PROPOSAL PENELITIAN
Oleh
2.1 Tonsilitis
2.1.1 Definisi Tonsilitis
Tonsillitis adalah inflamasi pada tonsila palatina yang disebabkan oleh
infeki virus atau bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui
hidung atau mulut, tonsil berfungsi sebagai filter/ penyaring menyelimuti
organisme yang berbahaya tersebut dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan
memicu sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi
yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari
bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis. Dalam beberapa kasus
ditemukan 3 macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan
tonsillitis kronis. Oleh karena itu penting bagi perawat untuk mempelajari
patofisiologi, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan asuhan keperawatan
yang komprehensif pada klien tonsilitis beserta keluarganya (Arsyad, 2007;
Adams et al., 1997).
2.1.2 Epidemiologi
Tonsilitis akut dapat terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering pada
anak usia di bawah 9 tahun. Pada bayi di bawah usia 3 tahun dengan tonsilitis
akut, 15% dari kasus yang ditemukan disebabkan oleh bakteri streptokokus,
sisanya itu biasanya virus. Pada anak-anak yang lebih tua, sampai dengan 50%
dari kasus disebabkan streptococus pyogenes. Tonsilitis akut juga dapat terjadi
pada laki-laki dan perempuan dengan jumlah insiden yang sama rata. (Bull,
2002; Bhargava et al., 2005).
2.1.3 Anatomi
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan
yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
Tonsila palatina merupakan dua massa jaringan limfoid yang terletak pada
dinding lateral orofaring di dalam fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh
membran mukosa, dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam
faring. Pada permukaannya banyak lubang kecil, yang membentuk kripta
tonsillaris. Permukaan lateral tonsila palatina ini diliputi oleh selapis jaringan
fibrosa, disebut kapsula. Tonsil mendapat darah dari a. Palatina asendens,
cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring asendens, dan a. lingualis dorsal.
Tonsil mencapai ukuran terbesarnya pada masa kana-kanak, tapi sesudah masa
pubertas akan mengecil dengan jelas. Batas-batas tonsilla palatina :
Aliran darah faring berasal dari beberapa cabang sistem karotis eksterna.
Beberapa anastomosis tidak hanya dari satu sisi tetapi dari pembuluh darah sisi
lainnya. Ujung cabang arteri maksillaris interna, cabang tonsilar arteri fasialis,
cabang lingual arteri lingualis bagian dorsal, cabang arteri tiroidea superior, dan
arteri faringeal yang naik semuanya menambah jaringan anastomosis yang luas.
Persarafan sensorik nasofaring dan orofaring, seperti dasar lidah, terutama
melalui pleksus faringeal dan saraf glosofaringeal. Pada bagian bawah faring
terdapat persarafan sensorik yang berasal dari saraf vagus melalui saraf laringeus
superior. Aliran limfe faringeal meliputi rantai retrofaringeal dan faringeal
lateral dengan jalan selanjutnya masuk nodus servikalis profunda. Keganasan
nasofaring seringkali bermetastase ke rantai servikalis profunda (Adams et al.,
1997).
2.1.4 Patogenesis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal, tonsil palatina, dan tonsil
lingual. Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan, dan
ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak (Soepardi et al.,
2007).
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus
tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan
detritus disebut tonsillitis lakunaris, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsillitis lakonaris (Soepardi et al., 2007; Bhargava et al., 2005;
Borgstein, 2006).
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses
radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga
pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini
akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan
diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya
timbul perlengkapan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibular (Soepardi et al., 2007;
Bhargava et al., 2005; Probst et al., 2006; Borgstein, 2006).
2.1.5 Etiologi
Penyebab utamanya adalah infeksi bakteri streptococcus atau infeksi
virus. Tonsil berfungsi membantu menyerang bakteri dan mikroorganisme
lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa dikalahkan
oleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan
tonsillitis (Bhargava et al., 2005).
Penyebab tonsilitis antara lain :
1. Pneumococcus
2. Staphilococcus
3. Streptokokus beta hemolitikus grup A
4. Hemofilus Influenza
5. Virus Epstein Barr
Kadang streptococcus non hemoliticus atau streptococcus viridens
(Soepardi et al., 2007; Bhargava et al., 2005; Probst et al., 2006; Borgstein,
2006).
Faktor predisposisi dari tonsilitis akut, antara lain :
1. Postnasal discharge karena sinusitis.
2. Residual jaringan tonsil karena tonsilektomi.
3. Mengkonsumsi minuman dingin atau makanan dingin dapat secara langsung
menyebabkan infeksi atau menurunkan daya tahan dengan vasokonstriksi.
