Anda di halaman 1dari 12

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus
paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar
yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps
(EPOS) menggunakan istilah rinosinusitis menggantikan sinusitis (Fokkens et al., 2007).
Inflamasi sinus jarang terjadi tanpa inflamasi mukosa nasal saja, biasanya terjadi
bersamaan dengan mukosa hidung karena letak yang berdekatan. Walaupun istilah yang
saat ini digunakan ialah rinosinusitis, para ahli yang menetapkan bahwa istilah
rinosinusitis maupun sinusitis dapat digunakan secara bergantian (Meltzer, 2011).
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-
hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
dunia. Konsensus Internasional 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas
sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3
bulan (Mangunkusumo, 2012). Rinosinusitis kronik mempunyai prevalensi yang cukup
tinggi. Diperkirakan sebanyak 13,4 - 25 juta kunjungan ke dokter per tahun dihubungkan
dengan rinosinusitis kronik atau akibatnya. Di Eropa, rinosinusitis diperkirakan
mengenai 10%-30% populasi. Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikitnya
pernah mengalami episode rinosinusitis semasa hidupnya dan sekitar 15% diperkirakan
menderita rinosinusitis kronik. Dari Respiratory Surveillance program, diperoleh data
demografik mengenai rinosinusitis paling banyak ditemukan secara berturut-turut pada
etnis kulit putih, Amerika, Spanyol dan Asia (Bubun et al., 2009). Di Indonesia, dimana
penyakit infeksi saluran napas akut masih merupakan penyakit utama di masyarakat,
angka kejadiannya belum jelas dan belum banyak dilaporkan. Insiden kasus baru
rinosinusitis pada penderita dewasa yang berkunjung di Divisi Rinologi Departemen
THT RS Cipto Mangunkusumo, selama Januari–Agustus 2005 adalah 435 pasien
(Soetjipto et al., 2006). Pada kunjungan rawat jalan ke poli Rinologi RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tahun 2010, didapatkan kejadian rinosinusitis kronis sebesar 34,7%
dan terbanyak terjadi pada usia antara 25-44 tahun (26,2%) diikuti usia antara 45-64
tahun (23,8%) serta lebih sering ditemukan pada wanita (60,7%) dibandingkan lakilaki
(39,3%) (Budiman & Rosalinda, 2011). Tingginya prevalensi rinosinusitis kronik di
masyarakat memerlukan deteksi dini karena berdampak terhadap kualitas hidup dan
ekonomi. Gejala yang timbul akibat rinosinusitis kronik merupakan salah satu hal
penting dalam menegakkan diagnosis (Bubun et al., 2009). Gejala rinosinusitis kronik
tidak jelas. Selama eksaserbasi akut, gejala mirip dengan gejala rinosinusitis akut;
namun, diluar masa itu, gejala berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan
hipersekresi yang seringkali mukopurulen. Kadang-kadang terdapat nyeri kepala, namun
gejala ini seringkali tidak tepat dianggap sebagai gejala penyakit sinus. Hidung biasanya
sedikit tersumbat dan tentunya ada gejala-gejala faktor predisposisi, seperti rinitis alergi
yang menetap dan keluhan-keluhannya yang menonjol. Batuk kronik dengan laringitis
kronik ringan dan faringitis seringkali menyertai rinosinusitis kronik dan gejala-gejala
utama ini dapat menyebabkan pasien datang ke dokter (Hilger, 2012). Rinosinusitis pada
dasarnya bersifat rinogenik, yang merupakan perluasan dari infeksi hidung. Inflamasi
menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan dalam ruang yang sempit,
akibatnya terjadi gangguan transport mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan
mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus. Infeksi kemudian menyebar ke sinus yang
berdekatan (Muslim, 2006). Gejala yang timbul akibat rinosinusitis kronik merupakan
salah satu hal penting dalam menegakkan diagnosis, di samping pemeriksaan pencitraan
seperti gambaran tomografi komputer. Ada beberapa kriteria pengklasifikasian
rinosinusitis berdasarkan gambaran tomografi komputer, tetapi sistem skor Lund -
Mackay lebih sering digunakan, karena dianggap lebih sederhana dan merupakan satu-
satunya sistem yang direkomendasikan oleh Task Force untuk mendiagnosis rinosinusitis
(Busquets, 2006). Gambar tomografi komputer sinus paranasal diperlukan untuk
mengidentifikasi penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi
anatomi organ sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta
mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intrakranial (Lund, 2007).
Tomografi komputer merupakan metode yang baik untuk evaluasi struktur anatomi
karena dapat memperlihatkan dengan jelas struktur anatomi hidung dan sinus paranasal
seperti kondisi kompleks ostiomeatal, kelainan anatomi, visualisasi ada atau tidaknya
jaringan patologis di 4 sinus dan perluasannya (Kennedy, 2001). Pemeriksaan tomografi
