Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

KERATITIS FILAMENTOSA
ILMU KESEHATAN MATA

Disusun oleh
Aselia Amblin Pokatong (01073180095)
Evita Putri Makatengkeng (01073180131)
Jane Juandi (0107180127)
Richie Fernando (00000022731)

Pembimbing:
dr. Endang M. Johani, SpM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


RUMAH SAKIT SILOAM LIPPO VILLAGE
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 29 Juni – 11 Juli 2020
TANGERANG
BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. D

No. Rekam Medis : 00-00-XX

Jenis Kelamin : Laki - laki

Usia : 45 tahun

Tanggal Lahir : 23 Juni 1975

Alamat : -

Agama : Islam

Status Pernikahan : Sudah Menikah

Pekerjaan : Buruh Pabrik

Pendidikan terakhir : Sekolah Menengah Atas

Tanggal & Waktu Pemeriksaan: 6 Juli 2020 pukul 09.00 W.I.B

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien di poliklinik mata lantai 2


Rumah Sakit Umum Siloam Karawaci

Keluhan Utama

Pasien datang dengan keluhan mata kanan merah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan Tambahan

Pasien juga mengeluhkan adanya sesuatu yang mengganjal seperti pasir pada matanya,
penglihatan terganggu karena kabur , silau, berair mata, dan mata yang sulit dibuka.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien laki-laki seorang buruh pabrik, datang dengan keluhan mata kanan merah sejak
2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan selain mata merah terdapat
juga keluhan nyeri pada mata, gangguan penglihatan (kabur) dan seringkali merasa silau saat
melihat. Pasien juga mengeluhkan adanya sesuatu yang mengganjal seperti pasir pada
matanya dan berair mata dengan konsistensi yang lebih pekat sehingga pasien kesulitan untuk
membuka mata. Pasien menyangkal keluhan lain seperti rasa gatal, nyeri kepala, mual ataupun
muntah Pasien menyangkal adanya trauma pada mata sebelum muncul keluhan. Pasien
mengaku sering mengalami keluhan serupa dan selalu datang ke dokter mata untuk berobat
dan dibersihkan. Pasien mengaku setiap selesai dibersihkan matanya oleh dokter menjadi
lebih baik, namun setelah beberapa minggu keluhannya akan muncul kembali.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami keluhan serupa, dan setiap beberapa minggu keluhan pasien
kambuh lagi setelah dibersihkan. Pasien tidak menggunakan kacamata atau kontak lensa,
sebelum keluhan ini pasien tidak pernah mengalami mata buram, maupun nyeri pada mata.
Pasien tidak memiliki riwayat operasi katarak dan tidak mempunyai riwayat trauma pada
mata. Pasien menyangkal adanya riwayat alergi, hipertensi dan diabetes mellitus. Riwayat
nyeri sendi, nyeri punggung, dan penyakit autoimun disangkal. Pasien tidak mengkonsumsi
obat apapun secara rutin.

Riwayat Penyakit Keluarga

Dari keluarga pasien disangkal adanya riwayat penyakit mata sebelumnya dan
keluarga pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa.
Riwayat Sosial Ekonomi dan Kebiasaan

Pasien tinggal bersama istri dan anak pasien dengan status ekonomi menengah. Pasien
mengatakan bahwa lingkungan di mana tempat pasien tinggal bersih, tidak ada anggota
keluarga maupun di lingkungan tempat tinggal yang memiliki kebiasaan merokok,
mengkonsumsi alkohol maupun obat-obatan terlarang.

Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi dan asma.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 6 Juli 2020 jam 09.30 WIB

Keadaan umum: Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis (GCS E4M6V5)

Tanda – tanda Vital:

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Laju nadi : 74 x/menit, regular, simetris, isi cukup, kuat angkat

Laju napas : 18 x/menit, cepat, spontan, regular

Suhu : 36.8°C

Saturasi O2 : 99%
Okuli Dextra Okuli
(OD) Sinistra
(OS)

Inspeksi

Normal

Filamen-filamen pada
epitel kornea

Injeksi perikorneal

6/15 Visus 6/6

- Koreksi -

- Addisi -

- Kacamata -
Gerak Bola Mata

- Nistagmus -

Ortoforia Alignment Ortoforia


(Hirschberg
Test)

PALPEBRA SUPERIOR

(-) Edema (-)

(-) Hiperemis (-)

(-) Entropion (-)

(-) Ektropion (-)


(+) Blefarospasme (-)

(-) Ptosis (-)

(-) Trikhiasis (-)

(-) Benjolan/Massa (-)

PALPEBRA INFERIOR

(-) Edema (-)

(-) Hiperemis (-)

(-) Entropion (-)


(-) Ektropion (-)

(+) Blefarospasm (-)


e

(-) Ptosis (-)

(-) Proptosis (-)

(-) Trikhiasis (-)

(-) Benjolan/Massa (-)

AREA LAKRIMAL DAN PUNGTUM LAKRIMAL

(-) Lakrimasi (-)

(+) Epifora (-)


(-) Sekret (-)

(-) Bengkak (-)

(-) Hiperemis (-)

(-) Benjolan/massa (-)

(-) Fistula (-)

KONJUNGTIVA BULBI

Rata Permukaan Rata

(-) Injeksi Siliar (-)

(-) Injeksi (-)


Konjungtiv
a

(+) Injeksi (-)


Perikorneal

(-) Perdarahan (-)

subkonjungtiva

(-) Kemosis (-)

(-) Massa (-)

(-) Jaringan (-)


fibrovaskul
ar

(-) Pseudomembran (-)

(-) Corpus (-)


alienum
KONJUNGTIVA TARSAL SUPERIOR

(-) Folikel (-)

(-) Papil (-)

(-) Lithiasis (-)

(-) Laserasi (-)

(-) Simblefaro (-)


n

(-) Hiperemis (-)

(-) Anemis (-)


(-) Corpus (-)
alienum

(-) Membrane / (-)


Pseudomembrane

KONJUNGTIVA TARSAL INFERIOR

(-) Folikel (-)

(-) Papil (-)

(-) Lithiasis (-)

(-) Laserasi (-)

(-) Simblefaro (-)


n
(-) Hiperemis (-)

(-) Anemis (-)

(-) Corpus (-)


alienum

(-) Membrane / (-)


Pseudomem
brane

SKLERA

Putih Warna Putih

(-) Nodul (-)

(-) Vulnus (-)


(-) Ruptur (-)

KORNEA

Terdapat filamen Kejernihan Jernih


keabuan

(-) Edema (-)

(-) Corpus (-)


Alienum

Tidak dilakukan Refleks Tidak dilakukan


Kornea

Tidak dilakukan Tes Tidak dilakukan


Flurosein

COA
Dalam Kedalaman Dalam

(-) Hifema (-)

- Volume -

(-) Hipopion (-)

IRIS

Tidak dapat Warna Tidak dapat


dinilai dinilai

(-) Sinekia (-)

PUPIL
± 3 mm Ukuran ± 3 mm

Bulat Bentuk Bulat

Tegas Batas Tegas

Isokor Isokoria Isokor

(+) Refleks Cahaya (+)


Langsung

(+) Refleks Cahaya (+)


Tidak Langsung

(-) RAPD (-)


LENSA

Jernih Kejernihan Jernih

Tidak Shadow Test Tidak


dilakukan dilakukan

VITREOUS

Jernih Kejernihan Jernih

(-) Floaters (-)

(-) Perdarahan (-)

FUNDUS
Positif Refleks Positif
Fundus

Bulat Bentuk Papil Bulat

Tegas Batas Papil Tegas

2/3 A/V Ratio 2/3

0.3 C:D Ratio 0.3

TIO

N Palpasi N
Palpebra

CAMPUS
Seluruh Lapang Seluruh kuadran
kuadran Pandang terlihat
terlihat

TES ISHIHARA (BUTA WARNA)

Normal (tidak ada red-green deficiency)

IV. RESUME

Pasien seorang pekerja pabrik datang dengan keluhan mata kanan merah sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku keluhan mata merah muncul disertai keluhan nyeri
mata, gangguan penglihatan seperti kabur dan seringkali merasa silau saat melihat. Keluhan lain
pasien berupa rasa mengganjal seperti pasir pada mata dan berair mata lebih pekat sampai pasien
sulit untuk membuka mata. Pasien sering mengalami keluhan serupa dan selalu berobat ke dokter
mata dan dibersihkan, namun keluhan pasien akan kambuh lagi beberapa minggu setelah
dibersihkan.
Pada pemeriksaan fisik mata kanan pasien, terdapat penurunan visus menjadi 6/15. Dari
inspeksi, tampak filamen keabuan pada epitel kornea. Pada area palpebra superior dan inferior
dextra, ditemukan adanya blefarospasme. Pada area lakrimal dan pungtum lakrimal dextra,
ditemukan epifora. Pada konjungtiva bulbi dextra, ditemukan injeksi perikorneal. Pada kornea
OD, ditemukan adanya filamen keabuan.

V. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis kerja:
- Keratitis Filamentosa OD
- Emetropia OS
Diagnosis banding:
- Corneal foreign body

VI. SARAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Slit lamp examination
- Rose Bengal test
- Schimer’s test

VII. TATA LAKSANA


a. Non - Medikamentosa
- Edukasi: Pasien dijelaskan tentang penyakit keratitis filamentosa, bahwa penyakit
dapat berlangsung kronik dan akan terjadi kekambuhan. Pasien juga perlu
mengetahui bahwa filamen itu terbentuk karena adanya luka pada epitel kornea dan
juga kelebihan mukus pada mata, kurangnya akueus air mata, sehingga
membutuhkan pengobatan kronik. Inilah alasan mengapa sensasi benda asing
kambuh setelah diobati. Jelaskan juga gejala-gejala yang muncul pada keratitis
filamentosa, seperti nyeri yang diperparah saat berkedip, fotofobia, kedutan pada
kelopak mata.
b. Medikamentosa
- Obat tetes dan salep mata topikal
- Sodium chloride 5%, 4x sehari untuk membantu penyembuhan epitel kornea
- Agen mukolitik seperti N-Acetylcysteine 10%
- Untuk mengurangi viskositas komponen mukosa air mata
- Sikolosporin topikal
- Kortikosteroid topikal
- Bandage contact lens
- Untuk gejala kronik mata kering
c. Operasi
- Debridemen filamen
- Oklusi pungtal
VIII. PRGONOSIS
Ad functionam : bonam
Ad sanactionam : bonam
Ad cosmeticam : bonam
Ad vitam : bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kornea dan Lakrimal & Fisiologi Air Mata


2.1.1 Anatomi Kornea, dan Lakrimal
Kornea adalah suatu jaringan transparan, avaskuler yang berbentuk seperti kaca pada jam
tangan. Kornea ini membentuk 1/6 anterior bagian luar dari lapisan fibrosa bola mata. Bagian
permukaan anterior dari kornea berbentuk lonjong dengan diameter horizontal sekitar 11.7 dan
diameter veritkal sekitar 11mm. Bagian permukaan posterior berbentuk bulat dengan diameter
rata-rata 11.5mm. Ketebalan kornea pada bagian tengah sekitar 0.52mm, sedangkan pada daerah
perifer 0.7mm. Bagian tengah dari jari-jari kelengkungan pada kornea yang berukuran 5mm
membentuk pembiasan mata yang kuat. Radius dari kelengkungan ini adalah 7,8mm pada
bagian anterior dan 6,5mm pada bagian posterior. Kekuatan pembiasan atau refraksi dari kornea
adalah 45 dioptri atau sekitar ¾ total kekuatan pembiasan mata, yaitu 60 dioptri1,2.
Kornea memiliki 5 lapisan, yaitu epitel, membran Bowman, stroma, membrane
Descemet, dan endotelium. Kornea berfungsi sebagai media refraksi dan pelindung organ-organ
intraokular lainnya. Kornea dapat berfungsi dengan baik jika kornea tetap mempertahankan sifat
transparansi tersebut. Sifat transparansi ini didukung oleh beberapa faktor, yaitu susunan lamella
kornea, avaskularitas, keadaan dehidrasi relatif yang dipertahankan oleh epitel1.
Kornea merupakan jaringan yang bersifat avaskular yang memperoleh nutrisi melalui
difusi dari aqueous humor dan melalui jaringan kapiler antara konjungtiva dan episklera yang
terletak pada limbus. Kornea diinervasi oleh saraf silier anterior yang merupakan cabang dari
saraf kranial 5. Setelah masuk ke dalam kornea sedalam 2 mm, saraf akan kehilangan selubung
mielin dan membelah secara dikotomi dan membentuk 3 pleksus, yaitu stroma, subepitel dan
intraepitel1,2.
Gambar 1. Anatomi Kornea & Histologi Lapisan Kornea

Tear film melapisi bagian anterior dari bola mata yang berfungsi untuk menjaga
kelembapan dan sebagai lubrikasi antara bola mata dan kelopak mata, menangkap debris serta
membantu menghilangkan sel epitel yang terkelupas serta debris. Tear film juga berfungsi
sebagai sumber utama oksigen bagi kornea, menyediakan permukaan refraksi yang halus untuk
fungsi optik yang optimal, mengandung zat-zat antibakteri (lisozim, beta-lisin, laktoferin,
imunoglobulin) untuk melindungi dari infeksi. Selain itu, tear film menjaga hidrasi kornea
dengan perubahan tonisitas yang terjadi melalui proses evaporasi dan mengandung beberapa
faktor pertumbuhan dan beberapa peptida yang meregulasi perbaikan luka pada permukaan
mata2.
Tear film terdiri atas 3 lapisan. Lapisan luar, yaitu lipid yang mengandung waxy esters,
kolesterol, dan free fatty acids, yang diproduksi oleh kelenjar meibomian. Lapisan lipid ini
memperlambat penguapan dan menyediakan pelumas untuk gerakan kelopak mata yang halus.
Lapisan tengah, yaitu aqueous mengandung garam anorganik, glukosa, urea, enzim, protein,
glikoprotein, dan sebagian besar zat antibakteri. Ini disekresikan oleh kelenjar lakrimal utama
dan aksesori2.
Lapisan paling dalam, yaitu mukus berperan sebagai perantara yang memfasilitasi adhesi
lapisan air mata pada permukaan mata. Lapisan ini terdiri dari sekresi glikokaliks dari epitel
permukaan dan musin yang diproduksi dan disekresikan oleh sel goblet konjungtiva. Mucin juga
dapat mengikat dan menjebak bakteri dan virus agar tidak berikatan sehingga mencegah mikroba
untuk menembus hingga permukaan mata2.

Gambar 2. Lapisan Tear Film

Lacrimal apparatus terdiri atas lakrimal utama kelenjar, aksesori kelenjar lakrimal, dan
bagian-bagian lakrimal, yang meliputi: puncta, canaliculi, lacrimal sac dan nasolacrimal duct
(NLD). Kelenjar utama lakrimal berisi bagian atas orbita dan bagian bawah palpebra. Bagian
orbita adalah bagian terbesar yang berbentuk seperti kacang almond dan terletak dalam fossa
kelenjar lakrimal pada bagian luar dari orbital plate tulang frontalis. Bagian palpebra adalah
bagian kecil yang terdiri atas 2 lobus dan terletak di atas duktus dari bagian orbita1,2.
Duktus kelenjar lakrimal. Sekitar 10-12 duktus berjalan dari kelenjar utama untuk
membuka pada bagian lateral dari forniks superior, sedangkan sisanya membuka di bagian lateral
dari forniks inferior. Aksesori kelenjar lakrimal terdiri atas kelenjar Krause dan Wolfring.
Kelenjar Krause adalah kelenjar yang terdapat pada konjungtiva palpebra antara forniks dan
ujung tarsus. Kelenjar Wolfring terdapat pada bagian atas dari superior tarsal plate dan
sepanjang bagian bawah dari tarsus inferior1.
Struktur dari kelenjar lakrimal mirip dengan kelenjar ludah, yaitu tersusun atas serous
acini. Kelenjar lakrimal ini terdiri atas jaringan kelenjar (duktus dan asinus), jaringan ikat, dan
puncta. Kelenjar utama lakrimal diperdarahi oleh arteri lakrimal yang merupakan cabang arteri
oftalmika. Kelenjar lakrimal ini dipersarafi oleh dua saraf, yaitu sensorik diinervasi oleh saraf
lakrimal yang merupakan cabang oftalmik dari saraf kranial trigeminal dan simpatis yang berasal
dari pleksus karotis dari cervical sympathetic chain. Refleks pengeluaran air mata terjadi melalui
stimulasi cabang - cabang saraf oftalmik atau sebagai respons terhadap rangsangan eksternal,
seperti cahaya yang kuat. Jalur aferen pada proses ini adalah melalui saraf trigeminal, dan jalur
parasimpatisnya adalah melalui saraf fasialis 1,2.

Gambar 3. Anatomi Lakrimal

2.1.2 Fisiologi Air Mata2


Beberapa air mata hilang karena penguapan dan sebagian lagi direabsorpsi melalui
jaringan konjungtiva, namun sekitar 75% mengalir melalui sistem drainase nasolakrimal. Sistem
drainase nasolakrimal terdiri atas puncta, canaliculi, lacrimal sac dan nasolacrimal duct (NLD)
yang bermuara ke rongga nasal. Cairan kelenjar lakrimal disekresikan ke bagian lateral forniks
atas dan turun melintasi permukaan anterior bola mata. Kontraksi orbikularis memaksa meibum
keluar dari pori-pori dan gerakan kelopak mata dapat membantu menyebarkan lapisan lipid tipis
pada seluruh permukaan bola mata. Setiap kali berkedip akan terjadi pembentukan tear film,
selanjutnya menyebarkannya ke permukaan mata.
Air mata mengalir ke bawah dan secara medial melintasi permukaan bola mata untuk
mencapai fornix bawah dan kemudian melalui lacus lacrimalis di kantus bagian dalam dari area
di mana air mata dikeringkan oleh jalur lakrimal ke dalam rongga hidung. Hal ini disebabkan
oleh mekanisme pompa lakrimal aktif yang dibentuk oleh serat orbikularis (terutama otot
Horner) yang dimasukkan pada kantung lakrimal. Saat mata tertutup selama kedipan, kontraksi
serat-serat ini menggelembungkan fundus kantung, menciptakan tekanan negatif di dalamnya
yang mengalirkan air mata melalui punctum dan canaliculi ke dalam kantung. Ketika kelopak
mata terbuka, otot Horner rileks, kantung lakrimal runtuh dan tekanan positif tercipta yang
memaksa air mata menyalurkan saluran nasolakrimal ke dalam rongga hidung. Oleh karena itu,
dalam atonia kantung, air mata tidak mengalir melalui lakrimal, terlepas dari patologi anatomi;
menghasilkan epifora.

Gambar 4. Proses Drainase Air Mata

2.2 Definisi Keratitis


Keratitis adalah suatu inflamasi pada kornea yang dapat disebabkan oleh infeksi dari
mikroorganisme maupun non-infeksi yang disebabkan oleh proses autoimun3. Keratitis
filamentosa adalah suatu keadaan dimana terdapat filamen-filamen yang terdiri atas sel-sel epitel
yang terdegenerasi dan mukus pada permukaan kornea sehingga menyebabkan nyeri dan adanya
sensasi seperti benda asing pada mata4.

2.3 Epidemiologi
Tidak ada data khusus tentang epidemiologi penyakit ini5.

2.4 Klasifikasi dan Etiologi Keratitis Filamentosa


Keratitis filamentosa tidak memiliki klasifikasi khusus, namun umumnya dibagi menjadi
ringan, sedang, dan berat. Dimana keratitis filamentosa ringan, dapat ditemukan filamen-filamen
pada permukaan epitel kornea. Keratitis filamentosa, yaitu keratitis yang disertai dengan filamen
mukoid dan deskuamasi sel epitel pada permukaan kornea. Filamen mukoid terdiri dari sel dan
sisa mukoid, dengan dasar bentuk segitiga yang menarik epitel, dimana epitel yang terdapat pada
filamen terlihat tidak melekat pada epitel kornea. Di dekat filamen terdapat defek epitel disertai
kekeruhan epitel berwarna abu-abu. Kelainan ini ditemukan pada gejala dry eye syndrome,
diabetes mellitus, pasca bedah katarak, dan keracunan kornea oleh obat tertentu. Sedangkan,
etiologi keratitis filamentosa, umumnya disebabkan karena perubahan pada komponen tear film
dengan atau tanpa kelainan permukaan kornea. 3

2.5 Faktor Resiko Keratitis Filamentosa


Perubahan pada tear film atau permukaan kornea dapat meningkatkan resiko terjadinya
keratitis filamentosa. Beberapa faktor resiko yang umum terjadi antara lain: 7,8
● Defisiensi aqueous humor (keratokonjungtivitis sicca) 8
Keratokonjungtivitis sicca merupakan suatu kelainan kronik bilateral pada konjungtiva
dan kornea yang disebabkan oleh tear film yang tidak adekuat.
Terdiri dari 2 jenis yaitu:
● Defisiensi humor aqueous pada keratokonjungtivitis sicca disebabkan karena
volume air mata yang berkurang. Seringkali ditemukan idiopatik pada wanita post
menopause. Selain itu juga dapat ditemukan pada sindrom Sjögren, reumatoid
artritis, dan sistemik lupus eritematosa.
● Evaporative keratokonjungtivitis sicca disebabkan karena meningkatnya
evaporasi air mata karena tidak adekuat nya lapisan minyak pada permukaan
lapisan aqueous pada air mata.
Gejala yang dapat ditemukan antara lain: gatal, rasa terbakar, seperti ditarik, atau sensasi
benda asing pada mata, fotosensitif, nyeri tajam seperti ditusuk, mata lelah, dan
penglihatan kabur.8
● Paparan kornea (Lesi nervus fasialis)
● Kelainan oklusi (Blefaroptosis)
● Operasi okular (Keratoplasti)
● Penyakit sistemik dengan kelainan pada permukaan okuler (sindrom Sjögren)
● Penggunaan obat antikolinergik jangka panjang 7
2.6 Patofisiologi

Awal mula tumbuhnya keratitis filamentosa adalah adanya kerusakan pada sel epitel
basal, membran epitel basal, atau membran Bowman yang berujung pada terlepasnya sel epitel
membran. Seiring berjalannya waktu, daerah ini akan ter-elevasi dan menjadi tempat reseptor
untuk sel-sel mukosa dan sel epitel yang telah terdegenerasi. Pada keratitis filamentosa, biasa
juga terdapat peningkatan jumlah rasio mukus air mata dibanding dengan aqueous air mata. Hal
ini bisa terjadi akibat adanya penurunan produksi cairan aqueous air mata, atau peningkatan
produksi mukus. Peningkatan rasio mukus air mata ini menjadi dasar pencetus terbentuknya
filamen. Setelah filamen terbentuk, ia akan melekat pada epitel yang rusak. Gesekan antara
filamen dengan kelopak mata atas dapat mengakibatkan timbulnya rasa nyeri, robeknya epitel,
dan inflamasi, yang berujung pada pembentukan filamen yang baru. Filamen sendiri terdiri dari
untaian mukosa dan sel epitel yang telah degenerasi.7,9

2.7 Manifestasi Klinik


Gejala yang sangat umum muncul pada penderita keratitis filamentosa adalah adanya
sensasi seperti benda asing pada mata. Pasien juga biasa mengeluhkan nyeri pada mata yang
diperparah dengan berkedip, epifora, injeksi konjungtiva/perikorneal, sering mengedipkan mata,
penglihatan kabur, blefarospasm dan fotofobia. 8

2.9 Diagnosis
Diawali dengan melakukan anamnesis dengan pasien. Tanyakan apakah ada sensasi
mengganjal seperti benda asing pada mata, rasa nyeri pada mata yang makin perih saat berkedip,
sering mengedipkan mata, dan kedutan pada kelopak mata atas. Selain itu juga ditanyakan
apakah pasien menderita fotofobia dan mengalami penglihatan kabur. Setelah itu bisa dilanjutkan
pemeriksaan fisik secara umum dan khusus pada mata. Lihat apakah adanya penurunan visus
pada pasien, apakah mata pasien berair, dan lihat apakah adanya injeksi konjungtiva. Lalu bisa
dilakukan slit lamp examination, untuk melihat filamen pada permukaan kornea. Panjang dari
filamen sendiri bisa bervariasi, dari 0,5 mm sampai 10 mm. Pada dasar dari filamen bisa terlihat
adanya opasitas sub-epitel berwarna abu-abu. Selain itu juga bisa dilakukan rose Bengal test
untuk melihat letak dari filamen itu sendiri karena lokasi perlekatan filamen bisa menentukan
penyebab dari terbentuknya filamen. Filamen yang disebabkan oleh mata kering biasa muncul di
interpalpebral, lalu yang disebabkan oleh ptosis akan muncul lebih superior. Filamen sendiri
sangat bagus diwarnai dengan rose Bengal, namun juga bisa dilihat oleh fluorescein. Lalu, untuk
menentukan derajat keringnya mata, dilakukan schimer’s test. Normalnya, akueus air mata dapat
diproduksi sampai lebih dari 15mm dalam 5 menit. Sedangkan untuk yang moderate of aqueous
production adalah sekitar 5-14mm dalam 5 menit, dan untuk severe dryness pada produksi
akueus air mata adalah kurang dari 5mm dalam 5 menit. 9

2.9 Diagnosis Banding


 Corneal Foreign Body suatu keadaan dimana terjadi perlekatan benda asing pada
permukaan kornea dan hal ini sering menyebabkan trauma pada kornea. Trauma ini
bersifat superfisial dan ringan. Meskipun trauma ini bersifat ringan, namun tetap
menimbulkan rasa tidak nyaman pada mata. Trauma yang diakibatkan oleh benda asing
ini juga dapat mengganggu visual, namun jarang menyebabkan penurunan visus. Benda
yang dapat masuk ke mata dapat berupa benda anorganik (serpihan besi, tembaga,
platinum, emas, dll) dan organik (bulu mata, tanah, partikel tanaman, dll). Pekerjaan,
aktivitas yang tinggi serta kurangnya penggunaan pelindung mata merupakan faktor
risiko masuknya benda asing pada kornea. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa nyeri
mata, sensasi benda asing, fotofobia, injeksi konjungtiva dan/atau silier, edema kornea.

2.11 Tatalaksana
Keratitis filamentosa dapat berupa kondisi akut atau kronik. Kondisi akut dapat secara
spontan membaik, namun jarang dan lebih sering berupa kondisi kronik dengan penanganan
yang berkepanjangan. Penanganan keratitis filamentosa dimulai dengan menatalaksana penyebab
munculnya yaitu berupa sindrom mata kering, penggunaan kontak lensa yang lama, dan
blepharoptosis. Selain menangani penyebab dari keratitis filamentosa, diperlukan juga
pengobatan topikal untuk mencegah bertambahnya gejala karena kering atau trauma. 4,10
Lini pertama untuk tatalaksana keratitis filamentosa berupa terapi topikal menggunakan
air mata buatan sediaan eye drop dan eye ointment. Pemberian sodium chloride 5% empat kali
sehari dapat membantu penyembuhan epitel kornea dengan mengurangi edema dan menghindari
terjadinya pelepasan fokal. Agen mukolitik seperti N-acetylcysteine digunakan untuk
mengurangi viskositas dari mukus pada tear film pre-kornea, agen mukolitik juga dapat
berfungsi untuk melarutkan mukus plak pada kornea. Tatalaksana kronis untuk gejala mata
kering pada keratitis filamentosa dapat diberikan siklosporin topikal. Pemberian derivat
tetrasiklin oral, suplemen asam lemak omega-3, azithromycin topikal, dan kebersihan kelopak
mata dapat membantu mengontrol disfungsi kelenjar meibomian. 11
Kortikosteroid topikal hanya digunakan pada eksaserbasi akut untuk mencegah
komplikasi peningkatan tekanan intraokular atau katarak. Kortikosteroid topikal seperti
metilprednisolon dapat mengurangi inflamasi pada keratitis filamentosa yang disebabkan oleh
sjogren’s syndrome dan sika keratokonjungtivitis. NSAID didapatkan efektif menurunkan
ketidaknyamanan pasien dan mempercepat perbaikan pada kasus-kasus berat, namun kegunaan
NSAID perlu dipertimbangkan dengan melihat efek merusak epitel kornea pasien dengan mata
kering. Penggunaan bandage contact lens berfungsi untuk melindungi epitel kornea dari gesekan
kelopak mata dan membantu mengurangi ptosis reaktif. Bandage contact lens digunakan pada
keratitis filamentosa yang tidak merespon dengan baik terhadap lubrikasi okular.
Terapi non medikamentosa yang dapat diberikan adalah berupa edukasi kepada pasien
dengan menjelaskan mengenai keratitis filamentosa. Pasien perlu mengetahui bahwa filamen itu
terbentuk karena adanya luka pada epitel kornea dan juga kelebihan mukus pada mata,
kurangnya akueus air mata, sehingga membutuhkan pengobatan kronik. Inilah alasan mengapa
sensasi benda asing kambuh setelah diobati. Pasien juga dijelaskan mengenai gejala-gejala yang
ditimbulkan dari keratitis filamentosa, seperti nyeri yang diperparah saat berkedip, fotofobia,
kedutan pada kelopak mata.12
Selain terapi medikamentosa dapat juga dilakukan operasi debridement filamen yang
tertempel pada kornea. Filamen dapat disingkirkan menggunakan mikroskop slit lamp dengan
penggunaan anestesi topikal dan forsep. Setelah pembersihan filamen perlu diberikan antibiotik
topikal untuk beberapa hari. Penggunaan pressure patch dengan salep pelumas atau bandage
contact lens dapat mengurangi ketidaknyamanan. Selain debridement, oklusi punctal juga dapat
membantu dalam meningkatkan komponen air mata pada beberapa kasus. 12

2.12 Komplikasi dan Prognosis


Keratitis filamentosa berpotensi menjadi keratitis infektif sebagai komplikasi, terutama
pada pasien yang menggunakan bandage contact lens sebagai terapi. Prognosis pasien dengan
keratitis filamentosa pada umumnya baik, namun tergantung pada efektifitas penanganan kondisi
dengan faktor resiko.7

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Tn. D , laki-laki, usia 45 tahun, datang dengan keluhan mata kanan merah sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan adanya nyeri mata, gangguan penglihatan dan
terasa silau saat melihat. Selain itu, pasien juga mengeluhkan rasa mengganjal seperti pasir pada
mata dan berair mata sampai pasien sulit untuk membuka mata. Pasien mengaku sudah
mengalami gejala tersebut berulang dan sembuh setelah dibersihkan dan diobati, namun
beberapa minggu kemudian kambuh lagi.
Berdasarkan riwayat penyakit dan gejala yang dialami pasien, maka perlu dilihat
algoritma mata merah tersebut untuk mengarah kepada diagnosis kerja agar diagnosis banding
lainnya dapat disingkirkan. Hal yang perlu ditanyakan pertama kali ketika pasien datang dengan
keluhan mata merah adalah apakah terdapat penurunan tajam penglihatan atau tidak. Jika ada
gangguan tajam penglihatan, maka perlu dipikirkan adanya masalah yang terjadi pada media
refraksi.
Kelainan pada media refraksi yang dapat menimbulkan mata merah adalah sebagai
berikut: keratitis, ulkus kornea, glaukoma akut, uveitis anterior, dan endoftalmitis. Diagnosis
banding tersebut harus disingkirkan dengan menanyakan gejala klinis lainnya, seperti apakah ada
sekret pada mata, onset, rekurensi, gejala klinis lainnya, riwayat pengobatan, riwayat penyakit
dahulu, riwayat trauma, dan riwayat terpapar benda benda yang bersifat iritatif bagi mata.
Diagnosis glaukoma akut pada pasien ini tidak dipikirkan karena pada pasien tidak
ditemukan adanya peningkatan tekanan intraokular. Diagnosis endoftalmitis juga tidak
dipikirkan pada pasien ini karena tidak ditemukan adanya hipopion maupun cotton-wool spots
yang umum ditemukan pada endoftalmitis. Diagnosis uveitis anterior tidak dipikirkan pada
pasien ini karena tidak ditemukan adanya sinekia dan pupil yang ireguler. Diagnosis ulkus
kornea tidak dipikirkan pada pasien karena pasien tidak memiliki riwayat trauma dan tidak
ditemukan pada pemeriksaan mata adanya infiltrasi sel-sel pada kornea, sekret okular purulen,
maupun edema kornea.
Gejala klinis pasien selain mata merah dan gangguan penglihatan, terdapat juga nyeri
okular, fotofobia, terasa seperti ada benda asing dan epifora. Gejala-gejala tersebut merupakan
gejala yang dapat muncul pada keratitis filamentosa sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding
lain dengan gejala yang mirip dengan keratitis filamentosa, yaitu corneal foreign bodies.
Diagnosis corneal foreign bodies ini memiliki gejala yang mirip dengan keratitis filamentosa,
namun perbedaannya terletak pada penyebab masing-masing penyakit ini. Pada corneal foreign
bodies defek pada kornea terjadi akibat trauma yang disebabkan oleh masuknya benda asing dari
luar, baik anorganik (serpihan besi, tembaga, platinum, emas, dll) ataupun organik (bulu mata,
tanah, partikel tanaman, dll).
Selain itu, dapat dilihat juga faktor risiko dari masing-masing penyakit yang jelas
berbeda. Pada keratitis filamentosa faktor risikonya berupa adanya kondisi lain yang
menyebabkan terganggunya pembentukan tear film, seperti defisiensi aqueous humor pada
keratokonjungtivitis sicca, paparan kornea pada lesi nervus tujuh, kelainan oklusi pada
blefaroptosis, dan faktor risiko lainnya yang dapat mengganggu pembentukan tear film.
Sedangkan pada corneal foreign bodies faktor risiko penyebab penyakit ini lebih dipengaruhi
oleh faktor eksternal, seperti pekerjaan, aktivitas tinggi dan kurangnya penggunaan alat
pelindung diri.
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya epifora dan injeksi perikorneal serta
adanya penurunan visus menjadi 6/15 pada pemeriksaan menggunakan snellen chart.
Berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan pada pasien, maka
diagnosis pada pasien ini mengarah pada keratitis filamentosa. Pada pasien ditemukan gejala
nyeri mata, gangguan penglihatan dan terasa silau saat melihat. Nyeri pada mata ini biasanya
dirasakan jika adanya lesi pada kornea karena pada kornea banyak mengandung nerve-ending
yang menyebabkan munculnya gejala nyeri yang hebat jika terdapat peradangan atau infeksi
pada daerah kornea. Penurunan visus menjadi 6/15 terjadi akibat terganggunya fungsi kornea
sebagai media refraktor. Kornea berperan besar dalam proses refraksi karena kornea memiliki
power refractor sebesar 70% (45D) dari total power refractor dari seluruh media refraktor
(60D). Selain itu, pada pasien dengan corneal foreign bodies, trauma yang terjadi akibat benda
asing jarang menimbulkan adanya gangguan visus sehingga pada pemeriksaan fisik tidak akan
ditemukan adanya tanda penurunan tajam penglihatan pada pasien corneal foreign bodies
Selain itu, pasien juga mengeluhkan rasa mengganjal seperti pasir pada mata dan berair
mata sampai pasien sulit untuk membuka mata. Pasien mengaku sudah mengalami gejala
tersebut berulang dan sembuh setelah dibersihkan dan diobati, namun beberapa minggu
kemudian kambuh lagi. Gejala yang muncul berulang dan sering kambuh ini merupakan gejala
yang wajar pada keratitis filamentosa karena membutuhkan penanganan kronik.
Pemeriksaan penunjang yang disarankan untuk pasien ini yaitu pemeriksaan slit lamp dan
rose Bengal test. Pemeriksaan slit lamp dilakukan untuk melihat filamen pada permukaan
kornea. Panjang dari filamen sendiri bisa bervariasi, dari 0,5 mm sampai 10 mm. Pada dasar
dari filamen bisa terlihat adanya opasitas sub-epitel berwarna abu-abu. Rose Bengal test
dilakukan untuk melihat letak dari filamen itu sendiri karena lokasi perlekatan filamen bisa
menentukan penyebab dari terbentuknya filamen. Filamen yang disebabkan oleh mata kering
biasa muncul di interpalpebral, lalu yang disebabkan oleh ptosis akan muncul lebih superior.
Tatalaksana yang dapat diberikan adalah terapi topikal dengan air mata buatan sediaan
obat tetes mata dan salep mata. Pemberian sodium klorida 5% sebanyak 4x dalam sehari dapat
membantu dalam penyembuhan kornea dengan mengurangi edema dan menghindari pelepasan
fokal. Selain itu dapat diberikan agen mukolitik seperti N-acetylcysteine untuk mengurangi
viskositas mukus pada tear film dan melarutkan mukus plak pada kornea. Untuk gejala kronik
seperti mata kering, dapat diberikan siklosporin topikal. Pemberian derivat tetrasiklin oral,
suplemen asam lemak omega-3, azithromycin lokal, dan kebersihan kelopak mata dapat
membantu mengontrol disfungsi kelenjar meibomian. Jika terjadi eksaserbasi akut, dapat
diberikan kortikosteroid topikal, untuk cegah terjadinya komplikasi peningkatan tekanan
intraokular atau katarak. Contohnya seperti metilprednisolon, untuk mengurangi inflamasi pada
keratitis filamentosa yang disebabkan oleh Sjogren’s syndrome dan sika keratokonjungtivitis.
Pemberian NSAID dapat membantu ketidaknyamanan pasien dan juga perbaikan dalam kasus
berat, namun perlu dipertimbangkan pada efek sampingnya yang dapat merusak epitel kornea
pada penderita mata kering. Bandage contact lens digunakan jika penggunaan obat tetes dan
salep mata tidak berdampak pada keratitis filamentosa. Selain itu, bandage contact lens juga
berguna untuk melindungi epitel kornea dari gesekan kelopak mata serta mengurangi ptosis
reaktif.
Tatalaksana non medikamentosa adalah memberi edukasi kepada pasien mengenai
penjelasan singkat tentang keratitis filamentosa. Pasien juga perlu mengetahui bahwa filamen itu
terbentuk karena adanya luka pada epitel kornea dan juga kelebihan mukus pada mata,
kurangnya akueus air mata, sehingga membutuhkan pengobatan kronik. Inilah alasan mengapa
sensasi benda asing kambuh setelah diobati. Pasien juga dijelaskan mengenai gejala-gejala yang
ditimbulkan dari keratitis filamentosa, seperti nyeri yang diperparah saat berkedip, fotofobia,
kedutan pada kelopak mata.
Selain itu, dapat juga dilaksanakan operasi pada keratitis filamentosa, yakni dengan
debridemen filamen. Filamen disingkirkan dengan menggunakan mikroskop slit lamp dengan
anestesi topikal dan forsep. Setelah operasi, perlu diberikan antibiotik topikal selama beberapa
hari. Penggunaan pressure patch dengan salep pelumas atau bandage contact lens dapat
mengurangi ketidaknyamanan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Khurana, A. K. (2007). Comprehensive Ophthalmology, 4th Edition (4th ed.). Anshan


Publishers.
2. Faao, R. L. O. M. A., & Goodwin, D. (2011). Clinical Anatomy and Physiology of the
Visual System (3rd ed.). Butterworth-Heinemann.
3. Ilyas S,dkk. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak. Dalam : Ilyas S. Ilmu
Penyakit Mata. Edisi keempat. Jakarta :Balai Penerbit FKUI ; 2013. H 147-78.
4. Davidson RS, Mannis MJ. Filamentary Keratitis. In: Krachmer JH, Mannis MJ, Holland
EJ, editors. Cornea. Vol 1. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier/Mosby; 2011. P. 1093-96.
5. Chen, S., Ruan, Y., & Jin, X. (2016). Investigation of the clinical features in filamentary
keratitis in Hangzhou, east of China. Medicine, 95(35), e4623.
https://doi.org/10.1097/MD.0000000000004623
6. Pavan-Langston D. Cornea and External Disease. Dalam: Pavan-Langston D. Manual of
Ocular Diagnosis and Therapy. Edisi kelima. Philadelphia; Lippincott Williams &
Wilkins; 2002. H 67-129.
7. Mannis T, Bernfeld E, Hossain K, Woodward MA. Filamentary Keratitis. AAO. 2020.
[diunduh 12 Juli 2020]. Sumber: https://eyewiki.aao.org/Filamentary_Keratitis.
8. Roat M.I. Keratoconjunctivitis sicca. MSD Manual Professional Version. 2020. [diunduh
11 Juli 2020]. Sumber: https://www.msdmanuals.com/professional/eye-disorders/corneal-
disorders/keratoconjunctivitis-sicca?query=keratoconjunctivitis%20sicca.
9. Erica B. Filamentary Keratitis. AAO. 2020. [diunduh 12 Juli 2020]]. Sumber:
https://eyewiki.aao.org/Filamentary_Keratitis#Pathophysiology
10. American International Medical University. Filamentary Keratitis: Symptoms, Causes
and management. 2017. [diunduh 13 Juli 2020]. Sumber:
https://www.aimu.us/2017/08/20/filamentary-keratitis-symptoms-causes-and-
mangement/
11. Kabat AG, Sowka JW. Fighting FIlamentary Keratitis. Review of Optometry. 2015.
[diunduh 12 Juli 2020]. sumber: https://www.reviewofoptometry.com/article/fighting-
filamentary-keratitis
12. Van Meter WS, Katz D, Cook BG. Filamentary Keratitis in Diseases of the Ocular
Surface; 2016; (2): p213-15

Anda mungkin juga menyukai