DISUSUN OLEH:
M. Reza Ikwanuddin
1102010168
Pembimbing:
RSUD ARJAWINANGUN
JUNI 2017
1
BAB I
PENDAHULUAN
Epidemiologi
Selain karena gambaran klinisnya yang khas, saat ini di Eropa Utara
multiple sklerosis merupakan penyakit neurologik yang paling sering ditemukan.
Prevalensinya yaitu jumlah kasus yang serentak ditemukan dalam populasi, paling
tinggi di Eropa Utara dan Tengah, termasuk Swiss, Rusia Soviet, Kanada, dan
Amerika Serikat bagian utara, Selandia Baru, dan bagian barat daya Australia. Di
antara populasi multirasial, orang kulit putih memiliki resiko yang paling tinggi.
2
Multiple sklerosis secara dominan menyerang orang kulit putih, informasi
terakhir cenderung menunjukkan bahwa multiple sklerosis adalah suatu penyakit
bawaan dan mungkin dapat ditularkan. Adanya bukti bahwa hubungan antara
HLA system (Human Leukocyte Antigen) dan multiple sklerosis menunjukkan
suatu kerentanan genetis terhadap penyakit itu.3
3
BAB II
II.1 Sejarah
II.2 Etiologi
b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein sehingga
menyebabkan pelepasan sitokin
5
II.3 Patogenesis
6
trofik dari glia ke akson dapat berkontribusi pada degenerasi aksonal kronis dan
peningkatan defisit klinis yang merupakan karakteristik dari fase progresif dari
penyakit5.
7
Table 73.2 Initial symptoms of Multiple Sclerosis
Prevalence (%)
1.Gangguan sensorik
8
terdapat pada kolumna posterior medulla spinalis servikalis, fleksi
leher menyebabkan sensasi seperti syok yang berjalan ke bawah
medulla spinalis (tanda Lhermitte). Gangguan proprioseptif sering
menimbulkan ataksia sensorik dan inkoordinasi lengan. Sensasi getar
seringkali menghilang. Karena gangguan sensorik tak dapat
diperagakan secara obyektif, maka gejala-gejala tersebut dapat disalah
duga sebagai histeria.2,8
2.Gangguan penglihatan
Sejumlah besar pasien menderita gangguan penglihatan sebagai gejala-
gejala awal. Dapat terjadi kekaburan penglihatan, lapang pandang yang
abnormal dengan bintik buta (skotoma) baik pada satu maupun pada
kedua mata. Salah satu mata mungkin mengalami kebutaan total
selama beberapa jam sampai beberapa hari. Gangguan-gangguan
visual ini mungkin diakibatkan oleh neuritis saraf optikus. Selain itu,
juga ditemukan diplopia akibat lesi pada batang otak yang menyerang
nukleus atau serabut-serabut traktus dari otot-otot ekstraokular dan
nistagmus.8
6. Gangguan afek
10
berdasarkan lokasi dan perpanjangan plak, mekanisme immunopatologi, aktivasi
komplemen dan pola perusakan oligodendrocytes9 (Tabel 73.1)
II.6 Diagnosis
Karena tidak ada yang spesifik untuk Multipel Sklerosis, maka diagnosa terutama
berdasarkan adanya remisi dan relaps pada orang muda, dengan lesi multifokal
dan asimetrik pada traktus subtansia alba.
1. Clinically definite MS
Terbukti dari riwayat penyakit dan pemeriksaan neurologi terdapat lebih dari satu
lesi atau dua episode gejala dari satu lesi dan bukti lesi pada MRI atau evoked
11
Terbuktinya ada dua lesi adri riwayat penyakit dan pemeriksaan jika hanya satu
lesi yang terbukti maka lesi lain terbukti dari MRI atau evoked potensial dan
kadar Ig G abnormal
3. Clinically probable MS
Jika hanya dari pemeriksaan atau anamnesa dan bukan dari keduanya, terbukti ada
lebih dari satu lesi. Jika hanya satu lesi terbukti dari anamnesa dan hanya satu dari
pemeriksaan neurologik, evoked potensial atau adanya bukti pada MRI lebih lesi
dan pemeriksaan IgG CSF normal.
Kriteria yang dipakai pada MS ada dua yaitu kriteria Schumacher dan Poser,
tetapi yang banyak adalah kriteria poser.
