Pembimbing :
dr. Alwinsyah Abidin, Sp. PD-KP
Disusun Oleh :
Novan Triansyah Adi khifa L (20360014)
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang
berjudul “Gastroenteritis dengan dehidrasi sedang + Dispepsia +Pneomonia“.
Laporan kasus ini Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Haji Medan Sumatera Utara.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar
di SMF Ilmu Penyakit Dalam, khususnya dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP atas
bimbingannya selama berlangsungnya pendidikan di bagian Ilmu Penyakit Dalam
ini sehingga kami dapat menyelesaikan tugas “Laporan Kasus” ini. Kami menyadari
bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki laporan kasus
ini dan untuk melatih kemampuan menulis makalah untuk selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan Laporan Kasus ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh
pendidikan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Gastroenteritis adalah suatu keadaan dimana feses hasil dari buang air besar
(defekasi) yang berkonsistensi cair ataupun setengah cair, dan kandungan air lebih
banyak dari feses pada umumnya. Selain dari konsistensinya, bisa disertai dengan
mual muntah dan frekuensi dari buang air besar lebih dari 3 kali dalam sehari.
Gastroentritis akut adalah diare yang berlangsung dalam waktu kurang dari 14 hari
yang mana ditandai dengan peningkatan volume, frekuensi, dan kandungan air pada
feses yang paling sering menjadi penyebabnya adalah infeksi yaitu berupa virus,
bakteri dan parasite (Barr & Smith, 2017). Gastroenteritis akut masih menjadi salah
satu penyumbang morbiditas tertinggi hingga saat ini di berbagai negara di dunia dan
khususnya di negara berkembang dengan tingkat sanitasi yang masih tergolong
kurang seperti Indonesia (Depkes RI, 2012). Menurut data dari World Health
Organization (WHO ) tahun 2003, terdapat 1,87 juta orang meninggal akibat
gastroenteritis di seluruh dunia.6 Penanganan dini yang cepat, tepat dan adekuat harus
dilakukan dalam mengatasi gastroenteritis akut agar pasien tidak jatuh ke kondisi
yang lebih parah (Sudoyo et al, 2009).
Dispepsia merupakan keluhan yang umum ditemui dalam praktik seharihari
dan telah dikenal sejak lama dengan definisi yang terus berkembang, mulai dari
semua gejala yang berasal dari saluran cerna bagian atas, sampai dieksklusinya gejala
refluks hingga ke definisi terkini yang mengacu kepada kriteria Roma III (Ford &
Moayyedi, 2013). Infeksi Helicobacter pylori (Hp) saat ini dipandang sebagai salah
satu faktor penting dalam menangani dispepsia, baik organik maupun fungsional,
sehingga pembahasan mengenai dispepsia perlu dihubungkan dengan penanganan
infeksi Hp. Berbagai studi meta-analisis menunjukkan adanya hubungan antara
infeksi Hp dengan penyakit gastroduodenal yang ditandai keluhan/gejala dyspepsia
(Saad et al, 2012). Prevalensi infeksi Hp di Asia cukup tinggi, sehingga perlu
diperhatikan dalam pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan dispepsia. Eradikasi
Hp telah terbukti efektif dalam menghilangkan gejala dispepsia organik, tetapi untuk
dispepsia fungsional masih diperlukan penelitian lebih lanjut (Lee & Chua, 2012).
Pneumonia didefinisikan sebagai peradangan yang mengenai parenkim paru,
distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Pneumonia berdasarkan tempat didapatkannya dibagi dalam dua kelompok utama
yakni, pneumonia komunitas (community aqquired pneumonia, CAP) yang didapat di
masyarakat dan pneumonia nosokomial (hospital aqquired pneumonia, HAP) (PDPI,
2003). Pneumonia komunitas (PK) atau community-acquired pneumonia (CAP)
masih menjadi suatu masalah kesehatan utama tidak hanya di negara yang sedang
berkembang, tetapi juga di seluruh dunia. PK merupakan salah satu penyebab utama
kematian di dunia dan merupakan penyebab kematian terbesar ke-6 di Amerika
Serikat. Di Indonesia, Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 mencatat
kematian akibat pneumonia dan infeksi saluran nafas sebanyak 34 per 100.000
penduduk pada pria dan 28 per 100.000 penduduk pada wanita. Sementara itu,
menurut Riskesdas 2013, pneumonia menduduki urutan ke-9 dari 10 penyebab
kematian utama di Indonesia, yaitu sebesar 2,1% (Sajinadiyasa et al, 2011).
Pneumonia tentunya perlu mendapat perhatian dan penanganan yang tepat, mengingat
penyakit ini masih menjadi permasalahan kesehatan utama di Indonesia. Untuk itu,
diagnosis yang tepat, pemberian terapi antibiotika yang efektif, perawatan yang baik,
serta usaha preventif yang bermakna terhadap penyakit ini perlu dilakukan agar
berkurangnya morbiditas dan mortalitas pada pneumonia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. GASTROENTERITIS
1. DEFINISI
2. EPIDEMIOLOGI
Gastroenteritis akut merupakan masalah yang banyak terjadi pada Negara
berkembang dibanding dengan negara maju yang tingkat higenitas dan sanitasi lebih
baik (How, 2010). Menurut data dari World Health Organization (WHO) dan
UNICEF, terdapat 1,87 juta orang meninggal akibat kasus gastroenteritis setiap
tahunnya di seluruh dunia.6 Secara global, diperkirakan terdapat 179.000.000 insiden
gastroenteritis akut pada orang dewasa tiap tahunnya dengan angka pasien yang
dirawat inap sebanyak 500.000 dan lebih dari 5000 pasien mengalami kematian. Di
amerika serikat setidaknya 8.000.000 dari pasien gastroenteritis akut yang berobat ke
dokter dan lebih dari 250.000 pasien dirawat di rumah sakit menurut data dari The
American Journal of Gastroenterology (Sudoyo et al, 2009). Sedangkan menurut hasil
survey di Indonesia, insiden dari gastroenteritis akut akibat infeksi mencapai 96.278
insiden dan masih menjadi peringkat pertama sebagai penyakit rawat inap di
Indonesia, sedangkan angka kematian pada gastroenteritis akut (Case Fatality Rate)
sebesar 1,92%( Depkes RI 2012 ).
