Anda di halaman 1dari 17

REFLEKSI KASUS STASE KULIT KELAMIN

“DKI TOKSIK SERANGGA”

Dosen Pembimbing:
dr. Dwi Retno Adi Winarni, Sp. KK (K)

Disusun Oleh:
Reinhard Nahumury (42150069)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN


RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA
PERIODE 11 Juli – 6 Agustus 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2016
STATUS PASIEN KULIT

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : YCM
Usia : 16 Tahun 15 hari
Jenis kelamin : laki - laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Wonocatur no. 176 Banguntapan Bantul, Yogyakarta
Kunjungan ke klinik : 20 Juli 2016

II. ANAMNESA
A. Keluhan Utama
Bercak kemerahan didada, perih
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merasakan perih dan timbul bercak kemerahan pada kulit sekitar
dada sejak 2 hari lalu, setelah pasien mendaki gunung. Pasien mengaku dadanya
terasa dihinggapi serangga namun tidak dihiraukan sewaktu mendaki gunung. Pada
awalnya terasa gatal dibagian dada dan digaruk oleh pasien kemudian muncul satu
bercak merah lalu menyebar hingga dada bagian kiri atas dan kebagian perut kanan.
Terdapat tiga bercak kemerahan dengan ukuran bervariasi ada yang memanjang
dibagian perut kanan dengan ukuran 5cm x 2cm, pada dada lesi bulat memanjang
tidak beraturan dengan ukuran diameter masing-masing kira-kira 8 cm dan 4 cm.
Bagian lesi terasa perih bila tergesek dengan baju.
C. Riwayat penyakit Dahulu
Tidak ada
D. Riwayat Operasi : Pasien tidak pernah operasi.
E. Riwayat Alergi : Tidak ada
F. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki
keluhan yang sama.
G. Riwayat Pengobatan : Acylovir cream tetapi keluhan tidak membaik
H. Gaya Hidup :Mandi teratur 2x dalam sehari, pasien biasa
menggaruk bagian kulit yang gatal.
.

III. PEMERIKSAAN FISIK:


Pemeriksaan Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 58 Kg
Gizi : Cukup
Nadi dan RR :-
Kepala : Sesuai status lokalis
Leher : Tidak dilakukan pemeriksaan
Thorak : Tidak dilakukan pemeriksaan
Aksilla : Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ektremitas : Tidak dilakukan pemeriksaan
UKK:
Di regio thorax dan abdomen terdapat patch eritem, ireguler dan bulat memanjang tidak
beraturan dengan ukuran diameter masing - masing kira-kira 8cm dan 4cm linear
berukuran 5cm x 2cm, berbatas tidak tegas dan tampak daerah sentral nekrotik.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan

V. DIAGNOSIS BANDING
DKI Toksik serangga, Herpes zoster, Psoriasis, Dermatitis numularis
VI. DIAGNOSA:
DKI Toksik serangga

VII. TATALAKSANA
Kortikosteroid
R/ Desoximetasone 0,25% oint 10 mg no I
S u.e 2 dd aplic pas dol (pada lesi didada, perut pagi & sore setelah mandi)
Merupakan kortikosteroid potensi sedang-kuat. Diberikan dengan jangka waktu
singkat agar mengurangi peradangan dan meminimalisir efek sampingnya.

Antihistamin
R/ Cetrizine tab 10 mg no VII
S1dd tab 1 pc (malam hari)
Merupakan anti-histamin antagonis reseptor H1. Diberikan antihistamin agar
menghambat pelepasan histamin pada ujung reseptor sehingga akan
mengurangi gejala gatal
VIII. EDUKASI
 Mengenai cara minum obat dan penggunaan obat topikal.
 Memakai pakaian yang tipis sehingga tidak menyebabkan gesekan dengan lesi
supaya tidak terlalu perih pada lesi.
 Menjaga kebersihan kulit dan tidak menggaruk lesi.
 Makan makanan bergizi dan istirahat yang cukup guna membantu proses
penyembuhan

IX. PROGNOSIS
 Quo ad Vitam : bonam
 Quo ad Sanam : bonam
 Quo ad Fungsionam : bonam
 Quo ad Cosmeticam : bonam

X. RESUME
Pada tanggal 20 juli 2016 seorang pasien pria 16 tahun datang memeriksakan
diri ke Poli kulit dan kelamin RSB dengan keluhan muncul bercak merah dan perih
pada kulit sekitar dada sejak 2 hari lalu. Keluhan muncul setelah pasien mendaki
gunung. Pasien mengaku dadanya terasa dihinggapi serangga namun tidak dihiraukan
sewaktu mendaki gunung. Pada awalnya terasa gatal dibagian dada dan digaruk oleh
pasien, kemudian muncul satu bercak merah lalu menyebar hingga dada bagian kiri
atas dan kebagian perut kanan. Pasien sudah menggunakan obat krim acyclovir untuk
mengurangi keluhan namun keluhan belum membaik. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan ujud kelainan kulit berupa :
Di regio thorax dan abdomen terdapat patch eritem, ireguler dan bulat memanjang tidak
beraturan dengan ukuran diameter masing - masing kira-kira 8cm dan 4cm, linear
berukuran 5cm x 2cm, berbatas tidak tegas dan tampak daerah sentral nekrotik.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah peradangan pada kulit yang dapat berupa
eritema, edema, dan scale/skuama. DKI merupakan respons nonspesifik kulit terhadap
berbagai kerusakan kimia dengan melepaskan mediator inflamasi terutama dari sel-sel
epidermis (Hogan; 2009).

B. Epidemiologi
Pada studi epidemiologi penyakit kulit pada pekerja di Singapura memperlihatkan
bahwa 97% dari 389 kasus adalah dermatitis kontak, dimana 66,3 % diantaranya adalah
DKI dan 33,7% adalah DKA. Sebagai penyakit yang sering dihubungkan dengan kerja
dengan kecenderungan pajanan terhadap bahan-bahan iritan berulang, maka dermatitis
kontak iritan sering insidennya pada profesi cleaning service, hospital care,tukang masak,
dan pegawai salon. Insiden di Jerman 4,5 pasien per 10.000 tukang masak. Pegawai salon
mempunyai insiden dermatitis kontak iritan tertinggi yaitu 46,9 kasus per 10.000 perkerja
per tahun nya (Hogan, 2009).
Kejadian dermatitis kontak iritan lebih sering pada wanita dibanding pria. Pada
wanita faktor lingkungan lebih berperan dibanding faktor genetik yang lebih berperan pada
pria. Kejadian dermatitis kontak iritan lebih sering pada umur > 50 tahun karena keadaan
kulit yang lebih kering dan tipis (Schnuch & Berit, 2011).

C. Etiologi
Bahan-bahan iritan yang dapat digolongkan sebagai penyebab DKI antara lain
bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim,
minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah, dan bahan kimia
higroskopik serta toksik dari gigitan, sengatan maupun cairan hemolimfe serangga seperti
paederin, Paederus sp . Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor,
meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita
(Wolff dkk, 2008).

D. Patofisiologi
Ada 3 bentuk perubahan patofisiologi, yaitu kerusakan barrier kulit, kerusakan
seluler epidermis, dan pengeluaran sitokin. Dengan keluarnya sitokin pro inflamasi dari
sel-sel kulit, terutama keratinosit, menyebabkan inflamasi sebagai respon terhadap pajanan
bahan-bahan iritan (Hogan, 2009).

DKI merupakan dermatitis dengan mekanisme non alergi. Patogenesis DKI dapat
dijelaskan sebagai berikut :

1. Penetrasi bahan iritan menyebabkan kerusakan membran lipid keratinosit dalam


beberapa menit-jam.
2. Difusi bahan iritan melalui membrane akan merusak lisosom, mitokondria, dan
komponen inti sel.
3. Pengaktifan fosfolipase menghasilkan asam arakidonik asam arakidonik
membebaskan prostaglandin dan leukotrin pembuluh darah dan transudasi faktor
sirkulasi dari komplemen dan sistem kinin
4. Penarikan neutrofil dan limfosit serta pengaktifan sel mast membebaskan histamin,
prostaglandin dan leukotrin (Hogan, 2009).

Keratinosit memegang peranan penting di dalam inisiasi reaksi inflamasi kulit atas
responnya terhadap sitokin. Berbagai stimuli yang bertindak sebagai iritan, seperti
substansi kimia dapat merangsang keratinosit epidermis untuk mengeluarkan sitokin
inflamasi (IL-1, TNF-α), sitokin kemotaksis (IL-8, IL-10), growth-promoting cytokines (IL-
6, IL-7, IL-15, GMC-SF, TGF α), dan sitokin pengatur imunitas humoral dan selular (IL-
10, IL-12, IL-18). ICAM 1 menyebabkan infiltrasi leukosit ke epidermis, sehingga
menyebabkan reaksi inflamasi di kulit (Bourke, 2008).

Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan keluarnya mediator-
mediator. Perbedaan mekanismenya dengan dermatis kontak alergik yaitu dermatitis
kontak iritan tidak melalui fase sensitisasi. Semua bahan iritan menunjukkan pola yang
sama dalam hal infiltrasi seluler di dalam lapisan dermis. Densitas infiltrasi sel sebanding
dengan intensitas inflamasinya (Hogan, 2009).

E. Faktor predisposisi dan risiko


Faktor predisposisi yang penting yaitu umur, ras, jenis kelamin, riwayat atopik
sebelumnya, daerah kulit yang terekspos dan aktivitas sebasea. Perubahan kulit karena usia
dapat merubah respon kulit terhadap zat iritan. Pada anak dan lanjut usia sering terkena
DKI karena mereka memiliki sedikit jaringan epidermis yang sehat (Sularsito dan Djuanda,
2008). Beberapa faktor yang berpengaruh dan dapat diidentifikasi pada DKI antara lain :

 Kecenderungan terpajan dengan bahan iritan dalam jangka waktu dan intensitas
tertentu
 Riwayat atopik
 Polimorfisme pada gen fillagrin (FLG)

Faktor predisposisi lainnya yang menyebabkan orang cenderung terkena dermatitis


kontak iritan adalah riwayat atopik. Pengaruh genetik juga berperan sebagai faktor
predisposisi. Polimorfisme pada FLG gen menyebabkan terhentinya produksi FLG dan
pada akhirnya terjadi perubahan barier kulit (Sularsito dan Djuanda, 2008)..

Tingkat keparahan dermatitis ini sangat bervariasi dan tergantung pada banyak
faktor, termasuk diantaranya :

 Jumlah dan intensitas iritan


 Durasi dan frekuensi pajanan
 Kerentanan kulit
 Lingkungan (misalnya suhu tinggi atau rendah atau kelembaban) (Sularsito
dan Djuanda, 2008).

F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis yang akurat.

a. Anamnesis

Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung pada
anamnesis mengenai pajanan yang mengenai pasien.
Anamnesis yang dapat mendukung penegakan diagnosis DKI (gejala subyektif) adalah:

 Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI akut. DKI
lambat dikarakteristikkan oleh causa pajanannya, seperti benzalkonium klorida
(biasanya terdapat pada cairan disinfektan), dimana reaksi inflamasinya terjadi 8-24
jam setelah pajanan.
 Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-minggu ada
DKIkumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi akibat pajanan berulang dari suatu
bahan iritan yang merusak kulit.
 Pasien mengklaim adanya pajanan yang menyebabkan iritasi kutaneus.
 Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak nyaman akibat
pruritus yang terjadi (Sularsito dan Djuanda, 2008).

b. Pemeriksaan Fisik

Menurut Rietschel dan Flowler, kriteria dignosis primer untuk DKI sebagai berikut:

Makula eritema, hiperkeratosis, atau fisura predominan setelah terbentuk vesikel.


Tampakan kulit berlapis, kering, atau melepuh Bentuk sirkumskrip tajam pada kulit. Rasa
tebal di kulit yang terkena pajanan (Sularsito dan Djuanda, 2008).

c. Pemeriksaan Penunjang.

Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mediagnosis dermatitis kontak iritan. Ruam kulit
biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan (Sularsito dan Djuanda, 2008).

G. Manifestasi klinik
Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan kuat memberikan
gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Berdasarkan penyebab
tersebut dan pengaruh faktor tersebut, dermatitis kontak iritan dibagi menjadi sepuluh
macam, yaitu:

1. Dermatitis Kontak Iritan Akut


Pada DKI, kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel atau bulla.
Luas kelainanya sebatas daerah yang terkena dan berbatas tegas. Pada beberapa
individu, gejala subyektif (rasa terbakar, rasa tersengat) mungkin hanya satu-satunya
manifestasi. Rasa sakit dapat terjadi dalam beberapa detik dari pajanan. Spektrum
perubahan kulit berupa eritma hingga vesikel dan bahan pajanan bahan yang dapat
membakar kulit dapat menyebabkan nekrosis. Secara klasik, pembentukan
dermatitis akut biasanya sembuh segera setelah pajanan, dengan asumsi tidak ada
pajanan ulang – hal ini dikenal sebagai “decrescendo phenomenon”. Pada beberapa
kasus tidak biasa, dermatitis kontak iritan dapat timbul beberapa bulan
setelah pajanan, diikuti dengan resolusi lengkap. Bentuk DKI Akut seringkali
menyerupai luka bakar akibat bahan kimia, bula besar atau lepuhan. DKI ini jarang
timbul dengan gambaran eksematousa yang sering timbul pada dermatitis kontak (Wolff
dkk, 2008).

2. Dermatitis Kontak Iritan Lambat (Delayed ICD)

Pada dermatitis kontak iritan akut lambat, gejala obyektif tidak muncul hingga 8-
24 jam atau lebih setelah pajanan. Sebaliknya, gambaran kliniknya mirip dengan
dermatitis kontak iritan akut. Contohnya adalah dermatitis yang disebabkan oleh
serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata), dimana gejalanya muncul
keesokan harinya, pada awalnya berupa eritema yang kemudian dapat menjadi
vesikel atau bahkan nekrosis. Dermatitis Venenata sering dikenal dengan sebutan Tom
Cat. Dermatitis Venenata merupakan gambaran spesifik, disebabkan oleh
sekret/debris serangga terutama dari genus Paederus, serta getah tumbuhan dengan
bentuk lesi linier. Kulit yang terkena penyakit ini akan menjadi merah dan melepuh,
disertairasa panas seperti terbakar. Fase merah, melepuh, dan terasa panas ini
biasanya berlangsung 1-3 hari. Bila lesi ini digaruk, maka lesi ini dapat
menyebar dan meluas. Inilah mengapa penyakit ini sering disangka sebagai penyakit
infeksi. Bila penyakit ini sudah mendekati sembuh, maka kulit akan berwarna coklat,
dan menimbulkan bekas seperti luka bakar dan herpes. Kelenjar hemolympha
pada Paedrus ini mengandung Paederine yang akan mengenai kulit apabila serangga ini
remuk akibat refleks menyingkirkan serangga ini. Paederine ini dapat memicu
epidermal necrosis dan acantholisys sehingga timbul dermatitis. Serangga ini
sebenarnya tidak menyengat dan tidak menggigit, apabila serangga tersebut
tidak remuk, maka Paederine yang tersimpan dalam hemolympha tidak
berbahaya bagi manusia. Pasien yang banyak beraktivitas di luar ruangan
memungkinkan lebih sering dengan sekret/debris serangga ataupun getah tumbuh-
tumbuhan (Sularsito dan Djuanda, 2008).

3. Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)

Juga disebut dermatitis kontak iritan kumulatif. Disebabkan oleh iritan lemah
seperti air, sabun, detergen, dll) dengan pajanan yang berulang-ulang, biasanya lebih
seringterkena pada tangan. Kelainan kulit baru muncul setelah beberapa hari,
minggu,bulan, bahkan tahun. Sehingga waktu dan rentetan pajanan merupakan faktor
yangpaling penting. Dermatitis kontak iritan kronis ini merupakan dermatitis kontak
iritanyang paling sering ditemukan. Gejala berupa kulit kering, eritema, skuama,
danlambat laun akan menjadi hiperkertosis dan dapat terbentuk fisura jika kontak
terusberlangsung. Distirbusi penyakit ini biasanya pada tangan. Pada dermatitis kontak
iritan kumulatif, biasanya dimulai dari sela jari tangan dan kemudian menyebar ke
bagiandorsal dan telapak tangan. Pada ibu rumah tangga, biasanya dimulai dari ujung
jari (pulpitis). DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu
lebihbanyak ditemukan pada tangan dibandingkan dengan bagian lain dari
tubuh (contohnya: tukang cuci, kuli bangunan, montir bengkel, juru masak, tukang
kebun,penata rambut) (Sularsito dan Djuanda, 2008).

4. Reaksi Iritan

Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat berupa


skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya terlokalisasi di dorsum
daritangan dan jari. Biasanya hal ini terjadi pada orang yang terpajan dengan pekerjaan
basah. Reaksi iritasi dapat sembuh, menimbulkan penebalan kulit atau dapat menjadi
DKI kumulatif (Sularsito dan Djuanda, 2008).

5. Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)


Reaksi traumatik dapat terbentuk setelah tauma akut pada kulit seperti panas atau
laserasi. Biasanya terjadi pada tangan dan penyembuhan sekitar 6 minggu atau lebih
lama. Pada proses penyembuhan, akan terjadi eritema, skuama, papul dan vesikel
(Sularsito dan Djuanda, 2008).

6. Dermatitis Kontak Iritan Noneritematous

Juga disebut reaksi suberitematous. Pada tingkat awal dari iritasi


kulit,kerusakan kulit terjadi tanpa adanya inflamasi, namun perubahan kulit terlihat
secara histologi. Gejala umum yang dirasakan penderita adalah rasa terbakar, gatal,
ataurasa tersengat. Iritasi suberitematous ini dihubungkan dengan penggunaan
produkdengan jumlah surfaktan yang tinggi. Penyakit ini ditandai dengan perubahan
sawar stratum korneum tanpa tanda klinis (DKI subklinis) (Sularsito dan Djuanda,
2008).

7. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif (Sensory ICD)

Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita mengeluh gatal, rasa tersengat, rasa
terbakar, beberapa menit setelah terpajan dengan iritan. Biasanya terjadi di daerahwajah,
kepala dan leher. Asam laktat biasanya menjadi iritan yang paling sering menyebabkan
penyakit ini (Sularsito dan Djuanda, 2008).

8. Dermatitis Kontak Iritan Gesekan (Friction ICD)

Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau gesekan yang
berulang. DKI Gesekan berkembang dari respon pada gesekan yang lemah, dimana
secara klinis dapat berupa eritema, skuama, fisura, dan gatal pada daerah yang terkena
gesekan. DKI Gesekan dapat hanya mengenai telapak tangan dan seringkali terlihat
menyerupai psoriasis dengan plakat merah menebal dan bersisik, tetapi tidak gatal.
Secara klinis, DKI Gesekan dapat hanya mengenai pinggiran-pinggiran dan ujungjemari
tergantung oleh tekanan mekanik yang terjadi (Sularsito dan Djuanda, 2008).

9. Dermatitis Kontak Iritan Akneiform


Disebut juga reaksi pustular atau reaksi akneiform. Biasanya dilihat setelahpajanan
okupasional, seperti oli, metal, halogen, serta setelah penggunaan beberapakosmetik.
Reaksi ini memiliki lesi pustular yang steril dan transien, dan dapatberkembang
beberapa hari setelah pajanan (Sularsito dan Djuanda, 2008).

10. Dermatitis Asteatotik

Biasanya terjadi pada pasien-pasien usia lanjut yang sering mandi tanpa
menggunakan pelembab pada kulit. Gatal yang hebat, kulit kering, dan skuama
ikhtiosiform merupakan gambaran klinik dari reaksi ini (Sularsito dan Djuanda, 2008).

H. Diagnosis Banding

1. Herpes zoster

Sebelum terdapat gejala dikulit ada gejala sistemik (demam, pusing, malaise), nyeri
tulang, gatal, pegal-pegal. Setelah itu muncul

UKK: eritema kemudian menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar eritem dan
edema. Lesi yang muncul mengikuti dermatom serabut saraf

Gambar 1 : Distribusi dermatomal herpes zoster

2. Psoriasis

UKK: Bercak-bercak, plak eritem dengan squama, eritema, sirkumskrip dan merata.
Gambar 2: Bentuk UKK dari psoriasis.

3. Dermatitis numularis

UKK: vesikel, plak berbentuk koin, eritema, sedikit edema dan berbatas tegas. Lama
kelamaan menjadi vesikel pecah menjadi krusta.

Gambar 3: Bentuk UKK dari Dermatitis numularis

I. Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa
Prinsip penatalaksanaan pada DKI ada 3, yaitu penghentian pajanan terhadap bahan
iritan yang dicurigai, perlindungan bagian tubuh yang terpapar, dan penggantian bahan
iritan dengan yang tidak bersifat iritan (Sularsito dan Djuanda, 2008).

2. Medikamentosa

a. Penatalaksanaan dermatitis iritan tipe akut dapat secara simtomatis.


Penggunaan hand rub berbasis alkohol dengan kandungan berbagai macam
emollient dapat dilakukan untuk mengurangi kerusakan kulit, kekeringan, dan
iritasi.
b. Pada kasus dermatitis kontak iritan lainnya: menghilangkan iritan dengan mencuci kulit
yang bersentuhan dengan serangga dengan air mengalir dan sabun, mengompres kulit
dengan cairan antiseptik, seperti pengunaan larutan permanganat kalikus (PK) 0,01 % atau
povidone iodin 0,5-1% untuk menurunkan resiko infeksi sekunder, diikuti dengan
pemberian steroid topikal untuk meredakan peradangan dan juga antibiotik bila terjadi
infeksi sekunder. Pengobatan sistemik dapat diberikan antihistamin sebagai efek anti
pruritus.
c. Topikal kortikosteroid digunakan sebagai antiinflamasi, supresi aktivitas mitotik,
dan vasokonstriksi. Efek steroid juga dapat mensupresi pengeluaran histamine,
sehingga bisa juga sebagai antipruritus.

Pemilihan topikal steroid sesuai dengan daerah lesi.

 Lesi di wajah dapat menggunakan steroid potensi rendah, seperti hidrokortison 1%


atau 2,5% krim.
 Lesi leher dapat menggunakan steroid potensi menengah, seperti betametason
valerate 0,1% krim;
 sedangkan di ekstremitas proksimal, badan dapat menggunakan steroid potensi
menengah-tinggi, seperti betametason diproprionate 0,05% krim atau
desoximetason 0,25% krim.

d. Antibiotik
Pemberian antibiotik bila telah terjadi infeksi sekunder pada lesi. Beberapa pilihan
antibiotik topikal yang dapat digunakan antara lain, mupirosin 2% dioleskan 3x/hari, asam
fusidat 2% dioleskan 3-4x / hari, gentamisin 0,1% dioleskan 3-4x/hari, kloramfenikol 2%
dioleskan 3-4x/hari, atau neomisin dioleskan tipis 2-5x/hari (Sularsito dan Djuanda, 2008).

J. Prognosis
Prognosis pada Dermatitis kontak iritan umumnya baik bila bahan iritannya dapat
disingkirkan. Namun Prognosisnya dapat kurang baik jika bahan iritan penyebab dermatitis
tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna. Keadaan ini sering terjadi pada
DKI kronis yang penyebabnya multifaktor (Sularsito dan Djuanda, 2008).

K. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada dermatitis kontak iritan antara lain:

a. Peningkatan risiko sensitisasi terhadap terapi topikal steroid bila digunakan dalam
jangka waktu lama lebih dari 2 minggu.
b. Lesi pada kulit dapat dikolonisasi oleh bakteri contohnya: Staphylococcus aureus. Hal
ini dipermudah jika terjadi lesi sekunder.
c. Secondary neurodermatitis (lichen simplex chronicus) akibat penderita dermatitis
kontak iritan yang mengalami stress psikis.
d. Pada fase post inflamasi dapat terjadi hiperpigmentasi atau hipopigmentasi (Sularsito
dan Djuanda, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Sularsito, S.A dan Suria Djuanda, editors. Dermatitis. In: Djuanda A, Mochtar H,Aisah S,
editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2008.p.130-33.

Hogan D J. Contact Dermatitis Irritant. 2009 (diakses pada tanggal 23 juli 2016) Available from:
URL: http://emedicine.medscape/ article/1049352-overview.htm

Schnuch A and Berit CC, editors. Genetics And Individual Predispotitions in Contact Dermatitis.
In: Johansen JD, Peter JF, Jean PL, editors. Contact Dermatitis 5th ed. NewYork: Springer.
2011.p.28-30

Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, editors.Fitzpatrick’s
Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw – Hill;2008.p.396-401.

Anda mungkin juga menyukai