Kriteria Poser
12
a. Laboratorium
b. Pencitraan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah tes yang paling sensitif untuk
mendeteksi dan menunjukkan lesi Multipel Sklerosis. MRI digunakan untuk
mendukung diagnosis, memperkirakan beban lesi dan aktivitas penyakit,
mengukur atrofi otak dan hilangnya aksonal, mengikuti perkembangan penyakit,
memberikan prognosis, berfungsi sebagai penanda pengganti dan memberikan
hasil pengukuran pada percobaan klinis. Lesi Multipel Sklerosis hyperintense
pada T2, kepadatan proton atau pencitraan FLAIR, dan hypointense atau
isointense pada pencitraan T1(Gambar 73.2). Lesi Multipel Sklerosis biasanya
berbentuk bulat telur, ukuran kecil (rata-rata 3-8mm, meskipun plak raksasa dapat
terjadi) dan terletak terutama di lapisan putih periventricular. Lesi tersebut
cenderung tegak lurus ke ventrikel, melibatkan corpus callosum dan U-fibers dan
dapat meningkatkan gadolinium, terutama selama peradangan aktif, karena
gangguan dari BBB10. Beberapa teknik MRI digunakan dalam Multipel Sklerosis,
13
korelasi patologis dan aplikasinya dirangkum dalam Tabel 73.310,11.
14
FLAIR Comparable to T2W Increased resolution
II.7 Penatalaksanaan
Para peneliti memeriksa tingkat pasien kecacatan pada awal studi dan lagi
setiap tiga bulan untuk jangka waktu dua tahun. Mereka menemukan
bahwa pada akhir dua tahun, 28 persen pasien yang mengambil
alemtuzumab ditingkatkan dengan setidaknya satu titik pada tes kecacatan
16
dengan skor mulai dari nol sampai 10. Hanya 15 persen dari mereka yang
mengambil interferon menunjukkan perbaikan.
Pasien yang mengambil alemtuzumab juga 2,5 kali lebih mungkin untuk
menunjukkan perbaikan dalam penilaian kemampuan berpikir dan dua kali
lebih mungkin untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk bergerak
tanpa tremor bila dibandingkan dengan mereka yang mengambil
interferon.
17
Mitoxantrone Novantrone IV 12 mg/m2 every Aggressive
3 months (max 140 relapsing MS
mg/m2 )
Natalizumab Tysabri IV 300 mg every 4
weeks RR-MS
Generasi saat ini dan yang akan datang dari obat Multipel Sklerosis
tampaknya hanya efektif sebagian dan tidak sama untuk tiap pasien yang berbeda.
Dua strategi dapat mendekati keterbatasan ini: terapi kombinasi18 dan
pharmacogenetics, yang mempelajari variasi genetik antara individu yang dapat
menjelaskan respon diferensial untuk terapi yang diberikan19,20. Hal ini dapat
mengalihkan fokus dari mengobati penyakit ke mengobati pasien (Personalized
Medicine), dimana pengobatan disesuaikan dengan individu pasien,
mengkombinasikan immunomudulator, strategi neuroprotective dan repair-
promoting, secara individu dipilih sesuai genetik pasien, subtipe penyakit dan
aktivitas.
18
BAB III
RINGKASAN
Multiple sclerosis (MS) pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Sir
Agustus Deste dari Inggris, akan tetapi Charcot memberi gambaran lebih
terperinci tentang adanya plak dan sclerosis pada susunan saraf pusat.
Insiden penyakit ini di AS 250.000-350.000/tahun (Anderson, 1991) walau
dalam beberapa penelitian menunjukkan kecendrungan meningkat (Kurtze, 1991)
pada daerah Skotlandia, Finlandia, Norwegia, Itali, Irlandia Utara.
Terdapat hubungan erat antara prevalensi dengan variasi geografik,
negara-negara ekuator menunjukkan insiden yang rendah, prevalensi meningkat
pada daerah yang jauh dari ekuator dan hemisfer misal negara Eropa Utara
terutama Scandinavia yang dianggap sebagai nenek moyang penyakit MS ini.
Prevalensi di Amerika Utara sekitar 100/100.000 sedangkan di Amerika Selatan
20/100.000 (Kurtze, 1993).
Prevalensi menurut umur rata-rata onset MS baik wanita maupun pria
sekitar 31-33 tahun dengan usia rata-rata lebih rendah dari wanita, tetapi dapat
pada usia lebih tua, lebih dari 60 tahun. Studi tentang migrasi, etnik, anak kembar
membuktikan bahwa faktor genetik dan lingkungan berpengaruh pada
perkembangan MS. Studi tentang migrasi menunjukkan bahwa faktor lingkungan
akan menentukan resiko terjadi MS, misalnya pasien yang melakukan migrasi dari
suatu daerah insidensi ke daerah insidensi tinggi sebelum umur 15 tahun
mempunyai resiko tinggi untuk terjadi MS (Eber & Sadovnick, 1993). Studi
tentang anak kembar ternyata monozigot 30%, dizigot 5% menunjukkan faktor
genetika memegang peranan, tidak adanya lokus mendelian tunggal yang
menyebabkan MS,akan tetapi berupa interaksi antar gen-gen (Sadovnicks, 1993),
gen-gen pada pasien MS di Eropa Utara akan mengontrol fungsi immun (HLA-
A3,B7,DR2,T-Cell reseptor alpha, immunoglobulin subtype (Gm allotype, VH2-
B5), antigen pitative target (proteolipid protein, myelin basic protein, dan lain-
lain)
19
Diet akan mempengaruhi MS, diet lemak tak jenuh akan mempengaruhi
pembentukan myelin otak, disamping adanya kelainan pada pertumbuhan
oligodendrolial yang berhubungan dengan diet. Diet lemak tak jenuh berupa asam
linoleat akan menurunkan eksaserbasi penyakit ini (Dwarkin, 1984). Etiologi
penykit ini diantaranya infeksi virus, bakteri, kelainan oligodendroglia, diet,
genetika, dan lain-lain. Untuk mendiognosa penyakit ini masih sulit, diperlukan
pengalaman-pengalaman fase awal penyakit. Pemeriksaan laboratorium akan
membantu menunjang diagnosa.
20
DAFTAR PUSTAKA
21
13. Fontoura P, Steinman L, Miller A. Emerging therapeutic targets in
multiple sclerosis. Curr Opin Neurol 2006; 19:260-6.
14. Blevins G, Martin P. Future immunotherapies in multiple sclerosis. Semin
Neurol 2003; 23: 147-58.
15. Kieseier BC, Hartung HP. Current disease-modifying therapies in multipel
sclerosis. Semin Neurol 2003; 23:133-46.
16. Polman CH, OConnor PW, Havrdova E, et al. A randomized, placebo-
controlled trial of natalizumab for relapsing multiple sclerosis. N Engl J
Med 2006: 354: 899-910.
17. Kesselring J, Beer S. Symptomatic therapy and neurorehabilitation in
multiple sclerosis. Lancet Neurol 2005; 4: 643-52.
18. Costello F, Stuve O, Weber MS, Zamvil SS, Frohman E. Combination
therapies for multiple sclerosis: Scvientific rationale, clinical trials, and
clinical practice. Curr Opin Neurol 2007 June: 20(3): 281-5.
19. Kirstein-Grossman I, Beckmann JS, Lancet D,MillerA. Pharmacogenetic
development of personalized medicine: Multiple sclerosis treatment as a
model. Drugs Bews Perspectives 2002; 15: 558-67.
20. Grossman I,Avidan N, Singer C, Goldstaub D, Hayardeny L, et al.
Pharmacogenetics of Glatiramer Acetate therapy for Multiple Sclerosis
reveals drug-response markers. Pharmacogenet Genomics 2007; 17: 657-
66.
21. Alasdair J. Coles, Ph.D., F.R.C.P., and D. Alastair S. Compston,
F.Med.Sci., Ph.D., University of Cambridge School of Clinical Medicine,
Cambridge, United Kingdom; Krzysztof W. Selmaj, M.D., Ph.D.,
Department of Neurology, Medical University of Lodz, Lodz, Poland; and
Stephen L. Lake, Sc.D., Susan Moran, M.D., M.S.C.E., David H.
Margolin, M.D., Ph.D., Kim Norris, B.Sc., and P.K. Tandon, Ph.D.,
Genzyme, Cambridge, MA : Alemtuzumab vs. Interferon Beta-1a in Early
Multiple Sclerosis
22