Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering


ditemukan terutama di negara maju. Global Initiative For Asthma (GINA)
mendefinisikan asma sebagai suatu gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik
dengan banyak sel yang berperan khususnya sel mas, eosinofil, dan limfosit T.
Prevalensi total asma di seluruh dunia diperkirakan sekitar 6% pada dewasa dan
10% pada anak. Selain itu prevalensi ini juga bervariasi antar negara (Sekarwana
et al, 2011).
Survey Asthma insight& Reality in Europe (AIRE) mengenai prevalensi
asma di Eropa yang telah dilakukan di 7 negara meliputi 73.880 rumah tangga
yang berjumlah 213.158 orang. Hasil survey menunjukkan bahwa prevalensi
populasi current asthma sebesar 2,7%. Prevalensi asma di Indonesia berdasarkan
penelitian yang dilakukan tahun 2002 pada anak usia 13-14 tahun adalah sekitar
6,7% (IDAI, 2010).
Eksaserbasi atau Serangan asthma merupakan episode perburukan gejala-
gejala asma secara progresif. Serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai
yang berat dan dapat juga mengancam kehidupan. Berbagai faktor yang menjadi
pencetus timbulnya asma atara lain yaitu aktivitas fisik, alergen, infeksi,
perubahan mendadak suhu udara atau pajanan terhadap bahan-bahan iritan seperti
asap rokok. Selain itu terdapat juga beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya prevalensi asma di suatu tempat, antara lain umur, gender, ras, sosio-
ekonomi dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi prevalensi
asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan, status asma, dan
kematian karena penyakit asma (IDAI, 2010; Sekarwana et al, 2011).

1
BAB II
PENYAJIAN KASUS

I. Identitas pasien
a. Nama : An.S
b. Usia : 11 tahun
c. Jenis kelamin : Perempuan
d. Pekerjaan : Pelajar
e. Agama : kristen
f. Suku : Dayak
g. Alamat : Polongan, samalantan
h. Tanggal Berobat : 29 oktober 2016

II. Anamnesis
a. Keluhan utama
Sesak napas
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke puskesmas dengan keluhan sesak napas sejak tadi
pagi. Sesak dirasakan memberat sejak 1 jam sebelum dibawa ke
puskesmas. Menurut keterangan ibu pasien, pasien memang sering
mengalami sesak napas, biasanya 1 bulan sekali. Tapi sekitar 3
bulan pasien sudah tidak mengeluh sesak lagi dan baru hari ini
pasien kembali sesak. Pasien masih bisa berbicara namun terasa
sesak saat berjalan. Pasien juga masih mampu berbaring. Pasien
pertama kali mengalami sesak napas usia 4 tahun. Sesak tidak
berkurang dengan perubahan posisi. Pasien juga mengeluh batuk
berdahak warna putih, pilek dan demam naik turun sejak 2 hari
yang lalu. Demam tidak disertai menggigil. Pusing (-), nyeri
menelan(-).

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Asma (+), riwayat alergi disangkal, riwayat penyakit
jantung bawaan disangkal.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien juga menderita Asma

2
III. Pemeriksaan Fisik
A. Pemeriksaan Fisik (Dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2016)
a. Keadaan Umum
Kesan sakit : tampak sesak
Status gizi : BB 38 kg
Kesadaran : Compos mentis

b. Tanda Vital
Suhu : 36,7 0C, di axilla
Nadi : 80 x/menit, reguler, cukup
Pernapasan : 28 x/menit
SaO2 : 97%

c. Status Generalis
- Kepala
Simetris
muka : simetris ki = ka, Deformitas (-), Rambut : hitam, sukar dicabut
- Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-) , gerakan : dalam batas normal
Tekanan bola mata : dalam batas normal
Kelopak mata : dalam batas normal
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : isokor, reflex cahaya (+/+)

- Telinga
nyeri tekan di processus mastoideus (-),
pendengaran:tinnitus(-), otore(-)
- Hidung
Perdarahan (-), Sekret (-)
- Mulut
Bibir : kering (-), sianosis (-)
Gigi geligi : dalam batas normal
Gusi : perdarahan (-)
Tonsil : hiperemis (-), pembesaran (-)
Farings : hiperemis (-)
Lidah : kotor (-)
- Thorax
Inspeksi : Simetris ki = ka
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil : ki = ka sam
Perkusi : Sonor ki = ka
Auskultasi : Suara napas dasar vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing
(+/+) akhir ekspirasi

3
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan jantung ICS IV linea parasternalis Dextra
Batas atas jantung di ICS II linea sternalis sinistra
Batas kiri jantung ICS V linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II tunggal reguler, murmur(-), gallop(-)

Abdomen

Inspeksi : Datar
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen
Palpasi : soepel, NT (-), hepar lien tidak teraba

Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan


Anus dan Rectum : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas :

Edema pretibia (-/-) minimal


Sianosis (-)
Akral hangat, CRT<2 detik

IV. Resume Kasus


Pasien datang ke puskesmas dengan keluhan sesak napas sejak tadi
pagi. Sesak dirasakan memberat sejak 1 jam sebelum dibawa ke
puskesmas. Menurut keterangan ibu pasien, pasien memang sering
mengalami sesak napas, biasanya 1 bulan sekali. Tapi sekitar 3 bulan
pasien sudah tidak mengeluh sesak lagi dan baru hari ini pasien
kembali sesak. Pasien masih bisa berbicara namun terasa sesak saat
berjalan. Pasien juga masih mampu berbaring. Pasien pertama kali
mengalami sesak napas usia 4 tahun. Sesak tidak berkurang dengan
perubahan posisi. Pasien juga mengeluh batuk berdahak warna putih,

4
pilek dan demam naik turun sejak 2 hari yang lalu. Demam tidak
disertai menggigil. Pusing (-), nyeri menelan(-). Pasien memiliki
riwayat asma dan ibu pasien juga memiliki riwayat asma. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan tanda vital nadi 80 x/menit, napas
28x/menit, suhu 36,7 0C, dan SPO2 97%. pemeriksaan paru ditemukan
adanya suara napas tambahan berupa wheezing pada akhir ekspirasi.
Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal.

V. Diagnosa Banding
a. Asma bronkial eksaserbasi akut
b. Pneumonia
c. Bronkiolitis
VI. Diagnosis
Asma bronkial eksaserbasi akut serangan ringan episodik jarang

VII. Tatalaksana
a. Medikamentosa
- O2 2-4 liter permenit via nasal kanul
- Nebulisasi salbutamol 1 fl dilarutkan dalam 2 cc NS 0,9%
- Ambroxol syr 3x II cth
- Cetirizin 2x10 mg
- Salbutamol 3x2mg
- Methylprednisolone 3x4mg
- Parasetamol 3x500mg
- Vit C 2x1 tablet
b. Non-Medikamentosa (edukasi)
- Menghindari faktor pencetus seperti debu, asap rokok, infeksi
saluran napas.
- Rajin membersihkan rumah
- Rajin kontrol ulang

VIII. Prognosis
a. Quo ad vitam : Bonam
b. Quo ad Functionam : Bonam
c. Quo ad Sanactionam : Bonam

5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. ASMA BRONKIAL
A.1. Definisi
Global Initiative For Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu
gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak sel yang berperan
khususnya sel mas, eosinofil, dan limfosit T (Lenfance, 2002).

A.2. Epidemiologi
Prevalensi total asma di seluruh dunia diperkirakan sekitar 6% pada
dewasa dan 10% pada anak. Selain itu prevalensi ini juga bervariasi antar negara
(Sekarwana et al, 2011). Survey Asthma insight& Reality in Europe (AIRE)
mengenai prevalensi asma di Eropa yang telah dilakukan di 7 negara meliputi
73.880 rumah tangga yang berjumlah 213.158 orang. Hasil survey menunjukkan
bahwa prevalensi populasi current asthma sebesar 2,7%. Prevalensi asma di
Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan tahun 2002 pada anak usia 13-
14 tahun adalah sekitar 6,7% (IDAI, 2010).

A.3. Faktor Risiko dan Faktor Pencetus


A.3.1. Faktor Risiko
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian
asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa
faktor tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih
dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain jenis kelamin, usia, riwayat
atopi, lingkungan, ras, asap rokok, infeksi respiratorik (Suardi dkk, 2008):

6
A.3.2 Faktor Pencetus
1. Alergen
2. Infeksi
3. Cuaca
4. Iritan
5. Kegiatan jasmani
6. Infeksi saluran napas bagian atas

A.4. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan, terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel.
Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.
Konsep dari patogenesis asma yaitu asma merpakan suatu proses inflamasi
kronik yang khas dimana melibatkan dinding saluran pernapasan, menyebabkan
terbatasnya aliran udara, dan hiperreaktivitas saluran pernapasan. Dalam proses
ini terjadi hal-hal diantaranya inflamasi akut, inflamasi kronik, dan airway
remodelling.

