Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN DENGAN

MODS

Disusun Oleh:

MUHAMAD SUHAERUL

433131490120024

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KHARISMA KARAWANG

Jl. Pangkal Perjuangan Km 1 By Pass Karawang 41316

2020-2021
LAPORAN PENDAHULUAN

MODS (MULTIPLE ORGAN DYSFUNCTION SYNROME)

A. Definisi
Berdasarkan konsensus The American College of Chest Physicians (ACCP)/ Society of
Critical Care Medicine (SCCM) tahun 1992, Sindrom Disfungsi Organ Multipel
(Multiple Organ Dysfunction Syndrome/ MODS) didefinisikan sebagai adanya fungsi
organ yang berubah pada pasien yang sakit akut, sehingga homeostasis tidak dapat
dipertahankan lagi tanpa intervensi. Disfungsi dalam MODS melibatkan >2 sistem organ
(Herwanto & Amin,2009). MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) adalah
keadaan kacaunya fisiologi sehingga fungsi organ tidak dapat menjaga homeostasis
(Grace & Borley, 2011).

B. Etiologi
Suatu studi, multisenter, observasional di Eropa, Sepsis Occurrence in Acutely Ill
Patients (SOAP), dalam Herwanto & Amin melaporkan MODS terjadi lebih sering pada
pasien-pasien sepsis (75 vs. 43%) dibandingkan dengan pasien-pasien ICU lain.

Faktor risiko utama terjadinya MODS adalah sepsis dan Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS), beratnya penyakit (berdasarkan Acute Physiology and and
Chronic Health Evaluation/APACHE II dan III), shock dan hipotensi berkepanjangan,
terdapat fokus jaringan mati, trauma berat, operasi besar, adanya gagal hati stadium
akhir, infark usus, disfungsi hati, usia >65 tahun, dan penyalahgunaan alkohol.
(Herwanto & Amin,2009).

Kelompok di Denver yakni Offner dan Moore, Moore et al,dan Sauaia et al6
menekankan bahwa faktor risiko MODS pada pasien-pasien trauma meliputi transfusi
darah masif, trauma abdomen mayor, dan fraktur multipel. (Herwanto & Amin,2009).

Tabel 2.4 Jejas Fisiologis dan Patologis yang Dapat Memicu Terjadinya MODS

Infeksi Trauma Inflamasi Non infeksi


Bakteraemia Trauma multiplel Pankreatitis Kanker

Viraemia Pasca pembedahan Vaskulitis Infus sitokin

Fungemia Iskemia visceral HIV Reaksi obat

Penyakit rickettsia Status epileptikus Eklampsia Sindrom reperfusi

Mycobacteria Trauma kepala Gagal hati Reaksi transfusi

Infeksi protozoa Sindrom kompartemen Sindrom Sindrom Aspirasi


kardiopulmonal
Infeksi organ padat Abdominal
Transfusi masif

C. Patofisiologi
Seorang ahli bedah, penting untuk mengatahui bahwa fenomena hetergogen diketahui
sebagai systemic inflammatory response syndrome (SIRS), sepsis dan multiple organ
dysfuction syndrome (MODS) bukanlah suatu penyakit. Ketiga hal tersebut adalah proses
inflamasi dan pada dasarnya merupakan konsekuensi yang tidak diinginkan dari
resusitasi pada sejumlah penyakit parah atau cidera mengetumakan perawatan medis
yang baru akan menyebabkan fatal. Beberapa contoh penyakit adalah luka bakar berat,
luka trauma, pankreatitis parah, kerusakan intra abdominal. Ruptur aneurisma aorta, seta
infeksi nosokomial dengan organisme resistan (Fischer, 2007).

Kerusakan jaringan terjadi selama inflamasi dan merupakan suatu proses yang pada
akhirnya dapat menyebabkan disfungsi kegagalan organ. Sel endotel vaskuler
mengekspresikan molekul-molekul adhesi yang menarik leukosit dari sirkulasi untuk
migrasi ke jaringan. Akumulasi leukosit terjadi sebagai respons terhadap dari chemokine,
IL-8. Kerusakan jaringan terjadi karena degranulasi leukosit, menghasilkan elastase dan
matrix metalloproteinase (MMP) yang mendegradasi protein struktural. Leukosit yang
teraktivasi juga memproduksi spesies oksigen reaktif (ROS) dari NADPH oksidase
membrane yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. (McKinlay & Bihari, 2003;
Vincent, 2007).

Dilatasi dan konstrikso lokal, blokade pembuluh darah oleh agregasi neutrofil dan
trombosit, kerusakan endotel dan edema interstisial semuanya berkontribusi dalam
kejadian hipoksian jaringan pada MODS (Singer, 1998). Kematian sel karena hipoksia
akan memicu respon inflamasi. Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan
TNF-α dan IL-8 yang mengakibatkan perubahan permeabilitas epitel. Hipoksia juga
menginduksi pelepasan IL-6, sitokin utama yang berperan menimbulkan respon fase akut
(McKinlay & Bihari, 2003).

Setelah terjadi perfusi pada jaringan iskemik, terbentuklah ROS sebagai hasil
metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidse dan hasil metabolisme AA.
Jumlah ROS yang terbentuk melebihi kapasitas anti-oksidan endogen sehingga terjadi
dominasi oksidasi komponen seluler yang penting (McKinlay & Bihari, 2003; Singer,
1998). Selain itu terjadi produksi super oksida dismutase oleh neutrofil teraktivasi.
Kematian sel juga terjadi akibat influks kalsium ke dalam sel (calciu- mediated cell
damage) (McKinlay & Bihari, 2003).

Respon inflamasi MODS terkait dengan perubahan dinamika dan regulasi apoptosis
dibandingkan dengan keadaan non-inflamasi (McKinlay & Bihari, 2003). Pada MODS
terjadi keterlambatan apoptosis neutrofil serta peningkatan apoptosis limfosit dan
parenkim. Keterlambatan apoptosis neutrofil memperpanjang fungsi neutrofil dalam
proses inflamasi sekaligus memperpanjang elaborasi metabolit toksis. Peningkatan
apoptosis limfosit mengurangi efektor inflamasi sekaligus menyebabkan imunosupresi.
Apoptosis parenkim mengurangi cadangan fungisonal organ (Mahindhara & Billiar,
2000). Berdasarkan hal tersebut diatas maka akan terjadi MODS. 6 sistem yang termasuk
evaluasi paling sering pada MODS adalah sistem respirasi, kardiovaskuler, ginjal, hati,
hematologi dan neuologi. Sistem organ lain yang juga sering diikutsertakan dalam
evaluasi adalah gastrointestinal (GI), endokrin dan imunologi (Sakr, Sponholz, &
Reinhart, 2007).

D. Manifestasi Klinis
Disfungsi respirasi sering terjadi pada pasien SIRS. Kirakira 35% pasien sepsis akan
mengalami acute lung injury (ALI) ringan-sedang dan 25% mengalami komplikasi penuh
menjadi ARDS. Disfungsi respirasi bermanifestasi sebagai takipnea; perubahan status
oksigenasi yang terlihat dari hipoksemia, penurunan rasio PaO2/FiO2 atau kebutuhan
suplementasi oksigen; hipokarbia, serta infiltrat bilateral pada foto polos dada, setelah
kemungkinan gagal jantung kiri disingkirkan. Disfungsi respirasi juga ditunjukkan
dengan jumlah positive end-expiratory pressure (PEEP) dan/atau penggunaan ventilasi
mekanik. Jika disfungsinya berat, dapat berkembang menjadi acute lung injury (ALI)
dengan komplikasi ARDS pada 60% kasus shock sepsis. Diagnosis ARDS ditegakkan
bila rasio PaO2/FiO2 <200 mmHg dan, bentuk yang lebih ringan, ALI, didiagnosis bila
rasio PaO2/FiO2 <300 mmHg. (Balk MD, 2000).

NO (nitric oxide) berperan menyebabkan disfungsi kardiovaskuler. NO berperan


menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik pada MODS dan, bersama dengan
TNF-a dan IL-1b, berperan mendepresi fungsi miokardium Buruknya perfusi dengan
sendirinya akan berpengaruh pada sistem organ lain. Selain itu, kerusakan endotel
menyebabkan hilangnya fungsi barier endotel sehingga terjadi edema dan redistribusi
cairan. Disfungsi kardiovaskuler memberikan manifestasi hipotensi, aritmia, perubahan
frekuensi jantung, henti jantung, perlunya dukungan inotropik atau vasopresor, serta
meningkatnya tekanan vena sentral atau tekanan baji kapiler pulmonal. (Balk MD, 2000).

Seperti jaringan lainnya, ginjal rentan terhadap kerusakan jaringan yang diperantarai
leukosit melalui produksi protease dan ROS. Hipovolemia, curah jantung yang rendah,
obat-obatan nefrotoksik, peningkatan tekanan intra- abdomen dan rabdomiolisis
semuanya berperan menyebabkan disfungsi ginjal. Peningkatan kreatinin serum,
penurunan volume urin (oliguria/anuria), atau adanya penggunaan terapi pengganti ginjal
(seperti dialisis) dapat digunakan untuk memantau adanya disfungsi ginjal (Balk MD,
2000).

Disfungsi hati didiagnosis dengan adanya ikterik atau hiperbilirubinemia, peningkatan


transaminase serum, laktat dehidrogenase, atau fosfatase alkali, hipoalbuminemia, dan
perpanjangan waktu protrombin. Trombositopenia, leukositosis atau leukopenia,
manifestasi koagulopati dengan perpanjangan waktu protrombin, waktu tromboplastin
parsial,produk degradasi fibrin, atau tanda koagulasi intravaskuler diseminata lain,
perdarahan yang banyak, serta ekimosis merupakan petunjuk adanya disfungsi
hematologi (Balk MD, 2000).

Disfungsi neurologis terutama ditandai dengan gangguan kesadaran dan fungsi serebral.
Tanda perubahan fungsi sistem saraf pusat meliputi penurunan Glasgow Coma Scale,
koma, obtundasi, confusion, dan psikosis.1 EEG secara umum memperlihatkan
perlambatan difus, sementara CT-scan kepala dan analisa carian serebrospinal
memberikan hasil normal. Polineuropati dan polimiopati dapat terjadi pada kondisi
MODS. Patofisiologi polineuropati melibatkan degenerasi aksonal primer akibat
mediator proinflamasi. Dibutuhkan 3-6 bulan untuk perbaikan akson. Fakta ini dapat
menjelaskan ketergantungan ventilator yang lama pada pasien-pasien sakit berat. Pasien
seperti ini membutuhkan rehabilitasi setelah penyapihan dari ventilator, sebelum pasien
pulang. Hipoperfusi splanknik sering ditemukan setelah trauma, sepsis dan keadaan
shock. Iskemia splanknik bermanifestasi sebagai perdarahan stress ulcer, ileus, hepatitis
iskemik, kolesistitis akalkulus dan pankreatitis, intoleransi nutrisi enteral, iskemia/infark
intestinal, maupun perforasi gastrointestinal. Iskemia mukosa usus meningkatkan
permeabilitas intestinal dan menyebabkan terjadinya translokasi bakteri dan mediator-
mediator lain ke dalam sirkulasi sistemik. Disfungsi endokrin bermanifestasi sebagai
hiperglikemia akibat resistensi insulin, hipertrigliseridemia, hipoalbuminemia, penurunan
berat badan, dan hiperkatabolisme. Hiperglikemia terjadi karena peningkatan
glukoneogenesis dan gangguan bersihan glukosa. Lipolisis meningkatkan gliserol dan
asam lemak bebas dalam plasma. Dalam perkembangan ke arah MODS,
hipertrigliseridemia terjadi akibat penurunan bersihan trigliserida dan kemudian
glukoneogenesis gagal berjalan, menyebabkan hipoglikemia (Balk MD, 2000).

Disfungsi sistem imun diduga terjadi dengan terjadinya infeksi nosokomial, pireksia,
peningkatan leukositosis, dan gangguan aktivitas imun. (Balk MD, 2000).

Urutan klasik akumulasi MODS adalah gagal respirasi (dalam 72 jam pertama)
mendahului gagal hati (5-7 hari) dan intestinal (10-15 hari), diikuti gagal ginjal (11-17
hari). Kegagalan hematologi dan miokardial biasanya merupakan manifestasi akhir
MODS, sedangkan kegagalan SSP dapat terjadi di awal atau akhir perjalanan penyakit.
Urutan kegagalan organ ini dapat dipengaruhi oleh proses penyakit akut dan cadangan
fisiologis pasien. Pada pasien MODS, gagal respirasi merupakan jenis disfungsi yang
paling sering (74,4%) dan menyebabkan mortalitas yang tinggi (65,5%) (Herwanto &
Amin, 2009).

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic MODS bisa dilakukan dengan Pendekatan Klinis dengan Sistem
Skoring. Skor kegagalan organ terutama dimaksudkan sebagai alat deskriptif untuk
menstratifikasi dan membandingkan status pasien di ICU dalam hal morbiditas, bukan
mortalitas (kecuali Logistic Organ Dysfunction System/ LODS) (Herwanto & Amin,
2009).
Tabel 2.5 Perbandingan Parameter Antara Ketiga Sistem Skoring MODS

Parameter MODS SOFA LODS


PaO2/FiO2
PaO2/FiO2
Respirasi PaO2/FiO2
Status ventilasi/
Dukungan ventilasi
CPAP
Hitung Leukosit
Koagulasi Hitung trombosit Hitung trombosit
Hitung trombosit
Konsentrasi bilirubin
Hati Konsentrasi bilirubin Konsentrasi bilirubin
Waktu protombin
Frekuensi jantung
Tekanan darah
Kardio- Frekuensi jantung X
vaskular (CVP/MAP) Tekanan darah
Dukungan adrenergik
sistolik
SSP GCS GCS GCS
Konsentrasi ureum
Konsentrasi kreatinin
Ginjal Konsentrasi kreatinin dan kreatinin volume
atau volume urin
urin

F. Penatalaksanaan
Pencegahan adalah langkah yang utama dan terpenting, dilakukan terutama pada pasien
sakit berat, karena hingga saat ini belum ditemukan terapi yang spesifik untuk MODS.
Manajemen pasien MODS yang terutama adalah suportif, sedangkan terapi spesifik
diarahkan untuk mengidentifikasi dan menterapi penyakit dasar. Infeksi dan sepsis
adalah kondisi tersering sebagai penyebab MODS. Oleh karena itu sangat perlu
dilakukan investigasi terhadap kemungkinan adanya infeksi aktif pada setiap kasus
MODS dengan pemeriksaan kultur dari lokasi infeksi hingga dengan pemeriksaan
diagnostik lain.

Strategi pencegahan yang paling efektif sekaligus merupakan strategi terapi yang paling
efektif, yakni mengatasi infeksi dan membersihkan jaringan mati. Cara-cara yang telah
terbukti efektif meliputi aplikasi teknik pembedahan yang baik, pengendalian infeksi
nosokomial, serta mencegah ulkus dekubitus. Terapi antimikroba yang tepat (bila perlu
secara empiris) dengan dosis yang tepat yang diberikan secara dini pada penyakit infeksi
akan memperbaiki keluaran. Tatalaksana suportif yang utama pada pasien MODS,sesuai
dengan disfungsi sistem organ yang paling sering terjadi, meliputi manajemen
hemodinamik, respirasi, ginjal, hematologi, gastrointestinal, endokrin, dan tidak kalah
pentingnya adalah nutrisi.

Prinsip manajemen hemodinamik adalah mempertahankan oksigenasi jaringan pada


pasien risiko tinggi. Pemberian oksigen cukup dipertahankan sesuai kadar yang adekuat
yang dapat dipantau dari perfusi organ berupa volume urin, adanya asidosis laktat,
ataupun elevasi segmen ST pada EKG. Manajemen yang disarankan berupa penggantian
volume intravaskuler secara cepat untuk mengoreksi hipoperfusi jaringan yang ditandai
oleh deficit basa arteri (atau, bila terdapat gagal ginjal, laktatemia) >2 mmol/L. Bila
koreksi tidak tercapai, dapat diberikan inotropik untuk meningkatkan curah jantung, atau
dengan transfuse packed red cell untuk meningkatkan kadar hemoglobin. Manajemen
respirasi diarahkan untuk membantu oksigenasi dan ventilasi untuk menjamin suplai
oksigen yang cukup ke jaringan. Manajemen yang disarankan adalah intubasi dini dan
ventilasi mekanik, inhalasi NO, serta pemberian keksametason dosis tinggi pada fase
fibroproliferatif ARDS. Intubasi dini dan ventilasi mekanik dapat membantu mengurangi
aliran darah ke diafragma dan otot-otot bantu nafas, namun harus dilakukan penilaian
apakah keuntungannya jauh melebihi kerugiannya (Herwanto & Amin, 2009).

Anda mungkin juga menyukai