Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


KETOASIDOSIS DIABETIKUM ET CAUSA ABSES PERIANAL

Oleh:
Aselia Amblin Pokatong
01073180095

Pembimbing :
dr. Jeremia Immanuel Siregar, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE MARET-JUNI 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE – RSUS SILOAM
TANGERANG
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Nur Farida
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 4 Mei 1976
Umur : 44 tahun
Pekerjaan : Guru
Alamat :-
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Muslim
No. Rekam Medis : 01-00-78-**

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis terhadap pasien pada tanggal
30 Maret 2021 pukul 12.00 di Lantai 8 Siloam Lippo Village

1.2.1 Keluhan utama


pasien datang dengan keluhan lemas sejak malam hari SMRS

1.2.2 Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang dengan keluhan benjolan pada kedua bokong pasien 1
minggu SMRS. Pasien mengatakan benjolan disertai dengan nyeri, kemerahan
dan rasa panas saat disentuh. Nyeri dideskripsikan pasien sebagai rasa perih pada
kedua bokong, tidak menjalar, dirasakan terus menerus dan diperparah apabila
disentuh atau saat BAB. Skala nyeri 7/10. Pasien kemudian mengeluhkan nyeri
yang semakin memberat sejak 2 hari SMRS dan mengeluarkan cairan berwarna
kuning kecoklatan, pasien menyangkal adanya darah.

Pasien juga mengatakan adanya demam 1 hari SMRS namun tidak sempat
diukur. Pasien mengeluhkan adanya lemas sejak malam SMRS, pasien
menyangkal lemas diperingan atau diperparah oleh aktivitas tertentu, lemas
dirasakan secara terus menerus. Pasien menyangkal adanya sesak nafas, keringat
malam, nyeri dada, nyeri perut, kulit atau mata menjadi kuning, pucat, diare
maupun keluhan sampai pingsan/hilang kesadaran. Pasien mengatakan cairan
keluar lagi dari benjolan saat pagi hari SMRS. Pasien menyangkal adanya keluhan
pada BAB.

Pasien selama ini tidak pernah memeriksakan diri untuk gula darah
sehingga tidak mengetahui adanya riwayat diabetes, dan mengaku baru
mengetahui gula darah meningkat saat masuk rumah sakit. Pasien menyangkal
adanya rasa haus yang lebih dari biasanya, nafsu makan meningkat, penurunan
berat badan. pasien mengaku BAK dalam sehari setidaknya ≥6 kali dan sampai
bangun di malam hari. Pasien mengaku dalam 2 – 3 bulan terakhir tekanan darah
pasien naik-turun pasien berpikir penyebabnya adalah stress dan hanya kadang-
kadang saja saat pasien sedang memeriksa ujian siswa. Saat masuk rumah sakit
tekanan darah pasien 146/75. Pasien tidak mengonsumsi obat darah tinggi.

1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien menyangkal adanya keluhan serupa sebelumnya.

1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengaku ayah pasien memiliki riwayat darah tinggi. Pasien
menyangkal adanya riwayat diabetes dan keluhan serupa dalam keluarga.

1.2.5 Riwayat Pengobatan


Pasien tidak memiliki riwayat konsumsi obat rutin seperti pengobatan
darah tinggi maupun untuk diabetes

1.2.6 Riwayat Kebiasaan


Pasien menyangkal kebiasaan merokok dan minum alkohol. Pasien tidak
memilki kebiasaan tertentu

1.2.7 Riwayat Sosial & Ekonomi


Pasien merupakan seorang guru swasta, pasien sudah berkeluarga dan
tinggal dengan suami dan 3 anaknya. Status ekonomi pasien menegah ke atas.
1.3 Pemeriksaan Fisik
1.3.1 Penilaian Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis ( E4 M6 V5 )

Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 135 x/menit, regular, kuat angkat, simetris
Suhu : 36,2 0C
Laju napas : 18 x/menit, reguler
Sp O2 : 99% dengan O2 ruangan

Status Gizi
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 85 kg
BMI : 33 kg/m2

1.3.2 Status Generalis


Normosefali, deformitas (-)
Kepala
Normofacies
Wajah
Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil Isokor
3mm/3mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya
Mata
tidak langsung (+/+)

Mukosa bibir kering, sianosis (-)


Mulut
Normotia, hiperemis (-/-), secret (-/-)
Telinga
darah atau secret (-/-), deviasi (-), deformitas(-), pernafasan
Hidung cuping hidung (-)

Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)


Tenggorok
Pembesaran KGB (-), tidak ada deviasi trakea
Leher
Inspeksi: pengembangan dada statis dan dinamis simetris,
Paru
bekas operasi (-), retraksi (-), massa(-)
Palpasi: Chest expansion simetris
Perkusi: Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat


Palpasi: iktus kordis tidak teraba, thrill (-), heave (-)
Perkusi: batas jantung kanan ICS IV linea parasternal
Jantung dekstra. Kiri ICS V line midklavikula sinistra; pinggang
jantung ICS II linea parasternalis sinstra
Auskultasi: S1 S2 mumrur (-), gallop (-)

Inspeksi: datar, distensi (-)


Auskultasi: Bising usus (+) normal
Abdomen Palpasi: Supel, nyeri tekan (-), organomegali (-)
Perkusi: Timpani pada seluruh region abdomen

Luka/bekas luka (-), akral hangat, capillary refill time <2


detik, pretibial edema -/-
Ekstremitas Pada bokong terdapat luka paska insisi dan drainase tertutup
verban, rembesan darah (-)

1.4 Pemeriksaan Penunjang


1.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan 26 Maret 2021

Hasil Satuan Nilai Normal

HEMATOLOGI

Hemoglobin 14,40 g/dL 11,70 – 15,50

Hematocrit 45,90 % 35,00 – 47,00

RBC 4,72 10^6/μL 3,80 – 5,20

WBC 16,29 (↑) 10^3/μL 3,60 – 11,00

Differential Count
Basophil 0 % 0-1
Eosinophil 1 % 1-3
Band Neutrophil 3 % 2-6
Segment 77 (↑) % 50 - 70
Neutrophil 14 (↓) % 25 - 40
Lymphocyte 5 % 2-8
Monocyte

Platelet Count 315.00 10^3/μL 150.00 - 440.00

ESR 15 mm/hours 0 - 20

MCV, MCH, MCHC

MCV 97,20 fL 80.00 - 100.00

MCH 30,50 pg 26.00 - 34.00

MCHC 31,40 g/dL 32.00 - 36.00

PT-APTT

Prothrombin Time
Control 10,90 Seconds 9,3 – 12,7
Patient 10,40 Seconds 9,4 –11,3