komputer mampu memberikan gambaran struktur anatomi pada area yang tidak tampak
melalui endoskopi. Pemeriksaan ini sangat baik dalam memperlihatkan sel-sel etmoid
anterior, dua pertiga atas kavum nasi dan resessusfrontalis. Pada daerah ini tomografi
komputer dapat memperlihatkan lokasi faktor penyebab sinusitis kronis (Kennedy,
2001). Tujuan penelitian ini secara umum adalah menilai gambaran tomografi komputer
pada pasien rinosinusitis kronis berdasarkan kriteria Lund - Mackay. 1.2 Rumusan
Masalah a. Bagaimana distribusi frekuensi berdasarkan usia dan jenis kelamin pada
pasien rinosinusitis kronik di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2011 –
Desember 2014 ? b. Bagaimana distribusi frekuensi tomografi komputer pada pasien
rinosinusitis kronik berdasarkan kriteria Lund – Mackay di RSUP Dr. M. Djamil Padang
periode Januari 2011 – Desember 2014 ? c. Bagaimana distribusi frekuensi tomografi
komputer berdasarkan jumlah sinus yang terlibat, lokasi kelainan sinus, serta kelainan
kompleks osteomeatal yang ditemukan pada pasien rinosinusitis kronik berdasarkan
kriteria Lund – Mackay di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2011 –
Desember 2014 ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui
gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis kronis berdasarkan kriteria Lund
- Mackay di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2011 - Desember 2014. 1.3.2
Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan usia dan jenis
kelamin pada pasien rinosinusitis kronik di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari
2011 – Desember 2014. b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi tomografi komputer
terbanyak pada pasien rinosinusitis kronik berdasarkan kriteria Lund - Mackay yang
datang ke RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2011 – Desember 2014. c. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi tomografi komputer berdasarkan jumlah sinus yang
terlibat, lokasi kelainan sinus, serta kelainan kompleks osteomeatal yang ditemukan pada
pasien rinosinusitis kronik berdasarkan kriteria Lund – Mackay di RSUP Dr. M. Djamil
Padang periode Januari 2011 – Desember 2014. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat
bagi Ilmu Pengetahuan Menambah pengetahuan mengenai gambaran tomografi
komputer pada pasien rinosinusitis kronis berdasarkan kriteria Lund - Mackay. 1.4.2
Manfaat bagi Peneliti Penelitian ini menambah pengetahuan dan wawasan peneliti
mengenai gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis kronis berdasarkan
kriteria Lund - Mackay. 1.4.3 Manfaat bagi Klinisi Memberikan informasi tentang
gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis kronis berdasarkan kriteria Lund
- Mackay.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan
oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap
kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior
(Ballenger, 2004; Higler, 1997).
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior,
disebutsebagai vestibulum.Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding
lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka
superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina
perpendikularius os palatum, dan laminapterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat
empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian
yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang
terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-
konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior.
Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila
dan prosesus horizontal os palatum (Ballenger 2004; Hilger,1997).
Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian
besaratap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen - filamen. Olfaktorius
yang berasal Universitas Sumatera Utara dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior (Ballenger 2004;
Hilger, 1997).Gambar 1. Penampang Koronal Hidung ( McCormick, 2007)Kompleks
osteomeatal (KOM)Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada
muara- muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini
rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal(KOM). KOM adalah bagian dari
sinus etmoid anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas
yaitu suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus
frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila
(Hwang, 2009; Kennedy et al, 2003;Kamel, 2002). Universitas Sumatera Utara

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan waktu penelitian

1. Tempat penelitian
Penelitian dilakukan pada pasien dengan diagnose Sinusitis Maksilaris Kronik di Rumah
Sakit Stroke Nasional Bukittinggi.

