Anda di halaman 1dari 27

TUGAS THT April 2021

TELINGA, HIDUNG, TENGGOROKAN

Disusun Oleh:

ALFREDO ROCKY B SALAMA

N 111 17 003

Pembimbing Klinik:

dr. Christin Nayoan M.kes, Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA MENYELESAIKAN TUGAS

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU THT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2021

0
TELINGA
1. Otitis Media

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustakhius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid (Djaafar ZA, 2007).

Penyebab terjadi OMA salah satunya penggunaan dot saat minum susu dengan
posisi kepala horizontal dengan badan yang di mana terdapat 3 bakteri patogen
yang paling sering pada otitis media akut (streptococcus pneumoniae,
haemophilus influenzae, moraxella catarrahalis) yang berkolonisasi pada
nasofaring mulai dari saat masa bayi dan dianggap sebagai flora normal pada
tubuh manusia. Bakteri patogen ini tidak menimbulkan gejala atau keluhan sampai
terjadi perubahan pada lingkungan pada nasofaring. Virus pada infeksi saluran
pernafasan atas (upper tract infection) memiliki peran penting pada patogenesis
dari otitis media akut ini di mana virus ini menyebabkan inflamasi pada
nasofaring, yang menyebabkan perubahan pada sifat kepatuhan bakteri dan
kolonisasi, dan gangguan fungsi dari tuba Eusthacius. Tuba Eusthacius adalah
pelindung alami yang mencegah kolonisasi dari nasofaring ke telinga tengah.
Anak-anak biasanya rentan terhadap otitis media akut karena imunitas sistemik
yang tidak matang dan imunitas anatomi yang tidak matang (Maron dkk., 2012)

Stadium Otitis Media

OMA memiliki beberapa stadium berdasarkan pada gambaran membran timpani


yang diamati melalui liang telinga luar yaitu stadium oklusi, stadium hiperemis,
stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi (Efiaty AS, 2007).

Pada stadium oklusi tuba Eustachius perdapat gambaran retraksi membran


timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah akibat absorpsi udara.
Membran timpani berwarna normal atau keruh pucat dan sukar dibedakan dengan
otitis media serosa virus. terapi dikhususkan untuk membuka kembali tuba
eustachius. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik
untuk anak <12 thn dan HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk anak yang
berumur >12 thn atau dewasa. Selain itu, sumber infeksi juga harus diobati
dengan memberikan antibiotik.

Pada stadium hiperemis, pembuluh darah tampak lebar dan edema pada membran
timpani. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa
sehingga sukar terlihat. diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan analgesik.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin atau eritromisin. Jika terdapat resistensi,
dapat diberikan kombinasi dengan asam klavunalat atau sefalosporin. Untuk terapi
awal diberikan penisilin IM agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga
1
tidak terjadi mastoiditis yang terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala
sisa, dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila alergi
terhadap penisilin maka diberikan eritromisin. Pada anak diberikan ampisilin
4x50-100 mg/KgBB, amoksisilin 4x40 mg/KgBB/hari, atau eritromisin 4x40
mg/kgBB/hari (Efiaty AS, 2007).

Pada stadium supurasi, edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan
hancurnya sel epitel superfisila serta terbentuk eksudat purulen di kavum timpani
menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar.
Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga
tambah hebat. Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka
terjadi iskemia. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang
lembek dan berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur. Selain
antibiotik, pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran
timpani masih utuh. Selain itu, analgesik juga perlu diberikan agar nyeri dapat
berkurang. Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani,
agar terjadi drenase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar.

Pada stadium perforasi, karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian


antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi maka dapat menyebabkan membran
timpani ruptur. Keluar nanah dari telinga tengah ke telinga luar. Anak yang
tadinya gelisah akan menjadi lebih tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur
nyenyak. sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang terlihat sekret keluar
secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga H2O23% selama 3-5 hari serta
antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu (Efiaty AS, 2007).

Pada stadium resolusi, bila terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan
mengering. Resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan bila virulensi rendah dan daya
tahan tubuh baik.

Diagnosis

- Anamnesis

Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di
dalam telinga, keluhan disamping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat
riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang
dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa
penuh di telinga atau rasa kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala
khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat sampai 39,5oC (pada stadium
supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur,
diare, kejang dan terkadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi

2
ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga luar, suhu
tubuh turun dan anak mulai tertidur dengan tenang (Efiaty AS, 2007).

