1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus
paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar
yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps
(EPOS) menggunakan istilah rinosinusitis menggantikan sinusitis (Fokkens et al., 2007).
Inflamasi sinus jarang terjadi tanpa inflamasi mukosa nasal saja, biasanya terjadi
bersamaan dengan mukosa hidung karena letak yang berdekatan. Walaupun istilah yang
saat ini digunakan ialah rinosinusitis, para ahli yang menetapkan bahwa istilah
rinosinusitis maupun sinusitis dapat digunakan secara bergantian (Meltzer, 2011).
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-
hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
dunia. Konsensus Internasional 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas
sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3
bulan (Mangunkusumo, 2012). Rinosinusitis kronik mempunyai prevalensi yang cukup
tinggi. Diperkirakan sebanyak 13,4 - 25 juta kunjungan ke dokter per tahun dihubungkan
dengan rinosinusitis kronik atau akibatnya. Di Eropa, rinosinusitis diperkirakan
mengenai 10%-30% populasi. Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikitnya
pernah mengalami episode rinosinusitis semasa hidupnya dan sekitar 15% diperkirakan
menderita rinosinusitis kronik. Dari Respiratory Surveillance program, diperoleh data
demografik mengenai rinosinusitis paling banyak ditemukan secara berturut-turut pada
etnis kulit putih, Amerika, Spanyol dan Asia (Bubun et al., 2009). Di Indonesia, dimana
penyakit infeksi saluran napas akut masih merupakan penyakit utama di masyarakat,
angka kejadiannya belum jelas dan belum banyak dilaporkan. Insiden kasus baru
rinosinusitis pada penderita dewasa yang berkunjung di Divisi Rinologi Departemen
THT RS Cipto Mangunkusumo, selama Januari–Agustus 2005 adalah 435 pasien
(Soetjipto et al., 2006). Pada kunjungan rawat jalan ke poli Rinologi RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tahun 2010, didapatkan kejadian rinosinusitis kronis sebesar 34,7%
dan terbanyak terjadi pada usia antara 25-44 tahun (26,2%) diikuti usia antara 45-64
tahun (23,8%) serta lebih sering ditemukan pada wanita (60,7%) dibandingkan lakilaki
(39,3%) (Budiman & Rosalinda, 2011). Tingginya prevalensi rinosinusitis kronik di
masyarakat memerlukan deteksi dini karena berdampak terhadap kualitas hidup dan
ekonomi. Gejala yang timbul akibat rinosinusitis kronik merupakan salah satu hal
penting dalam menegakkan diagnosis (Bubun et al., 2009). Gejala rinosinusitis kronik
tidak jelas. Selama eksaserbasi akut, gejala mirip dengan gejala rinosinusitis akut;
namun, diluar masa itu, gejala berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan
hipersekresi yang seringkali mukopurulen. Kadang-kadang terdapat nyeri kepala, namun
gejala ini seringkali tidak tepat dianggap sebagai gejala penyakit sinus. Hidung biasanya
sedikit tersumbat dan tentunya ada gejala-gejala faktor predisposisi, seperti rinitis alergi
yang menetap dan keluhan-keluhannya yang menonjol. Batuk kronik dengan laringitis
kronik ringan dan faringitis seringkali menyertai rinosinusitis kronik dan gejala-gejala
utama ini dapat menyebabkan pasien datang ke dokter (Hilger, 2012). Rinosinusitis pada
dasarnya bersifat rinogenik, yang merupakan perluasan dari infeksi hidung. Inflamasi
menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan dalam ruang yang sempit,
akibatnya terjadi gangguan transport mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan
mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus. Infeksi kemudian menyebar ke sinus yang
berdekatan (Muslim, 2006). Gejala yang timbul akibat rinosinusitis kronik merupakan
salah satu hal penting dalam menegakkan diagnosis, di samping pemeriksaan pencitraan
seperti gambaran tomografi komputer. Ada beberapa kriteria pengklasifikasian
rinosinusitis berdasarkan gambaran tomografi komputer, tetapi sistem skor Lund -
Mackay lebih sering digunakan, karena dianggap lebih sederhana dan merupakan satu-
satunya sistem yang direkomendasikan oleh Task Force untuk mendiagnosis rinosinusitis
(Busquets, 2006). Gambar tomografi komputer sinus paranasal diperlukan untuk
mengidentifikasi penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi
anatomi organ sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta
mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intrakranial (Lund, 2007).
