Disusun Oleh :
Kelompok 5
- AnggitaPuspa : 20200910100145
- Fahnas Ainun : 20200910100031
- Khalisha Salsabila : 20200910100154
- Meisya Adelina : 20200910100123
- Siti Fatimah : 20200910100166
Kelas 2C
Tanda patologis khas multiple sclerosis adalah demyelinasi saraf. Demyelinasi saraf terjadi
melalui mekanisme aktivasi sel T reaktif myelin dari sirkulasi perifer yang dapat masuk ke otak
karena disfungsi sawar darah otak.
Aktivasi sel T dan respon imun adaptif terjadi setelah ada antigen yang dikenali oleh antigen-
presenting cells atau sel B. Pathogen-associated molecules berikatan dengan reseptor pada APC
dan memproduksi sitokin seperti interleukin (IL)-4, IL-12, IL-23 yang menginduksi diferensiasi
sel T (CD4+) menjadi T helper (Th)-1, Th-2 dan Th-17. Th-1 dan Th-17 berperan penting dalam
proses inflamasi multiple sclerosis. Sel Th-1 dapat mensekresi sitokin interferon gamma dan
tumor necrosis factor alpha yang merupakan sitokin proinflamasi yang dapat menekan
diferensiasi Th-2. Th-17 juga memproduksi sitokin proinflamasi yakni IL-17, IL-21, IL-22, IL-
26. Inflamasi yang terjadi menyebabkan penyebaran epitope antigen dan mengumpulnya sel-sel
inflamasi.
Microglia yang teraktivasi melepaskan radikal bebas, nitrit oksida (hasil konversi dari
nitrogliserin), dan protease yang menyebabkan kerusakan jaringan (termasuk myelin) yang
kemudian menyisakan jaringan parut yang terdiri dari astrosit, sel inflamasi, akson yang
mengalami demyelinasi membentuk plak multiple sclerosis.
Selain sel T CD4+, pada lesi multiple sclerosis juga dapat ditemukan sel T CD8+ yang dapat
menimbulkan peningkatan permeabilitas vaskular, kerusakan sel glia dan kematian
oligodendrosit. Berkurangnya oligodendrosit menyebabkan gangguan proses perbaikan selubung
myelin yang rusak. Gangguan sintesis sel myelin dan pembentukan selubung myelin juga
terganggu akibat adanya Fas Ligand (FasL) yang diproduksi oleh limfosit.
Respon imun humoral ditandai dengan dominasi sel B di lesi aktif multiple sclerosis. Pada lesi
multiple sclerosis juga dapat ditemukan sel prekursor oligodendrosit yang lebih banyak
dibandingkan jaringan normal, namun sel tersebut gagal berdiferensiasi menjadi oligodendrosit
matur. Pada beberapa lesi dapat terjadi remyelinasi parsial yang membentuk shadow plaques.
Evolusi lesi dan kerusakan jaringan sistem saraf pusat diikuti dengan proliferasi astrosit yang
menyebabkan gliosis.
Kerusakan myelin menyebabkan kecepatan konduksi saraf terganggu yang menimbulkan gejala
klinis pada pasien multiple sclerosis. Di awal fase penyakit, inflamasi dan demyelinasi
mendominasi. Area saraf yang tidak terlindungi lambat laun akan mengalami kerusakan yang
tidak dapat diperbaiki, sehingga di fase akhir penyakit multiple sclerosis kelainan yang dapat
diamati adalah kerusakan akson dan berkurangnya neuron.
Medikamentosa
Terapi medikamentosa pada multiple sclerosis ditujukan untuk memodifikasi penyakit dan
mengurangi gejala.
