Anda di halaman 1dari 10

Nama : Melinda Rachmadianty

Tahapan : Junior

05/03/2024

MULTIPLE SCLEROSIS

1. DEFINISI
Multipel sklerosis merupakan suatu penyakit peradangan idiopatik yang
ditandai dengan adanya demielinisasi dan degenerasi pada sistem saraf pusat.
Penyakit ini menyerang jaringan myelin otak dan medula spinalis yang menyebabkan
kerusakan myelin dan akson. Kerusakan tersebut selanjutnya menyebabkan terjadinya
gangguan transmisi konduksi sistem saraf. Penyakit ini umumnya mengenai
kelompok pasien usia dewasa muda (antara 30 sampai 40 tahun), dengan prevalensi
umum di seluruh dunia adalah 30 kasus per 100.000 populasi; dan hanya sekitar 2-5%
penyakit ini terjadi pada usia kurang dari 18 tahun. Rerata usia saat munculan onset
penyakit MS adalah 14 tahun. Insidensi tahunan penyakit MS pada populasi anak
bervariasi antara 0,07 hingga 2,9 tiap 100.000 anak. Rasio jenis kelamin perempuan
berbanding laki – laki pada pasien MS anak sekitar usia pubertas adalah 4-5 : 1;
namun rasio ini mendekati 1:1 pada populasi anak yang berusia lebih muda.

2. ETIOLOGI
Etiologi MS belum dijelaskan secara pasti. Meskipun demikian, penelitian
menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berkontribusi terhadap
peningkatan kerentanan terhadap pengembangan POMS, menjadikannya penyakit
multifaktorial.
Lebih dari 200 gen telah diidentifikasi sebagai sumber kerentanan MS dewasa,
termasuk setidaknya 13 lokus kompleks histokompatibilitas utama (MHC). Di antara
mereka, sekitar sepertiganya juga dikaitkan dengan POMS, yang menunjukkan
adanya warisan genetik yang sama. Kontribusi genetik yang paling signifikan
dikaitkan dengan perubahan antigen leukosit manusia (HLA) secara umum dan gen
HLA-DRB1 pada khususnya.
Selain latar belakang genetik, beberapa faktor lingkungan juga diketahui
mempengaruhi perkembangan MS. Salah satu faktor penentu POMS yang paling
banyak dipelajari adalah infeksi virus Epstein-Barr (EBV). Penelitian telah
menunjukkan hubungan timbal balik: risiko pengembangan MS meningkat setelah
infeksi EBV, dan infeksi EBV lebih umum terjadi pada pasien dengan MS. Untuk
lebih spesifiknya, pasien MS menunjukkan peningkatan kadar antibodi spesifik EBV,
peningkatan respons sel T CD8+ spesifik EBV diamati pada MS aktif, dan antigen
EBV telah ditemukan di jaringan otak pasien MS, yang mengindikasikan replikasi
virus. Menurut hipotesis sel B autoreaktif, eliminasi sel B yang terinfeksi EBV yang
tidak memadai oleh sel T CD8+ sitotoksik menyebabkan akumulasi sel B autoreaktif
yang terinfeksi EBV di jaringan limfoid di otak MS, yang menyebabkan paparan
antigen lokal dalam waktu lama.
3. PATOFISIOLOGI

Berdasarkan patofsiologi MS, diketahui bahwa karakteristik patologi MS adalah


ditemukannya plak yang merupakan hasil dari demielinisasi, degradasi neuronal dan
aksonal, serta jaringan parut astrosit. Pada seseorang yang memiliki kerentanan
genetik terhadap MS akan terjadi reaksi silang antara antigen lingkungan dengan
komponen mielin dan atau oligodendrosit atau protein mielin seperti protein S-100,
fosfodiesterase, dan lain-lain. Hal ini memicu sensitisasi limfosit T sehingga bersifat
autoreaktif terhadap mielin dan oligodendrosit yang telah mengalami reaksi silang
tersebut. Jika antigen (yang bereaksi silang dengan mielin) memasuki tubuh,
makrofag akan memfagositosis antigen tersebut. Antigen presenting cells (APC)
seperti sel dendritik mempresentasikan antigen atau protein antigen ini dengan
membentuk kompleks antara antigen dan major histocompatibility complex (MHC)
pada permukaan sel. Kompleks antigen dengan MHC akan dikenali oleh reseptor pada
permukaan sel limfosit T-CD4. Akibatnya sel tersebut akan teraktivasi dan
berdiferensiasi menjadi sel T helper-1 (Th-1). Th-1 akan memicu sitokin proinflamasi
yang selanjutnya akan mengaktivasi reseptor molekul adesi endotel pembuluh darah
sawar darah otak. Akibatnya sawar darah otak menjadi lebih mudah dilalui oleh sel T

Setelah menembus sawar darah otak, Th-1 akan mengalami reaktivasi oleh APC,
sedangkan antigen yang dibawa APC kali ini adalah protein mielin. Reaktivasi akan
memicu sitokin proinflamasi, nitrit oksida, antibodi, komplemen, juga molekul-
molekul yang memediasi apoptosis. Sitokin proinflamasi juga akan menstimulasi
mikroglia dan astrosit, sehingga permeabilitas sawar darah otak menjadi semakin
meningkat. Molekul kemotaksis yang memfasilitasi masuknya sel T, antibodi, dan
makrofag juga ikut terstimulasi. Kaskade imun akan berakibat pada edema,
demielinisasi, juga kematian akson.

Pada demielinisasi kronik, mikroglia akan teraktivasi yang mengakibatkan


terbentuknya stres oksidatif. Hal ini akan memicu kerusakan mitokondria akson dan
oligodendrosit. Selain itu, aktivasi mikroglia juga akan mempengaruhi transpor
glutamat pada astrosit yang akan berakibat pada eksitotoksisitas neuronal dan
oligodendrosit. Akumulasi lesi yang terjadi pada progresif MS berhubungan dengan
degenerasi retrograd dan anterograd dari akson yang mengalami demielinisasi. Hal ini
terjadi akibat eksitabilitas akson yang abnormal dan amplifkasi dari aktivasi
mikroglia.

Karakteristik imunopatologi fase progresif yang paling relevan adalah adanya tipe
demielinisasi yang tidak biasa yang dicirikan dengan adanya plak yang meluas secara
perlahan beserta foamy macrophages yang mengandung lemak, khususnya di daerah
subtansia alba.

4. MANIFESTI KLINIS
Penyakit multipel sklerosis pada populasi anak merupakan suatu kelompok penyakit
demielinisasi idiopatik yang jarang ditemukan dan memiliki sejumlah variasi gejala
klinis; gejala tersebut meliputi : defisit sensorik, neuritis optikum, defisit motorik,
gangguan gait (pola berjalan) dan juga rasa pegal. Kepustakaan lainnya secara lebih
sederhana menyatakan MS pada populasi anak memiliki tiga gejala pokok yang
meliputi gangguan penglihatan, defisit neurologis dan gangguan mental. Terdapat
sejumlah perbedaaan manifestasi klinis MS pada populasi anak dibandingkan dengan
yang terjadi pada populasi dewasa, salah satunya adalah MS pada popoulasi anak
cenderung lebih jarang berkembang menjadi MS progresif primer atau sekunder; dan
juga sekitar 97-99% kasus multipel sklerosis pada populasi anak bermanifestasi
sebagai episode remisi dan eksaserbasi yang silih berganti, kondisi ini ditandai dengan
adanya serangan atau kekambuhan yang diikuti periode remisi parsial atau remisi
komplit.

5. DIAGNOSIS
Telah diusulkan sejumlah kriteria diagnosis yang berbeda dalam mendiagnosis MS
pada anak; hal ini disebabkan karena sulitnya mengeksklusikan sejumlah kondisi
klinis lain yang menyerupai MS, serta juga sulit untuk membedakan suatu kondisi MS
onset anak dengan sejumlah sindrom demielinisasi yang juga dapat terjadi pada masa
anak. Sejumlah besar penelitian menggunakan kriteria diagnosis yang dipublikasi oleh
Pediatric International Study Group; hal ini karena pada kriteria klasifikasi ini
dicantumkan sejumlah kondisi demielinisasi didapat (acquired demylinating
syndrome, ADSs) lainnya yang juga dapat merupakan manifestasi awal dari MS onset
anak. Klasifikasi ADSs yang telah direvisi pada tahun 2013 (terlihat pada tabel 1)
meliputi : (1) MS onset anak; (2) Neuritis optikum; (3) mielitis transversa; (4)
munculan tunggal sindrom klinis / clinically isolatedsyndrome (CIS); (5)
Neuromielitis opticum (NMO); (6) ensefalomielitis akut yang tersebar luas (acute
disseminated encephalomyelitis, ADEM).6
Untuk mendiagnosis CIS pada anak, keseluruhan criteria di bawah ini harus terpenuhi
:
• Suatu munculan manifestasi klinis sistem saraf pusat yang bersifat monofokal atau
polifokal, dimana hal tersebut diperkirakan akibat dari suatu inflamasi
demielinisasi.
• Tidak pernah sebelumnya mengalami suatu episode klinis penyakit demielinisasi
pada sistem saraf pusat ( tidak pernah mengalami neuritis optikum, mielitis
transversa dan sindrom terkait kelainan pada hemisfer atau pada batang otak ).
• Tidak terdapat suatu kondisi ensefalopati (tidak ada gangguan kesadaran atau
gangguan tingkah laku) yang tidak dapat dijelasakan sebagai akibat dari demam.
• Tidak terpenuhinya kriteria diagnosis radiologis MS melalui pemeriksaan MRI.

Untuk mendiagnosis suatu ADEM pada pasien anak, keseluruhan kondisi berikut ini
haruslah terpenuhi:

• Suatu episode pertama gejala klinis sistem saraf pusat yang bersifat polifokal,
dimana hal tersebut diperkirakan akibat dari suatu inflamasi demielinisasi.
• Ensefalopati yang tidak dapat diterangkan sebagai akibat dari adanya demam.
• Tidak terdapat temuan manifestasi klinis baru dan tidak terdapat temuan lesi baru
pada MRI dalam 3 bulan terakhir setelah munculnya gejala pertama kali.
• Ditemukannya gambaran MRI otak yang tidak normal selama fase akut (3 bulan)
 Lesi difus berukuran besar ( > 1-2 cm ) dan berbatas tidak tegas yang terutama
mengenai daerah substansia alba (cerebral white matter).  Dapat ditemukan lesi
pada bagian dalam substansia abu – abu (thalamus atau ganglia basalis).  Jarang
ditemukan gambaran hipointens pada MRI T1.

Untuk mendiagnosis suatu neuromielitis optikum (NMO) pada pasien anak, harus
dipenuhi keseluruhan ketentuan berikut:
• Ditemukannya kondisi neuritis optikum.
• Ditemukannya kondisi mielitis akut.
• Setidaknya memenuhi dua dari tiga kriteria tambahan dibawah ini :  Adanya lesi
yang berdampingan melewati tiga segmen korpus vertebra pada pemeriksaan MRI
medulla spinalis.  Hasil pemeriksaan MRI otak tidak memenuhi kriteria multipel
sklerosis.  Ditemukannya hasil pemeriksaan IgG aquaporin seropositif.

Untuk mendiagnosis suatu multipel sklerosis pada pasien anak, haruslah dipenuhi
salah satu kriteria di bawah ini :
• Ditemukannya ≥ 2 episode manifestasi klinis sistem saraf pusat bersifat non-
ensefalopati yang diperkirakan terjadi akibat inflamasi, dimana episode tersebut
terpisah setidaknya lebih dari 30 hari dan melibatkan lebih dari satu area sistem
saraf pusat.
• Adanya satu episode manifestasi klinis sistem saraf pusat bersifat non-ensefalopati
yang spesifik terhadap manifestasi klinis MS, serta hasil pemeriksaan MRI
bersesuaian dengan kriteria McDonald revisi 2010 perihal kategori perluasan
dalam ruang (dissemination in space, DIS) dan pada saat dilakukan monitoring
MRI ditemukan paling tidak satu lesi baru (baik lesi yang menyangat ataupun lesi
yang tidak menyangat) yang bersesuaian dengan kategori perluasan dalam waktu
(dissemination in time, DIT).
• Satu episode serangan ADEM yang diikuti dengan sebuah manifestasi klinis non-
ensefalopati dalam kurun waktu tiga atau empat bulan pasca onset gejala pertama,
serta ditemukannya lesi MRI yang bersesuaian dengan kategori DIS pada kriteria
McDonald revisi 2010.
• Suatu kondisi manifestasi klinis tunggal pada sistem saraf pusat (CIS) yang tidak
memenuhi kriteria ADEM, dan pada pemeriksaan MRI bersesuaian dengan
kategori DIS serta DIT pada kriteria McDonald revisi 2010 (dipergunakan hanya
pada anak yang berusia lebih dari 12 tahun).

6. TATALKASANA

Studi pada pasien MS dewasa menunjukkan manfaat yang signifikan dari pemberian
DMT dini. Data kemanjuran yang tersedia untuk pasien MS anak masih langka dan
sebagian besar didasarkan pada penelitian retrospektif. Konsensus internasional
menyoroti pentingnya memulai DMT pada anak-anak dan remaja dengan MS [35].
Alasan dilakukannya DMT dini pada pasien MS pediatrik didukung oleh beberapa
fakta terkait dengan data riwayat alamiah:

• 85-90% menderita penyakit MS yang kambuh secara aktif.


• Tingkat kekambuhan tinggi pada fase awal penyakit dan berhubungan dengan
prognosis yang buruk.
• Durasi singkat antara kekambuhan dan akumulasi kecacatan berikutnya.
• Meskipun perkembangannya mungkin lebih lambat dibandingkan pada orang
dewasa, kecacatan sedang hingga berat terjadi pada usia yang lebih muda.
• Jaringan otak menunjukkan peradangan yang lebih aktif pada masa kanak-kanak,
sehingga pasien dapat memperoleh manfaat dari efek anti-inflamasi DMT.
• Meskipun pemulihan klinis dari kekambuhan terlihat jelas karena plastisitas saraf
yang lebih baik, gangguan kognitif sering terjadi. Menunda pengobatan mungkin
berdampak negatif pada aktivitas sosial dan kinerja sekolah.

Bukti efektivitas DMT dalam mengurangi tingkat kekambuhan dan perkembangan


penyakit pada pasien MS anak secara eksklusif didasarkan pada studi observasional.
Empat uji coba terkontrol secara acak sedang merekrut atau mencapai tahap akhir:
PARADIGMS (fingolimod), TERIKIDS (teriflunomide), FOCUS (dimethyl
fumarate) dan CONNECT (dimethyl fumarate vs. Interferon beta 1a).

FIRST LINE TREATMENT

Pengobatan lini pertama MS pada anak-anak saat ini terdiri dari interferon beta
(IFNB) atau glatiramer asetat (GA). Profil keamanan IFNB/GA tetap baik pada anak-
anak. Tidak ada efek samping yang tidak terduga dan tidak ada efek samping serius
yang didokumentasikan pada 44 pasien MS anak dari 7 negara yang diobati dengan
interferon beta-1b. Usia rata-rata saat memulai terapi adalah 13 tahun; 8 pasien
berusia ≤ 10 tahun. Efek samping yang paling umum termasuk sindrom mirip flu
(35%), tes fungsi hati yang abnormal (26%), dan reaksi di tempat suntikan (21%).

Dosis dewasa IFNB-1a subkutan (sc) (44 dan 22 μg, tiga kali seminggu) umumnya
ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan remaja, tanpa reaksi obat merugikan yang
baru atau tidak terduga, dalam sebuah penelitian retrospektif besar, bernama
REPLAY. Ini adalah tinjauan multinasional multisenter terbesar mengenai hasil
keamanan, tolerabilitas, dan kemanjuran dengan sc IFNB-1a pada pasien MS anak.
Yang ditinjau adalah catatan dari 307 pasien berusia antara 2 dan 17 tahun, yang telah
menerima setidaknya 1 suntikan sc IFNB-1a untuk kejadian demielinasi. Meskipun
tidak ada kelompok kontrol, efek menguntungkan dapat diamati. Tingkat kekambuhan
tahunan adalah 1,79 sebelum dan 0,47 selama pengobatan. Di sisi lain, pengalaman
dengan glatiramer asetat sangat terbatas. Kemanjurannya kira-kira sama dengan
IFNB.

SECOND LINE TREATMENT

Pada anak-anak dengan penyakit terobosan (didefinisikan sebagai kekambuhan saat


menjalani terapi lini pertama), peningkatan ke terapi lini kedua yang lebih efektif,
seperti natalizumab, fingolimod, mitoxantrone, cyclophosphamide, rituximab, dan
daclizumab dapat dipertimbangkan berdasarkan data yang diekstrapolasi dari orang
dewasa. kelompok. Namun, data mengenai keamanan, kemanjuran, dan tolerabilitas
sebagian besar pengobatan ini masih langka dan hanya dilaporkan dalam rangkaian
kasus retrospektif berukuran kecil.

Studi observasional besar menunjukkan bahwa natalizumab adalah pengobatan yang


efektif pada anak-anak dengan penyakit terobosan, dengan profil keamanan dan
kemanjuran yang baik, sebanding dengan populasi orang dewasa. Penekanan aktivitas
penyakit yang kuat diamati pada semua subjek selama masa tindak lanjut dalam
penelitian terhadap 19 pasien (usia rata-rata 14,6 +/− 2,2 tahun). Rerata skor EDSS
menurun dari 2,6 ± 1,0 menjadi 1,9 ± 1,0 (p < 0,001). EDSS tetap stabil pada 5 kasus,
menurun ≥0,5 poin pada 6 kasus, dan menurun ≥ 1 poin pada 8 kasus. Tidak ada
kekambuhan selama masa tindak lanjut (p < 0,001), atau lesi baru yang ditambah
gadolinium (Gd+) (p = 0,008). Sebuah penelitian yang dilakukan pada kelompok yang
sama terhadap 55 pasien menunjukkan penurunan dramatis dalam jumlah
kekambuhan. Jumlah rata-rata kekambuhan sebelum pengobatan tinggi: 4,4. Selama
masa tindak lanjut hanya terjadi 3 kekambuhan. Rerata skor EDSS menurun dari 2,7
menjadi 1,9 pada kunjungan terakhir (p < 0,001). Selama masa tindak lanjut, sebagian
besar pasien tetap bebas dari aktivitas MRI. Efek samping klinis sementara dan ringan
terjadi pada 20 pasien. Antibodi anti-JCV terdeteksi pada 20 dari 51 pasien yang diuji.
Dalam penelitian retrospektif terhadap 9 pasien anak dengan MS yang sangat aktif,
penggunaan natalizumab menghentikan proses inflamasi sepenuhnya. Dua pasien
masih mengalami kekambuhan, namun keduanya memiliki antibodi penetral terhadap
natalizumab. Median skor EDSS menurun dari 3,0 menjadi 1,0, median ARR
menurun dari 3,0 menjadi 0,0. Sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan bahwa
pengobatan dengan natalizumab dikaitkan dengan penurunan rata-rata ARR (3,7 vs
0,4; p < 0,001), n skor median EDSS (2 vs 1; p < 0,02), dan jumlah rata-rata lesi T2
baru per tahun (7,8 vs 0,5; p < 0,001) pada anak-anak dengan MS yang kambuh aktif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Teleanu RI, Niculescu A-G, Vladacenco OA, Roza E, Perjoc R-S, Teleanu DM. The
State of the Art of Pediatric Multiple Sclerosis. International Journal of Molecular
Sciences. 2023; 24(9):8251. https://doi.org/10.3390/ijms24098251
2. Rizminardo, Fredyton, Iskandar Syarief, Rahmi Lestari, and Tuti Handayani. 2018.
“Multipel Sklerosis Pada Anak.” Jurnal Kesehatan Andalas 7(Supplement 4): 76.
3. Alroughani R, Boyko A. Pediatric multiple sclerosis: a review. BMC Neurol.
2018;18(1):27. Published 2018 Mar 9. doi:10.1186/s12883-018-1026-3

Anda mungkin juga menyukai