A.P.T.T
Control 24,00 Seconds 21,3 –28,9
Patient 22,70 Seconds 23,40 – 31,50

BIOCHEMISTRY

Ureum 39,0 mg/dL <50.00

Creatinine 0,91 mg/dL 0.5 - 1.1

eGFR 76,7 mL/mnt/1.73m


2

Blood Random 378,0 (↑) mg/dL <200


Glucose

Electrolytes

Sodium (Na) 135 (↓) mmol/L 137 – 145

Potasium (K) 5,0 mmol/L 3,6 – 5,0


Chloride (Cl) 98 mmol/L 98 – 107

Blood Ketone 4,9 (↑) mmol/L <0,6

Blood Gas Analysis

pH 7,390 7,350 – 7,450

pO2 93,0 mmHg 83 – 108

pCO2 17,2 (↓) mmHg 32,0 – 45,0

HCO3 (-) 10,3 (↓) mmol/L 21,0 – 28,0

Total CO2 10,8 (↓) mmol/L 24,0 – 30,0

Base Excess (BE) -12,3 (↓) mmol/L (-) 2,4 – (+) 2,3

Saturation 97,6 % 95,0 – 98,0

Electrolyte Blood Gas

Sodium (Na+) 142 mmol/L

Potasium (K+) 4,10 mmol/L

Calcium (Ca++) 0,58 mmol/L

Hematocrit 47 %

Tanggal Pemeriksaan 29 Maret 2021

Hasil Satuan Nilai Normal

HEMATOLOGI

Hemoglobin 11,40 g/dL 11,70 – 15,50

Hematocrit 32,90 % 35,00 – 47,00

RBC 3,73 10^6/μL 3,80 – 5,20

WBC 13,26 (↑) 10^3/μL 3,60 – 11,00


Platelet Count 232,00 10^3/μL 150.00 - 440.00

MCV, MCH, MCHC

MCV 88,20 fL 80.00 – 100.00

MCH 30,60 pg 26.00 – 34.00

MCHC 34,70 g/dL 32.00 – 36.00

BIOCHEMISTRY

Albumin 2,72 g/dL 3,50 – 5,20

HbA1C 11,5 % <5,7 Normal


5,7 – 6,4 Prediabetes
>= 6,5 Diabetes mellitus

Blood Gas Analysis

pH 7,450 7,350 – 7,450

pO2 106,0 mmHg 83 – 108

pCO2 24,0 (↓) mmHg 32,0 – 45,0

HCO3 (-) 16,3 (↓) mmol/L 21,0 – 28,0

Total CO2 17,1 (↓) mmol/L 24,0 – 30,0

Base Excess (BE) -6,5 (↓) mmol/L (-) 2,4 – (+) 2,3

Saturation 98,5 % 95,0 – 98,0

Electrolyte Blood Gas

Sodium (Na+) 139 mmol/L


Potasium (K+) 3,76 mmol/L

Calcium (Ca++) 0,35 mmol/L

Hematocrit 26 %

Blood Ketones 1,4 (↑) mmol/L <0,6

1.4.2 Pemeriksaan Radiologis


CT Thorax tanpa Kontras IV
Tanggal Pemeriksaan 26 Maret 2021
Kesimpulan :
- Tidak tampak ground glass opacity/ crazy paving pattern pada kedua paru
saat ini yang mencurigakan gambaran viral pneumonia
- Fibrosis pada apex paru kanan
- Fibrosis pada segmen 3,5,8,10 paru kanan
- Tidak tampak efusi pleura, pembesaran kelenjar getah bening maupun
SOL / massa Paru – Mediastinum

1.5 Resume
Pasien perempuan usia 44 tahun datang dengan keluhan lemas sejak
malam hari SMRS . pasien memiliki benjolan pada kedua bokong sejak 1 minggu
SMRS yang disertai nyeri, kemerahan dan rasa panas. 2 hari SMRS nyeri
diperberat dan keluar cairan berwanra kuning kecoklatan dari benjolan. Cairan
keluar lagi pada pagi hari SMRS Pasien juga mengeluhkan adanya demam 1 hari
SMRS. Pasien tidak pernah mengetahui adanya riwayat diabetes mellitus dan baru
mengetahui gula darah meningkat saat masuk rumah sakit. Pasien BAK ≥6 kali
sehari sampai bangun di malam hari. Tekanan darah pasien 2 – 3 bulan terakhir
naik namun pasien tidak mengonsumsi obat. Tekanan darah saat masuk RS
146/75. Pasien mengaku Ayah pasien memiliki riwayat darah tinggi. Pemeriksaan
fisik didapatkan pasien Obesitas
Hasil laboratorium menunjukkan adanya infeksi bakteri yang ditandai
leukositosis disertai shift to the right. Selain itu terdapat hiperglikemia dengan
HbA1C meningkat, ketonemia serta hiponatremia. berdasarkan analisa gas darah
didapatkan pasien asidosis metabolik.

