Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Hemoptisis berasal dari kata haemoptysis = haima dan physis, dari bahasa
Yunani. Hemoptisis atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak
berdarah yang dibatukkan, yang berasal dari saluran pernapasan bagian bawah di
bawah laring. Batuk darah adalah suatu keadaan yang menakutkan atau
mengerikan bagi penderita maupun keluarganya, sehingga dapat menyebabkan
beban mental, bahkan menjadi gelisah. Sebagai akibat dari ketakutannya tadi
penderita berusaha menahan batuknya. Kalau hal ini terjadi, maka bahaya penyulit
\seperti penyumbatan saluran napas akan mengancam jiwa penderita, oleh sebab
itu ketenangan penderita mutlak diperlukan. Pada umumnya penderita, telah
mempunyai penyakit dasar, tetapi keluhan-keluhan yang berasal dari penyakit
dasar tadi tidak mendorong penderita untuk pergi berobat. Pada dasarnya batuk
darah akan berhenti sendiri, asal robekan pembuluh darah tidak luas, sehingga
penutupan luka dengan cepat terjadi.1

Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu penyakit infeksi.
Penyebab batuk darah sangat beragam, antara lain : penyakit infeksi, neoplasma,
benda asing, trauma, gangguan vaskular, penyakit autoimun dan lain-lain. Volume
darah yang dibatukkan bervariasi dari dahak bercampur darah dalam jumlah
minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan.6

Penderita yang mengalami batuk darah memerlukan pertolongan segera dan


pengawasan medis karena sewaktu-waktu dapat terjadi perdarahan masif yang
berakibat fatal. Penanganan batuk darah pada prinsipnya menjaga jalan napas agar
tidak terjadi asfiksia, menghentikan perdarahan dan penatalaksanaan selanjutnya
tergantung pada etiologi dan lokasi sumber perdarahan.6

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hemoptisis adalah ekspektorasi darah dari saluran napas. Darah


bervariasi dari dahak disertai bercak / lapisan darah hingga batuk berisi
darah saja.1,2 Hemoptisis atau batuk darah ialah darah atau dahak berdarah
yang dibatukkan, berasal dari saluran pernapasan bagian bawah (mulai
dari glottis kearah distal).2

Hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran


nafas dibawah laring, atau perdarahan yang keluar ke saluran nafas di
bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari
penyakit dasar sehingga etiologinya harus dicari melalui pemeriksaan yang
seksama.3

2.2 Etiologi
Sumber perdarahan hemoptisis dapat berasal dari sirkulasi pulmoner
atau sirkulasi bronkial. Hempotisis masif sumber perdarahan umumnya
berasal dari sirkulasi bronkial ( 95 % ). Sirkulasi pulmoner memperdarahi
alveol dan duktus alveol, sistem sirkulasi ini bertekanan rendah dengan
dinding pembuluh darah yang tipis. Sirkulasi bronkial memperdarahi
trakea, bronkus utama sampai bronkiolus dan jaringan penunjang paru,
esofagus, mediastinum posterior dan vasa vasorum arteri pulmoner.
Sirkulasi bronkial ini terdiri dari arteri bronkialis dan vena bronkialis. Asal
anatomis perdarahan berbeda tiap proses patologik tertentu: (a). bronkitis
akibat pecahnya pembuluh darah superfisial di mukosa, (b) TB paru akibat
robekan atau ruptur aneurisma arteri pulmoner (dinding kaviti “aneurisma
Rassmussen”). atau akibat pecahnya anastomosis bronkopulmoner atau
proses erosif pada arteri bronkialis, (c) infeksi kronik akibat inflamasi
sehingga terjadi pembesaran & proliferasi arteri bronchial misal :
bronkiektasis, aspergilosis atau fibrosis kistik,(d) kanker paru akibat

2
pembuluh darah yg terbentuk rapuh sehingga mudah berdarah. Penyebab
batuk darah sangat beragam antara lain :
 Infeksi : tuberkulosis, staphylococcus, klebsiella, legionella), jamur,
virus
 Kelainan paru seperti bronchitis, bronkiektasis, emboli paru, kistik
fibrosis, emfisema bulosa
 Neoplasma : kanker paru, adenoma bronchial, tumor metastasis
 Kelainan hematologi : disfungsi trombosit, trombositopenia,
disseminated intravascular coagulation (DIC)
 Kelainan jantung : mitral stenosis, endokarditis tricuspid
 Kelainan pembuluh darah : hipertensi pulmoner, malformasi
arterivena, aneurisma aorta
 Trauma : jejas toraks, rupture bronkus, emboli lemak
 Iatrogenik : akibat tindakan bronkoskopi, biopsi paru, kateterisasi
swan-ganz, limfangiografi
 Kelainan sistemik : sindrom goodpasture, idiopathic pulmonary
hemosiderosis, systemic lupus erytematosus, vaskulitis
(granulomatosis wagener, purpura henoch schoenlein, sindrom chrug-
strauss)
 Obat / toksin : aspirin, antikoagulan, penisilamin, kokain
 Lain-lain : endometriosis, bronkiolitiasis, fistula bronkopleura, benda
asing, hemoptisis kriptogenik, amiloidosis

2.3 Klasiikasi
a. Berdasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan:
1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam
Sering terjadi darah bercampur dengan sputum. Umumnya pada
bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darah yang lebih besar.
Biasanya pada kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.

3
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
4. Pseudohemoptisis
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di
atas laring) atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa
perdarahan buatan ( factitious ).

b. Berdasarkan penyebabnya:
1. Batuk darah idiopatik atau esensial
Dimana penyebabnya tidak diketahui. Angka kejadian batuk darah
idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas penegakandiagnosis. Pria
terdapat dua kali lebih banyak daripada wanita, berumur sekitar
30tahun, biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri sehingga
prognosis baik. Teori perdarahan ini adalah sebagai berikut :
a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh
bronkoskopi.
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infark paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis
e. Hipertensi pulmonal.

