PENDEKATAN KELUARGA
DI SUSUN OLEH :
Dr. EVA LAMRETTA RAJAGUKGUK
NIP : 19810212 201503 2 001
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 DEFINISI
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba euistachius, antum mastoid dan sel-sel mastoid. (Djaafar, 2010)
Otitis media akut adalah infeksi akut telinga tengah. Penyebab utama otitis
media akut adalah masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah yang
normalnya steril (Smeltzer, 2002).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala
dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau
sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam,
gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran
timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah
(Buchman, 2003).
Jadi, otitis media akut adalah infeksi akut telinga tengah dengan tanda dan
gejala klinis seperti otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, dan otore, yang
bersifat cepat dan singkat.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada Otitis media akut (OMA), diperkirakan 70% anak mengalami satu
atau lebih episode otitis media menjelang usia 3 tahun. Penyakit ini terjadi
terutama pada anak dari baru lahir sampai umur sekitar 7 tahun, dan setelah itu
insidennya mulai berkurang. Anak umur 6-11 bulan lebih rentan menderita OMA.
Insiden sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding perempuan. Sebagian
kecil anak menderita penyakit ini pada umur yang sudah lebih besar, pada umur 4
dan awal 5 tahun. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous
Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain.
3
Setelah gigi permanen muncul, insidensi OMA menurun dengan
signifikan, walaupun beberapa individu yang memang memiliki kecenderungan
tinggi mengalami otitis tetap sering mengalami episode eksaserbasi akut hingga
memasuki usia dewasa. Kadang-kadang, individu dewasa yang tidak pernah
memiliki riwayat penyakit telinga sebelumnya, namun mengalami Infeksi Saluran
Pernafasan Atas (ISPA) yang disebabkan oleh adanya infeksi virus juga
mengalami OMA (Donaldson, 2010).
Meskipun secara teoritis dinyatakan demikian, pendataan tentang kasus
OMA berdasarkan tingkat usia menunjukkan hasil yang bervariasi pada berbagai
negara. Kaneshiro menyatakan bahwa OMA merupakan penyakit yang umum
terjadi pada bayi, balita, dan anak-anak, sedangkan kasus OMA pada orang
dewasa juga pernah dilaporkan terjadi, namun dengan frekuensi yang tidak
setinggi pada anak-anak (Kaneshiro, 2010).
Di Indonesia sendiri, belum ada data akurat yang ditemukan untuk
menunjukkan angka kejadian, insidensi, maupun prevalensi OMA. Suheryanto
menyatakan bahwa OMA merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam
praktek sehari-hari, OMA menduduki peringkat enam dari sepuluh besar penyakit
terbanyak dan pada tahun 1997 menduduki peringkat lima, sedangkan di
poliklinik THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 1995 menduduki
peringkat dua (Suheryanto, 2000). Di sisi lain, penelitian maupun pendataan yang
meninjau hubungan faktor usia dan kejadian OMA belum pernah dilakukan di
Medan. Situasi ini mencetuskan pemikiran untuk mengetahui hubungan faktor
usia dengan terjadinya OMA, secara khusus di RSUP H. Adam Malik Medan
periode 2009-2010.
2.3 ETIOLOGI
4
ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga
tengah dan terjadi peradangan. Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA
ialah infeksi saluran nafas atas. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi
saluran nafas, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya
OMA dipermudah oleh karena tuba Eustachius nya pendek, lebar dan letaknya
agak horizontal.
Faktor umur berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA
pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak
matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau
status imunologi anak juga masih rendah.
Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosio-ekonomi juga berpengaruh,
seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higyene yang terbatas, status
nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong
terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh.
Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA.
Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih
signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang
sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insiden OMA
juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital
mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah
menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang
sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner,
2007).
Ada beberapa penyebab terjadinya otitis media akut (OMA) diantaranya :
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut
penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya
melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus
lain tergolong sebagai non-patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme
penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah
Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-
30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai
5
patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta-
hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Jenis
mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang
dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering
dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza
virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai
parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak
buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal,
meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan
menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007).
2.4 PATOFISIOLOGI
6
halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan
pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga
juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut
akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.
2.5 KLASIFIKASI
Stadium OMA
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,
bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi
tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi,
stadium perforasi dan stadium resolusi (Djaafar, 2007).
7
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
8
Gambar Membran Timpani Hiperemis
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau
bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada
mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial
terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani
menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga
luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah
dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran
konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa
dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus
berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil,
sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan
nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau
yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan
miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada
membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju
liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup kembali,
9
sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup
kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak
utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen
4. Stadium Perforasi
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap
berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media
supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu
setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media
supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
10
Gambar Membran Timpani Peforasi
5. Stadium Resolusi
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis
media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum
timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).
11
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek
sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa
nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa
kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh
tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar
tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang
anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka
sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang.
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya
suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang
tua pasien tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta
membran timpani yang kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut
Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor OMA adalah seperti berikut:
12
Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga
3, berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.
Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat
atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39°C oral atau 39,5°C rektal. OMA
ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39°C oral atau 39,5°C
rektal (Titisari, 2005).
Tabel gambaran klinis Otitis media akut (OMA)
Gambaran Otitis Media Akut
Otorea Ada bila membran timpani berlubang,
cairan banyak keluar.
Otalgia Hilang ketika membran timpani ruptur.
Nyeri tekan aural gejala Demam, infeksi saluran nafas atas, rinitis.
sistemik
Membran timpani Eritema, menggelembung, dapat
mengalami perforasi.
Kehilangan pendengaran Tipe konduktif.
(Smeltzer, 2001)
13
Diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang cermat. Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan
usia pasien. Pada anak – anak umumnya keluhan berupa rasa nyeri di telinga dan
demam. Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya. Pada
remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan pendengaran
dan telinga terasa penuh. Pada bayi gejala khas adalah panas yang tinggi, anak
gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering memegang telinga yang
sakit.
14
2.8 PENATALAKSANAAN
15
4. Stadium Perforasi,
Sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut atau pulsasi.
Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan
5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret
akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan
10 hari (Djaafar, 2007).
5. Stadium Resolusi
Membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan
perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di
liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat
dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah
terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam
dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik
yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif
seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten
terhadap antibiotik meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004)
dalam Kerschner (2007), mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang
harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut.
16
gejala ringan
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut,
terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga
tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39°C
dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat
atau demam 39°C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan
pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat
pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up
dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap
diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).
Pembedahan
17
miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan
sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat
pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak
dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis
nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami
kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA.
Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap
anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line,
untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis
merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya
mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis
adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif,
pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut
Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA
seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara
signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif,
randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media
dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan
miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak
memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah
didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali
jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner,
2007).
18
2.9 KOMPLIKASI
2.10 PROGNOSIS
Prognosis otitis media akut baik, apabila diberikan terapi yang adekuat
(antibiotik yang tepat dan dosis yang cukup).
19
BAB III
3.1.1 Kasus
Seorang perempuan berusia 16 tahun datang ke poli THT dengan keluhan
nyeri pada telinga bagian dalam, terasa penuh dan pendengaran menurun. Keluhan
dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Seminggu sebelum ke Rumah Sakit pasien
menderita batuk pilek selama 2 minggu. Hasil pemeriksaan fisik di dapatkan
membran timpani intak dan menonjol, terdapat edema mukosa, TD 100/80
mmHg, Nadi 100 x/ menit, RR 18 x/menit, suhu 38,5 oC. Klien dinyatakan Otitis
Media Akut.
a. Biodata
1) Nama : Nn. N
2) Usia : 16 tahun
3) Alamat :-
5) Pendidikan :-
6) Agama :-
7) Suku Bangsa :-
b. Riwayat Kesehatan
20
1) Keluhan Utama : Nyeri pada telinga bagian dalam
c. Data Biologis
2) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
(2) Orientasi :-
b) Tanda-tanda Vital
d) Data Psikologis :-
21
e) Data Sosial dan Spiritual :-
f) Data Penunjang :-
22
B. Analisis Data
3. Data subjektif : Seminggu sebelum ke ISPA tidak tertangani Kurang pengetahuan mengenai proses penyakit
rumah sakit pasien menderita batuk dengan baik
bactery/virus masuk ke
23
pilek selama 2 minggu. telinga bagian tengah
melalui tuba eustachius
Data objektif : infeksi telinga bagian
tengah
Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
1. Nyeri akut - Rasa nyeri yang di 1. Untuk kolaborasi, 1. Analgesik merupakan pereda nyeri yang efektif pada pasien
berhubungan rasakan pasien beri untuk mengurangi sensasi nyeri dari dalam.
dengan proses berkurang / hilang. aspirin/analgesik
peradangan. - Tentukan riwayat, sesuai instruksi,
Data subjektif : misalnya lokasi nyeri, beri sedatif sesuai
Pasien frekuensi, durasi, dan indikasi.
2. Metode pengalihan suasana dengan melakukan relaksasi bisa
mengatakan intensitas (skala 0 – 2. Ajarkan klien
mengurangi nyeri yang diderita klien.
nyeri telinga 10) dan tindakan untuk
bagian tengah penghilangan nyeri mengalihkan
24
yang digunakan. suasana dengan
Data objektif : melakukan
Hasil metode relaksasi
pengkajian oleh saat nyeri yang
perawat teramat sangat
didapatkan muncul, relaksasi
membran seperti menarik
3. Kompres dingin bertujuan mengurangi nyeri karena rasa nyeri
timpani intak napas panjang.
teralihkan oleh rasa dingin di sekitar area telinga.
dan menonjol. 3. Kompres dingin di
sekitar area
4. Posisi yang sesuai akan membuat klien merasa nyaman.
telinga.
