Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN
PUSTAKA

2.1. Definisi
Hemoptisis merupakan ekspektorasi darah atau mukus yang berdarah yang berasal
dari saluran napas bagian bawah. Hemoptysis yang berasal dari bahasa yunani “haima” yang
berarti darah dan ptisis yang berarti diludahkan. Hemoptisis merupakan salah satu dari
manifestasi dari penderita tuberkulosis, selain itu manifestasi lain yang umumnya hadir antara
lain batuk berdahak kronik, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, demam, dan
keringat malam (Zumla et al., 2013). Hemoptisis khususnya hemoptisis masif adalah batuk
berdarah lebih dari 600 cc dalam sehari (Yang et al., 2015). Sedangkan penelitian lain
mengatakan bahwa hemoptisis merupakan ekspektorasi sejumlah besar darah yaitu sekitar 100
sampai 1000 ml darah, sehingga ini merupakan keadaan darurat yang mengancam jiwa dan
diperlukan penanganan yang intensif (Larici et al., 2014).

2.2. Epidemiologi
Di Indonesia sendiri, berdasarkan studi yang dilakukan pada pasien rawat inap dan
IGD RS Persahabatan, tuberkulosis paru merupakan penyakit terbanyak yang mendasari
hemoptisis. Sedangkan Indonesia merupakan negara yang memiliki kategori high burdan
country terhadap TB, TB/HIV, dan TB dengan multi-drug resistant (MDR). Diperkirakan
setiap tahun di Indonesia terdapat 528.000 kasus TB baru pada lebih dari 70% usia produktif,
dengan kematian sekitar 91.000 orang.

2.3. Etiologi
Hemoptisis merupakan suatu gejala yang biasa disebabkan oleh penyakit lain yang
mendasarinya. Di Indonesia sendiri, hemoptisis paling sering disebabkan oleh penyakit
tuberkulosis paru, hal ini juga disebabkan oleh banyaknya jumlah penderita tuberkulosis
paru di Indonesia yang menempati peringkat kedua penderita terbanyak tuberkulosis di
dunia. Selain itu hemoptysis juga sering disebabkan oleh penyakit-penyakit lain seperti
keganasan paru (karsinoma bronkogenik), bronkiektasis, abses paru, pneumonia bakterialis,
bronkitis kronik, dan infestasi jamur.
Penyebab lain yang dapat menyebabkan hemoptisis namun tidak sering ditemukan
adalah stenosis mitral, sindrom Goodpasture, corpus alienu di dalam bronkus, adenoma
bronkial, fistula arteriovenosus pulmonal dan koagulopati. Hemoptisis juga dapat terjadi
pada bekas tuberkulosis paru dengan masalah pulmonal seperti infestasi jamur. Lokasi
perdarahan sering terjadi pada arteri bronkialis, arteri aksilaris kolateral, arteri interkostalis,
dan arteri diafragmatika. Perdarahan yang berasal dari arteri kapiler dan vena pulmonalis,
meliputi 10% dari seluruh kejadian hemoptisis. Perdarahan pada tuberkulosis paru dapat
disebabkan karena robeknya pembuluh darah pada dinding kavitas (aneurisma Rasmussen).
Hempotisis yang terjadi pada bronkitis kronik berasal dari pembuluh darah superfisial pada
mukosa bronkus. Pada kelainan fibrokavitas kronik, perdarahan berasal dari sobekan arteri
bronkialis yang membesar dan anastomosis bronkopulmonar. Pada perdarahan yang
disebabkan oleh mitral stenosis, perdarahan berasal dari vena bronkial yang menerima darah
dari arteri bronkialis dan vena pulmonalis.

Hemoptisis akibat trauma sering terjadi pada trauma thorax seperti pada kecelakaan
lalu lintas atau kecelakaan kerja. Manifesasi hemoptisis dapat timbul segera setelah
kecelakaan atau atau dalam beberapa waktu setelah kecelakaan. Selain itu terdapat pula
hemoptisis katamenial adalah hemoptisis yang kejadiannya berkaitan dengan periode
menstruasi karena endometriosis di paru. Kejadiannya sangat jarang, tetapi perlu untuk
diektahui.