2. Batuk darah sekunder


Pada prinsipnya berasal dari :
a. Saluran napasi.
Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru,
pneumonia dan abses paru. Menurut Bannet, 82 – 86% batuk
darah disebabkan oleh tuberkulosis paru, karsinoma paru dan
bronkiektasis. Hemoptisis yang jarang dijumpai adalah penyakit
jamur (aspergilosis), silikosis, penyakit oleh karena cacing.

4
b. Sistem kardiovaskuler
Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi. Hemoptisis yang
jarang adalah kegagalan jantung, infark paru, aneurisma aorta.

c. Lain-lain
Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah
sepertihemofilia, hemosiderosis, sindrom Goodpasture,
eritematosus lupus sistemik, diatesis hemoragik dan pengobatan
dengan obat-obat antikoagulan.

c. Klasifikasi menurut Pusel :


+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis
dalam sputum
++ : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml
+++ : batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml
++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml
Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis
sedang, positif empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.

2.4 Patogenesis
Patogenesis terjadinya batuk darah yang disebabkan oleh berbagai
penyakit yang mendasarinya pada prinsipnya hampir sama, yaitu apabila
terjadi penyakit atau kelainan pada parenkim paru, sistem sirkulasi
bronkial atau pulmoner maupun pleura sehingga terjadi perdarahan pada
kedua sistem sirkulasi tersebut. Patofisiologi batuk darah akibat beberapa
penyakit yang mendasarinya akan dibahas berikut ini.

a. Hemoptisis pada Tuberkulosis

Ekspektorasi darah dapat terjadi akibat infeksi tuberkulosis yang masih


aktif ataupun akibat kelainan yang ditimbulkan akibat penyakit TB yang
telah sembuh.Susunan parenkim paru dan pembuluh darahnya dirusak oleh
penyakit ini sehingga sering terjadi bronkiektasis dengan

5
hipervaskularisasi, pelebaran pembuluh darah bronkial, anastomosis
pembuluh darah bronkial dan pulmoner.

Penyakit TB juga dapat mengakibatkan timbulnya kavitas dan terjadinya


pneumonitis TB akut yang dapat menyebabkan ulserasi bronkus disertai
nekrosis pembuluh darah di sekitarnya dan alveoli bagian distal. Pecahnya
pembuluh darah tersebut mengakibatkan ekspektorasi darah dalam dahak,
ataupun batuk darah masif. Ruptur aneurisma Rassmussen telah diketahui
sebagai penyebab batuk darah masif pada penderita TB ataupun pada
bekas penderita TB. Kematian akibat batuk darah masif pada penderita TB
berkisar antara 5-7%. Pada pemeriksaan postmortem, ternyata pada
penderita tersebut ditemukan ruptur aneurisma arteri pulmoner. Umumnya
pada penderita yang meninggal tersebut terjadi ruptur pada bagian arteri
pulmoner yang mengalami pelebaran akibat inflamasi pada kaviti TB. Hal
tersebut dapat terjasi karena keterlibatan infeksi TB pada tunika adventisia
atau media pembuluh darah namun juga akibat proses destruksi dari
inflamasi lokal.
Hemoptosis masif juga dapat terjadi pada bekas penderita TB. Hal tersebut
dapat terjadi akibat erosi lesi kalsifikasi pada arteri bronkial sehingga
terjadi hemoptisis masif. Selain itu ekspektorasi bronkolit juga dapat
menyebabkan batuk darah.

b. Hemoptisis pada bronkiektasis


Bronkiektasis terjadi akibat destruksi tulang rawan pada dinding bronkus
akibat infeksi ataupun penarikan oleh fibrosis alveolar. Perubahan yang
terjadi ternyata juga melibatkan perubahan arteri bronkial yaitu terjadi
hipertrofi, peningkatan atau penambahan jumlah jaring vascular (vascular
bed). Perdarahan dapat terjadi akibat infeksi ataupun proses inflamasi.
Pecahnya pembuluh darah bronkial yang memiliki tekanan sistemik dapat
berakibat fatal pada hemoptisis.

6
c. Hemoptisis pada abses paru
Hemoptisis dapat terjadi pada 11-15% penderita abses paru primer.
Perdarahan masif dapat terjadi pada 20-50% penderita abses paru yang
mengalami hemoptisis. Mekanisme perdarahan adalah akibat proses
nekrosis pada parenkim paru dan pembuluh darahnya.

d. Hemoptisis pada stenosis mitral


Sebelum maraknya valvulotomi dan operasi penggantian katup mitral,
hemoptisis dapat terjadi pada 20-50% penderita dengan stenosis mitral dan
hemoptisis masif dapat terjadi pada 9-18% penderita. Peningkatan tekanan
atrium kiri menyebabkan pleksus submukosa vena bronkial mengalami
dilatasi untuk mengakomodasi peningkatan aliran darah. Varises pembuluh
darah tersebut apabila terpajan pada infeksi saluran napas atas, batuk, atau
peningakatan volume intravaskuler seperti pada kehamilan dapat
menimbulkan hemoptisis.

e. Hemoptisis pada neoplasma


Hemoptisis dapat terjadi akibat proses nekrosis dan infalmasi pembuluh
darah pada jaringan tumor. Invasi tumor ke pembuluh darah pulmoner
jarang terjadi. Hemoptisis dapat terjadi pada 7-10% penderita dengan
karsinoma bronkogenik.6 Penderita kanker metastasis ke paru, hemoptisis
terjadi akibat lesi endobronkial. Tumor mediastinum juga dapat
menimbulkan batuk darah, terutama karsinoma esophagus akibat
penyebarannya ke cabang trakeobronkial.6 Pada adenoma bronkial,
perdarahan sering berasal dari ruptur pembuluh darah permukaan yang
menonjol.4

f. Hemoptisis pada infeksi jamur paru


Angioinvasi oleh elemen jamur menimbulkan kerusakan pada parenkim
dan struktur vaskuler sehingga dapat menimbulkan infark paru dan
perdarahan. Meskipun demikian infeksi jamur paru yang invasif jarang