2. Waktu penelitian
Penelitian dilakukan selama 2 minggu .

B. Metode
Penelitian ini bersifat Quasi eksperimen yang bertujuan untuk mempelajari perbandingan
pengaruh efektifitas intervensi US dengan MWD untuk mengurangi nyeri pada Sinusitis
Maksilaris Kronik
Pada penelitian ini subyek penelitian berjumlah 14 orang yang terbagi dalam dua
kelompok. Kelompok pertama berjumlah 7 orang yang diberikan Ultrasound sedangkan
kelompok yang kedua juga berjumlah 7 orang yang hanya diberikan intervensi MWD.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbandingan pengaruh antara US
dan MWD pada salah satu kelompok dalam hal mengurangi keluhan nyeri pada kondisi
Sinusitis Maksilaris Kronik. Intensitas nyeri diukur dengan menggunakan instrumen
pengukuran Visual Analogue Scale (VAS). Hasil pengukuran intensitas nyeri kemudian
akan dianalisa dan dibandingkan antara kelompok perlakuan I dan kelompok perlakukan
II.
1. Kelompok perlakuan I
Pada kelompok ini sampel subyek penelitian diberikan intervensi Ultrasound.
Sebelum perlakuan dilakukan pengukuran nyeri dan hidung tersumbat dengan
menggunakan instrument Visual Analogue Scale (VAS) untuk mengetahui tingkat
nyeri dan hidung tersumbat yang dirasakan akibat Sinusitis Maksilaris Kronik.
Provokasi nyeri yang dilakukan adalah dengan mencari palpasi pada daerah
maksillaris kemudian melakukan kompresi/penekanan pada daerah tersebut selama 5
detik kemudian tekanan dilepaskan selama 8 detik dan diulang 3 kali kemudian subyek
penelitian diminta untuk memberikan tanda rasa nyeri yang dirasakan setelah
pemberian kompresi pada formulir yang berisi instrumen Visual Analogue Scale
(VAS). Setelah pengukuran selesai dilanjutkan dengan pemberian intervensi US dan
sesudahnya dilakukan kembali pengukuran nyeri dan hidung tersumbat pada Sinusitis
Maksilaris Kronik juga dengan instrumen pengukuran yang sama yaitu Visual
Analogue Scale (VAS) untuk mengetahui hasil dari intervensi yang diberikan.

Skema 3 : 1 metode kelompok perlakuan 1

Ultrasound

Keluhan Nyeri sebelum Keluhan nyeri lebih


intervensi berkurang

2. Kelompok perlakuan II
Pada kelompok ini diberikan intervensi MWD. Sebelum perlakukan diberikan juga
dilakukan pengukuran tingkat nyeri dan hidung tersumbat yang dirasakan subyek
penelitian dengan menggunakan teknik palpasi dan provokasi pada daerah maksilaris
yang sama serta menggunakan instrumen pengukuran Visual Analogue Scale (VAS)
yang sama pula.
Selanjutnya kelompok perlakuan ini diberikan intervensi MWD. Setelah diberikan
intervensi tersebut dilakukan kembali pengukuran tingkat nyeri dan rasa hidung
tersumbat dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) untuk melihat hasil
intervensi yang telah diberikan tersebut.
Skema 3 : 2 metode perlakuan 2

