Anda di halaman 1dari 13

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

RSD Madani Palu


Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako

REFLEKSI KASUS
SKIZOFRENIA PARANOID

DISUSUN OLEH:

FATMA ANGGITA IBRAHIM


N 111 16 085

PEMBIMBING:
dr. Nyoman Sumiati, Sp.KJ

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
RSD MADANI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
REFLESI KASUS
SKIZOFRENIA PARANOID

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. F

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Tibo

Agama : Islam

Status Perkawinan : Sudah menikah

Pendidikan : SMA

Tanggal Pemeriksaan : 11 September 2017

Tempat Pemeriksaan : Ruang Langsat RSD Madani Palu

Diagnosis Sementara : Skizofrenia Paranoid (F20.0)

A. Deksripsi Kasus
Seorang perempuan 42 tahun masuk Rumah Sakit diantar
keluarganya karena mengamuk, marah-marah dan memecahkan meja
dirumahnya. Pasien juga tampak gelisah disertai susah tidur. Hal
tersebut dialami sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit dan
disebabkan karena pasien merasa diejek oleh tetangganya yang
mengatakan bahwa ia gila. Pasien sudah putus obat sejak 1 tahun
dan tidak pernah kontrol ke poliklinik sejak keluar dari RS. Pasien
sudah pernah dirawat di RSD Madani sebelumnya pada tahun 2016.
Selain keluhan berupa mengamuk, pasien juga menceritakan bahwa ia
sering merasa diejek oleh tetangganya yang sedang berkumpul

1
disekitar lingkungan rumahnya dan mengatakan bahwa ia gila pada
saat pasien berjalan di lingkungan sekitar rumahnya sehingga
menyebabkan pasien tidak mau keluar rumah serta bergaul dengan
lingkungannya. pasien juga tidak mau makan serta minum. Pasien
merasa mudah emosi dan mendengar bisikan-bisikan berupa suara dari
anak dan keluarganya yang menyuruhnya pulang. Pasien juga melihat
kakeknya yang telah meninggal dunia melintas di ruangan langsat.
Pertama kali pada tahun 2016 pasien masuk di RSD Madani karena
pasien merasa depresi oleh perbuatan suaminya. Suami pasien selalu
melarang pasien untuk menghubungi anak serta keluarganya. Suami
pasien juga selalu memukulinya. Sehingga pasien merasa tertekan.
Pada tahun 2016 ini juga pertama kali ia mendengar bisikan-bisikan
anak kecil.
Emosi terkait
Kasus ini menarik untuk dibahas karena pasien merupakan pasien
yang menderita skizofrenia paranoid.
B. Evaluasi
- Pengalaman baik : pada awal proses anamnesis pasien cukup
kooperatif.
- Pengalaman buruk : tidak ada
C. Analisis
a. Defenisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizen yang berarti
terpisah atau pecah, dan phren yang artinya jiwa. Pada
skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi,
kognitif dan perilaku.Skizofrenia merupakan suatu sindrom
psikotik kronis yang ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi,
afek tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta dapat ditemukan uji
kognitif yang buruk.

2
b. Etiologi
Sampai saat ini, belum ditemukan etiologi pasti penyebab
skizofrenia. Namun, skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu
etiologi, melainkan gabungan antara berbagai faktor yang dapat
mendorong munculnya gejala mulai dari faktor neurobiologis
maupun faktor psikososial, diantaranya sebagai berikut:
- Faktor Neurobiologis
- Faktor Genetika
Penelitian tentang adanya pengaruh genetika atau keturunan
terhadap terjadinya skizofrenia telah membuktikan bahwa
terjadinya peningkatan risiko terjadinya skizofrenia bila
terdapat anggota keluarga lainnya yang menderita skizofrenia,
terutama bila hubungan keluarga tersebut dekat (semakin dekat
hubungan kekerabatan, semakin tinggi risikonya). Hubungan
Presentasi Terjadinya Skizofrenia Populasi umum 1 % Kembar
monozigotik 40 - 50 % Kembar dizigotik 10 - 15 % Saudara
kandung skizofrenia 10 % Orang tua 5 % Anak dari salah satu
orang tua skizofrenia 10 - 15 % Anak dari kedua orang tua
skizofrenia 30 - 40 %
- Faktor Neuroanatomi
Struktural Sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis
merupakan tiga daerah yang saling berhubungan, sehingga
disfungsi pada salah satu daerah mungkin melibatkan patologi
primer di daerah lainnya. Gangguan pada sistem limbik akan
mengakibatkan gangguan pengendalian emosi. Gangguan pada
ganglia basalis, akan mengakibatkan gangguan atau keanehan
pada pergerakan (motorik), termasuk gaya berjalan, ekspresi
wajah facial grimacing. Pada pasien skizofrenia dapat
ditemukan gangguan organik berupa pelebaran ventrikel tiga