4. Atur posisi klien.
2. Gangguan Gangguan komunikasi 1. Dapatkan apa 1. Dengan mengetahui metode komunikasi yang diinginkan oleh
Komunikasi berkurang / hilang metode klien maka metode yang akan digunakan dapat disesuaikan
berhubungan komunikasi yang dengan kemampuan dan keterbatasan klien.
dengan efek diinginkan dan
kehilangan catat pada rencana
pendengaran. perawatan metode
Data subjektif : yang digunakan
25
Pasien oleh staf dan
mengeluh klien, seperti :
telinga terasa tulisan, berbicara,
penuh dan bahasa isyarat.
2. Pesan yang ingin disampaikan oleh perawat kepada klien dapat
penurunan 2. Pantau
diterima dengan baik oleh klien.
pendengaran. kemampuan klien
untuk menerima
Data objektif : pesan secara
Hasil verbal.
3. Memungkinkan komunikasi dua arah antara perawat dengan
Pengkajian oleh 3. Gunakan faktor-
klien dapat berjalan dengan baik dan klien dapat menerima
perawat di faktor yang
pesan perawat secara tepat.
dapatkan edema meningkatkan
mukosa. pendengaran dan
pemahaman.
3. Kurangnya Klien akan mempunyai 1. Beri penjelasan 1. Pendidikan kesehatan tentang penyakit yang dirasakan klien
pengetahuan pemahaman yang baik terkait penyakit dapat membantu meningkatkan pemahaman klien sehingga
berhubungan tentang penyebab klien, apa dapat berpartisipasi dalam pencegahan keparahan.
dengan proses penyakit, dan penyebabnya dan
penyakit. bagaimana prosesnya. bagaimana bisa
26
Data subjektif : terjadi, dan apa
Seminggu jelaskan apa
sebelum ke hubungannya
rumah sakit dengan batuk
pasien pilek. Jelaskan
menderita batuk dengan bahasa
pilek selama 2 yang mudah
minggu. dimengerti.
Data objektif :
27
Intervensi keperawatan Post- operasi dan Pre-operasi
a. Intervensi Pre-operasi
- Kolaborasi dengan dokter untuk menjelaskan prosedur operasi pasien.
- Memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien mengenai : prosedur
operasi, efek samping operasi, hal apa saja yang boleh dan tidak boleh
dilakukan sebelum operasi dan setelah operasi.
- Menggali perasaan pasien agar tidak terjadi kecemasan yang akan
berdampak pada pasien.
b. Intervensi Post-operasi
- Mengkaji keadaan umum pasien setelah operasi
- Memberitahu pasien mengenai tanda-tanda infeksi pada luka bekas
operasi dan cara mencegahnya.
- Memberitahu pasien posisi yang baik untuk pasien.
28
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Gejala otitis media akut pada anak adalah rasa nyeri di telinga disertai
riwayat batuk dan pilek sebelumya, suhu meningkat. Sedangkan pada orang
dewasa, nyeri, suhu meningkat, penurunan pendengaran, dan rasa penuh di
telinga. Penatalaksanaan OMA pada prinsipnya adalah terapi medikamentosa
yang diberikan tergantung dari stadium penyakitnya.
29
DAFTAR PUSTAKA
Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J. 2003. Infection of the Ear. In: Lee,
K.J., ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA:
McGraw-Hill Companies, Inc., 462-511.
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2010. Kelainan Telinga Tengah. Dalam:
Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 64-86.
http://repository.unand.ac.id/18807/1/Penatalaksanaan%20otitis%20media
%20akut_repositori.pdf (Diakses pada tanggal 12 September 2015)
http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35547 Kep%20Sensori%20dan
%20PersepsiAskep%20OMA%20dan%20OMK.html (Diakses pada
tanggal 12 September 2015)
http://allergycliniconline.com/2012/01/31/otitis-media-akut-infeksi-telinga-pada-
anak-2/ (Diakses pada tanggal 12 September 2015)
30
LAMPIRAN PATOFISIOLOGI OTITIS MEDIA AKUT
Sekret terakumulasi
Dx: Resiko Bakteri dari telinga tengah
Keseimbangan Disfungsi Infeksi Kanalis di telinga tengah
Cidera Vertigo menginfasi labirin melalui
tubuh menurun Nervus Fasialis Semisirkularis
jendela oval dan bulat
Ditambah dengan
Nekrosis Tek. Telinga
Iskemia Membran tympani produksi mucus
jaringan tengah > Shift cairan ke Permeabilitas kapiler
bulging ke liang Edema << oleh mukosa
telinga luar interstisial mukosa di sel mukosa
telinga luar
Membran Perforasi Terjadi Tekanan
Tampak Vasodilatasi PD
Tympani ruptur membran Tympani Dx: Gg. Rasa
Nyeri telinga Otalgia merah
hebat Nyaman:
Edema Akibat dari
Nyeri Hiperemis mukosa
Cairan keluar ke absoprsi
Otore telinga tengah
telinga luar udara
Ketajaman 31
Dx: Gg. Body Dx: Gg. Dx: Gg. Persepsi Konduksi udara Terputusnya Defek membran
pendengaran Rasio tekanan
image Komunikasi Sensori: Pendengaran ketelinga dalam rantai Osikulus Timphani
menurun udara hilang
terputus