Spondilitis Tuberkulosis
Disusun oleh:
11.2017.257
Pembimbing:
1
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
DEPARTEMEN NEUROLOGI
KOAS UKRIDA PERIODE 12 NOVEMBER – 15 DESEMBER 2018
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 26 Tahun
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Alamat : JL. Cemara raya Gg X no. 1b RT04/01 Tangerang Utara
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Status Pendidikan : SMK
Suku : Jawa Timur
Agama : Islam
No. RM : 00-17-97-54
Tanggal Masuk : 08 November 2018
II. SUBJEKTIF
Dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada hari Rabu tanggal 14 November 2018
di Ruang Kerapu 506
a) Keluhan Utama
Kelemahan pada kedua tungkai sejak 5 hari SMRS
b) Riwayat Penyakit Sekarang
5 hari SMRS pasien merasa kedua tungkai semakin lemah sehingga sulit
untuk digerakan hanya dapat digeser dan tidak dapat berjalan, kedua tungkai terasa
lemas mulai dari pinggang kebawah dan terasa berat, kebas, dan baal, serta dicubit
tidak terasa sakit. Tidak terdapat adanya riwayat batuk lama, riwayat trauma, mual,
muntah, serta tidak terdapat adanya gangguan pada buang air besar dan buang air
kecil.
2
2 minggu SMRS pasien sudah merasa adanya kelemahan pada kedua tungkai
namun masih dapat digerakkan dan masih dapat berjalan. Kelemahan pada kedua
tungkai belum disertai dengan adanya baal dan kebas.
4 minggu SMRS pasien merasa nyeri pada punggung dirasakan terus
menerus, nyeri punggung dirasakan terutama saat berjalan dan bangun tidur.
Namun pasien masih sanggup untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari dan tidak
ada keluhan lainnya. Selama itu pasien belum pernah mendapatkan pengobatan
apapun. Pasien juga mengatakan adanya demam hilang timbul, demam dirasakan
meningkat khususnya pada malam hari disetai adanya keringat banyak pada malam
hari, dan pasien juga mengatakan penurunan nafsu makan, dan penurunan berat
badan sebanyak ± 5 kg selama 4 minggu SMRS.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi benjolan di punggung 2 bulan yang lalu dan benjolan sulit
menutup serta bernanah, pasien sedang meminum obat OAT selama 2 minggu,
riwayat operasi usus buntu 1 bulan yang lalu riwayat Gula/Diabetes (-)
d) Riwayat Pribadi
Pasien tidak pernah merokok ataupun meminum minuman beralkohol.
e) Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita TBC
f) Riwayat Sosial
Pasien mengatakan tinggal di lingkungan padat penduduk serta dirumahnya kurang
banyak memiliki ventilasi, Pasien bekerja sebagai buruh.
III. OBJEKTIF
A. Status Generalis (tanggal 14 November 2018)
i. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
ii. Tanda-tanda vital
1. Tekanan Darah : 121/70
2. Nadi : 76 x/menit, irama regular, isi cukup, teraba
kuat
3
3. Pernapasan : 20x/ menit
4. Suhu : 36 oC
iii. Berat badan : 48 kg
iv. Tinggi Badan : 162 cm
v. Status Gizi : IMT 18,28 Berat badan kurang
vi. Kulit : kuning langsat, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor
baik.
vii. Kepala : Normocephal, rambut tidak mudah rontok, rambut
tidak mudah dicabut, warna hitam
viii. Mata : Konjungtiva anemis -/- , Sklera ikterik -/-
ix. Bibir : Mukosa bibir lembab, sianosis (-)
x. Leher : tidak ada pembesaran KGB (-), tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid (-), JVP R-2 cm H2O
xi. Thorax :
1. Jantung
o Inspeksi : Iktus cordis terlihat
o Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS 5 midklavikula
sinistra
o Perkusi :
Batas atas : ICS 2 linea Parasternal sinistra
Batas bawah : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas kanan : ICS 2-4 linea Parasternal dextra
Batas kiri : ICS 3-ICS 5 linea midklavikula sinistra
o Auskultasi : BJ I-II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
2. Paru
o Inspeksi : Retraksi sela iga (-/-), pelebaran sela iga (-),
Simetris saat statis & dinamis
o Palpasi : Sonor seluruh lapang paru
o Perkusi : Gerak napas simetris kanan dan kiri tidak ada
bagian yang tertinggal, massa (-)
4
o Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (-/-),
ronki (-/-)
xii. Punggung :
o Inspeksi : Terdapat abses di linea paravertebral kiri
o Palpasi : Nyeri tekan (+)
xiii. Abdomen :
o Inspeksi : Perut datar, bekas operasi usus buntu pada regio
inguinalis kanan
o Auskultasi : Bising Usus (+)
o Perkusi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-)
o Palpasi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
xiv. Ekstremitas : Tidak ada deformitas, kedua sisi tungkai simetris.
CRT < 2 detik, tidak ada clubbing finger, tidak ada edema.
B. Status Neurologis (14 November 2018)
i. GCS : E4M6V5
ii. Tanda Rangsang Meningeal
1. kaku kuduk (-)
2. Brudzinski I (-)
3. Brudzinski II (-)
4. Lasegue >70o/>70 o
5. Kernig >135o/ >135o
• Nervus Kranialis
a) N. I : penghidu : tidak dilakukan
b) N. II : visus 6/6, pengenalan warna baik, lapang pandang dalam
batas normal, ukuran pupil diameter 3mm/3mm, bentuk pupil bulat, isokor,
refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tak langsung +/+, akomodasi (+).
c) N. III, IV, VI : Gerakan bola mata ke segala arah normal, tidak tampak ptosis
, tidak tampak nystagmus, tidak tampak strabismus, tidak ada diplopia, timpak
tampak eksoftalmus, sela mata 8 mm/ 8 mm
5
d) N. V :
sensibilitas muka atas, tengah, bawah pada kanan: +/+/+ dan kiri:
+/+/+
pasien dapat menggigit, dapat membuka mulut, dapat mengunyah,
reflex kornea (+), reflex bersin (+), jaw jerk test (-).
