Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH ISU TERKINI EPIDEMIOLOGI

NEGLECTED TROPICAL DISEASES:


RABIES

Oleh
ANDI ALI RESA
NIP. 197109271994031011

KKP KELAS I MAKASSAR


TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-
Nya, sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dalam waktu yang
telah ditentukan. Tanpa pertolongan-Nya penulis tidak akan mampu untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penyusunan makalah ini dimaksudkan
untuk menambah wawasan dan informasi terkait penyakit Rabies yang banyak
terjadi dimasyarakat.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, pemberian kritik dan saran yang bersifat membangun
dari semua pihak sangat diharapkan guna perbaikan dan kelengkapan penyusunan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, 17 April 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2

1.3 Tujuan........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4

2.1 Target.........................................................................................................4

2.2 Gambaran Epidemiologi............................................................................4

2.3 Faktor Risiko..............................................................................................7

2.4 Manifestasi Klinis......................................................................................9

2.5 Diagnosis.................................................................................................11

2.6 Strategi Pencegahan, Pengendalian dan Program yang Telah Ada.........12

BAB IIIPENUTUP...............................................................................................18

3.1 Kesimpulan..............................................................................................18

3.2 Saran........................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................20

2
BAB I

PENDAHULUAN

3.1 Latar Belakang


Neglected Tropocal Diseases atau Penyakit tropis yang terabaikan
menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang membutuhkan
perhatian dunia. NTD banyak ditemukan pada masyarakat dengan status
sosial ekonomi yang rendah serta tinggal pada lingkungan dengan kualitas
yang buruk. Kelompok penyakit NTD disebut sebagai penyakit yang
terabaikan karena hingga kini perhatian baik dalam kebijakan, strategi
kesehatan, alokasi, dan intevensi masih sangat kurang.
Infeksi dari kelompok penyakit tropis terabaikan mendatangkan
sejumlah kerugian besar seperti cacat kronis pada penderita, gangguan
pertumbuhan dan perkembangan pada anak yang terinfeksi, gangguan pada
masa kehamilan, penurunan produktivitas, penurunan pendapatan ekonomi,
hingga kematian. Salah satu penyakit NTD yang memberikan manifestasi
klinis berat pada penderitanya adalah rabies.
Rabies atau yang biasa disebut dengan penyakit anjing gila adalah
penyakit akibat infeksi pada saraf pusat (otak) akibat virus rabies. Hingga
saat ini, obat efektif dalam penyembuhan kasus rabies masih belum berhasil
ditemukan. Namun pencegahan rabies dapat dilakukan dengan pengenalan
dini pada gigitan hewan liar serta pengelolaan atau tatalaksana kasus gigitan
dilakukan sedini mungkin.
Setidaknya, ada 150 negara yang dilaporkan memiliki kasus rabies,
dan sekitar 55.000 orang meninggal dunia akibat penyakit ini. Sekitar 40%
dari penderita rabies berasal dari kelompok usia di bawah 15 tahun. Jumlah
kasus rabies yang menyerang manusia rata-rata dalam satu tahun di India
sebanyak 20.000 kasus, China 2.500 kasus, Filipina 20.000 kasus, dan
Indonesia 168 kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2020).
Provinsi dengan prevalensi Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR)
tertinggi di Indonesia adalah Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, serta

3
Sumatera Barat. Berdasarkan dari laporan Kemeskes, terjadi peningkatan
kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) di Bali dari tahun 2009-2012
sebesar 86,3%, dimana pada tahun 2009 kasus sebanyak 45.466 kemudian
pada tahun 2012 meningkat menjadi 84.750.
Melihat besarnya masalah tersebut, penulis tertarik untuk membahas
dan mengkaji salah satu dari penyakit tropis terabaikan yakni rabies dan
kemudian menuangkannya dalam makalah ini.

3.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang disusun
oleh penulis sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana target pencegahan dan penurunan kasus rabies?
1.2.2 Bagaimana gambaran epidemiologi rabies dalam skala global,
nasional, dan lokal?
1.2.3 Apa faktor risiko terjadinya rabies?
1.2.4 Bagaimana manifestasi klinis rabies?
1.2.5 Bagaimana diagnosis rabies pada hewan dan manusia?
1.2.6 Apa strategi pencegahan dan pengendalian serta program
pengendalian rabies yang telah ada?