- Pemeriksaan fisik

Visualisasi dari membran timpani dengan identifikasi dari perubahan dan


inflamasi diperlukan untuk menegakkan diagnosis dengan pasti. Untuk
melihat membran timpani dengan baik adalah penting bahwa serumen yang
menutupi membran timpani harus dibersihkan dan dengan pencahayaan yang
memadai. Temuan pada otoskop menunjukkan adanya peradangan yang
terkait dengan OMA telah didefinisikan dengan baik. Penonjolan (bulging)
dari membrane timpani sering terlihat dan memiliki nilai prediktifter tinggi
untuk kehadiran OMA. Penonjolan (bulging) juga merupakan prediktor
terbaikdari OMA (Pelton SI, 2008.

Kekeruhan juga merupakan temuan yang konsisten dan disebabkan oleh


edema dari membrane timpani. Kemerahan dari membrane timpani yang
disebabkan oleh peradangan mungkin hadir dan harus dibedakan dari
eritematosa ditimbulkan oleh demam tinggi. Ketika kehadiran cairan telinga
bagian tengah sulit untuk menentukan, penggunaan timpanometri dapat
membantu dalam membangun diagnosis (Klein JO, 2010).

Penatalaksanaan

Pengobatan OMA tergantung stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi,


penggobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba eustachius,
sehingga tekanan negatif pada telinga tengah hilang, sehingga diberikan obat tetes
hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak <12 tahun, atau
HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologik untuk anak > 12 tahun dan pada orang
dewasa. Sumber infeksi harus diobati antibiotik diberikan jika penyebabnya
kuman, bukan oleh virus atau alergi

Stadium Presupurasi adalah antibiotika, obat tetes hidung dan analgetika. Bila
membran timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan
miringotomi. Antibiotik yang dianjurkan ialah dari golongan penisilin atau
ampicilin. Terapi awal diberikan penicillin intramuscular agar didapatkan
konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang
terselubung,. Gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Pemberian antibiotika dianjurkan minimal 7 hari . Bila pasien alergi terhadap
penisilin, maka diberikan eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis
50 –100 mg/kgBB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mb/kgBB
dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari

3
Pada stadium supurasi disamping diberikan antibiotik, idealnya harus disertai
dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi
gejal –gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari.

Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang terlihat
keluarnya sekret secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah
obat cuci telinga H2O2 3% selama 3 –5 bhari serta antibiotik yang adekuat.
Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7
–10 hari

Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret
tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi
biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi
membran timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema
mukosa teling tengah. Pada keadaan demikian, antibiotika dapat dilajutkan sampai
3 minggu. Bila 3 minggu setrelah pengobatan sekret masih tetap banyak,
kemungkinan telah terjadi mastoiditis (Efiaty AS, 2007)

2. Otitis Media Supuratif Kronik

Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah radang kronis mukosa telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari liang
telinga (otore) lebih dari dua bulan, baik terus-menerus atau hilang timbul.

OMSK terbagi atas 2 bagian berdasarkan ada tidaknya kolesteatom :

1) OMSK benigna (Tubotimpani) ialah proses peradangan yang terbatas pada


mukosa, tidak mengenai tulang. Perforasi letak di sentral. Umumnya
OMSK tipe benigna jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya.
Pada OMSK tipe benigna ini tidak terdapat kolesteatom.
 Tipe aktif (wet perforation): Mukosa mengalami inflamasi dan
terdapat discharge mukopurulen.
Tipe inaktif (dry perforation) : Tidak terdapat inflamasi pada
mukosa dan tidak ditemukan discharge mukopurulen.
Perforasi permanen : Perforasi sentral tipe dry yang tidak sembuh
dalam waktu lama mengindikasikan epitel skuamus eksternal dan
mukosa internal mengalami fusi pada daerah tepi perforasi.
Otitis media kronik fase perbaikan : Perforasi akan tertutup oleh
membran tipis . Berkaitan juga dengan timpanosklerosis dan kurang
pendengaran tipe konduktif.

4
2) OMSK maligna (Atticoantral) ialah peradangan yang disertai
kolesteatom yang menyebabkan erosi pada tulang dan perforasi membran
timpani, biasanya terletak di marginal atau atik di kuadran posterosuperior
pars tensa. Pada banyak kasus terdapat granulasi dan osteitis.

 Inaktif : Kantung di bagian posterosuperior pars tensa atau regio atik


berpontensi terbentuknya kolesteatom.
 Aktif :Kolesteatom secara aktif mengikis tulang, membentuk jaringan
granulasi dan keluar discharge berbau busuk terus menerus dari telinga.

Gambar A : Perforasi kecil pada kuadran anterosuperior.


Gambar B : Perforasi sentral berbentuk seperti ginjal berukuran sedang
Gambar C : Perforasi sentralsubtotal.
Gambar D : Perforasi total dengan annulus fibrosus mengalami destruksi.
Gambar E : Perforasi atik pars flaccida.
Gambar F : Perforasi marginal di regio posterosuperior.

Bakteri pada kasus OMSK dapat bersifat aerob (Pseudomonas aeruginosa,


Escherichia coli, S.aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis,
Klebsiellaspecies) maupun bersifat anaerob (Bacteriocides, Peptostreptococcus,
Propionibacterium). Bakteri-bakteri tersebut umumnya jarang ditemukan pada
bagian kanalis eksterna tetapi apabila terjadi trauma,i nflammasi, laserasi atau
kelembaban yang tinggi menyebabkan bakteri – bakteri tersebut berproliferasi.

5
Penanganan OMSK :
Maligna – Operasi eradikasi kolesteatoma, timpanoplasti dan miringoplasti
Benigna - Antibiotik topikal (Neomisin + polimiksin) dan ear toilet H2O2 3%

3. Otitis Media Efusi:


Otitis media efusi adalah gangguan pada telinga tengah yang disebabkan oleh
proses inflamasi dan ditandai dengan adanya akumulasi cairan pada telinga tengah
tanpa gejala infeksi. Produk metabolik dapat melintas dari telinga tengah sampai
koklea atau vestibulum melewati fenestra ovalis dan rotundum. Etiologi otitis
media efusi antara lain rinitis alergi, hipertrofi adenoid, kelainan anatomi hidung
(septum deviasi, hipertropi konka) dan tumor nasofaring.
Self limiting – dalam 2 3 bulan, jika tidak ada perbaikan pertimbangkan
miringotomi dan pemasangan pipa grommet.

4. Otitis Eksterna
Otitis eksterna adalah suatu proses peradangan atau infeksi yang terjadi pada
canalis acusticus externus (liang telinga) (Lalwani, 2008). Otitis eksterna
disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, dan virus.
- Klasifikasi
A. Otitis eksterna difus
Otitis eksterna difus merupakan otitis eksterna yang mengenai kulit telinga
dua pertiga dalam dengan kulit liang telinga tampak hiperemis dan edema
yang tidak jelas batasnya. Kuman penyebabnya biasanya golongan
Pseudomonas sp. Kuman lain yang dapat sebagai penyebab ialah
Staphylococcus albus, Escherichia coli dan sebagainya (Soepardi et al.,
2012).
B. Otitis eksterna sirkumkripta
Furunkel merupakan suatu pembengkakan yang sangat sakit (seperti bisul)
yang terjadi di sepertiga luar liang telinga (Ludman, 2012). Hal ini karena
kulit di sepertiga luar liang telinga mengandung adneksa kulit, seperti
folikel rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar serumen, maka di tempat itu
6
dapat terjadi infeksi pada pilosebaseus. Kuman penyebab biasanya
Staphylococcus aureus atau Staphylococcus albus (Soepardi et al., 2012).
C. Otitis eksterna kronik
Otitis eksterna kronik adalah otitis eksterna yang tidak kunjung sembuh
atau terjadi inflamasi yang berlangsung lama yaitu lebih dari 3 bulan
(Lalwani, 2008) dan ditandai dengan terbentuknya jaringan parut
(sikatriks) yang menyebabkan liang telinga menyempit (Soepardi et al.,
2012).

Menurut Ngan dalam Mustofa (2011), diagnosis otitis eksterna dapat


ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jika
terdapat demam dan gejala toksisitas, dapat dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan penunjang lain seperti pewarnaan gram dan
kultur discharge dapat dilakukan jika diduga suspek infeksi jamur atau
bakteri.

Tatalaksana
- Otitis eksterna sirkumkripta
Terapi tergantung keadaan furunkel. Bila sudah menjadi abses, diaspirasi
secara steril selanjutnya dilakukan insisi drainase. Lokal diberikan
antibiotik dalam bentuk salep, seperti polymixin B atau bacitracin atau
antiseptik (asam asetat 2-5% dalam alkohol).