e) N.VII :
pasien dapat mengerutkan dahi dan simetris kanan dan kiri
dapat menutup mata dengan kuat serta simetris kanan dan kiri
dapat memperlihatkan gigi serta simetris kanan dan kiri
lekukan nasolabialis simetris
pasien dapat mencembungkan pipi dengan baik
serta daya kecap lidah 2/3 depan baik.
f) N. VIII :
Dapat mendengar suara berbisik (+/+)
Dapat mendengar detik arloji
Rinne kanan dan kiri : positif/ positif
Weber kanan dan kiri : tidak ada lateralisasi/tidak ada lateralisasi
Schawabach kanan dan kiri : sama dengan pemeriksa/sama dengan
pemeriksa.
Kesan dalam batas normal
Kesan normal
g) N. IX & X : uvula di tengah dan arkus faring normal, refleks muntah ada
pada kanan dan kiri, daya kecap lidah 1/3 belakang baik, disfonia (-)
h) N. XI : pasien dapat memalingkan kepala, dan dapat mengangkat
bahu.
i) N. XII : tidak tampak tremor, tidak tampak fasikulasi, tidak tampak
atrofi papil lidah, deviasi lidah ke satu sisi (-), artikulasi normal
6
Sistem Motorik
o Kekuatan otot
5555 5555
4444 4444
o Tremor
- -
o Fasikulasi
o Trofi - -
o Gerakan involunter
o Tonus
Normotonus Normotonus
Normotonus Normotonus
7
Diskriminasi 2 titik 3cm 3cm 7cm 7cm
Biceps +2 +2
Patella +3 +3
Achilles +3 +3
Refleks Patologis
Babinsky +/+
Chaddock +/+
Hoffman/Trommer -/-
Rosolimo -/-
Schaeffer +/+
Gordon +/+
Openheim +/+
Klonus
Patella -/-
Achilles -/-
8
Fungsi Cerebellum
o Ataxia (-)
o Tes Romberg (-) saat buka mata
o Tes Romberg (-) saat tutup mata
o Disdiadokokinesia :-
o Dismetri
Telunjuk – hidung : Baik
Tumit - lutut : Baik
o Rebound Phenomenon: -
Alat vegetative
1. Miksi : dapat mengontrol buang air kecil
2. Defekasi : buang air besar lancar 1-2 x sehari
3. Reflex anal : positif
4. Reflex kremaster : positif
5. Reflex bulbukavernosa : positif
Fungsi Luhur
o Orientasi tempat, waktu, orang, dan situasi dalam batas normal
o Afasia (-) pasien dapat berkomunikasi dengan baik
Hematologi I
Hematokrit 44,4 % 40 – 48
9
Trombosit 242 ribu/µL 150 – 400
Elektrolit
Fungsi Ginjal
Kesadaran : CM (E4M6V5)
TTV : dbn
Abses di linea paravertebral kiri
Penurunan sensibilitas sensorik
O Hipoestesi thoracal 9 kebawah
5 5
2 2
Babinsky +/+
10
RF Patella dan Achilles : +++/+++
Sistem Autonom : Normal
A Paraparese Inferior
DC
S Kedua tungkai masih lemas, baal dan kebas dari pusat kebawah
Kesadaran : CM (E4M6V5)
TTV : dbn
Abses di linea paravertebral kiri
Penurunan sensibilitas sensorik
O
Hipoestesi thoracal 9 kebawah
5 5
4 4
11
Refleks patologis : Babinsky +/+
RF Patella dan Achilles : +++/+++
Sistem Autonom : Normal
A Susp. Spondilitis Tb
Th/ Lanjut
P
Fisioterapi
MRI Thoracal
Kesadaran : CM (E4M6V5)
TTV : dbn
Abses di linea paravertebral kiri
5 5
O
4-5 4+
Babinsky +/+
RF Patella dan Achilles : +++/+++
Sistem Autonom : Normal
A Susp. Spondilitis Tb
12
Th/ Lanjut
MRI thoracal
Mobilisasi duduk
Kesadaran : CM (E4M6V5)
TTV : dbn
Abses di linea paravertebral kiri
5 5
O
4-5 4-5
Babinsky +/+
RF Patella dan Achilles : +++/+++
Sistem Autonom : Normal
A Susp. Spondilitis Tb
Kesemutan berkuran pada daerah perut sampai kaki dan punggung masih terasa
S
sakit
13
Kesadaran : CM (E4M6V5)
TTV : dbn
Abses di linea paravertebral kiri
Sistem Autonom : Normal
O 5 5
4-5 4-5
A Susp. Spondilitis Tb
P Th/ Lanjut
14
MRI Thorakal
15
Patologi Anatomi
V. RINGKASAN
Seorang pria berusia 25 tahun dengan keluhan utama kelemahan pada kedua tungkai
sejak 5 hari SMRS. Awalnya pasien merasa nyeri pada punggung sejak 1 bulan SMRS, nyeri
pada punggung dirasakan hilang timbul dan disertai demam hilang timbul serta adanya
keringat banyak pada malam hari ± 1 bulan, pasien juga mengeluh adanya penurunan nafsu
makan, dan penurunan berat bedan sebanyak ± 5 kg selama 1 bulan ini. Pasien mengatakan
adanya kelemahan pada kedua tungkai sejak 2 minggu SMRS namun masih dapat digerakkan
dan masih dapat berjalan dan semakin hari semakin sulit untuk digerakkan. Sejak 5 hari
SMRS kedua tungkai semakin lemah sehingga sulit untuk digerakan hanya dapat digeser dan
tidak dapat berjalan, kedua tungkai terasa lemas mulai dari pinggang kebawah dan terasa
berat, kebas, dan baal, serta dicubit tidak terasa sakit. Tidak terdapat adanya gangguan pada
buang air besar dan buang air kecil.
