Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tumor paru adalah tumor pada jaringan paru yang dapat bersifat jinak maupun ganas
atau disebut dengan kanker paru. Kanker paru adalah tumor ganas paru yang berasal dari
saluran napas atau epitel bronkus yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak
normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan normal. Menurut data WHO tahun
2015, kanker paru termasuk salah satu penyebab kematian terbesar selain kanker hati,
lambung, kolorektal, payudara dan esofagus yang menyumbang sekitar 1,59 juta
kematian tiap tahunnya. Kanker paru merupakan penyebab utama keganasan di dunia dan
mencapai hingga 13% dari semua diagnosis kanker. Selain itu, kanker paru juga
menyebabkan 1/3 dari seluruh kematian akibat kanker pada laki-laki (WHO ,2015).
Penyebab utama kanker paru adalah asap rokok karena mengandung lebih dari 4.000
zat kimia, dimana 63 jenis diantaranya bersifat karsinogen dan beracun. American Cancer
Society mengemukakan bahwa 80% kasus kanker paru disebabkan oleh rokok (perokok
aktif) sedangkan perokok pasif berisiko 20% sampai 30% untuk terkena kanker paru.
Penyebab kanker paru lainnya adalah radiasi dan polusi udara (ACS, 2014).
Penyebab kanker paru lainnya adalah radiasi dan polusi udara. Kanker paru
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu kanker paru primer dan kanker paru
sekunder. Kanker paru primer adalah sel kanker yang berasal dari paru, sedangkan kanker
paru sekunder adalah sel kanker yang menyebar dari anggota tubuh lain, termasuk kanker
payudara dan kanker kolorektal. Kanker paru primer dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
Small Cell Lung Cancer (SCLC) dan Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) (WHO,
2012).
Kanker paru memerlukan penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah.
Penegakan diagnosis penyakit ini membutuhkan ketrampilan dan sarana yang tidak
sederhana dan memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran. Penyakit ini
membutuhkan kerja sama yang erat dan terpadu antara ahli paru dengan ahli radiologi,
ahli patologi anatomi, ahli radiologi terapi dan ahli bedah toraks, ahli rehabilitasi dan
ahli-ahli lainnya. Pengobatan atau penatalaksaan penyakit ini sangat bergantung pada

1
kecekatan ahli paru untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker paru pada
stadium dini akan sangat membantu penderita, dan penemuan diagnosis dalam waktu
yang lebih cepat memungkinkan penderita memperoleh kualitas hidup yang lebih baik
dalam perjalanan penyakitnya meskipun tidak dapat menyembuhkannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara penegakan diagnosis tumor paru?
2. Bagiamana penatalaksanaan dari tumor paru?

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Secara normal, tubuh memelihara suatu sistem dari pemeriksaan-pemeriksaan


(checks) dan keseimbangan-keseimbangan (balances) pada pertumbuhan sel-sel sehingga sel-
sel membelah untuk menghasilkan sel-sel baru hanya jika diperlukan. Gangguan atau
kekacauan dari sistem checks dan balances ini pada pertumbuhan sel berakibat pada suatu
pembelahan dan perkembangbiakan sel-sel yang tidak terkontrol yang pada akhirnya
membentuk suatu massa yang dikenal sebagai suatu tumor (Anwar dkk, 2014).
Tumor-tumor bisa menjadi jinak atau ganas. Kanker adalah tumor yang
dipertimbangkan sebagai ganas. Tumor-tumor jinak biasanya dapat diangkat dan tidak
menyebar ke bagian-bagian lain tubuh. Tumor-tumor ganas, akan tumbuh secara agresif dan
menyerang jaringan-jaringan lain dari tubuh. Masuknya sel-sel tumor kedalam aliran darah
atau sistim limfatik menyebabkan menyebarnya tumor ke tempat-tempat lain di tubuh. Proses
penyebaran ini disebut metastasis, area-area pertumbuhan tumor pada tempat-tempat yang
berjarak jauh disebut metastasis. Karena kanker paru-paru cenderung untuk metastase, maka
tidak aneh bila kanker paru merupakan kanker yang sangat mengancam nyawa dan
merupakan satu dari kanker-kanker yang paling sulit dirawat. Kelenjar adrenal, hati, otak, dan
tulang adalah tempat-tempat yang paling sering menjadi tempat metastase untuk kanker paru
(Haryati dkk, 2013).