MWD

Keluhan Nyeri sebelum


Keluhan Nyeri berkurang
intervensi

C. Populasi dan Sampel


Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien dengan keluhan sinusitis maksilaris
kronis yang datang ke unit fisioterapi RS. Stroke Nasional Bukittinggi selama periode
bulan februari 2013 sampai pertengahan maret 3013. Sampel dari berbagai profesi
dari mulai PNS, wiraswasta, honorer dan sopir.
MWD Keluhan Nyeri sebelum Intervensi Keluhan Nyeri berkurang Pengambilan
sampel dilakukan dengan menggunakan tehnik purposif sampling berdasarkan
pertimbangan bahwa sampel yang diambil akan representatif jika sesuai dengan
kriteria pengambilan sampel yang kami tentukan. Teknik ini juga dipilih berdasarkan
pertimbangan untuk mendapatkan gambaran hasil pengujian suatu perlakuan terapi,
dalam hal ini US dengan MWD dengan memilih subyek tertentu yang benar-benar
mewakili kriteria yang telah ditetapkan. Subyek penelitian adalah semua penderita
nyeri tekan pada kondisi Sinusitis Maksilaris Kronik yang dipilih melalui prosedur
assesmen fisioterapi yang telah ditetapkan

Tabel 3.1 Assesment pada Sinusitis Maksilaris Kronik


No Tahap Assesment Hasil Temuan
1 Anamnesa Penderita Influenza, Alergi. Perokok,
Perenang, Berada dilingkungan yang
berdebu/kotor, tinggal dikawasan industry,
berada ditempat bersuhu dingin/lembab
●Tes Palpasi pada daerah sinus yang timbul
nyeri: KondisiSinusitis maksilaris, terdapat
nyeri pada pipi.
2 Tes khusus
●Tes Perkusi pada daerah sinus yang timbul
nyeri, dengan membandingkan daerah yang
3 Pemeriksaan penunjang sakit dan yang sehat.
● Laboratorium, untuk mengetahui alergi dari
penyakit sistematik yang memicu sinusitis. ●
X-Ray, Pada kondisi sinusitis akan tampak
gambaran “Fluid-Level” ● CT-Scan, udara
tampak hitam dan tulang tampak sangat putih.
Daerah abu-abu di sinus menandakan kelainan,
misalnya nanah, lendir atau kista

Setelah dilakukan assesmen kemudian dibuat kriteria-kriteria dalam penelitian ini.


Kriteria-kriteria yang ditetapkan berupa kriteria penerimaan, penolakan dan pengguguran.
1. Kriteria Penerimaan
a) Subyek positif menderita nyeri akibat kondisi sinusitis maksilaris kronik yang telah di
pilih berdasarkan prosedur assesmenr fisioterapi yang telah ditetapkan.
b) Usia 20 sampai 50 tahun dan berjenis kelamin pria maupun wanita.
c) Subyek bersedia bekerja sama dan mengikuti program penelitian.
2. Kriteria Penolakan
a) Subyek dengan keadaan demam
3. Kriteria Drop Out
a) Subyek yang tidak mengikuti terapi sebanyak 6 kali berturut-turut sesuai dengan jadwal
yang telah ditetapkan.
b) Sampel tidak datang lagi.

D. Instrument Penelitian
1. Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a) Variabel Dependen : Nyeri akibat Sinusitis Maksilaris Kronik.
b) Variabel Independen : Intervensi US dan MWD.
2. Definisi Konseptual
a) Nyeri sinusitis maksilaris kronis adalah perasaan yang tidak menyenangkan dan
merupakan pengalaman emosional berhubungan dengan kerusakan jaringan
aktual maupun potensial atau sering di deskripsikan sebagai istilah adanya
kerusakan jaringan yang dirasakan oleh pasien terutama pada daerah pipi (wajah)
yang mungkin menyebar ke gigi di rahang atas. Adapun masalah lainnya dapat
berupa kesulitan bernafas melalui hidung. Serta adanya postnasal drip yang
menyebabkan bertambahnya jumlah lendir yang lebih kental dan berwarna
kuning atau hijau. Dimana lendir ini banyak mengandung bakteri dan sel darah
putih, sehingga menyebabkan aliran hidung tersumbat, sehingga sekresinya
menumpuk dan terperangkap bersama udara di dalam sinus dan akan menekan
dinding sinus yang bertulang.
b) Intervensi Ultrasound adalah salah satu modalitas fisioterapi yang secara klinis
sering diaplikasikan untuk tujuan teraupetik pada kasuskasus tertentu termasuk
kasus muskuloskeletal dan neuromuskuler . terapi ultrasound menggunakan
energi gelombang suara yang tidak mampu ditangkap telingga manusia. US
mempunyai efek mekanik dan thermal yang mana dapat mempercepat
penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan.
c) Intervensi MWD adalah salah satu modalitas fisioterapi yang menggunakan
stressor fisis berupa energi elektromagnetik. MWD mempunyai efek fisiologis
dan efek teraupetik. Dimana dari efek tersebut akan terjadi peningkatan
sirkulasi,normalisasi jaringan otot dan tendon, serta perbaikan metabolisme
sehingga persepsi nyeri pada jaringan akan menurun.