16
Riwayat operasi benjolan di punggung 2 bulan yang lalu dan benjolan sulit menutup
serta bernanah, riwayat operasi usus buntu 1 bulan yang lalu, pasien sedang meminum obat
OAT selama 2 minggu, riwayat Gula/Diabetes (-). Pasien kesadaran composmentis, tanda-
tanda vital dalam batas normal, reflex fisiologis, reflex patologis, terdapat hipoestesia
setinggi medulla spinalis setinggi thorakal 9 kebawah.
VI. ASSESTMENT
a. Diagnosis I
i. Diagnosis Klinis : Paraparese Inferior, Hipoestesi, nyeri tulang
belakang
ii. Diagnosis Topis : medulla spinalis regio th. 8-9
iii. Diagnosis Etiologis : Spondilitis tuberkulosa
Diagnosis banding : piogenik
iv. Diagnosis Patologis : infeksi Mycobacterium Tuberculosa
VII. PLANNING
b. Diagnostik : Spondilitis tuberkulosa
c. Terapi :
Inj. Methylprednisolon 3x125mg
Inj. Mecobalamin 3x1
Alpentin 3x100mg
Inj. Ranitidin 2x1
Rifampicin 1x450mg
Isoniazid 1x300mg
Pirazinamid 3x500mg
Ethambuthol 1x1000mg
d. Monitoring :
Kekuatan system motoric anggota gerak atas dan bawah
System sensibilitas sensorik anggota gerak atas dan bawah
Reflex fisiologis
17
Reflex patologis
Fungsi cerebellum
System autonom
Cek kadar ureum/kreatinin
Cek kadar asam urat
e. Edukasi :
1. Mobilisasi posisi tiap 2 jam untuk mencegah ulkus decubitus
2. Latihan luas gerak sendi untuk mencegah kontraktur
3. Latihan pernapasan untuk memperkuat otot-otot pernapasan dan mencegah
terjadinya orthostatic pneumonia
4. Latihan kekuatan otot
5. Bladder training bila terdapat gangguan imonilisasi
6. Program aktivitas sehari-hari sesuai perkembangan penyakit
18
TINJAUAN PUSTAKA
Fungsi dari tulang belakang adalah untuk mendukung sebagian besar berat tubuh,
mendukung kepala dan batang tubuh untuk melawan gravitasi, memproteksi medulla
spinalis, mengabsorpsi goncangan atau getaran, memberikan struktur yang stabil sehingga
dapat mempertahankan postur tegak. Tulang belakang terdiri dari 33 segmen vertebra yang
dibagi menjadi 5 bagian, yaitu 7 vertebra servikalis, 12 vertebra torakal, 5 vertebra lumbal,
5 vertebra sakral yang menyatu, dan 4 vertebra koksigeal yang juga menyatu.5
Gambar 1. Vertebra5
Bagian anterior dari vertebra terdiri dari badan vertebra dan diskus intervertebralis
yang berfungsi menahan beban dan penyerapan getaran atau goncangan. Bagian posterior
terdiri dari foramen vertebra, prosesus transversus, sendi facet, dan proses spinosus. Bagian
19
posterior ini memungkinkan adanya gerakan dan berfungsi sebagai penempelan untuk otot-
otot posterior.5
Sumsum tulang belakang berbentuk silinder panjang dan ramping dari jaringan saraf
yang memanjang dari batang otak. Panjangnya sekitar 45 cm (18 inci) dan lebar 1 hingga 1,5
cm. 5
Sumsum tulang belakang meluas melalui kanal vertebral dan terhubung ke saraf
tulang belakang, keluar melalui lubang besar di dasar tengkorak, sumsum tulang belakang
tertutup oleh kolumna vertebralis saat turun melalui kanal vertebral. Nervus spinal yang
dipasangkan muncul dari sumsum tulang belakang melalui ruang yang terbentuk di antara
tulang, lengkung seperti sayap vertebra yang berdekatan. Saraf spinal diberi nama sesuai
dengan wilayah kolumna vertebral dari mana mereka muncul. Ada 8 pasang saraf servikal
(yaitu, C1 hingga C8), 12 toraks (dada), 5 lumbal (perut), 5 saraf sakral (panggul), dan 1 saraf
coccygeal (tulang ekor). 5
20
belakang yang menimbulkan berbagai saraf tulang belakang tidak selaras dengan ruang
intervertebral yang sesuai. Sebagian besar akar saraf tulang belakang harus turun sepanjang
tali pusat sebelum muncul dari kolom vertebral di ruang yang sesuai. Sumsum tulang
belakang sendiri hanya meluas ke tingkat vertebra lumbal pertama atau kedua (sekitar
pinggang), sehingga akar saraf dari saraf yang tersisa sangat memanjang untuk keluar dari
kolumna vertebral. 5
Seperti di otak, materi abu-abu terutama terdiri dari badan sel saraf dan dendrit, dan
sel glia. Materi putih disusun menjadi traktus, yang merupakan kumpulan serabut saraf
(akson interneuron panjang) dengan fungsi yang serupa. Bundel dikelompokkan menjadi
21
kolom yang memperpanjang panjang sarafnya. Masing-masing saluran ini dimulai atau
berakhir di area tertentu di otak, dan masing-masing mentransmisikan jenis informasi
tertentu. Ada yang naik (ke otak) saluran yang mengirimkan ke sinyal otak yang berasal dari
input aferen. Yang lainnya adalah traktus desenden (otak ke kabel) yang menyampaikan
pesan dari otak ke neuron eferen. 5
Traktus umumnya diberi nama sesuai dengan asal dan sinapsnya. Misalnya, traktus
spinocerebellar ventral adalah jalur naik yang berasal dari sumsum tulang belakang dan
membentang ke tepi ventral (ke arah depan) dari tali pusat dengan beberapa sinapsis
sepanjang jalan sampai akhirnya berakhir di serebelum. Saluran ini membawa informasi yang
berasal dari reseptor peregangan otot yang telah dikirim ke sumsum tulang belakang oleh
serabut aferen untuk digunakan oleh spinocerebellum. Sebaliknya, saluran kortikospinal
ventral adalah jalur menurun yang berasal dari daerah motorik korteks serebri, kemudian
berjalan ke bagian ventral sumsum tulang belakang, dan berakhir di sumsum tulang belakang
pada badan sel neuron motor eferen yang menyuplai otot skeletal. Karena berbagai jenis
sinyal dibawa dalam saluran yang berbeda di dalam sumsum tulang belakang, kerusakan pada
22
area tertentu dapat mengganggu beberapa fungsi tertentu, sedangkan fungsi lainnya tetap
utuh.5
2.2.1 Definisi
Spondilitis tuberkulosa adalah penyakit kronik dan lambat berkembang dengan gejala
yang telah berlangsung lama dan infeksi tulang belakang oleh bakteri mycobacterium
tuberculosis. Riwayat penyakit dan gejala klinis pasien adalah hal yang penting, namun tidak
selalu dapat diandalkan untuk diagnosis dini. Nyeri punggung adalah gejala utama yang
paling sering. Gejala sistemik muncul seiring dengan perkembangan penyakit. Nyeri
punggung persisten dan lokal, keterbatasan mobilitas tulang belakang, demam dan
komplikasi neurologis dapat muncul saat destruksi berlanjut. Gejala lainnya menggambarkan
penyakit kronis, mencakup malaise, penurunan berat badan dan fatigue. Diagnosis biasanya
tidak dicurigai pada pasien tanpa bukti tuberkulosa ekstraspinal. Percival Pott pertama kali
23
menguraikan tentang tuberkulosa pada kolumna spinalis pada tahun 1779. Destruksi pada
diskus dan korpus vertebra yang berdekatan, kolapsnya elemen spinal dan kifosis berat dan
progresif kemudian dikenal sebagai Pott’s disease.7
2.2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2017, Indonesia masuk ke dalam peringkat ke-9 sebagai negara dengan
populasi penderita tuberkulosis terbanyak. Menurut data dari World Health Organization
(WHO), Indonesia mengalami penurunan dalam jumlah penderita tuberkulosis dari tahun
2005. 1-5% penderita tuberkulosis mengalami tuberkulosis osteoartikular. Separuh dari
tuberkulosis osteoartikular adalah spondilitis tuberkulosis. Di negara berkembang, penderita
tuberkulosis usia muda diketahui lebih rentan terhadap spondilitis tuberkulosis daripada usia
tua. Sedangkan di negara maju, usia munculnya spondylitis tuberkulosis biasanya pada
dekade kelima hingga keenam. Tuberkulosis osteoartikular banyak ditemukan pada penderita
dengan HIV positif, imigran dari negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, usia tua,
anak usia dibawah 15 tahun dan kondisi-kondisi defi siensi imun lainnya. Pada pasien-pasien
HIV positif, insiden tuberkulosis diketahui 500 kali lebih tinggi dibanding populasi orang
HIV negatif. Di sisi lain, sekitar 25 – 50% kasus baru tuberkulosis di Amerika Serikat adalah
HIV positif.4,8
2.2.3 Etiologi
24
2.2.4 Patofisiologi
Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan inflamasi pada paradiskus.
Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum tulang belakang maka terjadi
osteoporosis pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis jaringan tulang sehingga tulang
menjadi lunak dan gepeng, tarikan ke bawah terjadi akibat gaya gravitasi dan tarikan otot
torakolumbal. Selanjutnya, destruksi tulang diperberat oleh iskemi sekunder akibat
tromboemboli, periarteritis, endarteritis. Karena beban gravitasi pada vertebra torakal lebih
terletak pada setengah bagian anterior corpus vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak
ditemukan pada bagian anterior corpus vertebra sehingga badan vertebra bagian anterior
menjadi lebih pipih daripada bagian posterior. Resultan dari hal-hal tersebut mengakibatkan
deformitas kifotik. Deformitas kifotik inilah yang sering disebut sebagai gibbus. Beratnya
kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat dan banyaknya ketinggian dari corpus
vertebra yang hilang serta segmen tulang belakang yang terlibat. Vertebra torakal lebih sering
25
mengalami deformitas kifotik. Pada vertebra servikal dan lumbal, transmisi beban lebih
terletak pada setengah bagian posterior badan vertebra sehingga bila segmen ini terinfeksi,
maka bentuk lordosis fisiologis dari vertebra servikal dan lumbal perlahan-lahan akan
menghilang dan mulai menjadi kifosis.11
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut juga
abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi produk nanah
yang mencair dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk dari
leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil. Abses di daerah lumbal akan
mencari daerah dengan tekanan terendah hingga kemudian membentuk sinus/ fistel di kulit
hingga di bawah ligamentum inguinal atau regio gluteal.11
Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri lebih dari satu fokus infeksi vertebra. Hal ini
disebut sebagai spondilitis tuberkulosis non-contiguous, atau “skipping lesion”. Peristiwa ini
dianggap merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui pleksus venosus Batson
dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens spondilitis tuberkulosis non-contiguous dijumpai
pada 16% kasus spondilitis tuberkulosis.13
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medulla spinalis dan radiks terjadi
akibat banyak proses, yaitu penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral,
subluksasio sendi faset patologis, jaringan granulasi, vaskulitis, trombosis arteri/ vena
spinalis, kolaps vertebra, abses epidural atau; invasi duramater secara langsung. Selain itu,
invasi medulla spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui meningitis dan
tuberkuloma sebagai space occupying lesion.8,11
26
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis tuberkulosis dengan defisit neurologis
dan tanpa defisit neurologis, maka defisit biasanya terjadi jika lesi tuberkulosis berada pada
vertebra torakal. Defisit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang ditemukan apabila lesi
terdapat pada vertebra lumbalis. Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini antara lain: 1)
Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang memperdarahi medulla spinalis
segmen torakolumbal, paling sering terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi
arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia. 2) Diameter
relatif antara medulla spinalis dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai
melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan foramen vertebrae di daerah
tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen vertebraenya lebih besar dan lebih
memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior.8,11
Defisit neurologis terjadi pada 12-50% penderita. Defisit yang mungkin antara lain:
paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan atau sindrom cauda equina. Nyeri
radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). Spondilitis tuberkulosis
servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih berbahaya karena dapat menyebabkan
disfagia dan stridor, tortikolis, suara serak akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus
terganggu akan menyebabkan pernapasan terganggu dan timbul sesak napas (disebut juga
27
Millar asthma). Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri leher
yang tidak spesifik.13
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal
dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Menurut salah satu
sumber, insiden paraplegia pada spondilitis tuberkulosis (Pott’s paraplegia), sebagai
komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4-38% penderita. Pott’s paraplegia
dibagi menjadi dua jenis, yaitu paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia onset
