Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I
PENYAJIAN KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama
: Ny. L
Umur
: 33 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku
: Melayu
Status
: Menikah
Alamat : Dusun Jirak Kel. Samalantan Kec. Samalantan
Tgl MRS : 22-12-2014 (Pkl. 11.20 WIB)
1.2.

Anamnesis
Keluhan Utama : keluar darah dari jalan lahir
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien G2P1A0M0 rujukan dari

Puskesmas

Samalantan

dengan

G2P1A0M0 Gravida 28 minggu dengan PEB. Keluar darah dari jalan lahir
berwarna merah segar pukul 23.00 WIB (21-12-2014) setelah perutnya diurut
dukun kampung, kemudian pasien tidak merasakan adanya gerakan janin,
mules semakin sering, terus menerus dan perut terasa tegang. Pasien
mengeluh perutnya terasa mengeras sejak jam 18.00 WIB (21-12-2014),
pengeluaran lendir (-), air (-), darah (-). Pandangan kabur (-), kepala pusing
(-), nyeri ulu hati (-).
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus dan asma disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluarga memiliki hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus
dan asma disangkal
Riwayat Alergi :
Riwayat alergi terhadap obat-obatan dan makan-makanan disangkal.
Riwayat Kehamilan Sekarang:
Riwayat muntah pada kehamilan muda (-), bengkak (-), penglihatan
terganggu (-), sakit kepala (-), perdarahan (-), kejang (-).
Pemeriksaan Antenatal:

Pasien melakukan pemeriksaan kehamilan dengan bidan sebanyak 2 kali.


-

Riwayat Haid:
Haid pertama
: usia 10 tahun
Lama Haid
: 5-7 hari, siklus teratur
HPHT
: -05-2014
HPL
: -02-2015
Kehamilan
: 28-30 minggu
Gangguan haid: Riwayat Menikah: Pasien menikah 1 kali tahun 2012
Riwayat Kehamilan dahulu:
1. Pasien melahirkan anak pertama, laki-laki, pada tahun 2013, cukup
bulan, lahir spontan tanpa penyulit, tidak ada riwayat hipertensi saat
kehamilan, presentasi kepala, berat badan lahir 2.400 gr, dibantu oleh
bidan di Rumah Sakit, hidup.
2. Yang ini (2014)

1.3.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 22 Desember 2014
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran
: kompos mentis
Tanda vital
:
Tekanan darah : 150/100 mmHg (MAP : 116 mmHg)
Nadi
: 108 x/m, reg, kuat angkat
Pernapasan
: 22 x/m
Suhu
: 36,5 0C
Status gizi : BB : 55 kg, TB : 155 cm, IMT : 22.89 kg/m2(normal)
Status Generalis
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-).
Leher : trakea simetris, pembesaran KGB colli (-), pembesaran tiroid (-)
Jantung : auskultasi jantung S1/S2 (-), murmur (-), gallop (-).
Paru
: auskultasi paru BND vesikuler, crackles (-), ronchi (-) wheezing
(-).
Ekstremitas : edema (-/-), akral dingin (+/+), Refleks patella (+N/+N)
Status Obstetrik
Pemeriksaan luar :
Leofold I : bagian atas fundus teraba lunak bentuk lebar, kesan :
bokong, tinggi fundus uteri 27 cm

Leofold II : palpasi perut kanan ibu teraba datar, palpasi perut kiri ibu
teraba bagian-bagian kecil
Leofold III : palpasi bagian terbawah perut teraba keras, bentuk bulat,
Ballotement (-), kesan: kepala.
Leofold IV : Divergen
Denyut jantung janin : His
: >3 x 10 selama > 40
Taksiran berat janin : 2480 gr
Inspeksi : Vulva vagina tenang, perdarahan aktif (-)
1.4.

Resume
G2P1A0M0 33 tahun masuk RS tanggal 22 Desember 2014 pukul 11.20
WIB, dengan keluhan utama pengeluaran darah dari jalan lahir sejak 12 jam
SMRS, berwarna merah segar, mules (+) sering, terus menerus, perut tegang
(+), pengeluaran air (-), pergerakan janin (-) saat masuk RS. Usia kehamilan
menurut HPHT adalah 28-30 minggu. Riwayat perut diurut oleh dukun
kampung. Riwayat hipertensi saat kehamilan sebelumnya disangkal. Pasien
dirujuk dengan preeklampsia berat. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
tekanan darah 150/100 mmHg, konjungtiva anemis (+/+).

1.5.

Diagnosis
G2P1A0M0 gravida 28-30 minggu + IUFD + PAP e.c. Susp. Solusio plasenta
DD Plasenta Previa, Vasa Previa, Ruptur Uteri + Hipertensi Dalam
Kehamilan

1.6.

Tatalaksana
1. Non medikamentosa
Tirah baring
Kateterisasi urin
Observasi kondisi umum, tanda-tanda vital, tanda-tanda perdarahan
pervaginam, dan urine output.
USG abdomen
Laboratorium :
- Darah rutin
- BT, CT
- Golongan Darah
- SGOT, SGPT
- Ureum, Kreatinin

- HbsAg, Anti HIV


- Urinalisis
Rencana VT
Transfusi jika Hb < 10 g/dl
Konsul dr. Sp. OG
2. Medikamentosa
IVFD RL 20 tpm
1.7.

Prognosis
Ad vitam

: dubia ad malam

Ad funtionam

: dubia ad malam

Ad sanactionam

: dubia ad malam

BAB II
PEMBAHASAN KASUS
2.1.
Solusio Plasenta
2.2.1. Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari
implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum
janin lahir.1 Cunningham dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta
sebagai separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri
sebelum janin lahir. Jika separasi ini terjadi di bawah kehamilan 20 minggu
maka mungkin akan didiagnosis sebagai abortus imminens.2
2.2.2. Klasifikasi
Trijatmo Rachimhadhi membagi solusio plasenta menurut derajat pelepasan
plasenta3:
a. Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
b. Solusio plasenta partialis, plasenta terlepas sebagian.
c. Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.

Gambar 2.1. Perdarahan akibat solusio plasenta luas


Pritchard JA membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan4:
a. Solusio plasenta dengan perdarahan keluar
b. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, yang membentuk
hematoma retroplacenter
c. Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion .

Gambar 2.2. Solusio plasenta komplet disertai perdarahan terselubung dan


kematian janin
Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan
solusio plasenta menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu 2:
a. Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda
renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar
fibrinogen plasma lebih 150 mg%.

b. Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan,
gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian
permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.
c. Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin
mati, pelepasan plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan
2.2.3. Epidemiologi
Insiden solusio plasenta bervariasi antara 0,2-2,4 % dari seluruh kehamilan.
Literatur lain menyebutkan insidennya 1 dalam 77-89 persalinan, dan bentuk
solusio plasenta berat 1 dalam 500-750 persalinan . Slava dalam penelitiannya
melaporkan insidensi solusio plasenta di dunia adalah 1% dari seluruh kehamilan.
Di sini terlihat bahwa tidak ada angka pasti untuk insiden solusio plasenta,
karena adanya perbedaan kriteria menegakkan diagnosisnya.
Penelitian Cunningham di Parkland Memorial Hospital melaporkan 1 kasus
dalam 500 persalinan. Tetapi sejalan dengan penurunan frekuensi ibu dengan
paritas tinggi, terjadi pula penurunan kasus solusio plasenta menjadi 1 dalam 750
persalinan2. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Deering didapatkan 0,12%
dari semua kejadian solusio plasenta di Amerika Serikat menjadi sebab kematian
bayi . Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Ducloy di Swedia melaporkan
dalam 894.619 kelahiran didapatkan 0,5% terjadi solusio plasenta .
Cunningham di Amerika Serikat melakukan penelitian pada 763 kasus
kematian ibu hamil yang disebabkan oleh perdarahan. Hasilnya dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 2. 1 Kematian ibu hamil yang disebabkan perdarahan 2
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Penyebab Perdarahan
Solusio Plasenta
Laserasi/ Ruptura uteri
Atonia Uteri
Koagulopathi
Plasenta Previa
Plasenta Akreta/ Inkreta/ Perkrata
Perdarahan Uterus
Retained Placentae