3
dan lateral, atrofi bilateral lobus temporomedial dan girus
parahipokampus, hipokampus, dan amigdala.
- Faktor Neurokimiawi
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmitter juga
diidentifikasi sebagai etiologi pada pasien
skizofrenia.Hipotesis yang paling banyak yaitu gejala psikotik
pada pasien skizofrenia timbul diperkirakan karena adanya
gangguan neurotransmitter sentral, yaitu terjadinya
peningkatan aktivitas dopaminergik atau dopamin sentral
(hipotesis dopamin).Peningkatan ini merupakan akibat dari
meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyak reseptor
dopamin, atau hipersensitivitas reseptor dopamin.
- Faktor Psikososial
- Faktor Keluarga dan Lingkungan
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting
dalam menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi.
Penderita skizofrenia pada keluarga dengan ekspresi emosi
tinggi (expressed emotion [EE], keluarga yang berkomentar
kasar dan mengkritik secara berlebihan) memiliki peluang
yang lebih besar untuk kambuh

c. Manifestasi Klinis
Pada DSM-IV (Diagnostic and statistical manual) menyebutkan
bahwa tipe paranoid ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada
satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang sering, dan
tidak ada perilaku spesifik lain yang mengarahkan pada tipe
terdisorganisasi atau katatonik. Skizofrenia paranoid secara klasik
ditandai oleh adanya waham persekutorik (waham kejar) atau
waham kebesaran. Pada pasien skizofrenia tipe paranoid,

4
menunjukkan regresi kemampuan mental, respons emosional, dan
perilaku yang lebih ringan dibandingkan pasien skizofrenia tipe
lain. Pasien skizofrenia paranoid kadang-kadang dapat
menempatkan diri mereka sendiri secara adekuat di dalam situasi
sosial. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan
psikosis mereka dan tetap intak.
Pada ICD-10, gambaran klinis pada pasien skizofrenia paranoid
(F20.0) didominasi oleh adanya gejala-gejala paranoid, seperti:
Waham kejar (presecution), seperti memercayai bahwa orang lain
bersekutu melawan dia Waham rujukan (reference), seperti
bahwa orang asing atau televisi, radio atau koran terutama
mengarah kepada pasien; bila tidak mencapai intensitas waham, isi
pikiran tersebut dikenal sebagai ideas of reference Waham merasa
dirinya tinggi/istimewa (exalted birth), atau mempunyai misi
khusus; misalnya, keyakinan bahwa dirinya dilahirkan sebagai
Mesias Waham perubahan tubuh Waham cemburu Suara-suara
halusinasi yang bersifat mengancam atau memerintahkan pasien
Halusinasi pendengaran non-verbal, seperti tertawa, bersiul, dan
bergumam Halusinasi bentuk lainnya, seperti penghiduan,
pengecapan, penglihatan, sensasi somatik seksual atau sensasi
somatik lainnya
d. Pedoman diagnostik
Berdasarkan PPDGJ-III Skizofrenia dapat didiagnosis jika terdapay
poin-poin sebagai berikut.
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Sebagai tambahan:
Halusinasi dan/ waham arus menonjol;
Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau
memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa

5
bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing).
Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau
bersifat seksual , atau lain-lain perasaan tubuh,
halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol.
Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi
waham dikendalikan (delusion of control),
dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity
(delussion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar
yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan,
serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata / tidak
menonjol.
e. Diagnosis Banding
Diagnosis banding skizofrenia paranoid berdasarkan PPDGJ-III
yaitu sebagai berikut.
- Epilepsi dan psikosis yang diinduksi oleh obat-obatan
- Keadaan paranoid involusional (F22.8)
- Paranoia (F22.0)
f. Penatalaksanaan
- Non Farmakologis
Rawat Inap / Hospitalisasi
Pasien yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut
harus dirawat di rumah sakit. Perawatan di rumah sakit
menurunkan stress pada pasien dan membantu mereka
menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan
di rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit

6
pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat
jalan.Rawat inap diindikasikan terutama untuk : (1)
Tujuan diagnostik (2) Stabilisasi pengobatan (3)
Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau
pembunuhan, maupun mengancam lingkungan sekitar
(4) Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada
tempatnya, termasuk, ketidakmampuan mengurus
kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang dan papan (5)
Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari
keluarga maupun lingkungan (6) Timbulnya efek
samping obat yang membahayakan jiwa Membangun
hubungan yang efektif antara pasien dan sistem
pendukung komunitas merupakan tujuan utama rawat
inap
Terapi Psikologis (Psikoterapi) dan Dukungan Sosial
(Sosioterapi)
Terapi yang dapat membantu penderita skizofrenia
adalah psikoterapi suportif individual atau kelompok,
serta bimbingan yang praktis dengan maksud
mengembalikan penderita ke masyarakat. Terapi
perilaku kognitif (cognitive behavioural therapy, CBT)
seringkali bermanfaat dalam membantu pasien
mengatasi waham dan halusinasi yang menetap.
Tujuannya adalah untuk mengurangi penderitaan dan
ketidakmampuan, dan tidak secara langsung
menghilangkan gejala.Terapi keluarga dapat membantu
mereka megurangi ekspresi emosi yang berlebihan dan
terbukti efektif mencegah kekambuhan.

7
- Farmakologis
Pemberian obat-obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia
(sindrom psikosis fungsional) merupakan penatalaksanaan
yang utama.Pemilihan jenis obat anti-psikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan (fase akut
atau kronis) dan efek samping obat. Fase akut biasanya ditandai
oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh)
yang perlu segera diatasi. Obat anti-psikosis tidak bersifat
menyembuhkan, namun bersifat pengobatan simtomatik.Obat
anti-psikosis efektif mengobati gejala positif pada episode
akut (misalnya halusinasi, waham, fenomena passivity) dan
mencegah kekambuhan.Obat-obat ini hanya mengatasi gejala
gangguan dan tidak menyembuhkan skizofrenia.Pengobatan
dapat diberikan secara oral, intramuscular, atau dengan injeksi
depot jangka panjang. Untuk pasien yang baru pertama kali
mengalami episode skizofrenia, pemberian obat harus
diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek samping,
karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan akan
mengurangi ketaatanberobat (compliance) atau
kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan untuk menggunakan
antipsikosis atipikal atau antipsikosis tipikal, tetapi dengan
dosis yang rendah.
Mekanisme kerja obat anti-psikosis berkaitan dengan aktivitas
neurotransmitter dopamine yang meningkat. Pada umumnya,
pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3
bulan sampai 1 tahun, setelah semua gejala psikosis mereda
sama sekali.
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai
beberapa hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek

8
klinis. Obat anti-psikosis dibagi dalam dua kelompok,
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:
1. Dopamine Receptor Antagonist (DRA) atau anti-psikosis
generasi I (APG-I) Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis
konvensional atau tipikal.Kebanyakan antipsikosis golongan
tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam mem-blokade atau
menghambat pengikatan dopamin pada reseptor pasca-sinaptik
neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), hal inilah
yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang
kuat.Oleh karena kinerja obat APG-I, maka obat ini lebih
efektif untuk gejala positif, contohnya gangguan asosiasi
pikiran (inkoherensi), isi pikir yang tidak wajar (waham),
gangguan persepsi (halusinasi) dibandingkan untuk terapi
gejala negatif. Obat antipsikosis tipikal (APG-I) memiliki dua
kekurangan utama, yaitu : (a) Hanya sejumlah kecil pasien
(kemungkinan 25 persen) yang cukup tertolong untuk
mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang cukup normal
(b) Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek
merugikan yang mengganggu dan serius. Efek menganggu
yang paling utama adalah akatisia dan gejala mirip
parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor. Sebagian besar
antagonis reseptor dopamin dapat diberikan dalam satu dosis
oral harian ketika orang tersebut berada dalam kondisi yang
stabil dan telah menyesuaikan dengan efek samping apa
pun.Prototip kelompok obat APG-I adalah klorpromazin
(CPZ), hal ini dikarenakan obat ini sampai sekarang masih
tetap digunakan sebagai antipsikosis, karena ketersediannya
dan harganya murah.Obat CPZ merupakan golongan derivate

9
phenothiazine yang mempengaruhi ganglia basal, sehingga
menimbulkan gejala parkinsonisme (efek esktrapiramidal /
EPS).Semua obat APG-I dapat menimbulkan efek samping
EPS (ekstrapiramidal), seperti distonia akut, akathisia, sindrom
Parkinson (tremor, bradikinesia, rigiditas).Efek samping ini
dibagi menjadi efek akut, yaitu efek yang terjadi pada hari-hari
atau minggu-minggu awal pertama pemberian obat, sedangkan
efek kronik yaitu efek yang terjadi setelah berbulan-bulan atau
bertahun-tahun menggunakan obat.

2. Serotonin-dopamine Antagonist (SDA) atau anti-psikosis


generasi II (APG-II) Pada tahun 1990, ditemukan klozapin
yang dikenal sebagai generasi pertama antipsikotik golongan
atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal
symptom).13 Obat APG-II disebut juga obat anti-psikosis baru
atau atipikal. Standar terbaru untuk pemberian obat anti-
psikosis bagi pasien skizofrenia adalah APG-II.Obat APG-II
memiliki efek samping neurologis yang lebih sedikit
dibandingkan dengan antagonis reseptor dopamin dan efektif
terhadap kisaran gejala psikotik yang lebih luas. Mekanisme
kerja obat anti-psikosis atipikal adalah berafinitas terhadap
Dopamine D2 Receptors (sama seperti APG-I) dan juga
berafinitas terhadap Serotonin 5 HT2 Receptors (Serotonin-
dopamine antagonist), sehingga efektif terhadap gejala positif
(waham, halusinasi, inkoherensi) maupun gejala negatif (afek
tumpul, proses pikir lambat, apatis, menarik diri). Apabila pada
pasien skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri,
isi pikir miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham,

10
halusinasi, bicara kacau), maka obat anti-psikosis atipikal perlu
dipertimbangkan.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari


PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika
Atmajaya; 2013.
2. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed.2. Jakarta: EGC; 2010.
3. Elvira S, Hadisukanto G, 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai