Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

SISTEM ENDOKRIN, REPRODUKSI, DAN SIRKULASI


(DEA61074)
SEMESTER GANJIL

DISUSUN OLEH KELOMPOK B1


ANGGOTA:
Jefferson Azarya Pieter (NIM. 175070500111002)
Adelia Ayu Pritiyani (NIM. 175070500111004)
Shindy Ariesta Dewiadjie (NIM. 175070500111012)
Ernila Dewi Anggraeni (NIM. 175070500111018)
Isti’aina Mursyada (NIM. 175070500111020)
Abigail Andrea Wibyantri (NIM. 175070500111028)
Era Wiloka (NIM. 175070501111008)
Weliyatul Auli Sasmita (NIM. 175070501111010)
Gita Kurnia Ardiani (NIM. 175070501111020)
Mutia Khairunnisa Sya’bani (NIM. 175070507111004)
Shifa Nida’ul Khofiyya (NIM. 175070507111014)
Nabila Rifdati Fawwazia (NIM. 175070507111016)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2020/2021
OTITIS MEDIA
1. DEFINISI
Otitis media diambil dari bahasa Latin yang terdiri dari oto- yang berarti
‘telinga’, itis yang berarti ‘inflamasi’, dan medi- yang berarti ‘tengah’,
sehingga otitis media adalah inflamasi atau peradangan pada telinga tengah.
Terdapat tiga subtipe otitis media, yaitu otitis media akut, otitis media dengan
efusi, dan otitis media kronis. Pada otitis media akut, pengobatan akan efektif
apabila diberikan antibiotik (DiPiro et al., 2020). Peradangan yang terjadi
seringkali disebabkan karena adanya infeksi saluran pernapasan atas yang
dialami sebelumnya (BPJ, 2012).
Otitis media sering terjadi pada anak-anak dan kecenderungan untuk
sembuh sendiri tinggi. Diduga bahwa otitis media adalah penyakit yang tidak
bisa dihindari pada masa kanak-kanak dan merupakan salah satu tahap
pematangan sistem imun pada anak. Meski begitu, otitis media dapat
menyebabkan komplikasi, seperti perforasi membran timpani, otitis eksterna
dan mastoiditis, serta mempengaruhi keseimbangan, kontrol motor, dan
pendengaran (BPJ, 2012).

2. EPIDEMIOLOGI
Otitis media akut seringkali terjadi pada anak-anak. Beberapa negara
maju menjelaskan bahwa otitis media akut merupakan infeksi yang umum
pada usia dini dan merupakan alasan umum untuk berobat. Prevalensi otitis
media akut di setiap negara berbeda-beda, namun biasanya berada pada
kisaran 2,3 % – 20 %. Salah satu laporan Active Bacterial Core Surveilance
(ABCs) dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan
kasus OMA terjadi sebanyak enam juta kasus per tahun. Maropol, dkk juga
mendapati OMA menyebabkan 45-62% indikasi pemberian antibiotik pada
anak-anak di Amerika Serikat.
Di Indonesia sendiri belum ada data baku tentang prevalensi otitis media
akut. Berdasarkan survei kesehatan indra pendengaran tahun 1993-1996 pada
7 provinsi di Indonesia didapatkan prevalensi penyakit telinga tengah
populasi segala umur di Indonesia sebesar 3,9%. Penelitian OMA di Rumah
Sakit Immanuel Bandung tahun 2013 di dapatkan penderita OMA terbanyak
pada kelompok toddles (40,4%), anak laki-laki (52%), anak-anak dengan
pekerjaan orang tua ibu rumah tangga (48,1%). Didapatkan bahwa dari 52
kasus OMA di Rumah Sakit Immanuel Bandung tahun 2013 didapatkan 43
kasus dengan faktor risiko ISPA yaitu sebanyak 82,7%. Penelitian OMA juga
dilakukan di Poli THTKL RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2015 di
dapatkkan 192 pasien OMA dengan kejadian tertinggi, pada musim hujan
(65,6%), usia 6-12 tahun (30,7%), laki-laki (56,3%), keluhan otalgia (57,3%),
stadium hiperemis (unilateral) (46,7%), dan hiperemis-hiperemis (bilateral,
sinistradextra) (36,8%), serta riwayat infeksi saluran nafas atas (85,9%)
(Yuniarti, 2019).

3. ETIOLOGI
Etiologi definitif gangguan ini belum diketahui dengan jelas, namun
manifestasi spesifiknya adalah penurunan tonus m. tensor veli palatini pada
tuba Eustachius sehingga membuat kanal ini cenderung terbuka. Hal ini
membuat patogen yang sedang menginvasi dan memicu infeksi saluran napas
atas dapat lebih mudah berpindah ke area telinga tengah melalui nasofaring
dan tuba Eustachius. Di sisi lain, deteksi gangguan ini umumnya sulit
dikenali pada usia anak-anak. Patel, dkk (2011) menemukan insidensi
gangguan ini lebih sering terdeteksi pada orang dewasa dengan jumlah 0,3 –
6,6% dan sangat jarang terdeteksi pada anak-anak. Oleh karena itu, hal ini
juga memberikan kontribusi pada jumlah kasus pada usia dewasa yang relatif
lebih tinggi (Marni, 2018).
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang
paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh
Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, dan
Staphylococcus aureus. Beberapa mikroorganisme lain yang jarang
ditemukan adalah Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan
Clamydia tracomatis. Broides et al menemukan prevalensi bakteri penyebab
OMA adalah H.influenza 48%, S.pneumoniae 42,9%, M.catarrhalis 4,8%,
Streptococcus grup A 4,3% pada pasien usia di bawah 5 tahun pada tahun
1995-2006 di Negev, Israil. Sedangkan Titisari menemukan bakteri penyebab
OMA pada pasien yang berobat di RSCM dan RSAB Harapan Kita Jakarta
pada bulan Agustus 2004 – Februari 2005 yaitu S.aureus 78,3%,
S.pneumoniae 13%, dan H.influenza 8,7%. Virus terdeteksi pada sekret
pernafasan pada 40-90% anak dengan OMA, dan terdeteksi pada 20-48%
cairan telinga tengah anak dengan OMA. Virus yang sering sebagai penyebab
OMA adalah respiratory syncytial virus. Selain itu bisa disebabkan virus
parainfluenza (tipe 1,2, dan 3), influenza A dan B, rinovirus, adenovirus,
enterovirus, dan koronavirus. Penyebab yang jarang yaitu sitomegalovirus
dan herpes simpleks. Infeksi bisa disebabkan oleh virus sendiri atau
kombinasi dengan bakteri lain (Munilson, 2017).

4. PATOFISIOLOGI
Otitis media bisa disebabkan karena proses inflamasi setelah infeksi
saluran pernapasan atas akibat virus yang melibatkan mukosa hidung,
nasofaring dan mukosa teling tengah serta saluran Eustachius. Tuba
Eusthacius adalah pelindung alami yang mencegah kolonisasi dari nasofaring
ke telinga tengah. Anak-anak biasanya rentan terhadap otitis media akut
karena imunitas sistemik yang tidak matang dan imunitas anatomi yang tidak
matang. Karena proses inflamasi infeksi saluran pernafasan atas, hal ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan negatif yang akan memfasilitasi
masuknya bakteri dan virus patogen di telinga tengah yang meningkatkan
eksudat dari mukosa yang sudah meradang dan terjadi penumpukan sekresi
mukosa yang biasanya terdapat kolonisasi organisme bakteri dan virus di
telinga tengah. Jika dibiarkan maka pertumbuhan mikroba ini di telinga
tengah akan menyebabkan nanah dan terjadi purulensi di telinga tengah.
Secara klinisnya, membran timpani yang menonjol atau eritematosa dan
cairan telinga tengah yang bernanah (Danishyar, 2020).
Keberadaan patogen akan memicu adanya peradangan dan nanah di
telinga tengah sehingga menyebabkan gejala otitis media akut. Tulang telinga
tengah mejadi kurang gerak dan dapat terjadi resorpsi dan bisa menyebabkan
gangguan pendengaran konduktif yang permanen (Qureishi et al., 2014).
Otitis media akut merupakan inflamasi telinga tengah dengan onset gejala dan
tanda klinis yang cepat, seperti nyeri, demam, anoreksia, iritabel, atau juga
muntah. Otitis media yang disertai efusi ditandai dengan ditemukannya efusi
telinga tengah yang asimtomatik.

5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Terapi non-farmakologi yang disarankan untuk pasien dengan otitis
media adalah sebagai berikut (Agency for Healthcare Research and Quality,
2012):
 Menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan sekitar, merupakan langkah
yang penting untuk menghindari kontaminasi oleh bakteri.
 Menghindari asap rokok, karena asam rokok dapat menurunkan sistem
imun tubuh.
 Meningkatkan sistem imun dengan menerapkan pola hidup yang sehat
disertai mengkonsumsi makanan yang sehat.
 Alat bantu dengar dapat digunakan jika kemampuan pendengaran pasien
terganggu. Autoinflasi pada saluran Eustachian, dengan meledakkan
balon kecil lewat hidung, kemudian menggelembungkan balon dengan
meniup melalui setiap lubang hidung sehingga membuka saluran
Eustachius dan mengangkat drainase cairan kental yang mengisi telinga
tengah.

Terapi Bedah
Walaupun observasi yang hati-hati dan pemberian obat merupakan
pendekatan pertama dalam terapi OMA, terapi pembedahan perlu
dipertimbangkan pada anak dengan OMA rekuren, otitis media efusi (OME),
atau komplikasi supuratif seperti mastoiditis dengan osteitis. Beberapa terapi
bedah yang digunakan untuk penatalaksanaan OMA termasuk
timpanosintesis, miringotomi, dan adenoidektomi (Weber, 2003).
Timpanosintesis adalah pengambilan cairan dari telinga tengah dengan
menggunakan jarum untuk pemeriksaan mikrobiologi. Risiko dari prosedur
ini adalah perforasi kronik membran timpani, dislokasi tulang-tulang
pendengaran, dan tuli sensorineural traumatik, laserasi nervus fasialis atau
korda timpani (Hoberman, 2011). Oleh karena itu, timpanosintesis harus
dibatasi pada: anak yang menderita toksik atau demam tinggi, neonatus risiko
tinggi dengan kemungkinan OMA, anak di unit perawatan intensif, membran
timpani yang menggembung (bulging) dengan antisipasi ruptur spontan
(indikasi relatif), kemungkinan OMA dengan komplikasi supuratif akut,
OMA refrakter yang tidak respon terhadap paket kedua antibiotik (American
Academy of Pediatrics and American Academy of Family Physicians, 2004).
Timpanosintesis dapat Mengidentifikasi patogen pada 70-80% kasus.
Walaupun timpanosintesis dapat memperbaiki kepastian diagnostik untuk
OMA, tapi tidak memberikan keuntungan terapi dibanding antibiotik sendiri.
Terapi Timpanosintesis merupakan prosedur invasif, dapat menimbulkan
nyeri, dan berpotensi menimbulkan bahaya sebagai penatalaksanaan rutin
(Rosenfeld RM, 2003).

6. TERAPI FARMAKOLOGI
Tujuan penatalaksanaan OMA adalah mengurangi gejala dan rekurensi.
Pada fase inisial penatalaksanaan ditujukan pada penyembuhan gejala yang
berhubungan dengan nyeri dan demam dan mencegah komplikasi supuratif
seperti mastoiditis atau meningitis. Penatalaksanaan medis OMA menjadi
kompleks disebabkan perubahan patogen penyebab. Diagnosis yang tidak
tepat dapat menyebabkan pilihan terapi yang tidak tepat. Pada anak di bawah
dua tahun, hal ini bisa menimbulkan komplikasi yang serius. Diagnosis yang
tidak tepat dapat menyebabkan pasien diterapi dengan antibotik yang
sebenarnya kurang tepat atau tidak perlu. Hal ini dapat menyebabkan
meningkatnya resistensi antibiotik, sehingga infeksi menjadi lebih sulit
diatasi.
Penatalaksanaan OMA di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil Padang
tergantung pada stadium penyakit yaitu (THT-KL, 2008):
1. Stadium Oklusi: diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5%, dan
pemberian antibiotik.
2. Stadium Presupurasi: analgetika, antibiotika (biasanya golongan
ampicillin atau penisilin) dan obat tetes hidung.
3. Stadium Supurasi: diberikan antibiotika dan obat-obat simptomatik.
Dapat juga dilakukan miringotomi bila membran timpani menonjol dan
masih utuh untuk mencegah perforasi.
4. Stadium Perforasi: diberikan H2O2 3% selama 3-5 hari dan diberikan
antibiotika yang adekuat.

Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid bermanfaat untuk pengobatan otitis media
akut. Mekanisme anti-inflamasi terjadi karena penghambatan fosfolipase A2,
yang kemudian menghambat pembentukan asam arakidonat, sehingga
menghambat sintesis mediator inflamasi, peningkatan regulasi ion natrium
transepitelial, menyebabkan pengosongan cairan dari telinga tengah dan
menekan produksi musin dengan cara menekan musin5ac (MUC5AC). Bukti
ilmiah perbaikan jangka pendek penggunaan kortikosteroid intranasal masih
terbatas. Clinical practice guideline dari American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery tidak merekomendasikan
penggunaan kortikosteroid oral ataupun intranasal. Metaanalisis menunjukkan
tidak ada manfaat steroid oral dalam 2 minggu, tetapi steroid oral dengan
antimikroba lebih bermanfaat jangka pendek dibandingkan antimikroba saja;
setelah beberapa minggu perbedaan manfaat tidak signifikan. Outcome
setelah 12 minggu penggunaan kortikosteroid intranasal plus antibiotik
ekuivalen dengan pemberian antibiotik saja (Aquinas, 2017).
Terapi antibiotik
Antibiotik direkomendasikan untuk semua anak di bawah 6 bulan, 6
bulan – 2 tahun jika diagnosis pasti, dan untuk semua anak besar dari dua
tahun dengan infeksi berat (otalgia sedang atau berat atau suhu tubuh lebih
dari 39ºC).
Jika diputuskan perlunya pemberian antibiotik, lini pertama adalah
amoksisilin dengan dosis 80-90 mg/kg/hari. Pada pasien dengan penyakit
berat dan bila mendapat infeksi β-laktamase positif Haemophilus influenzae
dan Moraxella catarrhalis terapi dimulai dengan amoksisilin-klavulanat dosis
tinggi (90 mg/kg/hari untuk amoksisilin, 6,4 mg/kg/hari klavulanat dibagi 2
dosis). Jika pasien alergi amoksisilin dan reaksi alergi bukan reaksi
hipersensitivitas (urtikaria atau anafilaksis), dapat diberi cefdinir (14
mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis), cefpodoksim (10 mg/kg/hari 1 kali/hari)
atau cefuroksim (20 mg/kg/hari dibagi 2 dosis). Pada kasus reaksi tipe I
(hipersensitivitas), azitromisin (10 mg/kg/hari pada hari 1 diikuti 5
mg/kg/hari untuk 4 hari sebagai dosis tunggal harian) atau klaritromisin (15
mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi). Obat lain yang bisa digunakan eritromisin-
sulfisoksazol (50 mg/kg/hari eritromisin) atau sulfametoksazol-trimetoprim
(6-10 mg/kg/hari trimetoprim (Tabel 1).
Alternatif terapi pada pasien alergi penisilin yang diterapi untuk infeksi
yang diketahui atau diduga disebabkan penisilin resistan S.pneumoniae dapat
diberikan klindamisin 30-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi. Pada pasien
yang muntah atau tidak tahan obat oral dapat diberikan dosis tunggal
parenteral ceftriakson 50 mg/kg (Tabel 1).
(Ghanie, 2010).

Vaksin untuk mencegah OMA


Vaksin dapat digunakan untuk mencegah anak menderita OMA. Secara
teori, vaksin terbaik adalah yang menawarkan imunitas terhadap semua
patogen berbeda yang menyebabkan OMA. Walaupun vaksin polisakarida
mengandung jumlah serotipe yang relatif besar, preparat poliksakarida tidak
menginduksi imunitas seluler yang bertahan lama pada anak di bawah 2
tahun. Oleh karena itu, strategi vaksin terkini untuk mengontrol OMA adalah
konjungat polisakarida peneumokokal dengan protein nonpneumokokal
imunogenik, pendekatan yang dapat memicu respon imun yang kuat dan lama
pada bayi. Vaksin pneumokokus konjugat yang disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) yang dapat menginduksi respon imun lama terhadap
Pneumococcus serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F (PCV-7). Serotipe
ini dipilih berdasarkan frekuensinya yang sering ditemukan pada penyakit
pneumokokus invasif dan hubungannya dengan organisme yang
mutltidrugresistant. Data dari penelitian di AS dari 500 pasien dengan OMA
menunjukkan bahwa 84% dari total pneumokokus dan 95% serotipe yang
resisten antibiotik diisolasi dari aspirasi telinga tengah merupakan kandungan
dari vaksin konjugat (Ghanie, 2010).
Dosis primer pemberian vaksin adalah empat dosis tunggal 0,5 ml
intramuskular. Selama pemberian pada 23 juta vaksin dosis di AS, reaksi
lokal dan demam merupakan efek samping umum. Rekomendasi imunisasi
universal pada anak di bawah umur 2 tahun adalah 4 dosis vaksin
intramuskular yang diberikan pada usia 2, 4, 6, dan terakhir pada usia 12-15
bulan. Vaksin dini dapat diberikan bersamaan dengan imunisasi rutin.
American Academy of Pediatrics (AAP) dan Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP) merekomendasikan penggunaan vaksin 23
valen polisakarida pada anak risiko tinggi untuk memperluas cakupan
serotipe. Vaksinasi selektif pada anak usia 2-5 tahun yang tidak punya daya
tahan dianjurkan pada pasien dengan risiko tinggi menderita penyakit invasif
pneumokokus, termasuk penyakit sel sabit, HIV, dan penyakit kronik lainnya.
Vaksin pneumokokus konjugat sebaiknya dimasukkan dalam strategi
penatalaksanaan anak usia 2-5 tahun yang menderita OMA rekuren. Anak
tersebut memperoleh manfaat dari imunisasi dengan vaksin 23-valen
polisakarida ini, 8 minggu setelah menyelesaikan paket vaksin konyugat
pneumokokal (Ghanie, 2010).

5. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI


An. BN (10 tahun/23 kg/110 cm) sudah 2 hari ini mengeluhkan sakit
pada telinga bagian kiri dan demam, kemudian bersama ibunya datang ke
apotek Saudara untuk menebus resep. Mereka baru saja berobat ke dokter
spesialis THT. Dokter mengatakan bahwa An. BN mengalami akut otitis
media. Resep dari dokter berisi deksametason 0,25 mg 3 dd 1, Proris® sirup
(dokter lupa menulis signa untuk obat ini), dan Amoxil® 500 mg 3 dd 1.
Pasien sulit menelan obat dalam bentuk tablet.
Riwayat penyakit: infeksi pada saluran napas atas satu bulan yang lalu
Kebiasaan: suka tidur tengkurap
Riwayat alergi: ruam kulit setelah mengonsumsi amoxiclav saat mengalami
infeksi saluran napas atas pada satu bulan yang lalu
Riwayat pengobatan: amoxiclav satu bulan yang lalu
Riwayat sosial: An. BN dulunya lahir prematur dan saat bayi mengkonsumsi
ASI ditambah susu formula, kegiatan sehari-hari adalah sekolah dan mengaji
di TPQ (Taman Pendidikan Qur’an)
Riwayat keluarga: ibu An. BN pernah mengalami otitis media sewaktu kecil
Pertanyaan:
1. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan
tidak dapat dimodifikasi pada pasien ini!
2. Mengapa anak-anak berisiko lebih besar untuk mengalami akut otitis
media dibanding orang dewasa? Jelaskan! Berikan KIE terkait hal ini!
3. Jelaskan mekanisme virus atau bakteri dapat menyebabkan terjadinya
akut otitis media!
4. Sebutkan permasalahan terkait terapi pada pasien ini!
5. Berikanlah rekomendasi terapi yang sesuai untuk pasien ini!
6. Berikan KIE untuk pasien ini terkait terapi non-farmakologi dan cara
minum obat-obatnya!
7. Apakah pasien ini boleh diberikan obat Bodrexin® untuk mengatasi
keluhan otalgia dan demamnya? Beri penjelasan ilmiahnya!

8. PEMBAHASAN KASUS
1. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi
dan tidak dapat dimodifikasi pada pasien ini!
Faktor yang dapat dimodifikasi:
a. Kebiasaan tidur tengkurap, di mana posisi tersebut dapat
menyebabkan terjadinya refluks flora respiratori ke dalam rongga
telinga tengah.
b. Kegiatan sehari-hari adalah sekolah dan mengaji di mana penderita
berada di keramaian yang meningkatkan risiko paparan yang lebih
tinggi terhadap bakteri dan virus dari lingkungan yang padat dan
dapat menyebabkan disfungsi tuba eustachius.
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi:
a. Ibu An. BN pernah mengalami otitis media sewaktu kecil, adanya
riwayat keluarga yang memiliki penyakit OAM menyebabkan An.
BN kemungkinan memiliki anatomi telinga seperti ibunya sehingga
rentan mengalami OAM juga.
b. Lahir prematur, hal ini terkait dengan tingkat kematangan organ-
organ. Sistem organ yang belum matang dapat mengakibatkan belum
berfungsinya organ tubuh secara maksimal, sehingga proteksi
terhadap paparan patogen tidak maksimal.
c. Meminum susu formula dan kurangnya pemberian ASI, kurangnya
pemberian ASI mengakibatkan level antibodi yang melawan infeksi
saluran pernapasan menjadi rendah, sehingga proteksi terhadap
AOM minimal. Keunggulan ASI dibandingkan dengan susu formula
yaitu ASI mengandung IgA untuk menghindari risiko terjadinya
otitis media karena fungsi dari IgA yaitu agar bakteri mudah
dikeluarkan sehingga bakteri yang berada di nasofaring tidak lama
berada di sana.
d. Usia muda, penderita masih berusia 10 tahun dan masih tergolong
anak-anak di mana biasanya otitis media terjadi pada anak-anak
dikarenakan pada anak bentuk saluran eustachius lebih pendek,
horizontal dan lebih sering mengalami buntuan akibat pembesaran
kelenjar adenoid (adenoid: salah satu organ di tenggorokan bagian
atas yang berperan dalam kekebalan tubuh). Pada anak ukurannya
relatif lebih besar dibandingkan orang dewasa. Posisi adenoid
berdekatan dengan muara saluran eustachius sehingga adenoid yang
besar dapat mengganggu terbukanya saluran eustachius. Selain itu,
adenoid sendiri dapat terinfeksi di mana infeksi tersebut kemudian
menyebar ke telinga tengah lewat saluran eustachius.
e. ISPA 1 bulan yang lalu, Semakin sering anak terkena ISPA maka
makin besar kemungkinan mengalami OAM. Hal ini karena anatomi
saluran eustachius pada anak lebih lurus secara horizontal dan lebih
pendek sehingga bakteri dan virus tertarik ke dalam ruang telinga
tengah dan nasofaring melalui mucus sehingga menyebabkan infeksi
AOM. Selain itu lendir akibat infeksi saluran pernapasan atas (ISPA)
dapat menyumbat tuba eustachius dan menyebabkan akumulasi
cairan di telinga tengah.
2. Mengapa anak-anak berisiko lebih besar untuk mengalami akut
otitis media dibanding orang dewasa? Jelaskan! Berikan KIE terkait
hal ini!
Terdapat berbagai alasan mengapa anak-anak lebih rentan
mengalami otitis media dibandingkan orang dewasa.
a. Pertama, anak-anak lebih kesulitan melawan infeksi karena sistem
kekebalan tubuh yang belum adekuat.
b. Selain itu berkaitan dengan tuba eustachius anak. Tuba eustachius
adalah jalur kecil yang menghubungkan bagian atas tenggorokan ke
telinga tengah. Tuba eustachius anak-anak lebih pendek dan lebih
lurus/horizontal dibandingkan pada orang dewasa. Hal ini dapat
berkontribusi pada otitis media. Kondisi ini meningkatkan peluang
terjadinya refluks dari nasofaring menganggu drainase melalui tuba
Eustachius. Insiden terjadinya otitis media pada anak yang berumur
lebih tua berkurang, karena tuba telah berkembang sempurna dan
diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga jarang terjadi
obstruksi dan disfungsi tuba (Djaafar dkk., 2007).
c. Faktor lainnya adalah kelenjar adenoid pada anak-anak lebih besar
daripada pada orang dewasa. Kelenjar adenoid terdiri dari sel
limfosit yang membantu melawan infeksi. Kelenjar ini berada di
belakang bagian atas tenggorokan dekat saluran eustachius. Adenoid
yang membesar (karena ukurannya) dapat mengganggu pembukaan
tabung eustachius. Selain itu, kelenjar gondok sendiri dapat
terinfeksi, dan infeksi dapat menyebar ke saluran eustachius.
d. Riwayat OMA sewaktu kecil yang dapat berlanjut menderita episode
akut pada masa dewasa. Kadang-kadang, orang dewasa dengan
infeksi saluran pernapasan akut tapi tanpa riwayat sakit pada telinga
dapat menderita OMA. Apalagi anak dengan riwayat OMA yang
munkin kambuh saat dewasa ditambah dengan adanya ISPA
seminggu lalu (Donaldson, 2011).
e. Risiko terkena otitis media meningkat dengan adanya kontak dengan
anak lain, rumah dengan jumlah anggota keluarga yang melebihi
seharusnya, kumuh, dan interaksi dengan individual dengan otitis
media akut. Beberapa studi meneliti antara kondisi lingkungan yang
tidak baik dengan risiko otitis media pada komunitas pribumi.
Lingkungan yang padat sudah dipastikan sebagai masalah utama
pada komunitas pribumi (Umar, 2012).
KIE:
a. Menginformasikan bahwa ketika beranjak dewasa, kondisi akan
membaik.
b. Menganjurkan untuk menghindari faktor risiko:
 Dianjurkan untuk tidak tidur tengkurap, untuk mencegah
bakteri/virus dari nasofaring masuk ke telinga tengah.
 Dianjurkan untuk tidak berenang, untuk mencegah masuknya air
juga saat mandi.
c. Meningkatkan kekebalan tubuh anak dengan asupan makanan yang
bergizi.
d. Menghindari lingkungan yang padat dan berkumpul dengan banyak
orang, sehingga perlu izin tidak masuk sekolah dan les tari.
3. Jelaskan mekanisme virus atau bakteri dapat menyebabkan
terjadinya akut otitis media!
Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernapasan atas
(ISPA)  kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas, termasuk
nasofaring dan tuba Eustachius  tuba eustachius menjadi sempit 
sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah  bila keadaan demikian
berlangsung lama  refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari
nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk
mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi
gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi
kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Dengan
terganggunya fungsi tuba Eustachius, terganggu pula pencegahan invasi
kuman ke dalam telinga tengah sehingga kuman masuk  peradangan 
berlanjut akan mengakibatkan adanya efusi  efusi menjadi media ideal
untuk tumbuhnya bakteri, sehingga dapat menjadi pencetus OMA
(Aquinas, 2017).
Mekanisme lain yaitu akibat invasi virus dan bakteri yang diperjelas
secara khusus:
 Virus yang mampu merubah komponen dari jaringan mukus dan
mengganggu sistem mukosiliar yang menyebabkan gangguan fungsi
tuba Eustachius. Tuba Eustachius yang terganggu menyebabkan
tekanan negatif pada telinga tengah yang memfasilitasi masuknya
bakteri dan virus patogen ke dalam rongga telinga tengah
menyebabkan inflamasi telinga tengah, akumulasi cairan telinga
tengah, dan gejala otitis media akut.
Virus menyebabkan inflamasi pada nasofaring dan gangguan fungsi
dari tuba Eustachius. Tuba Eustachius sendiri merupakan pelindung
alami yang mencegah kolonisasi dari nasofaring ke telinga tengah.
Anak-anak biasanya rentan terhadap otitis media akut karena
imunitas sistemik yang tidak matang dan anatomi tuba yang lebih
horizontal. Virus/bakteri mengganggu pembersihan mukosiliar dan
menyebabkan tersumbatnya tuba Eustachius, sehingga tekanan
negatif terjadi pada telinga tengah. Tekanan negatif ini memfasilitasi
masuknya bakteri dan virus patogen ke dalam rongga telinga tengah
dan menyebabkan inflamasi telinga tengah, akumulasi cairan telinga
tengah, dan gejala otitis media akut (Mahardika dkk., 2014).
 Bakteri: secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya
mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba eustachius,
enzim dan antibodi. Obstruksi tuba eustachi merupakan suatu faktor
penyebab dasar pada otitis media akut. Dengan demikian hilanglah
sawar utama terhadap invasi bakteri, dan spesies bakteri yang tidak
biasanya patogenik, dapat berkolonisasi dalam telinga tengah,
menyerang jaringan dan menimbulkan infeksi bakteri yang
seringkali ditemukan antara lain Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, dan Streptococcus beta-hemolitikus
(Mamonto dkk., 2015).
4. Sebutkan permasalahan terkait terapi pada pasien ini!
 Dexamethason tidak disarankan penggunaanya. Berdasarkan
“Evidence Based Clinical Guideline for medical management of
Acute Otitis Media in Childer 2 month to 13 years of age”
disebutkan bahwa pemberian sediaan steroid masuk ke dalam terapi
yang tidak direkomendasikan untuk mengobati AOM. Selain itu
hasil penelitian lain menunjukkan bahwa steroid, antihistamin,
dekongestan tidak memberikan efikasi dalam pengobatan AOM.

 Pasien mengalami alergi Ampicilin. Pada pasien yang mengalami


sensitif (reaksi alergi tipe I) terhadap golongan penisilin maka tidak
boleh diresepkan pengobatan golongan penisilin beserta turunannya,
hal ini disebabkan oleh pada turunan penisilin (sefalosporin,
karbapenem) masih terdapat reaksi silang dengan penisilin akibat
adanya cincin beta laktam yang masih ada pada turunan penisilin.
Golongan sefalosporin yang masih memiliki reaksi silang dengan
alergi penisilin antara lain sefaleksin, sefadroksil, sefaklor, sefradin,
sefprozil, seftriakson, dan sefpodoxime. Sedangkan contoh golongan
sefalosporin lain yang dinilai lebih aman diresepkan pada pasien
yang mengalami alergi penisilin antara lain sefazolim, sefuroksim,
sefdinir, sefiksim, dan seftibuten. Pasien alergi namun diberikan obat
amoxicillin (gologan penisillin turunan ampisillin) untuk otitis media
akut.
 Pasien sulit menelan obat dalam bentuk tablet namun ada obat pada
resep yang diberikan kepada pasien yang berbentuk tablet. Maka
bisa disarankan melalui penggunaan topikal dengan isi bahan aktif
berupa steroid dan antibiotik atau bisa menggunakan sediaan oral
lain yang tersedia yakni dalam bentuk sirup kering.
5. Berikanlah rekomendasi terapi yang sesuai untuk pasien ini!
1. Terapi steroid (Deksametason 0,25 mg 3 dd 1)  tidak perlu
diberikan, dihentikan.
Deksametason lebih baik tidak diberikan pada pasien karena bukan
merupakan first line untuk otitis media. Steroid juga bisa berperan
sebagai imunosupresan, namun pada otitis media kemungkinan
terdapat infeksi bakteri sehingga penggunaan steroid kurang tepat.
Deksametason juga merupakan glukokortikoid kuat yang
menimbulkan efek samping poten pada anak seperti gangguan
pertumbuhan (deksametason mengganggu penyerapan kalsium di
tulang).
2. Terapi Analgesik-Oral  Proris® sirup  ibuprofen 100mg/5mL
 Indikasi: terapi simptomatik pada OAM, di mana manajemen
nyeri penting pada dua hari pertama setelah diagnosis
(Ramakrishnan, 2007). Untuk pereda nyeri ringan hingga sedang
dan sebagai pereda demam (analgesik dan antipiretik).
 Dosis: mengandung ibuprofen 100 mg tiap 5 ml. Aturan pakai
untuk anak 8-12 tahun yaitu 3-4 kali sehari 200 mg (2 sendok
takar 3-4 kali sehari)  maksimal 4 kali, disesuaikan dengan
BB-nya 5 mg/kg BB sekitar 215 mg, jadi 2 sendok takar /
minum sebanyak 3x sehari atau bila perlu saja.
Menurut Sweetman, et al. Pada tahun 2009, dosis Ibuprofen
untuk penggunaan pada anak sebagai berikut:

 ESO: pusing, sakit kepala, dispepsia, diare, mual, muntah, nyeri


abdomen, konstipasi, hematemesis, melena, perdarahan
lambung, ruam (PIONAS, 2020).
3. Terapi Analgesik-Topikal (ear drops)  Auralgan
 Indikasi: suspensi antipyrine/benzocaine otic untuk analgesia
lokal. Sebagai obat tetes telinga untuk mengurangi rasa sakit.
 Dosis: teteskan pada telinga dengan diulang setiap 1-2 jam
hingga nyeri reda. Diteteskan pada telinga yang sakit 1 tetes tiap
1-2 jam hingga nyeri reda.
 ESO: iritasi (Rx-List, 2020).
4. Terapi Antibiotik (oral)  Azithromycin (Zithromax®)  suspensi
kering  100 mg azithromycin per 5 ml
 Indikasi : Azitromisin digunakan untuk mengobati berbagai jenis
infeksi yang disebabkan oleh bakteri, seperti infeksi saluran
pernapasan, infeksi kulit, infeksi telinga, infeksi mata, dan
penyakit menular seksual (Drugs.com,2020).
Pasien dengan otitis media akut dan sebelumnya mengalami
infeksi saluran pernapasan atas sehingga penggunaan antibiotik
diperlukan pada pasien ini. Pasien mengalami alergi terhadap
amoksiklav yang merupakan antibiotik golongan penisilin
dengan gejala ruam kulit (yang mana digolongkan sebagai
hipersensitivitas tipe 1 / anafilaksis), sehingga antibiotik yang
disarankan adalah sediaan lini terapi obat golongan non-
penisilin. Rekomendasi untuk pasien ini adalah suspensi kering
azithromycin (Zithromax®).
 Dosis : (anak-anak) 10 mg/kgBB, dilanjutkan 5 mg/kgBB
selama 4 hari dan dosis maksimalnya adalah 500 mg/hari.
Perhitungan dosisnya yaitu menghasilkan dosis awal 230
mg/hari, kemudian dilanjutkan dengan dosis 115 mg/hari
sehingga aturan penggunaan obat ini adalah sehari tiga kali satu
sendok teh (sendok takar @5mL) setiap 8 jam pada hari pertama
dan sehari dua kali satu sendok teh setiap 12 jam selama 4 hari.
Terapi dilakukan selama 5 hari.
 ESO :. Diare, mual, sakit perut (Medscape, 2020).
6. Berikan KIE untuk pasien ini terkait terapi non-farmakologi dan
cara minum obat-obatnya!
 Proris (Ibuprofen suspense)
o Cara minum: 2 sendok takar (@ 5 mL) 3 – 4 kali sehari jika
nyeri atau demam, diminum sesudah makan untuk mengurangi
resiko rasa tidak nyaman pada perut.
o Proris termasuk suspense sehingga harus dikocok terlebih
dahulu.
 Auralgan (Tetes telinga)
o Cara pakai: Diteteskan pada telinga yang sakit, 1 tetes saja,
dengan diulang setiap 1-2 jam hingga nyeri reda.
o Cara penggunaan:
1. Tangan dicuci dengan air dan sabun.
2. Sebelum obat diteteskan, telinga dibersihkan dengan kain
basah secara perlahan kemudian dikeringkan.
3. Obat tetes telinga dihangatkan dengan tangan selama
beberapa menit. Botol obat tetes telinga dikocok perlahan.
4. Jika obat tetes telinga berawan, botol dikocok dengam baik
selama 10 detik.
5. Ujung penetes diperiksa untuk memastikan kondisi obat
dalam keadaan baik, tidak ada retakan atau kerusakan
6. Kepala dimiringkan sehingga telinga yang akan diteteskan
obat menjadi menghadap ke atas:
 Dewasa: tarik daun telinga ke atas dan ke belakang
untuk meluruskan saluran telinga.
 Anak < 3 tahun: tarik daun telinga ke bawah dan ke
belakang untuk meluruskan saluran telinga.
7. Obat diteteskan sesuai dengan dosis yang ditentukan pada
lubang telinga.
8. Posisi kepala dipertahankan tetap miring selama 2 – 3 menit
9. Tutup obat dipasangkan kembali.
10. Tangan dicuci lagi dengan air dan sabun.
o Obat tetes telinga maksimal hanya boleh digunakan selama 1
bulan.
 Zithromax (Azithromycin)
o Cara minum: 3 kali sehari atau tiap 8 jam 1 sendok takar, hari
berikutnya tiap 12 jam selama 4 hari 1 sendok takar.
o Cara penggunaan suspensi kering:
1. Tambahkan air sampai sebelum tanda batas.
2. Kocok perlahan hingga obat tercampur.
3. Jika belum mencapai tanda batas, dapat ditambahkan air
kembali hingga tanda batas, dan kocok kembali.
4. Dapat pula meminta bantuan apoteker untuk
mengencerkans saat membeli obat.
o Suspense kering maksimal digunakan 7 hari.
 Terapi non farmakologi:
o Menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan sekitar, merupakan
langkah yang penting untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi
saluran napas atas.
o Meningkatkan sistem imun dengan menerapkan pola hidup yang
sehat disertai mengkonsumsi makanan yang sehat dan rutin
berolahraga.
o Tidak tengkurap saat tidur.
o Beristirahat di rumah, dan jika sekolah dapat izin.
o Jika mandi, area telinga tidak terkena air.
o Makan makanan yang bergizi, vitamin, dan rajin olahraga untuk
meningkatkan sistem imun.
o Menghindari kegiatan berenang dahulu.
7. Apakah pasien ini boleh diberikan obat Bodrexin® untuk mengatasi
keluhan otalgia dan demamnya? Beri penjelasan ilmiahnya!
 BODREXIN merupakan tablet kunyah dengan kandungan Asam
Asetilsalisilat. Asam Asetilsalisilat tidak boleh diberikan pada anak
yang mengalami demam dan berusia di bawah 12 tahun, apapun
sebabnya, karena adanya bahaya sindroma Reye (problem
neurologist yang berhubungan dengan infeksi virus dan diobati
dengan salisilat). Aspirin tidak dianjurkan untuk anak-anak karena
kemungkinan akan mengganggu perkembanganya, sehingga
diberikan acetaminophen (Indijah & Fajri, 2016). Sindrom Reye
adalah kondisi langka namun serius yang menyebabkan steatosis
hepatitik mikrovesikuler (perubahan lemak pada hati) dan
ensefalopati akut (perubahan status mental) terutama pada anak-anak
dan remaja yang sedang dalam masa pemulihan dari penyakit virus
(seperti virus influenza atau varicella zoster). Kira-kira 3-5 hari
setelah timbulnya penyakit virus, tanda dan gejala sindrom Reye
berkembang dalam urutan berikut: muntah terus-menerus, kantuk
yang tidak biasa, kelesuan, disorientasi dan kebingungan, delirium,
kejang, dan kehilangan kesadaran.
 Pada level molekuler, asam asetilsalisilat meningkatkan stress
oksidatif sehingga dapat mengganggu fungsi mitokondria. Asam
asetilsalisilat diketahui dapat memicu apoptosis sel hepatosit
walaupun dengan kadar subtoksik (1–5 mmol/L). Obat ini
menginhibisi antiapoptotic nuclear factor kappa-light-chain-
enhancer dari sel B yang aktif (NF-kB).
 Asam asetilsalisilat juga menyebabkan kematian sel hepatosit
melalui jalur apoptosis yang berkaitan dengan mitochondrial
permeability transition (MPT), di mana terjadi kegagalan fosforilasi
oksidatif yang menyebabkan peningkatan produksi asetil CoA dan
penurunan free coenzyme A. Hal ini akan menyebabkan hiperamonia
dan hipoglikemia pada pasien (Mund et al., 2016).
 Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan dosis aspirin >45 mg/kg
meningkatkan risiko sindrom Reye hingga 20 kali lipat. Penelitian
lain juga menunjukkan bahwa kadar salisilat sebesar 150 µg/mL
dikaitkan dengan defisit neurologis dan mortalitas, sedangkan kadar
salisilat 100 µg/mL tidak dikaitkan dengan defisit neurologis. Hal ini
menunjukkan bahwa dosis salisilat yang tinggi dapat memperburuk
sindrom Reye yang dialami. Pada anak-anak, mekanisme
kompensasi terhadap acid stress tidak seefektif orang dewasa
sehingga gangguan sistem saraf pusat tampak nyata (Magrum,
2020).

