Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH PENATAAN KLINIS STROKE DENGAN

PENDEKATAN KELUARGA

DI SUSUN OLEH :
Dr. EVA LAMRETTA RAJAGUKGUK
NIP : 19810212 201503 2 001

DI SUSUN UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN KENAIKAN


PANGKAT PNS DILINGKUNGAN PEMERINTAH
KABUPATEN PELALAWAN
TAHUN 2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah
yang berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2010). Perjalanan
OMA terdiri atas beberapa aspek yaitu efusi telinga tengah yang akan
berkembang menjadi pus oleh karena adanya infeksi mikroorganisme, adanya
tanda inflamasi akut, serta munculnya gejala otalgia, iritabilitas, dan demam
(Linsk dkk, 1997; Kaneshiro, 2010; WHO, 2010).
OMA merupakan salah satu dari berbagai penyakit yang umum terjadi
di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara dengan ekonomi rendah
termasuk Indonesia, serta memiliki angka kejadian yang cukup bervariasi
pada tiap-tiap negara (Aboet, 2006; WHO, 2006; WHO-SEARO, 2007).
Faktor usia merupakan salah satu faktor resiko yang cukup berkaitan
dengan terjadinya OMA. Kasus OMA secara umum banyak terjadi pada
anak-anak dibandingkan kalangan usia lainnya. Kondisi demikian terjadi
karena faktor anatomis, dimana pada fase perkembangan telinga tengah saat
usia anak-anak, tuba Eustachius memang memiliki posisi yang lebih
horizontal dengan drainase yang minimal dibandingkan dengan usia lebih
dewasa (Tortora dkk, 2009). Hal inilah yang membuat kecenderungan
terjadinya OMA pada usia anak-anak lebih besar dan lebih ekstrim
dibandingkan usia dewasa (Torpy, 2010).

1.2 TUJUAN PENULISAN


1.2.1 Mengetahui, memahami, dan menjelaskan patofisiologi, etiologi,
manifestasi klinis otitis media akut.
1.2.2 Mengetahui, memahami, dan menjelaskan penatalaksanaan otitis media
akut.
1.2.3 Menyusun dan menganalisa Asuhan Keperawatan untuk pasien otitis
media akut terkait kasus.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba euistachius, antum mastoid dan sel-sel mastoid. (Djaafar, 2010)
Otitis media akut adalah infeksi akut telinga tengah. Penyebab utama otitis
media akut adalah masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah yang
normalnya steril (Smeltzer, 2002).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala
dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau
sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam,
gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran
timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah
(Buchman, 2003).
Jadi, otitis media akut adalah infeksi akut telinga tengah dengan tanda dan
gejala klinis seperti otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, dan otore, yang
bersifat cepat dan singkat.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Pada Otitis media akut (OMA), diperkirakan 70% anak mengalami satu
atau lebih episode otitis media menjelang usia 3 tahun. Penyakit ini terjadi
terutama pada anak dari baru lahir sampai umur sekitar 7 tahun, dan setelah itu
insidennya mulai berkurang. Anak umur 6-11 bulan lebih rentan menderita OMA.
Insiden sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding perempuan. Sebagian
kecil anak menderita penyakit ini pada umur yang sudah lebih besar, pada umur 4
dan awal 5 tahun. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous
Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain.

3
Setelah gigi permanen muncul, insidensi OMA menurun dengan
signifikan, walaupun beberapa individu yang memang memiliki kecenderungan
tinggi mengalami otitis tetap sering mengalami episode eksaserbasi akut hingga
memasuki usia dewasa. Kadang-kadang, individu dewasa yang tidak pernah
memiliki riwayat penyakit telinga sebelumnya, namun mengalami Infeksi Saluran
Pernafasan Atas (ISPA) yang disebabkan oleh adanya infeksi virus juga
mengalami OMA (Donaldson, 2010).
Meskipun secara teoritis dinyatakan demikian, pendataan tentang kasus
OMA berdasarkan tingkat usia menunjukkan hasil yang bervariasi pada berbagai
negara. Kaneshiro menyatakan bahwa OMA merupakan penyakit yang umum
terjadi pada bayi, balita, dan anak-anak, sedangkan kasus OMA pada orang
dewasa juga pernah dilaporkan terjadi, namun dengan frekuensi yang tidak
setinggi pada anak-anak (Kaneshiro, 2010).
Di Indonesia sendiri, belum ada data akurat yang ditemukan untuk
menunjukkan angka kejadian, insidensi, maupun prevalensi OMA. Suheryanto
menyatakan bahwa OMA merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam
praktek sehari-hari, OMA menduduki peringkat enam dari sepuluh besar penyakit
terbanyak dan pada tahun 1997 menduduki peringkat lima, sedangkan di
poliklinik THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 1995 menduduki
peringkat dua (Suheryanto, 2000). Di sisi lain, penelitian maupun pendataan yang
meninjau hubungan faktor usia dan kejadian OMA belum pernah dilakukan di
Medan. Situasi ini mencetuskan pemikiran untuk mengetahui hubungan faktor
usia dengan terjadinya OMA, secara khusus di RSUP H. Adam Malik Medan
periode 2009-2010.

2.3 ETIOLOGI

Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring


dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba
ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim dan antibodi.
Otitis media akut (OMA) terjadi karena faktor pertahanan tubuh
terganggu. Disfungsi tuba eustachius, mengakibatkan pencegahan invasi kuman

4
ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga
tengah dan terjadi peradangan. Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA
ialah infeksi saluran nafas atas. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi
saluran nafas, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya
OMA dipermudah oleh karena tuba Eustachius nya pendek, lebar dan letaknya
agak horizontal.
Faktor umur berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA
pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak
matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau
status imunologi anak juga masih rendah.
Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosio-ekonomi juga berpengaruh,
seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higyene yang terbatas, status
nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong
terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh.
Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA.
Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih
signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang
sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insiden OMA
juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital
mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah
menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang
sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner,
2007).
Ada beberapa penyebab terjadinya otitis media akut (OMA) diantaranya :
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut
penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya
melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus
lain tergolong sebagai non-patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme
penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah
Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-
30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai

5
patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta-
hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Jenis
mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang
dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering
dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza
virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai
parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak
buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal,
meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan
menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007).

2.4 PATOFISIOLOGI

Otitis media akut terjadi akibat terganggunya faktor pertahanan tubuh


yang bertugas menjaga kesterilan telinga tengah. Otitis media sering diawali
dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang
menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat bakteri melalui saluran
Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga
terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran menyebabkan
transudasi, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah
putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai
hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan
jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di
telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga.

Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu


karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga
dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas.
Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan

6
halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan
pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga
juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut
akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.

2.5 KLASIFIKASI

Otitis media terbagi atas dua golongan besar, yaitu:


1. Otitis media supuratif
2. Otitis media non supuratif = otitis media serosa = otitis media sekretoria

Masing-masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronis, yaitu otitis


media supuratif akut (otitis media akut = OMA) dan otitis media supuratif kronis
(OMSK). Begitu pula otitis media serosa terbagi menjadi otitis media akut
(barotrauma = aerotitis) dan otitis media serosa kronis (glue ear). Selain itu juga
terdapat otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa dan otitis media
sifilitika, dan otitis media adhesiva.

Stadium OMA
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,
bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi
tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi,
stadium perforasi dan stadium resolusi (Djaafar, 2007).

Gambar Membran Timpani Normal

7
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai


oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif
di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran
timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya
juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga
menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-
kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh
pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini
sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh
virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi

Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran


timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema
mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis
disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi
oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan
membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi
bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh
dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan
ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena
terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala
berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

8
Gambar Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau
bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada
mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial
terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani
menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga
luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah
dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran
konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa
dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus
berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil,
sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan
nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau
yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan
miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada
membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju
liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup kembali,

9
sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup
kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak
utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

4. Stadium Perforasi

Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret


berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang
telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut).
Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan
tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih
tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.

Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap
berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media
supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu
setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media
supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

10
Gambar Membran Timpani Peforasi

5. Stadium Resolusi

Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan


berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran
timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup
kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran
kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika
membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman
rendah.

Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi


otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi
membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus
atau hilang timbul.

Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis
media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum
timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

11
2.6 MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek
sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa
nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa
kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh
tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar
tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang
anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka
sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang.
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya
suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang
tua pasien tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta
membran timpani yang kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut
Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor OMA adalah seperti berikut:

Tabel Skor OMA


Bengkak
Kemerahan pada pada
Tarik
Skor Suhu (OC) Gelisah membran membran
Telinga
timpani timpani
(buging)
0 <38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 38,0-38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan
2 38,6-39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang
3 >39,0 Berat berat Berat Berat,
termasuk
otore
(Titisari, 2005)

12
Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga
3, berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.
Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat
atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39°C oral atau 39,5°C rektal. OMA
ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39°C oral atau 39,5°C
rektal (Titisari, 2005).
Tabel gambaran klinis Otitis media akut (OMA)
Gambaran Otitis Media Akut
Otorea Ada bila membran timpani berlubang,
cairan banyak keluar.
Otalgia Hilang ketika membran timpani ruptur.
Nyeri tekan aural gejala Demam, infeksi saluran nafas atas, rinitis.
sistemik
Membran timpani Eritema, menggelembung, dapat
mengalami perforasi.
Kehilangan pendengaran Tipe konduktif.
(Smeltzer, 2001)

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut:

1. Penyakitnya muncul mendadak (akut)


2. Ditemukannya tanda efusi di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan
adanya salah satu di antara tanda berikut: menggembungnya gendang
telinga, terbatas / tidak adanya gerakan gendang telinga, adanya bayangan
cairan di belakang gendang telinga, cairan yang keluar dari telinga
3. Adanya tanda / gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan
adanya salah satu di antara tanda berikut: kemerahan pada gendang
telinga, nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.

13
Diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang cermat. Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan
usia pasien. Pada anak – anak umumnya keluhan berupa rasa nyeri di telinga dan
demam. Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya. Pada
remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan pendengaran
dan telinga terasa penuh. Pada bayi gejala khas adalah panas yang tinggi, anak
gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering memegang telinga yang
sakit.

Beberapa teknik pemeriksaan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis


OMA, seperti:

1. Otoskop: Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang


menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau
agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.
2. Otoskop pneumatik: Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak
ada sama sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan ini.
3. Timpanometri: Untuk mengkonfirmasi penemuan otoskopi pneumatik
dilakukan timpanometri. Timpanometri dapat memeriksa secara objektif
mobilitas membran timpani dan rantai tulang pendengaran.1
Timpanometri merupakan konfirmasi penting terdapatnya cairan di telinga
tengah. Timpanometri juga dapat mengukur tekanan telinga tengah dan
dengan mudah menilai patensi tabung miringotomi dengan mengukur
peningkatan volume liang telinga luar. Timpanometri punya sensitivitas
dan spesifisitas 70-90% untuk deteksi cairan telinga tengah, tetapi
tergantung kerjasama pasien.
4. Timpanosintesis: Timpanosintesis merupakan standar emas untuk
menunjukkan adanya cairan di telinga tengah dan untuk mengidentifikasi

Menurut beratnya gejala, OMA dapat diklasifikasi menjadi OMA berat


dan tidak berat. OMA berat apabila terdapat otalgia sedang sampai berat, atau
demam dengan suhu lebih atau sama dengan 39 0C oral atau 39,5 0C rektal, atau
keduanya. Sedangkan OMA tidak berat apabila terdapat otalgia ringan dan demam
dengan suhu kurang dari 39 0C oral atau 39,5 0C rektal, atau tidak demam.

14
2.8 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan


pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan
pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan
pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania
dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi
tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki
sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).

1. Stadium Oklusi Tuba


Pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga
tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl
efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun
atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur
atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan
pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).
2. Stadium Hiperemis
Dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Dianjurkan
pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi
resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap
penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau
eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis
(Djaafar, 2007).
3. Stadium Supurasi
Selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan
miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat
hilang dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).

15
4. Stadium Perforasi,
Sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut atau pulsasi.
Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan
5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret
akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan
10 hari (Djaafar, 2007).
5. Stadium Resolusi
Membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan
perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di
liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat
dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah
terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).

Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam
dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik
yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif
seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten
terhadap antibiotik meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004)
dalam Kerschner (2007), mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang
harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut.

Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA

Usia Diagnosis Pasti Diagnosis meragukan (Uncertain)


(Certain)
Kurang dari 6
Antibiotik Antibiotik
bulan
6 bulan sampai 2 Antibiotik jika gejala berat, observasi
Antibiotik
tahun jika gejala ringan
2 tahun ke atas Antibiotik jika Observasi
gejala berat,
observasi jika

16
gejala ringan

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut,
terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga
tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39°C
dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat
atau demam 39°C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan
pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat
pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up
dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap
diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).

Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan


first-line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal
selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika
pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti
cefdinir. Second-line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus
penumoniae (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7-valent conjugate vaccine dapat
dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media (American Academic of
Pediatric, 2004).

Pembedahan

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA


rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan
adenoidektomi (Buchman, 2003).
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani,
supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar.
Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak
harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi

17
miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan
sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat
pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak
dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis
nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami
kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA.
Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap
anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line,
untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis
merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya
mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis
adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif,
pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut
Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA
seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara
signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif,
randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media
dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan
miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak
memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah
didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali
jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner,
2007).

18
2.9 KOMPLIKASI

Perforasi membran timpani dapat menetap dan berlanjut menjadi otitis


media kronis. Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi,
mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua
jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik.
Mengikut Shambough (2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi
kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut,
paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal),
dan intracranial (abses otak, tromboflebitis).

2.10 PROGNOSIS

Prognosis otitis media akut baik, apabila diberikan terapi yang adekuat
(antibiotik yang tepat dan dosis yang cukup).

19
BAB III

KASUS DAN PEMBAHASAN

1.1 Asuhan Keperawatan

3.1.1 Kasus
Seorang perempuan berusia 16 tahun datang ke poli THT dengan keluhan
nyeri pada telinga bagian dalam, terasa penuh dan pendengaran menurun. Keluhan
dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Seminggu sebelum ke Rumah Sakit pasien
menderita batuk pilek selama 2 minggu. Hasil pemeriksaan fisik di dapatkan
membran timpani intak dan menonjol, terdapat edema mukosa, TD 100/80
mmHg, Nadi 100 x/ menit, RR 18 x/menit, suhu 38,5 oC. Klien dinyatakan Otitis
Media Akut.

3.1.2 Pembahasan Kasus


A. Pengumpulan Data

a. Biodata

1) Nama : Nn. N

2) Usia : 16 tahun

3) Alamat :-

4) Jenis Kelamin : Perempuan

5) Pendidikan :-

6) Agama :-

7) Suku Bangsa :-

8) Tanggal Masuk Dirawat :-

9)Diagnosa Medis : Otitis Media Akut

b. Riwayat Kesehatan

20
1) Keluhan Utama : Nyeri pada telinga bagian dalam

2) Riwayat Kesehatan Sekarang

Nyeri telinga bagian dalam, terasa penuh, dan pendengaran


menurun keluhan dirasakan sejak 3 hari yang lalu.

3) Riwayat Kesehatan Dahulu

Selama 2 minggu pasien menderita batuk dan pilek.

4) Riwayat Kesehatan Keluarga :-

c. Data Biologis

1) Pola Kehidupan Sehari-hari :-

2) Pemeriksaan Fisik

a) Keadaan Umum

(1) Kesadaran : Compos Mentis

(2) Orientasi :-

b) Tanda-tanda Vital

(1) Temperatur : 38,5 0C

(2) Denyut Nadi : 100 x / menit

(3) Respirasi : 18 x/menit

(4) Tekanan Darah : 100/80 mmHg

Keluhan : Nyeri telinga bagian dalam, terasa penuh dan


pendengaran menurun.

c) Pemeriksaan Telinga : Membran timpani intak dan


menonjol, terdapat edema mukosa.

d) Data Psikologis :-

21
e) Data Sosial dan Spiritual :-

f) Data Penunjang :-

22
B. Analisis Data

No Data Etiologi Masalah


1. Data subjektif : pasien mengatakan Invasi bactery/virus/jamur Nyeri Akut
nyeri telinga bagian tengah  inflamasi

Data objektif : Hasil pengkajian oleh


perawat didapatkan membran timpani
intak dan menonjol.