7
Gambar 1. Patogenesis Asma Bronkial
A.5. Klasifikasi
Tabel klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Menurut GINA)
Derajat Gejala Gejala Faal paru
asma malam
Intermitten Bulanan 2x/bulan APE 80%
Gejala < 1x/minggu VEP1 80% nilai
Tanpa gejala diluar prediksi APE
serangan 80% nilai terbaik

Serangan singkat Variabilitas APE <


20%
Persisten Mingguan > 2x/bulan APE > 80%
ringan Gejala > 1x/minggu VEP1 80%
tetapi < 1x/hari nilai prediksi APE
Serangan dpt 80% nilai terbaik
mengganggu aktivitas Variabilitas
dan tidur APE 20-30%
Persisten Harian > APE 60-80%
sedang Gejala setiap hari 1x/minggu VEP1 60-80% nilai
Serangan mengganggu prediksi APE 60-
aktivitas dan tidur 80% nilai terbaik

membutuhkan Variabilitas APE >

bronkodilator setiap hari 30%


Persisten Kontinua Sering APE 60%
berat Gejala terus menerus VEp1 60% nilai
Sering kambuh prediksi 60%

Aktivitas fisik terbatas nilai terbaik


Variabilitas APE >

8
30%

A.7. Manifestasi Klinis


Gejala asma terdiri dari trias dispnea, batuk dan mengi. Pada bentuk yang
paling khas, asma merupakan penyakit episodik dan keseluruhan tiga gejala
tersebut dapat timbul bersama-sama. Berhentinya episode asma kerapkali ditandai
dengan batuk yang menghasilkan lendir atu mukus yang lengket seperti benang
yang liat.

A.8. Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat penyakit atau gejala :
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu.
5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit
1. Riwayat keluarga (atopi).
2. Riwayat alergi/atopi.
3. Penyakit lain yang memberatkan.
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.
2. Pemeriksaan Fisik
o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk
paroksismal, kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang,
terlihat retraksi daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela
iga. Pada asma kronik bentuk toraks emfisematous, bongkok ke depan,
sela iga melebar, diameter anteroposterior toraks bertambah.
o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara
napas melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat

9
lemah. Terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender
bila sekresi bronkus banyak.

3. Pemeriksaan Penunjang
Berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya.
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai :
1. Derajat obstruksi bronkus
2. Menilai hasil provokasi bronkus
3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.

A.9. Diagnosis Banding


Diagnosis banding asma pada anak :
Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis
kistik.
Bronkitis. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan tidak
herediter. Bila sering berulang dan kronik biasanya disebabkan oleh asma.
Bronkiolitis akut, biasanya mengenai anak di bawah umur 2 tahun dan
terbanyak di bawah umur 6 bulan dan jarang berulang.

A.10. Tatalaksana
A.10.1. Tatalaksana Serangan Asma (Jangka Pendek)
Global Initiative For Asthma (GINA) membagi tatalaksana serangan asma
menjadi 2 (dua), yaitu tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Pada panduan
pengobatan di rumah, terapi awal berupa inhalasi SABA hingga tiga kali dalam 1
jam. Kemudian pasien atau keluarganya melakukan penilaian respon untuk
penetuan derajat serangan yang kemudian ditindaklanjuti sesuai derajatnya.
Namun untuk kondisi di negara kita, pemberian terapi awal di rumah seperti di
atas cukup riskan dan kemampuan melakukan penilaian respon untuk penentuan
derajat juga masih belum jelas. Dengan alasan demikian maka setelah dilakukan
inhalasi satu kali tidak memberikan respon yang baik maka dianjurkan mencari
pertolongan dokter atau dibawa ke rumah sakit.