-Otitis ekterna difus


Pembersihan telinga : merupakan faktor utama yang sangat penting
dalam pengobatan otitis eksterna difus. Seluruh sekret dan debris harus
dikeluarkan secara gentle. Perhatian khusus harus diberikan pada bagian
resesus anteroinferior yang membentuk “blind pocket” dimana sekret
sering tertumpuk. Pembersihan telinga dilakukan dengan penyedot
(suction clearance) atau irigasi liang telinga dengan normal saline steril
hangat.
7
Tampon telinga : Setelah telinga dibersihkan, diberikan tampon kasa
yang dibasahi dengan preparat steroid-antibiotik yang dimasukkan ke liang
telinga dan diberikan nasihat pada pasien untuk menjaga kelembaban
dengan menetaskan obat tersebut 2-3 kali sehari. Tampon diganti 2-3 hari
sekali. Obat tetes steroid lokal membantu meringankan edema dan
menghilangkan gatal. Aluminium asetat (8%) atau silver nitrat (3%)
adalah astrigen ringan yang dapat digunakan dalam bentuk tampon
sehingga membentuk koagulum protektif untuk mengeringkan telinga.
Antibiotik : Golongan antibiotik sistemik berspektrum luas adalah yang
paling sering digunakan terutama pada keadaan selulitis dan limfadenitis
akut.

8
HIDUNG
1. EPISTAKSIS
Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung dapat
berasal dari bagian anterior rongga hidung atau dari bagian posterior rongga
hidung. Dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik).
Epistaksis bukan suatu penyakit melainkan gejala suatu kelainan. Perdarahan
yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit umum.
Kebanyakan ringan dan sering berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan
medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah
kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak segera ditangani (Endang & Retno,
2008).
- Klasifikasi
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
a. Epistaksis Anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada
anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri (Nuty & Endang, 1998).
Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior (Abelson,
1998). Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan
trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan
selanjutnya akan menimbulkan perdarahan (Ballenger, 1994).
b. Epistaksis Posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri
etmoid posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan
sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis
atau pasien dengan penyakit kardiovaskular (Nuty & Endang, 1998).
Tidak ada yang tahu secara spesifik kondisi atau faktor risiko yang
berhubungan dengan perdarahan hidung posterior (Viducich, et al., 1995).

9
- Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput
mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah
Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi
bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah
yang kaya anastomosis (Maron, 1993).

Pada banyak kasus, tidak mudah untuk mencari penyebab terjadinya epistaksis.
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang-kadang
jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal
pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan
anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh
udara & lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan
darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan
kelainan kongenital (Nuty & Endang, 2008).

10
- Tatalaksana
a. Epistaksis Anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian
depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama
pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-
15 menit, seringkali berhasil. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal
perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%.
Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotic.
b. Epistaksis posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior (Nuty &
Endang, 1998). Epistaksis posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon
posterior, bolloon tamponade, ligasi arteri dan embolisasi (Abelson, 1997).

2. RINITIS ALERGI
Rinitis alergi adalah penyakit simtomatis pada membran mukus hidung akibat
inflamasi yang dimediasi oleh IgE pada lapisan membran yang diinduksi oleh
paparan alergen. Pada tahun 1929 ditetapkan 3 gejala utamanya antara lain bersin
–bersin, hidung tersumbat dan keluarnya sekret hidung. Selain itu juga terdapat
gejala hidung gatal dan gejala –gejala tersebut berlangsung lebih dari 1 jam sehari
dalam dua hari berurutan atau lebih.20Rinitis alergi merupakan manifestasi
penyakit alergi tipe I yang paling sering ditemui di masyarakat, jika tidak
mendapatkan penanganan dapat terjadi komplikasi berupa asma, rinosinusitis,
konjungtivitis alergi, polip hidung, otitis media dengan efusi, dan maloklusi gigi.

Berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi :
1) Intermiten (kadang-kadang) bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.