2.4. Klasifikasi Hemoptisis


Hemoptisis diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang dikeluarkan pada
periode tertentu. Suatu hemoptysis dikatakan sebagai hemoptisis massif bila memenuhi
kriteria sebagai berikut :
 Batuk darah lebih dari 600ml dalam 24 jam
 Batuk darah kurang dari 600 ml dalam 24 jam namun lebih dari
250 ml dalam 24 jam, dengan Hb kurang dari 10 g% dan
perdarahan yang masih terus berlangsung.
 Batuk darah kurang dari 600 ml dalam 24 jam namun lebih dari
250 ml dalam 24 jam, dengan Hb > 10 g% dan perdarahan yang
tidak berhenti dalam 48 jam.

2.5 Patogenesis
Arteri-arteri bronkialis merupakan sumber darah utama bagi saluran napas, pleura,
jaringan limfoid intrapulmonar, serta persarafan di daerah hilus. Arteri pulmonalis membawa
darah dari aorta desendens, memperdarahi jaringan parenkim paru, termasuk bronkiolus
respiratorius. anastomosis arteri dan vena bronkopulmonar, yang menghubungkan kedua
sumber perdarahan di atas, terjadi di dekat persambungan antara bronkolus respiratorius dan
terminalis. Anastomosis ini memungkinkan kedua sumber darah untuk saling mengimbangi.
Berdasarkan penelitian, didapatkan 92% hemoptisis berasal dari arteri-arteri bronkialis.
Patogenesis hemoptisis bergantung dari tipe dan lokasi penyakit yang mendasari.
Secara klinis, bila lesi berada pada daerah endobronkial, maka perdarahan berasal dari
sirkulasi bronkialis, sedangkan bila lesi berada di parenkim paru maka perdarahan berasal
dari sirkulasi pulmoner. Pada keadaan hemoptisis kronik dimana terjadi perdarahan berulang
maka perdarahan sering kali berhubungan dengan peningkatan vaskularisasi di lokasi yang
terlibat.
Pada tuberkulosis, perdarahan dapat terjadi karena berbagai mekanisme. Pada lesi
parenkim akut, perdarahan dapat terjadi akibat nekrosis percabangan arteri atau vena. Pada
lesi kronik, perdarahan dapat bersumber dari lesi fibroulseratif parenkim paru dengan kavitas
yang mudah berdarah. Pada tuberkulosis endobronkial, hemoptisis disebabkan oleh ulserasi
granulasi dari mukosa bronkus.
Pada emboli paru, hemoptisis tampaknya timbul akibat infark jaringan paru. Bisa
juga perdarahan diakibatkan aliran darah berlebihan pada anastomosis bronkopulmoner
bagian distal dari tempat sumbatan.
Pada karsinoma bronkogenik, perdarahan dapat berasal dari nekrosis tumor serta
diakibatkan terjadinya hipervaskularisasi pada tumor, atau juga bisa berhubungan dengan
invasi tumor ke pembuluh darah besar. Pada adenoma bronkial, perdarahan sering terjadi
dari rupturnya pembuluh darah – pembuluh darah superfisialis yang menonjol. Pada
bronkiektasis, perdarahan serin terjadi akibat iritasi oleh infeksi pada jaringan granulasi yang
menggantikan dinding bronkus yang normal.
Pada trakeostomi, perdaraham bisa terjadi akibat fistula trakeoarteri teruatama dari
arteri inominata. Perdarahan difus intrapulmoner yang berasal dari pecahnya pembuluh
kapiler bisa terjadi pada berbagai penyakit autoimun.
Pada kelainan ekstra paru, mekanisme hemoptisis pada stenosis mitral dan gagal
jantung diduga berasal dari pecahnya varises di vena bronkialis pada bagian submukosa
bronkus besar akibat dari hipertensi vena pulmonalis. Hal ini tampak dari pelebaran
pembuluh-pembuluh darah yang beranastomosis dengan arteri bronkialis dan pulmonalis.