3. Definisi Operasional
a) Ultrasound
Ultrasound adalah salah satu modalitas fisioterapi yang menggunakan gelombang
suara dengan getaran mekanis membentuk gelombang longitudinal dan barjalan
melalui medium tertentu dengan frekuensi yang bervariasi. Efek biologis yang
dihasilkan dari US, yaitu meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan,
meningkatkan sirkulasi darah, relaksi otot, peningkatan permeabilitas membrane,
pengaruh terhadap saraf perifer dan mengurangi nyeri pada sinusitis maksilaris
kronik. Pelaksanaan terapi, Nyalakan alat,siapkan tranduser ultrasound lalu diberi
jelly sesuai daerah yang diterapi, beri intensitas 1 W/cm2, selama 7 menit, Type
continues, 1x/hari (5 kali berturut-turut), gerakan tranduser kearah sirkuler pada
area yang terapi, jangan biarkan tranduser dalam keadaan statis karena dapat
menimbulkan luka bakar.

b) Micro Wave Diathermy MWD mempunyai daya penetrasi dengan panjang


gelombang 10 mm sampai 1 meter dan frekuensi 2450 MHz, dapat menimbulkan
panas induktan untuk kebutuhan jaringan yang lebih dalam tanpa ada pemansan di
permukaan. Sehingga arus mengumpul pada jaringan yang meradang dalam sinus.
Tujuan pemberian MWD, yaitu untuk membantu mengencerkan lendir yang
tersumbat di dalam sinus, maka akan mempercepat reabsorbsi pembengkakan atau
peradangan. Selain itu, panas secara langsung dapat membantu resolusi dari
inflamasi akut, vasodilatasi pembuluh darah dan rileksasi. Sehingga hal tersebut
dapat mengurangi penekanan pada dinding sinus serta dapat menurunkan nyeri.
Pelaksanaan terapi, pasien tidur rileks, berikan penutup mata (kacamata google),
pasang elektroda pada daerah sinus yang dirasakan nyeri, kemudian berikan dosis,
selama 15 menit, dengan intensitas subthermal, dan frekuensi 1x/hari (6 hari
berturut turut).

c) Nyeri Sinusitis Maksillaris Kronik


Obyek penelitian adalah nyeri dimana kualitas / intensitas nyeri dapat diukur
dengan menggunakan alat ukur “ Visual Analogue Scale “. Visual Analogue Scale
( VAS ) adalah alat ukur yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan
secara khusus meliputi 10 cm garis, dimana setiap ujungnya diberi tanda dengan
level intensitas nyeri ( ujung kiri diberi tanda “tidak ada nyeri” dan diujung kanan
diberi tanda “ nyeri hebat /tak tertahankan” ). Pasien diminta untuk memberi tanda
pada garis scala VAS yang tidak diberi angka dengan pensil sesuai dengan level
intensitas nyeri yang dirasakannya. Kemudian jaraknya diukur oleh fisioterapis
dari batas kiri sampai pada tanda titik dari pasien ( ukuran mm), dan itulah skornya
yang menunjukan level intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut dicatat pada
setiap sebelum dan sesudah intervensi untuk melihat kemajuan pengobatan /terapi
selanjutnya. Fisioterapi dapat memperoleh data awal yang berarti dan kemudian
skala tersebut digunkan pada setiap pengobatan berikutnya untuk memonitor
apakah terjadi kemajuan.
0 100 Tidak Nyeri Nyeri Hebat