3. ETIOLOGI
Gastroenteritis akut bisa disebabkan oleh berbagai faktor, menurut dari World
Gastroenterology Organisation, ada beberapa agen yang bisa menyebabkan terjadinya
gastroenteritis akut yaitu agen infeksi dan non-infeksi. Lebih dari 90 % diare akut
disebabkan karena infeksi, sedangkan sekitar 10 % karena sebab lain yaitu:
1. Faktor Infeksi
A. Virus
Di negara berkembang dan industrial penyebab tersering dari
gastroenteritis akut adalah virus, beberapa virus penyebabnya antara lain:
a. Rotavirus
Merupakan salah satu terbanyak penyebab dari kasus rawat inap di
rumah sakit dan mengakibatkan 500.000 kematian di dunia tiap
tahunnya, biasanya diare akibat rotavirus derat keparahannya diatas
rerata diare pada umumnya dan menyebabkan dehidrasi. Pada anak-
anak sering tidak terdapat gejala dan umur 3 – 5 tahun adalah umur
tersering dari infeksi virus ini.
b. Human Caliciviruses (HuCVs)
Termasuk famili Calciviridae, dua bentuk umumnya yaitu Norwalk-
like viruses (NLVs) dan Sapporo-like viruses (SLVs) yang sekarang
disebut Norovirus dan sapovirus. Norovirus merupakan penyebab
utama terbanyak diare pada pasien dewasa dan menyebabkan 21 juta
kasus per tahun. Norovirius merupakan penyebab tersering
gastroenteritis pada orang dewasa dan sering menimbulkan wabah dan
menginfeksi semua umur. Sapoviruses umumnya menginfeksi anak –
anak dan merupakan infeksi virus tersering kedua selain Rotavirus
c. Adenovirus
Umumnya menyerang anak – anak dan menyebabkan penyakit pada
system respiratori. adenovirus merupakan family dari Adenoviridae
dan merupakan virus DNA tanpa kapsul, diameter 70 nm, dan bentuk
icosahedral simetris. Ada 4 genus yaitu Mastadenovirus,
Aviadenovirus, Atadenovirus, dan Siadenovirus
B. Bakteri
Infeksi bakteri juga menjadi penyebab dari kasus gastroenteritis akut
bakteri yang sering menjadi penyebabnya adalah Diarrheagenic
Escherichia coli, Shigella species, Vibrio cholera, Salmonella. Beberapa
bakteri yang dapat menyebabkan gastroenteritis akut adalah :
a. Diarrheagenic Escherichia- coli
Penyebarannya berbeda – beda di setiap negara dan paling sering
terdapat di Negara yang masih berkembang. Umumnya bakteri jenis ini
tidak menimbulkan bahaya jenis dari bakterinya adalah :
- Enterotoxigenic E. coli (ETEC)
- Enteropathogenic E. coli (EPEC)
- Enteroinvasive E. coli (EIEC)
- Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
b. Campylobacter
Bakteri jenis ini umumnya banyak pada orang yang sering
berhubungan dengan perternakan selain itu bisa menginfeksi akibat
masakan yang tidak matang dan dapat menimbulkan gejala diare yang
sangat cair dan menimbulkan disentri.
c. Shigella species
Gejala dari infeksi bakteri Shigella dapat berupa hipoglikemia dan
tingkat kematiannya sangatlah tinggi. Beberapa tipenya adalah :
- S. sonnei
- S. flexneri
- S. dysenteriae
d. Vibrio cholera
Memiliki lebih dari 2000 serotipe dan semuanya bisa menjadi
pathogen pada manusia. Hanya serogrup cholera O1 dan O139 yang
dapat menyebabkan wabah besar dan epidemic. Gejalanya yang paling
sering adalah muntah tidak dengan panas dan feses yang
konsistensinya sangat berair. Bila pasien tidak terhidrasi dengan baik
bisa menyebabkan syok hipovolemik dalam 12 – 18 jam dari
timbulnya gejala awal.
e. Salmonella
Salmonella menyebabkan diare melalui beberapa mekanisme.
Beberapa toksin telah diidentifikasi dan prostaglandin yang
menstimulasi sekresi aktif cairan dan elektrolit mungkin dihasilkan.
Pada onset akut gejalanya dapat berupa mual, muntah dan diare berair
dan terkadang disentri pada beberapa kasus.
C. Parasitic agents
Cryptosporidium parvum, Giardia L, Entamoeba histolytica, dan
Cyclospora cayetanensis infeksi beberapa jenis protozoa tersebut
sangatlah jarang terjadi namun sering dihubungkan dengan traveler dan
gejalanya sering tak tampak. Dalam beberapa kasus juga dinyatakan
infeksi dari cacing seperti Stongiloide stecoralis, Angiostrongylus C.,
Schisotoma Mansoni, S. Japonicum juga bisa menyebabkan
gastroenteritis akut.
(World gastroenterology, 2017).
2. Non –Infeksi
A. Malabsorpsi/ maldigesti
Kurangnya penyerapan seperti :
1. Karbohidrat : Monosakrida (glukosa), disakarida (sakarosa)
2. Lemak : Rantai panjang trigliserida
3. Asam amino
4. Protein
5. Vitamin dan mineral
B. Imunodefisiensi
Kondisi seseorang dengan imunodefisiensi yaitu hipogamaglobulinemia,
panhipogamaglobulinemia (Bruton), penyakit granulomatose kronik,
defisiensi IgA dan imunodefisiensi IgA heavycombination.
C. Terapi Obat
Orang yang mengonsumsi obat- obatan antibiotic, antasida dan masih
kemoterapi juga bisa menyebabkan gastroenteritis akut.
D. Lain-lain
Tindakan gastrektomi, terapi radiasi dosis tinggi, sindrom Zollinger-
Ellison, neuropati diabetes sampai kondisi psikis juga dapat menimbulkan
gastroenteritis akut.
(Sudoyo et al, 2009).
4. PATOGENESIS
Pada umumnya gastroenteritis akut 90% disebabkan oleh agen infeksi yang
berperan dalam terjadinya gastroenteritis akut terutama adalah faktor agent dan faktor
host. Faktor agent yaitu daya penetrasi yang dapat merusak sel mukosa, kemampuan
memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan usus halus serta daya lekat
kuman. Faktor host adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap
organisme yang dapat menimbulkan diare akut, terdiri dari faktor-faktor daya tangkis
atau lingkungan internal saluran cerna antara lain: keasaman lambung, motilitas usus,
imunitas, dan lingkungan mikroflora usus (How, 2010), Patogenesis diare karena
infeksi bakteri/parasit terdiri atas:
A. Diare karena bakteri non-invasif (enterotoksigenik)
Diare jenis ini biasanya disebut juga sebagai diare tipe sekretorik dengan
konsistensi berair dengan volume yang banyak. Bakteri yang memproduksi
enterotoksin ini tidak merusak mukosa seperti V. cholerae Eltor,
Eterotoxicgenic E. coli (ETEC) dan C. Perfringens. V.cholerae Eltor
mengeluarkan toksin yang terkait pada mukosa usus halus 15-30 menit
sesudah diproduksi vibrio. Enterotoksin ini menyebabkan kegiatan
berlebihan nikotinamid adenin di nukleotid pada dinding sel usus, sehingga
meningkatkan kadar adenosin 3’-5’-siklik monofosfat (siklik AMP) dalam
sel yang menyebabkan sekresi aktif anion klorida ke dalam lumen usus
yang diikuti oleh air, ion bikarbonat, kation, natrium dan kalium (Sudoyo et
al, 2009).
5. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dari gastroenteritis akut biasanya bervariasi. dari salah satu
hasil penelitian yang dilakukan pada orang dewasa, mual (93%), muntah (81%) atau
diare (89%), dan nyeri abdomen (76%) umumnya merupakan gejala yang paling sering
dilaporkan oleh kebanyakan pasien. Selain itu terdapat tanda-tanda dehidrasi sedang
sampai berat, seperti membran mukosa yang kering, penurunan turgor kulit, atau
perubahan status mental, terdapat pada <10 % pada hasil pemeriksaan. Gejala
pernafasan, yang mencakup radang tenggorokan, batuk, dan rinorea, dilaporkan sekitar
10% (Bresse et al, 2012). Sedangkan gatroenteritis akut karena infeksi bakteri yang
mengandung atau memproduksi toksin akan menyebabkan diare sekretorik (watery
diarhhea) dengan gejala-gejala mual, muntah, dengan atau tanpa demam yang
umumnya ringan, disertai atau tanpa nyeri/kejang perut, dengan feses lembek atau cair.
Umumnya gejala diare sekretorik timbul dalam beberapa jam setelah makan atau
minurnan yang terkontaminasi. Diare sekretorik (watery diarhea) yang berlangsung
beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan
kematian karena kekurangan cairan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau
karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena
kehilangan cairan seseorang akan merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi
cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menumn serta suara menjadi
serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik. Sedangkan
kehilangan bikarbonas dan asam karbonas berkurang yang mengakibatkan penurunan
pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi nafas
lebih cepat dan lebih dalam (pernafasan Kussmaul). Reaksi ini adalah usaha badan
untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH darah dapat kembali normal. Gangguan
kardiovaskular pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan
tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur.
Pasien mulai gelisah muka pucat ujung-ujung ektremitas dingin dan kadang sianosis
karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung (Sudoyo et
al, 2009).
6. DIAGNOSA
Diagnosis gastroenteritis akut dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
Onset, durasi, tingkat keparahan, dan frekuensi diare harus dicatat,
dengan perhatian khusus pada karakteristik feses (misalnya, berair, berdarah,
berlendir, purulen). Pasien harus dievaluasi untuk tanda-tanda mengetahui
dehidrasi, termasuk kencing berkurang, rasa haus, pusing, dan perubahan
status mental. Muntah lebih sugestif penyakit virus atau penyakit yang
disebabkan oleh ingesti racun bakteri. Gejala lebih menunjukkan invasif
bakteri (inflamasi) diare adalah demam, tenesmus, dan feses berdarah.
Makanan dan riwayat perjalanan sangat membantu untuk mengevaluasi
potensi paparan agent. Anak-anak di tempat penitipan, penghuni panti jompo,
penyicip makanan, dan pasien yang baru dirawat di rumah sakit berada pada
risiko tinggi penyakit diare menular. Wanita hamil memiliki 12 kali lipat
peningkatan risiko listeriosis, terutama yang mengkonsumsi olahan daging
beku, keju lunak, dan susu mentah. Riwayat sakit terdahulu dan penggunaan
antibiotik dan obat lain harus dicatat pada pasien dengan diare akut (Barr &
Smith, 2017).
B. Pemeriksaan Fisik
Tujuan utama dari pemeriksaan fisik adalah untuk menilai tingkat
dehidrasi pasien. Umumnya penampilan sakit, membran mukosa kering,
waktu pengisian kapiler yang tertunda, peningkatan denyut jantung dan tanda-
tanda vital lain yang abnormal seperti penurunan tekanan darah dan
peningkatan laju nafas dapat membantu dalam mengidentifikasi dehidrasi.
Demam lebih mengarah pada diare dengan adanya proses inflamasi.
Pemeriksaan perut penting untuk menilai nyeri dan proses perut akut.
Pemeriksaan rektal dapat membantu dalam menilai adanya darah, nyeri dubur,
dan konsistensi feses (Barr & Smith, 2017). Dehidrasi Ringan (hilang cairan
2-5% BB) gambaran klinisnya turgor kurang, suara serak, pasien belum jatuh
dalam presyok. Dehidrasi Sedang (hilang cairan 5-8% BB) turgor buruk, suara
serak, pasien jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat dan
dalam (Bresse et al, 2012). Dehidrasi Berat (hilang cairan 8-10 BB) tanda
dehidrasi sedang ditambah kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot otot
kaku, sianosis (Sudoyono et al, 2009).
C. Pemeriksaan Penunjang
Darah:
- Darah perifer lengkap
- Serum elektrolit: Na+, K+, Cl-
- Analisa gas darah apabila didapatkan tanda-tanda gangguan
keseimbangan asam basa (pernafasan Kusmaull)
- Immunoassay: toksin bakteri (C. difficile), antigen virus (rotavirus),
antigen protozoa (Giardia, E. histolytica).
Feses:
- Feses lengkap (mikroskopis: peningkatan jumiah lekosit di feses pada
inflamatory diarrhea; parasit: amoeba bentuk tropozoit, hypha pada
jamur)
- Biakan dan resistensi feses (colok dubur)
Pemeriksaan penunjang diperlukan dalam penatalaksanaan diare akut
karena infeksi, karena dengan tata cara pemeriksaan yang terarah akan sampai
pada terapi definitif (Sudoyono et al, 2009).
7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan diare akut karena infeksi pada orang dewasa terdiri atas:
rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan, memberikan terapi simptomatik, dan
memberikan terapi definitif.
A. Terapi Rehidrasi
Langkah pertama dalam menterapi diare adalah dengan rehidrasi,
dimana lebih disarankan dengan rehidrasi oral. Akumulasi kehilangan
cairan (dengan penghitungan secara kasar dengan perhitungan berat badan
normal pasien dan berat badan saat pasien diare) harus ditangani pertama.
Selanjutnya, tangani kehilangan cairan dan cairan untuk pemeliharaan. Hal
yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan
akurat, yaitu:
a. Jenis cairan
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena
tersedia cukup banyak di pasaran, meskipun jumlah kaliumnya lebih
rendah bila dibandingkan dengan kadar Kalium cairan tinja. Apabila
tidak tersedia cairan ini, boleh diberikan cairan NaCl isotonik.
Sebaiknya ditambahkan satu ampul Na bikarbonat 7,5% 50 ml pada
setiap satu liter infus NaCl isotonik. Asidosis akan dapat diatasi dalam
1-4 jam. Pada keadaan diare akut awal yang ringan, tersedia di pasaran
cairan/bubuk oralit, yang dapat diminum sebagai usaha awal agar tidak
terjadi dehidrasi dengan berbagai akibatnya. Rehidrasi oral (oralit)
harus mengandung garam dan glukosa yang dikombinasikan dengan
air (Barr & Smith, 2017).
b. Jumlah Cairan
Pada prinsipnya jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan
jumlah cairan yang keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan
dapat dihitung dengan memakai Metode Daldiyono berdasarkan
keadaan klinis dengan skor. Rehidrasi cairan dapat diberikan dalam 1-2
jam untuk mencapai kondisi rehidrasi (Amin, 2015).
8. KOMPLIKASI
9. PROGNOSIS
B. DISPEPSIA
1. DEFINISI
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen
bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala
berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah
makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan
sendawa (Miwa et al, 2012). Untuk dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas
harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam
bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari
pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi.