2. Data subjektif : Pasien mengeluh Inflamasi  peningkatan Gangguan komunikasi


telinga terasa penuh dan penurunan produksi cairan serosa 
pendengaran. akumulasi cairan mukus
dan serosa  hantaran
Data objektif : Hasil Pengkajian oleh suara udara yang diterima
perawat di dapatkan edema mukosa. menurun

3. Data subjektif : Seminggu sebelum ke ISPA tidak tertangani Kurang pengetahuan mengenai proses penyakit
rumah sakit pasien menderita batuk dengan baik 
bactery/virus masuk ke

23
pilek selama 2 minggu. telinga bagian tengah
melalui tuba eustachius 
Data objektif : infeksi telinga bagian
tengah

3.1.3 RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Nyeri akut - Rasa nyeri yang di 1. Untuk kolaborasi, 1. Analgesik merupakan pereda nyeri yang efektif pada pasien
berhubungan rasakan pasien beri untuk  mengurangi sensasi nyeri dari dalam.
dengan proses berkurang / hilang. aspirin/analgesik
peradangan. - Tentukan riwayat, sesuai instruksi,
Data subjektif : misalnya lokasi nyeri, beri sedatif sesuai
Pasien frekuensi, durasi, dan indikasi.
2. Metode pengalihan suasana dengan melakukan relaksasi bisa
mengatakan intensitas (skala 0 – 2. Ajarkan klien
mengurangi nyeri yang diderita klien.
nyeri telinga 10) dan tindakan untuk
bagian tengah penghilangan nyeri mengalihkan

24
yang digunakan. suasana dengan
Data objektif : melakukan
Hasil metode relaksasi
pengkajian oleh saat nyeri yang
perawat teramat sangat
didapatkan muncul, relaksasi
membran seperti menarik
3. Kompres dingin bertujuan mengurangi nyeri karena rasa nyeri
timpani intak napas panjang.
teralihkan oleh rasa dingin di sekitar area telinga.
dan menonjol. 3. Kompres dingin di
sekitar area
4. Posisi yang sesuai akan membuat klien merasa nyaman.
telinga.
4. Atur posisi klien.
2. Gangguan Gangguan komunikasi 1. Dapatkan apa 1. Dengan mengetahui metode komunikasi yang diinginkan oleh
Komunikasi berkurang / hilang metode klien maka metode yang akan digunakan dapat disesuaikan
berhubungan komunikasi yang dengan kemampuan dan keterbatasan klien.
dengan efek diinginkan dan
kehilangan catat pada rencana
pendengaran. perawatan metode
Data subjektif : yang digunakan

25
Pasien oleh staf dan
mengeluh klien, seperti :
telinga terasa tulisan, berbicara,
penuh dan bahasa isyarat.
2. Pesan yang ingin disampaikan oleh perawat kepada klien dapat
penurunan 2. Pantau
diterima dengan baik oleh klien.
pendengaran. kemampuan klien
untuk menerima
Data objektif : pesan secara
Hasil verbal.
3. Memungkinkan komunikasi dua arah antara perawat dengan
Pengkajian oleh 3. Gunakan faktor-
klien dapat berjalan dengan baik dan klien dapat menerima
perawat di faktor yang
pesan perawat secara tepat.
dapatkan edema meningkatkan
mukosa. pendengaran dan
pemahaman.
3. Kurangnya Klien akan mempunyai 1. Beri penjelasan 1. Pendidikan kesehatan tentang penyakit yang dirasakan klien
pengetahuan pemahaman yang baik terkait penyakit dapat membantu meningkatkan pemahaman klien sehingga
berhubungan tentang penyebab klien, apa dapat berpartisipasi dalam pencegahan keparahan.
dengan proses penyakit, dan penyebabnya dan
penyakit. bagaimana prosesnya. bagaimana bisa

26
Data subjektif : terjadi, dan apa
Seminggu jelaskan apa
sebelum ke hubungannya
rumah sakit dengan batuk
pasien pilek. Jelaskan
menderita batuk dengan bahasa
pilek selama 2 yang mudah
minggu. dimengerti.

Data objektif :

27
Intervensi keperawatan Post- operasi dan Pre-operasi

Sebelum dan setelah pasien menjalani tindakan operasi, maka ada


beberapa tindakan yang harus perawat lakukan agar pasien siap untuk melakukan
operasi dengan menberikan intervensi pre-operasi. Dan mengurangi efek samping
setelah operasi dan menghindari hal-hal yang dapat memperburuk keadaan pasien
setelah melakukan operasi dengan memberikan intervensi post-operasi.

a. Intervensi Pre-operasi
- Kolaborasi dengan dokter untuk menjelaskan prosedur operasi pasien.
- Memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien mengenai : prosedur
operasi, efek samping operasi, hal apa saja yang boleh dan tidak boleh
dilakukan sebelum operasi dan setelah operasi.
- Menggali perasaan pasien agar tidak terjadi kecemasan yang akan
berdampak pada pasien.
b. Intervensi Post-operasi
- Mengkaji keadaan umum pasien setelah operasi
- Memberitahu pasien mengenai tanda-tanda infeksi pada luka bekas
operasi dan cara mencegahnya.
- Memberitahu pasien posisi yang baik untuk pasien.