7
menimbulkan hemoptisis. Sebaliknya pembentukan misetoma dapat
menimbulkan hemoptisis pada 50-90% penderita misetoma.
Misetoma umumnya terbentuk pada penderita dengan penyakit paru
berkavitas, misalnya TB, sarkoidosis, cavitary lung carcinoma, infark
paru, emfisema bulosa, bronkiektasis, penyakit fibrobulosa dari arthritis
rematoid, dan ankylosing spondylitis, trauma mekanik akibat pergerakan
fungus ball di dalam kavitas, jejas vaskuler akibat endotoksin Aspergillus,
dan kerusakan vaskuler akibat reaksi hipersensitivitas tipe III merupakan
beberapa teori penyebab terjadinya hemoptisis pada misetoma. Hemoptisis
dapat pula terjadi akibat bronkolitiasis dari adenopati Histoplasma yang
mengalami kalsifikasi.

g. Hemoptisis iatrogenik
Hemoptisis iatrogenik dapat terjadi akibat komplikasi tindakan
bronkoskopi, biopsi transtorakal atau pemasangan kateter Swan-Ganz.
Perdarahan bronkoskopi dapat terjadi akibat proses penyikatan ataupun
proses endobronkial dan transbronkial. Umumnya perdarahan dapat
berhenti dengan sendirinya namun perdarahan masif dapat pula terjadi.
Estimasi perdarahan sebagai komplikasi tindakan bronkoskopi berkisar 2-
9%.
Perdarahan juga dapat terjadi akibat proses terapi laser dengan
bronkoskopi (laser Nd-YAG) terhadap penderita dengan keganasan
trakeobronkial. Pencegahan terjadinya komplikasi perdarahan pada saat
tindakan tersebut perlu diperhatikan misalnya penderita dengan kelainan
pembekuan darah serta kesiapan operator dalam mengantisipasi terjadinya
perdarahan.

h. Penyakit autoimun atau perdarahan alveolar


Alveolar hemorrhage (perdarahan alveolar) merupakan hal yang cukup
sering terjadi pada penyakit autoimun ataupin penyakit idiopatik sistemik.
Umumnya perdarahan disebabkan oleh penyakit antibasement membrane
antibody (ABMA), penyakit vaskuler kolagen, glomerulonefritis progresif

8
atau penyakit hemosiderosis idiopatik. Tanda perdarahan alveolar
diantaranya adalah, hemoptisis, anemia dan infiltrat alveolar pada foto
thoraks.

i. Fibrosis kistik
Perdarahan pada penderita fibrosis kistik multifaktor, namun umumnya
perdarahan berasala dari arteri bronkial. Pemeriksaan postmortem
menunjukkan bronkiektasis luas, abses paru dan bronkopneumonia. Sistem
arteri bronkial mengalami hipervaskularisasi dan anastomosis
bronkopulmoner. Kelainan tersebut diatas ditambah dengan hipertensi
pulmoner menyebabkan tingginya insiden hemoptisis pada penderita
fibrosis kistik., walaupun demikian hemoptisis masih jarang terjadi.

j. Hemoptisis kriptogenik
Hemoptisis kriptogenik atau idiopatik adalah hemoptisis yang tidak
diketahui sumber perdarahan atau penyebabnya walaupun telah mengalami
berbagai pemeriksaan. Adelman dkk menemukan bahwa 71,9% penderita
hemoptisis kriptogenik adalah perokok.

2.5 Diagnosis
Hal pertama yang harus diketahui dalam mengevaluasi hemoptisis adalah
mengetahui apakah perdarahan berasal dari saluran napas bawah, dari
saluran napas atas (contoh epistaksis), atau dari saluran cerna
(hematemesis). Penentuan sumber perdarahan merupakan hal penting
karena akan menentukan langkah penatalaksanaan selanjutnya. Anamnesis
dan pemeriksaan fisik sangat menentukan di dalam menentukan apakah
perdarahan yang terjadi merupakan hemoptisis, epistaksis, atau
hematemesis. Untuk membedakan hemoptisis dan hematemesis, maka
dapat dibantu dengan membaca tabel perbedaan antara hemoptisis dan
hematemesis berikut ini :

9
Tabel perbedaan hemoptisis dan hematemesis

No Keadaan Hemoptisis Hematemesis

Riwayat penyakit Menderita penyakit Gangguan lambung,


1
dahulu atau kelainan paru penyakit hepar

2 Prodromal Rasa tidak enak di Mual, stomach distress


tenggorokan, ingin
batuk

Onset Darah dibatukkan, Darah dimuntahkan dapat


3
dapat disertai batuk disertai batuk
4 Penampilan darah Berbuih Tidak berbuih
5 Warna Merah segar Merah tua
Isi Lekosit, Sisa makanan
6 mikroorganisme,
makrofag, hemosiderin
7 Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)
8 Anemi Kadang-kadang Selalu

9 Tinja Warna tinja normal Tinja bisa berwarna hitam


Guaiac test (-) Guaiac test (-)

A. Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosa dari hemoptisis maka diperlukan
anamnesa yang teliti terhadap pasien mengenai poin-poin penting
berikut ini :
1. Volume dan frekuensi batuk darah akan menentukan kegawatan dan
hal tersebut dapat mengarahkan ke suatu penyebab spesifik.
2. Sumber paling umum berupa epistaksis (nasofaring). Darah menetes
ke faring, mengiritasi laring, dan akhirnya dibatukkan. Pasien sering
dapat menjabarkan rangkaian ini, maka kesan pasien atas sumber
perdarahan umumnya benar. Misalnya, ketika darah berasal dari
salah satu paru, maka pasien akan menunjukkan bagian paru tersebut
dan dapat merasakannya seolah-olah darah berasal dari paru kanan

10
atau kiri. Pastikan pasien bisa membedakan antara dibatukkan
dengan dimuntahkan.
3. Riwayat penyakit sebelumnya yang dapat mempengaruhi perdarahan
saluran nafas juga dicari.
4. Gejala lainnya yang berhubungan / terkait dapat membantu dalam
mendiagnosis, misalnya gejala :
a. Demam dan batuk produktif menandakan adanya infeksi.
b. Timbul tiba-tiba karena sesak dan sakit di dada, mengindikasikan
kemungkinan emboli paru atau infark miokard yang disertai
dengan gagal jantung kongestif.
c. Kehilangan berat badan yang signifikan menandakan kanker paru
atau infeksi kronik seperti tuberkulosis atau bronkiektasis. Kita
dapat dibantu dengan temuan klinis terhadap riwayat penyakit
yang dulu dialami pasien, untuk membantu mengarahkan
diagnosa yang akan kita buat, seperti tanda dan gejala hemoptisis
yang digambarkan dalam tabel 4 berikut ini:

11
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat membantu diagnosis penyebab hemoptisis.
Pemeriksaan saluran nafas atas harus dilakukan dengan teliti untuk
menyingkirkan kemungkinan sumber perdarahan selain dari paru atau
saluran napas bawah. Mulut juga perlu diperiksa mengenai
kemungkinan laserasi dan tumor. Pemeriksaan laringoskopi penting
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan perdarahan dari sekitar
faring. Bunyi nafas tambahan seperti stridor atau mengi dapat
memberikan petunjuk tumor/benda asing di daerah trakeolaring.
Gambaran saddle nose atau perforasi septum dapat menunjukkan
granulomatosis Wegener. Jari tabuh (clubbing finger) memberikan
petunjuk kemungkinan keganasan intratorakal dan supurasi intratorakal
(abses paru, bronkoektasis).6
Tanda-tanda penting, seperti ketidakstabilan sirkulasi dengan tanda
hipotensi dan takikardia merupakan suatu tanda darurat. Penyebabnya
dapat berupa kehilangan darah yang akut pada hemoptisis masif atau
penyakit yang mendasari / menyertainya, seperti : emboli paru, sepsis,
infark miokard dengan edema paru.5
- Pemeriksaan nasofaring :
Ditujukan untuk mencari sumber perdarahan dan pada hemoptisis
masif untuk memastikan bahwa saluran napas masih paten (terbuka).
- Pemeriksaan jantung :
Dibutuhkan untuk mengevaluasi kemungkinan adanya hipertensi
paru akut (terdapat peninggian komponen paru, suara jantung
kedua), kegagalan ventrikel kiri akut (summation gallop) atau
penyakit katup jantung, seperti stenosis mitral. Endokarditis sebelah
kanan dapat dideteksi dengan adanya bunyi desiran karena
insufisiensi trikuspid, sering pada penyalahgunaan obat intravena
dan dapat menyebabkan hemoptisis karena emboli septik.
- Pemeriksaan dinding dan rongga dada :

12
Kelainan disini secara tersendiri jarang menjadi penyebab
hemoptisis; akan tetapi, temuan klinis tertentu bisa menjadi
petunjuk, seperti contohnya :
 Trauma dinding dada, cari adanya memar parenkim paru
(pulmonary contusion) atau laserasi bronkial.
 Adanya ronki setempat, berkurangnya suara napas dan perkusi
redup/pekak (dullness) menunjukkan adanya konsolidasi
(disebabkan pneumonia, infark paru atau atelektasis pascaobstruksi
dari benda asing atau kanker paru).
 Pleural friction rub dapat didengar pada area di atas infark paru.
 Ronki merata (difus, kardiomegali, dan nyaring) menunjukkan
adanya kemungkinan edema paru kardiogenik.
Melalui tabel 5 berikut dapat membantu pada saat dilakukan
pemeriksaan fisik terhadap pasien guna mencari diagnosa
penyakiut yang mendasarinya :

13
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap. Peningkatan hemoglobin dan
hematokrit menunjukkan adanya kehilangan darah yang akut.
Jumlah sel darah putih yang meninggi mendukung adanya infeksi.
Trombositopenia menandakan kemungkinan koagulopati;
trombositosis menandakan kemungkinan kanker paru.
- Kajian koagulasi, pemeriksaan hemostase berupa waktu protombin
(PT) dan waktu tromboplastin parsial (aPTT) dianjurkan apabila
dicurigai adanya koagulopati atau apabila pasien tersebut menerima
warfarin / heparin.
- Analisis gas darah arterial harus diukur apabila pasien sesak yang
jelas dan sianosis.
- Pemeriksaan dahak. Pasien dengan darah bercampur dahak,
pewarnaan gram, BTA, atau preparasi kalium hidroksida dapat
mengungkapkan penyebab infeksi dan pemeriksaan sitopatologik
untuk kanker.
2. Pencitraan (Imaging) :
-
Radiografi dada akan menunjukkan adanya massa paru, kavitas,
atau infiltrat yang mungkin menjadi sumber perdarahan.5
-
Arteriografi bronkial selektif dilakukan bila bronkoskopi tidak
dapat menunjukkan lokasi pedarahan massif. Embolisasi arteri
bronkial selektif untuk mengendalikan perdarahan dapat berfungsi
sebagai terapi definitif atau sebagai tindakan antara, sampai
torakotomi dapat dilakukan.5
-
Pemeriksaan ct-scan dapat memberikan informasi yang lebih jelas
dari foto thoraks, misalnya gambaran bronkiektasis atau karsinoma
bronkus yang berukuran kecil. Pemeriksaan ct-scan dengan resolusi
tinggi merupakan metode pilihan dalam diagnosis bronkiektasis.
Pemeriksaan ini sebaiknya dikerjakan sebelum pemeriksaan
bronkoskopi, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan.6

14
3. Bronkoskopi :
Saluran nafas dapat divisualisasi dengan menggunakan bronkoskop
kaku atau fiberoptik.5
-
Bronkoskopi fiberoptik dengan anastesi topikal paling sering
digunakan karena instrumen fleksibel ini dapat memvisualisasi
bronkus subsegmental dan saluran nafas sentral serta lebih nyaman
bagi pasien. Satu kelemahan alat ini adalah diameter tempat
menghisap cairan perdarahan (suction port) yang kecil (<2mm).
Jika perdarahan besar, maka sistem ini tidak dapat mengevakuasi
darah dengan cepat untuk mempertahankan sistem lensa ini tetap
bersih. Kebanyakan benda asing tidak bisa dipindahkan dengan
instrumen ini.
-
Bronkoskopi kaku perlu bagi pasien dengan hemoptisis masif dan
ketika dicurigai terjadi aspirasi benda asing. Kekurangannya adalah
biasanya dibutuhkan anastesi umum dan hanya saluran napas
sentral dapat divisualisasikan. Tindakan bronkoskopi merupakan
tindakan yang dapat bersifat diagnostik untuk mencari penyebab
batuk darah namun juga untuk terapeutik. Tindakan bronkoskopi
dapat dilakukan dengan menggunakan bronkoskopi kaku atau
bronkoskopi serat lentur (fiberoptic bronkoskopi).6