2.2 Etiologi

Seperti umumnya kanker yang lain penyebab yang pasti dari pada kanker paru belum
diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik
merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh,
genetik dan lain-lain (Haryati dkk, 2013).
Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa etiologi kanker paru sangat
berhubungan dengan kebiasaan merokok. Telah dilaporkan tingginya insiden kanker paru
pada perokok dibandingkan dengan yang tidak merokok. Terdapat hubungan antara rata-rata
jumlah rokok yang dihisap per hari dengan tingginya insiden kanker paru. Dikatakan bahwa,
1 dari 9 perokok berat akan menderita kanker paru. Hidrokarbon karsinogenik telah

3
ditemukan dalam tembakau rokok yang jika dikenakan pada kulit hewan, menimbulkan
tumor (Anwar dkk, 2014).
Laporan beberapa penelitian terakhir ini mengatakan bahwa perokok pasif pun akan
berisiko terkena kanker paru. Anak-anak yang terpapar asap rokok selama 25 tahun pada usia
dewasa akan terkena risiko kanker paru dua kali lipat dibandingkan dengan yang tidak
terpapar, dan perempuan yang hidup dengan suami/pasangan perokok juga terkena risiko
kanker paru 2-3 kali lipat. Diperkirakan 25 % kanker paru dari bukan perokok adalah berasal
dari perokok pasif (Menkes RI, 2015).
Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di Schneeberg dan
penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50 % meninggal akibat kanker paru) berkaitan
dengan adanya bahan radioaktif dalam bentuk radon. Bahan ini diduga merupakan agen
etiologi operatif. Insiden yang tinggi juga terjadi pada pekerja yang terpapar karbonil nikel
(pelebur nikel) dan arsenic (pembasmi rumput). Pekerja pemecah hematite dan orang–orang
yang bekerja dengan asbestos dan kromat juga mengalami peningkatan insiden. Mereka yang
tinggal di kota mempunyai angka kanker paru yang lebih tinggi dari pada mereka yang
tinggal di desa dan walaupun telah diketahui adanya karsinogen dari dan uap diesel dalam
atmosfer di kota (Ina, 2014).

2.3 Patofisiologi

Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia
hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya
pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia, hyperplasia dan displasia. Bila lesi
perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura,
biasanya akan timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus
vertebra (ACS, 2012).

Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi
ini menyebabkan obstruksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian
distal. Gejala – gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis, dispneu, demam, dan
dingin. Wheezing unilateral dapat terdengar pada auskultasi (Harrison,2012).

Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya metastase,
khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur – struktur terdekat seperti
kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium, otak, tulang rangka (Harrison,2012).

4
2.4 Manifestasi Klinis
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukan gejala-gejala klinis. Bila
sudah menampakan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gejala-gejala dapat bersifat :
1. Lokal (tumor tumbuh setempat)
a. Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
b. Batuk darah
c. Mengi karena ada obstruksi saluran napas
d. Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
e. Atelektasis
2. Invasi lokal
a. Nyeri dada
b. Sesak karena cairan pada rongga pleura
c. Invasi ke perikardium terjadi tamponade atau aritmia
d. Sindrom vena cara superior
e. Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis)
f. Suara serak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent
g. Sindrom Pancoast, karena invasi pada pleksus brakialis dan saraf simpatis servikalis
3. Gejala Penyakit Metastasis
a. Pada otak, tulang, hati, adrenal
b. Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai metastasis)
c. Sindrom Para neoplastik (10% pada Ca Paru), dengan gejala:
d. Sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam
e. Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
f. Hipertrofi osteoartropati
g. Neurologik : dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer
h. Neuromiopati
i. Endokrin: sekresi berlebihan hormon paratiroid (hiperkalsemia)
j. Dermatologik : eritema multiform, hyperkeratosis, jari tabuh
k. Renal: Syndrome of inappropriate andiuretic hormone (SIADH)
4. Asimtomatik dengan kelainan radiologi (PDPI, 2003).