28
BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Otitis media akut merupakan peradangan telinga tengah, sering terjadi


pada anak-anak. Penyebab otitis media akut adalah infeksi saluran pernapasan
atas, bakteri piogenik, dan virus. Diagnosis otitis media akut dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti otoskop,
otoskop pneumatic, timpanometri, dan timpanosintesis.

Gejala otitis media akut pada anak adalah rasa nyeri di telinga disertai
riwayat batuk dan pilek sebelumya, suhu meningkat. Sedangkan pada orang
dewasa, nyeri, suhu meningkat, penurunan pendengaran, dan rasa penuh di
telinga. Penatalaksanaan OMA pada prinsipnya adalah terapi medikamentosa
yang diberikan tergantung dari stadium penyakitnya.

29
DAFTAR PUSTAKA

Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J. 2003. Infection of the Ear. In: Lee,

K.J., ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA:
McGraw-Hill Companies, Inc., 462-511.

Cecily,m I. Betz. 2005. Buku Saku Keperawatan Pediatric, Edisi 3. Jakarta : EGC

Corwin, J. Elizabeth. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2010. Kelainan Telinga Tengah. Dalam:
Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 64-86.

Baughman, Diane C, JoAnn, C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal Bedah:


Buku Saku dari Brunner & Suddart. Jakarta: EGC

http://repository.unand.ac.id/18807/1/Penatalaksanaan%20otitis%20media
%20akut_repositori.pdf (Diakses pada tanggal 12 September 2015)

http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35547 Kep%20Sensori%20dan
%20PersepsiAskep%20OMA%20dan%20OMK.html (Diakses pada
tanggal 12 September 2015)

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25640/4/Chapter%20II.pdf (Diakses pada


tanggal 12 September 2015)

http://allergycliniconline.com/2012/01/31/otitis-media-akut-infeksi-telinga-pada-
anak-2/ (Diakses pada tanggal 12 September 2015)

Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan 2012-2014. Jakarta: EGC

30
LAMPIRAN PATOFISIOLOGI OTITIS MEDIA AKUT

Infeksi oleh Disfungsi tuba Pencegahan invasi Kuman masuk ke


ISPA inflamasi
Bakteri Eustachius kuman ke telinga tengah telinga tengah
terganggu
Pertahanan Tersumbatnya
tubuh Merangsang pelepasan saluran Eustachius
Gatal pada Merespon
zat Vasoaktif (Histamin,
telinga rangsang gatal
Trauma, Ruptur gendang Bradikinin)
benda asing telinga SDP datang untuk
Terdengar Terasa bergerak membunuh bakteri
Tinitus Nyeri
suara berderik saat kepala
(berdengung) Dengung
dari telinga berubah posisi SDP ikut hancur
Dx: Gg.
Hipotalamus set
Termoregulasi Demam Fagositosis Infeksi
poin tubuh Interleukin 1 Prostaglandin Terbentuk sekret
sel radang siskemik

Sekret terakumulasi
Dx: Resiko Bakteri dari telinga tengah
Keseimbangan Disfungsi Infeksi Kanalis di telinga tengah
Cidera Vertigo menginfasi labirin melalui
tubuh menurun Nervus Fasialis Semisirkularis
jendela oval dan bulat
Ditambah dengan
Nekrosis Tek. Telinga
Iskemia Membran tympani produksi mucus
jaringan tengah > Shift cairan ke Permeabilitas kapiler
bulging ke liang Edema << oleh mukosa
telinga luar interstisial mukosa di sel mukosa
telinga luar
Membran Perforasi Terjadi Tekanan
Tampak Vasodilatasi PD
Tympani ruptur membran Tympani Dx: Gg. Rasa
Nyeri telinga Otalgia merah
hebat Nyaman:
Edema Akibat dari
Nyeri Hiperemis mukosa
Cairan keluar ke absoprsi
Otore telinga tengah
telinga luar udara
Ketajaman 31
Dx: Gg. Body Dx: Gg. Dx: Gg. Persepsi Konduksi udara Terputusnya Defek membran
pendengaran Rasio tekanan
image Komunikasi Sensori: Pendengaran ketelinga dalam rantai Osikulus Timphani
menurun udara hilang
terputus

Anda mungkin juga menyukai