4. Adanya benda asing yang bisa menyebabkan mudahnya terjadi infeksi
(Bhargava et al., 2005)
Gambar tonsilitis akut yang bisa menyebabkan distress pernapasan (Probst et al.,
2006).
1. Difteri
Difteri memiliki onset yang berbahaya dan ditandai dengan membran abu-
abu (susah dihilangkan) di tonsil, tenggorokan, dan uvula. Diagnosis
difteri melalui pemeriksaan dan kultur swab (Bull, 2002).
2. Scarlett fever
Scarlett fever dapat menyerupai tonsilitis akut. Scarlett fever disebabkan
oleh infeksi streptococcus dan menyebabkan ruam eritematosa berwarna
abu-abu. Pasien didaptkan tanda berupa strawberry tongue (Probst et al.,
2006).
3. Abses peritonsil
Abses peritonsilar adalah sekumpulan pus yang terletak diantara kapsul
tonsil dan muskulus konstriktor faringeal superior. Gejala yang paling
sering adalah sulit menelan, mengeluarkan air liur, trismus, dan demam.
Asimetris peritonsiler dapat terjadi dan disertai deviasi uvula (Graham et
al., 2007).
Gambar Abses Peritonsiler (Graham et al., 2007).
2.1.10 Komplikasi
2.1.11 Penatalaksanaan
2.2 Bakteri
2.2.1 Definisi Bakteri
Bakteri adalah salah satu golongan organisme prokariotik ( tidak memiliki
selubung inti). Bakteri sebagai makhluk hidup tentu memiliki informasi
genetikberupa DNA, tapi tidak terlokalisasi dalam tempat khusus (nukleus ) dan
tidak ada membran inti. Bentuk DNA bakteri adalah sirkuler, panjang dan biasa
disebut nukleoi. Pada DNA bakteri tidak mempunyai intron dan hanya tersusun atas
akson saja. Bakteri juga memiliki DNA ekstrakromosomal yang menjadi plasmid
yang berbentuk kecil dan sirkuler (Jawetz, 2005).
2.2 Antibiotik
2.2.1 Pengertian Antibiotik
Antibiotika adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,
yang memiliki khasiat mematikan ataumenghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini, yang dibuat
secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula senyawa sintesis
dengan khasiat antibakteri (Tjay & Rahardja, 2007).
Antibiotik adalah zat biokimia yang diproduksi oleh mikroorganisme, yang
dalam jumlah kecik dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh pertumbuhan
mikroorganisme lain (Harmita dan Radji, 2008).
3.3.2 Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan total
sampling dengan batasan waktu selama tiga bulan. Total sampling adalah teknik
penentuan sampel apabila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.
Sampel dari penelitian ini adalah spesimen yang berasal dari seluruh pasien
tonsilitis akut yang menjalani rawat jalan di ruang RSD. Dr. Soebandi Jember yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
● Seluruh pasien tonsilitis akut
● Terdiagnosis tonsilitis akut oleh DPJP
● Seluruh pasien bersedia menjadi sampel penelitian.
● Belum mendapat pengobatan antibiotik
b. Kriteria Eksklusi
● Seluruh pasien yang tidak bersedia menjadi sampel penelitian
● Seluruh pasien yang tidak terdiagnosis tonsilitis akut oleh DPJP.
Homogenisassi Perspektif
Pengambilan spesimen
Hasil Penelitian
Publikasi
b. Pengambilan Bakteri
1. Menyiapkan alat dan bahan serta memakai masker dan handscoon.
2. Mensterilkan tangan menggunakan alkohol 70%.
3. Mensterilkan jarum ose loop menggunakan korek api.
4. Mengambil koloni bakteri dari tabung reaksi yang berisi bakteri dan
memindahkannya ke dalam medium BHIB.
5. Mengaduk jarum ose loop tersebut sampai bakterinya tercampur dengan
larutan BHIB.
6. Mengambil cairan BHIB yang berisi koloni bakteri tersebut dengan
menggunakan lidi kapas yang telah disterilkan. Pengambilan dilakukan
dengan cara memasukkan lidi kapas ke dalam medium BHIB,
mendiamkan selama 2-3 menit, kemudian mengangkat lidi kapas dengan
menekan pada dinding tabung bagian dalam sambil diputar-putar.
c. Penanaman
1. Mengoleskan lidi kapas yang telah berisi bakteri pada medium MHA
dengan meratakan seluruh permukaan medium.