5
2.5 Klasifikasi

Berdasarkan level penyebarannya penyakit kanker paru-paru terbagi dalam dua kriteria:

1. Kanker paru primer

Memiliki 2 tipe utama, yaitu:

a. Small cell lung cancer (SCLC)

SCLC adalah jenis sel yang kecil-kecil (banyak) dan memiliki daya
pertumbuhan yang sangat cepat hingga membesar. Biasanya disebut “oat cell
carcinoma” (karsinoma sel gandum). Tipe ini sangat erat kaitannya dengan
perokok. Penanganan cukup berespon baik melalui tindakan kemoterapi dan
radioterapi. Stadium (stage) SCLC ada 2 yaitu :

 Stage terbatas (limited) jika hanya melibatkan satu sisi paru (hemitoraks)
 Stage luas (extensived) jika sudah meluas dari satu hemitoraks atau menyebar
ke organ lain (ACS, 2016).
b. Non-small cell lung cancer (NSCLC)
NSCLC adalah merupakan pertumbuhan sel tunggal, tetapi seringkali
menyerang lebih dari satu daerah di paru-paru, mencakup adenokarsinoma,
karsinoma sel skuamosa, karsinoma sel besar (Large Cell Ca) dan karsinoma
adenoskuamosa.
Perbedaan diantara keduanya adalah SCLC memiliki agresivitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan NSCLC. Namun secara epidemiologi, NSCLC lebih
sering dijumpai, yakni sekitar 85% dari total kasus kanker paru. Menurut klasifikasi
WHO, kanker paru terdiri dari 4 tipe major sel yaitu SCLC, NSCLC yang termasuk
adenokarsinoma, SCC dan LCC. Secara histologi, tumor dapat terjadi baik berupa
tipe tunggal maupun campuran (WHO, 2012).
SCC merupakan jenis terbanyak dari NSCLC yang terdiagnosis. Morfologi
SCC menyerupai tumor ekstrapulmonal yang nampak seperti sarang tumor yang
terinflitrasi yang tidak memiliki jembatan intraselular. Keratin seringkali nampak
pada morfologi jaringan SCC. Terjadinya SCC ini diduga dipengaruhi oleh
merokok, seiring menurunnya jumlah perokok, maka SCC tergantikan oleh
adenokarsinoma sebagai jenis NSCLC yang paling sering terdiagnosis.
Adenokarsinoma paling sering mengenai wanita berumur di bawah 60 tahun.
Adenokarsinoma memiliki kelenjar, struktur papilari, pola branchioalveolar, musin

6
sel atau pola solid yang terdiferensiasi buruk. Adenokarsinoma memiliki tipe signet
ring, clear cell and mucinous serta fetal adenocarcinoma. BAC merupakan subtype
dari adenokarsinoma yang tumbuh bersama alveolus tanpa menginvasi dan dapat
dilihat sebagai masa tunggal multinoduler difus pada X-ray, dan “ground glass”
opacity pada CTScan. SCLC merupakan tumor neuroendokrin yang cenderung
muncul sebagai masa sentral dengan pertumbuhan endobrakial dan sangat
berhubungan dengan merokok. SCLC memiliki sel dengan sitoplasma yang sedikit,
nucleus hiperkromatik kecil dengan pola kromatin seperti “Salt and Pepper” serta
nucleolus yang prominen. SCLC sering memproduksi hormone spesifik seperti
ACTH, AVP, ANF dan GRP yang berhubungan dengan distinctive paraneoplastic
syndrome. LCC cenderung muncul pada bagian perifer dan nampak sebagai
karsinoma yang berdeferensiasi buruk dari komposisi paru tanpa adanya bukti
squamous, diferensiasi grandular atau SCLC pada mikroskop cahaya. Tumor ini
terdiri dari lapisan sel malignant besar yang berkaitan dengan nekrosis. Varian dari
LCC termasuk basaloid karsinoma yang muncul sebagai lesi endobrakial yang
menyerupai tumor neuroendokrin stadium tinggi dan lymphoepithelioma-like
carcinoma yang berkaitan dengan infeksi EBV (Harrison, 2012).

Gambar 2.1 Klasifikasi kanker paru berdasarkan morfologi jaringannya

2.6 Staging Kanker Paru


Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut International System For Lung
Cancer, berdasarkan sistem TNM. Pengertian T adalah tumor yang dikategorikan atas Tx,
To s/d T4, N untuk keterlibatan kelenjar getah bening(KGB) yang dikategorikan atas Nx,

7
No s/d N3,sedangkan M adalah menunjukkan ada atau tidaknya metastasis jauh (PDPI,
2003).

Stage TNM
Occult Ca TX,N0,M0
0 Tis,N0,M0
IA T1,N0,M0
IB T2,N0M0
IIA T1,N1,M0
IIB T2,N1,M0 ; T3,N0,M0
IIIA T1,N2,M0 ; T2,N2,M0 ; T3,N2,M0
IIIB Sembarang T,N3,M0
T4,sembarang N,M0
IV Sembarang T, sembarang N, M1

Tabel 2.1 Staging kanker paru berdasarkan TNM

Kategori TNM untuk Kanker Paru :


T : Tumor Primer
To : Tidak ada bukti ada tumor primer

Tx : Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan sel tumor ganas
pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak tampak secara radiologis atau bronkoskopis.
Tis : Karsinoma in situ

T1 : Tumor dengan garis tengah terbesar tidak melebihi 3 cm, dikelilingi oleh jaringan paru
atau pleura viseral dan secara bronkoskopik invasi tidak lebih proksimal dari bronkus lobus
(belum sampai ke bronkus utama). Tumor sembarang ukuran dengan komponen invasif
terbatas pada dinding bronkus yang meluas ke proksimal bronkus utama.
T2 : Setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai berikut: :

- Garis tengah terbesar lebih dari 3 cm


- Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih distal dari karina, dapat mengenai
pleura viseral

8
- Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif yang meluas ke daerah
hilus, tetapi belum mengenai seluruh paru.

T3 : Tumor sembarang ukuran, dengan perluasan langsung pada dinding dada (termasuk
tumor sulkus superior), diafragma, pleura mediastinum atau tumor dalam bronkus utama
yang jaraknya kurang dari 2 cm sebelah distal karina atau tumor yang berhubungan dengan
atelektasis atau pneumonitis obstruktif seluruh paru.
T4 : Tumor sembarang ukuran yang mengenai mediastinum atau jantung, pembuluh besar,
trakea, esofagus, korpus vertebra, karina, tumor yang disertai dengan efusi pleura ganas atau
tumor satelit nodul ipsilateral pada lobus yang sama dengan tumor primer.
N : Kelenjar getah bening regional (KGB)
Nx : Kelenjar getah bening regional tak dapat dinilai

No : Tak terbukti keterlibatan kelenjar getah bening

N1 : Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial dan/atau hilus ipsilateral,


termasuk perluasan tumor secara langsung
N2 : Metastasis pada kelenjar getah bening mediastinum ipsilateral dan/atau KGB subkarina
N3 :Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau KGB skalenus/supraklavikula
ipsilateral/kontralateral
M : Metastasis (anak sebar) jauh
Mx : Metastasis tak dapat dinilai
Mo : Tak ditemukan metastasis jauh

M1 : Ditemukan metastasis jauh. Nodul ipsilateral di luar lobus tumor primer dianggap
sebagai M1

2. Kanker paru sekunder


Merupakan penyakit kanker paru yang timbul sebagai dampak penyebaran kanker
dari bagian organ tubuh lainnya, yang paling sering adalah kanker payudara dan
kanker usus (perut). Kanker menyebar melalui darah, sistem limfe atau karena
kedekatan organ.

2.7 Tampilan
Tampilan penderita kanker paru berdasarkan keluhan subyektif dan obyektif yang
dapat dinilai oleh dokter. Ada beberapa skala international untuk menilai tampilan

9
ini, antara lain berdasarkan Karnofsky Scale yang banyak dipakai di Indonesia, tetapi
juga dapat dipakai skala tampilan WHO. Tampilan inilah yang sering jadi penentu
dapat tidaknya kemoterapi atau radioterapi kuratif diberikan.

Nilai Skala Karnofsky Nilai Skala WHO Keterangan


90-100 0 Aktifitas normal
70-80 1 Ada keluhan tapi masih
aktif dan dapat mengurus
diri sendiri
50-60 2 Cukup aktif, namun
kadang memerlukan
bantuan
30-40 3 Kurang aktif, perlu
perawatan
10-20 4 Tidak dapat meninggalkan
tempat tidur
0-10 - Tidak sadar
Tabel 2.2 Tampilan Menurut Skala Karnofsky-WHO

2.8 Faktor Risiko


1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin diduga berkaitan dengan kejadian kanker paru. Hal ini dapat dilihat
dari data epidemiologi bahwa pasien kanker paru pria lebih banyak dari wanita
begitu juga dengan jumlah kematiannya. Laki-laki memiliki tingkat metilasi pada
gen Ras Association domain Family 1A (RASSF1A) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan yaitu 7,5% dibandingkan dengan 17,9% dengan
nilai P<0,01. Tingginya kejadian kanker paru pada laki-laki juga dapat dikaitkan
dengan kebiasaan merokok pada laki-laki yang lebih besar dibanding perempuan
yaitu 63,38% dibanding 31,62% dengan nilai P<0,01 (Anwar, 2014).
2. Umur
Menurut data epidemiologi, kebanyakan penderita kanker paru merupakan orang
yang sudah berumur. Kecenderungan data memperlihatkan bahwa semakin

10
tuanya umur maka akan semakin tinggi risikonya untuk terkena kanker. Sebuah
penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2014 menyebutkan bahwa adanya
kecenderungan pola merokok sesuai umur turut mempengaruhi terjadinya kanker
paru. Populasi yang berumur 50-75 tahun, 77%nya merupakan perokok aktif
(p<0,0003) sedangkan pada orang yang berumur di atas 75 tahun, hanya 23%
yang merupakan perokok. Populasi yang berumur 45-49 tahun menunjukkan
inaktivasi gen MTHFR paling tinggi dibanding kelompok umur yaitu 18,5%
(P<0,01) yang dikaitkan erat dengan merokok. Hal ini menyebabkan golongan
umur diatas 45 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita kanker
paru dibandingkan populasi yang berumur dibawah 45 tahun. Sebuah penelitian
insiden kanker di Korea juga membuktikan bahwa kecenderungan kanker paru
terjadi pada pria dan wanita diatas 65 tahun (Dahlberg et al, 2013).
3. Riwayat Merokok
Merokok memiliki kaitan yang erat dengan kejadian kanker paru. Rokok
memiliki 73 jenis zat pemicu kanker dan 16 diantaranya diakui sebagai
karsinogen. Karsinogen yang erat kaitannya dengan kanker paru adalah NKK,
NNN dan PAH. NNK dengan dosis 1,8mg/kg dapat menginduksi kanker paru
pada mencit, estimasi dosis terendah dari NNK pada perokok dengan lama
merokok 40 tahun adalah sekitar 1,1mg/kg sehingga risiko kanker paru akan
semakin tinggi apabila lama merokok semakin panjang. Pengaruh merokok
terhadap kejadian kanker paru juga dapat dibuktikan melalui efek dari berhenti
merokok. Orang yang berhenti merokok terbukti mengalami perubahan hasil
skrining dari tahun sebelumnya disaat ia masih merokok. Orang yang sebelumnya
terskrining positif berisiko besar terhadap kanker paru akan menjadi negative atau
setidaknya risikonya berkurang saat ia berhenti merokok setidaknya satu tahun
P<0,05 (Ridge et al, 2013).
4. Penyakit Ekstrapulmonal
Beberapa penyakit ekstrapulmonal yang dapat memicu terjadinya kanker paru
sekaligus memperparah perjalanan kanker paru adalah kondisi-kondisi yang
menurunkan sistem imunitas seperti infeksi HIV, penggunaan obat
imunosupresan pada pasien autoimun maupun pasien dengan riwayat
transplantasi organ. Adapun penyakit metabolik seperti diabetes juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker paru. Berdasarkan ICD 10, komorbiditas
penyerta dari kanker paru dibagi menjadi kelas yaitu kelas pertama seperti infark