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda
bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-
negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan,
Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah
dispepsia fungsional (Miwa et al, 2012). Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada
550 pasien dispepsia dalam beberapa senter di Indonesia pada Januari 2003 sampai
April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis;
6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus (Syam et al, 2006). Di
Indonesia, data prevalensi infeksi Hp pada pasien ulkus peptikum (tanpa riwayat
pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-100%
dan untuk pasien dispepsia fungsional sebanyak 20- 40% dengan berbagai metode
diagnostik (pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi) (Rani & Fauzi, 2006).
Prevalensi infeksi Hp pada pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan endoskopik
di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia (2003-2004) ditemukan
sebesar 10.2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makasar tahun 2011 (55%),
Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%),
serta prevalensi terendah di Jakarta (8%) (Hidayati et al, 2013).
3. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh Hp dan obat-obatan anti-
inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui (Ford & Moayyedi, 2013).
Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain gangguan
motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung, hipersensitivitas viseral, dan
faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik, gaya
hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya (Futagami et
al, 2011).
a.Peranan gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas lambung
dalam menerima makanan (impaired gastric accommodation), inkoordinasi
antroduodenal, dan perlambatan pengosongan lambung. Gangguan motilitas
gastroduodenal merupakan salah satu mekanisme utama dalam patofisiologi
dispepsia fungsional, berkaitan dengan perasaan begah setelah makan, yang
dapat berupa distensi abdomen, kembung, dan rasa penuh (Miwa et al, 2012).
b. Peranan hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia
fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral
terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal
lambung bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau memperberat gejala
dyspepsia (Miwa et al, 2012).
c.Peranan faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam
dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan dengan
tingkat keparahan dispepsia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa depresi
dan ansietas berperan pada terjadinya dispepsia fungsional (Miwa et al, 2012).
d. Peranan asam lambung
Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia fungsional.
Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam dari beberapa
penelitian pasien dispepsia fungsional. Data penelitian mengenai sekresi asam
lambung masih kurang, dan laporan di Asia masih kontroversial (Miwa et al,
2012).
e.Peranan infeksi Hp
Prevalensi infeksi Hp pasien dispepsia fungsional bervariasi dari 39% sampai
87%. Hubungan infeksi Hp dengan ganggguan motilitas tidak konsisten namun
eradikasi Hp memperbaiki gejala-gejala dispepsia fungsional (Lee & Chua,
2012). Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter
pylori Penanda biologis seperti ghrelin dan leptin, serta perubahan ekspresi
muscle-specific microRNAs berhubungan dengan proses patofisiologi dispepsia
fungsional, yang masih perlu diteliti lebih lanjut (Miwa et al, 2012).
4. DIAGNOSA
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan
fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis
erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu
kepada kriteria Roma III.Kriteria Roma III belum divalidasi di Indonesia. Konsensus
Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis
Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas
yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional (Miwa et al, 2012).
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau
lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
• Nyeri epigastrium
• Rasa terbakar di epigastrium
• Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
• Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir
dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria Roma III
membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain syndrome
dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa
terdapat tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dispepsia.
Gambar 1.1 Alur diagnosis dyspepsia sebelum diinvestigasi
Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasienpasien
yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu:
• Penurunan berat badan (unintended)
• Disfagia progresif
• Muntah rekuren atau persisten
• Perdarahan saluran cerna
• Anemia
• Demam
• Massa daerah abdomen bagian atas
• Riwayat keluarga kanker lambung
• Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun
Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi
terlebih dahulu dengan endoskopi (Miwa et al, 2012).
Tes Diagnosis infeksi Hp dapat dilakukan secara langsung melalui endoskopi
(rapid urease test, histologi, kultur dan PCR) dan secara tidak langsung tanpa
endoskopi (urea breath test, stool test, urine test, dan serologi). Urea breath test saat
ini sudah menjadi gold standard untuk pemeriksaan Hp, salah satu urea breath test
yang ada antara lain 13CO2 breath analyzer. Syarat untuk melakukan pemeriksaan
Hp, yaitu harus bebas antibiotik dan PPI (proton-pump inhibitor) selama 2 minggu.
Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan: situasi klinis, prevalensi infeksi,
prevalensi infeksi dalam populasi, probabilitas infeksi prates, perbedaan dalam
performa tes, dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil tes, seperti
penggunaan terapi antisekretorik dan antibiotik.
C. PNEUMONIA
1. DEFINISI
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim
paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius
dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat (Sudoyo, 2005). Pnemunonia dibedakan menjadi dua
yaitu pneumonia kominiti dan pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas
adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit, sedangkan
pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam atau
lebih setelah dirawat di rumah sakit (Dahlan, 2009). Pneumonia dapat
diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling sering ialah
menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya pneumonia
(pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial), tetapi pneumonia juga
dapat diklasifikasikan berdasarkan area paru yang terinfeksi (lobar pneumonia,
multilobar pneumonia, bronchial pneumonia, dan intertisial pneumonia) atau
agen kausatif. Pneumonia juga sering diklasifikasikan berdasarkan kondisi yang
mendasari pasien, seperti pneumonia rekurens (pneumonia yang terjadi
berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik), pneumonia aspirasi
(alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada gangguan imun (pneumonia pada
pasien tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS) (Dunn, 2007).
2. ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri,
virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan
pneumonia rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan
beberapa kota di Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita
komunitas adalah bakteri gram negative (Dahlan, 2009). Penyebab paling
sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan nosokomial:
a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma
pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli,
Klebsiella pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus,
anaerob oral.
(Wilson, 2012).
3. PATOGENESIS
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan
(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan
yang berinteraksi satu sama lain (Dahlan, 2009). Dalam keadaan sehat, pada
paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan
oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru
merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang
biak dan berakibat timbulnya sakit (Mandell et al, 2007).
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:
1) Inokulasi langsung
2) Penyebaran melalui darah
3) Inhalasi bahan aerosol
4) Kolonosiasi di permukaan mukos
Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara
dapat mencapai brokonsul terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses
infeksi.
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian
terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme,
hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur
(50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan
pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri
yang sanagt tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret
(0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan
terjadi pneumonia (Dahlan, 2009).
Gambar 1.2 Patogenesis pneumonia oleh bakteri Pneumonococcus
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel
PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis
sebelum terbentuk antibodi. Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan
alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis
sistoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian terjadi proses
fagositosis. pada waktu terjadi perlawanan antara host dan bakteri maka
akan nampak empat zona (Gambar 1.2) pada daerah pasitik parasitik terset
yaitu : 1) Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan
edema; 2) Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN
dan beberapa eksudasi sel darah merah; 3) Zona konsolidasi yang luas (grey
hepatization): daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah
PMN yang banyak; 4) Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi
dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag (PDPI,
2003).
4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat,
batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum
berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak.
Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit
dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan
retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu,
kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak
menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara
pernafasan bronkial, pleural friction rub (Dahlan, 2009).
5. DIAGNOSIS
Diagnosis pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit yang
lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks
terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih
gejala di bawah ini: a. Batuk-batuk bertambah b. Perubahan karakteristik
dahak/purulen c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam d. Pemeriksaan
fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki e.