10
a. Tatalaksana di Klinik atau Unit Gawat Darurat
Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian -Agonis dengan
penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang
dua kali dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga nebulisasi dapat
ditambahkan obat antikolinergik. Jika menurut penilaan awal pasien datang jelas
dalam serangan berat, maka langsung diberikan -agonis yang dikombinasikan
dengan antikolinergik.
4. Serangan Asma Ringan
Pada serangan asma ringan, hanya satu kali dilakukan nebulisasi sudah
menunjukkan respon yang baik. Kemudian pasien diobservasi selama 1 jam, jika
respon masih baik pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat -agonis
(hirupan/oral) yang diberikan setiap 4-6 jam. Jika pencetusnya adalah infeksi
virus dapat ditambahkan steroid oral yang diberikan jangka pendek yaitu sekitar
3-5 hari. Setelah itu, sekitar 24-48 jam pasien dianjurkan kontrol ke klinik rawat
jalan untuk reevaluasi tatalaksananya.
5. Serangan Asma Sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali, pasien hanya menunjukkan
respon parsial kemungkinan termasuk dalam derajat sedang. Oleh karena itu perlu
dilakukan penilaian derajatulang sesuai dengan pedoman penilaian derajatnya.
Pada serangan asma sedang dilakukan observasi dan ditangani di Ruang Rawat
Sehari (RRS). Kemudian diberikan terapi steroid sistemik (oral) metilprednisolon
dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hati selama 3-5 hari.
6. Serangan Asma Berat
Disebut serangan asma berat jika dengan nebulisasi dengan B-Agonis dan
antikoinergik tiga kali berturut turut pasien tidak menunjukan respon atau tanda
serta gejala serangan masih ada. Pada pasien dengan serangan berat harus dirawat
di Ruang Rawat Inap. Apabila sejak awal datang sudah dinilai sebagai serangan
asma berat maka langsung diberikan nebulisasi dengan penambahan

11
antikolinergik., berikan oksigen 2-4 liter/menit sejak awal masuk dan saat
nebulisasi. Kemudian pasang jalur parenteral dan foto toraks. Pada pasien dengan
serangan asma berat dan henti napas, langsung dilakukan foto toraks untuk
mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.

b. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari


Pemberian oksigen sejak dari UGD dilanjutkan, setelah d UGD dilakukan
nebulisasi 2 kali dalam 1 jam dengan respon parsial, kemudian di RRS dilanjutkan
dengan nebulisasi -agonis dan anytikolinergik tiap 2 jam serta diberikan steroid
sistemik oral berupa metilprednisolon atau prednisolon. Pemberian steroid
dilanjutkan selama 3-5 hari. Apabila dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien
tersebut boleh pulang dan dibekali obat seperti pasien serangan asma ringan.
Namun, apabila selama 12 jam responnya tibak baik maka pasien dipindahkan ke
Ruang Rawat Inap dengan tatalaksana serangan asma berat.

c. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap


Tatalaksana di ruang rawat inap yatu:
Pemberian oksigen diteruskan
Pemberian cairan intravena dan koreksi asidosis jika ditemukan adanya
dehidrasi dan asidosis.
Pemberian steroid intravena dengan dosis 0,5-2 mg/kgBB/hari secara bolus
tiap 6-8 jam.
Nebulisasi -agonis + antikolinergik dan oksigen, kemudian dilanjutkan tiap
1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian menunjukkan perbaikan klinis maka
dapat diberikan setiap 4-6 jam.
Pemberian aminofilin secara intravena:
1. Aminofilin dosis awal 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dextrose atau
garam fisiologis sebanyak 20 ml dalam waktu 20-30 menit pada pasien
yang belum pernah mendapatkan aminofilin.
2. Aminofilin diberikan separuh dari dosis awal pada pasien yang telah
mendapatkan terapi aminofilin sebelumnya (<8 jam).
3. Selanjutnya aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam

12
4. Apabila terjadi perbaikan klinis, nebulisasi dilanjutkan setiap 6 jam
hingga 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti pemberian peroral.
5. Dapat juga diberikan MgSO4 sebagai terapi alternatif, jika pasien dengan
asma berat yang tidak berespon dengan obat-obat standar yang
digunakan. Dosis yang dianjurkan yaitu 10-20 mg/kgBB/jam secara
intravena (IV) dengan target kadar magnesium 4 mg/dL.
6. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dpulangkan dengan
dibekali obat 0-agonis yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam.
Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat
jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.

d. Kriteria Rawat di Ruang Rawat Intensif (ICU)


1. Tidak ada respon terhadap tatalaksana awal di UGD dan/atau
perburukan asma yang cepat
2. Adanya tanda-tanda ancaman henti napas atau penurunan
kesadaran
3. Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang rawat inap

A.10.2. Tatalaksana Jangka Panjang


1. Asma Episodik Jarang
Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator
golongan SABA atau golongan santin kerja cepat bila ada gejala atau serangan.
Konsensus internasional III dan juga Pedoman Nasional Asma Anak tidak
menganjurkan antiinflamasi sebagai obat pengendali untuk asma ringan. Dalam
alur tatalaksana jangka panjang, jika tatalaksana episodik jarang sudah adekuat
namun responnya tetap tidak baik dalam 4-6 minggu maka tatalaksananya
berpindah ke asma episodik sering.

