Anda di halaman 1dari 34

SINDROM EPILEPSI

Miranda Jamaiyah
712021022

Pembimbing:
IPDA dr. Irma Yanti, Sp.S
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang

• Di seluruh dunia terdapat kurang lebih 50 juta jiwa mengalami epilepsi.


Sehingga diperkirakan 4-10 per 1000 penduduk mengalami epilepsi aktif
dengan kejang yang terjadi terusmenerus sehingga membutuhkan pengobatan
lanjutan (WHO, 2016).
• Diperkirakan 10-15 juta anak usia <15 tahun di dunia mengalami epilepsi.
Sebanyak 3-5 juta anak mengalami serangan rutin, 40% di antaranya berusia
kurang dari 15 tahun dan 80% anak tersebut hidup di negara berkembang.
Prevalensi akibat terjadinya epilepsi banyak terjadi dinegara berkembang
diakibatkan faktor penyakit atau pada cidera pada otak dari pada di negara
industri (WHO, 2019)
Latar Belakang

• Sindrom epilepsi adalah bentuk klasifikasi epilepsi berupa sekumpulan tanda dan
gejala yang muncul bersamaan dalam suatu serangan epilepsi.
• Klasifikasi sindrom epilepsi ini diperkenalkan oleh International Legague Against
Epilepsy (ILAE) pada tahun 1989, yang disusun berdasarkan usia/onset saat terjadi
kejang, status neurologis, faktor pencetus, gejala dan tanda fisik maupun mental,
riwayat keluarga, gambaran EEG, prognosis serta respon terhadap pengobatan.
• Meskipun sindrom epilepsi telah diakui sebagai entitas elektroklinis yang berbeda
jauh sebelum Klasifikasi Epilepsi dan Sindrom Epilepsi pertama diusulkan pada tahun
1985, dan telah diringkas dalam Panduan Bleu dan Sindrom Epilepsi pada Bayi,
Anak, dan Remaja.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Sindrom Epilepsi

ILAE 1989 membuat klasifikasi baru untuk memudahkan diagnosis tanpa


menggantikan klasifikasi dan definisi sindrom epilepsi sebagai kumpulan tanda
dan gejala gangguan epilepsi.
ILAE ini mewakili karya Gugus Tugas Nosologi dan Definisi, yang didirikan
oleh ILAE pada tahun 2017 untuk memberikan definisi sindrom epilepsi. Kami
mendefinisikan sindrom epilepsi sebagai "kelompok karakteristik fitur klinis dan
EEG, sering didukung oleh temuan etiologi spesifik (struktural, genetik,
metabolik, imun, dan infeksi).
Epidemiologi Sindrom epilepsi

Hasil penelitian kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia


(POKDI Epilepsi PERDOSSI) pada beberapa Rumah Sakit di 5 Pulau besar di
Indonesia (2013) mendapat 2.288 ODE dengan 21,3% merupakan pasien baru.
Di rumah sakit umum pusat nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM),
jumlah penyandang epilepsi yang rutn kontrol semakin meningkat, mencapai
10-15 pasien per hari dengan jumlah kasus baru sekitar 2-3 orang tiap minggu.
Patofisiologi

1. Patofisiologi berdasarkan mekanisme eksitasi


Kejang dapat dipicu oleh eksiasi ataupun inhibisi pada sel saraf. Glutaat yang dilepakan dari
terminal presinaps akan berikatan dengan reseptor glutamat yang disebut reseptor inotropik
glutamat (iGluRs) yang memiliki beberapa sub tipe yaitu NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan
non-NMDA (kainate dan amino-3-hydroxy-5-methyl-isoxasole propionic acid atau AMPA)
Patofisiologi

2. Patofisiologi berdasarkan mekanisme inhibisi

Neurotransmitter inhibisi primer pada otak adalah GABA.


Jika diaktifkan oleh GABA presinaptik maupun postsinaptik maka reseptor
GABAB akan menyebabkan IPSP. IPSP berperan dalam menurunkan
cetusan elektrik sel saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini
akan mengakibatkan eksitasi dan mencetuskan epilepsi
Patofisiologi berdasarkan mekanisme sinkronisasi

Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar neuron yang


berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal. Potensial
aksi yang terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron-neuron
lain yang berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik
yang berlebihan dan bersifat berulang.
Patofisiologi berdasarkanmekanisme neurokimiawi

Mekanisme epilepsi sangat dipengaruhi oleh keadaan neurokimia pada sel-


sel saraf, misalnya sifat neurotransmiter yang dilepaskan.
GABA dan glutamat yang merupakan neurotransmiter penting dalam
epilepsi, terdapat beberapa produk kimiawi lain yang juga ikut berperan
seperti misalnya golongan opioid yang dapat menyebabkan inhibisi
interneuron, ataupun katekolamin yang dapat menurunkan ambang kejang.
Selain itu gangguan elektrolit akibat kegagalan pengaturan pompa ionik
juga ikut mencetuskan serangan epilepsi
Patofisiologi berdasarkan mekanisme imun

Reaksi imunologis atau inflamasi menyebabkan berbagai penyakit


neurologis termasuk epilepsi. Reaksi inflamasi pada sistem saraf pusat
merupakan akibat dari aktivasi sistem imun adaptif maupun nonadaptif.
Penelitian yang dilakukan pada binatang percobaan memperlihatkan bahwa
selama aktivitas epilepsi terjadi pelepasan mediator inflamasi oleh
mikroglia, astrosit dan neuron.
Klasifikasi sindrom epilepsi

Klasifikasi nternasional epilepsi dan sindrom epilepsi disusun oleh ILAE pada
tahun 1989 adalah sebagai berikut
1. Epilepsi dan sindrom epilepsi umum
Kejang neonatus familial benigna
bentuk kejang yang diturunkan secara autosomal dominan . Ini
bermanifestasi pada bayi baru lahir, biasanya dalam 7 hari pertama
kehidupan, sebagai kejang tonik-klonik . Bayi dinyatakan normal antara
serangan dan berkembang tanpa insiden. Serangan biasanya berhenti secara
spontan dalam 15 minggu pertama kehidupan.
-
Epilepsi mioklonik pada bayi
Kejang pada neonatus harus dibedakan dari aktifitas normal pada bayi prematur, bayi cukup bulan dan gerakan
abnormal lain yang bukan kejang. Jitteriness merupakan salah satu gejala gangguan pergerakan yang sulit
dibedakan dengan kejang. Penyebab tersering jitteriness adalah ensefalopati hipoksik-iskemik, hipokalsemia,
hipoglikemia dan gejala putus obat.
Epilepsi lena pada anak (pyknolepsy)
Ada jenis epilepsi tertentu (Juvenile myoclonic epilepsy) yang memerlukan pengobatan seumur
hidup. Jenis epilepsi yang berat juga memerlukan pengobatan yang lebih lama dengan lebih dari 1
macam obat antiepilepsi.
Epilepsi mioklonik pada remaja
Kejang tonik klonik atau kejang grand mal adalah jenis kejang yang melibatkan seluruh
tubuh, karena melibatkan kedua sisi otak.
Idiopatik dan/atau simptomatik
A. Sindrom West (infantile spasms)
Sindroma West adalah kelainan epileptik yang jarang pada bayi yang terdiri dari trias yaitu
spasme infantil, hipsaritmia pada gambaran interiktal EEG, dan retardasi mental, walaupun
diagnosis dapat ditegakkan jika satu dari kriteria tidak terpenuhi.
A. Sindrom Lennox-Gastaut
Sindroma Lennox-Gastaut (SLG) merupakan sindroma epilepsi pada anak- anak yang sangat
menyulitkan, mencakup 1-4% epilepsi pada anak, 10% penderita dengan onset epilepsi saat
usia di bawah 5 tahun. Sindroma ini ditandai dengan kejang yang multipel, retardasi mental
atau regresi, dan abnormalitas EEG berupa pelepasan gelombang paku lambat yang
generalisata (1,5-2 Hz).
A. Epilepsi mioklonik astatik
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens terjadi pada anggota tubuh atas.
Sering setelah bangkitan mengakibatkan menjatuh- kan dan menumpahkan sesuatu. Meski kesadaran
tidak terganggu, penderita dapat merasa kebingungan dan mengantuk jika beberapa episode terjadi
dalam periode singkat. Terkadang dapat memberat menjadi kejang tonik-klonik. Terjadi mendadak,
kehilangan kekuatan otot, menye- babkan penderita lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri.
Biasanya terjadi cedera dan luka pada kepala. Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan
cepatpemulihankecualiterjadicedera.
2. Epilepsi dan Sindrom epilepsi lokal (localized related)
Idiopatik (primer)
A.Epilepsi benigna dengan gelombang pakudaerah temporal
Merupakan epilepsi anak idiopatik paling banyak. EEG inter ictal berupa spike kecil
daerah centrotemporal (daerah Rolandik). Secara visual memerlukan pengalaman
karakter pola ini. Quantittive EEG atau brain mapping dengan analisis spektral power
pada frekuensi EEG merupakan alat untuk melihat peningkatan atau penurunan
sinkronisasi neuronal pada daerah di otak. Brain mapping merekam gelombang otak
dengan Fast Fourier Transform (FFT) menjadi spektral power. Sehingga qEEG sensitive
terhadap perubahan fokal di otak.
B. Epilepsi dengan gelombang paroksismal daerah oksipital
Masa kanak-kanak idiopatik Gastaut (ICOE-G) adalah bentuk murni tetapi jarang dari epilepsi
oksipital idiopatik yang mempengaruhi anak-anak dan remaja normal.
• Simptomatik (sekunder)
A. Epilepsi parsialis kontinua kronik progresif pada anak (Sindrom
Kojewnikoff’s)
pilepsi parsaikis kontinua kronik progresif pada anak kejang jenis ini disebut juga kejang
psikomotor. Kejang ini dapaoat didahului oleh kejang parsial sederhana dengan atau tanpa aura,
disertai dengan gangguan kesadaran atau sebaliknya, mulainya kejang parsial kompleks ini
dapat bersama dengan keadaan kesadaran yang berubah.
Kejang parsial kompleks yang disertai gelombang tajam atau paku – paku setempat EEG antar
kejang lobus temporalis anterior, dan paku multifokus merupakan temuan yang sering. Sekitar
20 % bayi dan anak dengan kejang parsial kompleks mempunyai EEG antar kejang rutin
normal. Daerah yang terkena kejang parsial kompleks lebih luas dibandingkan dengan kejang
parsial sederhana dan biasanya didahului dengan aura.
B. Epilepsi dan sindrom lain berdasarkan lokasi dan etiologi
1. Epilepsi lobus temporalis
2. Epilepsi lobus frontalis
3. Epilepsi lobus parietalis
4. Epilepsi lobus oksipitalis
3. Epilepsi dan sindrom epilepsy yang tak dapat ditentukan fokal atau umum

1. Epilepsi afasia didapat (Sindrom LandauKleffner)


Sindrom Landau-Kleffner (Landau-Kleffner syndrome) adalah kelainan langka
pada anak yang menyebabkan gangguan perilaku, kejang, dan
ketidakmampuan memahami atau mengekspresikan bahasa. Biasanya, onset
kejadian dimulai pada anak usia 2 hingga 8 tahun.
2. Bangkitan neonatal
kejang yang diturunkan secara autosomal dominan . Ini bermanifestasi pada
bayi baru lahir, biasanya dalam 7 hari pertama kehidupan, sebagai kejang
tonik-klonik . Bayi dinyatakan normal antara serangan dan berkembang
tanpa insiden. Serangan biasanya berhenti secara spontan dalam 15 minggu
pertama kehidupan.
4. Sindrom khusus
 Berkaitan dengan situasi tertentu
A.Kejang demam
Kejang pada anak yang dapat disebabkan oleh lonjakan suhu tubuh (demam).
Kejang demam paling sering terjadi pada hari pertama demam. Kejang bisa
berlangsung selama beberapa menit namun biasanya tidak berbahaya.
B. Bangkitan kejang terjadi hanya sekali
Kejang demam sederhana berlangsung singkat, kurang dari 2 menit sampai 15 menit.
Umumnya, jenis kejang demam ini akan berhenti dengan sendirinya. Selain itu, kejang
tidak berulang dalam waktu 24 jam.
C. Bangkitan kejang yang terjadi ekibat keadaan tertentu seperti stress,
perubahan hormonal, obat, alkohol, kurang tidur.
Pseudoseizure adalah gejala kejang yang disebabkan oleh kondisi psikologis berat. Kejang
pseudoseizure lebih banyak dialami oleh wanita yang memiliki gangguan jiwa daripada
laki-laki.
Pemeriksaan penunjang

1. Elektroensefalografi (EEG)
Prosedur standar yang digunakan pada pemeriksaan EEG adalah rekaman EEG saat tidur (sleep
deprivation), pada kondisi hiperventilasi dan stimulasi fotik, dimana ketiga keadaan tersebut dapat
mendeteksi aktivitas epileptiform. Selain ketiga prosedur standar diatas dikenal pula rekaman
Video-EEG dan ambulatory EEG, yang dapat memperlihatkan aktivitas elektrik pada otak selama
kejang berlangsung.

2. MRI
MRI merupakan pemeriksaan pencitraan yang sangat penting pada kasus-kasus epilepsi karena
MRI dapat memperlihatkan struktur otak dengan sensitivitas yang tinggi. Gambaran yang
dihasilkan oleh MRI dapat digunakan untuk membedakan kelainan pada otak, seperti gangguan
perkembangan otak (sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal), tumor otak, kelainan pembuluh
darah otak (hemangioma kavernosa) serta abnormalitas lainnya.
3. CT Scan

CT Scan merupakan pemeriksaan penunjang yang cukup penting karena dapat


menunjukkan kelainan pada otak seperti atrofi jaringan otak, jaringan parut, tumor
dan kelainan pada pembuluh darah otak.
Tatalaksana

• OAB diberikan berdasarkan tipe bangkitan dan usia. ILAE tahun 2013 mengeluarkan
pedoman pemilihan OAB bangkitan fokal pada usia dewasa antara lain karbamazepin,
levetirasetam, zonisamid dan fenitoin. Pilihan OAB bangkitan fokal pada anak adalah
okskarbazepin, dan pada lanjut usia adalah lamotrigin dan gabapentin.
• Obat antiepilepsi yang paling sering digunakan adalah golongan benzodiazepine,
karbamazepin, fenobarbital, fenitoin dan asam valproat. Saat ini telah dikenal berbagai OAE
terbaru yaitu lamotrigin, vigabatrin, topiramat, gabapentin, levetirasetam dan pregabalin.
Tatalaksana non Medikamentosa
1. Pembedahan Epilepsi
2. Stimulasi nervus vagus
3. Diet ketogenik
BAB 3
KESIMPULAN
KESIMPULAN

Sindrom epilepsi merupakan bentuk klasifikasi epilepsi yang ditentukan


berdasarkan usia/onset saat terjadi kejang, tipe kejang, status neurologis, faktor
pencetus, gejala dan tanda fisik maupun mental, riwayat keluarga, gambaran EEG,
prognosis serta respon terhadap pengobatan. Klasifikasi ini merupakan panduan
untuk menentukan diagnosis epilepsi yang lebih akurat, sehingga tatalaksana yang
diberikan kepada penderita akan tepat dan terarah. Dengan, demikian, prognosis
penyakit dan kualitas hidup penderita epilepsi dapat lebih optimal.

Anda mungkin juga menyukai