti dkk, 2015).


27

B. Kerangka Teori
Koloni berwarna Staphylococcus sp
keemasan Healthcare Associated
Infections (HAIs)
Berbentuk coccus
Staphylococcus aureus
Bergerombol Suhu 6,5 – 46oC

Diameter 0,7 – 1 µm
pH 4,2 – 9,3

Paparan antibiotik yang tidak rasional

Penurunan afinitas Penicillin


Binding Protein (PBP2a) terhadap
antibiotik golongan β-laktam.

PBP2a tidak berikatan dengan


antibiotik golongan β-laktam

Biosintesis peptidoglikan tetap berjalan

MRSA

Mahasiswa FK UHO
(Carrier MRSA)

Keterangan:

: Spesies
: Menyebabkan
: Karakteristik
: Faktor Penyebab
: Menginfeksi
Gambar 3. Kerangka Teori
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif observasional.

Penelitian ini melakukan identifikasi kolonisasi bakteri Staphylococcus

aureus yang diambil dari swab kulit lipatan lengan mahasiswa kepaniteraan

klinik di RSUD Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara. Kolonisasi

Staphylococcus aureus yang telah diketahui dengan uji pewarnaan Gram, uji

katalase, dan uji kemampuan fermentasi manitol, maka dilakukan uji

sensitivitas bakteri terhadap antibiotik untuk mengetahui adanya bakteri

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Setelah itu dilakukan

analisis untuk mengetahui prevalensi dari carier kolonisasi Methicillin-

resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang ada pada mahasiswa

kepaniteraan klinik di RSUP Bahteramas.

B. Waktu dan Lokasi Penellitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan sejak bulan Juni hingga Juli 2020.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Bahteramas Provinsi Sulawesi

Tenggara dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas

Halu Oleo.

28
29
30

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa kepaniteraan klinik

di RSUP Bahteramas secara keseluruhan sebanyak 152 orang.

2. Sampel Penelitian

Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah simple random

sampling, yaitu penentuan sampel dengan secara acak tanpa melihat

tingkatan yang ada dalam populasi tersebut. Sampel pada penelitian ini

adalah mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUP Bahteramas karena

kemungkinan kepaniteraan klinik terpapar dilingkungan carier S. aureus

maupun MRSA lebih tinggi. Pemilihan RSUP Bahteramas sebagai objek

karena RSUP Bahteramas merupakan salah satu rumah sakit pendidikan

sehingga memungkinkan untuk dilakukannya penelitian ini di rumah sakit

tersebut.

Jumlah populasi yang besar tidak memungkinkan untuk peneliti

mempelajari seluruh populasi yang ada. Hal ini dikarenakan adanya

keterbatasan tenaga, biaya, dan waktu. Terlebih kondisi pada saat

dilakukannya penelitian ini Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19

yang membatasi ruang gerak masyarakat, sehingga peneliti memutuskan

menentukan jumlah sampel. Putra (2015) mengatakan berdasarkan tujuan

penelitian maka dapat dinilai apa yang ingin dicapai atau bentuk estimasi

apa yang akan dilaksanakan, jika bentuk estimasi yang ingin dicapai
31

adalah prevalensi (proporsi) maka rumus yang digunakan adalah estimasi

proporsi sebagai berikut:

Zα 2 × p (1−p ) N
n=
d 2 ( N−1 ) + Zα 2 × p(1− p)

Keterangan:

n : jumlah sampel
Zα : nilai derajat kepercayaan (ditetapkan 90% atau 1,64)
p : proporsi hal yang diteliti (berdasarkan pustaka)
d : presisi atau tingkat kesalahan (ditetapkan 13%)
N : jumlah populasi

Proporsi diperoleh berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

Champion dkk (2014) yaitu angka kejadian MRSA terhadap mahasiwa

yaitu sebesar 0,35 (78 dari 223 sampel memiliki MRSA). Jumlah sampel

dihitung menggunakan rumus dan keterangan diatas, maka diperoleh:

(1,64)2 ×0,35 ( 1−0,35 ) 152


n= 2
13 ( 152−1 ) +(1,64)2 × 0,35(1−0,35)

2,6896 × 34,58
n=
0,0169 ( 151 ) +0,6119

93,01
n=
2,5519+ 0,6119

93,01
n=
3,1638

n=29,4

Berdasarkan perhitungan rumus diatas maka jumlah sampel yang

diperlukan adalah 30 sampel.


32

3. Kriteria Sampel

a) Kriteria Inklusi

Adapun kriteria inklusi sampel yang digunakan adalah :

1) Mahasiswa yang mengikuti kepaniteraan klinik.

2) Sehat jasmani yang diketahui melalui pemeriksaan fisis

(pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu badan).

3) Bersedia untuk dijadikan sampel dalam penelitian.

b) Kriteria Eksklusi

1) Mengalami cedera atau iritasi bagian dalam kulit lipatan lengan

yang mempersulit dilakukannya pengambilan swab.

D. Teknik Pengumpulan Data/Prosedur Penelitian

1. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah swab lidi kapas,

tabung reaksi, lampu spiritus, cawan petri, kaca objek, ose, gelas

Erlenmeyer, termometer, neraca analitik, gelas ukur pirex, pipet mikro,

autoklaf, timer, inkubator, dan shaker inkubator.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media

Nutrient Agar (NA), Brain Hearth Infusion Broth (BHIB), infuse NaCl

0,9%, Manitol Salt Agar (MSA), Agar Mueller Hinton, larutan Kristal

violet, larutan iodine, alkohol 95%, carbol fuchsin, Disk Diffusion

Cefoxitin, isolat bakteri yang diambil dari swab kulit dalam lipatan
33

lengan (mahasiswa kepaniteraan klinik RSUD Bahteramas), H2O2 3%,

dan Aquades.

2. Cara Kerja

Adapun tahapan cara kerja yang akan dilakukan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

a. Pembuatan Nutrient Agar

Sebanyak 6 gram NA dilarutkan ke dalam 300 ml aquades,

kemudian dipanaskan hingga larut. Bahan yang telah homogen

kemudian dibagi ke dalam tabung reaksi sebanyak 10 ml dengan

tujuan untuk perbanyakan bakteri, lalu disterilisasi menggunakan

autoklaf pada suhu 121°C dan tekanan sebesar 1 atm selama 15

menit.

b. Pengambilan Spesimen

Isolat diambil dari bagian dalam kulit lipatan lengan

mahasiswa kepaniteraan klinik dengan menggunakan swab lidi kapas

steril yang sebelumnya telah dibasahi dengan NaCl 0,9%. Sebelum

isolat diambil, bersihkan terlebih dahulu lokasi pengambilan isolat

menggunakan kapas alkohol. Isolat diambil dari bagian dalam kulit

lipatan lengan dengan cara mengusapkan lidi kapas steril tersebut ke

bagian dalam kulit lipatan lengan secara satu arah. Selama

melakukan swab, lidi kapas steril perlu diputar secara perlahan


34

dengan pola satu arah agar terkumpul sebanyak mungkin bakteri

yang tersebar merata di ujung kapas. Setelah prosedur swab selesai,

masukkan lidi kapas steril ke dalam media transpor BHIB dan

kemudian di bawa ke laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran

Universitas Halu Oleo dengan menggunakan cool box.

c. Isolasi Spesimen S. aureus

Isolat yang sebelumnya telah diambil dari mahasiswa

kepaniteraan klinik kemudian ditanam pada media Nutrient Agar,

lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.

d. Pewarnaan Gram

Pertama siapkan kaca objek dengan cara dibersihkan dan

dilewatkan di atas api, setelah itu diberi label pada pinggir kaca

objek, lalu tetesi bagian tengah kaca objek menggunakan NaCl

0,9%. Koloni bakteri yang sebelumnya sudah tumbuh pada Nutrient

Agar kemudian diambil dengan menggunakan ose bulat. Prosedur ini

harus dilakukan di dekat lampu spiritus. Koloni yang sudah ada pada

ose bulat selanjutnya diapuskan pada NaCl 0,9% tadi hingga bakteri

pada ose tercampur rata dengan NaCl 0.9%. Panaskan kembali ose

yang sudah selesai dipakai. Kaca objek yang sudah terdapat apusan

selanjutnya difiksasi dengan cara dilewatkan di atas api sebanyak

tiga kali secara perlahan.


35

Prosedur pewarnaan Gram dimulai dengan meletakkan kaca

objek pada rak pewarnaan dan kemudian genangi seluruh permukaan

koloni yang sudah terfiksasi dengan kristal violet. Biarkan selama 60

detik, kemudian bilas kaca objek dengan air mengalir selama 5 detik.

Apusan pada kaca objek digenangi dengan larutan iodine dan

dibiarkan selama 60 detik, lalu dibilas kembali menggunakan air

mengalir selama 5 detik. Langkah berikutnya dilakukan penambahan

alkohol 95% selama 15-30 detik dengan cara diteteskan sedikit demi

sedikit. Langkah terakhir meliputi penambahan carbol fuchsin pada

apusan dengan cara digenangi, biarkan selama 1 menit dan kemudian

apusan dibilas dengan air mengalir selama 5 detik. Setelah prosedur

selesai, kaca objek dikeringkan secara perlahan dan kemudian dapat

dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 40-100 menggunakan

minyak emersi.

e. Pembuatan Manitol Salt Agar (MSA)

Sebanyak 33,3 gram bubuk Manitol Salt Agar (MSA) instant

dilarutkan dalam 300 ml aquades, kemudian dipanaskan sampai

campuran terlarut sempurna. Manitol Salt Agar selanjutnya

disterilisasi menggunakan autoklaf pada tekanan 1 atm dan suhu

121oC selama kurang lebih 15 menit dan didinginkan sampai terasa

hangat, kemudian dituangkan ke dalam cawan petri steril. Media lalu

dibiarkan menjadi padat (membeku).

f. Uji Katalase
36

Pada uji katalase, gelas obyek dibersihkan dengan alkohol

70%, kemudian tetesi H2O2 3% sebanyak 1 tetes di atas gelas obyek

tersebut. Koloni pada media tumbuh diambil dengan ose steril dan

dihomogenkan ke larutan H2O2 3% di atas gelas obyek dan diamati

timbulnya gelembung gas. Uji katalase dikatakan positif apabila

terdapat gelembung udara pada kaca objek setelah bakteri dan H 2O2

dihomogenkan (Toelle dan Lenda, 2014).

h. Uji Kepekaan Terhadap Antibiotik

Pengujian kepekaan terhadap antibiotik menggunakan

metode disc diffusion (Kirby Bauer method) dan pedoman menurut

tabel yang dibuat oleh Clinical and Laboratory Standards Institute

(CLSI) 2018. Pada metode disc diffusion digunakan kertas-kertas

cakram berdiameter 6 mm yang telah berisi antibiotika dalam

konsentrasi tertentu. Penelitian ini menggunakan disc yang telah

berisi antibiotik cefoxitin.

Prosedur ini dimulai dengan beberapa koloni bakteri S.

aureus yang terpisah dan murni diambil dengan ose steril kemudian

dilarutkan dalam 2 ml larutan NaCl 0,9% sampai mencapai

konsentrasi 0.5 Mc Farland atau setara dengan kepadatan sel bakteri

sebesar 1,5x108 bacteria/ml. Larutan NaCl 0,9% yang sudah berisi

bakteri tersebut kemudian divortex agar homogen. Lidi kapas steril

dimasukkan ke dalam tabung larutan NaCl 0,9% tersebut untuk

mengambil inokulum bakteri dan diinkubasi dalam suhu 37°C


37

selama 30 menit. Larutan NaCl 0,9% fisiologis yang telah diinkubasi

selanjutnya dikeluarkan dari inkubator, lidi kapas ditekan pelan ke

permukaan bagian dalam dinding tabung yang berisi larutan NaCl

tersebut, dipastikan tidak ada kelebihan cairan, kemudian lidi kapas

ditarik keluar dari tabung (Erikawati dkk, 2016).

Lidi kapas digoreskan di atas Agar Mueller Hinton untuk

membuat streaking pada permukaan Agar tersebut. Pembuatan

streaking ini bertujuan untuk menumbuhkan koloni bakteri S. aureus

pada seluruh permukaan Agar. Agar Mueller Hinton dibiarkan

mengering selama 2 menit, kemudian kertas cakram antibiotik

cefoxitin diletakkan di atas Agar Mueller Hinton tepat bagian tengah

cawan petri. Agar Mueller Hinton diinkubasikan dalam inkubator

pada suhu 37°C selama 24 jam setelah semua kertas cakram

antibiotik terpasang (Erikawati dkk, 2016).

Hambatan pertumbuhan bakteri di atas Agar Mueller Hinton

selanjutnya diamati di sekitar cakram antibiotik setelah waktu

inkubasi selesai. Selanjutnya dilakukan pengukuran diameter

hambatan pertumbuhan bakteri pada setiap cawan petri. Hasil

pengukuran diameter zona hambat bakteri tersebut kemudian

disesuaikan dengan pengukuran kepekaan antibiotik yang dibuat

oleh Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) 2018.

Tabel 2. Kriteria Penggunaan Disk Diffusion Cefoxitin

Patogen Susceptible Resistant


38

Staphylococcus aureus ≥ 22 mm ≤ 21 mm
Sumber : Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) 2018
39

E. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

a) Definisi Operasional

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah

strain S. aureus yang resistan terhadap antibiotik yang terdapat pada

mahasiswa kepaniteraan klinik.

b) Kriteria Objektif

1) Secara makroskopik bakteri membentuk koloni berwarna kuning

keemasan, dengan permukaan halus mengkilap dan cembung.

2) Bakteri memfermentasi manitol (berwarna kuning pada medium

MSA)

3) Katalase positif atau terdapat gelembung udara pada kaca objek

setelah bakteri dan H2O2 dihomogenkan.

4) Secara mikroskopik bakteri berbentuk bulat (coccus) dengan

pewarnaan Gram didapatkan hasil bakteri berbentuk bulat

berwarna biru atau ungu, bakteri membentuk koloni

bergerombol dengan gambaran menyerupai anggur.

5) Hambatan pertumbuhan bakteri (zona bening atau zona sensitif

antibiotik) S. aureus berdiameter ≤ 21mm.

2. Mahasiswa Kepaniteraan Klinik RSUP Bahteramas

a. Definisi Operasional

Mahasiswa kepaniteraan klinik RSUD Bahteramas adalah

mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo yang


40

melaksanakan fase kepaniteraan klinik di Rumah Sakit Umum

Provinsi Bahteramas.

b. Kriteria Objektif

1) Mahasiswa kepaniteraan klinik sehat jasmani yang diketahui

melalui pemeriksaan fisis (pemeriksaan tekanan darah, nadi,

pernapasan, suhu badan) dan bersedia untuk dijadikan sampel

dalam penelitian.

F. Analisis Data

Data yang didapat pada penelitian ini akan diolah dengan menghitung

jumlah persentase dari kolonisasi S. aureus dan MRSA dari seluruh sampel

yang dibutuhkan dan disajikan dalam bentuk tabel.


41

G. Alur Penelitian

Pengambilan spesimen dari mahasiswa FK UHO 2015 dan 2016

Penggoresan Spesimen pada Nutrient Agar


kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC

Pewarnaan Gram

Spesimen koloni yang tumbuh di Nutrient Agar di goreskan


pada MSA dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC

Terdapat perubahan warna merah–


Tidak terdapat perubahan warna kuning (terjadi fermentasi mannitol
(tidak terjadi fermentasi mannitol) bakteri Staphylococcus aureus)

Staphylococcus sp
Uji Katalase untuk memastikan
bakteri Staphylococcus aureus

Uji Kepekaan Antibiotik


(Cefoxitin)

Analisis data dan mencari


prevalensi kolonisasi S. aureus
dan MRSA
42

Gambar 4. Alur Penelitian

H. Etika Penelitian

Etika penelitian merupakan hal yang sangat penting sebelum

melakukan sebuah penelitian mengingat penelitian ini berhubungan langsung

dengan manusia sebagai subjek penelitian, maka untuk memenuhi hal

tersebut penelitian ini harus melewati tahapan perizinan melalui Komisi Etik

Penelitian LPPM UHO (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada

Masyarakat Universitas Halu Oleo). Sebelum dilakukan pengambilan data

penelitian terhadap responden, terlebih dahulu peneliti akan melakukan

Informed Concent kepada calon responden dengan menjelaskan segala hal

terkait penelitian ini.

1. Self determinan

Responden diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan

apakah responden bersedia atau tidak bersedia untuk mengikuti kegiatan

penelitian. Responden bebas memilih keikutsertaan dalam penelitian ini

tanpa ada paksaan. Bila responden telah memutuskan untuk ikut,

responden juga bebas untuk mengundurkan diri/berubah pikiran setiap

saat tanpa dikenai denda ataupun sanksi apapun.

2. Anonymity

Selama kegiatan penelitian, nama responden tidak dicantumkan

dan peneliti menggunakan nomor responden.


43

3. Confidentially

Peneliti juga menjaga kerahasiaan identitas responden dan

informasi yang diperoleh, disimpan sebagai dokumentasi penelitian.

Semua informasi yang berkaitan dengan identitas subjek penelitian akan

dirahasiakan dan hanya akan diketahui oleh peneliti.


44

4. Protection from discomfort

Responden bebas dari rasa tidak nyaman sebelum penelitian

dilakukan responden.

Lembar penjelasan Informed Concent dalam penelitian ini sesuai

terlampir pada Lampiran 1. Selanjutnya dilakukan pengisian lembar

persetujuan menjadi responden sebagaimana terlampir pada Lampiran 2.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Bahteramas

RSUP Bahteramas merupakan rumah sakit pusat rujukan di

wilayah Sulawesi Tenggara. Status RSUD Bahteramas saat ini adalah

Rumah Sakit dengan Akreditasi Paripurna (Bintang 5) oleh Komite

Akreditasi Rumah Sakit (KARS) dan juga sebagai Rumah Sakit

Pendidikan Kelas B dan berfungsi sebagai Rumah Sakit Pendidikan bagi

dokter, dan tenaga kesehatan lainnya. Sejak tanggal 21 November 2012

RSU Provinsi Sulawesi Tenggara pindah lokasi dari di Jalan Dr.

Ratulangi  No. 151 Kelurahan Kemaraya Kecamatan Mandonga ke Jalan

Kapt. Pierre Tendean No. 50 Baruga, dan bernama Rumah Sakit Umum

Daerah (RSUD) Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara (RSUD

Bahteramas).

Gambar 5. RSUD Provinsi Sulawesi Tenggara (Data Primer, 2020)

45
46

2. Laboratorium Mikrobiologi FK-UHO

Proses peremajaan, pengembangan, dan pengujian sensitivitas

bakteri terhadap antibiotik dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi

Fakultas Kedokteran berlokasi di lantai dua gedung Laboratorium

Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo. Gambar lokasi penelitian

dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Laboratorium Mikrobiologi FK UHO (Data Primer, 2020)

B. Hasil Penelitian

Sampel diambil dari swab kulit pada 30 mahasiswa yang menjalani

masa kepaniteraan klinik di RSUP Bahteramas. Proses pengambilan sampel

dilakukan dengan metode kunjungan sesuai kesediaan mahasiswa

kepaniteraan klinik, baik di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Halu

Oleo maupun 15 tempat tinggal mahasiswa kepaniteraan klinik. Proses

pengambilan sampel dilakukan selama 2 hari yaitu pada tanggal 29 dan 30

Juni 2020. Sampel yang diambil kemudian diperbanyak menggunakan media

Nutrient Agar dan diidentifikasi dengan morfologi koloni serta beberapa

prosedur lainnya.
47

1. Karakteristik Sampel

Tabel 3. Karakteristik Sampel

Jumlah
Karakteristik Sampel Persentase
Sampel (30)
Jenis Kelamin 30  
Perempuan 8 26.67%
Laki-laki 22 73.33%
Usia    
22 tahun 3 10.00%
23 tahun 13 43.33%
24 tahun 13 43.33%
25 tahun 1 3.33%
Lama Kepaniteraan    
< 1 Tahun 1 3.33%
1 - 2 Tahun 16 53.33%
2 > Tahun 13 43.33%
Riwayat penggunaan antibiotik    
Tidak pernah 6 20.00%
Pernah menggunakan 24 80%
Kebiasaan berbagi pakai barang
   
pribadi
Ya 3 10.00%
Tidak 27 90.00%
Sumber : Data Primer, 2020

Tabel 3 menjelaskan karakteristik sampel dalam penelitian ini

yang melihat karakteristik sampel dari faktor jenis kelamin, usia, lama

kepaniteraan, riwayat penggunaan antibiotik, kesesuaian prosedur

penggunaan antibiotik, dan kebiasaan berbagi pakai barang pribadi. Lama

kepaniteraan pada penelitian ini menggantikan faktor lama kerja pada

penelitian-penelitian serupa yang menggunakan petugas kesehatan. Faktor-

faktor tersebut merupakan faktor risiko terjadinya MRSA.


48

Setelah proses pengambilan swab responden, swab tersebut

dimasukkan dalam medium transport (BHIB) dan ditutup rapat lalu dibawa

ke Laboratorium Mikrobiologi FK UHO. Lidi swab kemudian digoreskan

pada medium Nutrient Agar (NA) dan diinkubasi selama 24 jam dengan

suhu 37°C. Sebanyak 30 sampel didapatkan hasil positif ditumbuhi bakteri

yang dilihat secara nyata atau kasat mata adanya koloni yang tumbuh

mengikuti bentuk garis apusan swab pada media NA. Gambar garis apusan

yang ditumbuhi bakteri dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil positif pada

NA kemudian dilanjutkan dengan uji pewarnaan Gram, uji katalase, uji

fermentasi manitol untuk mengidentifikasi bakteri yang tumbuh.

Gambar 7. Apusan streak pada media Nutrient Agar (Data Primer, 2020)

2. Identifikasi Bakteri Sampel

Kriteria identifikasi untuk Staphylococcus aureus selain morfologi

koloni secara mikroskopis juga dengan kemampuan produksi enzim

katalase yang membedakan S. aureus dengan Streptococcus dan

kemampuan fermentasi manitol pada MSA (Quinn et al., 2002). Salah satu
49

hasil uji pewarnaan Gram, uji katalase, uji fermentasi manitol untuk

mengidentifikasi bakteri yang tumbuh dapat dilihat pada Gambar 8.

S13

(a) (b)

(c)

Gambar 8. Hasil uji pewarnaan Gram positif (a), uji katalase positif (b),

dan uji fermentasi manitol (c) (Data Primer, 2020)

Pewarnaan Gram bertujuan untuk melihat morfologi dan jenis Gram

bakteri. Bakteri Gram positif akan berwarna biru keunguan pada saat

pewarnaan Gram. Uji katalase bertujuan untuk membedakan bakteri

Staphylococcus dan Streptococcus. Uji katalase dikatakan positif apabila

terdapat gelembung udara pada kaca objek setelah bakteri dan H 2O2
50

dihomogenkan ini merupakan ciri bakteri Stahpylococcus. Uji katalase

dikatakan negatif apabila tidak terdapat gelembung udara pada kaca objek

setelah bakteri dan H2O2 dihomogenkan ini merupakan ciri bakteri

Streptococcus. Uji kemampuan fermentasi manitol dikatakan positif dilihat

dengan adanya perubahan warna media MSA yang semula merah menjadi

kuning.

Responden dikatakan merupakan kasus MRSA ketika didapatkan

koloni Staphylococcus aureus yang sudah mengalami resistensi terhadap

cefoxitin yang dilihat dari zona hambat pertumbuhan bakterinya.

Hambatan pertumbuhan bakteri di atas Agar Mueller Hinton diamati di

sekitar cakram antibiotik cefoxitin setelah diinkubasi selama 24 jam.

Pengukuran zona dilakukan dengan mengukur diameter zona bening

kemudian dikurangi diameter disk (6 mm). Hasil pengukuran diameter

hambatan pertumbuhan bakteri tersebut kemudian disesuaikan dengan

pengukuran kepekaan antibiotik sesuai CLSI. Hasil identifikasi S. aureus

dan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada penelitian

ini disajikan pada Tabel 4 berikut.


51

Tabel 4. Identifikasi Isolat Bakteri

Zona
Kode
No. MSA PG UKt Interpretasi hambat Kriteria*
Sampel
(mm)
1 S1 + + + S. aureus 18 Resisten
2 S2 + + + S. aureus 2 Resisten
3 S3 + + + S. aureus 12 Resisten
4 S4 + + + S. aureus 3 Resisten
5 S5 + + + S. aureus 12 Resisten
6 S6 + + + S. aureus 5 Resisten
non S.
7 S7 - + -
aureus
non S.
8 S8 - + -
aureus
9 S9 + + + S. aureus 13 Resisten
10 S10 + + + S. aureus 4 Resisten
11 S11 + + + S. aureus 7 Resisten
non S.
12 S12 - + +
aureus
13 S13 + + + S. aureus 13 Resisten
14 S14 + + + S. aureus 23 Sensitif
15 S15 + + + S. aureus 23 Sensitif
16 S16 + + + S. aureus 12 Resisten
17 S17 + + + S. aureus 0 Resisten
non S.
18 S18 - + +
aureus
19 S19 + + + S. aureus 2 Resisten
20 S20 + + + S. aureus 9 Resisten
21 S21 + + + S. aureus 17 Resisten
22 S22 + + + S. aureus 16 Resisten
23 S23 + + + S. aureus 1 Resisten
24 S24 + + + S. aureus 10 Resisten
non S.
25 S25 - + +
aureus
non S.
26 S26 - + +
aureus
non S.
27 S27 - + +
aureus
non S.
28 S28 - + +
aureus
non S.
29 S29 - + +    
aureus
52

30 S30 + + + S. aureus 0 Resisten


Keterangan: MSA = Mannitol Salt Agar, PG = Pewarnaan Gram,
Ukt = Uji Katalase
Kriteria* (CLSI, 2018)
Resisten = <21 mm
Sensitif = > 22 mm
Sumber : Data Primer, 2020

Tabel 4 menunjukkan hasil identifikasi bakteri menggunakan uji

pewarnaan Gram, uji katalase, dan uji fermentasi manitol. Bakteri

Staphylococcus aureus diketahui dengan hasil positif pada ketiga uji yang

dilakukan. Hasil dalam penelitian ini diperoleh 21 sampel (70%) dari 30

sampel dinyatakan positif mengandung bakteri S. aureus. Bakteri S.

aureus yang teridentifikasi selanjutnya diuji menggunakan antibiotik untuk

mengetahui adanya kasus Methicillin Resistant Staphylococcus aureus

(MRSA).

Tabel 4 juga menunjukkan dari 21 sampel positif S. aureus yang

telah dilakukan uji sensitivitas antibiotik, diperoleh 2 sampel (9,52%) yang

sensitif terhadap antibiotik dan 19 sampel (90,48%) yang resisten terhadap

antibiotik atau merupakan kejadian Methicillin Resistant Staphylococcus

aureus (MRSA). Hasil uji sensitivitas bakteri terhadap antibiotik kemudian

dihubungkan dengan karakteristik sampel yang merupakan faktor risiko

terjadinya kasus MRSA. Faktor risiko MRSA dapat dilihat Tabel 5.


53

Tabel 5. Faktor risiko MRSA

MRSA
Karakteristik Sampel
Positif Persentase Negatif Persentase
Jenis Kelamin        
Perempuan 7 87.50% 1 12.50%
Laki-laki 12 54.55% 10 45.45%
Usia        
22 tahun 2 66.67% 1 33.33%
23 tahun 8 61.54% 5 38.46%
24 tahun 8 61.54% 5 38.46%
25 tahun 1 100.00% 0 0.00%
Lama Kepaniteraan        
< 1 Tahun 1 100.00% 0 0.00%
1 - 2 Tahun 10 62.50% 6 37.50%
2 > Tahun 8 61.54% 5 38.46%
Riwayat penggunaan antibiotik      
Tidak pernah 3 50.00% 3 50.00%
Pernah menggunakan 16 66.67% 8 33.33%
Kebiasaan berbagi pakai barang
     
pribadi
Ya 2 66.67% 1 33.33%
Tidak 17 62.96% 10 37.04%
Sumber : Data Primer, 2020

3. Prevalensi MRSA pada Mahasiswa Kepaniteraan Klinik di Rumah

Sakit Umum Daerah Provinsi Bahteramas

Prevalensi (P) adalah semua populasi yang menderita penyakit

(kasus baru dan lama) dari populasi yang beresiko menderita penyakit

tersebut dalam periode waktu tertentu. Prevalensi MRSA pada mahasiswa

kepaniteraan klinik di RSUD Provinsi Bahteramas dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

Jumla h seluruh isolat MRSA


P= × 100 %
Jumla h sampel yang diamati
54

19
P= ×100 %
30

P = 0,63 ×100%

P =6 3 %

Penelitian ini memperoleh hasil prevalensi MRSA pada mahasiswa

kepaniteraan klinik kepaniteraan klinik di RSUD Provinsi Bahteramas

adalah 63%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi untuk

terjadinya kasus MRSA pada mahasiswa kepaniteraan klinik di RSUD

Provinsi Bahteramas adalah 63 kasus per 100 orang populasi yang ada.

C. Pembahasan

Staphylococcus aureus merupakan kuman yang dapat menyebabkan

berbagai macam penyakit dari yang ringan seperti bisul dan jerawat, sampai

penyakit yang berat, seperti pneumonia, osteomielitis, meningitis dan

endokarditis. Penyebaran penyakit yang disebabkan oleh S. aureus tidak lepas

dari peran manusia sebagai carrier yang tidak menampakkan manifestasi

klinis adanya penyakit pada tubuh carrier.

Hasil penelitian ini yang ditunjukkan oleh Tabel 5, diketahui bahwa 7

orang (87.50%) dari 8 orang responden yang berjenis kelamin perempuan

dinyatakan positif memiliki kolonisasi MRSA, sedangkan 12 orang (54.55%)

dari 22 orang berjenis kelamin laki-laki positif memiliki koloni MRSA. Hasil

ini menunjukkan bahwa risiko pada perempuan untuk memiliki koloni MRSA

lebih tinggi dibanding laki-laki. Hasil yang serupa ditemukan pada penelitian

Chen dkk (2015) yaitu faktor jenis kelamin mempunyai pengaruh yang
55

bermakna terhadap kolonisasi MRSA bahwa jenis kelamin perempuan lebih

memiliki kemungkinan dua kali untuk terkolonisasi MRSA dibandingkan

dengan jenis kelamin laki-laki.

Hal yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan Ohoud

dkk (2015) pada petugas pelayanan kesehatan diperoleh hasil bahwa faktor

jenis kelamin mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kolonisasi

MRSA, yaitu risiko jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan

jenis kelamin perempuan. Perbedaan hasil penelitian pada faktor jenis

kelamin yang berpengaruh terhadap kolonisasi MRSA dikarenakan terjadi

perbedaan jumlah responden yang terlalu besar antara jenis kelamin

perempuan dan laki-laki. Penelitian ini jumlah responden perempuan (n = 8)

dan laki-laki (n = 22).

Tabel 5 juga menunjukkan hasil dari karakteristik usia, yaitu 2 orang

(66.67%) dari 3 orang yang berusia 22 tahun, 8 orang (61.54%) dari 13 orang

yang berusia 23 tahun, 8 orang (61.54%) dari 13 orang yang berusia 24 tahun,

serta 1 orang (100.00%) yang berusia 25 tahun positif memiliki koloni

MRSA. Penelitian ini tidak menggolongkan range usia terlebih dahulu,

sehingga diperoleh sampel dengan range umur yang sama yaitu usia muda.

Hasil penelitian ini menunjukkan untuk faktor umur tidak dapat memberikan

gambaran umum mengenai infeksi MRSA. Berdasarkan sebuah penelitian

yang dilakukan Choel-In Kang dkk (2011) dalam Danupratama (2017) yang

bertujuan untuk menentukan perbedaan gambaran klinis dan keluaran infeksi

MRSA. Hasil penelitian tersebut adalah infeksi MRSA lebih sering terjadi
56

pada pasien usia lanjut, sedangkan infeksi dari komunitas lebih sering terjadi

pada usia muda. Infeksi komunitas dapat terjadi pada individu dalam

komunitas yang belum pernah dirawat inap di rumah sakit, tinggal di rumah

jompo, atau menjalani prosedur medis. Infeksi MRSA lebih sering terjadi

pada lansia dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya riwayat

inap di rumah sakit atau menjalani prosedur medis, adanya multipatologi,

mekanisme pertahanan tubuh yang menurun, atau kulit yang menipis dan

jaringan lemak yang berkurang menyebabkan barier mekanik menjadi

berkurang sehingga bakteri dan virus mudah menembus kulit.

Karakteristik lama kepaniteraan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa 1

orang (100.00%) dari sampel yang lama kepaniteraannya < 1 tahun, 10 orang

(62.50%) dari 16 orang dengan lama kepaniteraan 1 – 2 tahun, dan 8 orang

(61.54%) dari 13 orang dengan lama kepaniteraan > 2 tahun positif memiliki

koloni MRSA. Hal ini tidak dapat memberi gambaran umum mengenai

infeksi MRSA dikarenakan perbedaan jumlah sampel dari masing-masing

kategori lama kepaniteraan sangat berbeda.

Menurut penelitian serupa yang dilakukan Danupratama dkk (2017)

yang bertujuan melihat faktor risiko yang mempengaruhi kolonisasi S. aureus

dan MRSA pada petugas kesehatan di Rumah Sakit Nasional Diponegoro

(RSND) Semarang menunjukkan bahwa lama kerja mempunyai pengaruh

yang bermakna sehingga lama kerja < 1 tahun lebih memiliki kemungkinan

hampir tiga kali untuk terkolonisasi S. aureus dan MRSA dibandingkan

dengan lama kerja ≥ 1 tahun. Penelitian lain Ohoud S dkk (2015) juga
57

mendapatkan hasil bahwa faktor lama kerja juga mempunyai pengaruh yang

terhadap kolonisasi S. aureus, hasil penelitian tersebut lama kerja yang lebih

sedikit mempunyai pengaruh terhadap kolonisasi MRSA jika dibandingkan

dengan lama kerja yang lebih lama bagi seseorang.

Sulaiman (2012) mengutip Gṳḉlṳ (2006) bahwa perbedaan waktu

paparan tidak memberikan efek yang signifikan terhadap persentase

kolonisasi MRSA. Faktor lain yang dapat dihubungkan dengan angka

persentase kolonisasi adalah kepatuhan terhadap prosedur penanganan pasien

di rumah sakit. Faktor kepatuhan tenaga medis terhadap prosedur tetap

penanganan pasien dapat menurunkan angka persentase kolonisasi MRSA.

Menurut Nabilah (2019) kepatuhan terhadap prosedur penanganan pasien

merupakan cara meningkatkan kebersihan untuk memproteksi diri dari

penularan mikroorganisme yang bersifat patogen.

Hasil lain yang didapatkan dari Tabel 5 adalah 3 orang (50.00%) dari

6 orang yang tidak pernah menggunakan antibiotik memiliki kolonisasi

MRSA, sedangkan 16 orang (66.67%) dari 24 orang yang pernah

menggunakan antibiotik juga positif memiliki kolonisasi MRSA. Penelitian

ini menunjukkan bahwa orang yang pernah menggunakan antibiotik lebih

beresiko menjadi carrier MRSA.

Menurut Erikawati dkk, (2016) faktor risiko terhadap kejadian karier

MRSA adalah penggunaan antibiotik yang tidak tepat indikasi, dosis, durasi

pemakaian maupun meningkatnya kejadian infeksi HAIs pada lingkungan

tersebut. Faktor lain yang menjadi faktor risiko kejadian terjadinya infeksi
58

MRSA adalah adanya perawatan yang lama dirumah sakit, adanya riwayat

pembedahan, pemasangan alat invasif ke dalam tubuh seperti kateter dan

infus, tindakan dialysis, riwayat penggunaan antibiotik, dan keadaan

immunocompromised.

Mekanisme resistensi antibiotik dapat diklasifikasikan menjadi dua

yaitu secara genetik dan biochemical. Dzidic (2008) dalam Kurniawati dkk

(2015) menyatakan mekanisme secara genetik terdiri dari mutasi dan transfer

gen lateral. Mutasi adalah peristiwa yang terjadi sebagai kesalahan pada saat

replikasi DNA. Resistensi antibiotik terjadi oleh mutasi titik nukleotida yang

mampu menghasilkan fenotipe resistensi. Sebagian besar mikroorganisme

Gram negatif menghasilkan kromosom b-laktamase dan bermutasi

memproduksi regulasi yang dapat menyebabkan resistensi terhadap sebagian

besar sefalosporin. Transfer gen lateral atau horizontal gene transfer

merupakan mekanisme utama untuk penyebaran resistensi antibiotik. Gen

resistensi antibiotik dapat ditransfer dengan mekanisme yang berbeda antara

lain konjugasi, transformasi dan transduksi.

Penggunaan antibiotik terutama untuk pasien dengan infeksi bakteri

MRSA merupakan faktor penting yang harus diperhatikan, terutama dalam

hal dosis antibiotik. Pemberian dosis dan frekuensi penggunaan antibiotik

yang tidak tepat dapat mempengaruhi terapi. Ketepatan frekuensi pemberian

obat adalah batasan waktu pemberian antibiotik yang sesuai. Hal ini sangat

berpengaruh pada efek terapi obat terutama pada obat-obat yang time

dependent. Oleh karena itu pentingnya kesesuaian frekuensi harus


59

diperhatikan untuk mencapai efek terapi yang optimal. Durasi pemakaian

antibiotik mempunyai batas waktu tertentu yang berbeda-beda tiap obatnya.

Hal ini sangat penting diperhatikan untuk menghindari tejadinya resistensi

bakteri akibat pemakaian antibiotik dengan durasi yang tidak tepat (Nuryah

dkk, 2019).

MRSA banyak dinyatakan resistensi terhadap antibiotik beta-laktam

baik jenis penisillin, sefalosporin dan beberapa juga resisten terhadap

golongan makrolida, aminoglikosida, dan quinolon, tetapi antibiotik tersebut

masih digunakan dan berpengaruh baik pada clinical outcome pasien.

Antibiotik beta-laktam adalah antibiotik yang umumnya bersifat bakterisid.

Antibiotik beta-laktam mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan

menghambat sintesis peptidoglikan yaitu heteropolimer yang berfungsi

stabilizer mekanik pada dinding sel bakteri (Endang, 2011).

Tabel 5 pada kebiasaan berbagi pakai barang pribadi, diperoleh 3

orang dari 30 sampel secara keseluruhan memiliki kebiasaan berbagi pakai

barang pribadi. Hasil evaluasi diperoleh, 2 orang dari 3 orang tersebut

dinyatakan positif memiliki koloni bakteri MRSA, sedangkan 17 orang dari

27 orang yang tidak berbagi pakai barang pribadi pun juga dinyatakan positif

memiliki koloni bakteri MRSA. Hal ini tidak dapat memberi gambaran umum

mengenai infeksi MRSA dikarenakan perbedaan jumlah sampel dari masing-

masing kategori lama kepaniteraan sangat berbeda.

Prevalensi yang didapatkan, yaitu sebesar 63% merupakan angka yang

cukup tinggi. Angka tersebut sudah dalam batas yang tidak wajar dari
60

penelitian-penelitian serupa sebelumnya, dibandingkan dengan penelitian

perhitungan prevalensi infeksi MRSA di RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro

Klaten yang tidak pernah mencapai angka lebih dari 20%, menunjukkan dari

tahun 2015 hingga 2018 mengalami peningkatan. Data prevalensi MRSA

pada tahun 2015 diketahui sebesar 7,69%; dan menurun di tahun berikutnya

yaitu sebesar 5,63%. Meskipun sempat mengalami penurunan infeksi MRSA

akan tetapi pada tahun 2017 prevalensi MRSA kembali meningkat hingga

mencapai 10,81% dan kembali meningkat pada tahun 2018 yaitu sebesar

12,94% (Nuryah dkk, 2019).

Hasil penelitian ini secara umum menggambarkan bahwa sangat

penting untuk mengontrol penyebaran infeksi di rumah sakit. Oleh karena itu

salah satu langkah untuk mencegah penularan penyakit infeksi tersebut adalah

dengan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Pemakaian APD dapat

mengurangi risiko paparan penularan penyakit kepada tenaga kesehatan.

Pemakaian APD harus menjadi kewajiban dan kebiasaan tenaga kesehatan

sebagai perlindungan terakhir dalam upaya pencegahan infeksi, kecelakaan

dan Penyakit Akibat Kerja (PAK).

Mahmudah dkk (2013) mengatakan kurangnya penggunaan sarung

tangan dan masker sesuai standar prosedur rumah sakit, kurangnya

penyediaan antiseptik, maupun kurangnya kebiasaan cuci tangan dapat

menjadi faktor risiko terjadinya infeksi MRSA. Keseringan terjadinya kontak

langsung dengan lingkungan yang terkontaminasi dan kurangnya perhatian


61

terhadap kebersihan masing-masing individu maupun lingkungan dapat

menjadi faktor risiko utama infeksi MRSA.

D. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini tidak terlepas dari berbagai kelemahan, seperti kondisi

pada saat penelitian ini dilakukan ditengah pandemi Covid-19 yang membuat

mahasiswa kepaniteraan klinik tidak masuk kuliah. Hal ini tentu membuat

kontak antar kepaniteraan klinik dan pasien maupun sesama rekan tenaga

kesehatan berkurang, sehingga adanya kontak dengan bakteri MRSA pun

mengecil.
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan sebagai berikut :


1. Ditemukan adanya kasus MRSA pada mahasiswa kepaniteraan klinik

di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Bahteramas.

2. Besar persentase kejadian MRSA pada pada mahasiswa kepaniteraan

klinik di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Bahteramas adalah

63%.

B. Saran

Adapun saran dari penulis untuk peneliti selanjutnya yaitu melakukan

penelitian terhadap MRSA tetapi dengan menggunakan antibiotik lain sebagai

pembanding seperti cefadroxil. Dilihat dari penelitiaan ini, penggunaan

antibiotik cefoxitin terhadap MRSA terbukti dapat mendeteksi adanya MRSA

dengan daya hambat bakteri yang tidak terlalu besar, sehingga bakteri

teridentifikasi resisten terhadap antibiotik ini. Adanya kemungkinan bakteri

MRSA sudah mulai resisten terhadap antibiotik poten bisa dilihat dari

penelitian ini, oleh karenanya penggunaan antibiotik yang lebih poten lagi

sebagai pembanding akan sangat bermanfaat untuk mengukur kemampuan

MRSA dalam beradaptasi melawan daya hambat antibiotik jenis beta-laktam

lainnya.

62
Daftar Pustaka

Budiman HM. 2019. Prevalensi Kolonisasi Bakteri Methicillin Resistant


Staphylococcus aureus (MRSA) di Ruang Intensive Care Unit (ICU)
Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung. Skripsi.
Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung.

Chang CJ, Chen NC, Lao CK, Huang YC. 2015. Nasal Staphylococcus aureus
and MethicillinResistant S. aureus Carriage among Janitors Working in
Hospitals in Northern Taiwan. PLoS One.

Chen BJ, Xie XY, Ni LJ, Dai XL, Lu Y, Wu XQ, Li HY, Yao YD, dan Huang
SY. 2017. Factors associated with Staphylococcus aureus nasal carriage
and molecular characteristics among the general population at a Medical
College Campus in Guangzhou, South China. Ann Clin Microbiol
Antimicrob.16 (28) :16-28.

Chen B, Dai X, He B, et al. 2015. Differences in Staphylococcus aureus nasal


carriage and molecular characteristics among community residents and
healthcare workers at Sun YatSen University, Guangzhou, Southern
China. BMC Infect Dis..

Ohoud S. Al-Humaidan, BSc, MSc, Talat A. El-Kersh, MSc, PhD, Raid A. Al-
Akeel, MSc, PhD. 2015. Risk factors of nasal carriage of Staphylococcus
aureus and methicillin-resistant Staphylococcus aureus among health care
staff in a teaching hospital in central Saudi Arabia. Saudi medical journal.
36(9):1084-1090

Chukwunonso E, Veronica B, Toyo P, Chiagozie1 E, Amadi C, Abe T, Otohinoyi


DA, Olunu E, and Fakoya AOJ. 2018. Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus: A Mini Review International Journal of Medical
Research & Health Sciences. 7(1): 122-127.

Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI). 2018. Performance Standards


for Antimicrobial Disk Susceptibillity Tests. Clinical and Laboratory
Standards Institute.

Danupratama A, Winarto, dan Lestari ES. 2017. Faktor Risiko Kolonisasi


Staphylococcus aureus Pada Petugas Kesehatan Di Rumah Sakit Nasional
Diponegoro Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro. 6(1):28-35.

Dewi AK. 2013. Isolasi, Identifikasi dan Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus
terhadap Amoxicillin dari Sampel Susu Kambing Peranakan Ettawa (PE)
Penderita Mastitis Di Wilayah Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. JSV
31 (2): 138- 150.

63
64

Dwiyanti RD, Muhlisin A, dan Muntaha A. 2015. MRSA dan VRSA pada
Paramedis RSUD Ratu Zalecha Martapura. Medical Laboratory
Technology Journal. 1(1):27-33

Endang Rahayu Sedyaningsih, 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 2406/Menkes/Per/XII/2011. Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik. Jakarta

Erikawati D, Santosaningsih D, dan Santoso S. 2016. Tingginya Prevalensi


MRSA pada Isolat Klinik Periode 2010- 2014 di RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang, Indonesia. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 29(2): 149-156.

Honestdocs. 2019. Cefoxitin: Manfaat, Dosis, & Efek Samping.


https://www.honestdocs.id/cefoxitin. 12 Maret 2020 (10:42)

Karna NLPRV dan Giovani GAVM. 2017. Peran Kolonisasi Staphylococcus


Aureus Pada Infeksi Kulit Superfisial Anak. Karya Imiah. Fakultas
Kedokteran. Universitas Udanaya.

Kemalaputri DW, Jannah SN, dan Budiharjo A. 2017. Deteksi MRSA


(Methicillin Resistant Staphylococcus aureus) pada Pasien Rumah Sakit
dengan Metode Maldi-Tof MS dan Multiplex PCR. Jurnal Biologi. 6(4):
51-61.

Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Pendidikan Profesi Dokter


Indonesia. Edisi Kedua. Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta.

Kurniawati AFS, Satyabakti P, dan Arbianti N. 2015. Risk Difference of


Multidrug Resistance Organisms (MDROs) According to Risk Factor and
Hand Hygiene Compliance. JBE. 3(3): 277-289.

Lutpiatina L. 2017. Cemaran Staphylococcus aureus dan Pseudomonas


aerogenosa pada Steteskop di Rumah Sakit. Jurnal Teknologi
Laboratorium. 6(2): 61-66.

Mahmudah R, Soleha TU, dan Ekowati CN. 2013. Identifikasi Methicillin-


Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada Tenaga Medis Dan
Paramedis di Ruang Intensivecare Unit (ICU) dan Ruang Perawatan
Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek. Medical Journal of
Lampung University. 2(4): 70-78.

Nursalam dan Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatn Pada Pasien Terinfeksi. Jakarta.
Salemba Medika
65

Nuryah A,Yuniarti N, dan Puspitasari I. 2019. Prevalensi dan Evaluasi Kesesuaian


Penggunaan Antibiotik pada Pasien dengan Infeksi Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Majalah
Farmaseutik Vol. 15 No. 2: 123-129

Oktaviani SY dan Mas’ari N. 2017. Identifikasi Staphylococcus aureus Sebelum


dan Sesudah Mencuci Tangan dengan Sabun Antiseptik pada Swab
Tangan Perawat di Ruang OK RSUD Petala Bumi Pekanbaru. Jurnal
Analis Kesehatan Klinikal Sains. 5(2): 46-49.

Peters C, Dulon M, Kleinmuller O, Nienhaus A, Schablon A. 2017. MRSA


Prevalence and Risk Factors among Health Personnel and Residents in
Nursing Homes in Hamburg, Germany – A CrossSectional Study. Plus
One.

Prasanti AN dan Winarto. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Karier


Staphylococcus aureus pada Siswa Sma Yang Sehat di Semarang. Fakultas
Kedokteran. Universitas Diponegoro.

Quinn, P.J., B.K. Markey, M.E. Carter, W.J. Donnelly, and F.C. Leonard. 2002.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Publishing,
USA.

Rahmi Y, Darmawi, Abrar M, Jamin F, Fakhrurrazi, dan Fahrimal Y. 2015.


Identifikasi Bakteri Staphylococcus aureus pada Preputium Dan Vagina
Kuda. Jurnal Medika Veterinaria. 9(2): 154-158.

RSUD Bahteramas._____. Profil RSUD Bahteramas. http://rsud-


bahteramas.go.id/profil-2/. 12 Maret 2020 (14.05).

Sayed-Hassan RM, Bashour HN, Koudsi AY. 2012. Patient Attitudes Towards
Medical Students At Damascus University Teaching Hospitals. BMC
Medical Education : 12-13.

Tanuwijaya VA. 2015. Produksi Penisilin oleh Penicillium chrysogenum dengan


Penambahan Fenilalanin. Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya
Yogyakarta.

Toelle dan Lenda. 2014. Identifikasi dan Karakteristik Staphylococcus Sp. dan
Streptococcus Sp. dari Infeksi Ovarium Pada Ayam Petelur Komersial.
Jurnal Ternak. 1(7): 32-37.

Tong SYC, Davis JS, Eichenberger E, Holland TL, and Fowler VG. 2015.
Staphylococcus aureus Infections: Epidemiology, Pathophysiology,
Clinical Manifestations, and Management. Clinical Microbiology Reviews.
28(3): 603-661.
66

Zakai SA. 2015. Prevalence of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus


Nasal Colonization Among Medical Students in Jeddah, Saudi Arabia.
Saudi Med J. 36(7): 807-812.
Lampiran 1.
Riwayat Hidup

Penulis bernama lengkap Sandhi Wirya Andrayuga, dilahirkan di Kota

Kendari pada tanggal 14 Oktober 1998, anak kedua dari tiga bersaudara pasangan

Prof. Dr. Gusti Ayu Kade Sutariati, M.Si dan Dr. I Made Guyasa, M.P Penulis

memulai jenjang pendidikan formal di Taman kanak-kanak Tunas Makarti (2004).

Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 3 Baruga

Kendari (2004-2010), jenjang Pendidikan selanjutnya di Sekolah Menengah

Pertama Negeri 9 Kendari (2010-2013) dan, jenjang berikutnya yaitu di Sekolah

Menengah Atas Negeri 1 Kendari (2013-2016). Pada tahun 2016 penulis

melanjutkan pendidikan jenjang perguruan tinggi di Fakultas Kedokteran

Universitas Halu Oleo.

Selama menjalani pendidikan akademik, penulis pernah meraih juara

pertama Lomba Dharma Wacana Bahasa Inggris Tingkat Kota Kendari mewakili

Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kendari, penulis merupakan Asisten

Laboratorium Mikrobiologi dan Parasitologi, Penulis juga aktif dalam

berorganisasi yaitu Dewan Perwakilan Mahasiswa, penulis menjabat sebagai

wakil ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa 2019-2020.

67
68

Lampiran 2. Surat Persetujuan Etik

68
69

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian Kedokteran UHO

69
70

Lampiran 4. Lembar Penjelasan Kepada Calon Responden

LEMBAR PENJELASAN SEBAGAI SUBJEK PENELITIAN


(INFORMED CONSENT)
Judul Penelitian : Prevalensi Carrier Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) pada Mahasiswa Kepaniteraan Klinik di
Rumah Sakit Umum Provinsi Bahteramas
Peneliti : Sandhi Wirya Andrayuga
Alamat Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo
Nomor HP : 082393434301
Melalui surat ini peneliti mengajak saudara/i untuk ikut serta dalam penelitian

ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensial ditemukannya

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada mahasiswa

kepaniteraan klinik atau kepaniteraan klinik di RSUP Bahteramas.

A. Kesukarelaan Untuk Ikut Penelitian


Anda bebas memilih keikutsertaan dalam penelitian ini tanpa ada paksaan.
Bila Anda sudah memutuskan untuk ikut, Anda juga bebas untuk mengundurkan
diri/berubah pikiran setiap saat tanpa dikenai denda atau pun sanksi apapun.
B. Prosedur Penelitian
Apabila Anda bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini, Anda diminta
menandatangani lembar persetujuan ini.
C. Kewajiban Responden Penelitian
Sebagai responden dalam penelitian, saudara/i berkewajiban mengikuti
aturan atau petunjuk penelitian seperti yang tertulis di atas. Bila ada yang belum
jelas, saudara/i bisa bertanya lebih lanjut kepada peneliti.
D. Risiko dan Efek Samping dan Penanganannya
Penelitian ini tidak dilakukan perlakuan terhadap responden, sehingga
tidak ada kemungkinan risiko yang dapat membahayakan responden penelitian.

70
71

E. Manfaat
Keuntungan langsung yang didapatkan adalah mengetahui potensial
ditemukannya Staphylococcus aureus dan Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo
F. Kerahasiaan
Semua informasi yang berkaitan dengan identitas subjek penelitian akan
dirahasiakan dan hanya akan diketahui oleh peneliti.
G. Pembiayaan
Semua biaya yang terkait penelitian akan ditanggung oleh peneliti.
H. Informasi Tambahan
Saudara/i diberi kesempatan untuk menanyakan semua hal yang belum
jelas sehubungan dengan penelitian ini. Bila sewaktu-waktu membutuhkan
penjelasan lebih lanjut, saudara/i dapat menghubungi peneliti yang tersebut
diatas.

71
72

Lampiran 5. Lembar Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden

PERSETUJUAN KEIKUTSERTAAN DALAM PENELITIAN


(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama (inisial) : ......................................................

Alamat : ......................................................

No. Tlp/HP : ......................................................

Bersedia menjadi responden dalam penelitian yang berjudul “Prevalensi Carrier


Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada Mahasiswa
Kepaniteraan Klinik di RSUP Bahteramas”. Prosedur penelitian ini tidak akan
menimbulkan risiko dan dampak apapun terhadap saya dan saya telah diberi
penjelasan mengenai hal tersebut. Dengan ini saya menyatakan dengan sukarela
bersedia menjadi responden dalam penelitian ini
Kendari , 2020

Saksi 1 Responden Peneliti

( ……………….…..) (..............................) (Sandhi Wirya Andrayuga)

72
73

Lampiran 6. Lembar Pertanyaan Kondisi Responden

KUESIONER

“PREVALENSI CARRIER METHICILLIN-RESISTANT


STAPHYLOCOCCUS AUREUS (MRSA) PADA MAHASISWA
KEPANITERAAN KLINIK DI RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI
BAHTERAMAS”

Nama Responden :
Umur :
Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan (Coret yang tidak perlu)
Lama Kepaniteraan :
No. Hp :
1. Apakah Anda sedang dalam keadaan sehat pada saat proses pengambilan
swab pada penelitian ini?
 Ya  Tidak
2. Kapan terakhir kali Anda menggunakan obat antibiotik?
Jawaban : …………………………………………………………………
3. Jenis antibiotik apa yang Anda gunakan?
Jawaban : …………………………………………………………………
4. Apakah penggunaan antibiotik tersebut digunakan secara teratur dan
sesuai anjuran?
Jawaban : …………………………………………………………………
5. Seberapa sering Anda mencuci tangan dalam sehari?
Jawaban : …………………………………………………………………
6. Apakah Anda berbagi pakai barang pribadi (seperti: handuk, pisau cukur,
selimut, dan peralatan olahraga)?
 Ya  Tidak
7. Dengan siapa Anda berbagi pakai barang pribadi (seperti: handuk, pisau
cukur, selimut, dan peralatan olahraga)?
 Keluarga  Pasien
 Rekan tenaga medis  Lainnya

73
Lampiran 7. Data Responden

Kebiasaa
JENIS LAMA Pernah n berbagi Zona
No Kode Pewarnaa Uji
UMUR KELAMI KEPANITERAA menggunakan pakai MSA Interpretasi hambat Kriteria
. Sampel n Gram Katalase
N N antibiotik barang (mm)
pribadi
1 S1 23 P 2 tahun Ya Tidak + + + S. aureus 18 Resisten
2 S2 24 P 2 Tahun Ya tidak + + + S. aureus 2 Resisten
3 S3 23 P 1 tahun 6 bulan Ya Tidak + + + S. aureus 12 Resisten
4 S4 24 L 2 tahun Tidak Ya + + + S. aureus 3 Resisten
5 S5 23 P 2 tahun Tidak Tidak + + + S. aureus 12 Resisten
6 S6 24 L 1 tahun 3 bulan Ya Ya + + + S. aureus 5 Resisten
non S.
7 S7 23 L 2 tahun Ya Tidak - + -
aureus
non S.
8 S8 24 P 2 tahun Ya Tidak - + -
aureus
9 S9 24 P 2 tahun Ya Tidak + + + S. aureus 13 Resisten
10 S10 24 P 2 tahun Ya Tidak + + + S. aureus 4 Resisten
11 S11 24 L 2 tahun Ya Tidak + + + S. aureus 7 Resisten
non S.
12 S12 24 L 2 tahun Ya Tidak - + +
aureus
13 S13 24 L 1 tahun 8 bulan Ya Tidak + + + S. aureus 13 Resisten
14 S14 24 L 2 tahun 5 bulan Ya Ya + + + S. aureus 23 Sensitif
15 S15 23 L 1 tahun 2 bulan Ya Tidak + + + S. aureus 23 Sensitif

74
Kebiasaa
JENIS LAMA Pernah n berbagi Zona
No Kode Pewarnaa Uji
UMUR KELAMI KEPANITERAA menggunakan pakai MSA Interpretasi hambat Kriteria
. Sampel n Gram Katalase
N N antibiotik barang (mm)
pribadi
16 S16 23 L 1 tahun Ya Tidak + + + S. aureus 12 Resisten
17 S17 22 L 1 tahun Ya Tidak + + + S. aureus 0 Resisten
non S.
18 S18 23 L 1 tahun Ya Tidak - + +
aureus
19 S19 22 L 1 tahun Tidak Tidak + + + S. aureus 2 Resisten
20 S20 23 L 1 tahun 8 bulan Ya Tidak + + + S. aureus 9 Resisten
21 S21 24 L 2 tahun Ya Tidak + + + S. aureus 17 Resisten
22 S22 23 P 1 tahun 8 bulan Ya Tidak + + + S. aureus 16 Resisten
23 S23 25 L 10 bulan Ya Tidak + + + S. aureus 1 Resisten
24 S24 23 L 1 tahun Ya Tidak + + + S. aureus 10 Resisten
non S.
25 S25 22 L 1 tahun Tidak Tidak - + +
aureus
non S.
26 S26 24 L 1 tahun Tidak Tidak - + +
aureus
non S.
27 S27 23 L 1 tahun Ya Tidak - + +
aureus
non S.
28 S28 24 L 2 tahun Ya Tidak - + +
aureus
non S.
29 S29 23 L 1 tahun Tidak Tidak - + +    
aureus
30 S30 23 L 1 tahun Ya Tidak + + + S. aureus 0 Resisten

75
76

Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian

Persiapan alat dan bahan penelitian

76
77

Proses pemanasan media biakan bakteri Nutrient Agar (kiri) dan media transport

BHIB (kanan)

77
78

Proses pengambilan sampel

78
79

Isolasi Spesimen

Uji pewarnaan Gram

79
80

Proses Pembuatan Mannitol Salt Agar

Uji Katalase

80
81

Proses pemindahan bakteri dari NA ke MSA

Bakteri yang tumbuh pada MSA

Pengamatan uji sensitivitas antibiotic

81

Anda mungkin juga menyukai