2. Asma Episodik Sering


Jika penggunaan -agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu atau
serangan sedang/ berat terjadi >1x/bulan maka diindikasikan pemberian
antiinflamasi berupa steroid hirupan sebagai pengendali. Obat steroid hirupan
yang sudah sering diberikan pada anak adalah budesonid sehingga digunakan

13
sebagai standar pengobatan jangka panjang. Dosis rendah steroid hirupan pada
anak <12 tahun yaitu budesonid 100-200 g/hari (50-100 g/hari flutikason),
sedangkan pada anak >12 tahun yaitu 200-400 g/hari (100-200 g/hari
flutikason). Setelah terapi 6-8 minggu dilakukan evaluasi untuk menilai respon
obat antiinflamasi yang diberikan.
Jika terapi yang diberikan selama 6-8 minggu tidak menunjukkan respon
( masih terdapat gejala asma, gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari) maka
dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai
dengan 400 g/hari yang termasuk dalam tatalaksana asma persisten. Jika
tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responnya
tetap tidak baik dalam waktu 6-8 minggu, maka tatalaksananya berpindah ke yang
lebih berat (step up). Sebaliknya, jika samanya terkendali dalam 6-8 minggu maka
derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step down) dan bila memungkinkan
penggunaan steroid hirupan dihentikan.

1. Asma Persisten
Tatalaksana pada asma persisten setelah diberikan steroid hirupan dosis
rendah tidak menunjukkan respon yang baik, diperlukan terapi alternatif
pengganti yaitu meningkatkan penggunaan steroid hirupan menjadi dosis medium
atau steroid hirupan dosis rendah ditambah Long acting -2 Agonist (LABA), atau
ditambahkan Theophylin Slow Release (TSR), atau ditambahkan Anti Leukotrine
Reseptor (ALTR). Dosis medium steroid hirupan adalan 200-400 g/hari untuk
anak usia <12 tahun dan 400-600 g/hari budesonid.
Apabila pengobatan 6-8 minggu lapis kedua tetap terdapat gejala asma maka
diberikan alternatif selanjutnya yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid
sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium tapi ditambahkan LABA,
TSR, atau ALTR. Dosis tinggi yang dimaksud adalah setara setara dengan >400
g/hari budesonid untuk anak usia <12 tahun dan >600 g/hari budesonid untuk
anak >2 tahun.
Penggunaan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan
keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEV1, menurunkan gejala asma, dan

14
memperbaiki kualitas hidup. Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800
/hari namun tetap tidak menunjukkan respon, maka baru digunakan steroid oral
(sistemik). Dosis awal steroid oral yaitu 1-2 mg/kgBB/hari, dosis kemudian
diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari.

A.11. Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan
terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks
membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat
diafragma letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan
kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung
dara dan tampak sulkus Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat
sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis
berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi
bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta
berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila
tidak dtolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal napas, gagal jantung,
bahkan kematian.

A.12. Prognosis
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis
baik ditemukan pada 5080% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan
dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7
10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 2678% dengan nilai rata-rata
46%, akan tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat relatif berat
(6 19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 7080% asma anak bila diikuti
sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.

