Anda di halaman 1dari 22

PRESENTASI KASUS

DISUSUN OLEH:

M. Reza Ikwanuddin

1102010168

Pembimbing:

Dr. Tri Wahyu Pamungkas, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU NEUROLOGI

RSUD ARJAWINANGUN

JUNI 2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

Multipel Sklerosis (MS) adalah penyakit peradangan kronis pada sistem


saraf pusat (SSP) yang terkait dengan imun. Hal ini ditandai secara patologi
dengan adanya infiltrat perivaskular sel radang mononuklear, demielinasi dan
hilangnya aksonal, dengan pembentukan plak pada otak dan sumsum tulang
belakang, dan secara klinis oleh berbagai tanda dan gejala neurologis didiseminasi
sesuai ruang dan waktu.

Multiple sklerosis termasuk penyakit-penyakit demielinisasi. Di dalam


susunan saraf sentral terjadi daerah-daerah yang mengalami demielinisasi. Gejala-
gejalanya hilang timbul dalam serangan-serangan dan tiap serangan meninggalkan
cacat. Gejala-gejala neurologis tergantung dari bagian yang mengalami kerusakan.
Karena keadaan alergi juga dapat menimbulkan demielinisasi dalam susunan saraf
sentral, (vaksinasi terhadap cacar, pengobatan anti-rabies), orang menduga bahwa
multipel sklerosis merupakan penyakit auto-immun.1

Epidemiologi

Selain karena gambaran klinisnya yang khas, saat ini di Eropa Utara
multiple sklerosis merupakan penyakit neurologik yang paling sering ditemukan.
Prevalensinya yaitu jumlah kasus yang serentak ditemukan dalam populasi, paling
tinggi di Eropa Utara dan Tengah, termasuk Swiss, Rusia Soviet, Kanada, dan
Amerika Serikat bagian utara, Selandia Baru, dan bagian barat daya Australia. Di
antara populasi multirasial, orang kulit putih memiliki resiko yang paling tinggi.

Kasus ini sedikit lebih banyak menyerang wanita dibandingkan dengan


pria, usia rata-rata penderita penyakit ini adalah 30 tahun, dengan batas anatara 18
40 tahun. Lebih sering dijumpai pada daerah yang beriklim sedang (Eropa Utara
dan Amerika Utara), dengan insiden kurang lebih 10 per 10.000 penduduk.
Penyakit ini jarang ditemukan di daerah tropis.2

2
Multiple sklerosis secara dominan menyerang orang kulit putih, informasi
terakhir cenderung menunjukkan bahwa multiple sklerosis adalah suatu penyakit
bawaan dan mungkin dapat ditularkan. Adanya bukti bahwa hubungan antara
HLA system (Human Leukocyte Antigen) dan multiple sklerosis menunjukkan
suatu kerentanan genetis terhadap penyakit itu.3

3
BAB II

II.1 Sejarah

Jean Martin Charcot dari Rumah Sakit la Salpe'triere Paris dikreditkan


sebagai yang pertama memberikan deskripsi jelas dan rinci dari penyakit sebagai
yang definisi terpisah dan kesatuan. Dalam serangkaian artikel asli diterbitkan
pada tahun 1868 pada ''La sclerose en plaques,'' dan kemudian pada kuliah dan
presentasi klinis4, ia membuat hubungan yang pasti antara gejala penyakit
terhadap perubahan patologi, sel inflamasi, hilangnya mielin, proliferasi glial dan
serat inti, dan kerusakan aksonal, di samping fitur klinis, termasuk fungsi kognitif.
Pengamatannya juga mengawali untuk pengembangan kriteria diagnostik pertama
untuk Multipel Sklerosis, yaitu Trias Charcot (nistagmus, ataksia dan disarthria).
Meskipun bukanlah orang pertama yang mengenali penyakit ini, kontribusi
Charcot yang besar adalah dalam mendefinisikan dan membingkai Multipel
Sklerosis dengan cara yang jelas dan terorganisir, dengan menggunakan
pendekatan medis modern. Pada tahun 1884, Pierre Marie, murid Charcot, dan
penggantinya sebagai Ketua Neurologi di Rumah Sakit Salpetriere, memikirkan
etiologi infeksi untuk Multipel Sklerosis, yang masih dianggap paling mungkin.
Kemampuan untuk menginduksi penyakit autoimun seperti Multipel
Sklerosis pada mamalia dengan imunisasi menggunakan antigen mielin atau
mielin dari Sistem Saraf Pusat [experimental autoimmune encephalomyelitis
(EAE)] (acute disseminated encephalomyelitis, EAE), pertama kali dijelaskan
pada 1933, mendeteksi proporsi peningkatan gamma globulin dalam cairan
serebrospinal pasien Multipel Sklerosis menggunakan elektroforesis pada tahun
1940, dan beberapa studi epidemiologi besar dan studi kembar, menyebabkan
hipotesis bahwa Multipel Sklerosis melibatkan respon autoimun terhadap self-
antigen pada individu yang rentan secara genetik, yang disebabkan oleh
lingkungan-agen infeksius yang belum diketahui. Pengenalan keberhasilan
kortikosteroid ACTH untuk pengobatan kekambuhan Multipel Sklerosis pada
tahun 1960, dan awal pengobatan jangka panjang dengan obat imunosupresif pada
tahun 1970 menambah dukungan teori mediasi imun pada Multipel Sklerosis.
4
Penerapan MRI selama 25 tahun terakhir secara dramatis meningkatkan
kemampuan kita untuk memvisualisasikan lesi Multipel Sklerosis di otak dan
sumsum tulang belakang, dan pengenalan secara berkelanjutan mengenai teknik
non-konvensional MRI sekarang memungkinkan untuk pengukuran yang lebih
akurat terhadap hilangnya aksonal, atrofi atau apa yang disebut ''penampakan-
normal'' jaringan otak.
Interferon--1b, yang merupakan pengobatan pencegahan pertama yang
efektif untuk Multipel Sklerosis, telah diperkenalkan pada tahun 1993,
menandakan banyak jalan yang menjanjikan sebagai agen modifikasi penyakit
saat ini dan di masa depan.

II.2 Etiologi

Penyebab Multipel Sklerosis adalah suatu proses autoimmun yang


menyerang myelin dan pembentukan sel myelin pada otak dan medula spinalis,
akan tetapi pada Multipel Sklerosis sebenarnya bukan suatu proses autoimmun
murni oleh karena tidak adanya antigen respon immun yang abnormal. Kausa MS
terdiri dari:

a. Virus : infeksi retrovirus akanmenyebabkan kerusakan oligodendroglia

b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein sehingga
menyebabkan pelepasan sitokin

c. Defek pada oligodendroglia

d. Diet : berhubungan dengan komposisi membran, fungsi makrofag, sintesa


prostaglandin

e. Genetika : penurunan kontrol respon immun

f. Mekanisme lain : toksin, endokrin, stress

5
II.3 Patogenesis

Multipel Sklerosis diyakini terutama dimediasi (namun tidak eksklusif)


oleh autoreaktif sel Th1 secara auto-antigen yang diaktifkan di perifer oleh
mekanisme yang belum dikenalkan (pilihan termasuk mimikri molekuler dengan
faktor peptida lingkungan menular; super-antigens; kerusakan toleransi imunologi
oleh mekanisme lain, dll). Sel-sel T aktif berploriferasi, mengekspresikan
berbagai reseptor dan molekul adhesi, mensekresi mediator proinflamasi dan
metaloproteinase, mengaktifkan blood-brain barrier (BBB) dan berinteraksi
untuk masuk ke dalam otak, dimana mereka mengalami reaktivasi oleh
autoantigen lokal yang dihadirkan oleh molekul MHC kelas II diekspresikan pada
mikroglia aktif, astrosit dan makrofag. Ini memulai reaksi inflamasi lokal di mana
sitokin, kemokin dan mediator lain disekresikan oleh sel-sel aktif, menarik dan
mengaktifkan komponen lainnya dari sistem kekebalan tubuh (makrofag, sel T
sitotoksik, sel B, astrosit dan komplemen) dan menyebabkan serangan terpadu
pada mielin, akson dan glia, yang dimediasi oleh sel sitotoksik dan sitokin,
fagositosis, protease, antibodi antimyelin, komplemen, glutamat, NO dan
intermediet oksigen reaktif lain. Hasil berupa edema, demielinasi, transeksi
aksonal, kehilangan oligodendrocytes dan aktivasi astrosit berkontribusi terhadap
disfungsi neurologis, untuk pembentukan plak akut diikuti kemudian oleh bekas
luka gliotic dan hilangnya volume otak. Proses lain seperti apoptosis, pergeseran
Th1 ke Th2, pelepasan faktor pertumbuhan dan sitokin oleh glia aktif, dan
perubahan lingkungan sitokin yang berkontribusi terhadap regulasi dan resolusi
dari respon inflamasi lokal. Hal ini memungkinkan pelepasan blok konduksi,
reorganisasi jalur fungsional pada tingkat selular dan tingkat sistem, remielinasi
dan beberapa aktivitas regeneratif, dan sinyal pemulihan fungsional. Mekanisme
restoratif ini hanya efektif sebagian dan hanya untuk sementara, seperti akumulasi
hilangnya aksonal ireversibel dari waktu ke waktu secara signifikan, reaktivitas
astrosit menyegel lesi, dan gliosis menyebabkan penghalang fisik untuk
remielinasi lebih lanjut, mengurangi kapasitas untuk mengakomodasi defisit
kumulatif, dan menandai transisi ke tahap defisit persisten. Kehilangan dukungan

6
trofik dari glia ke akson dapat berkontribusi pada degenerasi aksonal kronis dan
peningkatan defisit klinis yang merupakan karakteristik dari fase progresif dari
penyakit5.

II.4 Manifestasi Klinis

Multipel Sklerosis terutama mempengaruhi kaum muda dengan onset


biasanya pada usia 20-40 tahun dan dua sampai tiga kali lebih umum pada wanita.
Onset penyakit ini dapat berupa relapsing-remiting (RR-MS, 85%) atau primary
progressive (PP-MS, 15%) (Gambar 73.1). Gejala kambuh (serangan) biasanya
berkembang dalam waktu jam untuk sampai hari, menetap selama beberapa hari
sampai minggu dan kemudian secara bertahap mereda. Presentasi klinis tipikal
PP-MS biasanya dari myelopathy progresif lambat, terlihat lebih banyak pada pria
berusia> 40 tahun. Gejala umum onset penyakit dirangkum dalam Tabel 73.26.
Seiring waktu, semakin banyak pasien RR-MS (sekitar 50% setelah 10 tahun)
berkonversi ke fase secondary progressive penyakit (SP-MS), di mana
kekambuhan baik berhenti ataupun berkurang jumlahnya, dan kecacatan secara
bertahap terakumulasi bahkan di antara kekambuhan. Sebuah sub-kelompok
pasien (5-7%) mengalami fase kekambuhan progresif, yang ditandai dengan fase
kronis progresif sejak awal, dengan kekambuhan superimposed7. Tingkat
keparahan gejala, kekambuhan dan progresifitas disabilitas sangat bervariasi di
antara pasien, dan 15-20% dari pasien mengalami ''Multipel Sklerosis jinak''
[ditentukan secara retrospektif sebagai tidak memiliki disabilitas atau memiliki
tingkat disabilitas rendah dan mempertahankan fungsi penuh dalam semua sistem
15 tahun setelah onset penyakit].

7
Table 73.2 Initial symptoms of Multiple Sclerosis
Prevalence (%)

Sensory symptoms 35-40


Weakness in one or more limbs 25-40
Visual loss 17-29
Diplopia 12
Altered balance and gait 18
Vertigo 5
Bladder and bowel symptoms 5

Berbagai gejala kronis dapat mempengaruhi pasien Multipel Sklerosis


selama penyakit kronis mereka sedang berlangsung, yang berdampak pada sosial,
keluarga, pekerjaan dan kehidupan pribadi. Hal ini termasuk gangguan visual
(karena neuritis optik atau diplopia), kelelahan (pada lebih dari 90% pasien),
kekakuan atau ataksia yang terkait dengan masalah gait, tremor, gejala
paroksismal (kejang, spasme tonik, trigeminal neuralgia, paresthesia /
dysesthesia), penurunan kognitif (dalam 50-75%, terutama dalam domain memori,
perhatian, konsentrasi, kecepatan pemrosesan informasi, fungsi eksekutif dan
orientasi visuo-spasial), depresi dan gangguan afektif lain, disfungsi kandung
kemih, disfungsi seksual, sensitivitas terhadap panas, disfagia, disartria, gangguan
tidur dan nyeri.

Lokasi lesi menentukan manifestasi klinisnya. Segala bentuk kombinasi


tanda dan gejala berikut ini dapat terjadi :

1.Gangguan sensorik

Parestesia (baal, perasaan geli, perasaan mati, tertusuk-tusuk jarum dan


peniti) mungkin berbeda-beda tingkatannya dari hari ke hari. Jika lesi

8
terdapat pada kolumna posterior medulla spinalis servikalis, fleksi
leher menyebabkan sensasi seperti syok yang berjalan ke bawah
medulla spinalis (tanda Lhermitte). Gangguan proprioseptif sering
menimbulkan ataksia sensorik dan inkoordinasi lengan. Sensasi getar
seringkali menghilang. Karena gangguan sensorik tak dapat
diperagakan secara obyektif, maka gejala-gejala tersebut dapat disalah
duga sebagai histeria.2,8

2.Gangguan penglihatan
Sejumlah besar pasien menderita gangguan penglihatan sebagai gejala-
gejala awal. Dapat terjadi kekaburan penglihatan, lapang pandang yang
abnormal dengan bintik buta (skotoma) baik pada satu maupun pada
kedua mata. Salah satu mata mungkin mengalami kebutaan total
selama beberapa jam sampai beberapa hari. Gangguan-gangguan
visual ini mungkin diakibatkan oleh neuritis saraf optikus. Selain itu,
juga ditemukan diplopia akibat lesi pada batang otak yang menyerang
nukleus atau serabut-serabut traktus dari otot-otot ekstraokular dan
nistagmus.8

3.Kelemahan spastik anggota gerak


Keluhan yang sering didapatkan adalah kelemahan satu anggota gerak
pada satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetris pada keempat
anggota gerak. Pasien mungkin mengeluh merasa lelah dan berat pada
satu tungkau, dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah
terseret maju, dan pengontrolannya kurang sekali. Pasien dapat
mengeluh tungkainya kadang-kadang seakan akan meloncat secara
spontan terutama apabila ia sedang berada di tempat tidur. Keadaan
spatis yang lebih berat disertai dengan spame otot yang nyeri. Refleks
tendon mungkin hiperaktif dan refleks-refleks abdominal tidak ada.
Respons plantar berupa ekstensor (tanda Babinski). Tanda-tanda ini
merupakan indikasi terserangnya lintasan kortikospinal.8
9
4. Tanda-tanda serebelum
Gejala-gejala lain yang juga sering ditemukan adalah nistagmus
(gerakan osilasi bola mata yang cepat dalam arah horisontal atau
vertikal) dan ataksia serebelar dimanifestasikan oleh gerakan-gerakan
volunter, intention tremor, gangguan keseimbangan dan disartria
(bicara dengan kata terputus-putus menjadi suku-suku kata dan
tersendat-sendat).2,8

5. Disfungsi kandung kemih


Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali menimbulkan gangguan
pengaturan sfingter sehingga timbul keraguan, frekuensi dan urgensi
yang menunjukkan berkurangnya kapasitas kandung kemih yang
spastis. Kecuali itu juga timbul retensi akut dan inkontinensia.2

6. Gangguan afek

Banyak pasien menderita euforia, suatu perasaan senang yang tidak


realistik. Ini di duga disebabkan terserangnya substansia alba lobus
frontalis. Tanda lain gangguan serebral dapat berupa hilangnya daya
ingat dan demensia.2,8

II.5 Gambaran Patologi

Secara histologi, plak Multipel Sklerosis, yang tersebar di lapisan putih


pada Sistem Saraf Pusat, menunjukkan infiltrasi perivenular dari sel radang
mononuklear (limfosit T, monosit/makrofag, sel B dan sel plasma), demielinasi,
penurunan jumlah oligodendrocytes, akson transeksi dan astrosit proliferasi
dengan resultan gliosis. Empat kategori dari penyakit telah didefinisikan

10
berdasarkan lokasi dan perpanjangan plak, mekanisme immunopatologi, aktivasi
komplemen dan pola perusakan oligodendrocytes9 (Tabel 73.1)

Table 73.1 Heterogenity of MS Pathology


Pattern I Pattern II (53%) Pattern III (30%) Pattern IV
(12%) (4%)

Possible CTL + Antibody- Distal Primary


Mediators macrophage- mediated oligodendrogliopath oligodendroglia
mediated demyelination y and apoptosis degeneration
demyelination

Anti-MOG; Ischemia/ toxic Metabolic


TNF-, ROI, anti-Glc (anti- virus-induced defect
proteinase Glycan); anti-
aquaporin;
others?

II.6 Diagnosis

Karena tidak ada yang spesifik untuk Multipel Sklerosis, maka diagnosa terutama
berdasarkan adanya remisi dan relaps pada orang muda, dengan lesi multifokal
dan asimetrik pada traktus subtansia alba.

1. Clinically definite MS

Terbukti dari riwayat penyakit dan pemeriksaan neurologi terdapat lebih dari satu
lesi atau dua episode gejala dari satu lesi dan bukti lesi pada MRI atau evoked

2. Laboratory supported definite MS

11
Terbuktinya ada dua lesi adri riwayat penyakit dan pemeriksaan jika hanya satu
lesi yang terbukti maka lesi lain terbukti dari MRI atau evoked potensial dan
kadar Ig G abnormal

3. Clinically probable MS

Jika hanya dari pemeriksaan atau anamnesa dan bukan dari keduanya, terbukti ada
lebih dari satu lesi. Jika hanya satu lesi terbukti dari anamnesa dan hanya satu dari
pemeriksaan neurologik, evoked potensial atau adanya bukti pada MRI lebih lesi
dan pemeriksaan IgG CSF normal.

4. Laboratory supported probable

Kriteria yang dipakai pada MS ada dua yaitu kriteria Schumacher dan Poser,
tetapi yang banyak adalah kriteria poser.

Kriteria Poser

Jumlah Bukti adanya > 1 lesi IgG CSF


serangan
Klinik Lab
A. Clinically definite
A1 2 2
A2 2 1 dan 1
B. Laboratory
supported definite
B1 2 1 atau 1 +
B2 1 2 +
B3 1 1 dan 1 +
C. Clinically probable
C1 2 1
C2 1 2
C3 1 1 dan 1
D. Laboratory- 2 0 +
suported probable

12
a. Laboratorium

Tidak ada tes laboratorium tunggal untuk menegakkan diagnosis Multipel


Sklerosis, namun, beberapa tes dapat mendukung diagnosis klinis penyakit.
Analisis cairan serebrospinal menunjukkan ikatan oligoclonal IgG, yang
mengindikasikan sintesis imunoglobulin intratekal dan inflamasi patologi di lebih
dari 90% pasien. Latensi tertunda pada peningkatan potensi visual, auditori dan
somatosensori pada studi elektrofisiologi dari jalur sensorik pusat, sebagaimana
waktu konduksi memanjang pada motor sentral, merupakan ciri khas dari
demielinasi, dan dapat menunjukkan lesi tersembunyi secara klinis. Tes darah
biasanya digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain yang dapat menyerupai
Multipel Sklerosis.

b. Pencitraan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah tes yang paling sensitif untuk
mendeteksi dan menunjukkan lesi Multipel Sklerosis. MRI digunakan untuk
mendukung diagnosis, memperkirakan beban lesi dan aktivitas penyakit,
mengukur atrofi otak dan hilangnya aksonal, mengikuti perkembangan penyakit,
memberikan prognosis, berfungsi sebagai penanda pengganti dan memberikan
hasil pengukuran pada percobaan klinis. Lesi Multipel Sklerosis hyperintense
pada T2, kepadatan proton atau pencitraan FLAIR, dan hypointense atau
isointense pada pencitraan T1(Gambar 73.2). Lesi Multipel Sklerosis biasanya
berbentuk bulat telur, ukuran kecil (rata-rata 3-8mm, meskipun plak raksasa dapat
terjadi) dan terletak terutama di lapisan putih periventricular. Lesi tersebut
cenderung tegak lurus ke ventrikel, melibatkan corpus callosum dan U-fibers dan
dapat meningkatkan gadolinium, terutama selama peradangan aktif, karena
gangguan dari BBB10. Beberapa teknik MRI digunakan dalam Multipel Sklerosis,

13
korelasi patologis dan aplikasinya dirangkum dalam Tabel 73.310,11.

Table 73.3. Magnetic resonance imaging in multiple sclerosis (MS)

Imaging technique Pathology Application

T1W (unenhanced) Axonal loss; Black Correlation with


holes disability

T1W (enhanced) BBB disruption Disease activity

T2W Nonspesific: Burden of disease


inflammation,
demyelination,
edema, gliosis

14
FLAIR Comparable to T2W Increased resolution

MR Spectroscopy Axonal loss Research;


biochemical imaging

Magnetization transfer Demyelinated areas Research; structural


integrity; normal-
appearing white
matter

Diffusion tensor MRI Demyelination; Abnormalities in the


axonal loss normal appearing
grey and white
matter

Functional MRI Research; cerebral


function and
reorganization;
prognosis

II.7 Penatalaksanaan

Dalam 15 tahun terakhir telah terlihat kemajuan besar dalam pengelolaan


Multipel Sklerosis. Kemajuan dalam pemahaman tentang imunologi dan patologi
Multipel Sklerosis berakibat pada pengembangan terapi baru. Beberapa agen
modifikasi-penyakit yang mempengaruhi aktivitas dan perkembangan penyakit
telah disetujui untuk digunakan, dan banyak agen imunomodulator lainnya yang
menjanjikan dan metode lainnya, dalam berbagai tahap evaluasi klinis13,14.
1. Untuk kekambuhan akut, pengobatan standar adalah pemberian singkat
kortikosteroid dosis tinggi (biasanya metilprednisolon 500-1000 mg / hari
selama 3-5 hari secara intravena, diikuti, dalam banyak kasus, dengan
tappering down dari prednison oral untuk tambahan 1-2 minggu).
Serangan parah demielinasi Sistem Saraf Pusat yang tidak merespon
corticosteroid secara adekuat dapat diobati dengan pertukaran plasma15.
2. Pencegahan aktivitas penyakit: Enam obat modifikasi-penyakit [tiga jenis
dari interferon- (Betaferon / Betaseron, Avonex dan Rebif), glatiramer
asetat (GA, Copaxone, mitoxantrone (Novantrone) dan natalizumab
(Tysabri)] selama ini telah disetujui untuk pencegahan aktivitas penyakit
15
Multipel Sklerosis, setelah menunjukkan keberhasilan dalam mengurangi
tingkat kekambuhan dan tingkat keparahan, memperlambat akumulasi
disablitas dan secara positif mempengaruhi penanda MRI dari aktivitas
dan perkembangan penyakit15,16 (Tabel 73.5). Ketiga interferon tersebut
juga menunda perkembangan Multipel Sklerosis yang pasti setelah CIS
pertama.15
3. Pengobatan simtomatik pada Multipel Sklerosis paling baik disampaikan
dengan pendekatan multidisiplin yang mengintegrasi fisioterapi, intervensi
sosial dan psikologis dan perawatan medis yang bertujuan untuk setiap
gejala individu17.
4. Para peneliti menemukan bahwa obat yang digunakan untuk mengobati
multiple sclerosis juga dapat membalikkan beberapa cacat fisik penyakit
ini menyebabkan pada pasien. The alemtuzumab obat yang digunakan
untuk mengobati relaps-timbul MS di mana gejala bergantian antara
memburuk cepat dan remisi.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Neurology tidak mengungkapkan
bagaimana alemtuzumab membalikkan kerusakan yang disebabkan oleh
penyakit kronis. obat dapat menyebabkan efek samping yang serius dan
umumnya digunakan untuk mengobati pasien yang tidak merespon dengan
baik untuk obat lain.

"Sementara banyak obat MS memperlambat kemajuan kecacatan, ada


sedikit data tentang kemampuan perawatan saat ini untuk membantu
memulihkan fungsi sebelumnya kalah MS," co-author Gavin Giovannoni
dari Queen Mary University of London mengatakan dalam sebuah
pernyataan.

Sebuah tim peneliti internasional mempelajari pasien yang didiagnosis


dengan relaps-remisi MS yang tidak merespon dengan baik untuk obat lain
MS. Sekelompok 426 pasien diobati dengan alemtuzumab dan kelompok
lain 202 orang dengan interferon obat beta-1a.

Para peneliti memeriksa tingkat pasien kecacatan pada awal studi dan lagi
setiap tiga bulan untuk jangka waktu dua tahun. Mereka menemukan
bahwa pada akhir dua tahun, 28 persen pasien yang mengambil
alemtuzumab ditingkatkan dengan setidaknya satu titik pada tes kecacatan

16
dengan skor mulai dari nol sampai 10. Hanya 15 persen dari mereka yang
mengambil interferon menunjukkan perbaikan.

Pasien yang mengambil alemtuzumab juga 2,5 kali lebih mungkin untuk
menunjukkan perbaikan dalam penilaian kemampuan berpikir dan dua kali
lebih mungkin untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk bergerak
tanpa tremor bila dibandingkan dengan mereka yang mengambil
interferon.

Giovannoni menambahkan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk


mempelajari risiko dalam menggunakan alemtuzumab. Risiko termasuk
masalah autoimun dan reaksi infus21.

Penelitian dasar dan klinis luas di seluruh dunia terus mengeksplorasi


terapi baru untuk Multipel Sklerosis. Strategi tersebut meliputi terapi antigen-
spesifik, terapi yang menargetkan regulasi molekul spesifik dari sistem kekebalan
tubuh, menjebak limfosit di kelenjar getah bening, menggunakan imunomodulator
lain, agen imunosupresif dan neuroprotective, transplantasi sel induk
pluripotential dan lainnya19,14.

Table 73.5. Approved disease-modifying drugs for MS

Medication Trade name Dose, route of Indications


administration

Interferon -1 b Betaferon/ SC 250 g every RR-MS, SP-MS


Betaseron other day

Interferon -1a Avonex IM 30 g x 1/w RR-MS

Interferon -1a Rebif SC 22/44 g x 3/w RR-MS

Glatiramer acetate Copaxone SC 20 mg/day RR-MS

17
Mitoxantrone Novantrone IV 12 mg/m2 every Aggressive
3 months (max 140 relapsing MS
mg/m2 )
Natalizumab Tysabri IV 300 mg every 4
weeks RR-MS

Generasi saat ini dan yang akan datang dari obat Multipel Sklerosis
tampaknya hanya efektif sebagian dan tidak sama untuk tiap pasien yang berbeda.
Dua strategi dapat mendekati keterbatasan ini: terapi kombinasi18 dan
pharmacogenetics, yang mempelajari variasi genetik antara individu yang dapat
menjelaskan respon diferensial untuk terapi yang diberikan19,20. Hal ini dapat
mengalihkan fokus dari mengobati penyakit ke mengobati pasien (Personalized
Medicine), dimana pengobatan disesuaikan dengan individu pasien,
mengkombinasikan immunomudulator, strategi neuroprotective dan repair-
promoting, secara individu dipilih sesuai genetik pasien, subtipe penyakit dan
aktivitas.

18
BAB III
RINGKASAN

Multiple sclerosis (MS) pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Sir
Agustus Deste dari Inggris, akan tetapi Charcot memberi gambaran lebih
terperinci tentang adanya plak dan sclerosis pada susunan saraf pusat.
Insiden penyakit ini di AS 250.000-350.000/tahun (Anderson, 1991) walau
dalam beberapa penelitian menunjukkan kecendrungan meningkat (Kurtze, 1991)
pada daerah Skotlandia, Finlandia, Norwegia, Itali, Irlandia Utara.
Terdapat hubungan erat antara prevalensi dengan variasi geografik,
negara-negara ekuator menunjukkan insiden yang rendah, prevalensi meningkat
pada daerah yang jauh dari ekuator dan hemisfer misal negara Eropa Utara
terutama Scandinavia yang dianggap sebagai nenek moyang penyakit MS ini.
Prevalensi di Amerika Utara sekitar 100/100.000 sedangkan di Amerika Selatan
20/100.000 (Kurtze, 1993).
Prevalensi menurut umur rata-rata onset MS baik wanita maupun pria
sekitar 31-33 tahun dengan usia rata-rata lebih rendah dari wanita, tetapi dapat
pada usia lebih tua, lebih dari 60 tahun. Studi tentang migrasi, etnik, anak kembar
membuktikan bahwa faktor genetik dan lingkungan berpengaruh pada
perkembangan MS. Studi tentang migrasi menunjukkan bahwa faktor lingkungan
akan menentukan resiko terjadi MS, misalnya pasien yang melakukan migrasi dari
suatu daerah insidensi ke daerah insidensi tinggi sebelum umur 15 tahun
mempunyai resiko tinggi untuk terjadi MS (Eber & Sadovnick, 1993). Studi
tentang anak kembar ternyata monozigot 30%, dizigot 5% menunjukkan faktor
genetika memegang peranan, tidak adanya lokus mendelian tunggal yang
menyebabkan MS,akan tetapi berupa interaksi antar gen-gen (Sadovnicks, 1993),
gen-gen pada pasien MS di Eropa Utara akan mengontrol fungsi immun (HLA-
A3,B7,DR2,T-Cell reseptor alpha, immunoglobulin subtype (Gm allotype, VH2-
B5), antigen pitative target (proteolipid protein, myelin basic protein, dan lain-
lain)

19
Diet akan mempengaruhi MS, diet lemak tak jenuh akan mempengaruhi
pembentukan myelin otak, disamping adanya kelainan pada pertumbuhan
oligodendrolial yang berhubungan dengan diet. Diet lemak tak jenuh berupa asam
linoleat akan menurunkan eksaserbasi penyakit ini (Dwarkin, 1984). Etiologi
penykit ini diantaranya infeksi virus, bakteri, kelainan oligodendroglia, diet,
genetika, dan lain-lain. Untuk mendiognosa penyakit ini masih sulit, diperlukan
pengalaman-pengalaman fase awal penyakit. Pemeriksaan laboratorium akan
membantu menunjang diagnosa.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing.S, Multiple Sclerosis, pada Kapita Selekta Neurologi.


Yogyakarta : Gadjah Mada Universitay Press, 1996
2. Markam Soemarsono. dr, Multiple Sclerosis, pada Neurologi Praktis,
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
3. J.G, Multiple Sclerosis, pada Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi
Fungsional, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1994
4. Charcot JM. Histologic de la sclerose en plaques. Gaz Hop. Paris. 1868:
41: 554-5, 557-8, 566.
5. Compston A. Coles A. Multiple Sclerosis. Lancet. 2002; 359: 1321-31.
6. Matthews B. Symptoms and signs of multiple sclerosis. In: Compston A
(ed.). McAlpines Multiple Sclerosis. Churcill Livingstone. London: 1998.
7. Lublin FD, ReinGOLD sc. Defining the clinical course of multiple
sclerosis: Results of an international survey. National Multiple Sclerosis
Society (USA) Advisory Committee on Clinical Trials of New Agents in
Multiple Sclerosis. Neurology 1996; 46(4): 907-11.
8. Wiyono Budi Oetomo. dr, Multiple Sclerosis , pada Pedoman Praktis
pengobatan Penyakit Saraf, Jayapura, 2001
9. Lucchinetti C, Bruck W, Parisi J, et al. Heterogeneity of multiple sclerosis
lesions: Implications for the pathogenesis of demyelination. Ann Neurol
2000: 47: 707-17.
10. Bakshi R, Hutton GJ, Miller JR, Radue EW. Theuse of magnetic
resonance imaging in the diagnosis and longterm management of multiple
sclerosis. Neurology 2004: 63: S3-11.
11. Filippi M, Bakshi R, Rovaris M, Comi G. MRI and Multiple Sclerosis;
What Happened in the last 10 years? J Neuroimaging 2007; 17:S1-2.
12. Polman CH, Reingold SC, Edan C, et al. Diagnostic criteria for multiple
sclerosis: 2005 revisisons to the McDonald criteria. Ann Neurol 2005;
56: 840-6.

21
13. Fontoura P, Steinman L, Miller A. Emerging therapeutic targets in
multiple sclerosis. Curr Opin Neurol 2006; 19:260-6.
14. Blevins G, Martin P. Future immunotherapies in multiple sclerosis. Semin
Neurol 2003; 23: 147-58.
15. Kieseier BC, Hartung HP. Current disease-modifying therapies in multipel
sclerosis. Semin Neurol 2003; 23:133-46.
16. Polman CH, OConnor PW, Havrdova E, et al. A randomized, placebo-
controlled trial of natalizumab for relapsing multiple sclerosis. N Engl J
Med 2006: 354: 899-910.
17. Kesselring J, Beer S. Symptomatic therapy and neurorehabilitation in
multiple sclerosis. Lancet Neurol 2005; 4: 643-52.
18. Costello F, Stuve O, Weber MS, Zamvil SS, Frohman E. Combination
therapies for multiple sclerosis: Scvientific rationale, clinical trials, and
clinical practice. Curr Opin Neurol 2007 June: 20(3): 281-5.
19. Kirstein-Grossman I, Beckmann JS, Lancet D,MillerA. Pharmacogenetic
development of personalized medicine: Multiple sclerosis treatment as a
model. Drugs Bews Perspectives 2002; 15: 558-67.
20. Grossman I,Avidan N, Singer C, Goldstaub D, Hayardeny L, et al.
Pharmacogenetics of Glatiramer Acetate therapy for Multiple Sclerosis
reveals drug-response markers. Pharmacogenet Genomics 2007; 17: 657-
66.
21. Alasdair J. Coles, Ph.D., F.R.C.P., and D. Alastair S. Compston,
F.Med.Sci., Ph.D., University of Cambridge School of Clinical Medicine,
Cambridge, United Kingdom; Krzysztof W. Selmaj, M.D., Ph.D.,
Department of Neurology, Medical University of Lodz, Lodz, Poland; and
Stephen L. Lake, Sc.D., Susan Moran, M.D., M.S.C.E., David H.
Margolin, M.D., Ph.D., Kim Norris, B.Sc., and P.K. Tandon, Ph.D.,
Genzyme, Cambridge, MA : Alemtuzumab vs. Interferon Beta-1a in Early
Multiple Sclerosis

22

Anda mungkin juga menyukai