Sampel
141
125
115
108
50
44
44
32

(%)
19
16
15
14
7
6
6
4

Pada tabel 2.1 diketahui bahwa solusio plasenta menempati tempat pertama
sebagai penyebab kematian ibu hamil yang disebabkan oleh perdarahan dalam
masa kehamilan.2
Menurut data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional
Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta didapat angka 2% atau 1 dalam
50 persalinan. Antara tahun 1968-1971 solusio plasenta terjadi pada kira-kira
2,1% dari seluruh persalinan, yang terdiri dari 14% solusio plasenta sedang dan
86% solusio plasenta berat. Solusio plasenta ringan jarang didiagnosis, mungkin
karena penderita terlambat datang ke rumah sakit atau tanda-tanda dan gejalanya
terlalu ringan sehingga tidak menarik perhatian penderita maupun dokternya.3
Sedangkan penelitian yang dilakukan Suryani di RSUD. DR. M. Djamil Padang
dalam periode 2002-2004 dilaporkan terjadi 19 kasus solusio plasenta dalam
4867 persalinan (0,39%) atau 1 dalam 256 persalinan .
2.2.4. Etiologi
Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada
beberapa faktor yang menjadi predisposisi :
a. Faktor kardio-reno-vaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan
eklamsia . Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi
pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang
hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi
yang disebabkan oleh kehamilan. Dapat terlihat solusio plasenta cenderung
berhubungan dengan adanya hipertensi pada ibu.2,4
b. Faktor trauma
Trauma yang dapat terjadi antara lain :
1) Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.
2) Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang
banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan.
3) Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
Dari penelitian yang dilakukan Slava di Amerika Serikat diketahui bahwa
trauma yang terjadi pada ibu (kecelakaan, pukulan, jatuh, dan lain-lain)

merupakan penyebab 1,5-9,4% dari seluruh kasus solusio plasenta. Di


RSUPNCM dilaporkan 1,2% kasus solusio plasenta disertai trauma.3
c. Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat
bahwa dari 83 kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi
pada wanita multipara dan 18 pada primipara. Pengalaman di RSUPNCM
menunjukkan peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas
tinggi. Hal ini dapat diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang
baik keadaan endometrium.2,3,4

d. Faktor usia ibu


Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya
peningkatan kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu.
Hal ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi
hipertensi menahun.1-4
e. Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio
plasenta apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung
leiomioma.4
f. Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan
pelepasan katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya
vasospasme pembuluh darah uterus dan dapat berakibat terlepasnya plasenta.
Namun, hipotesis ini belum terbukti secara definitif. Angka kejadian solusio
plasenta pada ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar antara 13-35% .
g. Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio
plasenta sampai dengan 25% pada ibu yang merokok 1 (satu) bungkus per
hari. Ini dapat diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis,
diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya .
Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa resiko terjadinya solusio
plasenta meningkat 40% untuk setiap tahun ibu merokok sampai terjadinya
kehamilan.

h. Riwayat solusio plasenta sebelumnya


Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio
plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan
berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak
memiliki riwayat solusio plasenta sebelumnya.4
i. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada
vena cava inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya
kehamilan, dan lain-lain.

2.2.5. Patogenesis
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua
basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh
darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik
terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus.2,4

Gambar 2. 3 Plasenta normal dan solusio plasenta dengan hematom


subkhorionik.
Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan sedikit mendesak
jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta
gejala dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta

10

lahir, yang pada pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada permukaan


maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Biasanya
perdarahan akan berlangsung terus-menerus/tidak terkontrol karena otot uterus
yang meregang oleh kehamilan tidak mampu berkontraksi untuk membantu
dalam menghentikan perdarahan yang terjadi. Akibatnya hematom subkhorionik
akan menjadi bertambah besar, kemudian akan medesak plasenta sehingga
sebagian dan akhirnya seluruh plasenta akan terlepas dari implantasinya di
dinding uterus. Sebagian darah akan masuk ke bawah selaput ketuban, dapat
juga keluar melalui vagina, darah juga dapat menembus masuk ke dalam kantong
amnion, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium. Apabila
ekstravasasinya berlangsung hebat akan terjadi suatu kondisi uterus yang
biasanya disebut dengan istilah Uterus Couvelaire, dimana pada kondisi ini
dapat dilihat secara makroskopis seluruh permukaan uterus terdapat bercakbercak berwarna biru atau ungu. Uterus pada kondisi seperti ini (Uterus
Couvelaire) akan terasa sangat tegang, nyeri dan juga akan mengganggu
kontraktilitas (kemampuan berkontraksi) uterus yang sangat diperlukan pada saat
setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya akan terjadi perdarahan post partum
yang hebat.3,4
Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan
tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat
pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar
persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia.
Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang
tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya.3
2.2.6. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari kasus-kasus solusio plasenta diterangkan atas
pengelompokannya menurut gejala klinis 2,3 :
a. Solusio plasenta ringan
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana
terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak.
Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan

11

sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terasa agak tegang yang sifatnya
terus menerus. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba.
Uterus yang agak tegang ini harus selalu diawasi, karena dapat saja menjadi
semakin tegang karena perdarahan yang berlangsung. Salah satu tanda yang
menimbulkan kecurigaan adanya solusio plasenta ringan ini adalah perdarahan
pervaginam yang berwarna kehitam-hitaman.2,3
b. Solusio plasenta sedang
Dalam hal ini plasenta telah terlepas lebih dari satu per empat bagian, tetapi
belum dua per tiga luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahanlahan seperti solusio plasenta ringan, tetapi dapat juga secara mendadak
dengan gejala sakit perut terus menerus, yang tidak lama kemudian disusul
dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam dapat
sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu
mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian pula janinnya yang jika masih
hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat. Dinding uterus teraba
tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar
untuk diraba. Apabila janin masih hidup, bunyi jantung sukar didengar.
Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi,
walaupun hal tersebut lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat. 2,3
c. Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari dua per tiga permukaannnya. Terjadi sangat
tiba-tiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan janinnya telah
meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri.
Perdarahan pervaginam tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu,
terkadang perdarahan pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada
keadaan-keadaan di atas besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada
pembekuan darah dan kelainan/gangguan fungsi ginjal.2,3,5,6
2.2.7. Diagnosis
Keluhan dan gejala pada solusio plasenta dapat bervariasi cukup luas. Sebagai
contoh, perdarahan eksternal dapat banyak sekali meskipun pelepasan plasenta
belum begitu luas sehingga menimbulkan efek langsung pada janin, atau dapat

12

juga terjadi perdarahan eksternal tidak ada, tetapi plasenta sudah terlepas
seluruhnya dan janin meninggal sebagai akibat langsung dari keadaan ini.
Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi mengandung ancaman bahaya
yang jauh lebih besar bagi ibu, hal ini bukan saja terjadi akibat kemungkinan
koagulopati yang lebih tinggi, namun juga akibat intensitas perdarahan yang
tidak diketahui sehingga pemberian transfusi sering tidak memadai atau
terlambat.2,4
Menurut penelitian retrospektif yang dilakukan Hurd dan kawan-kawan pada 59
kasus solusio plasenta dilaporkan gejala dan tanda pada solusio plasenta2,4:

Tabel 2. 2 Tanda dan Gejala Pada Solusio Plasenta


No.

Tanda atau Gejala

Frekuensi (%)

1. Perdarahan pervaginam
78
2. Nyeri tekan uterus atau nyeri pinggang
66
3. Gawat janin
60
4. Persalinan prematur idiopatik
22
5. Kontraksi berfrekuensi tinggi
17
6. Uterus hipertonik
17
7. Kematian janin
15
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa perdarahan pervaginam merupakan gejala
atau tanda dengan frekuensi tertinggi pada kasus-kasus solusio plasenta.
Berdasarkan kepada gejala dan tanda yang terdapat pada solusio plasenta
klasik umumnya tidak sulit menegakkan diagnosis, tapi tidak demikian halnya
pada bentuk solusio plasenta sedang dan ringan. Solusio plasenta klasik
mempunyai ciri-ciri nyeri yang hebat pada perut yang datangnya cepat disertai
uterus yang tegang terus menerus seperti papan, penderita menjadi anemia dan
syok, denyut jantung janin tidak terdengar dan pada pemeriksaan palpasi perut
ditemui kesulitan dalam meraba bagian-bagian janin.
Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis solusio plasenta
antara lain3:

13

a. Anamnesis
1) Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat
menunjukkan tempat yang dirasa paling sakit.
2) Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat dan sekonyong-konyong
(non-recurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah yang
berwarna kehitaman .
3) Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti
(anak tidak bergerak lagi).
4) Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang. Ibu
terlihat anemis yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar
pervaginam.
5) Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
b. Inspeksi
1) Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
2) Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.
3) Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).
c. Palpasi
1) Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
2) Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois
(wooden uterus) baik waktu his maupun di luar his.
3) Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
4) Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.
d. Auskultasi
Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar biasanya di
atas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang
terlepas lebih dari satu per tiga bagian.
e. Pemeriksaan dalam
1) Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.
2) Kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan tegang,
baik sewaktu his maupun di luar his.
3) Apabila plasenta sudah pecah dan sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini
akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus
placenta, ini sering meragukan dengan plasenta previa.
f. Pemeriksaan umum
1) Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya
menderita penyakit vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh
dalam keadaan syok.
2) Nadi cepat, kecil dan filiformis.
g. Pemeriksaan laboratorium

14

1) Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat ditemukan silinder


dan leukosit.
2) Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-match test.
Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah
hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation
test) tiap l jam, tes kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan tes kuantitatif
fibrinogen (kadar normalnya 15O mg%).
h. Pemeriksaan plasenta .
Plasenta dapat diperiksa setelah dilahirkan. Biasanya tampak tipis dan cekung
di bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah
beku yang biasanya menempel di belakang plasenta, yang disebut hematoma
retroplacenter.
i. Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain :
1)
2)
3)
4)

Terlihat daerah terlepasnya plasenta


Janin dan kandung kemih ibu
Darah
Tepian plasenta

Gambar 2. 4 Ultrasonografi kasus solusio plasenta.


2.2.8. Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya
plasenta yang terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung.
Komplikasi yang dapat terjadi pada Ibu:

15

a. Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak
dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila
persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan
postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan
perdarahan pada kala III persalinan dan adanya kelainan pada pembekuan
darah. Pada solusio plasenta berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan
jumlah perdarahan yang terlihat. 2,4
Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu
pengobatan segera ialah pemulihan defisit volume intravaskuler secepat
mungkin. Angka kesakitan dan kematian ibu tertinggi terjadi pada solusio
plasenta berat. Meskipun kematian dapat terjadi akibat nekrosis hipofifis dan
gagal ginjal, tapi mayoritas kematian disebabkan syok perdarahan dan
penimbunan cairan yang berlebihan. Tekanan darah tidak merupakan petunjuk
banyaknya

perdarahan,

karena

vasospasme

akibat

perdarahan

akan

meninggikan tekanan darah. Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan


stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi keadaan koagulopathi. Untuk tujuan
ini pemberian darah segar adalah pilihan yang ideal, karena pemberian darah
segar selain dapat memberikan sel darah merah juga dilengkapi oleh platelet
dan faktor pembekuan .
b. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio
plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena
perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang
mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang
baik. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler.
Oliguri dan proteinuri akan terjadi akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks
ginjal mendadak.2,4 Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan
pengukuran pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio
plasenta berat. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang
hilang secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi hipovolemia, secepat
mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan darah.2

16

c. Kelainan pembekuan darah


Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh
hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di
RSUPNCM dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134
kasus solusio plasenta yang ditelitinya. 3
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450 mg
%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang
dari 100 mg% maka akan terjadi gangguan pembekuan darah. 2,3
Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase :
1) Fase I
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi
pembekuan darah, disebut disseminated intravasculer clotting. Akibatnya
ialah peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu. Jadi pada fase I,
turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat tersebut,
maka fase I disebut juga coagulopathi consumptive. Diduga bahwa
hematom subkhorionik mengeluarkan tromboplastin yang menyebabkan
pembekuan intravaskuler tersebut. Akibat gangguan mikrosirkulasi dapat
mengakibatkan syok, kerusakan jaringan pada alat-alat yang penting
karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan
oliguria/anuria .
2) Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh untuk
membuka kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini
dilaksanakan dengan fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan malah
berakibat lebih menurunkan lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi
perdarahan patologis . Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan darah
harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, namun di klinik
pengamatan pembekuan darah merupakan cara pemeriksaan yang terbaik
karena pemeriksaan laboratorium lainnya memerlukan waktu terlalu lama,
sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita saat itu. 2
d. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)

17

Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan
di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum.
Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus
berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire. Tapi
apakah

uterus

ini

harus

diangkat

atau

tidak,

tergantung

pada

kesanggupannya dalam membantu menghentikan perdarahan.

Gambar 2.4. Uterus Couvelaire dari solusio plasenta total setelah section caesar
Komplikasi yang dapat terjadi pada janin :
a.
b.
c.
d.

Fetal distress
Gangguan pertumbuhan/perkembangan
Hipoksia dan anemia
Kematian

2.2.9. Penatalaksanaan
Penanganan kasus-kasus solusio plasenta didasarkan kepada berat atau
ringannya gejala klinis, yaitu:
a. Solusio plasenta ringan
Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada
perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin

18

hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan
spontan.2
Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio plasenta
makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta
bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup,
lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul infus
oksitosin untuk mempercepat persalinan. 5
b. Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di
rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu
seksio sesaria.3
Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah
terjadi sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera
diberikan.3 Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan
intrauterin. Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari
tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi
ibu yang mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom
subkhorionik dan terjadinya pembekuan intravaskuler dimana-mana. Persalinan
juga dapat dipercepat dengan memberikan infus oksitosin yang bertujuan untuk
memperbaiki kontraksi uterus yang mungkin saja telah mengalami gangguan.4,5
Gagal ginjal sering merupakan komplikasi solusio plasenta. Biasanya yang
terjadi adalah nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya masih dapat
tertolong dengan penanganan yang baik. Tetapi bila telah terjadi nekrosis korteks
ginjal, prognosisnya buruk sekali. Pada tahap oliguria, keadaan umum penderita
umumnya masih baik. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan
pengukuran pengeluaran urin yang teliti yang harus secara rutin dilakukan pada
penderita solusio plasenta sedang dan berat, apalagi yang disertai hipertensi
menahun dan preeklamsia. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah
yang hilang, pemberantasan infeksi yang mungkin terjadi, mengatasi
hipovolemia, menyelesaikan persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan
pembekuan darah.

19

Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan


pengamatan pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari
bahaya hepatitis, oleh karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada
penderita yang sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan
melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah kelainan
pembekuan darah.
Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio
plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan
amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan persalinan
adalah seksio sesaria.3
Apoplexi

uteroplacenta

(uterus

couvelaire)

tidak

merupakan

indikasi

histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah


dilakukan seksio sesaria maka tindakan histerektomi perlu dilakukan.3
2.2.10. Prognosis
Prognosis ibu tergantung luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus,
banyaknya perdarahan, ada atau tidak hipertensi menahun atau preeklamsia,
tersembunyi tidaknya perdarahan, dan selisih waktu terjadinya solusio plasenta
sampai selesainya persalinan. Angka kematian ibu pada kasus solusio plasenta berat
berkisar antara 0,5-5%. Sebagian besar kematian tersebut disebabkan oleh
perdarahan, gagal jantung dan gagal ginjal.3
Hampir 100% janin pada kasus solusio plasenta berat mengalami kematian.
Tetapi ada literatur yang menyebutkan angka kematian pada kasus berat berkisar
antara 50-80%. Pada kasus solusio plasenta ringan sampai sedang, keadaan janin
tergantung pada luasnya plasenta yang lepas dari dinding uterus, lamanya solusio
plasenta berlangsung dan usia kehamilan. Perdarahan lebih dari 2000 ml biasanya
menyebabkan kematian janin. Pada kasus-kasus tertentu tindakan seksio sesaria
dapat mengurangi angka kematian janin.3

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo S, Hanifa W. Kebidanan Dalam Masa Lampau, Kini dan
Kelak. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo, 2008; 3-21.
2. Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC.
Obstetrical Haemorrhage. Wiliam Obstetrics 24 th edition. Prentice Hall
International Inc Appleton. Lange USA. 2014; 819-41.
3. Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 23th ed. R
Hariadi, R Prajitno Prabowo, Soedarto, penerjemah. Obstetri Williams. Edisi
23. Surabaya: Airlangga University Press, 2010; 456-70.
4. WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. Geneva: WHO,
2003. 518-20.
5. Rachimhadhi T. Perdarahan Antepartum. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2008; 362-85.
6. Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N. Penatalaksanaan Perdarahan
Antepartum. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNHAS; 1997. 3-8.

Anda mungkin juga menyukai