Anda di halaman 1dari 6

FAKTOR RISIKO

Faktor Risiko Faktor risiko terjadinya otitis media adalah

1. Usia,

Faktor usia sangat berperan penting terhadap prevalensi Otitis Media Akut (OMA). Hal
ini disebabkan karena saluran tuba eustaschius pada bayi dan anak masih pendek dan lebih
horizontal atau datar dibanding dengan orang dewasa sehingga memudahkan invasi bakteri
maupun virus dari nasofaring.

2. Jenis Kelamin,
Kejadian OMA lebih banyak terjadi pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan
anak perempuan. Belum ada studi lebih lanjut mengenai hubungan jenis kelamin laki-laki
dengan otitis media akut.
3. Ras, Faktor Genetik,

Anak-anak dengan ras Native American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan
prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain.  Pada studi dengan kembar monozigot
dan dizigotik, peran genetik dianalisis dan dikaitkan dengan kerentanan otitis media
menggunakan polimorfisme genetik dan pemindaian genom. Beberapa studi yang meneliti hal
yang sama menemukan bahwa perkiraan adanya peran faktor keturunan dengan efusi telinga
tengah adalah sekitar 0,7. Dari penelitian dengan polimorfisme dan pemindaian genom
didapatkan hasil sebagai berikut:

a. Polimorfisme genetik dalam penghambat aktivator plasminogen-1, interleukin-6,


tumor necrosis factor-α, antigen leukosit manusia, dan lektin pengikat manosa telah
banyak dikaitkan dengan OM dan kerentanan infeksi saluran pernapasan atas. 
b. Hubungan genom telah mengidentifikasi daerah kromosom yang terkait dengan OM
kronis, termasuk 3p, 10q, 10q22,3, 17q12 dan 19q.
(Post, 2011).
4. Status Sosioekonomi dan Lingkungan,

Status sosioekonomi yang rendah mempunyai andil cukup besar mengingat rata-rata
penduduk kurang memiliki kesadaran terhadap pola hidup sehat dan nutrisi seimbang.
padahal kedua hal ini mutlak diperlukan dalam menjaga imunitas tubuh. Selain itu, kepadatan
penduduk berpengaruh terhadap kebersihan lingkungan. Lingkungan dengan hygine yang
buruk dapat memicu terjadinya infeksi saluran napas berulang. Kondisi ini akan diperparah
jika pelayanan pengobatan terbatas dan menyebabkan tingkat rekurensi penyakit meningkat.

5. Asupan Air Susu Ibu (ASI),


Pemenuhan kebutuhan nutrisi esensial bayi dapat tercukupi dengan konsumsi ASI.
Dengan pemberian ASI ekslusif dalam 6 bulan pertama kelahiran dan dilanjutkan sampai usia
2 tahun dapat meningkatkan imunitas dan meningkatkan kemampuan tubuh dalam mengatasi
infeksi melalui komponen sel fagosit (pemusnah) dan imunoglobulin (antibodi). Kandungan
ASI lainnya juga mempunyai efek perlindungan, antara lain sitokin, laktoferin, lisozim dan
musin. Sehingga ketika anak tidak diberikan ASI akan mempunyai imunitas lebih rendah
sehingga prevalensi kejadian OMA meningkat
(IDAI, 2013)

6. Imunitas Anak
Anak memiliki kerentanan untuk terinfeksi karena sistem imunitas yang dimiliki masih
belum kuat untuk mengatasi infeksi baik virus, bakteri, jamur dan lain sebagainya.
7. Lingkungan Merokok,
Paparan asap rokok memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian Otitis Media
Supuratif Kronik dalam studi yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Solo. Sampel yang
memiliki riwayat merokok mempunyai risiko mengalami Otitis Media Supuratif Kronik 4,5
kali lebih tinggi dibandingkan sampel tanpa riwayat merokok.
(Mahanani, 2012)
8. Kontak dengan Anak lain,

Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat
penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat.

9. Abnormalitas Kraniofasialis Kongenital (Sumbing),

Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena
fungsi tuba Eustachius turut terganggu

10. Infeksi Bakteri atau Virus di Saluran Pernapasan Atas,

Tuba eustaschius menghubungkan nasofaring dengan telinga bagian tengah sehingga


apabila terjadi infeksi pernapasan baik bakteri maupun virus sangat dimungkinkan untuk
menginvasi telinga dari dalam.