lambat (late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua tahun
pertama dan biasanya disebabkan oleh kompresi medulla spinalis oleh abses atau proses
infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa adanya
tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut
atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang sebelumnya.11,13
Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari
anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medulla spinalis, kecuali jika ada
keterlibatan bagian posterior medulla spinalis, keluhan sensorik bisa lebih dahulu muncul.13
28
Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak spesifik dan
membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu, setiap pasien tuberkulosis paru
dengan keluhan nyeri punggung harus dicurigai mengidap spondilitis tuberkulosis sebelum
terbukti sebaliknya. Selain itu, dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat tuberkulosis
paru, atau riwayat gejala-gejala klasik (demam lama, diaforesis nokturnal, batuk lama,
penurunan berat badan) jika tuberkulosis paru belum ditegakkan sebelumnya. Demam lama
merupakan keluhan yang paling sering ditemukan namun cepat menghilang (1-4 hari) jika
diobati secara adekuat. Paraparesis adalah gejala yang biasanya menjadi keluhan utama yang
membawa pasien datang mencari pengobatan. Gejala neurologis lainnya yang mungkin
adalah rasa kebas, baal, gangguan defekasi dan miksi.2,3,13
29
pada tiap dermatom untuk protopatis (raba, nyeri, suhu) kemudian dibandingkan ekstremitas
atas dan bawah untuk proprioseptif (gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi
sekresi keringat rutin dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom.13
Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosis dini spondilitis tuberkulosis karena memvisualisasi langsung kelainan fisik pada
tulang belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan seperti
sinar-X, CT-scan, dan MRI.
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologi awal yang paling sering dilakukan dan
berguna untuk diagnosis awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya dua jenis, proyeksi AP
dan lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra
dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan
terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan
gambaran fusiformis. Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan
membentuk angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang me-manjang paravertebral
dapat terlihat, yang merupakan cold abscess. Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat
memperlihatkan cold abscess dengan baik. Dengan proyeksi lateral, klinisi dapat menilai
angulasi kifotik diukur dengan metode Konstam.14
30
Gambar 6. Rontgen pada Spondilitis TB15
Selain hal yang disebutkan di atas, CT-Scan dapat juga berguna untuk memandu
tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang. Penggunaan CT-
Scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak.16
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi corpus
vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses paraspinal dapat
dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi spondilitis tuberkulosis
sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk
mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous. MRI juga dapat digunakan untuk
31
mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan sinyal T1 pada sumsum tulang
mengindikasikan pergantian jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan
perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis.16
32
spesimen (dry tap). Kultur umumnya memerlukan waktu yang relatif lama, yaitu 2 minggu
dan sebaiknya diikuti dengan uji resistensi OAT. Spesimen yang cocok untuk dijadikan
kultur adalah organ-organ dalam, tulang, pus, cairan sinovial, atau jaringan sinovial. Media
yang dapat digunakan adalah media berbasis telur, seperti media Lowenstein-Jensen dan
media berbasis cairan, seperti Becton- Dickinson dan BACTEC. Pajanan pasien dengan
fluorokuinolon sebelumnya akan memperlambat pertumbuhan kultur hingga 2 minggu.11
33
2.2.7 Diagnosis Banding
34
Tumor metastasis spinal mencakup 85% bagian dari semua tumor tulang belakang
yang mengakibatkan kompresi medulla spinalis. Insiden tertinggi kasus tumor metastasis
spinal pada usia di atas 50 tahun. Urutan segmen yang sering terlibat yaitu torakal, lumbal
dan servikal. Neoplasma dengan kecenderungan bermetastasis ke medulla spinalis meliputi
tumor payudara, prostat, paru, limfoma, sarkoma, dan myeloma multipel. Metastasis
keganasan saluran cerna dan rongga pelvis relatif melibatkan vertebra lumbosakral,
sedangkan keganasan paru dan mamae lebih sering melibatkan vertebra torakal.17
Keganasan primer pada pasien anak-anak yang cukup sering menyebabkan kompresi
medulla spinalis meliputi neuroblastoma, Sarkoma Ewing, dan hemangioma. Formasi abses
dan adanya fragmen tulang adalah temuan MRI yang dapat membedakan spondilitis
tuberkulosis dari neoplasma. Keluhan yang sering berupa nyeri punggung belakang yang
kronis progresif dan tidak spesifik, hal inilah yang menyebabkan neoplasma spinal sulit
dibedakan dengan spondilitis tuberkulosis. Adanya riwayat keganasan di tempat lain dapat
membantu penegakkan diagnosis. Defisit neurologis terjadi tergantung tingkat lesi, muncul
jika tumor sudah menekan epidural dan medulla spinalis. Kolaps vertebra dengan deformitas
kifotik atau skoliotik terjadi akibat destruksi corpus vertebra/ fraktur oleh invasi tumor
dengan diskus yang bebas dari kerusakan. MRI belum dapat secara pasti menyingkirkan atau
memastikan diagnosis tumor spinal. Semua temuan-temuan MRI spondilitis tuberkulosis bisa
ditemukan pada tumor spinal.17
Pada fraktur kompresi, corpus vertebra berpotensi menyebabkan deformitas kifotik
disertai gangguan neurologis dengan derajat yang bervariasi. Trauma harus dengan kekuatan
yang besar untuk membuat corpus vertebra yang bersangkutan retak, kecuali jika didapatkan
osteoporosis, usia tua atau penggunaan steroid jangka panjang. Contoh klasik trauma yang
menyebabkan fraktur kompresi seperti jatuh dari ketinggian dengan bokong terlebih dahulu.
Kecelakaan mobil juga dapat menyebabkan dampak serupa. Mekanisme fleksi-kompresi
biasanya menyebabkan fraktur kompresi dengan bagian anterior mengecil (wedge-shaped)
dengan derajat kerusakan bagian tengah dan posterior yang bervariasi. Medulla spinalis
segmen torakal lebih sering mengalami cedera karena merupakan segmen yang paling
panjang dibandingkan segmen lainnya dan juga karena kanalis spinalisnya yang lebih sempit
dengan vaskularisasi yang tentatif. Diagnosis ditegakkan dengan temuan klinis dan adanya
35
riwayat trauma yang bermakna dikombinasikan dengan ada/ tidaknya faktor risiko seperti
osteoporosis atau usia tua.18
Klasifikasi menurut Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) telah disusun untuk
menentukan terapi yang dianggap paling baik untuk pasien yang bersangkutan. Sistem
klasifikasi ini dibuat berdasarkan kriteria klinis dan radiologis, antara lain: formasi abses,
36
degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital, instabilitas vertebra dan gejala
neurologis; membagi spondilitis tuberkulosis menjadi 3 tipe.20
Tabel 2. Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB20
37
Tabel 3. Klasifikasi American Spinal Injury Association (ASIA)21
A. Complete Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang utuh pada segmen S4-5
B. Incomplete Fungsi sensorik utuh, fungsi motorik tidak utuh di bawah segmen lesi
neurologis dan segmen S4-5
C. Incomplete Fungsi motorik masih utuh di bawah segmen lesi neurologis, lebih
dari separuh otot kunci* di bawah segmen lesi neurologis setidaknya
memiliki kekuatan motorik di bawah 3
*otot kunci: fleksi siku (C5), ekstensi pergelangan tangan (C6), ekstensi siku (C7), ekstensi
jari tangan (C8), abduksi kelingking (T1), fleksi panggul (L2), fleksi lutut (L3), dorsofleksi
kaki (L4), ekstensi ibu jari kaki (L5), plantarfleksi kaki (S1). Pemeriksaan segmen S4-5:
kontraksi sfingter ani volunter dan dan sensasi perianal
2.2.9 Penatalaksanaan
Penanganan spondilitis tuberkulosis secara umum dibagi menjadi dua bagian yang
dapat berjalan secara bersamaan, medikamentosa dan pembedahan. Terapi medikamentosa
lebih diutamakan, sedangkan terapi pembedahan melengkapi terapi medikamentosa dan
disesuaikan dengan keadaan individual tiap pasien. Pasien spondilitis tuberkulosis pada
umumnya bisa diobati secara rawat jalan, kecuali diperlukan tindakan bedah dan tergantung
pada stabilitas keadaan pasien. Tujuan penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis adalah untuk
mengeradikasi kuman TB, mencegah dan mengobati defisit neurologis, serta memperbaiki
kifosis.8
38
Secara medikamentosa, spondilitis tuberkulosis dapat diobati secara sempurna hanya
dengan OAT saja hanya jika diagnosis ditegakkan awal, dimana destruksi tulang dan
deformitas masih minimal. Seperti pada terapi tuberkulosis pada umumnya, terapi infeksi
spondilitis tuberkulosis adalah multidrug therapy, regimen OAT yang digunakan pada
tuberkulosis paru juga digunakan pada tuberkulosis ekstraparu. World Health Organization
(WHO) menyarankan terapi yang diberikan setidaknya selama 6 bulan. British Medical
Research Council menyarankan bahwa spondilitis tuberkulosis torakolumbal harus diberikan
terapi OAT selama 6-9 bulan. Untuk pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat servikal,
dan dengan defisit neurologis belum dapat dievaluasi, namun beberapa ahli menyarankan
durasi terapi selama 9-12 bulan. The Medical Research Council Committee for Research for
Tuberculosis in the Tropics menyatakan bahwa isoniazid dan rifampisin harus selalu
diberikan selama masa pengobatan. Selama dua bulan pertama (fase inisial) obat-obat
tersebut dapat dikombinasikan dengan pirazinamid, etambutol dan streptomisin sebagai obat
lini pertama. Obat lini kedua diberikan hanya pada kasus resisten pengobatan. Yang termasuk
sebagai OAT lini kedua antara lain: levofloksasin, moksifloksasin, etionamid, tiasetazon,
kanamisin, kapreomisin, amikasin, sikloserin, klaritomisin dan lain-lain. Ada pula kuman
tuberkulosis yang kebal terhadap berbagai macam OAT atau biasa disebut dengan Multidrug
resistance tuberkulosis (MDR-TB) yang didefinisikan sebagai basil tuberkulosis yang
resisten terhadap isoniazid dan rifampisin. Spondilitis MDR-TB adalah penyakit yang agresif
karena tidak dapat hanya diterapi dengan pengobatan OAT baku. Regimen untuk MDR-TB
harus disesuaikan dengan hasil kultur abses. Perbaikan klinis umumnya bisa didapatkan
dalam 3 bulan jika terapi berhasil. Adapula rekomendasi terbaru untuk penganganan MDR-
TB, yaitu dengan kombinasi 5 obat, antara lain: salah satu dari OAT lini pertama yang
diketahui sensitif melalui hasil kultur resistensi, OAT injeksi untuk periode minimal selama
6 bulan, kuinolon, sikloserin atau etionamid, antibiotik lainnya seperti amoksisilin klavulanat
dan klofazimin. Durasi pemberian OAT setidaknya selama 18–24 bulan.7
Terapi pada pasien dengan HIV positif harus disesuaikan dan memerhatikan interaksi
OAT dan obat anti-retroviral. Zidovudin dapat meningkatkan efek toksik dari OAT.
Didanosin harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat penyanggah antasida.7
39
Tabel 4. Dosis OAT pada Spondilitis Tuberkulosis22
Regimen terapi OAT sendiri terdiri dari 2 kategori. Untuk kategori I, yaitu kasus baru
tuberkulosis paru kasus baru dengan tuberkulosis ekstraparu, termasuk tuberkulosis spinal,
diberikan 2 RHZE (HRZS)/4RH, atau 2RHZE(RHZS)/4R3H3 fase lanjutan, atau
2RHZE(RHZS)/6HE. Pemberian regimen bisa diperpanjang sesuai dengan respons klinis
pasien. Sedangkan untuk kategori II, yaitu kasus gagal pengobatan, relaps, drop-out,
diberikan 2RHZES/5RHE, atau 2RHZES/5H3R3E3 fase lanjutan.10
Deksametason jangka pendek dapat digunakan pada kasus dengan defisit neurologis
yang akut untuk mencegah syok spinal. Namun, belum ada studi yang menguji efektivitasnya
pada kasus spondilitis tuberkulosis.7
Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan dengan OAT telah dicoba pada beberapa
pasien dan dikatakan dapat meningkatkan proses perbaikan tulang. Nerindronat 100 mg pada
pemberian pertama, dan 25 mg setiap bulan berikutnya selama 2 tahun telah diujicobakan
dengan hasil yang memuaskan. Nerindronat disebutkan dapat menghambat aktivitas resorpsi
oleh osteoklas dan menstimulasi aktivitas osteoblas. Namun, studi ini masih terbatas pada
satu pasien dan perlu dievaluasi lebih lanjut.7,20
Terapi medikamentosa dikatakan gagal jika dalam 3-4 minggu, nyeri dan atau defisit
neurologis masih belum menunjukkan perbaikan setelah pemberian OAT yang sesuai,
dengan atau tanpa imobilisasi atau tirah baring.7,20
40
Tindakan bedah yang dapat dilakukan pada spondilitis tuberkulosis meliputi drainase
abses, debridemen radikal, penyisipan tandur tulang baik secara anterior maupun posterior,
dan osteotomi.7,20
Jika lesi di servikal, intervensi bedah dilakukan lebih awal mengingat potensi
kecacatan yang akan terjadi. Jika mengikuti klasifikasi GATA, intervensi bedah dilakukan
pada pasien dengan GATA IB-III. Sementara itu, satu-satunya kontraindikasi pembedahan
pada pasien spondilitis tuberkulosis adalah kegagalan jantung dan paru. Pada keadaan ini
kegagalan jantung dan paru harus ditangani terlebih dahulu untuk menyelamatkan nyawa
pasien.12,19,20
Aspirasi sederhana atau drainase abses yang menghilangkan lesi melalui rute
posterior merupakan pendekatan bedah pertama yang diperkenalkan untuk penyakit ini
meskipun hasilnya tidak cukup menjanjikan. Pada tahun 1895, Menard menggunakan
pendekatan ekstrapleural anterolateral untuk debridemen jaringan, dekompresi mekanis
medulla spinalis, dan pencangkokan tulang untuk fusi anterior. Ini adalah pendekatan
pertama yang memadai untuk pengobatan lesi dorsal. Pendekatan anterior transpleural
41
awalnya diperkenalkan oleh Hodgson dan Stock dan meskipun pendekatan ini membutuhkan
perawatan pasca operasi lanjutan, ia sering digunakan.23
Fusi tulang belakang bagian posterior telah diadvokasi dan digunakan secara luas
oleh Albee dan Hibbs dalam penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis. Selanjutnya, pada
tahun 1946, Alexander melakukan dekompresi lateral dengan preservasi stabilitas tulang
belakang dengan menghindari sendi lamina dan intervertebral posterior.23
Teknik yang saat ini digunakan untuk tatalaksana spondilitis tuberkulosis antara lain
dekompresi posterior dan fusi dengan autograf tulang, debridemen atau dekompresi anterior
dan fusi dengan autograf tulang, debridemen atau dekompresi anterior dan fusi dengan
instrumental secara bersamaan atau berurutan, dan fusi posterior dengan instrumentasi yang
diikuti oleh debridement atau dekompresi dan fusi secara simultan atau berurutan.23
Dari sudut pandang biomekanik, baik pendekatan anterior maupun posterior saja
dapat menstabilkan tulang belakang serta pendekatan gabungan dalam kasus spondilitis
tuberkulosis. Oleh karena itu, beberapa penulis menyarankan bahwa pendekatan gabungan
dapat menghasilkan hasil yang lebih baik dan mencegah kifosis secara lebih efisien.