3.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan pada makalah
sebagai berikut:
1.3.1 Mengetaui target pencegahan dan penurunan kasus rabies
1.3.2 Memahami gambaran epidemiologi rabies dalam skala global,
nasional, dan lokal
1.3.3 Mengetahui faktor risiko terjadinya rabies
1.3.4 Memahami manifestasi klinis rabies
1.3.5 Mengetaui diagnosis rabies pada hewan dan manusia

4
1.3.6 Mengetahui strategi pencegahan dan pengendalian serta program
pengendalian rabies yang telah ada

5
BAB II

PEMBAHASAN

3.4 Target

 Visi: Indonesia bebas rabies 2030


 Misi: Mengurangi secara bertahap dan akhirnya mengeliminasi rabies
pada manusia di Indonesia melalui vaksinasi massal anjing yang
berkelanjutan dan pemberian profilaksis pasca pajanan.
 Sasaran: mengeliminasi rabies pada manusia yang ditularkan lewat
anjing di Indonesia pada tahun 2030
 Tujuan:
1. Menurunkan kasus rabies pada anjing dan korban manusia di daerah
endemik di Indonesia
2. Mempertahankan daerah bebas rabies di Indonesia
3. Mencapai target tidak ada kasus rabies pada hewan dan manusia
yang terkonfirmasi dalam 2 (dua) tahun terakhir
4. Mencapai nol kematian akibat rabies pada manusia

3.5 Gambaran Epidemiologi

Pola epidemiologi penyebaran rabies memiliki karakteristik yang


berbeda antara area dengan cakupan imunisasi rabies pada anjing yang
tinggi dan rendah. Hal ini tampak jelas khususnya ketika membandingkan
kasus wabah rabies di Bali (cakupan imunisasi rabies pada anjing yang
rendah) tahun 2008-2015 dengan kasus rabies sporadis di Amerika Serikat
(cakupan imunisasi rabies pada anjing yang tinggi).
2.2.1 Epidemiologi Global Rabies
Secara global, rabies dapat ditemukan hampir di berbagai
belahan dunia kecuali di Antartika, Selandia Baru, Skandinavia,
Taiwan, Jepang, dan beberapa pulau kecil. WHO memperkirakan
terdapat 26.400-61.000 kasus kematian akibat rabies setiap tahun.

6
Namun, angka ini dianggap masih belum mewakili jumlah
mortalitas sesungguhnya akibat rabies yang diduga mencapai
100.000 kematian per tahun. Hal ini sangat mungkin disebabkan
oleh kurangnya surveilans, rendahnya pelaporan kasus rabies di
negara berkembang, serta kurangnya koordinasi lintas sektoral.
Aspek epidemiologi infeksi rabies pada manusia
menggambarkan kasus rabies pada hewan setempat. Jika rabies
pada anjing sering ditemukan pada suatu area geografis maka kasus
rabies pada manusia di lokasi yang sama biasanya berasal dari
gigitan oleh anjing yang terinfeksi. Sebaliknya, pada area dengan
cakupan imunisasi rabies yang tinggi terhadap anjing, kasus rabies
pada manusia umumnya disebabkan oleh gigitan satwa liar.
Kasus sporadis rabies juga dapat ditemukan pada individu
yang terinfeksi virus rabies secara tak langsung. Sebuah laporan
kasus menemukan adanya kasus rabies pada empat resipien organ
dari seorang pria di Texas yang meninggal akibat ensefalitis tanpa
sebab yang saat itu belum diketahui. Pewarnaan imunohistokimia
dan flouresens antibodi menunjukkan adanya virus rabies dan
badan Negeri pada berbagai sampel jaringan pada masing-masing
resipien organ. Penelusuran lanjutan mengungkapkan bahwa donor
organ memiliki riwayat gigitan oleh kelelawar beberapa waktu
sebelum meninggal. Berdasarkan laporan kasus ini dapat
disimpulkan bahwa penyebaran virus rabies dari donor ke resipien
cangkok organ bukan merupakan suatu kemustahilan dan menjadi
tantangan khusus dalam bidang cangkok organ.

2.2.2 Epidemiologi Rabies di Indonesia


Di Indonesia, penyakit rabies telah dilaporkan sejak awal
abad 19 dan masih menjadi masalah endemik pada beberapa pulau
besar seperti Bali, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan
Flores. Secara khusus, wabah rabies di Bali akhir tahun 2008 cukup
mengejutkan mengingat pulau ini merupakan wilayah dengan

7
tingkat kepadatan anjing yang cukup tinggi namun telah dinyatakan
bebas rabies selama beberapa waktu. Susilawathi, et al.
menemukan bahwa antara November 2008 hingga November 2010,
terdapat 104 pasien meninggal akibat rabies. Sebagian besar kasus
berasal dari area pedesaan (78,8%) dan berhubungan dengan
riwayat gigitan anjing (92,3%). Hal ini mengindikasikan bahwa
cakupan imunisasi rabies terhadap anjing masih cukup rendah saat
itu.
Tetapi sangat disayangkan bahwa, analisis lanjutan studi
yang sama menunjukkan adanya indikasi kesadaran masyarakat
masih rendah terhadap bahaya rabies dan penanganan awal untuk
pencegahan rabies di Indonesia. Dari 104 pasien yang terdiagnosis
rabies, sebagian besar (80,8%) sama sekali tidak melakukan
tindakan pembersihan luka dalam bentuk, sementara hanya 10,6%
pasien yang mencuci lukanya dengan air, dan hanya 5,8% pasien
yang memeriksakan lukanya ke rumah sakit terkait keparahan luka
(semuanya mendapat vaksin rabies, namun tak mendapat
imunoglobulin antirabies)

2.2.3 Epidemiologi Rabies di Bali


Salah satu daerah tinggi prevalensi rabies yaitu di daerah Bali
yang juga merupakan tempat banyaknya pemeliharaan anjing dan
hewan hewan lainnya. Pasca fase kritis wabah rabies di Bali, studi
dilakukan untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menjadi penentu
cakupan vaksinasi rabies terhadap anjing dan dampaknya terhadap
wabah rabies di Bali. Penelitian tersebut menemukan bahwa dari
survei terhadap 10.352 pemilik anjing, cakupan imunisasi lebih
tinggi secara signifikan pada anjing dewasa dibandingkan anak
anjing (91,4% vs 43,9%). Selain itu, anjing peliharaan yang
berkeliaran bebas memiliki kemungkinan tidak mendapat vaksinasi
rabies 2-3 kali lipat lebih besar dibandingkan anjing peliharaan
rumahan. Dari studi ini diketahui bahwa walaupun cakupan

8
vaksinasi rabies pada anjing dewasa sudah cukup baik, imunisasi
rabies pada kelompok khusus seperti anjing peliharaan yang
berkeliaran bebas dan anak anjing perlu mendapat perhatian lebih
baik guna memastikan cakupan imunisasi yang tinggi di area
geografis yang rentan mengalami wabah rabies.

3.6 Faktor Risiko

Menurut hasil penelitian I Nyoman, dkk., faktor yang


mempengaruhi kejadian rabies sebagai berikut :
1. Status vaksinasi rabies
Anjing-anjing yang tidak divaksin merupakan anjing-anjing yang
sangat rentan terhadap infeksi rabies, karena tidak memiliki antibodi
terhadap tantangan virus rabies lapangan. Antibodi memainkan peran
sentral dalam pencegahan terhadap infeksi rabies. Lembo et al., (2010)
dan Wunner dan Briggs (2010) menyatakan bahwa vaksinasi rabies
merupakan pendekatan yang paling efektif dalam pengendalian rabies
baik pada hewan maupun manusia.
Menurut Brown et al., (2011) menyatakan bahwa titer antibodi
tidak secara langsung berkorelasi dengan proteksi karena faktor-faktor
immunologi lain juga berperan dalam pencegahan rabies. Faizah et al.,
(2012) membuktikan bahwa vaksin yang digunakan dalam
pengendalian rabies di Bali efektif membentuk kekebalan humoral
maupun seluler dengan masa kekebalan protektif (di atas 0,5 IU)
sampai lima bulan pasca vaksinasi.
World Health Organization merekomendasikan bahwa 70% dari
populasi anjing di daerah tertular harus dikebalkan untuk mencegah
penyebaran dan memberantas rabies (WHO, 2005). Mempertahankan
cakupan vaksinasi secara berkala pada level yang direkomendasikan
untuk membentuk kekebalan kelompok/herd immunity yang tinggi

9
harus menjadi perhatian. Herd immunity yang tinggi adalah indikator
utama menuju keberhasilan pengendalian dan pemberantasan rabies.
2. Kontak dengan anjing lain
Rabies pada umumnya ditularkan oleh hewan penderita ke hewan
lain melalui gigitan atau luka yang terkontaminasi virus (Carroll et al.,
2010; Brown et al., 2011; Malerczyk et al., 2011). Menurut Malerczyk
et al., (2011) menyatakan bahwa kontak dengan anjing di daerah
tertular menunjukkan risiko yang sangat tinggi terhadap kejadian
rabies.
Proses penularan rabies dapat terjadi secara berantai antar anjing
karena terjadi perkelahian sewaktu anjing memasuki daerah asing.
Meningkatnya jumlah kasus gigitan anjing di daerah endemis
mencerminkan meningkatnya insidens rabies. Kondisi tersebut
merupakan ancaman bahaya rabies yang perlu diwaspadai.
Menghindari kontak antara anjing yang dipelihara dengan anjing lain
di daerah endemis merupakan tindakan biosekuriti untuk mencegah
penularan rabies. Oleh karena itu, menghindari kontak dengan hewan
pembawa rabies (HPR) lain khususnya anjing untuk mencegah
penularan rabies merupakan pesan kunci yang harus disampaikan pada
setiap kegiatan edukasi kepada masyarakat.
3. Kondisi fisik anjing
Mekanisme pertahanan oleh imunitas tubuh merupakan sistem
tubuh yang komplek dan saling berhubungan, karena beragamnya
komponen yang ikut berinteraksi. Secara umum dapat dikatakan
bahwa kondisi anjing dengan gizi yang cukup dan terawat dengan baik
dapat memacu komponen sistem imun berkembang dengan sempurna
sehingga dapat berfungsi secara optimal. Ketika sistem kekebalan
tubuh bekerja dengan baik, maka tubuh terlindungi dan terhindar dari
infeksi. Kekurangan gizi yang serius akan mengganggu respons imun
dan produksi antibodi. Anjing yang mengalami defisiensi nutrisi dan
tidak terawat dengan baik merupakan kondisi umum pada anjing di