Leukosit > 10.000 atau < 4500 (Lutffiya et al, 2010). Penilaian derajat
keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat dilakukan dengan
menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient
Outcome Research Team (PORT) (PDPI, 2003).
Gambar 1.3 Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT
PSI membagi kelompok CAP menjadi lima kelas berdasarkan risiko
mortalitas yang dimiliki pasien, dimana kelas I-III merupakan pasien dengan
mortalitas rendah, kelas IV merupakan pasien dengan mortalitas sedang dan
kelas V merupakan pasien dengan mortalitas tinggi (Wexner Medical
Cneter, 2017). PSI juga digunakan untuk menentukan pasien akan diterapi
dengan rawat jalan atau rawat inap, seperti yang tertera pada tabel dibawah
ini :
7.PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiologi Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral)
merupakan pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk
menegakkan diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa
infiltrat sampai konsoludasi dengan air bronchogram, penyebaran
bronkogenik dan intertisial serta gambaran kavitas (Dahlan, 2009).
2. Laboratorium Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 -
40.000 /ul, Leukosit polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun
dapat pula ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the
left, dan LED meningkat.
3. Mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan
kultur darah untuk mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan
koagulasi antigen polisakarida pneumokokkus.
4. Analisa Gas Darah Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada
beberapa kasus, tekanan parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan
pada stadium lanjut menunjukkan asidosis respiratorik.
(Lutfiyya et al, 2010).
8. KOMPLIKASI
Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan
komplikasi. Akan tetapi, beberapa pasien, khususnya kelompok pasien
risiko tinggi, mungkin mengalami beberapa komplikasi seperti bakteremia
(sepsis), abses paru, efusi pleura, dan kesulitan bernapas. Bakteremia dapat
terjadi pada pasien jika bakteri yang menginfeksi paru masuk ke dalam
aliran darah dan menyebarkan infeksi ke organ lain, yang berpotensi
menyebabkan kegagalan organ. Pada 10% pneumonia pneumokokkus
dengan bakteremia dijumpai terdapat komplikasi ektrapulmoner berupa
meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, dan empiema.
Pneumonia juga dapat menyebabkan akumulasi cairan pada rongga pleura
atau biasa disebut dengan efusi pleura. Efusi pleura pada pneumonia
umumnya bersifat eksudatif. Pada klinis sekitar 5% kasus efusi pleura yang
disebabkan oleh P. pneumoniae dengan jumlah cairan yang sedikit dan
sifatnya sesaat (efusi parapneumonik). Efusi pleura eksudatif yang
mengandung mikroorganisme dalam jumlah banyak beserta dengan nanah
disebut empiema. Jika sudah terjadi empiema maka cairan perlu di drainage
menggunakan chest tube atau dengan pembedahan (Djojodibroto, 2013).
9. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah
memberikan antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia.
Pemberian antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap
kuman penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan
antibiotik empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi
pasien (Dahlan, 2009). Terapi antibiotika empiris menggambarkan tebakan
terbaik berdasarkan pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan
organisme, karena hasil mikrobiologis umumnya tidak tersedia selama 12-
72 jam. Maka dari itu membedakan jenis pneumonia (CAP atau HAP) dan
tingkat keparahan berdasarkan kondisi klinis pasien dan faktor predisposisi
sangatlah penting, karena akan menentukan pilihan antibiotika empirik yang
akan diberikan kepada pasien (Jeremy, 2007). Tindakan suportif meliputi
oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa (SaO2 > 92%) dan resusitasi
cairan intravena untuk memastikan stabilitas hemodinamik. Bantuan
ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas positif kontinu
(continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis mungkin
diperlukan pada gagal napas. Bila demam atau nyeri pleuritik dapat
diberikan antipiretik analgesik serta dapat diberika mukolitik atau
ekspektoran untuk mengurangi dahak (Dahlan, 2009).
1. Pilihan Antibiotika
Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor
sensitivitas bakteri terhadap antibiotika, keadaan tubuh pasien, dan
faktor biaya pengobatan (Nuryansni, 2009). Pada infeksi pneumonia
(CAP dan HAP) seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus
didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan
perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk
infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang didasarkan pada luas
spektrum kerjanya tidak dibenarkan karena hasil terapi tidaklebih unggul
daripada hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit, sedangkan
superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotika berspektrum luas
(Dahlan, 2009).
Berdasarkan atas panduan penatalaksanaan pasien dengan CAP oleh
American Thoracic Society (ATS), untuk pasien yang memerlukan
perawatan di rumah sakit dengan penyakit kardiopulmoner dengan atau
tanpa faktor modifikasi, terapi yang dianjurkan adalah terapi dengan
golongan β-lactam (cefotaxim, ceftriaxon, ampicillin/sulbactam, dosis
tinggi ampicillin intravena) yang dikombinasi dengan makrolide atau
doksisiklin oral atau intravena, atau pemberian fluroquinolon
antipneumococcal intravena saja. Begitu juga panduan penatalaksanaan
yang dikeluarkan oleh Infectious Diseases Society of America (IDSA)
menganjurkan pemberian cephalosporin ditambah makrolide atau
βlactam/β-lactamase inhibitor ditambah makrolide atau fluroquinolon
saja. Penatalaksanaan yang baik terhadap bakteriemik streptococcal
pneumonia akan secara signifikan menurunkan angka kematian pasien
CAP. Terdapat isu penting tentang penggunaan dual terapi
meningkatkan outcome yang lebih baik dibandingkan denganmonoterapi
pada pasien CAP. Dual terapi yang dimaksud adalah kombinasi antara
regimen yang terdiri dari antibiotika β-lactam, makrolide, atau
fluroquinolon. Sedangkan monoterapi yang dimaksud adalah
penggunaan golongan β-lactam atau fluoroquinolon sebagai agen
tunggal (Allen, 2004).
2. Kegagalan Terapi
Kepekaan kuman terhadap antibiotika tertentu tidak dapat menjamin
efektivitas klinis. Faktor berikut dapat menjadi penyebab kegagalan
terapi: a. Dosis kurang
Dosis suatu antibiotika seringkali bergantung dari tempat infeksi,
walaupun kuman penyebanya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G
yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh Pneumococcus jauh
lebih tinggi daripada dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi
saluran napas bawah yang disebabkan oleh kuman yang sama.
b. Masa terapi yang kurang
Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk setiap jenis infeksi perlu
diberikan antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah
ditinggalkan. Pada umunya para ahli cenderung melakukan
individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapai respon klinik
yang memuaskan. Namun untuk penyakit tertentu seperti tuberkulosis
paru tetap dipertahankan masa terapi yang cukup walaupun perbaikan
klinis cepat terlihat.
c.Kesalahan dalam menetapkan etiologi
Demam tidak selalu disebabkan oleh kuman, virus, jamur, parasit, reaksi
obat, dan lain-lain dapat meningkatkan suhu badan. Pemberian
antibiotika yang lazim diberikan dalam keadaan ini tidak bermanfaat.
d. Pilihan antibotika yang kurang tepat
Suatu daftar antibiotika yang dinyatakan efektif dalam uji sensitivitas
tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa setiap antibiotika akan
memberikan aktivitas klinik yang sama. Disini dokter harus dapat
mengenali dan memilih antibiotika yang secara klinis merupakan obat
terpilih untuk suatu kuman tertentu. Sebagai contoh obat terpilih untuk
infeksi S. faecalis adalah ampisilin, walaupun secara in vitro kuman
tersebut juga dinyatakan sensitif terhadap sefamandol atau gentamisin.
e.Faktor pasien
Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme pertahanan tubuh
(selular dan humoral) merupakan faktor penting yang menyebabkan
gagalnya terapi antibotika. Sebagai contoh obat imunosupresan, AIDS
(National Health Services, 2014).