Pendekatan gabungan dapat dilakukan dengan dua cara, anterior posterior, debridemen
anterior atau dekompresi dan fusi dilakukan di awal, posterior-anterior dengan fusi posterior
dengan instrumentasi merupakan tahap pertama. Tidak ada perbedaan dalam parameter klinis
atau radiologis antara kedua kelompok ini menunjukkan bahwa salah satu dari dua teknik
bedah ini dapat dipilih tergantung pada kondisi pasien. Manajemen bedah satu tahap pada
anak-anak dengan spondilitis tuberkulosis oleh dekompresi anterior dan instrumentasi
posterior telah terbukti baik dan efektif.23
42
Teknik spinal minimal invasif merupakan pendekatan bedah alternatif untuk
mengatasi berbagai patologi di tulang belakang, bahkan jika fusi diindikasikan. Teknik-
teknik seperti debridement endoskopi posterolateral dan irigasi juga telah digunakan dengan
hasil yang baik untuk pengelolaan spondilitis tuberkulosis.23
Gabungan fusi anterior dan posterior lebih baik digunakan pada pasien berusia muda
tanpa komorbiditas yang signifikan dengan salah satu dari indikasi berikut, keterlibatan
anterior dan posterior, lebih dari tiga segmen yang terlibat, tingkat signifikan kifosis terkait
dengan kehancuran nyata dari satu atau dua tubuh vertebral, atau keterlibatan persimpangan
torakolumbal.23
2.2.10 Komplikasi
2.2.11 Prognosis
Deformitas dan defisit neurologis merupakan konsekuensi yang paling serius dari
spondylitis tuberkulosis dan terus menjadi masalah serius ketika diagnosis terlambat atau
presentasi pasien berada dalam stadium lanjut. Kepatuhan terapi dan resistensi obat
merupakan faktor tambahan yang secara signifikan mempengaruhi hasil individu. Paraplegia
yang dihasilkan dari kompresi biasanya memberi respon dengan baik terhadap terapi OAT.
Namun, paraplegia dapat bermanifestasi atau bertahan selama penyembuhan karena
kerusakan sumsum tulang belakang permanen. Dekompresi operatif dapat sangat
meningkatkan tingkat pemulihan sehingga merupakan sarana pengobatan ketika terapi
medikamentosa tidak membawa perbaikan yang cepat.7
43
Kesimpulan
Daftar Pustaka
1. Camillo FX. Infections of the Spine. Canale ST, Beaty JH, ed. Campbell’s Operative
Orthopaedics Volume 2. 11th Ed. 2008: p. 2237.
2. Cormican L, Hammal R, Messenger J, Milburn HJ. Current difficulties in the
diagnosis and management of spinal tuberculosis. Postgrad Med J 2006; 82: p. 46-
51.
3. Sinan T, Al-Khawari H, Ismail M, Bennakhi A, Sheikh M. Spinal tuberculosis: CT
and MRI feature. Ann Saudi Med 2004; 24: p. 437-41.
4. WHO. Global tuberculosis control - epidemiology, strategy, financing WHO Report
2017. WHO/HTM/TB/2017.23. Geneva: World Health Organization; 2017. p.172-3.
5. Sherwood L. Human physiology from cells to systems. 9th Ed. United States of
America: Cengage Learning; 2016: p.172-4.
6. Baehr M, Frotscher M. Duus’ topical diagnosis in neurology: anatomy, physiology,
signs, symptoms. 6th Ed. New York: Thieme Stuttgart; 2014: p. 27.
7. Hidalgo JA, Alangaden G. Pott’s Disease (Tuberculous Spondylitis) 2017. Available
at https://emedicine.medscape.com/article/226141-overview#a3, 23 April 2018.
8. Byrne TN, Benzel EC, Waxman SG. Infectious and noninfectious inflammatory
disease affecting the spine. Disease of the Spine and Spinal Cord. United Kingdom:
Oxford University Press Inc; 2000: p. 325-35.
44
9. Salter B. Tuberculous osteomyelitis. In: The Musculoskeletal System. 2nd Ed. New
York: Williams & Wilkins; 2010: p. 186-9.
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Grafika; 2006: h. 5-12.
11. Agrawal V, Patgaonkar PR, Nagariya SP. Tuberculosis of spine. Journal of
Craniovertebral Junction and Spine: 2010; 1: p. 14-26.
12. Albar Z. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia Kedokteran No.
137; 2002 h. 29.
13. Polley P, Dunn R. Noncontiguous spinal tuberculosis: incidence and management.
Eur Spine J (2009) 18: p. 1096–101.
14. Harada Y, T Osamu, Matsunaga N. Magnetic Resonance Imaging Characteristics of
Tuberculous Spondylitis vs. Pyogenic Spondylitis. Clinical Imaging 2008; 32: p. 303-
9.
15. Teo EL, Peh WC. Imaging of tuberculosis of the spine. Singapore Med J 2004: 45(9);
p. 439.
16. Garcia AR, Estrada SS, Odin CT, Gomila LC, Franquet E. Imaging findings of pott’s
disease. Eur Spine J: 2013; 22(4): p. 567-78.
17. Lee CS, Jung CH. Metastatic spinal tumor. Asian Spine J: 2012; 6(1): p. 71-87.
18. DePuy Synthes Spine. Understanding vertebral compression fracture. Switzerland:
DePuy Synthes; 2016: p. 4-5.
19. Nataprawira HM, Rahim AH, Dewi MM, Ismail Y. Comparation Between Operative
and Conservative Therapy in Spondylitis Tuberculosis in Hasan Sadikin Hospital
Bandung. Maj Kedokt Indon: 2010; 60 (7): p. 4-9.
20. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, Vaccaro
AR. A new classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis.
International Orthopaedics (SICOT): 2008; 32: p. 127-33.
21. Kirshblum SC, Waring W, Sorensen, et al. Reference for the 2011 revision of the
international standards for neurological classification of spinal cord injury. J Spinal
Cord Med: 2011; 34(6): p. 547-54.
45
22. Chaudhary K, Dhawale A, Chaddha R, Laheri V. Spinal tuberculosis: an update.
Journal of Clinical Orthopaedics: 2017; 2(1): p. 31-42.
23. Rasouli MR, Mirkoohi M, Vaccaro AR, Yarandi KK, Rahimi-Movaghar V. Spinal
tuberculosis: diagnosis and management. Asian Spine J: 2012; 6(4): p. 294-308.
46