Anda di halaman 1dari 10

REFLEKSI KASUS KULIT DAN KELAMIN

“TINEA CORPORIS”

Dosen Pembimbing:
dr. Fajar Waskito, M.Kes, Sp. KK (K)

Disusun oleh:
Diajeng Mahanani Rahita Mukti (42170134)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2018
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. OH
Usia : 24 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Pekerjaan : Mahasiswa
Kunjungan ke klinik : 26 Maret 2018

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Gatal pada perut
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan sudah dirasakan sekitar 3 bulan yang lalu. Keluhan
memberat ketika malam hari dan saat berkeringat. Selain di perut, gatal
juga dirasakan pada bagian punggung belakang bagian kiri. Pasien
sudah melakukan pengobatan gatal dengan kalpanax namun keluhan
tidak membaik.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada awal tahun 2017, pasien pernah mengeluhkan hal serupa dan
sudah mendapat pengobatan. Pasien tidak memiliki riwayat alergi
maupun penyakit lain seperti : DM, hipertensi, penyakit jantung, dll.
D. Riwayat penyakit keluarga
Di keluarga tidak memiliki keluhan serupa dan tidak memiliki
riwayat penyakit DM atau hipertensi.
E. Gaya Hidup
Pasien adalah seorang mahasiswa bertempat tinggal di lingkungan
yang cukup bersih dan air terjaga kebersihannya. Pasien rutin mandi 2
kali sehari dan selalu mengganti pakaian. Pasien seringkali
menggantung pakaian yang sudah digunakan di kamar untuk
digunakan kembali keesokan harinya. Penggunaan handuk untuk diri
sendiri dan tidak digunakan secara bergantian, setelah digunakan
handuk dijemur di kamar. Handuk dicuci kira-kira sebulan sekali.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Kesadaran umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Gizi : Cukup
Nadi dan RR : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kepala dan Leher : Tidak ditemukan adanya Ujud Kelainan Kulit
Thoraks : Tidak ditemukan adanya Ujud Kelainan Kulit
Abdomen : Sesuai status lokalis
Punggung : Sesuai status lokalis
Ekstremitas atas : Tidak ditemukan adanya Ujud Kelainan Kulit
Ekstremitas bawah : Tidak ditemukan adanya Ujud Kelainan Kulit
UKK : Patch eritem berbatas tegas pada abdomen dan
punggung belakang sebelah kiri, bentuk sirsinar, lesi tertutup skuama putih
tipis, ukuran sebesar lapangan abdomen bagian atas dan bawah, bagian
tepi masih aktif.

IV. DIAGNOSA BANDING


Tinea Corporis, Pityriasis Rosea, Dermatitis Atopi

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

VI. DIAGNOSA KERJA


Tinea Corporis
Diagnosis ditegakkan dengan:
Hasil
Anamnesis Gatal terutama saat berkeringat (+)
Faktor Resiko (+)
 Pakaian digunakan lebih
dari sekali tanpa dicuci
 Handuk dijemur tidak di
terik matahari
Pemeriksaan status lokalis Bercak meluas konsentris (+)

VII. TATALAKSANA
R/ Griseofulvin Tab 125 Mg No. LVI
S 2 d d Tab II pc (bersama susu)
R/ Miconazole Cream 2% 30 g da in Pot No. 1
S 2 d d m et v ue (oles tipis dari tengah ke pinggir)

R/ Cetirizine Tab 10 Mg No. IV


S 1 dd Tab 1 pc

VII. EDUKASI
1. Penyakit ini disebabkan oleh jamur.
2. Menjaga higienitas diri dengan mencuci handuk 1 minggu sekali dan
di jemur dibawah sinar matahari, gunakan handuk untuk diri sendiri,
dan langsung mencuci pakaian yang telah digunakan,
3. Penyakit ini dapat menularkan ke orang lain apabila handuk digunakan
bersama dengan orang lain.

VIII. PROGNOSIS
 Prognosis ad vitam : bonam
 Prognosis ad functionam : bonam
 Prognosis ad sanationam : bonam
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Tinea korporis adalah dermatofitosis atau penyakit kulit yang disebabkan
karena jamur golongan dermatofita seperti genus Microsporum, Tricophyton,
dan Epidermophyton. Jamur tersebut memiliki sifat keratofilik atau mencerna
keratin. Tinea korporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai
oleh baik lesi inflamasi maupun non inflamasi pada glabrous skin (kulit yang
tidak berambut) seperti muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal.
II. Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan
menyerang 20-25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi
kulit tersering. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang dapat menyerang
semua ras dan kelompok umur sehingga infeksi jamur superfisial ini relatif
sering terkena pada negara tropis (iklim panas dan kelembaban yang tinggi)
dan sering terjadi eksaserbasi.
III. Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk
kelas fungi imperfecti yang terbagi menjadi tiga genus, yaitu Trichophyton
spp, Microsporum spp, dan Epidermophyton spp. Walaupun semua
dermatofita bisa menyebabkan tinea korporis, penyebab yang paling umum
adalah Trichophyton Rubrum dan Trichophyton Mentagrophytes.
IV. Patofisiologi
Infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah utama. Pertama dengan
perlekatan ke keratinosit, jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan
untuk bisa melekat pada jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu,
kelembaban, kompetisi dengan flora normal lain, sphingosin yang diproduksi
oleh keratinosit, dan asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar sebasea yang
bersifat fungistatik.
Langkah kedua yaitu penetrasi melalui ataupun di antara sel, setelah terjadi
perlekatan spora dimana jamur harus berkembang dan menembus stratum
korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses deskuamasi.
Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase lipase dan enzim mucinolitik
yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga
membantu penetrasi jamur ke jaringan. Respon pertahanan tubuh akan muncul
ketika jamur mencapai lapisan epidermis.
Langkah terakhir perkembangan respon host dengan derajat inflamasi
dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type Hypersensitivity (DHT) memiliki
peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Infeksi menghasilkan
sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian
keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel
langerhans epidermis dan dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe.
Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi
untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan
barier epidermal menjadi permaebel terhadap transferrin dan sel-sel yang
bermigrasi. Hal tersebut membuat jamur perlahan hilang dan lesi secara
spontan menjadi sembuh.
V. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dimulai dengan lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang
aktif dengan perkembangan ke arah luar, bercak – bercak bisa melebar dan
akhirnya memberi gambaran yang polisiklik, arsinar, dan sirsinar. Pada bagian
pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai dengan adanya eritema, papul
atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang. Tinea
korporis yang menahun menunjukkan tanda – tanda aktif yang menjadi hilang
dan selanjutnya hanya meninggalkan daerah hiperpigmentasi. Gejala subyektif
yang sering ditemui yaitu gatal terutama jika berkeringat. Pada daerah lesi
kadang – kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.
VI. Diagnosis Banding
A. Pityriasis Rosea
Pityriasis rosea merupakan penyakit kulit yang belum diketahui
penyebabnya, dimulai dengan sebuah lesi berbentuk eritema dan
skuama halus. Gejala klinis yang timbul yaitu lesi oval atau bulat yang
diskret (tersebar). Pengelupasan hampir pada semua lesi. Setidaknya te
rdapat 2 lesi dengan skuama kolaret dengan bagian tengah yang jernih.
Penyakit ini merupakan self-limiting disease dalam waktu 3 minggu, h
anya diberikan obat simptomatis seperti bedak yang mengandung ment
ol dan antihistamin untuk mengurangi rasa gatal.
B. Dermatitis Atopi
Dermatitis atopi merupakan keadaan peradangan kulit kronis –
residitif, disertai rasa gatal, dan sering berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum disertai riwayat atopi pada
keluarga atau penderita. Lesi kulit dapat berupa plak – popular
eritematosa yang berskuama atau plak likenifikasi yang gatal.
Lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi, dan
sekitar mata. Apabila lesi kering, agak menimbul, papul datar dan
cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama,
dan sering terjadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan, lambat laun
terjadi hiperpigmentasi. Kulit penderita dermatitis atopi akan menjadi
kering dan fungsi sawarnya berkurang, mudah retak sehingga
mempermudah masuknya mikroorganisme patogen. Pelembab krim
hidrofilik urea 10% dapat diberikan pada lesi tersebut. Anti – inflamasi
kulit pada dermatitis atopi merupakan pengobatan tersering yang
digunakan untuk menekan komponen reaksi inflamasi pada penyakit.
VII. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar
ultraviolet dengan panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak dapat dilihat.
Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh jamur
dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat dengan
memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang memberikan fluoresensi
yaitu M.canis, M.audouini, M.ferrugineum dan T.schoenleinii.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat langsung
dari kerokan kulit, kemudian sediaan ditambahkan larutan KOH 10%, dan
ditunggu selama 15 – 20 menit untuk melarutkan jaringan. Untuk
mempercepat pelarutan dapat dilakukan dengan pemanasan sediaan basah di
atas api kecil. Sediaan di amati di bawah mikroskop dan memberikan hasil
positif hifa ditemukan hifa (benang-benang) yang bersepta atau bercabang.

VIII. Terapi
Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan pengobatan
sistemik. Pada tinea korporis dengan lesi terbatas, cukup diberikan obat
topikal. Lama pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu bergantung jenis obat.
Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal diperlukan pada lesi yang luas
atau kronik rekurens. Anti jamur topikal yang dapat diberikan yaitu derivate
imidazole, toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur
pada lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu
dilakukan dengan kompres basah secara terbuka.
Pengobatan sistemik yang dapat diberikan pada tinea korporis yaitu:
 Griseofulvin Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama.
Dosis untuk anak-anak 15-20 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500-
1000 mg/hari
 Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang resisten
terhadap griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah 200 mg/hari
selama 3 minggu.
 Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin
dikatakan cukup memuaskan untuk pengobatan tinea korporis.
IX. Edukasi
1. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena
infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah
penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.
2. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian
dengan orang yang terinfeksi.
3. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas
untuk mencegah penyebaran jamur tersebut.
4. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
5. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis
yang dapat menghambat sirkulasi udara.
6. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan
bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.

X. Prognosis
Umumnya prognosis penyakit ini cukup baik dan dapat sembuh sempurna.
Namun pada beberapa penderita dapat rekurensi dari penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Berman, Kevin (2008). “Tinea corporis – All information”. MultiMedia


Medical Encyclopedia. University of Maryland Medical Center. Retrieved 2012-
11-20. 10.
Brannon, Heather (2010). “Ringworm-Tinea Corporis”. About.com
Dermatology. About.com. Retrieved 21-12-2017.
Budimulja, U. sunoto. Dan Tjokronegoro. (2008) Arjatmo. : Penyakit
Jamur. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Djuanda, A. (2015). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Gupta, Aditya K.; Chaudhry, Maria; Elewski, Boni (2008). “Tinea
coeporis, tinea cruris, tinea nigra, and piedra”. Dermatologic Clinics
(Philadelphia;Elsevier Health Sciences Division) 21 (3); 395-400. 9.
James, William D.; Berger, Timothy G.; Elston, Dirk M.; Odom, Richard
B. (2006). Andrews’ Diseases of the Skin: Clinical Dermatology (10th ed.).
Philadelphia; Saunders Elsevier.p. 302

Anda mungkin juga menyukai