2.6. Pendekatan Klinis Hemoptisis


Pada pasien dengan keluhan batuk darah, perlu dibedakan secara klinis dengan
muntah darah atau hematemesis untuk menentukan sumber penyakit dan tatalaksana. Berikut
bagan perbedaan hemoptisis dan hematemesis:

Hemoptisis yang menetap selama lebih dari 2 minggu harus menjalani pemeriksaan
penunjang. Riwayat merokok (pernah atau masih) meningkatkan resiko karsinoma paru dan
semua pasien yang berusia di atas 40 tahun yang merokok harus dianggap memiliki kanker
paru

sampai pemeriksaan penunjang membuktikan sebaliknya. Keadaan petologis yang serius


semakin sering dijumpai seiring dengan bertambahnya usia. Gejala atau tanda klinis yang
khas dapat menunjukkan suatu diagnosis spesifik.
Pemeriksaan penunjang rutin yang dapat dilakukan:
1. Foto polos thoraks untuk mengetahui kelainan pada thoraks

2. Hitung darah lengkap (untuk anemia karena perdarahan atau penyakit


kronis),

3. Profil pembekuan untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan koagulasi


4. Biokimiawi ginjal karena sebagian penyakit menyebabkan perdarahan paru dan
gagal ginjal, disebut ‘sindrom paru-ginjal’, seperti penyakit Goodpasture,
granulomatosis, dan Wegener.
5. Biokimiawi hati untuk mencari tanda-tanda metastasis tumor
6. Pemeriksaan penunjang khusus di antaranya CT resolusi tinggi (high-
resolution computed tomography [HRCT]) thoraks, dan bronkoskopi. Kedua
pemeriksaan ini bersama-sama bisa menegakkan diagnosis pada >90%
pasien.
Indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah (Mc. Guiness, 1994; Bookstein, 1977) :
1. Bila tidak didapatkan kelainan radiologik
2. Batuk darah yang berulang
3. Batuk darah masif, sebagai tindakan terapeutik yaitu membersihkan gumpalan darah
yang keluar/penghisapan untuk menghentikan perdarahan dengan cara
Ice Saline Lavage
Instilasi topical agent (epinefrin, trombin, trombin-
fibrinogen) Endobronkial tamponade
Laser fotokoagulasi

2.7. Tatalaksana
Tatalaksana awal pada hemoptisis adalah penanganan kegawatdaruratannya
dikarenakan dapat terjadi blood loss akibat hemoptisis masif. Penderita yang biasanya
menjadi gelisah atau ketakutan akibat keluarnya darah harus ditenangkan. Penderita diminta
untuk mengeluarkan darah yang terdapat di saluran pernapasan agar bekuan darah tidak
menyumbat saluran napas. Pasien diminta untuk berbaring bertumpu pada bagian paru yang
sakit dan sedikit dalam posisi Tredelenburg. Infus intravena harus dipasang untuk
mengantisipasi terjadinya shock dan bila diperlukan pemberian obat per intravena atau
transfusi darah. Jika bekuan darah tidak dapat keluar, dilakukan evakuasi dengan
menggunakan bronkoskopi. Jika Hb turun hingga di bawah 7 g%, maka perlu diberikan
transfusi darah.
Tatalaksana definitif dari hemoptisis adalah mengobati penyakit yang mendasarinya.
Penderita harus dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan pengawasan dan evaluasi yang
mencakup pemeriksaan laboratorium (hemoglobin dan hematokrit), pemeriksaan fisik
(adakah penurunan kesadaran, hipotensi sampai syok, atau dispnea), foto toraks, evaluasi
darah yang keluar (darah ditampung dan dihitung jumlahnya, serta dicatat waktunya),
pemeriksaan bronkoskopi untuk menentukan lokasi perdarahan dan pertimbangkan
dilakukannya intervensi bedah pada hemoptisis yang massif dan .

Anda mungkin juga menyukai