Gambar 3.3. Skala VAS

Adapun Prosedur Pengukuran yang dilakukan adalah sebagai berikut : Pada


prosedur pengukuran sampel, peneliti menggunakan VAS (Visual Analogue Scale)
dengan cara:
a) Peneliti membuat sebuah garis lurus horizontal sepanjang 10 cm.
b)Sampel diberi penjelasan untuk memberikan tanda pada garis tersebut pada
daerah mana yang menggambarkan rasa nyeri yang ia rasakan selama provokasi
diberikan.
c) Sebelum intervensi sampel diminta untuk memberi tanda pada garis tersebut
tingkat nyeri yang ia rasakan.
d) Setelah intervensi sebanyak 5 kali sampel diminta untuk memberikan tanda pada
garis tersebut.
e) Setiap pengurangan atau penambahan nyeri diukur dalam centimeter ( 0-10 cm).
f) Setiap perlakuan, dilakukan tes palpasi daan pengukuran VAS sesudah intervensi
dan skor nya dicatat.

E. Teknik Analisa Data


Data yang diperoleh dari hasil pengukuran penurunan nyeri sendi lutut dengan
menggunakan US dan MWD akan dilihat perubahan nyeri sinusitis maksilaris kronik
sebelum dan sesudah perlakuan dengan menggunakan bantuan perangkat komputer.
Teknik analisa data dilakukan dengan menggunakan uji beda untuk mengetahui
kemaknaan fungsi sendi lutut pada kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II
dengan menggunakan uji statistik antara lain :
1. Untuk mengetahui apakah populasi berdistribusi normal maka digunakan uji
normalitas data Shapiro Wilk Test. Adapun hipotesis yang ditegakkan adalah :
Ho : Tidak ada perbedaan antara data kelompok perlakuan I dan kelompok
perlakuan II dengan distribusi normal
Ha : Ada perbedaan antara data kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II
dengan distribusi normal
2. Untuk mengetahui apakah varian data bersifat homogen atau tidak homogen,
maka dilakukan pengujian homogenitas dengan menggunakan Levene ‘s test (uji
F). Adapun hipotesis yang ditegakkan adalah :
Ho : Tidak ada perbedaan varian antara kelompok perlakuan I dan kelompok
perlakuan II
Ha : Ada perbedaan varian antara kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan
II.
1. Uji hipotesis I yaitu untuk mengetahui Intervensi US dan MWD dapat
menurunkan nyeri pada sinusitis maksilaris kronik, maka digunakan uji
signifikansi dua sampel yang saling berpasangan dengan dua alternatif pilihan.
Apabila data berdistribusi normal menggunakan PairedSamples t Test dan apabila
data tidak berdistribusi normal maka menggunakan Wilcoxon singed rank test.
Ho : Intervensi US dan MWD tidak dapat menurunkan nyeri pada sinusitis
maksilaris kronik. Ha : Intervensi US dan MWD dapat menurunkan nyeri pada
sinusitis maksilaris kronik. 2. Uji hipotesis II untuk mengetahui Interverensi US
dan MWD dapat menurunkan nyeri sinusitis maksilaris kronik, maka digunakan
uji signifikansi dua sampel yang saling berpasangan dengan dua alternatif pilihan.
Apabila data berdistribusi normal menggunakan Paired-Samples t Test dan
apabila data tidak berdistribusi normal maka menggunakan Wilcoxon singed rank
test. Ho : Interverensi US dan MWD tidak dapat menurunkan nyeri sinusitis
maksilaris kronik. Ha : Interverensi US dan MWD dapat menurunkan nyeri
sinusitis maksilaris kronik. 3. Uji hipotesis III yaitu Intervensi US lebih baik
dalam menurunkan nyeri sinusitis maksilaris kronik. Uji signifikasi hipotesis
komparatif dua sampel independent, maka dapat menggunakan beberapa uji
statistik. Apabila data berdistribusi normal maka menggunakan Independent-
Samples t-Test (Uji T Sampel Independen) dan apabila data berdistribusi tidak
normal menggunakan Mann-whitney U test. Adapun hipotesis yang ditegakkan
adalah : Ho : Intervensi MWD tidak lebih baik dalam menurunkan nyeri sinusitis
maksilaris kronik. Ha : Intervensi US lebih baik dalam menurunkan nyeri
sinusitis maksilaris kronik.

Anda mungkin juga menyukai