PERTUSIS
OLEH :
Sandhi Wirya Andrayuga, S.Ked
K1B1 20 050
PEMBIMBING :
dr. Wa Ode Sitti Asfiah Udu, M.Sc., Sp.A
HALAMAN PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian
Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu Oleo.
PERTUSIS
A. Pendahuluan
Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah
satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya
sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-)
Bordetella pertussis1.
B. Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta,
violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang
pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670.
Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping cough) karena
kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya
berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau intensif,
merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap
orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa
4
C. Epidemiologi
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang
dapat menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di
seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah
juta meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah
penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia
14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi
kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun1,2,3,5,6.
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4
tahun6. Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga
lainnya. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan
Oktober. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak
terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu
dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan
perbandingan 0.9:11,3. Namun berdasarkan (Farizo, 1992), perbandingan
insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur
dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan orang
dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27%7.
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4
tahun6. Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga
lainnya. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan
Oktober. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak
terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu
5
D. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus
pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus
respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella
pertusis ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan
anak–anak kecil yang ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan
stridor inspiratori memanjang ” batuk rejan”.1,15
E. Patofisiologi
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara
pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan.
7
oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat,
apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat
anoksia1.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak
apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa
kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang
Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak
menghasilkan toksin pertusis1
.
F. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan
perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala
timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan
tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir
semakin banyak1.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan
lengket. Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3
tahapan1,10:
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan :
Bersin-bersin
Mata berair
Lesu
awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada
tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang
biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung
udara di hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya
muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang
bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih
sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih
baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi
saluran pernafasan.
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta
gejala klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat
penyakit dahulu, dan riwayat imunisasi.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-
50,000 / UI dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral
dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak
menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi
pada infeksi lain1,3,10. Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai
untuk membuat diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral
95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun
sampai 20% untuk waktu berikutnya1,3,10.
10
H. Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk
mengamati keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan
memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan
rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan
kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit,
mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat
alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk
kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam
48-72 jam1,11.
Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi
11
3. Kortikosteroid
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan
untukan mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen
pertussis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang
bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai
kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan
klinisnya tidak dibenarkan
dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada
saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam1,11,14.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit
panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat
kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome
(SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra
indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin
pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi,
kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi,
menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau
hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan
40.5°C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis1,11,13,14.
Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru
lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang
telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi
B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala
penyakit1,11,12.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum
mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari
sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan,
eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat
eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin
diberikan pada waktu terjadi epidemi1,11,12.
J. Komplikasi
1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat1,11.
2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada ± 90% kematian pada
anak-anak B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria
14
K. Prognosis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000
kasus. Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun
2000-2004 di USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12%
dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan
mengalami patah tulang rusuk sampai 4 %12. Kebanyakan kematian
disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru
lain1,12
DAFTAR PUSTAKA
1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta
: EGC. 181: 960-965.
2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak
Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.
3. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract
in Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :
1018- 1023.
4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-
infective therapy 8 (2): 163–73.
5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J.
6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the
epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella
pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427.
7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United
States, 1980-1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19.
8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of
Infectious Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds),
Churchill Livingstone, Philadelphia. p.2701.
9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. D
10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory
Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.
11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar
I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia.
FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.
12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the
Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus,
diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced
diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep.
55(RR-17):1-33..
14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and
Precautions Recommendations of the Advisory Committee on Immunization
Practices.
15. Turner, B, Lewis, NE. 2010. Annnual Morbidity Report of Pertusis. Journal
of Communicable Disease Control