10
Bali yang dipelihara secara dilepas. Anjing-anjing tersebut diberi
makan oleh pemilik seadanya, bahkan mencari pakan sendiri pada
tempat-tempat umum seperti pasar atau di tempat pengumpulan
sampah.
4. Jumlah anjing yang dipelihara
Memelihara anjing dua ekor atau kurang mempunyai
kemungkinan 0,23 kali lebih kecil anjingnya terjangkit rabies dari pada
yang memelihara lebih dari dua ekor. Tanggung jawab pemilik anjing
adalah salah satu komponen penting dalam pencegahan dan
pengendalian rabies pada anjing (Brown et al., 2011).Oleh karena itu,
komunikasi, informasi dan edukasi penting dilakukan secara intensif
untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang
bahaya rabies (Yousaf et al., 2012). Kegiatan tersebut diharapkan
dapat mengubah perilaku masyarakat supaya bertanggung jawab
terhadap anjing pemeliharaannya, sehingga dapat menciptakan suasana
yang kondusif dalam pelaksanaan program pemberantasan rabies yang
dicanangkan.
5. Pemeriksaan kesehatan anjing
Anjing yang tidak diperiksa kesehatannya berisiko 2,4 kali lebih
besar tertular rabies dibandingkan dengan anjing yang diperiksa
kesehatannya. Pemilik yang memeriksakan anjingnya ke dokter hewan
atau petugas kesehatan hewan menunjukkan telah memiliki tanggung
jawab untuk menjaga kesehatan anjingnya. Menurut Brown et al.,
(2011), salah satu komponen penting dalam pencegahan dan
pengendalian rabies adalah melakukan pemeriksaan rutin kesehatan
anjing.

3.7 Manifestasi Klinis

Rabies merupakan penyakit infeksi menular yang masuk ke dalam


kelompok ketiga. Kelompok ketiga dalam manifestasi klinis adalah

11
penyakit yang menunjukkan proses kejadian yang umumnya berakhir
dengan kelainan atau dengan kematian. Kelompok penyakit ini secara
klinik selalu disertai gejala klinis berat dan sebagian meninggal.
Adapun gejala klinis pada manusia sebagai berikut :
1. Tahap Prodromal
Pada tahap awal gejala yang timbul adalah demam, lemas, lesu,
tidak nafsu makan/ anorexia, insomnia, sakit kepala hebat, sakit
tenggorokan dan sering ditemukan nyeri.
2. Tahap Sensoris
Pada tahap ini sering ditemukan rasa kesemutan atau rasa panas
(parestesi) di lokasi gigitan, cemas dan reaksi berlebih terhadap
rangsang sensorik.
3. Eksitasi
Pada tahap ini penderita mengalami berbagai macam gangguan
neurologik, penderita tampak bingung, gelisah, mengalami halusinasi,
tampak ketakutan disertai perubahan perilaku menjadi agresif, serta
adanya bermacam-macam fobia yaitu hidrofobia, aerofobia, fotofobia.
Hidrofobia merupakan gejala khas penyakit rabies karena tidak
ditemukan pada penderita penyakit enchepalitis lainnya. Gejala lainnya
yaitu spasme otot, hiperlakrimasi, hipersalivasi, hiperhidrosis dan
dilatasi pupil. Setelah beberapa hari pasien meninggal karena henti
jantung dan pernafasan. Dari seluruh penderita rabies sebanyak 80%
akan mengalami tahap eksitasi dan lamanya sakit untuk tahap ini
adalah 7 hari dengan rata-rata 5 hari.
4. Tahap Paralisis
Bentuk lainnya adalah rabies paralitik, bentuk ini mencapai 30
% dari seluruh kasus rabies dan masa sakit lebih lama dibandingkan
dengan bentuk furious. Bentuk ini ditandai dengan paralisis otot secara
bertahap dimulai dari bagian bekas luka gigitan/cakaran. Penurunan
kesadaran berkembang perlahan dan akhirnya mati karena paralitik
otot pernafasan dan jantung. Pada pasien dengan gejala paralitik ini

12
sering terjadi salah diagnosa dan tidak terlaporkan. Lamanya sakit
untuk rabies tipe paralitik adalah 13 hari, lebih lama bila dibandingkan
dengan tipe furious.

3.8 Diagnosis

2.5.1 Diagnosis Pada Hewan


Diagnosis rabies dapat dibuat setelah deteksi virus rabies dari
bagian mana pun dari otak yang terkena, tetapi untuk
menyingkirkan rabies, tes harus mencakup jaringan dari setidaknya
dua lokasi di otak, sebaiknya batang otak dan otak kecil.
Tes ini mengharuskan hewan di-eutanasia. Tes itu sendiri
memakan waktu sekitar 2 jam, tetapi perlu waktu untuk
mengeluarkan sampel otak dari hewan yang dicurigai menderita
rabies dan mengirimkan sampel ini ke laboratorium diagnostik
kesehatan masyarakat atau veteriner negara bagian untuk diagnosis.
Di Amerika Serikat, hasil tes rabies biasanya tersedia dalam
waktu 24 hingga 72 jam setelah hewan dikumpulkan dan di-
eutanasia. Karena paparan rabies pada hewan yang dicurigai adalah
urgensi medis, tetapi bukan keadaan darurat, pengujian dalam
periode ini lebih dari cukup untuk menentukan apakah seseorang
terpapar hewan rabies, dan memerlukan vaksinasi pasca pajanan
rabies.
Sekitar 120.000 hewan atau lebih diuji untuk rabies setiap
tahun di Amerika Serikat, dan sekitar 6% ditemukan rabies.
Proporsi hewan positif sangat tergantung pada spesies hewan dan
berkisar dari <1% pada hewan domestik hingga> 10% spesies
satwa liar.
Berdasarkan surveilans rutin kesehatan masyarakat dan studi
patogenesis, bahwa tidak perlu menidurkan dan menguji semua
hewan yang menggigit atau berpotensi membuat seseorang terkena

13
rabies. Untuk hewan dengan kemungkinan rabies yang rendah
seperti anjing, kucing, dan musang, periode pengamatan (10 hari)
mungkin tepat untuk mengesampingkan risiko potensi paparan
rabies pada manusia.
2.5.2 Diagnosis Pada Manusia
Beberapa tes diperlukan untuk mendiagnosis rabies ante-
mortem (sebelum kematian) pada manusia; tidak ada tes tunggal
yang cukup. Tes dilakukan pada sampel air liur, serum, cairan
tulang belakang, dan biopsi kulit folikel rambut di tengkuk. Saliva
dapat diuji dengan isolasi virus atau reverse transcription diikuti
dengan polymerase chain reaction (RT-PCR). Serum dan cairan
tulang belakang diuji untuk antibodi terhadap virus rabies.
Spesimen biopsi kulit diperiksa untuk antigen rabies di saraf kulit
di dasar folikel rambut.

3.9 Strategi Pencegahan, Pengendalian dan Program yang Telah Ada

2.6.1 Pencegahan Rabies


1. Pemberian Vaksin Anti Rabies secara berkala di Pusat
kesehatan hewan (puskeswan) dinas kesehatan hewan/dinas
peternakan pada hewan peliharaan yang berpotensi
menyebarkan virus rabies seperti anjing, kucing, kera dll.
2. Jika seseorang telah digigit hewan yang berpotensi menularkan
rabies, maka yang pertama dilakukan adalah mencuci luka
gigitan dengan sabun dan air bersih yang mengalir kemudiaan
bersihkan dengan antiseptic /alcohol. Segera menuju ke rumah
sakit atau klinik kesehatan terdekat untuk ditangani lebih
lanjut.
3. Selalu melakukan pengawasan terhadap hewan peliharaan dan
terus menjaga kebersihannya.

14
4. Jika melihat hewan yang berpotensi menularkan rabies dan
memiliki gejala rabies maka segera laporkan ke pusat
kesehatan hewan (puskeswan) / dinas peternakan hewan yang
membawahi bidang peternakan
2.6.2 Pengendalian Rabies
Dikutip dari infodatin Kemenkes tahun 2016 Pengendalian
rabies dilaksanakan secara terintegrasi oleh 2 kementrian yang
bertanggung jawab yaitu Kementrian Pertanian dalam hal ini
Direktorat kesehatan Hewan untuk Penanganan kepada hewan
penular dan pengawasan lalu lintasnya, serta yang ke dua adalah
sector kesehatan untuk penanganan kasus gigitan pada manusia dan
penderita Rabies ( lyssa). Adapun upaya yang telah dilakukan
kementrian kesehatan dalam penanganan Rabies di Indonesia
adalah menyediakan vaksin Anti Rabies, menyediakan media KIE,
dan peningkatan kapasitass pengendalian Rabies.
Adapun prioritas kegiatan yang dilakukan adalah :
1. Penurunan kematian akibat rabies ( Lyssa) melalui penanganan
kasus GPHR dengan pembentukan / optimalkan rabies center
2. Surveilans epidemiologi terpadu
3. Meningkatkan akses masyarakat ke fasilitas pelayanan
kesehatan
4. Penanggulangan KLB terpadu
5. Kerja sama lintas sector
6. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petugas
7. Penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media
8. Pemenuhan kebutuhan logistik
Kemudian dikutip dari peraturan walikota padang No 60
tahun 2019 tentang pencegahan dan pengendalian rabies
menyebutkan bahwa pengendalian penyakit rabies dilakukan
dengan 3 upaya yaitu: promosi kesehatan, surveilans, dan rabies
center.

15
1. Promosi kesehatan
Promosi kesehatan merupakan salah satu upaya yang
dilakukan dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat
yang dilakukan secara integrasi baik di fasilitas kesehatan
maupun diluar faskes. Promosi kesehatan dilakukan dengan
kerja sama antar lintas sector baik dari kesehatan maupun
perangkat daerah yang terkait missal camat, lurah dll
2. Surveilans
Kegiatan surveilans dilkukan secara terpadu antar sector
kesehatan manusia dan kesehatan hewan. Setiap kasus pajanan
/gigitan hewan yang berobat ke faskes akan dikoordinasikan
dengan petugas dinas untuk melalukan penilaian terhadap
hewannya apakah terindikasi rabies atu tidak.
Surveilans rabies bertujuan untuk :
- Untuk mengetahui besaran maslalah dan beban penyakit
rabies di suatu wilayah
- Memonitor trend/kecenderungan penyakit rabies di suatu
wilayah, termasuk mendeteksi secara cepat terjadinya
KLB.
- Memonitor penggunaan VAR mengingat tingginya biaya
Post Exposure Prophylaxis (PEP)
- Menentukan status wilayah dan identifikasi wilayah risiko
tinggi terhadap rabies
- Sebagai dasar dalam perencanaan dan evaluasi efektifitas
program pengendalian rabies di suatu wilayah.
3. Rabies center
Pusat pelayanan rabies (Rabbies Center) berfungsi sebagai
pusat informasi tentang pengendalian / pencegahan rabies.
Dalam rangka surveilans rabies maka pusat pelayanan rabies
memiliki tugas :
- Melakukan tata laksana kasus GHPR sesuai SOP

16
- Memberikan KIE tentang rabies kepada
pasien./keluarga/masyarakat
- Tersedianya stok paling sedikit 1 kuur VAR
2.6.3 Program Pengendalian
Pendekatan One Health adalah dasar dari program
pengendalian rabies nasional di sebagian besar negara, biasanya
melibatkan berbagai kementerian dan tingkat pemerintahan, dan
yang terpenting, melibatkan komunitas dan masyarakat sipil. Ini
juga dapat membantu memperkuat sistem kesehatan nasional untuk
mengatasi penyakit zoonosis lainnya. Dibawah ini beberapa contoh
program dari tingkat global dan nasional:
1. Program vaksinasi
Menurut WHO Karena anjing bertanggung jawab untuk
menularkan 99% kasus rabies ke manusia, maka memvaksinasi
setidaknya 70% anjing yang berisiko adalah cara termurah dan
paling efektif untuk menghentikan penularan rabies antara
anjing dan dari anjing ke manusia. FAO, OIE dan WHO
berkomitmen untuk operasionalisasi 'One Health', yang
mempromosikan pendekatan kebijakan yang menghubungkan
intervensi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan. Dalam
kasus rabies, penelitian ilmiah dan bukti lapangan menunjukkan
bahwa kampanye vaksinasi anjing massal yang mencakup 70
persen dari populasi anjing yang berisiko dapat memberikan
kekebalan kelompok terhadap rabies. Ini dianggap sebagai satu-
satunya cara nyata untuk menghentikan siklus penularan
penyakit antara hewan dan manusia dan sebagai akibatnya
secara tajam mengurangi kematian akibat rabies pada manusia.
2. Program NAPRE di India
India meluncurkan Rencana Aksi Nasional baru untuk
Penghapusan Rabies yang Dimediasi anjing (NAPRE) pada
tahun 2030. Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam

17
rencana aksi nasional mengharuskan sektor-sektor yang berbeda
bergabung dalam pendekatan One Health. India kini telah
menciptakan jaringan One Health yang tidak hanya akan
melayani rabies tetapi juga akan memperkuat sistem
pengawasan dan kesehatan untuk berbagai risiko kesehatan pada
antarmuka manusia-hewan-lingkungan melalui koordinasi dan
komunikasi yang lebih baik antara kesehatan hewan dan
manusia serta sektor terkait lainnya.
3. ORV di Thailand
Metode yang lebih baru – memberikan vaksin oral pada
anjing – mendapatkan daya tarik sebagai alternatif yang aman
dan efektif. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi
Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mendukung penggunaan vaksin
rabies oral yang efektif dan aman untuk anjing. Membuat anjing
'memakan' umpan vaksin rabies jauh lebih cepat, lebih mudah
dan lebih praktis daripada menangkap mereka dengan jaring dan
memberi mereka suntikan rabies. Ini juga menghemat uang
karena lebih banyak anjing dapat divaksinasi setiap hari.
Thailand menerapkan vaksin oral pada populasi anjing
yang berkeliaran bebas. Pada tahun 2020 hampir 2.000 anjing
yang berkeliaran bebas telah diberikan ORV.
4. Program Kampanye vaksinasi massal gratis untuk anjing di
Meksiko
Meksiko menjadi negara pertama di dunia yang
menerima validasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
untuk menghilangkan rabies yang ditularkan anjing sebagai
masalah kesehatan masyarakat. Untuk mencapai eliminasi,
negara telah menerapkan strategi nasional untuk pengendalian
dan eliminasi rabies. Ini termasuk kampanye vaksinasi massal
gratis untuk anjing, yang telah berlangsung sejak tahun 1990-an
dengan cakupan lebih dari 80%; pengawasan yang
berkesinambungan dan efektif; kampanye peningkatan

18
kesadaran publik; diagnosis tepat waktu; dan ketersediaan
profilaksis pasca pajanan di layanan kesehatan masyarakat
negara tersebut. Akibatnya, negara itu mencatatkan 60 kasus
rabies manusia yang ditularkan oleh anjing pada tahun 1990,
menjadi 3 kasus pada tahun 1999, dan nol kasus pada tahun
2006. Dua kasus terakhir terjadi pada dua orang dari Negara
Bagian Meksiko, yang diserang di 2005 dan menunjukkan gejala
pada tahun 2006.
5. Inovasi CEKAL (cegah tangkal) dengan rabies center di
Sulawesi selatan.
Inovasi CEKAL (Cegah Tangkal) dengan Rabies Centre
lahir sebagai bentuk keprihatinan terhadap kasus Gigitan Hewan
Penular Rabies (GHPR) yang cenderung meningkat. Belum
terselenggaranya kolaborasi antara Dinas Kesehatan & Sektor
kesehatan hewan dalam penatalaksanaan kasus GHPR yang
berimplikasi pada strategi pencegahan, pengendalian dan alur
layanan. Sulawesi Selatan merupakan daerah endemis rabies,
data subdit zoonosis kementrian kesehatan tahun 2017
menunjukkan angka kematian tertinggi akibat rabies berada
pada propinsi Sulawesi selatan.
Keberadaan unit Rabies Centre bertujuan sebagai sumber
informasi, komunikasi, edukasi & layanan kesehatan kasus
GHPR yang diharapkan dapat menjadi role model Rabies Centre
dengan pendekatan One Health, serta solusi bagi strategi
pencegahan dan pengendalian kasus GHPR, menuju Indonesia
Eliminasi Rabies 2020 & akselerasi pencapaian target ASEAN
Free Rabies 2020.
Beberapa inovasi Rabies Center adalah terselenggara
koordinasi & kolaborasi dengan kesehatan hewan terhadap
kasus GHPR, terbentuknya unit Rabies Centre tingkat
Puskesmas & Tingkat Kota Parepare yang dilengkapi nomor

19
kontak centre yang melayani kasus dalam & luar wilayah Kota
Parepare.

20
BAB III

PENUTUP

3.10 Kesimpulan

Berdasarkan dari pembahasan bab sebelumnya, kesimpulan yang


diperoleh penulis sebagai berikut:
1. Target Indonesia pada tahun 2030 adalah bebas dari rabies dengan
mengurangi secara bertahap dan akhirnya mengeliminasi rabies pada
manusia di Indonesia melalui vaksinasi massal anjing secara berkala.
2. Secara global, rabies dapat ditemukan hampir di berbagai belahan
dunia kecuali di Antartika, Selandia Baru, Skandinavia, Taiwan,
Jepang, dan beberapa pulau kecil. Dari tahun 2008-2010, terdapat
104 masyarakat Indonesia meninggal akibat rabies, dimana sebagian
besar kejadian terjadi di daerah pedesaan. Bali menjadi salah satu
provinsi dengan prevalensi rabies tertinggi di Indonesia.
3. Faktor risiko yang mempengaruhi kejadiaan rabies adalah status
vaksinasi rabies pada anjing, kontak dengan anjing, kondisi fisik
anjing, jumlah anjing yang dipenjara, dan pemeriksaan kesehatan
anjing.
4. Manifestasi klinis pada manusia yang terinfeksi rabies adalah suhu
tubuh meningkat, reaksi berlebih terhadap ransangan sensorik,
gangguan pernapasan dan jantung, hingga kematian. Sedangkan
manifestasi klinis pada hewan yang terinfeksi oleh virus rabies
adalah suhu tubuh hewan meningkat, terjadi dilatasi pupil, mulut
hewan dilumuri oleh darah, kerusakan suara, otot menjadi kejang,
dan frekuensi nadi menjadi cepat.
5. Diagnosis dapat dilakukan pada hewan ketika telah terdeteksi virus
rabies di bagian otak hewan. Sedangkan diagnosis rabies pada
manusia dilakukan melalui sampel air liur, serum, cairan tulang
belakang, dan biopsi kulit folikel rambut di tengkuk.

21
6. Strategi pencegahan rabies berupa pemberian vaksin anti rabies yang
dilakukan secara berkala, mencuci luka gigitan dengan sabun dan air
bersih pada orang yang tergigit oleh hewan yang berpotensi
menularkan rabies, melakukan pengawasan terhadap hewan
peliharaan, dan segera laporkan ke pusat kesehatan hewan bila
melihat hewan berpotensi menularkan rabies. Pengendalian rabies
dilakukan melalui pemberian vaksin anti rabies, menyediaan media
KIE, dan meningkatkan kapasitas pengendalian rabies. Program
pengendalian rabies yang telah diterapkan oleh beberapa negara
antara lain: program vaksinasi, program NAPRE di India, ORV di
Thailand, kampanye vaksinasi massal gratis pada anjing di Mexico,
dan program CEKAL di Sulsel.

3.11 Saran

Pemerintah perlu melaksanakan upaya pencegahan rabies yang


komprehensif dan berkelanjutan. Selain itu, perlu diadakan monitoring
terhadap tatalaksana pencegahan dan pengobatan rabies, khususnya di
daerah dengan prevalensi rabies yang tinggi. Dalam hal ini, sebaiknya
pemerintah menjalin kerjasama dengan sektor lain yang mampu membantu
pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian rabies di Indonesia.

22
DAFTAR PUSTAKA

Arief RA, Hampson K, Jatikusumah A, Widyastuti MDW, Sunandar, Basri C, et


al. Determinants of Vaccination Coverage and Consequences for Rabies
Control in Bali, Indonesia. Front Vet Sci [Internet]. 2017;3(January):1–8.
Available from:
http://journal.frontiersin.org/article/10.3389/fvets.2016.00123/full
Centers for Disease Control and Prevention. Rabies.
https://www.cdc.gov/rabies/diagnosis/index.html (diakses pada 2
November 2021).
Dibia, I.N., Sumiarto, B., Susetya, H., Putra, A.A.G, & Scott-Orr, H. 2015.
Faktor-Faktor Risiko Rabies pada Anjing di Bali. Jurnal Veteriner, 16
(3) : 389-398.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Buku Saku Petunjuk Teknis
Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia.
___. 2020. Situasi dan Analisis Rabies. In Info Datin.
Noor, Nur Nasry. 2021. Epidemiologi Penyakit Menular. Makassar : UPT Unhas
Press.
Singh R, Singh KP, Cherian S, Saminathan M, Kapoor S, Manjunatha Reddy GB,
et al. Rabies – epidemiology, pathogenesis, public health concerns and
advances in diagnosis and control: a comprehensive review. Vet Q
[Internet]. 2017;37(1):212–51. Available from:
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01652176.2017.134351
Noor, N.N., 2021.Epidemiologi Penyakit Menular.UPT Unhas Press.hal.333
https://pusdatin.kemkes.go.id. ( diakses pada 3 November 2021)
https://jdih.padang.go.id › pw_60_tahun_2019. Pencegahan dan pengendalian
penyakit rabies ( diakses pada 3 Vovember 2021)
https://www.who.int/news/item/21-12-2019-mexico-is-free-from-human-rabies-
transmitted-by-dogs ( diakses pada 3 November 2021)
https://www.who.int/news/item/03-03-2021-eliminating-rabies-united-against-
rabies-forum publishes-its-first-report ( diakses pada 2 November 2021)
https://www.who.int/news/item/03-05-2021-oral-rabies-vaccine-a-new-strategy-
in-the-fight against-rabies-deaths ( diakses pada 2 November 2021)
https://www.who.int/news/item/24-09-2021-new-course-on-rabies-one-health-
launched-openwho ( diakses pada 2 november 2021)
https://www.who.int/news/item/25-10-2021-adopt-one-health-stop-rabies-india-
launches new-national-action-plan-for-dog-mediated-rabies-elimination-
by-2030 (diakses pada 2 november 2021)

23
https://jipp.sulselprov.go.id/direktori/read/105 ( diakses pada 3 November 2021)

24

Anda mungkin juga menyukai