11. Disfungsi Tuba Eustachius,


12. Inmatur Tuba Eustachius dan lain-lain
(Kerschner, 2007).

Post, C. (2011). Genetics of otitis media. In Medical Genetics in the Clinical Practice of ORL (Vol.
70, pp. 135-140). Karger Publishers.
Mahanani, Dian Nastiti Dwi. 2012. Hubungan Paparan Asap Rokok Dengan Otitis Media Supuratif
Kronik Di Rsud Dr. Moewardi. Surakarta: UNS-F. Kedokteran Jur.Kedokteran -G.0009059-
2012
Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18 ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.
th

IDAI. 2013. Air Susu dan Kekebalan Tubuh. Diakses tanggal 10 februari 2020 pukul 19.00:
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/air-susu-ibu-dan-kekebalan-tubuh
Manifestasi Klinis:
Manifestasi Klinis OMA dapat berbeda-beda bergantung berdasarkan stadium yang sedang
berlangsung. Dalam perjalanan penyakit OMA dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada
perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis atau
stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi (Djaafar, 2007).

1. Stadium Oklusi
Tuba Eustachius Pada stadium ini, terjadi sumbatan tuba Eustachius yang ditandai dengan
adanya retraksi membran timpani. Tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah
menyebabkan adanya absorpsi udara sehingga menyebabkan terjadinya retraksi membran
timpani. Retraksi membran timpani menyebabkan posisi malleus menjadi lebih horizontal dan
berkurangnya refleks cahaya. Edema tuba Eustachius dapat menyebabkan terjadinya
sumbatan. Terkadang membran timpani tidak mengalami retraksi dan tetap dalam keadaan
normal (tidak ada kelainan) atau warnanya menjadi keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi
tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa
yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini.
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, membran timpani mengalami vasodilatasi sehingga menjadi hiperemis,
edema mukosa dan munculnya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat saat dilakukan
pemeriksaan telinga menggunakan otoskop. Oklusi tuba yang berpanjangan memungkinkan
terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik sehingga proses inflamasi berlangsung di
telinga tengah sehingga membran timpani menjadi kongesti.
Pada Stadium ini jika pasien mengeluhakan adanya otalgia, telinga rasa penuh dan
demam merupakan tanda bahwa adanya invasi dari bakteri. Peningkatan udara di kavum
timpani menyebabkan pendengaran dapat terjadi sedikit gangguan atau masih normal.
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
3. Stadium Supurasi

Karakteristik khas yang terdapat pada atadium supurasi adalah terbentuknya sekret
eksudat purulen di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Hal ini menyebabkan edema
mukosa semakin hebat disertai hancurnya sel epitel superfisial telinga tengah. Membran
timpani akan mengalami buldging atau menonjol ke liang telinga luar akibat adanya eksudat
purulen di kavum timpani.

Pada keadaan ini, pasien akan tampak sakit sedang, terjadi peningkatan denyut nadi
dan suhu serta rasa nyeri telinga yang hebat. Pasien akan merasa gelisah dan tidak dapat tidur
dengan nyenyak. Dalam keadaan ini akan ditemukan gangguan pendengaran konduktif. Pada
bayi akan ditemukan gejala berupa demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
Penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat
tromboflebitis vena-vena kecil menyebabkan tekanan kapiler membran timpani meningkat
sehingga menimbulkan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini menyebabkan
membran timpani mengalami iskemia apabila dalam stadium ini tidak segera ditangani
dengan baik atau berlangsung lama., Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna
kekuningan atau biasa dinamakan yellow spot.
Dalam keadaan stadium supurasi dapat dilakukan tindakan berupa miringotomi yaitu
memberikan jalan bagi pus untuk keluar melewati membran timpani ke liang telinga luar
dengan melakukan insisi.. Luka insisi pada membran timpani akan menutup kembali,
sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali.
Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
4. Stadium Perforasi

Pada stadium ini akan didapati ruptur membran timpani sehingga sekret purulen akan
keluar dalam jumlah banyak dan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-
kadang disertai dengan pulsasi (berdenyut) saat sekret keluar. Stadium ini sering disebabkan
oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman.

Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan
dapat tertidur nyenyak. Apabila dalam 3 minggu atau lebih pengeluaran sekret atau nanah
tetap berlangsung akibat ruptur membran timpani yang tidak bisa menutup, maka keadaan ini
disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama
lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif
kronik.
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007)
5. Stadium Resolusi

Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan
berhentinya otore atau keluarnya aciran sekret purulen. Stadium resolusi ditandai oleh
membran timpani berangsur kembali menjadi normal hingga perforasi membran timpani
menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan menjadi kering. Pendengaran akan
kembali normal seiring berjalannya waktu.

Apabila membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah
maka stadium ini dapat berlangsung tanpa pengobatan,. Apabila stadium resolusi gagal
terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini
berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus
atau hilang timbul. Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis
media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa
mengalami perforasi membran timpani.

(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007)

Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD (2007). Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N
(eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher edisi keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 64-77.
Dhingra PL, Dhingra S (2007). Diseases of ear, nose and throat, 4th ed, India: Elsevier, pp: 4-5, 70.

Anda mungkin juga menyukai