BAB IV
PEMBAHASAN

15
Seorang pasien an.S datang dengan keluhan sesak napas. Sesak napas atau
dyspneu merupakan perasaan tidak nyaman pada saat bernapas atau kesulitan
bernapas. Sesak napas paling sering disebabkan oleh kelainan dari sistem
kardivaskuler dan respirasi. Sesak napas yang biasanya disebabkan oleh kelainan
dari jantung berupa sesak yang muncul mendadak terutama pada malam hari,
kadang disertai dengan nyeri dada, sesak berhubungan dengan aktivitas, dan sesak
berkurang dengan perubahan posisi. Sedangkan sesak yang disebabkan oleh
kelainan paru berupa sesak yang tidak berkurang dengan perubahan posisi, sesak
kadang muncul karena adanya faktor pencetus seperti alergen atau infeksi saluran
napas (seperti pada asma), dan kadang disertai bunyi mengi. Pada kasus ini,
pasien mengeluh sesak sejak tadi pagi, sesak tidak berkurang dengan perubahan
posisi. Sebelum muncul sesak pasien mengeluh batuk berdahak warna putih, pilek
dan demam. Hal ini menunjukkan bahwa sesak napas yang dialami pasien
diakibatkan adanya kelainan pada sistem respirasinya. Sesak napas yang
disebabkan oleh kelainan dari sistem respirasi yaitu penyakit asma, pneumonia
(batuk produktif), penyakit paru obstruksi kronik (jarang pada anak-anak), dan
bronkiolitis (sering terjadi pada anak-anak <2 tahun). Pada kasus ini pasien
berusia 11 tahun dan tidak mengalami batuk produktif, hanya batuk berdahak
biasa. Selain itu didukung juga dari riwayat keluarga pasien yaitu ibu pasien yang
memiliki riwayat asma. Pada pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa pada tanda-
tanda vital napas 28x/menit (takipneu), denyut nadi 80x/menit, suhu normal,
SPO2 97%, pemeriksaan pulmo didapatkan adanya suara napas tambahan berupa
wheezing pada akhir ekspirasi. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang sudah dilakukan pada pasien maka diagnosa pasien ini adalah asma bronkial
eksaserbasi akut. Global Initiative For Asthma (GINA) mendefinisikan asma
sebagai suatu gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak sel
yang berperan khususnya sel mas, eosinofil, dan limfosit T (Lenfance, 2002).
Sedangkan definisi asma menurut Pedoman Nasional Asma Anak yaitu wheezing
dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara
episodik, cendrung pada malam hari (nokturnal), musiman, adanya faktor
pencetus (seperti aktivitas fisik), bersifat reversibel baik secara spontan maupun

16
dengan pengobatan, adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/ keluarganya
(IDAI, 2010). Faktor pencetus pada pasien ini kemungkinan adalah infeksi saluran
napas. Manifestasi klinis asma berupa trias gejala yaitu dyspneu, batuk, dan
mengi.
Tatalaksana medikamentosa pada pasien ini yaitu nebulisasi salbutamol 1
fl dilarutkan dalam 2 cc Nacl 0,9%. Salbutamol merupakan obat golongan Short
Acting -Agonis (SABA) yang berfungsi sebagai pereda dan bronkodilator, serta
digunakan pada saat serangan. Nebulisasi dapat diulang selama 20 menit setelah
nebulisasi pertama. Pada pasien ini, ketika dilakukan nebulisasi pertama
menunjukkan adanya perbaikan. Hal ini menunjukkan bahwa pasien ini
mengalami asma serangan ringan. Setelah dinebulisasi pasien diberikan O2 2-4
liter/menit via nasal kanul dan diobservasi selama 30 menit. Selain itu, pasien juga
diberikan salbutamol oral 3 x 2 mg untuk persediaan dirumah. Pasien mengeluh
batuk berdahak, terapi yang diberikan ambroxol syrup 3xII cth berfungsi sebagai
mukolitik (mengencerkan dahak). Cetirizin 2x10mg berfungsi untuk meredakan
gejala alergi seperti pilek. Methylprednisolone 3x4mg selama 3 hari berfungsi
sebagai antiinflamasi. Parasetamol 3x500mg berfungsi sebagai antipiretik.
Vitamin C 2x1 tablet berfungsi untuk meningkatkan kekebalan tubuh pasien.
Tatalaksana non medikamentosa pada pasien ini berupa edukasi untuk
menghindari faktor pencetus seperti debu, asap rokok, cuaca dingin, aktivitas yang
berlebihan, dan infeksi saluran napas, selain itu juga harus menjaga kebersihan
rumah dari debu atau tungau yang berasal dari dalam rumah, dan rajin kontrol.
Prognosis pada pasien ini umumnya baik. Informasi mengenai perjalanan
klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 5080% pasien,
khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada masa kanak-kanak.

DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional Asma Anak . Balai Penerbit
FUI : Jakarta, 2004.

17
Isselbacher. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit dalam. Edisi 13. Volume 3.
Editor Edisi bahasa Indonesia : Ahmad H. Asdie. Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta, 2000.
Robbins dkk. Buku Ajar Patologi II. Edisi 4. Alih Bahasa : Staf pengajar
Laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 1995.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Ke 7. Percetakan Infomedika
: Jakarta, 2002.
Suardi, Adi Utomo dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama.
Cetakan Pertama : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit IDAI :
Jakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai