Anda di halaman 1dari 32

PETA KUMAN DAN POLA KEPEKAAN KUMAN PADA TONSILITIS

AKUT DI RSD. DR SOEBANDI JEMBER

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh

dr. Nindya Shinta R, M.Ked., Sp.THT-KL

SMF TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN-KEPALA LEHER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2019
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa virus, bakteri,
dan jamur yang masuk secara aerogen atau foodborn (Rusmarjono et al., 2011) .
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsidi Indonesia
pada bulan September tahun 2012, prevalensi tonsilitis akut tertinggi setelah
nasofaringitis akut yaitu sebesar 3,8%. (Sari LT, 2014). Faktor risiko yang dapat
mempengaruhi terjadinya tonsilitis ialah faktor usia terutama pada anak, penurunan
daya tahan tubuh, rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu),
hygiene rongga mulut yang kurang baik, dan riwayat alergi (IDI, 2017).
Pengobatan tonsilitis akut bakterial umumnya saat ini ialah penggunaan
antibiotik seperti phenoksimetilpenisilin, amoksisilin, dan golongan sefalosporin
(Yusuf et al., 2016). Sekitar 92 persen masyarakat di Indonesia tidak menggunakan
antibiotika secara tepat. Ketika digunakan secara tepat, antibiotik memberikan
manfaat yang tidak perlu diragukan lagi.Namun bila dipakai atau diresepkan secara
tidak tepat (irrational prescribing) dapat menimbulkan resistensi antibiotik (Eka,
2011).
Dalam menghadapi permasalahan medis yang berhubungan dengan infeksi
diperlukan kemampuan untuk menegakkan diagnosis yang akurat dan peresepan
obat yang bijak. Prinsip penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik
dengan spektrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat,
interval dan lama pemberian yang tepat (Permenkes, 2011). Hal tersebut bisa lebih
cepat tercapai bila informasi dan data hasil pengkajian landasan teori dan konsep
mikrobiologi kedokteran diterapkan. Konsep mikrobiologi kedokteran yang dapat
digunakan yakni pemetaan kuman. Peta kuman merupakan laporan pola mikroba
yang berasal dari ruang perawatan yang kemudian disajikan dalam bentuk ranking.
Keberadaan peta kuman dalam suatu ruang perawatan rumah sakit dapat membantu
klinisi dalam memberikan terapi awal sebelum ada hasil kultur sensitifitasnya
(Wahjono, 2007).
Di Rumah Sakit Dr. Soebandi hingga saat ini belum didapatkan adanya peta
kuman. Hal ini dikarenakan biaya kultur yang tidak murah. Pentingnya mengetahui
peta kuman pada setiap ruangan di rumah sakit adalah untuk mengetahui jenis
bakteri, termasuk bakteri yang terdeteksi merupakan bakteri patogen atau flora
normal tubuh yang berpindah ke tempat lain, dan juga untuk mengetahui kepekaan
kuman terhadap antibiotik. Sehingga diharapkan kedepannya dokter di rumah sakit
dapat menentukan terapi yang akan diberikan berdasarkan pola persebaran kuman
dan kepekaannya.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Peta Kuman Dan Pola Kepekaan Kuman Pada Tonsilitis Akut Di RSD. dr
Soebandi Jember”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini ialah
sebagai berikut.
1. Bagaimana peta kuman tonsilitis akut di RSD. Dr. Soebandi Jember?
2. Bagaimana pola kepekaan kuman tonsilitis akut terhadap antibiotik di RSD. Dr.
Soebandi Jember?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengidentifikasi peta kuman tonsilitis akut di RSD dr. Soebandi Jember.
2. Untuk mengidentifikasi pola kepekaan kuman tonsilitis akut terhadap antibiotik
di RSD dr. Soebandi Jember.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Menjadi sarana bagi peneliti untuk mempelajari dan menerapkan teori yang
telah diperoleh selama masa studi perkuliahan.
2. Menjadi sumber referensi dalam pemetaan kuman dan resistensi antibiotik
1.4.3 Manfaat Praktis
1. Menjadi informasi kepada RSD. Dr. Soebandi mengenai peta kuman
penyebab infeksi di lingkungan rumah sakit.
2. Menjadi pedoman pemilihan antibiotik rasional di RSD. Dr. Soebandi
Jember.
3. Meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien di RSD. Dr.
Soebandi Jember.
4. Meningkatkan kesembuhan pasien di RSD. Dr. Soebandi Jember.
5. Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat guna meningkatkan
produktivitas di lingkungan keluarga, masyarakat, dan lingkungan kerja.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tonsilitis
2.1.1 Definisi Tonsilitis
Tonsillitis adalah inflamasi pada tonsila palatina yang disebabkan oleh
infeki virus atau bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui
hidung atau mulut, tonsil berfungsi sebagai filter/ penyaring menyelimuti
organisme yang berbahaya tersebut dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan
memicu sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi
yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari
bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis. Dalam beberapa kasus
ditemukan 3 macam tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan
tonsillitis kronis. Oleh karena itu penting bagi perawat untuk mempelajari
patofisiologi, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan asuhan keperawatan
yang komprehensif pada klien tonsilitis beserta keluarganya (Arsyad, 2007;
Adams et al., 1997).

2.1.2 Epidemiologi
Tonsilitis akut dapat terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering pada
anak usia di bawah 9 tahun. Pada bayi di bawah usia 3 tahun dengan tonsilitis
akut, 15% dari kasus yang ditemukan disebabkan oleh bakteri streptokokus,
sisanya itu biasanya virus. Pada anak-anak yang lebih tua, sampai dengan 50%
dari kasus disebabkan streptococus pyogenes. Tonsilitis akut juga dapat terjadi
pada laki-laki dan perempuan dengan jumlah insiden yang sama rata. (Bull,
2002; Bhargava et al., 2005).
2.1.3 Anatomi

Gambar anatomi faring (Netter et al., 2010).

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler berbentuk pipa corong


dengan panjang 5 inch yang menghubungkan hidung dan mulut menuju laring.
Faring adalah tempat dari tonsil dan adenoid. Dimana terdapat jaringan limfe
yang melawan infeksi dengan melepas sel darah putih ( limfosit T dan B).
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi
vertebra servikal ke-6. Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi nasofaring,
orofaring dan laringofaring (Soepardi et al., 2007).

Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan
yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.

1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.


2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faringeal lateral dan pada resesus
faringeus, yang dikenal sebagai fosa Rosenmuller.
3. Torus tubarius – refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilago sarulan
tuba eustachius yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai
tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat di atas perlekatan
palatum molle.
4. Koana posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat tertekan akibat
perluasan dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui
oleh saraf kranial glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis (Adams et
al., 1997).
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan
ke belakang adalah vertebra servikalis. struktur yang terdapat di rongga
orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus
faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. Orofaring
termasuk cincin jaringan limfoid yang sirkum ferensial disebut cincin Waldeyer.
Semua bagian cincin mempunyai struktur dasar yang sama : massa limfoid
ditunjang oleh kerangka retinakulum jaringan penyambung. Adenoid (tonsila
faringeal) mempunyai struktur limfoidnya tersusun dalam lipatan : tonsil
palatina mempunyai susunan limfoidnya sekitar pembentukan seperti kripta.
Sistem kripta yang kompleks dalam tonsil palatina mungkin bertanggung jawab
pada kenyataan bahwa tonsil palatina lebih sering terkena penyakit daripada
cincin limfoid lain. Kripta-kripta ini lebih berlekuk-lekuk pada kutub atas
tonsila, menjadi mudah tersumbat oleh partikel makanan, mukus sel epitel yang
terlepas, leukosit, dan bakteri, dan tempat utama pertumbuhan bakteri patogen.
Selama peradangan akut, kripta dapat terisi dengan koagulum yang
menyebabkan gambaran folikular yang khas pada permukaan tonsila (Soepardi
et al., 2007; Adams et al., 1997; Bhargava et al., 2005; Netter et al., 2010).

Tonsila palatina merupakan dua massa jaringan limfoid yang terletak pada
dinding lateral orofaring di dalam fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh
membran mukosa, dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam
faring. Pada permukaannya banyak lubang kecil, yang membentuk kripta
tonsillaris. Permukaan lateral tonsila palatina ini diliputi oleh selapis jaringan
fibrosa, disebut kapsula. Tonsil mendapat darah dari a. Palatina asendens,
cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring asendens, dan a. lingualis dorsal.
Tonsil mencapai ukuran terbesarnya pada masa kana-kanak, tapi sesudah masa
pubertas akan mengecil dengan jelas. Batas-batas tonsilla palatina :

a. Anterior : arcus palatoglossus


b. Posterior : arcus palatopharyngeus
c. Superior : palatum molle. Disini, tonsilla palatina dilanjutkan oleh jaringan
limfoid di bawah permukaan palatum molle.
d. Inferior : sepertiga posterior lidah. Disini, tonsilla palatina dilanjutkan oleh
tonsilla lingualis.
e. Medial : ruang oropharynx.
f. Lateral : kapsula dipisahkan dari m. constrictor pharyngis superior
(Soepardi et al., 2007; Adams et al., 1997; Snell, 2005).
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Pada garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus
tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid
lingual atau kista duktus tiroglossus (Soepardi et al., 2007).

Anatomi Mulut (Probst et al., 2006)


Tonsil dan adenoid, bersama-sama dengan lingual tonsil dan folikel
lymphe merupakan bagian dari cincin Waldeyer, sebuah lingkaran yang
berkesinambungan dari jaringan limfoid yang mengelilingi saluran pernapasan
dan saluran pencernaan bagian atas. Fungsinya adalah untuk menghasilkan
antibodi terhadap sejumlah besar antigen dan patogen yang dihirup saat bernapas
dan ditelan saat makan setiap saat. Biasanya, jaringan limfoid mendapatkan
episode peradangan dan hipertrofi yang kita sebut tonsilitis (Borgstein, 2006).

Gambar Anatomi Tonsil (Adams et al., 1997).

Aliran darah faring berasal dari beberapa cabang sistem karotis eksterna.
Beberapa anastomosis tidak hanya dari satu sisi tetapi dari pembuluh darah sisi
lainnya. Ujung cabang arteri maksillaris interna, cabang tonsilar arteri fasialis,
cabang lingual arteri lingualis bagian dorsal, cabang arteri tiroidea superior, dan
arteri faringeal yang naik semuanya menambah jaringan anastomosis yang luas.
Persarafan sensorik nasofaring dan orofaring, seperti dasar lidah, terutama
melalui pleksus faringeal dan saraf glosofaringeal. Pada bagian bawah faring
terdapat persarafan sensorik yang berasal dari saraf vagus melalui saraf laringeus
superior. Aliran limfe faringeal meliputi rantai retrofaringeal dan faringeal
lateral dengan jalan selanjutnya masuk nodus servikalis profunda. Keganasan
nasofaring seringkali bermetastase ke rantai servikalis profunda (Adams et al.,
1997).

2.1.4 Patogenesis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal, tonsil palatina, dan tonsil
lingual. Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan, dan
ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak (Soepardi et al.,
2007).
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus
tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan
detritus disebut tonsillitis lakunaris, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsillitis lakonaris (Soepardi et al., 2007; Bhargava et al., 2005;
Borgstein, 2006).
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses
radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga
pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini
akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan
diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya
timbul perlengkapan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibular (Soepardi et al., 2007;
Bhargava et al., 2005; Probst et al., 2006; Borgstein, 2006).
2.1.5 Etiologi
Penyebab utamanya adalah infeksi bakteri streptococcus atau infeksi
virus. Tonsil berfungsi membantu menyerang bakteri dan mikroorganisme
lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa dikalahkan
oleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan
tonsillitis (Bhargava et al., 2005).
Penyebab tonsilitis antara lain :
1. Pneumococcus
2. Staphilococcus
3. Streptokokus beta hemolitikus grup A
4. Hemofilus Influenza
5. Virus Epstein Barr
Kadang streptococcus non hemoliticus atau streptococcus viridens
(Soepardi et al., 2007; Bhargava et al., 2005; Probst et al., 2006; Borgstein,
2006).
Faktor predisposisi dari tonsilitis akut, antara lain :
1. Postnasal discharge karena sinusitis.
2. Residual jaringan tonsil karena tonsilektomi.
3. Mengkonsumsi minuman dingin atau makanan dingin dapat secara langsung
menyebabkan infeksi atau menurunkan daya tahan dengan vasokonstriksi.
4. Adanya benda asing yang bisa menyebabkan mudahnya terjadi infeksi
(Bhargava et al., 2005)

2.1.6 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda tonsilitis akut adalah :
1. Sakit tenggorokan dan disfagia. Anak kecil mungkin tidak mengeluh sakit
tenggorokan tapi akan menolak untuk makan.
2. Otalgia – sebagai akibat dari nyeli alih melalui N.IX.
3. Demam, hal ini bisa menyebabkan kejang demam pada bayi.
4. Malaise, nyeri sendi, dan tanda-tanda dehidrasi.
5. Tonsil membesar dan hiperemis serta dapat menunjukkan pus dari kriptus
di tonsilitis folikularis (detritus).
6.
Durasi perlangsungan tonsilitis akut biasanya 4 sampai 6 hari (Soepardi et
al., 2007; Bull, 2002; Bhargava et al., 2005; Borgstein, 2006).

Gambar tonsilitis akut pada tonsila palatina (Probst et al., 2006).

Gambar tonsilitis akut yang bisa menyebabkan distress pernapasan (Probst et al.,
2006).

2.1.7 Pemeriksaan Fisik Tonsil


Teknik pemeriksaan adalah pasien diminta untuk membuka mulutnya dan
kemudian pemeriksa menggunakan spatel menekan lidah ke bawah dan
kemudian daerah faring dan tonsil dapat dievaluasi.

Grading pembesaran tonsil (Chan et al., 2004).


Interpretasi pembesaran tonsil :
(0) Amandel sepenuhnya dalam fossa tonsil, atau tonsil tidak ada
(post-tonsilektomi.

(1 +) Amandel menempati kurang dari 25 persen, dari dimensi lateral


orofaring yang diukur antara pilar-pilar anterior tonsil.

(2 +) Amandel menempati kurang dari 50 persen dari dimensi lateral


orofaring.

(3 +) Amandel menempati kurang dari 75 persen dari dimensi lateral


orofaring.

(4 +) Amandel menempati 75 persen atau lebih dari dimensi lateral


orofaring (Chan et al., 2004).
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Inflammatory parameter : pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis,


dan erhytrocyte sedimentation rate (ESR) dan C-reactive protein (CRP)
meningkat.
b. Pemeriksaan bakteri : sebuah kultur bakteri jarang diambil dari apus
tenggorok karena biasanya membutuhkan 2-3 hari untuk mendapatkan
hasil yang definitif, dimana waktu pengobatan sudah harus dimulai. Itu
sbaiknya dilakukan sebuah rapid immunoassay, yang dapat
mengidentifikasi organisme penyebab seperti Streptococcus grup A hanya
dalam waktu 10 menit (Probst et al., 2006).

2.1.9 Diagnosis Banding

1. Difteri
Difteri memiliki onset yang berbahaya dan ditandai dengan membran abu-
abu (susah dihilangkan) di tonsil, tenggorokan, dan uvula. Diagnosis
difteri melalui pemeriksaan dan kultur swab (Bull, 2002).

Tonsilitis Akut Difteri


(Ulseratif)

Riwayat Tonsilitis berulang Telah terpapar difter

Temperatur Tinggi Rendah atau normal

Takikardi Sebanding dengan Tidak sebanding


demam dengan demam, nadi
lemah

Toxaemia Tidak ada Bisa ada


Nyeri / sakit Berat Sedang atau tidak
ada.

Albuminuria Tidak ada Selalu ada

Tabel perbandingan antara difteri dan tonsilitis akut (Bhargava et al.,


2005).

2. Scarlett fever
Scarlett fever dapat menyerupai tonsilitis akut. Scarlett fever disebabkan
oleh infeksi streptococcus dan menyebabkan ruam eritematosa berwarna
abu-abu. Pasien didaptkan tanda berupa strawberry tongue (Probst et al.,
2006).

Gambar scarlett fever (Snow, 2002).

3. Abses peritonsil
Abses peritonsilar adalah sekumpulan pus yang terletak diantara kapsul
tonsil dan muskulus konstriktor faringeal superior. Gejala yang paling
sering adalah sulit menelan, mengeluarkan air liur, trismus, dan demam.
Asimetris peritonsiler dapat terjadi dan disertai deviasi uvula (Graham et
al., 2007).
Gambar Abses Peritonsiler (Graham et al., 2007).

2.1.10 Komplikasi

1. Komplikasi dari tonsilitis akut dapat menyebabkan abses peritonsiler.


Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses
ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh
streptococcus group A.
2. Pada anak juga sering menimbulkan komplikasi otitis media akut. Infeksi
dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan
dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur
spontan gendang telinga. Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh
menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel mastoid.
3. Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui
mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea
yang dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)
(Soepardi et al., 2007; Bull, 2002; Probst et al, 2006; Graham et al., 2007).

2.1.11 Penatalaksanaan

1. Pasien diharuskan untuk tirah baring.


2. Aspirin atau parasetamol diberikan untuk menghilangkan rasa tidak
nyaman. Ingat bahwa aspirin tidak boleh diberikan kepada anak-anak
umur dibawah 12 tahun karena risiko sindrom Reye.
3. Mengedukasi pasien untuk selalu minum air supaya terhindar dari
dehidrasi.
4. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat
kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan
eritromisin atau klindomisin (Soepardi et al., 2007; Netter et al., 2010;
Shenoy, 2012).
5. Pengangkatan tonsil (tonsilektomi).
Indikasi tonsilektomi dibagi menjadi dua, yaitu indikasi absolut dan
indikasi relatif.
Indikasi absolut :
a. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronik.
b. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.
c. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan
berat badan penyerta.
d. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
e. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang
jaringan sekitarnya (Adams et al.,1997).
Indikasi relatif :
Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif. Indikasi yang
paling sering adalah episode berulang dari infeksi streptokokus beta
hemolitikus grup A. Sekarang ini, di samping indikasi-indikasi absolut,
indikasi tonsilektomi yang paling dapat diterima adalah :
a. Serangan tonsilitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan
penatalaksanaan medis yang adekuat).
b. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan
patogenik.
c. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional.
d. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi
mononukleosis.
e. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang
berhubungan dengan tonsilitis rekurens kronis dan pengendalian
antibiotik yang buruk.
f. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons
terhadap penatalaksanaan medis.
g. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas
orofasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan napas bagian atas.
h. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati
servikial persisten (Adams et al.,1997).

Gambar Tonsilectomy (Graham et al., 2007)

Metode tonsilektomi ada lima, yaitu :


a. Dissection method
b. Guillotine method
c. Elektrokauter
d. Cryosurgery
e. Laser

2.2 Bakteri
2.2.1 Definisi Bakteri
Bakteri adalah salah satu golongan organisme prokariotik ( tidak memiliki
selubung inti). Bakteri sebagai makhluk hidup tentu memiliki informasi
genetikberupa DNA, tapi tidak terlokalisasi dalam tempat khusus (nukleus ) dan
tidak ada membran inti. Bentuk DNA bakteri adalah sirkuler, panjang dan biasa
disebut nukleoi. Pada DNA bakteri tidak mempunyai intron dan hanya tersusun atas
akson saja. Bakteri juga memiliki DNA ekstrakromosomal yang menjadi plasmid
yang berbentuk kecil dan sirkuler (Jawetz, 2005).

2.2.2 Klasifikasi Bakteri


Untuk memahami beberapa kelompok organisme, diperlukan klasifikasi. Tes
biokimia, pewarnaan gram, merupakan kriteria yang efektif untuk klasifikasi. Hasil
pewarnaan mencerminkan perbedaan dasar dan kompleks pada sel bakteri (struktur
dinding sel), sehingga dapat membagi bakteri menjadi 2 kelompok, yaitu bakteri
Gram-positifdan bakteri Gram-negatif.
1. Bakteri Gram-negatif
Bakteri Gram Negatif Berbentuk Batang (Enterobacteriacea). Bakteri gram negatif
berbentuk batang habitatnya adalah usus manusia dan binatang. Enterobacteriaceae
meliputi Escherichia, Shigella, Salmonella, Enterobacter, Klebsiella, Serratia,
Proteus). Beberapa organisme seperti Escherichia coli merupakan flora normal dan
dapat menyebabkan penyakit, sedangkan yang lain seperti salmonella dan shigella
merupakan patogen yang umum bagi manusia (Jawetz, 2005).
2. Bakteri Gram-positif
a. Bakteri gram positif pembentuk spora : Spesies Bacillus dan Clostridium.
Kedua spesies ini terdapat dimana-mana, membentuk spora, sehingga dapat
hidup di lingkungan selama bertahun-tahun. Spesies Basillus bersifat aerob,
sedangkan Clostridium bersifat anaerob obligat.
b. Bakteri Gram-positif Tidak Membentuk Spora: Spesies Corynebacterium,
Listeria, Propionibacterium, Actinomycetes. Beberapa anggota genus
Corynebacterium dan kelompok Propionibacterium merupakan flora normal
pada kulit dan selaput lender manusia (Jawetz, 2005).
2.2.3 Identifikasi Bakteri
Terdapat beberapa cara untuk identifikasi bakteri antara lain:
1. Pemeriksaan Mikroskopis Pemeriksaan langsung digunakan untuk mengamati
pergerakan, dan pembelahan secara biner, mengamati bentuk dan ukuran sel
yang alami, yang pada saat mengalami fiksasi panas serta selama proses
pewarnaan mengakibatkan beberapa perubahan (Koes Irianto, 2006).
2. Pembiakan Bakteri Pembenihan atau media yaitu campuran bahan-bahan
tertentu yang dapat menumbuhkan bakteri, jamur ataupun parasit, pada derajat
keasaman dan inkubasi tertentu. Pembiakan diperlukan untuk mempelajari sifat
bakteri untuk dapat mengadakan identifikasi, determinasi, atau differensiasi
jenis-jenis yang ditemukan.

2.2 Antibiotik
2.2.1 Pengertian Antibiotik
Antibiotika adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,
yang memiliki khasiat mematikan ataumenghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini, yang dibuat
secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula senyawa sintesis
dengan khasiat antibakteri (Tjay & Rahardja, 2007).
Antibiotik adalah zat biokimia yang diproduksi oleh mikroorganisme, yang
dalam jumlah kecik dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh pertumbuhan
mikroorganisme lain (Harmita dan Radji, 2008).

2.2.2 Penggolongan Antibiotik


Penggolongan antibiotik secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan struktur kimia antibiotik (Tjay & Rahardja, 2007).
a. Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan sefalosporin (sefaleksin,
sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan monosiklik, dan
golongan penisilin (penisilin, amoksisilin). Penisilin adalah suatu agen
antibakterial alami yang dihasilkan dari jamur jenis Penicillium
chrysognum.
b. Antibiotik golongan aminoglikosida, aminoglikosida dihasilkan oleh
jenisjenis fungi Streptomyces dan Micromonospora. Semua senyawa dan
turunan semi-sintesisnya mengandung dua atau tiga gula-amino di dalam
molekulnya, yang saling terikat secara glukosidis. Spektrum kerjanya luas
dan meliputi terutama banyak bacilli gram-negatif. Obat ini juga aktif
terhadap gonococci dan sejumlah kuman gram-positif. Aktifitasnya adalah
bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan
mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Contohnya streptomisin,
gentamisin, amikasin, neomisin, dan paranomisin.
c. Antibiotik golongan tetrasiklin, khasiatnya bersifat bakteriostatis, hanya
melalui injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid
lemah. Mekanisme kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa protein
kuman. Spektrum antibakterinya luas dan meliputi banyak cocci gram
positif dan gram negatif serta kebanyakan bacilli. Tidak efektif
Pseudomonas dan Proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus
Chlamydia trachomatis (penyebab penyakit mata trachoma dan penyakit
kelamin), dan beberapa protozoa (amuba) lainnya. Contohnya tetrasiklin,
doksisiklin, dan monosiklin.
d. Antibiotik golongan makrolida, bekerja bakteriostatis terhadap terutama
bakteri gram-positif dan spectrum kerjanya mirip Penisilin-G. Mekanisme
kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga
sintesa proteinnya dirintangi. Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat
menyebabkan resistensi. Absorbinya tidak teratur, agak sering
menimbulkan efek samping lambung-usus, dan waktu paruhnya singkat,
maka perlu ditakarkan sampai 4x sehari.
e. Antibiotik golongan linkomisin, dihasilkan oleh srteptomyces lincolnensis
(AS 1960). Khasiatnya bakteriostatis dengan spektrum kerja lebih sempit
dar ipada makrolida,n terutama terhadap kuman gram positif dan anaerob.
Berhubung efek sampingnya hebat kini hanya digunakan bila terdapat
resistensi terhadap antibiotika lain. Contohnya linkomisin.
f. Antibiotik golongan kuinolon, senyawa-senyawa kuinolon berkhasiat
bakterisid pada fase pertumbuhan kuman, berdasarkan inhibisi terhadap
enzim DNA-gyrase kuman, sehingga sintesis DNAnya dihindarkan.
Golongan ini hanya dapat digunakan pada infeksi saluran kemih (ISK)
tanpa komplikasi.
g. Antibiotik golongan kloramfenikol, kloramfenikol mempunyai spektrum
luas. Berkhasiat bakteriostatis terhadap hampir semua kuman gram positif
dan sejumlah kuman gram negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan
perintangan sintesa polipeptida kuman. Contohnya kloramfenikol.

2.2.3 Resistensi Antibiotik


Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya
kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Drlica & Perlin,
2011).
1. Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.
2. Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.
3. Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.
4. Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat dinding
sel bakteri.
5. Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam
sel melalui mekanisme transport aktif ke luar sel.
Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal) atau
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah antibiotik (µg/mL)
yang mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai
KHM menggambarkan tahap awal menuju resisten.

2.3 Peta Kuman


2.3.1 Definisi Peta Kuman
Peta kuman merupakan kumpulan atau sekelompok data bakteri pada hasil uji
kultur yang dilakukan di laboratorium mikrobiologi klinik di suatu institusi pada
periode tertentu. dan merupakan laporan pada suatu ruangan atau tempat atau
daerah tertentu untuk mengetahui jenis bakteri (Wahjono, 2009).

2.3.2 Manfaat Peta Kuman


Peta kuman di suatu rumah sakit bermanfaat untuk mengetahui bakteri apa
yang paling banyak didapatkan dari pasien yang dirawat di suatu rumah sakit
selama periode tertentu dan mengetahui bagaimana status bakteri terhadap
antibiotik yang diberikan. Jika data bakteri yang dilaporkan mengalami resistensi
antibiotik, maka dokter dapat mengganti terapi pilihan antibiotik yang sesuai
(Wahjono, 2009).

2.3.3 Kerugian Tidak Ada Peta Bakteri


Pada rumah sakit yang tidak terdapat laporan secara berkala mengenai peta bakteri
akan mengalami kesulitan untuk memilih terapi yang tepat terhadap bakteri yang
resisten antibiotik tertentu (Wahjono dan Kristina, 2009).

2.4 Uji Sensitivitas


Uji sensitivitas bakteri merupakan suatu metode untuk menentukan tingkat
kerentanan bakteri terhadap zat antibakteri dan untuk mengetahui senyawa murni
yang memiliki aktivitas anti bakteri. Metode uji sensitivitas bakteri adalah metode
cara bagaimana mengetahui dan mendapatkan produk alam yang berpotensi sebagai
bahan anti bakteri serta mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan
atau mematikan bakteri pada konsentrasi yang rendah. uji sentivitas bakteri
merupakan suatu metode untuk menentukan tingkat kerentanan bakteri terhadap zat
antibakteri dan untuk mengetahui senyawa murni yang memiliki aktivitas
antibakteri. Pada umumnya metode yang dipergunakan dalam uji sensitivitas
bakteri adalah metode Difusi Agar yaitu dengan cara mengamati daya hambat
pertumbuhan mikroorganisme oleh ekstrak yang diketahui dari daerah di sekitar
kertas cakram (paper disk) yang tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme. Zona
hambatan pertumbuhan inilah yang menunjukkan sensitivitas bakteri terhadap
bahan anti bakteri (Gaman et al., 2002).
BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan
prospektif. Data yang digunakan berupa data primer hasil pemeriksaan kultur pada
spesimen swab tenggorok tonsilitis akut dari pasien rawat jalan RSD. Dr. Soebandi
Jember.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan. Sampel biakan diambil di poli THT
RSD Dr. Soebandi Jember. Pembiakan kuman dan uji kepekaan antibiotik
dilakukan di Laboratoriom Patologi Klinik RSD Dr. Soebandi Kabupaten Jember.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah semua pasien rawat jalan dengan kasus tonsilitis
akut di poli THT RSD. Dr Soebandi Jember.

3.3.2 Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan total
sampling dengan batasan waktu selama tiga bulan. Total sampling adalah teknik
penentuan sampel apabila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.
Sampel dari penelitian ini adalah spesimen yang berasal dari seluruh pasien
tonsilitis akut yang menjalani rawat jalan di ruang RSD. Dr. Soebandi Jember yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
● Seluruh pasien tonsilitis akut
● Terdiagnosis tonsilitis akut oleh DPJP
● Seluruh pasien bersedia menjadi sampel penelitian.
● Belum mendapat pengobatan antibiotik
b. Kriteria Eksklusi
● Seluruh pasien yang tidak bersedia menjadi sampel penelitian
● Seluruh pasien yang tidak terdiagnosis tonsilitis akut oleh DPJP.

3.4 Instrumen Penelitian


Pada penelitian ini digunakan instrumen penelitian antara lain:
1. Lembar Informed Consent
Peneliti memberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian
kepada subjek penelitian. Kemudian subjek penelitian menandatangani lembar
informed consent yang telah diberikan oleh peneliti sebagai bukti kesediaan
mengikuti penelitian.
2. Log Book
Log book ini digunakan untuk mencatat semua data yang didapat saat
penelitian terutama terkait data subjek penelitian. Untuk pendataan yang akurat,
logbook wajib diisi oleh seluruh anggota tim yang terlibat dalam penelitian ini.
terutama anggota yang bettugas mengumpulkan sampel dan melakukan uji pada
sampel.
3. Alat dan Bahan Kultur
4. Protokol pengambilan spesimen dan pemeriksaan kultur serta kepekaannya
Protokol yang digunakan adalah protokol dari Laboratorium Patologi Klinik
RSD. Dr. Soebandi Jember
5. Pendataan
Data yang dikumpulkan disimpan dala Ms. Excel 2010 yang sudah terenkripsi
6. Analisis dan Penyajian Data
Analisis dan penyajian data menggunakan Ms. Word 2010

3.5 Prosedur Penelitian


3.5.1 Alur Penelitian
Alur penelitian menjelaskan bagaimana peneliti melakukan tahapan
penelitiannya. Tahapan penelitian yang dilakukan peneliti dijelaskan pada Gambar
3.1
Pembuatan Proposal

Pengurusan Ethical Clearance dan Surat


Perizinan

Mendapat Perizinan Institusi terkait

Homogenisassi Perspektif

Melakukan informed consent terhadap subjek penelitian yang


memenuhi kriteria dan meminta kebersediaan

Pengisian Lembar Identitas Responden

Pengambilan spesimen

Kultur dan uji sensitivitas

Pengolahan dan Analisis Data

Hasil Penelitian

Publikasi

Gambar 3.1 Alur Penelitian


3.5.2 Ethical Clearence
Sebelum dilakukan penelitian, peneliti melakukan pengurusan ethical
clearence di Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Jember.

3.5.3 Protokol Pengambilan Spesimen


1. Pasien dalam keadaan duduk, diminta membuka mulut, lidah dijulurkan
dan ditekan dengan spatel
2. Lidi kapas steril, yang sudah dibasahi dengan NaCl 0,9%, diusapkan ke
tonsil kiri dan kanan serta dinding belakang faring tanpa menyentuh uvula.
3. Dimasukkan ke dalam medium transpor lalu segera ditanam pada media
agar < 15 menit.

3.5.4 Prosedur Pemeriksaan Tes Sensitivitas Antibiotik


a. Alat dan Bahan
1. Antibiotic disc: Amoxycillin Clavulanic Acid (AMC), Ampicilllin
(AMP), Amikacin (AK), Chloramphenicol (C), Ceftriaxone (CRO),
Ciprofloxacin (CIP), Cefoperazone (CFP), Cefotaxim (CTX),
Clindamycin (DA), Cotrimoxazole (SXT), Cefepime (FEP),
Doxycycline (DO), Erythromycin (E), Levofloxacin (LEV), Linezolid
(LZD), Meropenem (MEM), Cefixime (CFM), Cefoxitin (FOX),
Oxacillin (OX), Azithromycin (AZM), Vancomycin (VA), Cefadroxil
(CFR), Tetracycline (TE), Piperacillin Tazobactam (TZP), Sulbactam
Ampicillin (SAM), Ertapenem (ETP), Gentamycin (CN), Cerbenicillin
(CAR).
2. Handscoon
3. Masker
4. Jarum ose
5. Medium BHIB
6. Bunsen
7. Korek api
8. Tabung reaksi
9. Alkohol 70%
10. Lidi kapas
11. Medium MHA
12. Cawan petri
13. Inkubator
14. Jangka sorong

b. Pengambilan Bakteri
1. Menyiapkan alat dan bahan serta memakai masker dan handscoon.
2. Mensterilkan tangan menggunakan alkohol 70%.
3. Mensterilkan jarum ose loop menggunakan korek api.
4. Mengambil koloni bakteri dari tabung reaksi yang berisi bakteri dan
memindahkannya ke dalam medium BHIB.
5. Mengaduk jarum ose loop tersebut sampai bakterinya tercampur dengan
larutan BHIB.
6. Mengambil cairan BHIB yang berisi koloni bakteri tersebut dengan
menggunakan lidi kapas yang telah disterilkan. Pengambilan dilakukan
dengan cara memasukkan lidi kapas ke dalam medium BHIB,
mendiamkan selama 2-3 menit, kemudian mengangkat lidi kapas dengan
menekan pada dinding tabung bagian dalam sambil diputar-putar.

c. Penanaman
1. Mengoleskan lidi kapas yang telah berisi bakteri pada medium MHA
dengan meratakan seluruh permukaan medium.
2. Mengambil disc antibiotik yang telah tersedia dengan menggunakan
pinset.
3. Menanamkan disc antibiotik tersebut pada medium MHA dengan
memperhatikan posisi antibiotik satu dengan yang lainnya.
4. Menutup dan memberi label pada cawan petri tersebut sesuai dengan
bakteri dan kelompok.
5. Membungkus cawan petri menggunakan kertas, kemudian menuliskan
nama kelompok.
6. Menginkubasi cawan petri tersebut dalam inkubator dengan suhu 37oC
selama 24 jam dengan posisi terbalik.

d. Pengukuran
1. Mengukur zona hambat yang terbentuk menggunakan jangka sorong
dengan cara mengukur jari-jari zona hambat dan hasilnya dikalikan dua
untuk mendapatkan diameter zona hambat.
2. Membandingkan zona hambat yang dihasilkan dengan tabel antibiotik.
3. Mencatat hasil pengamatan dan mengambil gambar.

3.5.5 Pengolahan Data


Data Primer yang diperoleh melalui hasil pemeriksaan kultur dan uji kepekaan
menggunakan istrumen penelitian terhadap subjek penelitian kemudian diolah
menggunakan program komputer. Pengolahan data meliputi:
a. Editing
Sebelum dilakukan pengolahan peneliti memastikan kembali bahwa subjek telah
menjawab semua pertanyaan pada wawancara dan memastikan catatan hasil
wawancara apa saja yang akan diolah.
b. Coding
Data yang sudah terkumpul diberi kode sesuai definisi operasional untuk
memudahkan pengelompokan dan pengolahan data. Pemberian kode pada
masing-masing variabel harus konsisten.
c. Data Entry
Pada tahap ini peneliti memasukkan data ke dalam sistem pemrogaman
komputer yang telah disiapkan.
d. Cleaning
Tahap ini dilakukan untuk mengecek kembali apakah data yang dimasukkan
sudah sesuai untuk mengantisipasi kesalahan. Apabila sudah siap maka data siap
ntuk diolah dan dianalisis.
e. Tabulating
Penyajian data dalam bentuk table untuk mempermudah peneliti dalam melihat
data.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, G. L., L. R. Boeis, P. A. Higler. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi N6. EGC : Jakarta. Hal. 320-322, 330, 339-340, 342.
Bhargava, K. B., S. K. Bhargava, T. M., Shah. 2005. A Short Textbook of ENT for
Students and Practitioners. Seventh Edition. Usha : Mumbai. P. 226, 243-
244, 249-250, 252.
Borgstein, J. 2006. The Basic Ear Nose Throat. London. P.149-153.
Bull, P. D. 2002. Lectures Note on Disease of the Ear, Nose, and Throat. Ninth
Edition. Blackwell Science : Sheffield. P. 111-113, 116-117.
Chan, J., J. C. Edman, P. J., Koltai. Obstructive Sleep Apnea in Children. [Cited
on 1 March 2004]. Available from :
http://www.aafp.org/afp/2004/0301/p1147.html. [Accessed on 3 September
2019].
Drlica & Perlin. 2011. Antibiotic Resistance Understanding and Responding to an
Emerging Crisis. FT Press: New Jersey.
Eka RU. 2011. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Antibiotika
Resistensi. 1(4) :(191-198)
Gaman, P.M. dan KB Sherrington. 2002. Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan
Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta: UGM Press.
Graham, J. M., G. K., Scadding, P. D., Bull. 2007. Pediatric ENT. Springer :
New York. P.131-136.
Harmita dan Radji, M., 2008. Kepekaan Terhadap Antibiotik. Dalam: Buku Ajar
Analisis Hayati, Eds.3.EGC. Jakaerta:1-5.
IDI. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Jakarta: PB IDI.
Jawetz, E, J. melnick, et al., 2005. Jakarta: EGC Jawetz, melnick & Adelberg
Mikrobiologi Kedokteran.
Koes Irianto. 2006. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Jilid 2.
Jakarta.
Netter, F. H., et al. 2010. Atlas of Human A,atomy. Fifth Edition. P.57
PERMENKES RI, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Kementrian
Kesehatan RI, Jakarta, 874.
Probst, R., G. Grevers, H. Iro. 2006. Basic Otorhinolaringology. Thieme :
Stuttgart. P. 113-115.
Rusmarjono, Hermani B. Nyeri Tenggorok. Buku Ajar Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012. hlm.
192
Sari LT. 2014. Faktor pencetus tonsillitis pada anak usia 5-6 tahun di wilayah
kerja puskesmas bayat kabupaten klanten. Naskah publikasi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Shenoy, P. K. 2012. “Acute Tonsillitis”-if Left Untreated Could Cause Severe
Fatal Complications. In : Journal of Current Clinical Care, Volume 2, Issue
4.
Snell, R. S., et al. 2005. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. ECG :
Jakarta. Hal. 796, 798.
Snow, J. B. 2002. Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. Decker : London. P. 369-370.
Soepardi, E. A., N. Iskandar, J. Bashiruddin, dam R. D. Restuti. 2007. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. FKUI
: Jakarta. Hal. 221-223.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271, PT.
Elex Media Komputindo, Jakarta
Wahyono, H. 2007. Peran Mikrobiologi Klinik pada Penanganan Penyakit
Infeksi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Mikrobiologi. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro, Semarang.
Yusuf M, Wiyadi HMS, Kentjono WA, Herawati S, Pawati R. 2016. Pedoman
Praktik Klinis Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher. Surabaya:
Universitas Airlangga

Anda mungkin juga menyukai