10. PENCEGAHAN
Di luar negeri di anjurkan pemberian vaksin influenza dan
pneumokokus pada orang dengan resiko tinggi. Vaksinasi sampai saat ini
masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin
tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut,
penyakit kronik, diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll.
Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping
vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi
yaitu hipersensitivitas tipe 3. Di samping itu vaksin juga perlu di berikan
untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik,
dan usia diatas 65 tahun. Selain vaksin, pola hidup sehat juga termasuk tidak
merokok juga sangat direkomendasikan (Center of Disease Control and
Prevention : Pneumonia, 2015).
11. PROGNOSIS
Kejadian PK di Amerika Serikat adalah 3,4-4 juta kasus per tahun, dan
20% diantaranya perlu dirawat di RS. Secara umum, angka kematian
pneumonia oleh pneumokokkus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat
pada lanjut usia dengan kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenza di
Amerika Serikat merupakan penyebab kematian terbesar ke-6 dengan
kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada lanjut usia, yaitu sebesar 89%.
Mortalitas pasien PK yang dirawat di ICU adalah sebesar 20%. Mortalitas
yang tinggi ini berkaitan dengan faktor modifikasi yang ada pada pasien
(Dahlan, 2009).
BAB III
LAPORAN KASUS
No RM : 00360013
Ruangan : Jabal Rahmah
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Syaiful
Umur : 52 tahun
Status kawin : Kawin
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl Rawa Saudara No.174, Medan Denai, Medan
ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Sesak Nafas
Telaah :
Pasien datang ke IGD RS Haji Medan dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari yang
lalu. Sebelumnya pasien berobat ke klinik dr. Armon Rahimi Sp.PD-KPTI 1 bulan yang lalu
dan dirujuk ke RS Haji dengan pembengkakan jantung sebelah kiri. 3 bulan yang lalu pasien
mengeluh sesak saat melakukan aktivitas seperti biasa atau berlebihan begitu juga saat pasien
beristirahat dengan posisi tidur terlentang, sehingga pasien lebih suka tidur dengan posisi
duduk dibantu dengan beberapa bantal. Sesak muncul kadang disertai nyeri pada dada kiri
pasien. Menurut istrinya, pasien sebelumnya berobat ke RS Mitra Medika dan menurut hasil
lab pasien mengalami gangguan pada ginjalnya. Pasien juga mengeluhkan terjadi
pembengkakan pada tungkai bawah kanan dan kiri., pasien juga mengeluhkan sering batuk -
batuk, batuk tidak berdahak dan batuk paling sering terjadi pada malam hari. Saat pasien
tertidur, pasien sering terbangun karena merasa sesak dan tidak bisa bernafas yang membuat
tidur pasien terganggu. Sejak masih muda, pasien memiliki kebiasaan bergadang dan 6 bulan
sebelum sakit menurut istrinya pasien suka minum ramuan jamu. Pasien juga mengeluhkan
mual dan sering mengalami nyeri yang berulang pada bagian ulu hati yang membuat nafsu
makan pasien menurun. 10 hari yang lalu pasien BAB berwarna hitam, dan 3 hari sebelum
masuk RS pasien BAB bercampur darah.
BAB : 3X/ hari, kuning kecoklatan dengan konsistensi lunak dan berampas. 10 hari
sebelumnya BAB nya berwarna hitam.
BAK : 4-5x/ hari (2000 Ml pada urin bag), warna kuning jernih
RPT : DM sejak 5 tahun yang lalu, Hipertensi sejak 6 bulan yang lalu
RPK : tidak ada
RPO : Captopril, Furosemide
R. Alergi : tidak ada
R. Kebiasaan : Sering minum ramuan jamu dan begadang.
1. COR
3. TRACTUS RESPIRATORUS Oedema : Tidak
Batuk : Ya Berak dempul : Tidak
Berdahak : Tidak
Haemaptoe : Tidak 5. GINJAL DAN SALURAN KENCING
Sakit dada waktu bernafas : Ya Muka Sembab : Tidak
Stridor : Ya Kolik : Tidak
Sesak nafas : Ya Miksi (freq,warna,sebelum/sesudah
Pernafasan cuping hidung : Tidak miksi, mengedan) : 4-5x/hari, 2000
Suara Parau : Tidak Ml, Kuning jernih memakai kateter
Polyuria : Ya
4. TRACTUS DIGESTIVUS Sakit pinggang : Tidak
A. LAMBUNG memancar ke
Sakit di Epigastrium sebelum / Oliguria : Tidak
sesudah makan : Anuria : Tidak
Ya Polakisuria : Tidak
Rasa panas di Epigastrium : Tidak
Muntah(freq, warna, isi, dll): Tidak 6. SENDI
Hematemesis : Tidak Sakit : Tidak
Ructus : Tidak Sendi Kaku : Tidak
Sendawa : Tidak Merah : Tidak
Anoreksia : Tidak Sakit digerakan : Tidak
Mual-mual : Ya Bengkak : Tidak
Dysphagia : Tidak Stand Abnormal : Tidak
Foetor ex ore : Tidak
Pyrosis : Tidak 7. TULANG
Sakit : Tidak
B. USUS Bengkak : Tidak
Sakit di abdomen : Ya Fraktur Spontan : Tidak
Borborygmi : Tidak Deformitas : Tidak
Obstupasi : Tidak
8. OTOT
Sakit : Tidak
Defekasi (freq, warna, konsistensi ) Kebas-kebas : Tidak
: Sejak 10 hari yang lalu berdarah, 3 Kejang-kejang : Tidak
hari yang lalu sampai sekarang lunak Atrofi : Tidak
berampas 2x/ hari
Diare(freq,warna, konsistensi):Tidak 9. DARAH
Melena : Ya Sakit dimulut dan lidah : Tidak
Tenesmi : Tidak Mata berkunang-kunang : Ya
Flatulensi : Tidak Pembengkakan kelenjar : Tidak
Haemorhoid : Tidak Merah di kulit : Tidak
Muka Pucat : Ya