DMT lini pertama dapat digunakan untuk pasien yang mengalami eksaserbasi atau relaps dan
paling tidak pernah mengalami 1 kali serangan dalam 2 tahun terakhir. DMT lini pertama pilihan
adalah interferon 1 alfa beta dan glatiramer asetat dosis tinggi. Pasien multiple sclerosis yang
mengalami ≥2 serangan dalam 1 tahun terakhir dengan lesi aktif pada MRI diterapi
menggunakan DMT lini kedua seperti fingolimod atau natalizumab atau alemtuzumab untuk
serangan dengan gejala yang berat. [17,24]
Selain medikamentosa di atas, masih banyak obat-obatan lain yang berpotensi dalam terapi
multiple sclerosis yang masih dalam proses penelitian klinis misalnya laquinimod, teriflunomide,
daclizumab, dimethyl fumarate, dan rituximab.
Simtomatik
Medikamentosa simtomatik yang dapat diberikan untuk mengurangi gejala klinis pasien multiple
sclerosis seperti rasa lelah berlebihan, spastisitas, gangguan pencernaan dan berkemih, gangguan
kognitif, dan nyeri. Golongan obat yang dapat diberikan antara lain :
Tujuan pengobatan atau penatalaksanaan multipel sclerosis adalah Menghilangkan gejala dan
membantu fungsi klien:
A. Penatalaksanaan farmakoterapi
1. Terapi obat untuk Fase akut:
Kortikosteroid dan ACTH : digunakan sebagai agens anti-inflamasi yang dapat
meningkatkan konduksi saraf. Pemberian awal dapat dimulai dari metilprednisolon
0.5-1 g IV selama 3-7 hari dan dosisnya diturunkan 60mg perhari selama 3 hari
beturut-turur sampai 10 mg per hari. Dosis oral dapat diberikan sama dengan IV
kecuali penurunan Dosis 60 mg selama 5-7 hari.
2. Terapi obat untuk menurunkan jumlah kekambuhan
Beta Interferon (betaseron) : digunakan dalam perjalanan relapsing-remitting dan juga
menurunkan secara signifikan jumlah dan beratnya eksaserbasi. Interferon tidak dapat
diberikan dengan Dosis tunggal tetapi harus dikombinasikan dengan 3 jenis obat yaitu
Alfa, beta dan Gamma Interferon. Alfa dan beta diproduksi dari sel yang terinfeksi
virus. Beta Interferon menurunkan frekuensi kambuhnya MS. Rute pemberian obat
melalui subkutan dan lebih baik lagi pemberian melalui intratekal atau IM. Proses
pada dewasa 3-9 juta unit SC 3x/minggu selama 6 bulan. Obat ini yang dapat
menurunkan frekuensi kambuhnya MS adalah copolymer 1 dan Azathioprine.
3. Baclofen: Sebagai agens antispasmodic merupakan pengobatan yang dipilih untuk
spastisitas. Klien dengan spastisitas berat dan kontraktur memerlukan blok saraf dan
intervensi pembedahan untuk mencegah Kecacatan lebih lanjut.
4. Imunosupresan dapat menstabilkan kondisi penyakit.
5. Terapi obat lain: cycloscospamid, total limpoid irradiation (TLI).
Rehabilitasi
Terapi stem cell atau sel punca memiliki potensi untuk multiple sclerosis tipe progresif. Beberapa
penelitian klinis fase 1 dan 2 menunjukkan keamanan terapi ini, perbaikan pada hasil
pemeriksaan tajam penglihatan dan visual evoked potential, serta terjadinya remyelinasi pada
sampel hewan percobaan.
Daftar Pustaka
Rizminardo, F., Syarief, I., Lestari, R., & Handayani, T. (2018). Multipel sklerosis pada
anak. Jurnal Kesehatan Andalas, 7, 76-84.
Devianca, N., Maharani, K., Imran, D., & Estiasari, R. Multipel Sklerosis Progresif Sekunder,
Gejala Klinis, Diagnosis, Dan Tata Laksana.
Lutfi, D., Prasetiyono, H., Loebis, R., Suhartono, G., & Yogiantoro, D. (2010). Bilateral Optic
Neuritis in Children Due to Multiple Sclerosis. Jurnal Oftalmologi Indonesia (JOI), 7(4), 171-
174.