11
miokard, gagal jantung kongestif, penyakit vascular perifer, PPOK, penyakit liver
dan diabetes. Sedangkan kelompok 2 adalah hemiplegi, penyakit ginjal, diabetes
dengan kerusakan organ, tumor lain di luar paru, leukemia dan limfoma.
Kelompok 3 adalah penyakit liver moderat atau parah dan kelompok 4 adalah
metastasis dari tumor solid atau AIDS. Komorbiditas terbanyak selain PPOK
adalah metastasis tumor solid 24,8%, diabetes tanpa komplikasi 10,3% dan
penyakit vascular perifer 8,7%. Penelitian Kong dkk pada tahun 2014
menyatakan bahwa pasien dengan penyakit terkait defisiensi vitamin D memiliki
risiko yang lebih besar untuk terkena kanker paru. Vitamin D memiliki fungsi
sebagai anti proliferative, anti angiogenik, anti metastasis dan efek pro apoptosis
terhadap sel. Orang yang kekurangan vitamin D memiliki risiko 5 kali lebih besar
untuk menderita kanker paru (Menkes RI, 2015).
5. Pekerjaan
Beberapa pekerjaan memiliki asosiasi dengan meningkatkan risiko seseorang
untuk menderita kanker paru dikarenakan lingkungan yang dapat mengganggu
fungsi paru. Eksposur dalam pekerjaan yang paling sering adalah eksposur dari
debu serbuk kayu. Pekerjaan yang terpapar dengan debu serbuk kayu ini
diantaranya tukang gergaji, tukang kayu, pengrajin kayu dan pekerja furnitur.
Paparan dari debu kayu diyakini sebagai salah satu faktor risiko kanker paru
terbukti dalam penelitian pasien kanker paru yang bukan perokok memiliki
kecenderungan bekerja dengan paparan dari debu kayu (OR=1,4 ; 95%CI= 1-2).
Pekerjaan lain yang dianggap berisiko terhadap kejadian kanker paru adalah
penambang batu bara, penambang bijih besi dan pemecah batu. Penambang yang
bekerja di bawah tanah memiliki tingkat eksposur yang tinggi terhadap bahan
karsinogenik bagi paru seperti arsenik, asbestos, kromium, nikel, PAH, silika dan
buangan mesin diesel sedangkan pemecah batu paling sering berkontak dengan
silika. Kelompok pekerja ini memiliki risiko yang tinggi terhadap kanker paru
apabila sudah terpapar zat karsinogenik selama lebih dari 10 tahun. Pekerja
manual (pekerja yang bekerja dengan tangan tanpa bantuan mesin) diduga
memiliki risiko tinggi terhadap kontak dengan bahan karsinogenik. Pekerjaan
yang termasuk di dalam pekerja manual adalah pekerja terampil seperti petani,
tukang las dan tukang ledeng, lalu pekerja pemrosesan dan operator mesin seperti
pemecah batu dan perakit, serta pekerja dasar seperti tukang bersih-bersih. Risiko

12
kanker paru lebih tinggi pada pekerja manual dibandingkan dengan manager atau
pekerjaan professional lainnya (Anwar dkk, 2014).
6. Riwayat Keluarga
Keluarga diduga memiliki peranan penting dalam kejadian kanker paru. Keluarga
diduga memiliki peran penting dalam menurunkan polimorfisme pada gen
seseorang. Keluarga juga diduga berperan dalam menurunkan kebiasaan merokok
pada seseorang. Studi meta analisis yang dibuat oleh Makidou dkk menunjukkan
bahwa dari 31 case control 27 diantaranya menunjukkan riwayat kanker paru
pada keluarga berkaitan dengan peningkatan risiko kanker paru (95%CI : 1,58-
2.10) dan 11 dari studi tersebut menujukkan peningkatan risiko signifikan pada
pasien yang tidak pernah merokok yang menandakan keluarga berperan besar
pada pewarisan genetik kanker (Haryati dkk, 2013).
Beberapa gen yang diwariskan keluarga diduga mempengaruhi meningkatnya
risiko kanker paru. Gen pada kromosom 5p15.33 yang memiliki pengaruh besar
pada wanita yang tidak pernah merokok, diduga menaikan risiko melalui mediasi
peningkatan TERT yang mengakibatkan overekspresi mRNA yang menyebabkan
kanker paru. Gen pada kromosom 6p21-6p22 juga memiliki keterkaitan dengan
meningkatnya risiko kanker paru dengan mengakibatkan adanya DNA mismatch
repair pada gen M5H5. Gen pada kromosom 9p21.3 yang merupakan pengkode
tumor suppressor gene yang dapat menghambat CDK dan apoptosis terinduksi
stressor pada sel paru yang dapat meningkatkan risiko kanker paru serta gen pada
kromosom 12p13.33 yang juga dapat mempengaruhi DNA repair mechanism
pada sel kanker paru (Ina, 2016).

2.9 Penatalaksanaan Kanker Paru


Berdasarkan pedoman dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, penatalaksanaan
penyakit kanker paru terdiri dari radioterapi, kemoterapi dan pembedahan. Adapun
algoritma penatalaksanaan kanker paru di Indonesia adalah sebagai berikut :

13
Gambar 2.2 Alur Penatalaksanaan Kanker Paru

1. Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat utama harus
ditentukan jenis histologis tumor dan tampilan (performance status) harus lebih dari
60 menurut skala Karnosfky atau 2 menurut skala WHO. Kemoterapi dilakukan
dengan menggunakan beberapa obat antikanker dalam kombinasi regimen
kemoterapi. Pada keadaan tertentu, penggunaan 1 jenis obat anti kanker dapat
dilakukan. Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen
kemoterapi adalah:
a. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)
b. Respons obyektif satu obat antikanker s 15%
c. Toksisitas obat tidak melebihi grade 3 skala WHO
d. harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 siklus pada penilaian terjadi
tumor progresif.