C. HATI DAN SALURAN EMPEDU Bengkak : Tidak
Sakit perut kanan : Ya Penyakit Darah : Tidak
Memancar ke Pendarahan sub kutan : Tidak
Kolik : Tidak
Ikterus : Tidak 10. ENDOKRIN
Gatal dikulit : Tidak a. Pankreas
Asites : Tidak Polidipsi : Ya
Polifagi : Tidak
Poliuri : Ya 12. SUSUNAN SYARAF
Pruritus : Tidak Hipoastesia : Tidak
Pyorrhea : Tidak Paraestesia : Ya
b. Tiroid Paralisis : Tidak
Nervositas : Tidak Sakit Kepala : Tidak
Exoftalmus : Tidak Gerakan Tics : Tidak
Struma : Tidak
Miksodem : Tidak 13. PANCA INDRA
c. Hipofisis Penglihatan : Buram
Akromegali : Tidak Pendengaran : Normal
Distrifi adipos : Tidak Penciuman : Normal
kongenital Pengecapan : Normal
Perasaan : Normal
11. FUNGSI GENITALIA
Menarche :- 14. PSIKIS
Siklus Haid :- Mudah tersinggung : Tidak
Menopause :- Takut : Tidak
G/P/A :- Gelisah : Tidak
Ereksi : Tidak Pelupa : Tidak
ditanyakan Lekas Marah : Tidak
Libido Seksual : Tidak
ditanyakan 15. KEADAAN SOSIAL
Coitus : Tidak Pekerjaan : Wiraswasta
ditanyakan Hygiene : Bersih
ANAMNESA INTOKSIKASI :
Tidak ada
ANAMNESA MAKANAN :
Nasi : Ya Freq : 3x/hari
Ikan : Tidak
Sayuran : Ya
Daging : Tidak
ANAMNESA FAMILY :
Penyakit-penyakit Family :-
Penyakit seperti orang sakit :-
Anak-anak 1, Hidup 1, Mati 0
STATUS PRAESENS :
KEADAAN UMUM
Sensorium : Apatis
Tekanan Darah : 172/100 mmHg
Temperatur : 36,8° C
Pernafasan : 22x/menit, Reg/ Irreg, Tipe Pernafasan
Nadi : 65x/menit, Equal / Inequal, Teg / Vol ( Keras, sedang,
lemah/besar, sedang, kecil ) Gel, Celler, Tardus
KEADAAN PENYAKIT :
Anemi : Ya
Ikterus : Tidak
Sianosis : Tidak
Dispnoe : Ya
Edema : Ya
Eritema : Tidak
Turgor : Baik
Gerakan aktif : Menurun
Sikap Tidur paksa : Tidak
KEADAAN GIZI :
BB : 77 KG
TB : 170 CM
RBW = 110% Kesan : Overweight
IMT = 26,6 kg/cm² Kesan : Obesitas level 1
PEMERIKSAAN FISIK
a. Muka
1. KEPALA
Sembab : Tidak
Pertumbuhan rambut : Normal
Pucat : Ya
Sakit kalau dipegang : Tidak
Kuning : Tidak
Perubahan Lokal : Tidak
Parase : Tidak
Gangguan local : Tidak Gerakan : Normal
Exoftalmus : Tidak
Ptosis : Tidak
Ikterus : Tidak
Anemia : Ya
Reaksi Pupil : Isokor
Gangguan local : Tidak
b. Mata
Stand Mata : Normal
c. Telinga Inspeksi
Sekret : Tidak Struma : Tidak
Radang : Tidak Kelenjar Bengkak : Tidak
Bentuk : Pulsasi Vena : Ya
Normal Torticolis : Tidak
Atrofi : Tidak Venektasi : Tidak
Pyrroe Alveolaeris : Tidak
d. Hidung
Sekret : Tidak Palpasi
Bentuk : Tidak Posisi Trachea :
Benjolan-benjolan : Tidak Normal
Sakit / Nyeri Tekan : Tidak
e. Bibir TVJ :
Sianosis : Tidak R+4CM H20
Pucat : Tidak Kosta Servikalis : Tidak
Kering : Tidak
Radang : Tidak 3. THORAX DEPAN
Inspeksi
f. Gigi Bentuk :
Karies : Tidak Fusiformis
Pertumbuhan : Tidak Simetris/asimetris :
Jumlah : Tidak Asimetris
dihitung Bendungan Vena : Tidak
Ketinggalan bernafas : Tidak
g. Lidah Venektasi : Tidak
Kering : Tidak Pembengkakan : Kiri
Pucat : Tidak (+) Kanan (-)
Beslag : Tidak Pylasi Verbal : Tidak
Tremor : Tidak Mammae : Tidak
Palpasi
h. Tonsil
Nyeri Tekan : Ka = Ki
Merah : Tidak
Fremitus Suara : Ka = Ki
Bengkak : Tidak
Fremissement : Tidak
Beslag : Tidak
Iktus : Teraba
Membran : Tidak
a. Lokalisasi : ICS VI linea
Agina Lacunaris : Tidak
axillaris anterior sinistra
b. Kuat Angkat : Ya
2. LEHER
c. Melebar : Ya
d. Iktus Negatif : Tidak Nyeri Tekan : Tidak
Perkusi Fremitus Suara : Ka=Ki
Suara Perkusi Paru : Redup Penonjolan-penonjolan : Tidak
(paru ka = ki bagian bawah)
Batas Paru Hati : Perkusi
a. Relatif : ICS V Suara perkusi paru : Redup
linea midclavicularis sinistra (paru ka=ki bagian bawah)
b. Absolut : ICS V Gerakan bebas : 2 cm
linea midclavicularis dextra Batas bawah paru :
Gerakan Bebas : 2 cm a. Kanan :
Batas Jantung IX Proc.Spin. Vert. Thoracal
a. Atas : ICS II b. Kiri :
linea parasternalis sinistra IX Proc.Spin.Vert. Thoracal
b. Kanan : ICS V Auskultasi
linea parasternalis dextra Suara Pernafasan :
c. Kiri : ICS VI Vesikuler Ka = Ki
linea axillaris anterior sinistra
Suara Tambahan : Ronki Basah
Auskultasi (paru ka = ki bagian bawah)
Paru-Paru
Suara Pernafasan :
Vesikuler
Suara Tambahan : Ya
a. Ronki Basah : (+)
(paru ka = ki bagian bawah)
b. Ronki Kering :-
c. Krepitasi :-
d. Gesek Pleura :-
Cor
Heart Rate :
65x/menit
Suara Katup :
M1 > M2 A2 > A1
P2 > P1 A2 > P2
Suara Tambahan - Nyeri tekan pada regio epigastric
Desah Jantung Fungsionil : Ya, - Nyeri tekan yang pada region lumbal
diastolik sinistra
Gesek Percardia : Tidak
5. ABDOMEN
4. THORAX BELAKANG
Inspeksi Inspeksi
Bentuk : Bengkak : Tidak
Fusiformis Venektasi : Tidak
Simetris / Asimetris : Gembung : Tidak
Simetris Sirkulasi Collateral : Tidak
Benjolan-benjolan : Tidak Pulsasi : Tidak
Scapulae alta : Tidak
Ketinggalan bernafas : Tidak Palpasi
Venektasi : Tidak Defens Muscular : Tidak
Nyeri Tekan : Ya
Palpasi Lien : Normal
Ren : Normal
Hepar Teraba : Tidak
Perkusi
Pekak Hati : Ya
Pekak Beralih : Tidak
Auskultasi
Peristaltik usus : 10x/menit
6. GENITALIA
Luka : Tidak
Sikatrik : Tidak
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Nanah : Tidak
RUTIN :
Hernia : Tidak
7. EKSTREMITAS