Pemeriksaan Penunjang Lain :


Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi.
Misalnya pada penderita dengan kecurigaan gangguan pembekuan darah
atau kelainan hematologi lainnya dilakukan pemeriksaan faal hemostasis,
pada penderita dengan kecurigaan penyakit autoimun Systemic Lupus
Eritomateus (SLE) dilakukan pemeriksaan anti ds DNA atau ANA
(antinuclear antibody). Arteriografi bronkial dan pulmoner dilakukan bila
semua pemeriksaan diatas gagal atau menemukan sumber perdarahan.
Arteriografi dapat pula digunakan sebagai alat terapeutik dengan
melaksanaan embolisasi. Bagan di bawah ini akan menjelaskan alogaritma
bagaimana menegakkan diagnosis hemoptisis non masif, sebagai berikut :

15
2.6 Penatalaksanaan
1. Hemoptisis non-masif
Tujuan terapi adalah mengendalikan penyakit dasar.2 Penyebab tersering
hemoptisis non masif terutama yang terjadi akut adalah bronkitis, risiko
pasien ringan dengan gambaran radiologi yang normal. Penatalaksanaan
kondisi pasien seperti ini dapat dengan monitoring airway, breathing, dan
circulation serta pengobatan terhadap penyebabnya, misalnya dengan
pemberian antibiotik bila diperlukan, tetapi bila batuk darah ini cenderung
makin lama, berlangsung terus atau sulit dijelaskan dianjurkan untuk
evaluasi oleh ahli paru.6

16
a. Terapi dasar. Pasien harus istirahat total, dengan posisi paru yang
mengalami perdarahan di bawah. Refleks batuk harus ditekan dengan
kodein fosfat 30-60 mg intramuskuler setiap 4-6 jam selama 24 jam.5
b. Terapi spesifik. Terapi spesifik adalah pengobatan atas penyakit dasar
penyebab perdarahan tersebut.5

2. Hemoptisis masif
Prinsip penatalaksanaan hemoptisis masif terdiri dari beberapa langkah,
yaitu menjaga jalan nafas dan stabilisasi penderita, menentukan lokasi
perdarahan, dan memberikan terapi. Langkah pertama merupakan prioritas
tindakan awal. Setelah penderita lebih stabil, langkah kedua ditujukan
untuk mencari sumber dan penyebab perdarahan. Langkah ketiga dimulai
setelah periode perdarahan akut telah teratasi, dan ditujukan untuk
mencegah berulangnya hemoptisis dengan memberikan terapi spesifik
sesuai penyebabnya, bila memungkinkan. Penderita dengan hemoptisis
masif harus dimonitor dengan ketat di instalasi perawatan intensif.6

Langkah I. Menjaga jalan nafas dan stabilisasi penderita


Setelah diagnosis hemoptisis ditegakkan, upaya pembebasan jalan
nafas dilakukan untuk menghindari resiko aspirasi. Aspek lain yang harus
diingat meliputi : resusitasi cairan, suplementasi oksigen, koreksi
gangguan pembekuan darah, pemberian antitusif ringan, laksansia, dan
sedasi ringan diberikan sesuai indikasi. Langkah tahap ini merupakan
upaya konservatif dalam penatalaksanaan hemoptisis, yaitu :
- Menenangkan dan mengistirahatkan penderita sehingga perdarahan lebih
mudah berhenti. Penderita perlu diberitahu agar tidak takut membatukkan
darah yang ada di saluran nafasnya.
- Menjaga jalan nafas tetap terbuka. Apabila terdapat tanda sumbatan jalan
nafas perlu dilakukan penghisapan (suction). Suction dengan bronkoskop
akan lebih baik, tetapi memerlukan keterampilan khusus. Pemberian
suplementasi oksigen lebih banyak menolong kecuali bila jalan nafas
dibebaskan.
- Resusitasi cairan dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid.

17
- Transfusi darah diberikan bila hematokrit turun di bawah nilai 25-30%
atau hemoglobin (Hb) dibawah 10 g% dan perdarahan masih berlangsung.
- Laksan (stool softener) dapat diberikan untuk menghindari kemungkinan
mengedan.
- Bila batuk mencetuskan terjadinya perdarahan lebih lanjut dapat diberikan
obat sedasi ringan untuk mengurangi kegelisahan penderita dan tirah
baring. Obat antitusif ringan hanya diberikan bila terdapat batuk yang
berlebihan dan merangsang timbulnya perdarahan yang lebih banyak.
- Manipulasi dinding dada berlebihan harus dihindari seperti perkusi dinding
dada dan spirometri. Pemberian obat supresi reflek batuk seperti kodein
dan morfin harus dihindari.
- Hipoksemia yang mengalami perburukan merupakan tanda bahwa
perdarahan menganggu pertukaran gas dan harus diberikan suplementasi
oksigen.
- Bila terjadi serangan batuk darah, tergantung dari keadaan penderita, yaitu:
 Penderita dengan keadaan umum dan reflex batuk baik, maka penderita
duduk dan diberikan instruksi cara membatukkan darah dengan benar.
 Penderita dengan keadaan umum berat dan reflex batuk kurang adekuat,
maka posisi penderita Trendelenberg ringan dan miring ke sisi yang
sakit (lateralisasi) untuk mencegah aspirasi darah ke sisi yang sehat.
- Bila batuk darah terus berlanjut dan terjadi perburukan hipoksemia, maka
penderita perlu diintubasi dengan pipa endotrakeal berdiameter besar agar
memungkinkan penggunaan bronkoskopi serat optic lentur untu evaluasi,
melokalisir perdarahan dan tindakan penghisapan (suctioning).
- Intubasi paru unilateral dapat dilakukan untuk melindungi paru yang sehat
dari aspirasi darah. Bila sumber perdarahan dari paru kanan, bronkoskop
dimasukkan ke bronkus utama kiri dan paru kiri diintubasi dengan bantuan
bronkoskop. Bila sumber perdarahan dari paru kiri, trakea diintubasi
dengan bantuan bronkoskop, dan penderita dalam posisi lateral kiri untuk
meminimalisasi aspirasi. Kemudian kateter Fogarty nomor 14F
dimasukkan di samping pipa endotrakeal sampai beberapa sentimeter di
bawah cuff. Kateter Fogarty diarahkan ke bronkus utama kiri dengan