Tomografi komputer merupakan metode yang baik untuk evaluasi struktur anatomi
karena dapat memperlihatkan dengan jelas struktur anatomi hidung dan sinus paranasal
seperti kondisi kompleks ostiomeatal, kelainan anatomi, visualisasi ada atau tidaknya
jaringan patologis di 4 sinus dan perluasannya (Kennedy, 2001). Pemeriksaan tomografi
komputer mampu memberikan gambaran struktur anatomi pada area yang tidak tampak
melalui endoskopi. Pemeriksaan ini sangat baik dalam memperlihatkan sel-sel etmoid
anterior, dua pertiga atas kavum nasi dan resessusfrontalis. Pada daerah ini tomografi
komputer dapat memperlihatkan lokasi faktor penyebab sinusitis kronis (Kennedy,
2001). Tujuan penelitian ini secara umum adalah menilai gambaran tomografi komputer
pada pasien rinosinusitis kronis berdasarkan kriteria Lund - Mackay. 1.2 Rumusan
Masalah a. Bagaimana distribusi frekuensi berdasarkan usia dan jenis kelamin pada
pasien rinosinusitis kronik di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2011 –
Desember 2014 ? b. Bagaimana distribusi frekuensi tomografi komputer pada pasien
rinosinusitis kronik berdasarkan kriteria Lund – Mackay di RSUP Dr. M. Djamil Padang
periode Januari 2011 – Desember 2014 ? c. Bagaimana distribusi frekuensi tomografi
komputer berdasarkan jumlah sinus yang terlibat, lokasi kelainan sinus, serta kelainan
kompleks osteomeatal yang ditemukan pada pasien rinosinusitis kronik berdasarkan
kriteria Lund – Mackay di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2011 –
Desember 2014 ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui
gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis kronis berdasarkan kriteria Lund
- Mackay di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2011 - Desember 2014. 1.3.2
Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan usia dan jenis
kelamin pada pasien rinosinusitis kronik di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari
2011 – Desember 2014. b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi tomografi komputer
terbanyak pada pasien rinosinusitis kronik berdasarkan kriteria Lund - Mackay yang
datang ke RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2011 – Desember 2014. c. Untuk
mengetahui distribusi frekuensi tomografi komputer berdasarkan jumlah sinus yang
terlibat, lokasi kelainan sinus, serta kelainan kompleks osteomeatal yang ditemukan pada
pasien rinosinusitis kronik berdasarkan kriteria Lund – Mackay di RSUP Dr. M. Djamil
Padang periode Januari 2011 – Desember 2014. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat
bagi Ilmu Pengetahuan Menambah pengetahuan mengenai gambaran tomografi
komputer pada pasien rinosinusitis kronis berdasarkan kriteria Lund - Mackay. 1.4.2
Manfaat bagi Peneliti Penelitian ini menambah pengetahuan dan wawasan peneliti
mengenai gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis kronis berdasarkan
kriteria Lund - Mackay. 1.4.3 Manfaat bagi Klinisi Memberikan informasi tentang
gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis kronis berdasarkan kriteria Lund
- Mackay.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tempat penelitian
Penelitian dilakukan pada pasien dengan diagnose Sinusitis Maksilaris Kronik di Rumah
Sakit Stroke Nasional Bukittinggi.
2. Waktu penelitian
Penelitian dilakukan selama 2 minggu .
B. Metode
Penelitian ini bersifat Quasi eksperimen yang bertujuan untuk mempelajari perbandingan
pengaruh efektifitas intervensi US dengan MWD untuk mengurangi nyeri pada Sinusitis
Maksilaris Kronik
Pada penelitian ini subyek penelitian berjumlah 14 orang yang terbagi dalam dua
kelompok. Kelompok pertama berjumlah 7 orang yang diberikan Ultrasound sedangkan
kelompok yang kedua juga berjumlah 7 orang yang hanya diberikan intervensi MWD.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbandingan pengaruh antara US
dan MWD pada salah satu kelompok dalam hal mengurangi keluhan nyeri pada kondisi
Sinusitis Maksilaris Kronik. Intensitas nyeri diukur dengan menggunakan instrumen
pengukuran Visual Analogue Scale (VAS). Hasil pengukuran intensitas nyeri kemudian
akan dianalisa dan dibandingkan antara kelompok perlakuan I dan kelompok perlakukan
II.
1. Kelompok perlakuan I
Pada kelompok ini sampel subyek penelitian diberikan intervensi Ultrasound.
Sebelum perlakuan dilakukan pengukuran nyeri dan hidung tersumbat dengan
menggunakan instrument Visual Analogue Scale (VAS) untuk mengetahui tingkat
nyeri dan hidung tersumbat yang dirasakan akibat Sinusitis Maksilaris Kronik.
Provokasi nyeri yang dilakukan adalah dengan mencari palpasi pada daerah
maksillaris kemudian melakukan kompresi/penekanan pada daerah tersebut selama 5
detik kemudian tekanan dilepaskan selama 8 detik dan diulang 3 kali kemudian subyek
penelitian diminta untuk memberikan tanda rasa nyeri yang dirasakan setelah
pemberian kompresi pada formulir yang berisi instrumen Visual Analogue Scale
(VAS). Setelah pengukuran selesai dilanjutkan dengan pemberian intervensi US dan
sesudahnya dilakukan kembali pengukuran nyeri dan hidung tersumbat pada Sinusitis
Maksilaris Kronik juga dengan instrumen pengukuran yang sama yaitu Visual
Analogue Scale (VAS) untuk mengetahui hasil dari intervensi yang diberikan.
Ultrasound
2. Kelompok perlakuan II
Pada kelompok ini diberikan intervensi MWD. Sebelum perlakukan diberikan juga
dilakukan pengukuran tingkat nyeri dan hidung tersumbat yang dirasakan subyek
penelitian dengan menggunakan teknik palpasi dan provokasi pada daerah maksilaris
yang sama serta menggunakan instrumen pengukuran Visual Analogue Scale (VAS)
yang sama pula.
Selanjutnya kelompok perlakuan ini diberikan intervensi MWD. Setelah diberikan
intervensi tersebut dilakukan kembali pengukuran tingkat nyeri dan rasa hidung
tersumbat dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) untuk melihat hasil
intervensi yang telah diberikan tersebut.
Skema 3 : 2 metode perlakuan 2
MWD
D. Instrument Penelitian
1. Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a) Variabel Dependen : Nyeri akibat Sinusitis Maksilaris Kronik.
b) Variabel Independen : Intervensi US dan MWD.
2. Definisi Konseptual
a) Nyeri sinusitis maksilaris kronis adalah perasaan yang tidak menyenangkan dan
merupakan pengalaman emosional berhubungan dengan kerusakan jaringan
aktual maupun potensial atau sering di deskripsikan sebagai istilah adanya
kerusakan jaringan yang dirasakan oleh pasien terutama pada daerah pipi (wajah)
yang mungkin menyebar ke gigi di rahang atas. Adapun masalah lainnya dapat
berupa kesulitan bernafas melalui hidung. Serta adanya postnasal drip yang
menyebabkan bertambahnya jumlah lendir yang lebih kental dan berwarna
kuning atau hijau. Dimana lendir ini banyak mengandung bakteri dan sel darah
putih, sehingga menyebabkan aliran hidung tersumbat, sehingga sekresinya
menumpuk dan terperangkap bersama udara di dalam sinus dan akan menekan
dinding sinus yang bertulang.
b) Intervensi Ultrasound adalah salah satu modalitas fisioterapi yang secara klinis
sering diaplikasikan untuk tujuan teraupetik pada kasuskasus tertentu termasuk
kasus muskuloskeletal dan neuromuskuler . terapi ultrasound menggunakan
energi gelombang suara yang tidak mampu ditangkap telingga manusia. US
mempunyai efek mekanik dan thermal yang mana dapat mempercepat
penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan.
c) Intervensi MWD adalah salah satu modalitas fisioterapi yang menggunakan
stressor fisis berupa energi elektromagnetik. MWD mempunyai efek fisiologis
dan efek teraupetik. Dimana dari efek tersebut akan terjadi peningkatan
sirkulasi,normalisasi jaringan otot dan tendon, serta perbaikan metabolisme
sehingga persepsi nyeri pada jaringan akan menurun.
3. Definisi Operasional
a) Ultrasound
Ultrasound adalah salah satu modalitas fisioterapi yang menggunakan gelombang
suara dengan getaran mekanis membentuk gelombang longitudinal dan barjalan
melalui medium tertentu dengan frekuensi yang bervariasi. Efek biologis yang
dihasilkan dari US, yaitu meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan,
meningkatkan sirkulasi darah, relaksi otot, peningkatan permeabilitas membrane,
pengaruh terhadap saraf perifer dan mengurangi nyeri pada sinusitis maksilaris
kronik. Pelaksanaan terapi, Nyalakan alat,siapkan tranduser ultrasound lalu diberi
jelly sesuai daerah yang diterapi, beri intensitas 1 W/cm2, selama 7 menit, Type
continues, 1x/hari (5 kali berturut-turut), gerakan tranduser kearah sirkuler pada
area yang terapi, jangan biarkan tranduser dalam keadaan statis karena dapat
menimbulkan luka bakar.