Atas Dexra Sinistra
Bengkak : Tidak Tidak
Merah : Tidak Tidak
Stand Abnormal : Tidak Tidak
Gangguan Fungsi : Tidak Tidak
Tes Rumpelit : Tidak Tidak
Refleks
Biceps : ++ ++
Triceps : ++ ++
Radio Periost : + +
STATUS PASIEN
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : Muka pucat (+), Konjungtiva Anemis (+ | +), Sklera Ikterik (- | -)
Leher : Peningkatan TVJ
Thorax : Inspeksi : Bentuk Fusiformis, Asimetris (Thorax Ki > Ka)
Palpasi : Nyeri Tekan Ka = Ki (+), Iktus teraba
DIFFENTIAL DIAGNOSA :
1. CHF ec Hipertensi + CKD + Anemia + DM Tipe II+ Hipertensi + PSMBA ec Ulkus
Gaster
2. CHF ec Aortic Stenosis + CKD + Anemia + DM Tipe II + Hipertensi + PSMBA ec
Ulkus Gaster
3. CHF ec Mitral Stenosis + CKD + Anemia + DM Tipe II + Hipertensi + PSMBA ec Ulkus
Gaster
4. CHF ec Iskemia + CKD + Anemia + DM Tipe II + Hipertensi + PSMBA ec Ulkus Gaster
5. CHD ec Kardiomiopati Dilatasi + CKD + Anemia + DM Tipe II + Hipertensi + PSMBA
ec Ulkus Gaster
DIAGNOSA SEMENTARA :
CHF ec Hipertensi + CKD + Anemia + DM Tipe II+ Hipertensi + PSMBA ec Ulkus Gaster
TERAPI :
Darah lengkap
Endoskopi
USG Abdomen
Gastroskopi
Rontgen Thorax
EKG
BAB IV
DISKUSI
TEORI KASUS
Anamnesis
1. Dispnea Saat Aktivitas, (+) (+)
Istirahat, Tidur dan
Berbaring.
2. Batuk (+) (+)
3. Paroksismal nokturnal (+) (+)
dispneu
4. Mudah Lelah (+) (+)
5. Nafsu Makan Menurun (+) (+)
Pemeriksaan Fisik
1. Leher
Peningkatan JVP (+) (+)
2. Paru
Edem paru (+) (+)
Efusi pleura (+) (-)
Ronki basah paru (+) (+)
3. Jantung
Takikardi (+) (-)
Kardiomegali (+) (+)
Desah (Diastolik) (+/-) (+)
Gallop (+) (-)
4. Eksremitas
Edema pada pergelangan kaki (+) (+)
5. Abdomen
Asites (+) (-)
Pemeriksaan penunjang
1. EKG
Takikardi (+) Tidak Dilakukan
Atrial Fibrilasi (+) Tidak Dilakukan
Aritmia Ventrikel (+/-) Tidak Dilakukan
Iskemi/infark (+/-) Tidak Dilakukan
2. Foto toraks
Efusi Pleura (+/-) Tidak Dilakukan
kardiomegali (+/-) Tidak Dilakukan
Hipertrofi ventrikel (+/-) Tidak Dilakukan
Edema intertisial (+/-) Tidak Dilakukan
Pengobatan
1. Medikamentosa
Diuretik
Loop diuretik Furosemide (+)
Furosemid
Aldosteron Antagonist Spironolakton (+)
Spironolakton
ACE Inhibitor (+)
(Captopril)
ARB (-)
(Candesarta)
β-Blocker (-)
(Bisoprolol)
Vasodilator ISDN (+)
Isosorbide Dirutrate (ISDN)
Dobutamin , Dopamine (-)
2. Non medimentosa
Istirahat (+)
BAB V
KESIMPULAN
Allen JN. 2004. Eusinophilic Lung Disease, dalam James CD, dkk (editor). Baum's
Textbook of Pulmonary Diseases. Philadephia: Lippincott W & W
Barr, w. and smith, a. (2017). [online] Available at: http://Acute Diarrhea in Adults
WENDY BARR, MD, MPH, MSCE, and ANDREW SMITH, MD Lawrence
Family Medicine Residency, Lawrence, Massachusetts [Accessed 5 Mar. 2017].
Bresee, J., Bulens, S., Beard, R., Dauphin, L., Slutsker, L., Bopp, C., Eberhard, M.,
Hall, A., Vinje, J., Monroe, S. and Glass, R. (2012). The Etiology of Severe 50
Acute Gastroenteritis Among Adults Visiting Emergency Departments in the
United States. Journal of Infectious Diseases, 205(9), pp.1374-1381.
Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Indonesia
Depkes RI., 2012. Angka Kejadian Gastroenteritis Masih Tinggi.
http://www.depkes.go.id/index.php [Accessed 5 Mar. 2017 ]
Harmon RC, Peura DA. Evaluation and management of dyspepsia. Therap Adv
Gastroenterol 2010;3:87-98
Hidayati PS, Iswan Abbas Nusi IA, Maimunah U. Hubungan Seropositivitas CagA
H.pylori dengan Derajat Keparahan Gastritis pada Pasien Dispepsia. Divisi
Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR – RSU Dr
Soetomo Surabaya; 2013. (Unpublished manuscript).
How, C. (2010). Acute gastroenteritis: from guidelines to real life. Clinical and
Experimental Gastroenterology, p.97
Jeremy, P.T. At Glance Sistem Repiratory Edisi II. 2007. Jakarta : Erlangga Medical
Series
Nuryasni. Pola Kepekaan Bakteri Gram Negatif pada Penderita Infeksi Saluran
Pernapasan Bawah terhadap Amoksisilin di Laboraturium Mikrobiologi Klinik
Departemen Mikrobiologi FK UI tahun 2001-2005. 2009. Program Sarjana
Pendidikan Dokter Umum. Universitas Indonesia : Jakarta.
Rani AA, Fauzi A. Infeksi Helicobacter pylori dan penyakit gastro-duodenal. In:
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006:331-
6
Sajinadiyasa GK, Rai IB, Sriyeni LG. 2011. Perbandingan antara Pemberian
Antibiotika Monoterapi dengan Dualterapi terhadap Outcome pada Pasien
Community Acquired Pneumonia (CAP) di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. J
Peny Dalam;12:13-20
Sudoyo, 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit FK UI
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II eidsi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009
Syam AF, Abdullah M, Rani AA, et al. Evaluation of the use of rapid urease test:
Pronto Dry to detect H pylori in patients with dyspepsia in several cities in
Indonesia. World J Gastroenterol 2006;12:6216-8.
Wilson LM. Penyakit pernapasan restriktif dalam Price SA, Wilson LM. 2012.
Patofisiologi: konsep klinis prosses-proses penyakit E/6 Vol.2. Jakarta:EGC.
Hal:796-815