18
bantuan bronkoskop dan balon dikembangkan di bronkus utama kiri,
sehingga kateter Fogarty berada di paru kanan. Intubasi selektif di paru
kanan tidak disarankan karena memiliki resiko menutupi orifisium lobus
atau paru kanan.
- Intubasi dengan kateter lumen ganda (double lumen endotracheal tubes)
juga dapat digunakan untuk mengisolasi paru yang tidak mengalami
perdarahan, sehingga mengurangi resiko aspirasi. Setelah sumber
perdarahan diketahui ujung pipa endotrakea di paru yang mengalami
perdarahan ditutup (clamped), sedangkan ujung pipa endotrakea di sisi
yang tidak berdarah dihubungkan dengan ventilator untuk menjamin
ventilasi. Menunjukkan pipa endotrakeal lumen ganda yang memiliki
lumen trakeal dan lumen bronkial, yang dimasukkan ke bronkus utama
kiri. Lumen trakeal tetap berada di suprakarina dan memberikan ventilasi
untuk paru kanan dan menghindari tertutupnya orifisium lobus atas paru
kanan. Pemasangan pipa endotrakea lumen ganda harus dipasang oleh
operator berpengalaman karena kemungkinan dapat terjadi obstruksi
karena pipa endotrakea lumen ganda tersebut sehingga menghalangi
penghisapan jalan napas dan evaluasi dengan bronkoskop.

Langkah II. Mencari sumber dan penyebab perdarahan


Jika penderita telah stabil, perlu dicari sumber dan penyebab
perdarahan secepat dan setepat mungkin. Lokasi perdarahan dan
penyebabnya perlu diketahui untuk dapat memberikan terapi spesifik.
Langkah ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan radiologi (foto thoraks,
ct-scan, angiografi) dan dengan bronkoskopi (BSOL maupun bronkoskop
kaku).

Langkah III. Pemberian terapi spesifik


Pemberian terapi spesifik dilakukan untuk menghentikan perdarahan dan
mencegah berulangnya perdarahan. Pemberian terapi spesifik dapat
dilakukan melalui bronkoskopi terapeutik) dan terapi non bronkoskopik.
1. Bronkoskopi Terapeutik

19
a. Bilas bronkus dengan larutan garam fisiologis dingin (iced saline
lavage). Pemberian larutan garam fisiologis dingin dimaksudkan
untuk meningkatkan hemostasis dengan menginduksi vasokonstriksi.
Suatu studi tanpa control mengamati 23 penderita yang diberikan
pembilasan dengan aliquot 50 ml sekuansial dengan suhu 4oC (total
500 ml) melalui bronkoskop kaku. Ternyata control perdarahan
dicapai pada 21 penderita.
b. Pemberian obat topikal. Pemberian epinefrin topikal dengan
konsentrasi 1:20.000 dimaksudkan untuk vasokonstriksi pembuluh
darah, namun efektivitasnya masih dipertanyakan terutama pada
hemoptisis masif. Tsukamoto dkk, melakukan studi pemberian
thrombin topikal dan larutan fibrinogen-trombin. Namun terapi ini
masih perlu penelitian lebih lanjut.
c. Tamponade endobronkial. Isolasi perdarahan menggunakan kateter
balon tamponade (balloon tamponade catheter) dapat mencegah
aspirasi darah ke paru kontralateral dan menjadi pertukaran gas pada
hemoptisis massif.
d. Fotokoagulasi laser (Nd-YAG Laser). Fototerapi menggunakan laser
Neodymium-Ytrium-Aluminium-Garnet (Nd-YAD) telah digunakan
sebagai terapi paliatif dengan hasil bervariasi pada penderita
hemoptisis masif. Terapi ini digunakan pada penderita dengan
perdarahan endobronkial karena kemampuan koagulasinya.

2. Terapi Non Bronkoskopik


a. Pemberian terapi medikamentosa
b. Vasopressin IV merupakan vasokonstriktor sistemik dengan dosis 0,2-
0,4 unit/menit telah digunakan untuk mengatasi hemoptisis masif.
c. Pemberian asam traneksamat (antifibrinolitik) untuk menghambat
aktivasi plasminogen dilaporkan dapat mengontrol hemoptisis pada
penderita fibrosis kistik yang tidak dapat terkontrol oleh embolisasi
arteri bronchial.

20
d. Pemberian kortikosteroid sistemik dengan obat sitotoksik dan
plasmaferesis mungkin dapat bermanfaat pada penderita hemoptisis
masif akibat perdarahan alveolar penyakit autoimun.
e. Pemberian gonadotropin releasing hormone agonist (GnRH) atau
danazol mungkin bermanfaat pada terapi jangka panjang penderita
hemoptisis katamenial.
f. Hemoptisis karena penyakit infeksi seperti TB, infeksi jamur atau
kuman lain maka diberikan antituberkulosis, antijamur ataupun
antibiotik.
g. Radioterapi untuk mengatasi hemoptisis masif pernah dilaporkan
penderita aspergiloma yang gagal diterapi dengan embolisasi.
Mekanisme adalah melalui mengurangi pembengkakan dan induksi
nekrosis sumber perdarahan sehingga menghasilkan thrombosis
vaskuler dan kompresi edema perivaskuler.