2. Mengambil disc antibiotik yang telah tersedia dengan menggunakan
pinset.
3. Menanamkan disc antibiotik tersebut pada medium MHA dengan
memperhatikan posisi antibiotik satu dengan yang lainnya.
4. Menutup dan memberi label pada cawan petri tersebut sesuai dengan
bakteri dan kelompok.
5. Membungkus cawan petri menggunakan kertas, kemudian menuliskan
nama kelompok.
6. Menginkubasi cawan petri tersebut dalam inkubator dengan suhu 37oC
selama 24 jam dengan posisi terbalik.
d. Pengukuran
1. Mengukur zona hambat yang terbentuk menggunakan jangka sorong
dengan cara mengukur jari-jari zona hambat dan hasilnya dikalikan dua
untuk mendapatkan diameter zona hambat.
2. Membandingkan zona hambat yang dihasilkan dengan tabel antibiotik.
3. Mencatat hasil pengamatan dan mengambil gambar.
Adams, G. L., L. R. Boeis, P. A. Higler. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi N6. EGC : Jakarta. Hal. 320-322, 330, 339-340, 342.
Bhargava, K. B., S. K. Bhargava, T. M., Shah. 2005. A Short Textbook of ENT for
Students and Practitioners. Seventh Edition. Usha : Mumbai. P. 226, 243-
244, 249-250, 252.
Borgstein, J. 2006. The Basic Ear Nose Throat. London. P.149-153.
Bull, P. D. 2002. Lectures Note on Disease of the Ear, Nose, and Throat. Ninth
Edition. Blackwell Science : Sheffield. P. 111-113, 116-117.
Chan, J., J. C. Edman, P. J., Koltai. Obstructive Sleep Apnea in Children. [Cited
on 1 March 2004]. Available from :
http://www.aafp.org/afp/2004/0301/p1147.html. [Accessed on 3 September
2019].
Drlica & Perlin. 2011. Antibiotic Resistance Understanding and Responding to an
Emerging Crisis. FT Press: New Jersey.
Eka RU. 2011. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Antibiotika
Resistensi. 1(4) :(191-198)
Gaman, P.M. dan KB Sherrington. 2002. Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan
Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta: UGM Press.
Graham, J. M., G. K., Scadding, P. D., Bull. 2007. Pediatric ENT. Springer :
New York. P.131-136.
Harmita dan Radji, M., 2008. Kepekaan Terhadap Antibiotik. Dalam: Buku Ajar
Analisis Hayati, Eds.3.EGC. Jakaerta:1-5.
IDI. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Jakarta: PB IDI.
Jawetz, E, J. melnick, et al., 2005. Jakarta: EGC Jawetz, melnick & Adelberg
Mikrobiologi Kedokteran.
Koes Irianto. 2006. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Jilid 2.
Jakarta.
Netter, F. H., et al. 2010. Atlas of Human A,atomy. Fifth Edition. P.57
PERMENKES RI, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Kementrian
Kesehatan RI, Jakarta, 874.
Probst, R., G. Grevers, H. Iro. 2006. Basic Otorhinolaringology. Thieme :
Stuttgart. P. 113-115.
Rusmarjono, Hermani B. Nyeri Tenggorok. Buku Ajar Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012. hlm.
192
Sari LT. 2014. Faktor pencetus tonsillitis pada anak usia 5-6 tahun di wilayah
kerja puskesmas bayat kabupaten klanten. Naskah publikasi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Shenoy, P. K. 2012. “Acute Tonsillitis”-if Left Untreated Could Cause Severe
Fatal Complications. In : Journal of Current Clinical Care, Volume 2, Issue
4.
Snell, R. S., et al. 2005. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. ECG :
Jakarta. Hal. 796, 798.
Snow, J. B. 2002. Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. Decker : London. P. 369-370.
Soepardi, E. A., N. Iskandar, J. Bashiruddin, dam R. D. Restuti. 2007. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. FKUI
: Jakarta. Hal. 221-223.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271, PT.
Elex Media Komputindo, Jakarta
Wahyono, H. 2007. Peran Mikrobiologi Klinik pada Penanganan Penyakit
Infeksi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Mikrobiologi. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro, Semarang.
Yusuf M, Wiyadi HMS, Kentjono WA, Herawati S, Pawati R. 2016. Pedoman
Praktik Klinis Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher. Surabaya:
Universitas Airlangga