11
2) Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis dibagi menjadi:
1) Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2) Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas (Bousquet et al, 2001)

Selain mengakibatkan gejala lokal pada hidung, juga dapat mengakibatkan


gejala sistemik berupa rasa lelah, mengantuk di siang hari, gangguan kognitif,
nyeri kepala, dan pada beberapa kasus berat penderita dapat mengalami depresi
sehingga mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Rinitis alergi persisten sedang berat dapat mengakibatkan keluhan mengantuk
di siang hari seperti dilaporkan 23% penderita rinitis alergi persisten sedang berat
di klinik THT RS dr Kariadi. Keluhan mengantuk meningkat menjadi 46,37%
pada penderita yang mendapatkan anti alergi yang memiliki efek samping
sedasi.12Pada anak –anak penderita rinitis alergi, gangguan belajar saat jam
sekolah dapat terjadi baik karena secara langsung akibat kurang tidur di
malam hari, atau secara tidak langsung karena rasa capai di siang hari.

- Etiologi dan factor resiko


Rinitis alergi merupakan penyakit multifaktorial yang meliputi interaksi antara
faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik pada rinitis alergi dapat dilihat dari
hubungan fenotipik yang erat antara pilek alergi dan asma bronkial ( penyakit
diturunkan). Penyakit alergi bersifat diturunkan dalam keluarga. Jika hanya salah
satu orang tuanya menderita alergi, maka risiko anaknya terkena alergi adalah
50%. Dan jika kedua orang tua memiliki alergi, risiko anaknya terkena alergi
adalah 75 %. Penelitian dengan imigran sebagai subyek, menunjukkan bahwa
terdapat factor genetik yang mempengaruhi pola IgE yang diturunkan dari orang
tua, khususnya dari ibu.

12
Faktor risiko rinitis alergi dari lingkungan berupa paparan alergen.
Berdasarkan penelitian di RSCM, diperoleh data 59% sensitivitas terhadap
alergen inhalan dan 49% terhadap alergen makanan. Aeroalergen yang tersering
dengan hasil uji cukit kulit positif pada penelitian di klinik THT –KL RSUP Dr
Kariadi adalah kecoa (44,6%), disusul mite culture (40,5%), house dust (25,7%),
cat dander (16,2%) dan dog dander (5,4%).22 Penelitian menunjukkan bahwa odd
ratio rinitis alergi lebih tinggi pada anak yang memelihara hewan, terutama anjing.

- Diagnosis
Anamnesis dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit secara umum
dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung
termasuk keterangan mengenai tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan pasien.
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya adanya rinore
(cairan hidung yang bening encer), bersin berulang dengan frekuensi lebih dari 5
kali setiap kali serangan, hidung tersumbat baik menetap atau hilang timbul, rasa
gatal di hidung, telinga atau daerah langit-langit, mata gatal, berair atau
kemerahan, hiposmiaatau anosmia (penurunan atau hilangnya ketajaman
penciuman) dan batuk kronik.
Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan
rinitis, riwayat atopi di keluarga, faktor pemicu timbulnya gejala, riwayat
pengobatan dan hasilnya adalah faktor-faktor yang tidak boleh terlupakan. Pada
pemeriksaan hidung (rinoskopi anterior) diperhatikan adanya edema dari konka
media atau inferior yang diliputi sekret encerbening, mukosa pucat
dan edema. Perhatikan juga keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum
nasi dan kemungkinan adanya polip nasi.

- Penatalaksanaan
Antihistamin khususnya generasi baru yang non sedatif seperti loratadine,
terfenadine, astemizole, cetirizine,l evocabastine, ketotifen dan azelastine
memiliki efek farmakokinetik farmakodinamik dan potensi yang berbeda-beda.
Antihistamin tersebut di atas merupakan obat yang dapat direkomendasikan
13
khususnya kepada tenaga kerja mengingat mereka harus tetap aktif dalam
pekerjaanny tanpa khawatir terganggu oleh rasa kantuk.
Obat semprot hidung natrium komoglikat sebagasi tabilisatomr astosit
dapat pula diberikan tanpa efek samping yang berarti. Pemberian steroid topical
hidung dilaporkan tidak dljumpai efek samping, obat ini khususnya diberikan
pada pasien
Dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol.