9. DAFTAR PUSTAKA
Agency for Healthcare Research and Quality. 2012. Evidence-based Practice
Center Systematic Review Protocol Project Title: Otitis Media With
Effusion: Comparative Effectiveness of Treatments. Diakses dari
http://effectivehealthcare.ahrq.gov/ehc/products/387/1013/OME_Amend
edProtocol_20120807.pdf.
American Academy of Pediatrics and American Academy of Family
Physicians. Diagnosis and management of acute otitis media. Clinical
practice guideline. Pediatrics 2004; 113(5): 1451-1465.
Aquinas, Rimelda. Talakasana Otitis Media Efusi pada Anak. Cermin Dunia
Kedokteran 44, no. 7 (2017): 472-477.
BPJ. 2012. Otitis media: a common childhood illness (Online).
(http://bpac.org.nz, issue 46, p. 25-29, diakses pada 6 Desember 2020
pukul 16:04 WIB).
Buku acuan modul telinga. Radang telinga tengah. Edisi pertama. Kolegium
ilmu kesehatan THT-KL, 2008.
Danishyar, Amina, John VA. 2020. Acute Otitis Media. StatPearls [Internet] .
Diakses https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470332/ pada 2
Desember 2020 pukul 15.13.
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D. 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam:
Soepardi, E.A., Iskandar, N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
halaman 69-72.
DiPiro, Joseph T, Yee GC, Posey LM, Haines ST, Nolin TD, and Ellingrod
V. 2020. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 11th Edition.
New York: McGraw Hill.
Donaldson JD. Acute Otitis Media. Updated Oct 28, 2011. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com. Accessed February 6, 2012. 3.
Kong K, Coates HLC.
Drugs.com. 2020. Azithromycin. Tersedia di:
https://www.drugs.com/azithromycin.html [Diakses pada 2 Desember
2020].
Ghanie, A. (2010). Penatalaksanaan Otitis Media Akut Pada Anak.
Hoberman A, Paradise JL, Rockette HE, Shaikh N, Wald ER, Kearney DH, et
al. Treatment of acute otitis media in children under 2 years of age.
NEngl JMed. 2011; 364(2): 105-115.
Husni, Teuku. 2011. Hubungan Infeksi Saluran Pernapasan Akut dengan
Otitis Media Akut Pada Anak Bawah Lima Tahun di Puskesmas Kuta
Alam Kota Banda Aceh. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Volume 11
Nomor 3.
Indijah, Fajri P.2016. Modul Bahan Ajar Cetaj Farmasi. Jakarta : Becker.
Magrum BG, Pickworth KK. Aspirin rechallenge in an adult patient
previously diagnosed with Reye syndrome. Am J Health Syst Pharm.
2020, 77(2): 123-127.
Mahardika, I. W. P., Sudipta, I. M., & Sutanegara, S. W. D. Karakteristik
Pasien Otitis Media Akut Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar Periode Januari–Desember Tahun 2014.
Mamonto, N. D., Porotu’o, J., & Waworuntu, O. (2015). Pola Bakteri Aerob
Pada Pasien Dengan Diagnosis Otitis Media Supuratif Akut Di Poliklinik
Tht-kl Rsup. Prof. Dr. RD Kandou Manado. eBiomedik, 3(1).
Marni, Zulhafis Mandala RDL. Distribusi Usia dan Jenis Kelamin Pada
Angka Kejadian Otitis Media Media Akut di Rumah Sakit Umum Daerah
Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2016. Fak Kedokt Univ
Malahayati. 2018; 5(1): 1–8.
Medscape. 2020. Azithromycin (Rx). Tersedia di:
https://reference.medscape.com/drug/zithromax-zmax-azithromycin-
342523 [Diakses pada 2 Desember 2020].
Mund, Menend E., Cristoph Gyo., Dörthe Brüggmann, David Quarcoo and
David A. Groneberg. Acetylsalicylic acid as a potential pediatric health
hazard: legislative aspects concerning accidental intoxications in the
European Union. Journal of Occupational Medicine and Toxicology,
2016, 11 (32): 112-117.
Munilson J, Edward Y. Penatalaksanaan Otitis Media Akut. Penatalaksanaan
Otitis Media Akut. 2017; 1–9.
pionas. 2020. IBUPROFEN. Tersedia di:
http://pionas.pom.go.id/monografi/ibuprofen [Diakses pada 2 Desember
2020].
Qureishi A, Lee Y, Belfield K, Birchall JP, and Daniel M. Update on otitis
media – prevention and treatment. Infection and Drug Resistance, 2014;
7: 15–24.
Ramakrishnan, K., Sparks, R.A. and Berryhill, W.E., 2007. Diagnosis and
treatment of otitis media. Am Fam Physician, 76(11), pp.1650-8.
Rosenfeld, Richard M. dan C. D. Bluestone. 2003. Evidence-Based Otitis
Media, Second Edition. BC Decker Inc. Ontario.
RxList.2020. AURALGAN. Tersedia di: https://www.rxlist.com/auralgan-
side-effects-drug-center.htm [Diakses pada 2 Desember 2020].
Sweetman SC, et al. 2009. Martindale: The Complete Drus Reference Thirty-
Sixth Edition. Pharmaceutical Press. Chicago.
Umar. 2012. Prevalensi Dan Faktor Risiko Otitis Media Akut Pada Anak-
Anak Di Kotamadya Jakarta Timur. Jakarta: Universitas Indonesia.
Weber SM, Grundfast KM. Modern management of acute otitis media.
Pediatr Clin N Am. 2003; 50: 39411.
Yuniarti D, Triola S, Fitriyasti B. Prevalensi Otitis Media Akut di RS Islam
Siti Rahmah Padang Tahun 2017. Heal Med J. 2019; 1(1): 59–63.

Anda mungkin juga menyukai