Anda di halaman 1dari 51

Laporan Kasus

GASTROENTERITIS DENGAN DEHIDRASI SEDANG


+ DISPEPSIA + PNEMONIA

Pembimbing :
dr. Alwinsyah Abidin, Sp. PD-KP

Disusun Oleh :
Novan Triansyah Adi khifa L (20360014)

Novrizal Muhammad F (20360015)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU PENYAKIT


DALAM RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
SUMATERA UTARA TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang
berjudul “Gastroenteritis dengan dehidrasi sedang + Dispepsia +Pneomonia“.
Laporan kasus ini Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Haji Medan Sumatera Utara.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar
di SMF Ilmu Penyakit Dalam, khususnya dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP atas
bimbingannya selama berlangsungnya pendidikan di bagian Ilmu Penyakit Dalam
ini sehingga kami dapat menyelesaikan tugas “Laporan Kasus” ini. Kami menyadari
bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki laporan kasus
ini dan untuk melatih kemampuan menulis makalah untuk selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan Laporan Kasus ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh
pendidikan.

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Medan, 15 April 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Gastroenteritis adalah suatu keadaan dimana feses hasil dari buang air besar
(defekasi) yang berkonsistensi cair ataupun setengah cair, dan kandungan air lebih
banyak dari feses pada umumnya. Selain dari konsistensinya, bisa disertai dengan
mual muntah dan frekuensi dari buang air besar lebih dari 3 kali dalam sehari.
Gastroentritis akut adalah diare yang berlangsung dalam waktu kurang dari 14 hari
yang mana ditandai dengan peningkatan volume, frekuensi, dan kandungan air pada
feses yang paling sering menjadi penyebabnya adalah infeksi yaitu berupa virus,
bakteri dan parasite (Barr & Smith, 2017). Gastroenteritis akut masih menjadi salah
satu penyumbang morbiditas tertinggi hingga saat ini di berbagai negara di dunia dan
khususnya di negara berkembang dengan tingkat sanitasi yang masih tergolong
kurang seperti Indonesia (Depkes RI, 2012). Menurut data dari World Health
Organization (WHO ) tahun 2003, terdapat 1,87 juta orang meninggal akibat
gastroenteritis di seluruh dunia.6 Penanganan dini yang cepat, tepat dan adekuat harus
dilakukan dalam mengatasi gastroenteritis akut agar pasien tidak jatuh ke kondisi
yang lebih parah (Sudoyo et al, 2009).
Dispepsia merupakan keluhan yang umum ditemui dalam praktik seharihari
dan telah dikenal sejak lama dengan definisi yang terus berkembang, mulai dari
semua gejala yang berasal dari saluran cerna bagian atas, sampai dieksklusinya gejala
refluks hingga ke definisi terkini yang mengacu kepada kriteria Roma III (Ford &
Moayyedi, 2013). Infeksi Helicobacter pylori (Hp) saat ini dipandang sebagai salah
satu faktor penting dalam menangani dispepsia, baik organik maupun fungsional,
sehingga pembahasan mengenai dispepsia perlu dihubungkan dengan penanganan
infeksi Hp. Berbagai studi meta-analisis menunjukkan adanya hubungan antara
infeksi Hp dengan penyakit gastroduodenal yang ditandai keluhan/gejala dyspepsia
(Saad et al, 2012). Prevalensi infeksi Hp di Asia cukup tinggi, sehingga perlu
diperhatikan dalam pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan dispepsia. Eradikasi
Hp telah terbukti efektif dalam menghilangkan gejala dispepsia organik, tetapi untuk
dispepsia fungsional masih diperlukan penelitian lebih lanjut (Lee & Chua, 2012).
Pneumonia didefinisikan sebagai peradangan yang mengenai parenkim paru,
distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Pneumonia berdasarkan tempat didapatkannya dibagi dalam dua kelompok utama
yakni, pneumonia komunitas (community aqquired pneumonia, CAP) yang didapat di
masyarakat dan pneumonia nosokomial (hospital aqquired pneumonia, HAP) (PDPI,
2003). Pneumonia komunitas (PK) atau community-acquired pneumonia (CAP)
masih menjadi suatu masalah kesehatan utama tidak hanya di negara yang sedang
berkembang, tetapi juga di seluruh dunia. PK merupakan salah satu penyebab utama
kematian di dunia dan merupakan penyebab kematian terbesar ke-6 di Amerika
Serikat. Di Indonesia, Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 mencatat
kematian akibat pneumonia dan infeksi saluran nafas sebanyak 34 per 100.000
penduduk pada pria dan 28 per 100.000 penduduk pada wanita. Sementara itu,
menurut Riskesdas 2013, pneumonia menduduki urutan ke-9 dari 10 penyebab
kematian utama di Indonesia, yaitu sebesar 2,1% (Sajinadiyasa et al, 2011).
Pneumonia tentunya perlu mendapat perhatian dan penanganan yang tepat, mengingat
penyakit ini masih menjadi permasalahan kesehatan utama di Indonesia. Untuk itu,
diagnosis yang tepat, pemberian terapi antibiotika yang efektif, perawatan yang baik,
serta usaha preventif yang bermakna terhadap penyakit ini perlu dilakukan agar
berkurangnya morbiditas dan mortalitas pada pneumonia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. GASTROENTERITIS
1. DEFINISI

Gastroenteritis adalah suatu keadaan dimana terdapat inflamasi pada bagian


mukosa dari saluran gastrointestinal ditandai dengan diare dan muntah. Diare adalah
buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dari biasanya atau lebih dari tiga kali
sehari dengan konsistensi feses yang lebih lembek atau cair (kandungan air pada feses
lebih banyak dari biasanya yaitu lebih dari 200 gram atau 200ml/24jam).
Gastroenteritis akut adalah diare dengan onset mendadak dengan frekuensi lebih dari 3
kali dalam sehari disertai dengan muntah dan berlangsung kurang dari 14 hari (Sudoyo
et al, 2009).

2. EPIDEMIOLOGI
Gastroenteritis akut merupakan masalah yang banyak terjadi pada Negara
berkembang dibanding dengan negara maju yang tingkat higenitas dan sanitasi lebih
baik (How, 2010). Menurut data dari World Health Organization (WHO) dan
UNICEF, terdapat 1,87 juta orang meninggal akibat kasus gastroenteritis setiap
tahunnya di seluruh dunia.6 Secara global, diperkirakan terdapat 179.000.000 insiden
gastroenteritis akut pada orang dewasa tiap tahunnya dengan angka pasien yang
dirawat inap sebanyak 500.000 dan lebih dari 5000 pasien mengalami kematian. Di
amerika serikat setidaknya 8.000.000 dari pasien gastroenteritis akut yang berobat ke
dokter dan lebih dari 250.000 pasien dirawat di rumah sakit menurut data dari The
American Journal of Gastroenterology (Sudoyo et al, 2009). Sedangkan menurut hasil
survey di Indonesia, insiden dari gastroenteritis akut akibat infeksi mencapai 96.278
insiden dan masih menjadi peringkat pertama sebagai penyakit rawat inap di
Indonesia, sedangkan angka kematian pada gastroenteritis akut (Case Fatality Rate)
sebesar 1,92%( Depkes RI 2012 ).

3. ETIOLOGI
Gastroenteritis akut bisa disebabkan oleh berbagai faktor, menurut dari World
Gastroenterology Organisation, ada beberapa agen yang bisa menyebabkan terjadinya
gastroenteritis akut yaitu agen infeksi dan non-infeksi. Lebih dari 90 % diare akut
disebabkan karena infeksi, sedangkan sekitar 10 % karena sebab lain yaitu:

1. Faktor Infeksi
A. Virus
Di negara berkembang dan industrial penyebab tersering dari
gastroenteritis akut adalah virus, beberapa virus penyebabnya antara lain:
a. Rotavirus
Merupakan salah satu terbanyak penyebab dari kasus rawat inap di
rumah sakit dan mengakibatkan 500.000 kematian di dunia tiap
tahunnya, biasanya diare akibat rotavirus derat keparahannya diatas
rerata diare pada umumnya dan menyebabkan dehidrasi. Pada anak-
anak sering tidak terdapat gejala dan umur 3 – 5 tahun adalah umur
tersering dari infeksi virus ini.
b. Human Caliciviruses (HuCVs)
Termasuk famili Calciviridae, dua bentuk umumnya yaitu Norwalk-
like viruses (NLVs) dan Sapporo-like viruses (SLVs) yang sekarang
disebut Norovirus dan sapovirus. Norovirus merupakan penyebab
utama terbanyak diare pada pasien dewasa dan menyebabkan 21 juta
kasus per tahun. Norovirius merupakan penyebab tersering
gastroenteritis pada orang dewasa dan sering menimbulkan wabah dan
menginfeksi semua umur. Sapoviruses umumnya menginfeksi anak –
anak dan merupakan infeksi virus tersering kedua selain Rotavirus
c. Adenovirus
Umumnya menyerang anak – anak dan menyebabkan penyakit pada
system respiratori. adenovirus merupakan family dari Adenoviridae
dan merupakan virus DNA tanpa kapsul, diameter 70 nm, dan bentuk
icosahedral simetris. Ada 4 genus yaitu Mastadenovirus,
Aviadenovirus, Atadenovirus, dan Siadenovirus
B. Bakteri
Infeksi bakteri juga menjadi penyebab dari kasus gastroenteritis akut
bakteri yang sering menjadi penyebabnya adalah Diarrheagenic
Escherichia coli, Shigella species, Vibrio cholera, Salmonella. Beberapa
bakteri yang dapat menyebabkan gastroenteritis akut adalah :
a. Diarrheagenic Escherichia- coli
Penyebarannya berbeda – beda di setiap negara dan paling sering
terdapat di Negara yang masih berkembang. Umumnya bakteri jenis ini
tidak menimbulkan bahaya jenis dari bakterinya adalah :
- Enterotoxigenic E. coli (ETEC)
- Enteropathogenic E. coli (EPEC)
- Enteroinvasive E. coli (EIEC)
- Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
b. Campylobacter
Bakteri jenis ini umumnya banyak pada orang yang sering
berhubungan dengan perternakan selain itu bisa menginfeksi akibat
masakan yang tidak matang dan dapat menimbulkan gejala diare yang
sangat cair dan menimbulkan disentri.
c. Shigella species
Gejala dari infeksi bakteri Shigella dapat berupa hipoglikemia dan
tingkat kematiannya sangatlah tinggi. Beberapa tipenya adalah :
- S. sonnei
- S. flexneri
- S. dysenteriae
d. Vibrio cholera
Memiliki lebih dari 2000 serotipe dan semuanya bisa menjadi
pathogen pada manusia. Hanya serogrup cholera O1 dan O139 yang
dapat menyebabkan wabah besar dan epidemic. Gejalanya yang paling
sering adalah muntah tidak dengan panas dan feses yang
konsistensinya sangat berair. Bila pasien tidak terhidrasi dengan baik
bisa menyebabkan syok hipovolemik dalam 12 – 18 jam dari
timbulnya gejala awal.
e. Salmonella
Salmonella menyebabkan diare melalui beberapa mekanisme.
Beberapa toksin telah diidentifikasi dan prostaglandin yang
menstimulasi sekresi aktif cairan dan elektrolit mungkin dihasilkan.
Pada onset akut gejalanya dapat berupa mual, muntah dan diare berair
dan terkadang disentri pada beberapa kasus.
C. Parasitic agents
Cryptosporidium parvum, Giardia L, Entamoeba histolytica, dan
Cyclospora cayetanensis infeksi beberapa jenis protozoa tersebut
sangatlah jarang terjadi namun sering dihubungkan dengan traveler dan
gejalanya sering tak tampak. Dalam beberapa kasus juga dinyatakan
infeksi dari cacing seperti Stongiloide stecoralis, Angiostrongylus C.,
Schisotoma Mansoni, S. Japonicum juga bisa menyebabkan
gastroenteritis akut.
(World gastroenterology, 2017).
2. Non –Infeksi
A. Malabsorpsi/ maldigesti
Kurangnya penyerapan seperti :
1. Karbohidrat : Monosakrida (glukosa), disakarida (sakarosa)
2. Lemak : Rantai panjang trigliserida
3. Asam amino
4. Protein
5. Vitamin dan mineral
B. Imunodefisiensi
Kondisi seseorang dengan imunodefisiensi yaitu hipogamaglobulinemia,
panhipogamaglobulinemia (Bruton), penyakit granulomatose kronik,
defisiensi IgA dan imunodefisiensi IgA heavycombination.