3. SINUSITIS
Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir
sinus parsial. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan cairan atau
kerusakan tulang dibawahnya. Sinus paranasal adalah ronga rongga yang terdapat
pada tulang –tulang di wajah. Terdiri dari sinus frontal (di dahi), sinus etmoid
(pangkal hidung), sinus maksila (pipi kanan dan kiri), sinus sphenoid (di belakang
sinus etmoid). (Efiaty, 2007)
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal,
dan sinusitis sphenoid. (Endang mangunkususmo dan Nusjirwan Rifki, 2001)

14
- Etiologi
Berdasarkan etiologinya sinusitis disebabkan berbagai kuman sebagai berikut:
Staphylococus aureus Coagulase-negative , staphylococci Haemophilus influenza,
M.catarrhalis, S pneumonia, Streptococcus intermedius Pseudomonas aeruginosa,
Spesies nocardia (Peptostreptococcus, Prevotella, Porphyromonas, Bacteroides) &
Spesies bakteri anaerob.

- Klasifikasi
Menurut D. Thane R. Cody dkk, 1986Klasifikasi sinusitis berdasarkan
patologi berguna dalam penatalaksanaan pasien. Di samping menamakan sinus
yang terkena, beberapa konsep seperti lamaya infeksi sinus, harus menjadi bagian
klasifikasi

a. Sinusitis Akut
Sinusitis akut merupakan suatu proses infeksi di dalam sinus yang berlangsug
dari satu hari sampai 3 minggu.
b. Sinusitis Sub Akut
Sinusitis sub akut merupakan infeksi sinus yang berlangsung dari 4 minggu
sampai 12 minggu. Perubahan epitel di dalam sinus biasanya reversible pada
fase akut dan sub akut, biasanya perubahan tak reversible timbul setelah 3
bulan sinusitis sub akut yang berlanjut ke fase berikutnya / kronik.
c. Sinusitis Kronik
Fase kronik dimulai setelah 12 minggu dan berlangsung sampai waktu yang
tidak terbatas.

- Pemeriksaan
1. Rinoskopi anterior
Pada pemeriksaan Rinoskopi anterior akan didapatkan mukosa yang edema
dan hiperemis, terlihat sekret mukopus pada meatus media. Pada sinusitis
15
ethmoiditis kronis eksasserbasi akut dapat terlihat suatu kronisitas misalnya
terlihat hipertrofi konka, konka polipoid ataupun poliposis hidung.
2. Rinoskopi posterior
Pada pemerikasaan Rinoskopi posterior, tampak sekret yang purulen di
nasofaring dan dapat turun ke tenggorokan, Nyeri tekan pipi sakit

- Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan ialah menghilangkan gejala membrantas infeksi,dan
menghilangkan penyebab. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara konservatif
dan pembedahan. Pengobatan konservatif terdiri dari :
1. Istirahat yang cukup dan udara disekitarnya harus bersih dengan kelembaban
yang ideal 45-55%
2. Antibiotika yang adekuat paling sedikit selama 2 minggu
3. Analgetika untuk mengatasi rasa nyeri
4. Dekongestan untuk memperbaiki saluran yang tidak boleh diberikan lebih dari
pada 5 hari karena dapat terjadi Rebound congestion dan Rhinitis
redikamentosa. Selain itu pada pemberian dekongestan terlalu lama dapat
timbul rasa nyeri, rasa terbakar, dan kering karena arthofi mukosa dan
kerusakan silia
5. Antihistamin jika ada factor alergi
6. Kortikosteoid dalam jangka pendek jika ada riwayat alergi yang cukup parah.

16
TENGGOROKAN

1. TONSILITIS
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid ), tonsil
palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tosil pangkal lidah), dan tonsil tuba
Eustachius (lateral band dinding faring) (Soepardi et al., 2009).

17
Tonsilitis disebabkan oleh kuman Streptococcus β hemolyticus, Streptococcus
viridans dan streptococcus pyogenes sebagai penyebab terbanyak, selain itu
juga disebabkan oleh Corybacterium diphteriae, namun dapat juga disebabkan
oleh virus (Mansjoer, 2000). Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke
tonsil melalui kriptanya secara aerogen yaitu droplet yang mengandung
kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil
maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan
(Farokah, 2007).
Tanda dan gejala tonsilitis menurut ( Smeltzer & Bare, 2000) ialah sakit
tenggorokan, demam, ngorok, dan kesulitan menelan. Sedangkan menurut
Soepardi et al., ( 2007 ) tanda dan gejala yang timbul yaitu nyeri tenggorok,
tidak nafsu makan, nyeri menelan, kadang-kadang disertai otalgia, demam
tinggi, serta pembesaran kelenjar submandibuler dan nyeri tekan.
Tonsilitis memiliki efek jangka panjang sedikit, tonsilitis berulang
menyebabkan morbiditas yang signifikan dan mengurangi waktu sekolah atau
bekerja. Definisi berulang mungkin berbeda, tetapi kriteria yang digunakan
adalah 5 atau lebih dari episode yang cocok dari gejala tonsilitis berulang
setidaknya satu tahun, dan episode yang menonaktifkan dan yang
menghalangi fungsi normal (Kvestad, 2005)