3. Embolisasi Arteri Bronkialis dan Pulmoner


Teknik ini adalah melakukan oklusi pembuluh darah yang menjadi
sumber perdarahan dengan embolisasi transkateter. Embolisasi dapat
dilakukan pada arteri bronkialis dan sirkulasi pulmoner. Teknik ini terutama
dipilih untuk penderita dengan penyakit bilateral, fungsi paru sisa yang
minimal, menolak operasi ataupun memiliki kontraindikasi tindakan
operasi. Terapi ini dapat diulang beberapa kali untuk mengontrol
perdarahan. Embolisasi memiliki angka keberhasilan dalam mengontrol
perdarahan (jangka pendek) antara 64-100%. Komplikasi yang dapat terjadi
yaitu akibat oklusi arteri bronkialis seperti nyeri dada, demam, maupun
emboli ektopik.

4. Bedah
Pembedahan merupakan terapi definitif pada penderita hemoptisis
massif yang sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru
adekuat, tidak ada kontraindikasi bedah, ada kontraindikasi embolisasi arteri

21
atau kecurigaan perforasi arteri pulmoner dan ruptur misetoma dengan
kolateral arteri yang banyak. Risiko utama hemoptisis masif adalah asfiksia
dari darah di dalam saluran nafas.
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. Tindakan
operasi ini dilakukan atas pertimbangan:
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian
pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan
tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptoe yang berulang dapat dicegah.

Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut (2) :


1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan
dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g
%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru
dan dipastikan asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar
dari segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa
torakoplasti.
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan.
Metode yang mungkin digunakan:
- Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan
bronkoskopi serat lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang
berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis pada suhu 4°C sebanyak
50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian dihisap
dengan suction.
- Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm
penampang 8,5 mm.

22
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptisis, yaitu:
- Asfiksia
- Syok hipovolemik
- Anemia
- Atelektasis

2.8 Prognosis
Pada hemoptisis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita
mengalami hemoptisis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder
ada beberapa faktor yang menentukan prognosis :
- Tingkatan hemoptisis : hemoptisis yang terjadi pertama kali
mempunyai prognosis yang lebih baik.
- Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.
- Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan
untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan
penderita.

23
BAB III
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas Pasien
• No. MR : 15 01 13
• Nama : Tn. Harianto
• Umur : 34 Tahun
• Jenis kelamin : Laki-laki
• Agama : Islam
• Alamat : Aliantan

II. Anamnesis
Keluhan Utama : Batuk berdarah sejak 1 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh batuk darah sejak 1 minggu SMRS. Batuk darah
yang keluar ± seperempat gelas (+ 60cc) setiap kali batuk. Dalam waktu
24 jam pasien batuk 6 kali total darah yang keluar ± 360cc. Darah yang
keluar berwarna merah segar dan bercampur dengan dahak. Batuk tidak
keluar dari hidung, tidak keluar bersama bersin, tidak keluar bersama
makanan dan tidak keluar dari anus. Sebelum batuk darah tidak terdapat
mual atau rasa penuh pada perut. Sejak 1 bulan SMRS pasien juga
mengeluhkan batuk. Batuk berdahak dengan dahak berwarna kuning.
Pasien juga mengeluh sesak napas, sesak tidak dipengaruhi posisi.
Sesak semakin berat saat beraktifitas dan agak membaik dengan
beristirahat. Pasien menyangkal mual dan muntah, nyeri ulu hati (+), BAK
normal tidak nyeri dan tidak berdarah. BAB normal 1x per hari, warna
kuning, tidak encer dan tidak ada darah.
Pasien juga merasa berat badan semakin turun sejak 1 bulan ini, + 8kg
dari 65kg menjadi 57kg. Pasien juga mengeluh nafsu makan turun, demam
tidak terlalu tinggi dan sering berkeringat malam.

24
Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat batuk darah sebelumnya tidak ada
• Riwayat minum OAT tidak ada
• Tidak ada riwayat hipertensi
• Tidak ada riwayat DM
• Tidak ada riwayat asma

Riwayat Penyakit Keluarga


• Tidak ada riwayat hipertensi dalam keluarga
• Tidak ada riwayat DM dalam keluarga
• Tidak ada riwayat asma dalam keluarga

Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak usia 16 tahun sampai sekarang
(18 tahun). Pasien merokok sebanyak 3 bungkus/hari (1 bungkus = 12
batang. 3 x 12 = 36 batang/hari).
Indeks Brinkman = 36 x 18 = 648 batang

IV. PEMERIKSAAN FISIK


 Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
 Kesadaran : Composmentis
 GCS : E4M6V5
 Tekanan Darah : 130/80 mmHg
 Frekuensi Nadi : 88 x/menit
 Frekuensi Pernafasan : 28 x/menit
 Suhu tubuh : 37oC

Pemeriksaan Kepala
 Mata : CA (+/+) SI(-/-)
 Telinga : Tidak ada kelainan
 Mulut : Tampak mukosa pucat

25
Pemeriksaan Leher
Inspeksi : Simetris, tidak ada benjolan
Palpasi : Tidak teraba masa, tidak ada nyeri
Pemeriksaan trakea : Letaknya di tengah, tidak ada massa
Pemeriksaan kelenjar tiroid : Simetris

Paru
Inspeksi :Statis  bentuk dinding dada simetris kanan dan
kiri
:Dinamis  pergerakan dinding dada simetris
kanan dan kiri
Palpasi : Vokal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor pada paru kanan dan kiri
Auskultasi :Suara nafas bronkovesikuler, rhonki (+/+),
wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi :Ictus cordis teraba 2 jari ke medial linea
midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, gallop/murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi :Nyeri tekan epigastrium, hepar dan lien tidak
teraba, tidak teraba massa
Perkusi : Timpani pada epigastrium
Auskultasi : Bising usus 4x/menit

Pemeriksaan ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, edem tidak ada

26
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Darah lengkap
Hb 13,6 gr% 13-18 gr%
LED 10 mm/jam < 10 mm/jam
Leukosit 28.200/mm3 5.000-11.000/mm3
Hematokrit 38,4% 37-47%
Trombosit 410.000/mm3 150.000-450.000/mm3
Fungsi hati
SGOT 39 U/L < 40 U/L
SGPT 40 U/L < 42 U/L
Fungsi Ginjal
Ureum 1,0 mg/dl 0,5-1,4 mg/dl
Kreatinin 28 mg/dl 10-50 mg/dl
Kesan: leukositosis

b. Foto thorax PA

Cor:
- Cor tidak membesar
Pulmo:
- Tampak bercak infiltrat di
kedua lapang paru
- Tampak hilus melebar
- Diafragma normal
- Sudut costofrenicus lancip

Kesan: - Pneumonia
- TB paru

VI. DIAGNOSIS
- CAP

27
- Hemoptisis ec TB paru

VII. PENATALAKSANAAN
o Tirah baring
o Diit TKTP
o IVFD NaCl 0,9% + drip crome 1 ampul 20 tpm
o Injeksi cebactam 1 g/12 jam
o Injeksi kalnex 1 g/8 jam
o Injeksi vit. K 1 g/8 jam
o Injeksi ranitidin /12 jam
o Azitromisin tab 1 x 1
o PCT tab 3 x 1
o Pro TB 4 1 x 3
o B6 1 x 1
o Antacid sirup 3 x C 1

FOLLOW UP
Subjektif Objektif Assessment Planning
10/09/2017 KU : sakit sedang - CAP - Tirah baring
- Batuk Kes : Composmentis - Hemoptisis - Diit TKTP
berdarah VS : ec TB paru - IVFD NaCl 0,9% +
dan TD : 130/70mmHg - Gastritis drip crome 1 ampul
bercampur  T : 36,90C 20 tpm
dahak N : 88 x/mnt - Injeksi cebactam 1
- Sesak  RR : 23 x/mnt g/12 jam
- Nyeri dada  Kepala - Injeksi kalnex 1 g/8

 CA (-) SI (-) jam

Thorax - Injeksi vit. K 1 g/8

Pulmo : bronkovesikuler +/+ jam

Rh +/+, Wh -/- - Injeksi ranitidin /12

Abdomen : Supel, BU (+) jam

28
Ekstremitas : akral hangat, - Azitromisin 1 x 1
perfusi baik - PCT tab 3 x 1
- Pro TB 4 1 x 3
- B6 1 x 1
- Antacid syr 3 x C 1
11/09/2017 KU : sakit sedang - CAP - Tirah baring
- Batuk Kes : Composmentis - Hemoptisi - Diit TKTP
berdarah (-) VS : s ec TB - IVFD NaCl 0,9% +
- Batuk (+)  TD : 120/70mmHg paru drip crome 1 ampul
- Demam (-)  T : 36,70C - Gastritis 20 tpm

 N : 82 x/mnt - Injeksi cebactam 1

 RR : 22 x/mnt g/12 jam


- Injeksi kalnex 1 g/8
 Kepala
jam
 CA (-) SI (-)
- Injeksi vit. K 1 g/8
Thorax
jam
Pulmo : bronkovesikuler +/+
- Injeksi ranitidin /12
Rh +/+, Wh -/-
jam
Abdomen : Supel, BU (+)
- Injeksi farmavon /
Ekstremitas : akral hangat,
8 jam
perfusi baik
- Azitromisin 1 x 1
- PCT tab 3 x 1
- Pro TB 4 1 x 3
- B6 1 x 1
- Antacid syr 3 x C 1
- Proliva 2 x 1
12/09/2017 KU : tampak sakit ringan - CAP - Pro TB 4 1 x 3
- Batuk Kes : Composmentis - TB paru - B6 1 x 1
berdarah (-) VS : - Crome 10 mg 2 x 1
- Batuk TD : 120/70mmHg - Cefixime 2 x 100
T : 36,60C mg
 N : 80 x/mnt - Proliva 2 x 1
 RR : 20 x/mnt

29
 Kepala
 CA (-) SI (-)
Thorax
Pulmo : bronkovesikuler +/+
Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : Supel, BU (+)
Ekstremitas : akral hangat,
perfusi baik

30
BAB IV
KESIMPULAN

Hemoptosis merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran


pernapasan dan atau kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai macam
etiologi. Sampai saat ini klasifikasi hemoptisis masih didasarkan pada penyebab
dan banyaknya darah yang keluar bersama batuk. Sebagian besar hemoptisis
sekunder disebabkan oleh tuberkulosis paru, karsinoma dan bronkiektasis. Bila
ditemukan pada usia relatif muda harus dipikirkan pertama – tama tuberkulosis
paru, lalu bronkiektasis, kemudian stenosis mitral. Sedangkan hemoptoe pada usia
lebih dari 40 tahun kemungkinan urutannya adalah karsinoma bronkogenik, lalu
tuberkulosis, kemudian bronkiektasis. Bronkoskopi pada saat ini merupakan cara
pembantu diagnosis dan tindakan terapeutik yang penting pada hemoptisis masif
dan harus dikerjakan pada waktu perdarahan masih berlangsung. Komplikasi yang
paling sering terjadi dari hemoptisis adalah terjadinya asfiksia, renjatan
hipovolemik dan bahaya aspirasi.
Pada prinsipnya penanganan hemoptis ditujukan untuk memperbaiki
kondisi kardiopulmoner dan mencegah semua keadaan yang dapat menyebabkan
kematian. Penanganan tersebut dilakukan secara konservatif maupun dengan
operasi, tergantung indikasi serta berat ringannya hemoptisis yang terjadi.
Prognosis dari hemoptisis ditentukan oleh tingkatan hemoptoe, macam penyakit
dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.


Surabaya : Airlangga University Press; 2009.

2. Arief, Nirwan. Kegawatdaruratan Paru. Departemen Pulmonologi Dan Ilmu


Kedokteran Respirasi FKUI. Universitas Indonesia. 2009.

3. Kosasih, Alvin, Agus Dwi Susanto dkk. Diagnosis Dan Tatalaksana


Kegawatdaruratan Paru Dalam Praktek Sehari-hari. Jakarta: Sagung Seto.
2008.

4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. 2011.

5. Bidwell, Jacob L, Robert W. Pachner. Hemoptysis:Diagnosis and


Management. American Family Physician Volume 72, Number 7. October.
2005.

32

Anda mungkin juga menyukai