C. Terapi Obat
Orang yang mengonsumsi obat- obatan antibiotic, antasida dan masih
kemoterapi juga bisa menyebabkan gastroenteritis akut.
D. Lain-lain
Tindakan gastrektomi, terapi radiasi dosis tinggi, sindrom Zollinger-
Ellison, neuropati diabetes sampai kondisi psikis juga dapat menimbulkan
gastroenteritis akut.
(Sudoyo et al, 2009).

4. PATOGENESIS
Pada umumnya gastroenteritis akut 90% disebabkan oleh agen infeksi yang
berperan dalam terjadinya gastroenteritis akut terutama adalah faktor agent dan faktor
host. Faktor agent yaitu daya penetrasi yang dapat merusak sel mukosa, kemampuan
memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan usus halus serta daya lekat
kuman. Faktor host adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap
organisme yang dapat menimbulkan diare akut, terdiri dari faktor-faktor daya tangkis
atau lingkungan internal saluran cerna antara lain: keasaman lambung, motilitas usus,
imunitas, dan lingkungan mikroflora usus (How, 2010), Patogenesis diare karena
infeksi bakteri/parasit terdiri atas:
A. Diare karena bakteri non-invasif (enterotoksigenik)
Diare jenis ini biasanya disebut juga sebagai diare tipe sekretorik dengan
konsistensi berair dengan volume yang banyak. Bakteri yang memproduksi
enterotoksin ini tidak merusak mukosa seperti V. cholerae Eltor,
Eterotoxicgenic E. coli (ETEC) dan C. Perfringens. V.cholerae Eltor
mengeluarkan toksin yang terkait pada mukosa usus halus 15-30 menit
sesudah diproduksi vibrio. Enterotoksin ini menyebabkan kegiatan
berlebihan nikotinamid adenin di nukleotid pada dinding sel usus, sehingga
meningkatkan kadar adenosin 3’-5’-siklik monofosfat (siklik AMP) dalam
sel yang menyebabkan sekresi aktif anion klorida ke dalam lumen usus
yang diikuti oleh air, ion bikarbonat, kation, natrium dan kalium (Sudoyo et
al, 2009).

B. Diare karena bakteri/parasite invasive (enterovasif)


Diare yang diakibatkan bakteri enterovasif disebut sebagai diare
Inflammatory. Bakteri yang merusak (invasif) antara lain Enteroinvasive E.
coli (EIEC), Salmonella, Shigella, Yersinia, C. perfringens tipe C. diare
disebabkan oleh kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi. Sifat
diarenya sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat tercampur lendir dan
darah. Kuman salmonella yang sering menyebabkan diare yaitu S.
paratyphi B, Styphimurium, S enterriditis, S choleraesuis. Penyebab
parasite yang sering yaitu E. histolitika dan G. lamblia (Sudoyo et al, 2009).
Diare inflammatory ditandai dengan kerusakan dan kematian enterosit, dengan
peradangan minimal sampai berat, disertai gangguan absorbsi dan sekresi. Setelah
kolonisasi awal, kemudian terjadi perlekatan bakteri ke sel epitel dan selanjutnya
terjadi invasi bakteri kedalam sel epitel, atau pada IBD mulai terjadinya inflamasi.
Tahap berikutnya terjadi pelepasan sitokin antara lain interleukin 1 (IL-l), TNF-α, dan
kemokin seperti interleukin 8 (IL-8) dari epitel dan subepitel miofibroblas. IL8 adalah
molekul kemostatik yang akan mengaktifkan sistim fagositosis setempat dan
merangsang sel-sel fagositosis lainnya ke lamina propia. Apabila substansi
kemotaktik (IL-8) dilepas oleh sel epitel, atau oleh mikroorganisme lumen usus
(kemotaktik peptida) dalam konsentrasi yang cukup kedalam lumen usus, maka
neutrofil akan bergerak menembus epitel dan membentuk abses kripta, dan
melepaskan berbagai mediator seperti prostaglandin, leukotrin, platelet actifating
factor, dan hidrogen peroksida dari sel fagosit akan merangsang sekresi usus oleh
enterosit, dan aktifitas saraf usus How, 2010).
Terdapat 3 mekanisme diare inflamatori, kebanyakan disertai kerusakan brush
border dan beberapa kematian sel enterosit disertai ulserasi. Invasi mikroorganisme
atau parasit ke lumen usus secara langsung akan merusak atau membunuh sel-sel
enterosit. Infeksi cacing akan mengakibatkan enteritis inflamatori yang ringan yang
disertai pelepasan antibodi IgE dan IgG untuk melawan cacing. Selama terjadinya
infeksi atau reinfeksi, maka akibat reaksi silang reseptor antibodi IgE atau IgG di sel
mast, terjadi pelepasan mediator inflamasi yang hebat seperti histamin, adenosin,
prostaglandin, dan lekotrin (Sudoyo et al, 2009).
Mekanisme imunologi akibat pelepasan produk dari sel lekosit
polimorfonuklear, makrophage epithelial, limfosit-T akan mengakibatkan kerusakan
dan kematian sel-sel enterosit. Pada keadaan-keadaan di atas sel epitel, makrofag, dan
subepitel miofibroblas akan melepas kandungan (matriks) metaloprotein dan akan
menyerang membrane basalis dan kandungan molekul interstitial, dengan akibat akan
terjadi pengelupasan sel-sel epitel dan selanjutnya terjadi remodeling matriks (isi sel
epitel) yang mengakibatkan vili-vili menjadi atropi, hiperplasi kripta-kripta di usus
halus dan regenerasi hiperplasia yang tidak teratur di usus besar (kolon) (Sudoyo et al,
2009).
Pada akhirnya terjadi kerusakan atau sel-sel imatur yang rudimenter dimana
vili-vili yang tak berkembang pada usus halus dan kolon. Sel sel imatur ini akan
mengalami gangguan dalam fungsi absorbsi dan hanya mengandung sedikit
(defisiensi) disakaridase, hidrolase peptida, berkurangnya tidak terdapat mekanisme
Nacoupled sugar atau mekanisme transport asam amino, dan berkurangnya atau tak
terjadi sama sekali transport absorbsi NaCl. Sebaliknya selsel kripta dan sel-sel baru
vili yang imatur atau sel-sel permukaan mempertahankan kemampuannya untuk
mensekresi Cl- (mungkin HCO3-). Pada saat yang sama dengan dilepaskannya
mediator inflamasi dari sel-sel inflamatori di lamina propia akan merangsang sekresi
kripta hiperplasi dan vili-vili atau sel-sel permukaan yang imatur. Kerusakan immune
mediated vascular mungkin menyebabkan kebocoran protein dari kapiler. Apabila
terjadi ulserasi yang berat, maka eksudasi dari kapiler dan limfatik dapat berperan
terhadap terjadinya diare (Sudoyo et al, 2009).

5. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dari gastroenteritis akut biasanya bervariasi. dari salah satu
hasil penelitian yang dilakukan pada orang dewasa, mual (93%), muntah (81%) atau
diare (89%), dan nyeri abdomen (76%) umumnya merupakan gejala yang paling sering
dilaporkan oleh kebanyakan pasien. Selain itu terdapat tanda-tanda dehidrasi sedang
sampai berat, seperti membran mukosa yang kering, penurunan turgor kulit, atau
perubahan status mental, terdapat pada <10 % pada hasil pemeriksaan. Gejala
pernafasan, yang mencakup radang tenggorokan, batuk, dan rinorea, dilaporkan sekitar
10% (Bresse et al, 2012). Sedangkan gatroenteritis akut karena infeksi bakteri yang
mengandung atau memproduksi toksin akan menyebabkan diare sekretorik (watery
diarhhea) dengan gejala-gejala mual, muntah, dengan atau tanpa demam yang
umumnya ringan, disertai atau tanpa nyeri/kejang perut, dengan feses lembek atau cair.
Umumnya gejala diare sekretorik timbul dalam beberapa jam setelah makan atau
minurnan yang terkontaminasi. Diare sekretorik (watery diarhea) yang berlangsung
beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan
kematian karena kekurangan cairan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau
karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena
kehilangan cairan seseorang akan merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi
cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menumn serta suara menjadi
serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik. Sedangkan
kehilangan bikarbonas dan asam karbonas berkurang yang mengakibatkan penurunan
pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi nafas
lebih cepat dan lebih dalam (pernafasan Kussmaul). Reaksi ini adalah usaha badan
untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH darah dapat kembali normal. Gangguan
kardiovaskular pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan
tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur.
Pasien mulai gelisah muka pucat ujung-ujung ektremitas dingin dan kadang sianosis
karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung (Sudoyo et
al, 2009).

6. DIAGNOSA
Diagnosis gastroenteritis akut dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
Onset, durasi, tingkat keparahan, dan frekuensi diare harus dicatat,
dengan perhatian khusus pada karakteristik feses (misalnya, berair, berdarah,
berlendir, purulen). Pasien harus dievaluasi untuk tanda-tanda mengetahui
dehidrasi, termasuk kencing berkurang, rasa haus, pusing, dan perubahan
status mental. Muntah lebih sugestif penyakit virus atau penyakit yang
disebabkan oleh ingesti racun bakteri. Gejala lebih menunjukkan invasif
bakteri (inflamasi) diare adalah demam, tenesmus, dan feses berdarah.
Makanan dan riwayat perjalanan sangat membantu untuk mengevaluasi
potensi paparan agent. Anak-anak di tempat penitipan, penghuni panti jompo,
penyicip makanan, dan pasien yang baru dirawat di rumah sakit berada pada
risiko tinggi penyakit diare menular. Wanita hamil memiliki 12 kali lipat
peningkatan risiko listeriosis, terutama yang mengkonsumsi olahan daging
beku, keju lunak, dan susu mentah. Riwayat sakit terdahulu dan penggunaan
antibiotik dan obat lain harus dicatat pada pasien dengan diare akut (Barr &
Smith, 2017).

B. Pemeriksaan Fisik
Tujuan utama dari pemeriksaan fisik adalah untuk menilai tingkat
dehidrasi pasien. Umumnya penampilan sakit, membran mukosa kering,
waktu pengisian kapiler yang tertunda, peningkatan denyut jantung dan tanda-
tanda vital lain yang abnormal seperti penurunan tekanan darah dan
peningkatan laju nafas dapat membantu dalam mengidentifikasi dehidrasi.
Demam lebih mengarah pada diare dengan adanya proses inflamasi.
Pemeriksaan perut penting untuk menilai nyeri dan proses perut akut.
Pemeriksaan rektal dapat membantu dalam menilai adanya darah, nyeri dubur,
dan konsistensi feses (Barr & Smith, 2017). Dehidrasi Ringan (hilang cairan
2-5% BB) gambaran klinisnya turgor kurang, suara serak, pasien belum jatuh
dalam presyok. Dehidrasi Sedang (hilang cairan 5-8% BB) turgor buruk, suara
serak, pasien jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat dan
dalam (Bresse et al, 2012). Dehidrasi Berat (hilang cairan 8-10 BB) tanda
dehidrasi sedang ditambah kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot otot
kaku, sianosis (Sudoyono et al, 2009).
C. Pemeriksaan Penunjang
Darah:
- Darah perifer lengkap
- Serum elektrolit: Na+, K+, Cl-
- Analisa gas darah apabila didapatkan tanda-tanda gangguan
keseimbangan asam basa (pernafasan Kusmaull)
- Immunoassay: toksin bakteri (C. difficile), antigen virus (rotavirus),
antigen protozoa (Giardia, E. histolytica).
Feses:
- Feses lengkap (mikroskopis: peningkatan jumiah lekosit di feses pada
inflamatory diarrhea; parasit: amoeba bentuk tropozoit, hypha pada
jamur)
- Biakan dan resistensi feses (colok dubur)
Pemeriksaan penunjang diperlukan dalam penatalaksanaan diare akut
karena infeksi, karena dengan tata cara pemeriksaan yang terarah akan sampai
pada terapi definitif (Sudoyono et al, 2009).

7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan diare akut karena infeksi pada orang dewasa terdiri atas:
rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan, memberikan terapi simptomatik, dan
memberikan terapi definitif.
A. Terapi Rehidrasi
Langkah pertama dalam menterapi diare adalah dengan rehidrasi,
dimana lebih disarankan dengan rehidrasi oral. Akumulasi kehilangan
cairan (dengan penghitungan secara kasar dengan perhitungan berat badan
normal pasien dan berat badan saat pasien diare) harus ditangani pertama.
Selanjutnya, tangani kehilangan cairan dan cairan untuk pemeliharaan. Hal
yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan
akurat, yaitu:
a. Jenis cairan
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena
tersedia cukup banyak di pasaran, meskipun jumlah kaliumnya lebih
rendah bila dibandingkan dengan kadar Kalium cairan tinja. Apabila
tidak tersedia cairan ini, boleh diberikan cairan NaCl isotonik.
Sebaiknya ditambahkan satu ampul Na bikarbonat 7,5% 50 ml pada
setiap satu liter infus NaCl isotonik. Asidosis akan dapat diatasi dalam
1-4 jam. Pada keadaan diare akut awal yang ringan, tersedia di pasaran
cairan/bubuk oralit, yang dapat diminum sebagai usaha awal agar tidak
terjadi dehidrasi dengan berbagai akibatnya. Rehidrasi oral (oralit)
harus mengandung garam dan glukosa yang dikombinasikan dengan
air (Barr & Smith, 2017).

b. Jumlah Cairan
Pada prinsipnya jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan
jumlah cairan yang keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan
dapat dihitung dengan memakai Metode Daldiyono berdasarkan
keadaan klinis dengan skor. Rehidrasi cairan dapat diberikan dalam 1-2
jam untuk mencapai kondisi rehidrasi (Amin, 2015).

Tabel 1.1 Skor Daldiyono


Rasa haus / Muntah 1
Tekanan darah sistolik 60 – 90 mmHg 1
Tekanan darah sistolik < 60 mmHg 2
Frekeunsi nadi > 120x/i 1
Kesadaran apatis 1
Kesadaran somnolent, sopor, koma 2
Frekuensi nafas > 30x/i 1
Facies cholerica 2
Vox cholerica 2
Turgor kulit menurun 1
Washer’s woman/s hand 1
Sianosis 2
Umur 50 – 60 tahun -1
Umur > 60 tahun -2

Kebutuhan Cairan = Skor x 10% x kgBB x 1 liter


15
c. Jalur Pemberian Cairan
Rute pemberian cairan pada orang dewasa terbatas pada oral dan
intravena. Untuk pemberian per oral diberikan larutan oralit yang
komposisinya berkisar antara 29g glukosa, 3,5g NaCl, 2,5g Na
bikarbonat dan 1,5g KCI setiap liternya. Cairan per oral juga
digunakan untuk memperlahankan hidrasi setelah rehidrasi inisial
(Sudoyo et al, 2009).
B. Terapi Simtomatik
Pemberian terapi simtomatik haruslah berhati-hati dan setelah
benar-benar dipertimbangkan karena lebih banyak kerugian daripada
keuntungannya. Hal yang harus sangat diperhatikan pada pemberian
antiemetik, karena Metoklopropamid misalnya dapat memberikan kejang
pada anak dan remaja akibat rangsangan ekstrapiramidal. Pada diare akut
yang ringan kecuali rehidrasi peroral, bila tak ada kontraindikasi dapat
dipertimbangkan pemberian Bismuth subsalisilat maupun loperamid dalam
waktu singkat. Pada diare yang berat obat-obat tersebut dapat
dipertimbang dalam waktu pemberian yang singkat dikombinasi dengan
pemberian obat antimicrobial (Sudoyono et al, 2009).
C. Terapi Antibiotik
Pemberian antibiotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare
akut infeksi, karena 40% kasus diare sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian antibiotik.11 Antibiotik diindikasikan pada pasien dengan
gejala dan tanda diare infeksi, seperti demam, feses berdarah, leukosit
pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten
atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong dan
pasien immunocompromised. Pemberian antibiotic dapat secara empiris,
tetapi antibiotic spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman
(Amin, 2015).
Tabel 1.2 Terapi Antibiotik Empiris
Organisme Antibiotik Pilihan Antibiotik Pilihan Kedua
Pertama
Campylobacter Ciprofloxacin 500mg 2 Azithromycin 500mg
kali sehari, 3 – 5 hari oral 2 kali sehari
Erytromycin 500mg oral
2 kali sehari, 5 hari
Shigella atau Salmonela Ciprofloxacin 500 mg 2 Ceftriaxone 1 gram
spp. kali sehari, 3 – 5 hari IM/IV sehari
TMP-SMX DS oral 2
kali sehari, 3 hari
Vibrio Cholera Tetracycline 500 mg oral Resisten tetracycline
4 kali sehari, 3 hari Ciprofloxacin 1 gram
Doxycycline 300mg oral, oral 1 kali
dosis tunggal Erythromycin 250mg
oral 4 kali sehari, 3 kali
Traveler’s diarrhea Ciprofloxacin 500mg 2 TMP-SMX DS oral 2
kali sehari kali sehari, 3 hari
Clostridium difficile Metronidazole 250 – 500 Vancomycin 125mg 4
mg 4 kali sehari, 7 – 14 kali sehari, 7 – 14 hari
hari, oral atau IV
Tabel 1.3 Pemberian Antibiotik pada Diare Akut

Indikasi Pemberian Antibitoik Pilihan Antibiotik


Demam (suhu oral > 38˚C), feses Quinolone 3 – 5 hari, cotromoksazaole 3 – 5
disertai darah, leukosit, laktoferin, hari
hemoccult, sindrom disentri
Traveler’s diarrhea Quinolone 1 – 5 hari
Diare persisten (kemungkinan Metronidazole 3 x 500mg selama 7 hari
Giardiasis)
Shigellosis Cotrimoksazole selama 3 hari

Quinolone selama 3 hari


Intestinal Salmonellosis Chloramphenocol/cotrimoksazole/quinolone
selama 7 hari
Campylobacteriosis Erythromycin selama 5 hari
EPEC Terapi sebagai febrile disentry
ETEC Terapi sebahagi traveler’s diarrhea
EIEC Terapi sebagai shigellosis
EHEC Peranan antibiotic belum jelas
Vibrio non-kolera Terapi sebagai febrile disentry
Aeromomas diarrhea Teraapi sebagai febrile disentry
Yersiniosis Umumnya dapat diterapi sebagai febrile
disentry

Pada kasus berat : Ceftriaxone IV 1 gram/6


jam selama 5 hari
Intestinal Amebiasis Metronidazole 3 x 750mg 5 – 10 hari +
pengobatan kista untuk mencegah relaps

Diiodohyhroxyquin 3 x 650mg 10 hari atau


paromomycin 3 x 500mg 10 hari atau
diloxanide furoate 3 x 500mg 10 hari
Cryptosporidiosis Untuk kasus berat atau
ummunocompromised : Paromomycin 3 x
500mg selama 7 hari
Isoporisosis Cotrimoxazole 2 x 160/800 selama 7 hari

8. KOMPLIKASI

Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,


terutama pada lanjut usia dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera, kehilangan
cairan terjadi secara mendadak sehingga cepat terjadi syok hipovolemik. Kehilangan
elektrolit melalui feses dapat mengarah terjadinya hipokalemia dan asidosis
metabolic. Pada kasus-kasus yang terlambat mendapat pertolongan medis, syok
hipovolemik sudah tidak dapat diatasi lagi, dapat timbul nekrosis tubular akut ginjal
dan selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini dapat juga terjadi bila
penanganan pemberian cairan tidak adekuat, sehingga rehidrasi optimal tidak
tercapai (Amin, 2015).

Haemolityc Uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi terutama oleh


EHEC. Pasien HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis, dan trombositopeni
12-14 hari setelah diare. Risiko HUS meningkat setelah infeksi EHEC dengan
penggunaan obat anti-diare, tetapi hubungannya dengan penggunaan antibiotic masih
kontroversial. Sindrom Guillain – Barre, suatu polineuropati demielinisasi akut,
merupakan komplikasi potensial lain, khususnya setelah infeksi C. jejuni; 20-40%
pasien Guillain – Barre menderita infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya.
Pasien menderita kelemahan motorik dan mungkin memerlukan ventilasi mekanis.
Mekanisme penyebab sindrom Guillain – Barre belum diketahui.2 Artritis
pascainfeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena
Campylobacter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp (Amin, 2015).

9. PROGNOSIS

Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan


terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius sangat baik dengan
morbiditas dan mortalitas minimal. Seperti kebanyakan penyakit, morbiditas dan
mortalitas terutama pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika Serikat,
mortalitas berhubungan dengan diare infeksius < 1,0%. Pengecualiannya pada infeksi
EHEC dengan mortalitas 1,2% yang berhubungan dengan sindrom uremik hemolitik
(Amin, 2015).

B. DISPEPSIA

1. DEFINISI
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen
bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala
berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah
makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan
sendawa (Miwa et al, 2012). Untuk dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas
harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam
bulan sebelum diagnosis ditegakkan.

2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari
pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi.
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda
bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-
negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan,
Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah
dispepsia fungsional (Miwa et al, 2012). Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada
550 pasien dispepsia dalam beberapa senter di Indonesia pada Januari 2003 sampai
April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis;
6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus (Syam et al, 2006). Di
Indonesia, data prevalensi infeksi Hp pada pasien ulkus peptikum (tanpa riwayat
pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-100%
dan untuk pasien dispepsia fungsional sebanyak 20- 40% dengan berbagai metode
diagnostik (pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi) (Rani & Fauzi, 2006).
Prevalensi infeksi Hp pada pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan endoskopik
di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia (2003-2004) ditemukan
sebesar 10.2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makasar tahun 2011 (55%),
Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%),
serta prevalensi terendah di Jakarta (8%) (Hidayati et al, 2013).
3. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh Hp dan obat-obatan anti-
inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui (Ford & Moayyedi, 2013).
Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain gangguan
motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung, hipersensitivitas viseral, dan
faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik, gaya
hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya (Futagami et
al, 2011).
a.Peranan gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas lambung
dalam menerima makanan (impaired gastric accommodation), inkoordinasi
antroduodenal, dan perlambatan pengosongan lambung. Gangguan motilitas
gastroduodenal merupakan salah satu mekanisme utama dalam patofisiologi
dispepsia fungsional, berkaitan dengan perasaan begah setelah makan, yang
dapat berupa distensi abdomen, kembung, dan rasa penuh (Miwa et al, 2012).
b. Peranan hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia
fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral
terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal
lambung bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau memperberat gejala
dyspepsia (Miwa et al, 2012).
c.Peranan faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam
dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan dengan
tingkat keparahan dispepsia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa depresi
dan ansietas berperan pada terjadinya dispepsia fungsional (Miwa et al, 2012).
d. Peranan asam lambung
Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia fungsional.
Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam dari beberapa
penelitian pasien dispepsia fungsional. Data penelitian mengenai sekresi asam
lambung masih kurang, dan laporan di Asia masih kontroversial (Miwa et al,
2012).
e.Peranan infeksi Hp
Prevalensi infeksi Hp pasien dispepsia fungsional bervariasi dari 39% sampai
87%. Hubungan infeksi Hp dengan ganggguan motilitas tidak konsisten namun
eradikasi Hp memperbaiki gejala-gejala dispepsia fungsional (Lee & Chua,
2012). Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter
pylori Penanda biologis seperti ghrelin dan leptin, serta perubahan ekspresi
muscle-specific microRNAs berhubungan dengan proses patofisiologi dispepsia
fungsional, yang masih perlu diteliti lebih lanjut (Miwa et al, 2012).

4. DIAGNOSA
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan
fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis
erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu
kepada kriteria Roma III.Kriteria Roma III belum divalidasi di Indonesia. Konsensus
Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis
Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas
yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional (Miwa et al, 2012).
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau
lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
• Nyeri epigastrium
• Rasa terbakar di epigastrium
• Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
• Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir
dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria Roma III
membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain syndrome
dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa
terdapat tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dispepsia.
Gambar 1.1 Alur diagnosis dyspepsia sebelum diinvestigasi
Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasienpasien
yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu:
• Penurunan berat badan (unintended)
• Disfagia progresif
• Muntah rekuren atau persisten
• Perdarahan saluran cerna
• Anemia
• Demam
• Massa daerah abdomen bagian atas
• Riwayat keluarga kanker lambung
• Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun
Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi
terlebih dahulu dengan endoskopi (Miwa et al, 2012).
Tes Diagnosis infeksi Hp dapat dilakukan secara langsung melalui endoskopi
(rapid urease test, histologi, kultur dan PCR) dan secara tidak langsung tanpa
endoskopi (urea breath test, stool test, urine test, dan serologi). Urea breath test saat
ini sudah menjadi gold standard untuk pemeriksaan Hp, salah satu urea breath test
yang ada antara lain 13CO2 breath analyzer. Syarat untuk melakukan pemeriksaan
Hp, yaitu harus bebas antibiotik dan PPI (proton-pump inhibitor) selama 2 minggu.
Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan: situasi klinis, prevalensi infeksi,
prevalensi infeksi dalam populasi, probabilitas infeksi prates, perbedaan dalam
performa tes, dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil tes, seperti
penggunaan terapi antisekretorik dan antibiotik.

Tabel 1.4 Perbandingan berbagai metode


5. TATALAKSANA
Tata laksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi
dan faktor penyebab sebanyak mungkin (Fitagami et al, 2011). Terapi dispepsia
sudah dapat dimulai berdasarkan sindroma klinis yang dominan (belum
diinvestigasi) dan dilanjutkan sesuai hasil investigasi.
a.Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik
selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Hp
(Harmon 7 Peura, 2010). Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan
faktor risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal. Obat yang
dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPI misalnya
omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-Receptor Antagonist
[H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana pilihan
ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien
sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja melalui
down-regulation proton pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang
lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411. Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang
tinggi, strategi test and treat diterapkan pada pasien dengan keluhan dispepsia
tanpa tanda bahaya.
Test and treat dilakukan pada: (Malfertheiner et al, 2012)
• Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon terhadap
perubahan gaya hidup, antasida, pemberian PPI tunggal selama 2-4 minggu
dan tanpa tanda bahaya.
• Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum pernah
diperiksa.
• Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus
gastroduodenal.
• Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura trombositopenik
idiopatik dan defisiensi vitamin B12.
Test and treat tidak dilakukan pada: (Malfertheiner et al, 2012)
• Penyakit refluks gastroesofageal (GERD)
• Anak-anak dengan dispepsia fungsional
b.Dispepsia yang telah diinvestigasi
Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empirik,
melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan
atau tanpa pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani sebagai dispepsia
fungsional. Setelah investigasi, tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa pada
beberapa kasus dispepsia ditemukan GERD sebagai kelainannya.
1. Dispepsia organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi,
terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang
termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara lain gastritis,
gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau proses
keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum),
obat yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misal rabeprazole 2x20
mg/ lanzoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide
3x100 mg.
2. Dispepsia fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa,
terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada.
Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid,
itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada
beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan
perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi
dispepsia fungsional. Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan
cisaprid oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular (Futagami et al,
2011). Data penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada
pasien dengan dispepsia fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di
Jepang baru-baru ini menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada
pasien dispepsia fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1
dibandingkan plasebo. Di sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan
serotonin dan norepinerfrin tidak menunjukkan hasil yang lebih baik
dibanding plasebo. Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas
reseptor serotonin sentral mungkin merupakan faktor penting dalam respon
terhadap terapi antidepresan pada pasien dispepsia fungsional (Miwa et al,
2012).
3. Tata laksana dispepsia dengan infeksi Hp
Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap
gejala dispepsia. Dalam salah satu studi cross-sectional pada 21 pasien di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (2010) didapatkan bahwa
terapi eradikasi memberikan perbaikan gejala pada mayoritas pasien
dispepsia dengan persentase perbaikan gejala sebesar 76% dan 81%
penemuan Hp negatif yang diperiksa dengan UBT. Penelitian prospektif
oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa terapi eradikasi Hp
dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin) selama
7 hari lebih baik dari terapi selama 5 hari (Syam et al, 2010).

C. PNEUMONIA

1. DEFINISI
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim
paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius
dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat (Sudoyo, 2005). Pnemunonia dibedakan menjadi dua
yaitu pneumonia kominiti dan pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas
adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit, sedangkan
pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam atau
lebih setelah dirawat di rumah sakit (Dahlan, 2009). Pneumonia dapat
diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling sering ialah
menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya pneumonia
(pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial), tetapi pneumonia juga
dapat diklasifikasikan berdasarkan area paru yang terinfeksi (lobar pneumonia,
multilobar pneumonia, bronchial pneumonia, dan intertisial pneumonia) atau
agen kausatif. Pneumonia juga sering diklasifikasikan berdasarkan kondisi yang
mendasari pasien, seperti pneumonia rekurens (pneumonia yang terjadi
berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik), pneumonia aspirasi
(alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada gangguan imun (pneumonia pada
pasien tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS) (Dunn, 2007).

2. ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri,
virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan
pneumonia rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan
beberapa kota di Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita
komunitas adalah bakteri gram negative (Dahlan, 2009). Penyebab paling
sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan nosokomial:
a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma
pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli,
Klebsiella pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus,
anaerob oral.
(Wilson, 2012).

3. PATOGENESIS
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan
(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan
yang berinteraksi satu sama lain (Dahlan, 2009). Dalam keadaan sehat, pada
paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan
oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru
merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang
biak dan berakibat timbulnya sakit (Mandell et al, 2007).
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:
1) Inokulasi langsung
2) Penyebaran melalui darah
3) Inhalasi bahan aerosol
4) Kolonosiasi di permukaan mukos
Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteria dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara
dapat mencapai brokonsul terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses
infeksi.
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian
terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme,
hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur
(50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan
pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri
yang sanagt tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret
(0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan
terjadi pneumonia (Dahlan, 2009).
Gambar 1.2 Patogenesis pneumonia oleh bakteri Pneumonococcus
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel
PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis
sebelum terbentuk antibodi. Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan
alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis
sistoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian terjadi proses
fagositosis. pada waktu terjadi perlawanan antara host dan bakteri maka
akan nampak empat zona (Gambar 1.2) pada daerah pasitik parasitik terset
yaitu : 1) Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan
edema; 2) Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN
dan beberapa eksudasi sel darah merah; 3) Zona konsolidasi yang luas (grey
hepatization): daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah
PMN yang banyak; 4) Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi
dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag (PDPI,
2003).

4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat,
batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum
berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak.
Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit
dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan
retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu,
kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak
menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara
pernafasan bronkial, pleural friction rub (Dahlan, 2009).

5. DIAGNOSIS
Diagnosis pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit yang
lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks
terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih
gejala di bawah ini: a. Batuk-batuk bertambah b. Perubahan karakteristik
dahak/purulen c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam d. Pemeriksaan
fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki e.
Leukosit > 10.000 atau < 4500 (Lutffiya et al, 2010). Penilaian derajat
keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat dilakukan dengan
menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient
Outcome Research Team (PORT) (PDPI, 2003).
Gambar 1.3 Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT
PSI membagi kelompok CAP menjadi lima kelas berdasarkan risiko
mortalitas yang dimiliki pasien, dimana kelas I-III merupakan pasien dengan
mortalitas rendah, kelas IV merupakan pasien dengan mortalitas sedang dan
kelas V merupakan pasien dengan mortalitas tinggi (Wexner Medical
Cneter, 2017). PSI juga digunakan untuk menentukan pasien akan diterapi
dengan rawat jalan atau rawat inap, seperti yang tertera pada tabel dibawah
ini :

Tabel 1.5 Derajat risiko dan rekomendasi perawatan PORT/PSI


6. DIAGNOSIS BANDING
1. Tuberculosis Paru (TB), adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M.
tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis
TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu),
nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam,
menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan
berat badan.
2. Atelektasis, adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak
sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang
terserang tidak mengandung udara dan kolaps.8
3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), adalah suatu
penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh
emfisema atau bronkitis kronis. COPD lebih sering menyerang laki-laki
dan sering berakibat fatal. COPD juga lebih sering terjadi pada suatu
keluarga, sehingga diduga ada faktor yang dirurunkan.
4. Bronkhitis, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke
paru-paru). Penyakit bronchitis biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya
akan sembuh sempurna. Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit
menahun (misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan pada
usia lanjut, bronchitis bisa bersifat serius.
5. Asma bronkhiale, adalah penyakit yang ditandai dengan penyempitan
saluran pernapasan, sehingga pasien yang mengalami keluhan sesak
napas/kesulitan bernapas. Tingkat keparahan asma ditentukan dengan
mengukur kemampuan paru dalam menyimpan oksigen. Makin sedikit
oksigen yang tersimpan berarti semakin buruk kondisi asma.
(Sudoyo, 2005).

7.PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiologi Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral)
merupakan pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk
menegakkan diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa
infiltrat sampai konsoludasi dengan air bronchogram, penyebaran
bronkogenik dan intertisial serta gambaran kavitas (Dahlan, 2009).
2. Laboratorium Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 -
40.000 /ul, Leukosit polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun
dapat pula ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the
left, dan LED meningkat.
3. Mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan
kultur darah untuk mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan
koagulasi antigen polisakarida pneumokokkus.
4. Analisa Gas Darah Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada
beberapa kasus, tekanan parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan
pada stadium lanjut menunjukkan asidosis respiratorik.
(Lutfiyya et al, 2010).

8. KOMPLIKASI
Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan
komplikasi. Akan tetapi, beberapa pasien, khususnya kelompok pasien
risiko tinggi, mungkin mengalami beberapa komplikasi seperti bakteremia
(sepsis), abses paru, efusi pleura, dan kesulitan bernapas. Bakteremia dapat
terjadi pada pasien jika bakteri yang menginfeksi paru masuk ke dalam
aliran darah dan menyebarkan infeksi ke organ lain, yang berpotensi
menyebabkan kegagalan organ. Pada 10% pneumonia pneumokokkus
dengan bakteremia dijumpai terdapat komplikasi ektrapulmoner berupa
meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, dan empiema.
Pneumonia juga dapat menyebabkan akumulasi cairan pada rongga pleura
atau biasa disebut dengan efusi pleura. Efusi pleura pada pneumonia
umumnya bersifat eksudatif. Pada klinis sekitar 5% kasus efusi pleura yang
disebabkan oleh P. pneumoniae dengan jumlah cairan yang sedikit dan
sifatnya sesaat (efusi parapneumonik). Efusi pleura eksudatif yang
mengandung mikroorganisme dalam jumlah banyak beserta dengan nanah
disebut empiema. Jika sudah terjadi empiema maka cairan perlu di drainage
menggunakan chest tube atau dengan pembedahan (Djojodibroto, 2013).

9. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah
memberikan antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia.
Pemberian antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap
kuman penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan
antibiotik empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi
pasien (Dahlan, 2009). Terapi antibiotika empiris menggambarkan tebakan
terbaik berdasarkan pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan
organisme, karena hasil mikrobiologis umumnya tidak tersedia selama 12-
72 jam. Maka dari itu membedakan jenis pneumonia (CAP atau HAP) dan
tingkat keparahan berdasarkan kondisi klinis pasien dan faktor predisposisi
sangatlah penting, karena akan menentukan pilihan antibiotika empirik yang
akan diberikan kepada pasien (Jeremy, 2007). Tindakan suportif meliputi
oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa (SaO2 > 92%) dan resusitasi
cairan intravena untuk memastikan stabilitas hemodinamik. Bantuan
ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas positif kontinu
(continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis mungkin
diperlukan pada gagal napas. Bila demam atau nyeri pleuritik dapat
diberikan antipiretik analgesik serta dapat diberika mukolitik atau
ekspektoran untuk mengurangi dahak (Dahlan, 2009).

1. Pilihan Antibiotika
Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor
sensitivitas bakteri terhadap antibiotika, keadaan tubuh pasien, dan
faktor biaya pengobatan (Nuryansni, 2009). Pada infeksi pneumonia
(CAP dan HAP) seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus
didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan
perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk
infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang didasarkan pada luas
spektrum kerjanya tidak dibenarkan karena hasil terapi tidaklebih unggul
daripada hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit, sedangkan
superinfeksi lebih sering terjadi dengan antibiotika berspektrum luas
(Dahlan, 2009).
Berdasarkan atas panduan penatalaksanaan pasien dengan CAP oleh
American Thoracic Society (ATS), untuk pasien yang memerlukan
perawatan di rumah sakit dengan penyakit kardiopulmoner dengan atau
tanpa faktor modifikasi, terapi yang dianjurkan adalah terapi dengan
golongan β-lactam (cefotaxim, ceftriaxon, ampicillin/sulbactam, dosis
tinggi ampicillin intravena) yang dikombinasi dengan makrolide atau
doksisiklin oral atau intravena, atau pemberian fluroquinolon
antipneumococcal intravena saja. Begitu juga panduan penatalaksanaan
yang dikeluarkan oleh Infectious Diseases Society of America (IDSA)
menganjurkan pemberian cephalosporin ditambah makrolide atau
βlactam/β-lactamase inhibitor ditambah makrolide atau fluroquinolon
saja. Penatalaksanaan yang baik terhadap bakteriemik streptococcal
pneumonia akan secara signifikan menurunkan angka kematian pasien
CAP. Terdapat isu penting tentang penggunaan dual terapi
meningkatkan outcome yang lebih baik dibandingkan denganmonoterapi
pada pasien CAP. Dual terapi yang dimaksud adalah kombinasi antara
regimen yang terdiri dari antibiotika β-lactam, makrolide, atau
fluroquinolon. Sedangkan monoterapi yang dimaksud adalah
penggunaan golongan β-lactam atau fluoroquinolon sebagai agen
tunggal (Allen, 2004).
2. Kegagalan Terapi
Kepekaan kuman terhadap antibiotika tertentu tidak dapat menjamin
efektivitas klinis. Faktor berikut dapat menjadi penyebab kegagalan
terapi: a. Dosis kurang
Dosis suatu antibiotika seringkali bergantung dari tempat infeksi,
walaupun kuman penyebanya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G
yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh Pneumococcus jauh
lebih tinggi daripada dosis yang diperlukan untuk pengobatan infeksi
saluran napas bawah yang disebabkan oleh kuman yang sama.
b. Masa terapi yang kurang
Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk setiap jenis infeksi perlu
diberikan antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah
ditinggalkan. Pada umunya para ahli cenderung melakukan
individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapai respon klinik
yang memuaskan. Namun untuk penyakit tertentu seperti tuberkulosis
paru tetap dipertahankan masa terapi yang cukup walaupun perbaikan
klinis cepat terlihat.
c.Kesalahan dalam menetapkan etiologi
Demam tidak selalu disebabkan oleh kuman, virus, jamur, parasit, reaksi
obat, dan lain-lain dapat meningkatkan suhu badan. Pemberian
antibiotika yang lazim diberikan dalam keadaan ini tidak bermanfaat.
d. Pilihan antibotika yang kurang tepat
Suatu daftar antibiotika yang dinyatakan efektif dalam uji sensitivitas
tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa setiap antibiotika akan
memberikan aktivitas klinik yang sama. Disini dokter harus dapat
mengenali dan memilih antibiotika yang secara klinis merupakan obat
terpilih untuk suatu kuman tertentu. Sebagai contoh obat terpilih untuk
infeksi S. faecalis adalah ampisilin, walaupun secara in vitro kuman
tersebut juga dinyatakan sensitif terhadap sefamandol atau gentamisin.

e.Faktor pasien
Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme pertahanan tubuh
(selular dan humoral) merupakan faktor penting yang menyebabkan
gagalnya terapi antibotika. Sebagai contoh obat imunosupresan, AIDS
(National Health Services, 2014).

10. PENCEGAHAN
Di luar negeri di anjurkan pemberian vaksin influenza dan
pneumokokus pada orang dengan resiko tinggi. Vaksinasi sampai saat ini
masih perlu dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin
tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut,
penyakit kronik, diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll.
Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping
vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi
yaitu hipersensitivitas tipe 3. Di samping itu vaksin juga perlu di berikan
untuk penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik,
dan usia diatas 65 tahun. Selain vaksin, pola hidup sehat juga termasuk tidak
merokok juga sangat direkomendasikan (Center of Disease Control and
Prevention : Pneumonia, 2015).

11. PROGNOSIS
Kejadian PK di Amerika Serikat adalah 3,4-4 juta kasus per tahun, dan
20% diantaranya perlu dirawat di RS. Secara umum, angka kematian
pneumonia oleh pneumokokkus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat
pada lanjut usia dengan kondisi yang buruk. Pneumonia dengan influenza di
Amerika Serikat merupakan penyebab kematian terbesar ke-6 dengan
kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada lanjut usia, yaitu sebesar 89%.
Mortalitas pasien PK yang dirawat di ICU adalah sebesar 20%. Mortalitas
yang tinggi ini berkaitan dengan faktor modifikasi yang ada pada pasien
(Dahlan, 2009).

BAB III
LAPORAN KASUS

No RM : 00360013
Ruangan : Jabal Rahmah
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Syaiful
Umur : 52 tahun
Status kawin : Kawin
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl Rawa Saudara No.174, Medan Denai, Medan
ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Sesak Nafas
Telaah :
Pasien datang ke IGD RS Haji Medan dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari yang
lalu. Sebelumnya pasien berobat ke klinik dr. Armon Rahimi Sp.PD-KPTI 1 bulan yang lalu
dan dirujuk ke RS Haji dengan pembengkakan jantung sebelah kiri. 3 bulan yang lalu pasien
mengeluh sesak saat melakukan aktivitas seperti biasa atau berlebihan begitu juga saat pasien
beristirahat dengan posisi tidur terlentang, sehingga pasien lebih suka tidur dengan posisi
duduk dibantu dengan beberapa bantal. Sesak muncul kadang disertai nyeri pada dada kiri
pasien. Menurut istrinya, pasien sebelumnya berobat ke RS Mitra Medika dan menurut hasil
lab pasien mengalami gangguan pada ginjalnya. Pasien juga mengeluhkan terjadi
pembengkakan pada tungkai bawah kanan dan kiri., pasien juga mengeluhkan sering batuk -
batuk, batuk tidak berdahak dan batuk paling sering terjadi pada malam hari. Saat pasien
tertidur, pasien sering terbangun karena merasa sesak dan tidak bisa bernafas yang membuat
tidur pasien terganggu. Sejak masih muda, pasien memiliki kebiasaan bergadang dan 6 bulan
sebelum sakit menurut istrinya pasien suka minum ramuan jamu. Pasien juga mengeluhkan
mual dan sering mengalami nyeri yang berulang pada bagian ulu hati yang membuat nafsu
makan pasien menurun. 10 hari yang lalu pasien BAB berwarna hitam, dan 3 hari sebelum
masuk RS pasien BAB bercampur darah.

BAB : 3X/ hari, kuning kecoklatan dengan konsistensi lunak dan berampas. 10 hari
sebelumnya BAB nya berwarna hitam.

BAK : 4-5x/ hari (2000 Ml pada urin bag), warna kuning jernih

RPT : DM sejak 5 tahun yang lalu, Hipertensi sejak 6 bulan yang lalu
RPK : tidak ada
RPO : Captopril, Furosemide
R. Alergi : tidak ada
R. Kebiasaan : Sering minum ramuan jamu dan begadang.

ANAMNESA UMUM  Dyspnoe d’effort : Ya


 Badan Merasa Kurang Enak : Ya  Dyspnoe d’repos : Ya
 Merasa Capek / Lemas : Ya  Oedema : Ya
 Merasa Kurang Sehat : Ya  Nocturia : Tidak
 Menggigil : Tidak  Cyanosis : Tidak
 Nafsu makan : Menurun  Angina Pectoris : Tidak
 Tidur :  Palpitasi Cordis : Tidak
Terganggu  Asma Cardial : Tidak
 Berat Badan :
Menurun 2. SIRKULASI PERIFER
 Malas : Ya  Claudio Intermitten : Tidak
 Demam : Tidak  Sakit waktu istirahat : Tidak
 Pening : Ya  Rasa mati diujung jari : Tidak
 Gangguan Tropis : Tidak
ANAMNESA ORGAN  Kebas-kebas : Ya

1. COR
3. TRACTUS RESPIRATORUS  Oedema : Tidak
 Batuk : Ya  Berak dempul : Tidak
 Berdahak : Tidak
 Haemaptoe : Tidak 5. GINJAL DAN SALURAN KENCING
 Sakit dada waktu bernafas : Ya  Muka Sembab : Tidak
 Stridor : Ya  Kolik : Tidak
 Sesak nafas : Ya  Miksi (freq,warna,sebelum/sesudah
 Pernafasan cuping hidung : Tidak miksi, mengedan) : 4-5x/hari, 2000
 Suara Parau : Tidak Ml, Kuning jernih memakai kateter
 Polyuria : Ya
4. TRACTUS DIGESTIVUS  Sakit pinggang : Tidak
A. LAMBUNG memancar ke
 Sakit di Epigastrium sebelum /  Oliguria : Tidak
sesudah makan :  Anuria : Tidak
Ya  Polakisuria : Tidak
 Rasa panas di Epigastrium : Tidak
 Muntah(freq, warna, isi, dll): Tidak 6. SENDI
 Hematemesis : Tidak  Sakit : Tidak
 Ructus : Tidak  Sendi Kaku : Tidak
 Sendawa : Tidak  Merah : Tidak
 Anoreksia : Tidak  Sakit digerakan : Tidak
 Mual-mual : Ya  Bengkak : Tidak
 Dysphagia : Tidak  Stand Abnormal : Tidak
 Foetor ex ore : Tidak
 Pyrosis : Tidak 7. TULANG
 Sakit : Tidak
B. USUS  Bengkak : Tidak
 Sakit di abdomen : Ya  Fraktur Spontan : Tidak
 Borborygmi : Tidak  Deformitas : Tidak
 Obstupasi : Tidak
8. OTOT
 Sakit : Tidak
 Defekasi (freq, warna, konsistensi )  Kebas-kebas : Tidak
: Sejak 10 hari yang lalu berdarah, 3  Kejang-kejang : Tidak
hari yang lalu sampai sekarang lunak  Atrofi : Tidak
berampas 2x/ hari
 Diare(freq,warna, konsistensi):Tidak 9. DARAH
 Melena : Ya  Sakit dimulut dan lidah : Tidak
 Tenesmi : Tidak  Mata berkunang-kunang : Ya
 Flatulensi : Tidak  Pembengkakan kelenjar : Tidak
 Haemorhoid : Tidak  Merah di kulit : Tidak
 Muka Pucat : Ya
C. HATI DAN SALURAN EMPEDU  Bengkak : Tidak
 Sakit perut kanan : Ya  Penyakit Darah : Tidak
Memancar ke  Pendarahan sub kutan : Tidak
 Kolik : Tidak
 Ikterus : Tidak 10. ENDOKRIN
 Gatal dikulit : Tidak a. Pankreas
 Asites : Tidak  Polidipsi : Ya
 Polifagi : Tidak
 Poliuri : Ya 12. SUSUNAN SYARAF
 Pruritus : Tidak  Hipoastesia : Tidak
 Pyorrhea : Tidak  Paraestesia : Ya
b. Tiroid  Paralisis : Tidak
 Nervositas : Tidak  Sakit Kepala : Tidak
 Exoftalmus : Tidak  Gerakan Tics : Tidak
 Struma : Tidak
 Miksodem : Tidak 13. PANCA INDRA
c. Hipofisis  Penglihatan : Buram
 Akromegali : Tidak  Pendengaran : Normal
 Distrifi adipos : Tidak  Penciuman : Normal
kongenital  Pengecapan : Normal
 Perasaan : Normal
11. FUNGSI GENITALIA
 Menarche :- 14. PSIKIS
 Siklus Haid :-  Mudah tersinggung : Tidak
 Menopause :-  Takut : Tidak
 G/P/A :-  Gelisah : Tidak
 Ereksi : Tidak  Pelupa : Tidak
ditanyakan  Lekas Marah : Tidak
 Libido Seksual : Tidak
ditanyakan 15. KEADAAN SOSIAL
 Coitus : Tidak  Pekerjaan : Wiraswasta
ditanyakan  Hygiene : Bersih

ANAMNESA PENYAKIT TERDAHULU :


Pasien memiliki riwayat DM sejak 5 tahun yang lalu, Hipertensi sejak 6 bulan yang lalu.

ANAMNESA PEMAKAIAN OBAT :


Captopril dan Furosemide

ANAMNESA PENYAKIT VENERIS :

 Bengkak kelenjar regional : Tidak


 Luka-luka dikemaluan : Tidak
 Pyuria : Tidak
 Bisul-bisul : Tidak

ANAMNESA INTOKSIKASI :
Tidak ada

ANAMNESA MAKANAN :
 Nasi : Ya Freq : 3x/hari
 Ikan : Tidak
 Sayuran : Ya
 Daging : Tidak

ANAMNESA FAMILY :

 Penyakit-penyakit Family :-
 Penyakit seperti orang sakit :-
 Anak-anak 1, Hidup 1, Mati 0

STATUS PRAESENS :
KEADAAN UMUM

 Sensorium : Apatis
 Tekanan Darah : 172/100 mmHg
 Temperatur : 36,8° C
 Pernafasan : 22x/menit, Reg/ Irreg, Tipe Pernafasan
 Nadi : 65x/menit, Equal / Inequal, Teg / Vol ( Keras, sedang,
lemah/besar, sedang, kecil ) Gel, Celler, Tardus

KEADAAN PENYAKIT :

 Anemi : Ya
 Ikterus : Tidak
 Sianosis : Tidak
 Dispnoe : Ya
 Edema : Ya
 Eritema : Tidak
 Turgor : Baik
 Gerakan aktif : Menurun
 Sikap Tidur paksa : Tidak

KEADAAN GIZI :
BB : 77 KG
TB : 170 CM
RBW = 110% Kesan : Overweight
IMT = 26,6 kg/cm² Kesan : Obesitas level 1

PEMERIKSAAN FISIK
a. Muka
1. KEPALA
 Sembab : Tidak
 Pertumbuhan rambut : Normal
 Pucat : Ya
 Sakit kalau dipegang : Tidak
 Kuning : Tidak
 Perubahan Lokal : Tidak
 Parase : Tidak
 Gangguan local : Tidak  Gerakan : Normal
 Exoftalmus : Tidak
 Ptosis : Tidak
 Ikterus : Tidak
 Anemia : Ya
 Reaksi Pupil : Isokor
 Gangguan local : Tidak
b. Mata
 Stand Mata : Normal

c. Telinga Inspeksi
 Sekret : Tidak  Struma : Tidak
 Radang : Tidak  Kelenjar Bengkak : Tidak
Bentuk :  Pulsasi Vena : Ya
Normal  Torticolis : Tidak
 Atrofi : Tidak  Venektasi : Tidak
 Pyrroe Alveolaeris : Tidak
d. Hidung
 Sekret : Tidak Palpasi
 Bentuk : Tidak  Posisi Trachea :
 Benjolan-benjolan : Tidak Normal
 Sakit / Nyeri Tekan : Tidak
e. Bibir  TVJ :
 Sianosis : Tidak R+4CM H20
 Pucat : Tidak  Kosta Servikalis : Tidak
 Kering : Tidak
 Radang : Tidak 3. THORAX DEPAN
Inspeksi
f. Gigi  Bentuk :
 Karies : Tidak Fusiformis
 Pertumbuhan : Tidak  Simetris/asimetris :
 Jumlah : Tidak Asimetris
dihitung  Bendungan Vena : Tidak
 Ketinggalan bernafas : Tidak
g. Lidah  Venektasi : Tidak
 Kering : Tidak  Pembengkakan : Kiri
 Pucat : Tidak (+) Kanan (-)
 Beslag : Tidak  Pylasi Verbal : Tidak
 Tremor : Tidak  Mammae : Tidak
Palpasi
h. Tonsil
 Nyeri Tekan : Ka = Ki
 Merah : Tidak
 Fremitus Suara : Ka = Ki
 Bengkak : Tidak
 Fremissement : Tidak
 Beslag : Tidak
 Iktus : Teraba
 Membran : Tidak
a. Lokalisasi : ICS VI linea
 Agina Lacunaris : Tidak
axillaris anterior sinistra
b. Kuat Angkat : Ya
2. LEHER
c. Melebar : Ya
d. Iktus Negatif : Tidak  Nyeri Tekan : Tidak
Perkusi  Fremitus Suara : Ka=Ki
 Suara Perkusi Paru : Redup  Penonjolan-penonjolan : Tidak
(paru ka = ki bagian bawah)
 Batas Paru Hati : Perkusi
a. Relatif : ICS V  Suara perkusi paru : Redup
linea midclavicularis sinistra (paru ka=ki bagian bawah)
b. Absolut : ICS V  Gerakan bebas : 2 cm
linea midclavicularis dextra  Batas bawah paru :
 Gerakan Bebas : 2 cm a. Kanan :
 Batas Jantung IX Proc.Spin. Vert. Thoracal
a. Atas : ICS II b. Kiri :
linea parasternalis sinistra IX Proc.Spin.Vert. Thoracal
b. Kanan : ICS V Auskultasi
linea parasternalis dextra  Suara Pernafasan :
c. Kiri : ICS VI Vesikuler Ka = Ki
linea axillaris anterior sinistra
 Suara Tambahan : Ronki Basah
Auskultasi (paru ka = ki bagian bawah)
Paru-Paru
 Suara Pernafasan :
Vesikuler
 Suara Tambahan : Ya
a. Ronki Basah : (+)
(paru ka = ki bagian bawah)
b. Ronki Kering :-
c. Krepitasi :-
d. Gesek Pleura :-
Cor
 Heart Rate :
65x/menit
 Suara Katup :
M1 > M2 A2 > A1
P2 > P1 A2 > P2
Suara Tambahan - Nyeri tekan pada regio epigastric
 Desah Jantung Fungsionil : Ya, - Nyeri tekan yang pada region lumbal
diastolik sinistra
 Gesek Percardia : Tidak
5. ABDOMEN
4. THORAX BELAKANG
Inspeksi Inspeksi
 Bentuk :  Bengkak : Tidak
Fusiformis  Venektasi : Tidak
 Simetris / Asimetris :  Gembung : Tidak
Simetris  Sirkulasi Collateral : Tidak
 Benjolan-benjolan : Tidak  Pulsasi : Tidak
 Scapulae alta : Tidak
 Ketinggalan bernafas : Tidak Palpasi
 Venektasi : Tidak  Defens Muscular : Tidak
 Nyeri Tekan : Ya
Palpasi  Lien : Normal
 Ren : Normal
 Hepar Teraba : Tidak
Perkusi
 Pekak Hati : Ya
 Pekak Beralih : Tidak
Auskultasi
 Peristaltik usus : 10x/menit

6. GENITALIA
 Luka : Tidak
 Sikatrik : Tidak
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
 Nanah : Tidak
RUTIN :
 Hernia : Tidak

7. EKSTREMITAS
Atas Dexra Sinistra
 Bengkak : Tidak Tidak
 Merah : Tidak Tidak
 Stand Abnormal : Tidak Tidak
 Gangguan Fungsi : Tidak Tidak
 Tes Rumpelit : Tidak Tidak
 Refleks
 Biceps : ++ ++
 Triceps : ++ ++
 Radio Periost : + +

Bawah Dextra Sinistra


 Bengkak : Ya Ya
 Merah : Tidak Tidak
 Oedema : Ya Ya
 Pucat : Tidak Tidak
 Gangguan Fungsi : Ya Ya
 Luka / Gangren : Tidak Tidak
 Varises : Tidak Tidak
 Refleks
 KPR : ++ ++
 APR : ++ ++
 Struple : + +
DARAH
Darah Rutin
Hemoglobin 5,5 g/dl
Eritrosit 2,26 Juta/uL
Leukosit 8.300 /uL
Hematokrit 18 %
Trombosit 433.000 /uL
Index Eritrosit
MCV 79,7 Fl
MCH 24,3 Pg
MCHC 30,4 %
Jenis Leukosit
Eosinofil 0,6 %
Basofil 0,3 %
Fungsi Hati
AST (SGOT) 23 u/L
Fungsi Ginjal
Ureum 112 mg/dL
Kreatinin 2,7 mg/dL
Glukosa 222 mg/dL
Darah
RESUME
Anamnesa Utama : Sesak Nafas
Telaah :

 Sesak nafas saat beraktivitas (+)


 Sesak nafas saat beristirahat dalam posisi terlentang (+)
 Nyeri dada (+) kiri
 Edema (+) Tungkai kanin dan kiri
 Batuk (+) paling sering pada malam hari
 Tidur terganggu (+)
 Nyeri yang berulang pada ulu hati (+)
 Mual (+)
 Nafsu makan menurun (+)
 BAB : 3x/hari, kuning kecoklatan dengan konsistensi lunak dan berampas,
10 hari sebelumnya BAB berwarna hitam
 BAK : 2000 ML ( pakai kateter ), kuning jernih
 RPT : DM sejak 5 tahun yang lalu, Hipertensi sejak 6 bulan yang lalu
 RPK : Tidak ada
 RPO : Captropil, Furosemide
 R. Alergi : Tidak ada
 R. Kebiasaan : Sering minum ramuan jamu dan begadang

STATUS PASIEN

Keadaan Umum Keadaan Penyakit Keadaaan Gizi


Sensorium : Apatis Anemia : Ya TB : 170 CM
Tekanan Darah : 172/100mmHg Ikterus : Tidak BB : 77 KG
Nadi : 65x/ menit Sianosis : Tidak
Nafas : 22x/menit Dysponoe : Ya RBW = 110%
Suhu : 36,8 ° C Edema : Ya Kesan : Overweight
Eritema : Tidak
Turgor : Baik IMT : 26,1 kg/cm²
Gerakan Aktif : Tidak Kesan : Overweight
Sikap paksa : Tidak

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : Muka pucat (+), Konjungtiva Anemis (+ | +), Sklera Ikterik (- | -)
Leher : Peningkatan TVJ
Thorax : Inspeksi : Bentuk Fusiformis, Asimetris (Thorax Ki > Ka)
Palpasi : Nyeri Tekan Ka = Ki (+), Iktus teraba

Perkusi : Atas : ICS II linea parastrernalis sinistra, Kanan : ICS V linea


parasternalis dextra, Kiri : ICS VI linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : suara pernafasan vesikuler, suara tambahan rhonki basah pada
paru kanan kiri bagian bawah. Desah jantung diastolik.
Abdomen : Nyeri tekan pada regio epigastric & lumbal sinistra
Ektremitas : Edema (+) tungkai kanan dan kiri
PEMERIKSAAN LABORATORIUM :
 Darah : Hb ( menurun ), Eritrosit ( menurun ), Hematokrit ( menurun ), Ureum
(meningkat ), Kreatinin ( meningkat ), Glukosa (meningkat)
 Urin :-
 Tinja :-
 Dll :-