18
a. Tonsilitis akut
Menurut Soepardi et al., ( 2007 ) tonsilitis akut dibagi menjadi 2 yaitu :
1) Tonsilitis viral
Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang disertai
rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr.
Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika
terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan
tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan
pasien.
2) Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil yang dapat disebabkan oleh kuman grup A streptokokus, β
hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, streptokokus
viridan, streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan
tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan
detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini
menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris

Tanda dan gejala tonsilitis akut yaitu seperti demam mendadak, nyeri
tenggorokan, ngorok, dan kesulitan menelan (Smeltzer, 2001). Sedangkan
menurut Mansjoer (2000) adalah suhu tubuh naik sampai 40ºC, rasa gatal atau
kering di tenggorokan, lesu, nyeri sendi, odinofagia (nyeri menelan), anoreksia,
dan otalgia (nyeri telinga). Bila laring terkena suara akan menjadi serak. Pada
pemeriksaan tampak faring hiperemisis, tonsil membengkak, dan hiperemis.
Terapi pengobatan pada tonsilitis ini adalah antibiotik golongan penicilin atau
sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila
alergi dengan diberikan eritromisin atau klidomisin. Dapat pula menggunakan
antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk
mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik (Mansjoer, 2001).

19
b. Tonsilitis Kronik
onsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada
tonsila palatina yang menetap (Chan, 2009). Adapun yang dimaksud kronik
adalah apabila terjadi perubahan histologik pada tonsil, yaitu didapatkannya
mikroabses yang diselimuti oleh dinding jaringan fibrotik dan dikelilingi oleh
zona sel – sel radang (Rivai L. dalam Boedi Siswantoro, 2003).
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis
akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini
dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Organisme patogen dapat menetap
untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan
gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami
penurunan. Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada umumnya sama dengan
tonsilitis akut yaitu Streptococcus pnemonia, Haemopilus influenzae,
Streptococcus B hemolitikus, Streptococcus viridians (Colman, 2001).

Pembesaran tonsil dikatagorikan dalam ukuran T1 – T4 :


1) T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior – uvula
2) T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior uvula sampai ½
jarak anterior – uvula
3) T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾
jarak pilar anterior – uvula
4) T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula
atau lebih

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil


palatina (Hermani, 2004). Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis
dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor
karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator
dalam pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, karena kekhawatiran komplikasi,
20
tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi
digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak
sulit (Wanri, 2007).

2. ABSES PERITONSIL
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian
kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah
peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah
pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.
Abses Peritonsil (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang
terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.
Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium
peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m. kontriktor
superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infekrsi tonsilopharingitis akut 5-
7 hari sebelumnya.

21
- Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan
anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus
aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang
berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, dan
Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.

- Gejala klinik
Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah dan
dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum molle.
Terdapat riwayat faringitis akut, tonsillitis, dan rasa tidak nyaman pada
tenggorokan atau faring unilateral yang semakin memburuk. Keparahan dan
progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Kebanyakan pasien menderita nyeri
hebat.
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan
odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah terasa
sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia)
ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah
yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem
dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem
perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut)
yang bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus
menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna,
sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan
inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan
leher (torticolis).
22
- Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring sampai
dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar
regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole,
eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Dan pada palpasi palatum
molle teraba fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel
direkomendasikan pada pasien yang mengalami kesulitan bernapas, untuk melihat
ada tidaknya epiglotitis dan supraglotis

- Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus segera dilakukan dan adekuat, untuk mencegah obstruksi
pernafasan dan mencegah meluasnya abses ke ruang parapfaring dan mediastinum
dan basis kranii.
Setelah dibuat diagnosa abses peritonsil, segera dilakukan aspirasi kemudian
insisi abses dan drainase. Masih ada kontroversi antara insisi drainase dengan
aspirasi jarum saja, atau dilanjutkan dengan insisi dan drainase, Gold standard
adalah insisi dan drainase abses. Pus yang diambil dilakukan pemeriksaan kultur
dan resistensi test
Penanganan meliputi, menghilangkan nyeri, dan antibiotik yang efektif
mengatasi Staphylococcus aureus dan bakteri anaerob. Pada stadium infiltrasi,
diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur
dengan cairan hangat Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur
mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan “drug of chioce” pada
abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika yang dikombinasikan dengan
metronidazole. Metronidazole merupakan antimikroba yang sangat baik untuk
infeksi anaerob.