Regimen untuk KPKBSK adalah :

a. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)


b. PE (sisplatin atau karboplatin + etoposid)
c. Paklitaksel + sisplatin atau karboplatin
d. Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin
e. Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin

Syarat standar yang harus dipenuhi sebelum kemoterapi :

14
a. Tampilan > 70-80, pada penderita dengan PS < 70 atau usia lanjut, dapat
diberikan obat antikanker dengan regimen tertentu dan/atau jadual tertentu.
b. Hb > 10 g%, pada penderita anemia ringan tanpa perdarahan akut, meski Hb < 10
g% tidak pertu tranfusi darah segera, cukup diberi terapi sesuai dengan penyebab
anemia.
c. Granulosit > 1500/mm3
d. Trombosit > 100.000/mm3
e. Fungsi hati baik
f. Fungsi ginjal baik (creatinin clearance lebih dari 70 ml/menit) (PDPI, 2003).
2. Radioterapi
Radioterapi pada kanker paru dapat menjadi terapi kuratif atau paliatif. Pada terapi
kuratif, radioterapi menjadi bagian dari kemoterapi neoadjuvan untuk KPKBSK
stadium IIIA. Pada kondisi tertentu, radioterapi saja tidak jarang menjadi alternatif
terapi kuratif. Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk
meringankan keluhan penderita, seperti sindroma vena kava superior, nyeri tulang
akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastasis tumor di tulang atau otak.
Penetapan kebijakan radiasi pada KPKBSK ditentukan beberapa faktor :
a. Staging penyakit
b. Status tampilan
c. Fungsi paru
Bila radiasi dilakukan setelah pembedahan, maka harus diketahui :
- Jenis pembedahan termasuk diseksi kelenjar yang dikerjakan
- Penilaian batas sayatan oleh ahli Patologi Anatomi (PA)
Dosis radiasi yang diberikan secara umum adalah 5000 – 6000 cGy, dengan cara
pemberian 200 cGy/x, 5 hari perminggu. Syarat standar sebelum penderita diradiasi
adalah :
a. Hb > 10 g%
b. Trombosit > 100.000/mm3
c. Leukosit > 3000/dl
Radiasi paliatif diberikan pada unfavourable group, yakni :
a. PS < 70.
b. Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan.
c. Fungsi paru buruk (PDPI, 2003).
3. Pembedahan

15
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stadium I dan II.
Pembedahan juga merupakan bagian dari “combine modality therapy”, misalnya
kemoterapi neoadjuvan untuk KPBKSK stadium IIIA. Indikasi lain adalah bila ada
kegawatan yang memerlukan intervensi bedah, seperti kanker paru dengan sindroma
vena kava superiror berat. Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor
direseksi lengkap berikut jaringan KGB intrapulmoner, dengan lobektomi maupun
pneumonektomi. Segmentektomi atau reseksi baji hanya dikerjakan jika faal paru
tidak cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan potong beku untuk
memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB mediastinum diambil
dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara patologi anatomis.

Gambar 2.3 Alur Diagnosis Kanker Paru

Hal penting lain yang penting dingat sebelum melakukan tindakan bedah adalah mengetahui
toleransi penderita terhadap jenis tindakan bedah yang akan dilakukan. Toleransi penderita
yang akan dibedah dapat diukur dengan nilai uji faal paru dan jika tidak memungkin dapat
dinilai dari hasil analisis gas darah (AGD) : Syarat untuk reseksi paru :

a. Resiko ringan untuk Pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral baik, VEP1>60% .
b. Risiko sedang pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral > 35%, VEP1 > 60%
(PDPI, 2003).

16
2.10 Prognosis
Seperti yang telah dibahas pada bagian pendahuluan, kanker paru merupakan salah
satu kanker yang fatal dengan tingkat kematian paling tinggi jika dibandingkan
dengan kanker lainnya. Prognosis kanker paru dikelompokkan berdasarkan
stadiumnya dimana semakin tinggi tingkatan kankernya maka angka 5 years
survivalnya akan semakin rendah (Zhang et al, 2015).

STAGE 5 YEARS SURVIVAL


IA 49%
IB 45%
IIA 30%
IIB 31%
IIIA 14%
IIIB 5%
IV 1%
Tabel 2.3 Persentase pasien yang mampu bertahan hidup setelah terdiagnosis kanker
paru

17
BAB III

KESIMPULAN

Kanker paru adalah jenis penyakit keganasan yang menjadi penyebab kematian utama
pada kelompok kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki laki tetapi juga pada
perempuan. Gangguan atau kekacauan dari sistem checks dan balances pada pertumbuhan sel
berakibat pada suatu pembelahan dan perkembangbiakan sel-sel yang tidak terkontrol yang
pada akhirnya membentuk suatu massa yang dikenal sebagai suatu tumor. Kanker adalah
tumor yang dipertimbangkan sebagai ganas.
Kanker paru memiliki 2 tipe utama, yaitu Small cell lung cancer (SCLC) dan
Nonsmall cell lung cancer (NSCLC). SCLC adalah jenis sel yang kecil-kecil (banyak)
dimana memiliki daya pertumbuhan yang sangat cepat hingga membesar. Tipe ini sangat erat
kaitannya dengan perokok, penanganan cukup berespon baik melalui tindakan kemoterapi
dan radioterapi. Sedangkan NSCLC adalah merupakan pertumbuhan sel tunggal, tetapi
seringkali menyerang lebih dari satu daerah di paru-paru, misalnya adenokarsinoma,
karsinoma sel skuamosa, karsinoma sel besar (Large Cell Ca) dan karsinoma
adenoskuamosa.
Penatalaksanaan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti
terapi). Kemoterapi dengan gefitinib untuk lini pertama memberikan angka harapan hidup
yang cukup baik. Prognosis keseluruhan untuk kanker paru adalah jelek. Angka-angka
kelangsungan hidup untuk kanker paru umumnya lebih rendah daripada yang untuk
kebanyakan kanker-kanker, dengan suatu angka keseluruhan kelangsungan hidup lima tahun
untuk kanker paru sebesar 16%.
Penghentian merokok adalah langkah/tindakan yang paling penting yang dapat
mencegah kanker paru. Mengecilkan paparan pada merokok pasif juga adalah suatu tindakan
pencegahan yang efektif.

18
DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. (2014). Lung Cancer Prevention and Early Detection. American
Cancer Society

American Cancer Society. (2015). TNM Staging Lung Cancer.


http://www.cancer.org/cancer/lungcancer

American Cancer Society (ACS). (2016). Cancer fact and figures. INC. www.cancer.org

American Cancer Society (2016). Lung Cancer (Non-Small Cell)


http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003115-pdf

Anwar, A., & dll. (2014). Analisis Penyebab Kematian Pasien Kanker Paru. Jurnal
Respirologi Indonesia , 34.

Dahlberg SE, Schiller JH, Bonomi PB, Sandler AB, Brahmer JR, Ramalingam SS, et al.
(2013). Body mass index and its association with clinical outcomes for advanced non-
small-cell lung cancer patients enrolled on Eastern Cooperative Oncology Grup
Clinical trial. J Thorac Oncol, 8 (9): 1121-7.

Haryati, Bakhriansyah, M., & Nur Aisah, S. K. (2013). Profil Penderita Kanker Paru Primer
di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin Tahun 2006-2011. Jurnal
Respirologi Indonesia , 33.

Ina, J. 2016. Kanker Paru: Sebuah Kajian Singkat. Chest crit and Emerg Med Vol.4 No.1

Harrison. 2012. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih bahasa Asdie Ahmad H., Edisi
13, Jakarta: EGC

Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta: Kementrian Kesehatan
RI, 2016.

Kementerian Kesehatan RI (2015). Info datin stop kanker.


https://www.depkes.go.id/resources/download.usdatin/infodatin/infodatin -kanker.pdf

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2015). Pedoman nasional pelayanan kanker


paru. http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PNPKParu.pdf

19
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Kanker Paru di Indonesia. Jakarta: Indonesia.

Ridge CA, McErlean AM, Ginsberg MS (2013). Epidemiology of lung cancer. Seminars in
Interventional Radiology, 30: 93- 8.

World Health Organization. (2014 November). Cancer. World Health Organization:


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs297/en/

Xu CH, Yu L, Zhan P, Zhang Yu. Elevated pleural efusion IL-17 is a diagnostic marker and
outcome predictor in lung cancer patients. Eur J Med Res. 2014; 19(1): 23.

Zhang H, Liu HB, Yuan D, Wang Z, Wang ZF, Wang Y, et al. Prognostic value of secreted
phosphoprotein-1 in pleural effusion associated with non-small cell lung cancer.
BMC Cancer. 2014;14:280

20

Anda mungkin juga menyukai