DIFFENTIAL DIAGNOSA :
1. CHF ec Hipertensi + CKD + Anemia + DM Tipe II+ Hipertensi + PSMBA ec Ulkus
Gaster
2. CHF ec Aortic Stenosis + CKD + Anemia + DM Tipe II + Hipertensi + PSMBA ec
Ulkus Gaster
3. CHF ec Mitral Stenosis + CKD + Anemia + DM Tipe II + Hipertensi + PSMBA ec Ulkus
Gaster
4. CHF ec Iskemia + CKD + Anemia + DM Tipe II + Hipertensi + PSMBA ec Ulkus Gaster
5. CHD ec Kardiomiopati Dilatasi + CKD + Anemia + DM Tipe II + Hipertensi + PSMBA
ec Ulkus Gaster

DIAGNOSA SEMENTARA :
CHF ec Hipertensi + CKD + Anemia + DM Tipe II+ Hipertensi + PSMBA ec Ulkus Gaster
TERAPI :

 Aktivitas : Tirah Baring


 Diet : M2
 Medikamentosa :
 IVFD RL 20 gtt/i
 Ondansentron 4 mg/ 8 jam
 Furosemide 10 mg/ 12 jam
 Captopril 25 mg/ 3x1 hari
 Ranitidine 1 amp/ 12 jam
 Antasida syr 3x1 cth
 Omeprazole 40 mg/ 12 jam
 Amlodipin 10 mg 2x1
 Glimepirid 3 mg 1x1 ( pagi )
 ISDN 3 x 1
 Spironolakton 2 x 2,5 mg
 Rethapyl 2 x 1/2

PEMERIKSAAN ANJURAN/ USUL :

 Darah lengkap
 Endoskopi
 USG Abdomen
 Gastroskopi
 Rontgen Thorax
 EKG
BAB IV
DISKUSI

TEORI KASUS
Anamnesis
1. Dispnea Saat Aktivitas, (+) (+)
Istirahat, Tidur dan
Berbaring.
2. Batuk (+) (+)
3. Paroksismal nokturnal (+) (+)
dispneu
4. Mudah Lelah (+) (+)
5. Nafsu Makan Menurun (+) (+)
Pemeriksaan Fisik
1. Leher
Peningkatan JVP (+) (+)
2. Paru
Edem paru (+) (+)
Efusi pleura (+) (-)
Ronki basah paru (+) (+)
3. Jantung
Takikardi (+) (-)
Kardiomegali (+) (+)
Desah (Diastolik) (+/-) (+)
Gallop (+) (-)
4. Eksremitas
Edema pada pergelangan kaki (+) (+)
5. Abdomen
Asites (+) (-)
Pemeriksaan penunjang
1. EKG
Takikardi (+) Tidak Dilakukan
Atrial Fibrilasi (+) Tidak Dilakukan
Aritmia Ventrikel (+/-) Tidak Dilakukan
Iskemi/infark (+/-) Tidak Dilakukan
2. Foto toraks
Efusi Pleura (+/-) Tidak Dilakukan
kardiomegali (+/-) Tidak Dilakukan
Hipertrofi ventrikel (+/-) Tidak Dilakukan
Edema intertisial (+/-) Tidak Dilakukan
Pengobatan
1. Medikamentosa
Diuretik
Loop diuretik Furosemide (+)
Furosemid
Aldosteron Antagonist Spironolakton (+)
Spironolakton
ACE Inhibitor (+)
(Captopril)
ARB (-)
(Candesarta)
β-Blocker (-)
(Bisoprolol)
Vasodilator ISDN (+)
Isosorbide Dirutrate (ISDN)
Dobutamin , Dopamine (-)
2. Non medimentosa
Istirahat (+)

BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus Gastroenteritis dengan Dehidrasi Sedang + Dispepsia +


Pneumoni, diagnosa ditegakkan secara anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Setelah keadaan membaik pasien diperbolehkan
untuk pulang namun tetap harus dilakukan kontrol rutin ke rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Allen JN. 2004. Eusinophilic Lung Disease, dalam James CD, dkk (editor). Baum's
Textbook of Pulmonary Diseases. Philadephia: Lippincott W & W

Amin L. Tatalaksana Diare Akut. Continuing Medical Education. 2015;42(7):504-8.

Barr, w. and smith, a. (2017). [online] Available at: http://Acute Diarrhea in Adults
WENDY BARR, MD, MPH, MSCE, and ANDREW SMITH, MD Lawrence
Family Medicine Residency, Lawrence, Massachusetts [Accessed 5 Mar. 2017].

Bresee, J., Bulens, S., Beard, R., Dauphin, L., Slutsker, L., Bopp, C., Eberhard, M.,
Hall, A., Vinje, J., Monroe, S. and Glass, R. (2012). The Etiology of Severe 50
Acute Gastroenteritis Among Adults Visiting Emergency Departments in the
United States. Journal of Infectious Diseases, 205(9), pp.1374-1381.

Center of Disease Control and Prevention. Pneumonia: Pneumococcal disease. 2015.


Diunduh dari: http://www.cdc.gov/pneumococcal/clinicians/clinical-features.html.
Diunduh paa 3 Maret 2017.

Dahlan Z. 2009. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Indonesia
Depkes RI., 2012. Angka Kejadian Gastroenteritis Masih Tinggi.
http://www.depkes.go.id/index.php [Accessed 5 Mar. 2017 ]

Djojodibroto, R.D. Respirologi : Respiratory Medicine. 2013. Jakarta : ECG.

Dunn, L. Pneumonia : Classification, Diagnosis and Nursing Management. Royal


Collage of Nursing Standard Great Britain. 2007. 19(42). hal :50-54.

Ford AC, Moayyedi P. Dyspepsia. Curr Opin Gastroenterol. 2013;29:662-8.

Futagami S, Shimpuku M, Yin Y, et al. Pathophysiology of functional dyspepsia. J


Nippon Med Sch 2011;78:280-5.

Harmon RC, Peura DA. Evaluation and management of dyspepsia. Therap Adv
Gastroenterol 2010;3:87-98

Hidayati PS, Iswan Abbas Nusi IA, Maimunah U. Hubungan Seropositivitas CagA
H.pylori dengan Derajat Keparahan Gastritis pada Pasien Dispepsia. Divisi
Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR – RSU Dr
Soetomo Surabaya; 2013. (Unpublished manuscript).

How, C. (2010). Acute gastroenteritis: from guidelines to real life. Clinical and
Experimental Gastroenterology, p.97

Jeremy, P.T. At Glance Sistem Repiratory Edisi II. 2007. Jakarta : Erlangga Medical
Series

Lee YY, Chua AS. Investigating functional dyspepsia in Asia. J Neurogastroenterol


Motil 2012;18:239-45.

Luttfiya MN, Henley E, Chang L. Diagnosis and treatment of community acquired


pneumonia. American Family Physician. 2010;73(3):442-50.

Malfertheiner P, Megraud F, O’Morain CA, et al. Management of Helicobacter pylori


infection--the Maastricht IV/ Florence Consensus Report. Gut 2012;61:646-64.

Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, et al. Infectious Diseases Society of


America/American Thoracic Society consensus guidelines on the management of
community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis 2007; 44: Suppl. 2,
S27–S72. Tersedia di : www.thoracic.org/sections/publications/statements/
pages/mtpi/idsaats-cap.html [Diakses 3 Maret 2017].

Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report on functional


dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil 2012;18:150-68.

National Health Services. Pneumonia : Pneumonia Complication. 2014. Akses online


pada tanggal 3 Maret 2017 di
www.nhs.uk/Conditions/Pneumonia/Pages/Complication.aspx

Nuryasni. Pola Kepekaan Bakteri Gram Negatif pada Penderita Infeksi Saluran
Pernapasan Bawah terhadap Amoksisilin di Laboraturium Mikrobiologi Klinik
Departemen Mikrobiologi FK UI tahun 2001-2005. 2009. Program Sarjana
Pendidikan Dokter Umum. Universitas Indonesia : Jakarta.

PDPI. 2003. Pneumonia komuniti-pedoman diagnosis dan penatalaksaan di Indonesia.


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Rani AA, Fauzi A. Infeksi Helicobacter pylori dan penyakit gastro-duodenal. In:
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006:331-
6

Saad AM, Choudhary A, Bechtold ML. Effect of Helicobacter pylori treatment on


gastroesophageal reflux disease (GERD): meta-analysis of randomized controlled
trials. Scand J Gastroenterol 2012;47:129-35

Sajinadiyasa GK, Rai IB, Sriyeni LG. 2011. Perbandingan antara Pemberian
Antibiotika Monoterapi dengan Dualterapi terhadap Outcome pada Pasien
Community Acquired Pneumonia (CAP) di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. J
Peny Dalam;12:13-20

Sudoyo, 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit FK UI

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II eidsi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009

Syam AF, Abdullah M, Rani AA, et al. Evaluation of the use of rapid urease test:
Pronto Dry to detect H pylori in patients with dyspepsia in several cities in
Indonesia. World J Gastroenterol 2006;12:6216-8.

Syam AF, Abdullah M, Rani AA, et al. A comparison of 5 or 7 days of rabeprazole


triple therapy for eradication of Helicobacter pylori. Med J Indones 2010:113-7.

Wexner Medical Center.Community-Aqquired Pneumonia: Pneumonia Severy Index.


Akses oline pada tanggal 3 Maret 2017 di https://internalmedicine.osu.edu
/pulmonary/cap/10675.cfm

Wilson LM. Penyakit pernapasan restriktif dalam Price SA, Wilson LM. 2012.
Patofisiologi: konsep klinis prosses-proses penyakit E/6 Vol.2. Jakarta:EGC.
Hal:796-815

Worldgastroenterology.org. (2017). English | World Gastroenterology Organisation.


[online] Available at: http://www.worldgastroenterology.org /guidelines/global-
guidelines/acute-diarrhea/acute-diarrhea-english [Accessed 5 Mar. 2017]

Anda mungkin juga menyukai