3. FARINGITIS
Faringitis adalah peradangan pada dinding faring yang dapat disebabkan
oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain sebagainya.
23
Faringitis atau biasa disebut sakit tenggorokan tersebut merupakan suatu respon
inflamasi terhadap patogen.
Grup A streptokokus beta hemolitikus merupakan gram positif aerob yang
paling sering terlibat dalam kasus penyakit faringitis. Di dunia terdapat sekitar
616 juta kasus baru mengenai grup A streptokokus yang diperkirakan terjadi
setiap tahunnya. Dan transmisinya melalui droplet spread dengan masa inkubasi
1-4 hari.
Di USA kasus faringitis terbanyak terjadi pada anak-anak sekitar 15-30%,
terutama pada usia 4-7 tahun dan 10% kasus pada orang dewasa. Penyebab
tersering dari faringitis adalah streptokokus grup A, yang sering disebut faringitis
GAS (Group A Streptococci). Bakteri penyebab tersering yaitu Streptococcus
pyogenes. Sedangkan, penyebab virus tersering yaitu rhinovirus dan adenovirus.

- Klasifikasi
a. Faringitis Akut
Faringitis akut merupakan suatu manifestasi klinis terbanyak dari infeksi
saluran nafas atas yang menunjukkan adanya peradangan pada lapisan mukosa

24
dan submukosa pada faring dan struktur lain yang ada di sekitar, yaitu :
orofaring, nasofaring, hipofaring, tonsil dan adenoid. (2,28)Survei di Amerika
Serikat pada tahun 2006 mencatat bahwa terdapat 15 juta kasus faringitis akut
pada anak.
b. Faringitis kronis
Faringitis kronis disebabkan oleh pajanan yang berulang dalam jangka
waktu lama dari zat iritan. Faktor predisposisi faringitis kronis ini adalah
rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik aikbat penggunaan rokok, minuman
alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring.
Gejala yang sering dirasakan berupa terasa kering pada tenggorokan, batuk
kering dan terasa seperti ada benda asing di faring. Pemeriksaan yang perlu
dilakukan adalah pemeriksaan THT lengkap. Pada pemeriksaan tersebut yang
bertujuan untuk mengetahui fokus infeksi yang berhubungan dengan
faringitis.

- Diagnosis
a. Gejala faringitis kronis
 Faringitis Kronik Hiperplastik
Terdapat perubahan pada dinding faring posterior faring dan tampak
hiperplasi dari kelenjar limfa di bawah mukosa faring. Pada pemeriksaan
tampak mukosa dinding faring posterior tidak rata dan bergranular. Gejala
awal yang dikeluhkan pasien adalah tenggorokan terasa kering dan gatal
kemudian timbul batuk yang berdahak.
Pengobatan simptomatis (sesuai gejala) yaitu diberikan obat kumur dan dapat
diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran untuk membantu
menghilangkan gejala.
 Faringitis Kronik Atrofi
Biasanya timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Gejala yang dialami
pasien berupa tenggorokan kering dan mulut berbau. Pada pemeriksaan faring
mukosanya ditutupi oleh lendir yang kental, namun bila diangkat mukosa
25
tampak kering. Terapi pada faringitis kronis cukup dengan obat kumur untuk
menjaga kebersihan mulut dan pengobatan ditujukan untuk rinitis atrofi.

- Tatalaksanaan
Obat pilihan yang dapat diberikan adalah amoksisilin diberikan peroral
dengan dosis tunggal harian 1gr selama 10 hari. Atau dapat diberikan penisilin G
benzatin yang diberikan secara intramuskular untuk menghindari masalah
kepatuhan. Apabila pasien alergi terhadap penisilin dapat diberikan sefalosporin
selama 10. Selain sefalosporin, obat lain yang dapat diberikan untuk pasien yang
alergi terhadap penisilin adalah klaritromisin atau eritromisin.

26

Anda mungkin juga menyukai