1.6 Daftar Masalah


1. Ketoasidosis Diabetikum
2. Abses Perianal
3. Hipoalbuminemia
4. Hiponatremia ringan
5. Diabetes Mellitus tidak terkontrol
6. Hipertensi

1.7 Daftar Masalah


1. Ketoasidosis diabetikum
Atas dasar:

- Pasien mengeluhkan lemas sejak 1 hari SMRS


- Pasien memiliki sumber infeksi berupa abses perianal. Keluhan pasien
berupa benjolan yang mengeluarkan cairan kuning kecoklatan 2 hari
SMRS dan adanya demam 1 hari SMRS.
- Pasien tidak kontrol gula darah karena tidak mengetahui.
- Pemeriksaan fisik didapatkan luka paska insisi dan drainase tertutup
verban
- Pemeriksaan lab didapatkan GDS 378; Ketone 4,89; dan asidosis
metabolic dengan anion gap 26,7.
Dipikirkan:

Pasien mengalami Ketoasidosis Diabetikum (KAD) yang disebabkan


adanya pemicu berupa infeksi yaitu abses perianal, karena pasien memiliki
keluhan benjolan yang mengeluarkan cairan kuning kecoklatan 2 hari SMRS,
yang kemudian disertai demam dan lemas 1 hari SMRS. pasien tidak kontrol gula
darah karena tidak mengetahui. Pasien kemudian saat diperiksa kadar gula darah
didaparkan 378 mg/dL, adanya peningkatan keton dalam darah sebesar 4,89 dan
keadaan asidosis metabolic dengan anion gap 26,7.

Rencana diagnositik:

- GDS per 15 menit


- EKG
- X-ray Thorax
- AGD
Rencana Terapi:

- Non Medikamentosa
 Rawat ruang biasa
 Pemberian cairan → NaCL 0,9% 250-500 ml/jam atau 4-14
ml/kgBB/jam
 kalium 3-5 mEq →20-30mEq/L untuk jaga kadar kalium
- Medikamentosa
 Insulin bolus IV → 0,1 U/kgBB = 8,5 U → lanjut 8,5 U / jam

2. Abses Perianal
Atas Dasar:

- Pasien memiliki keluhan benjolan pada kedua bokong sejak 4 hari SMRS
yang disertai nyeri, kemerahan dan rasa panas saat disentuh
- Benjolan mengeluarkan cairan berwarna kuning kecoklatan 2 hari SMRS
- Pasien juga memiliki demam sejak 1 hari SMRS
- Riwayat diabetes tidak terkontrol
- Pemeriksaan fisik: didapatkan luka paska insisi dan drainase tertutup
verban
- Leukositosis dan shift to the right
Dipikirkan:

Pasien memiliki abses perianal karena berdasarkan anamnesis adanya


benjolan kemerahan terasa panas, adanya nyeri dan keluar cairan berwarna kuning
kecoklatan. Pasien juga sempat mengalami demam. pasien memiliki riwayat
diabetes tidak terkontrol yang dapat menjadi faktor risiko. Pada pemeriksaan fisik
pasien didapatkan luka paska insisi dan drainase tertutup verban. Pada
pemeriksaan penunjang terdapat leukositosis dan shift to the right.

Rencana Diagnosis:

- Kultur pus
Rencana Terapi

- Non medikamentosa

 Insisi dan drainase  konsul Sp.B

- Medikamentosa

 Antibiotik empiris → Ceftriaxone IV 2gr 2dd1 dan Metronidazole IV


500mg 3dd1

3. Hipoalbuminemia
Atas dasar:

- Hasil Lab Albumin 2,72 g/dL


Dipikirkan:

Berdasarkan hasil laboratorium pasien didapatkan serum natrium pasien


sebanyak 2,72 g/dL.

Rencana Diagnostik:

- (-)
Rencana Terapi:

- FFP 200 ml/hari golongan B+

4. Hiponatremia
Atas dasar:

- Lemas sejak 1 hari SMRS


- Lab Natrium 135
Dipikirkan:

Berdasarkan hasil laboratorium pasien didapatkan serum natrium pasien


sebanyak 135 yang masuk ke dalam kategori ringan.

Osmolalitas Plasma = 2(Na) +(Glucose/10)+(Ur/16)

= 2(135)+ (378/10)+(39/16)

= 270 +37,8 + 2,4375 = 310,28 (↑)  Normal 275-290

Rencana Diagnostik:

- Urine Sodium
-
Rencana Terapi:

- NaCl 0,9% 500ml/8 jam


- Na deficit  0,6 x BB x (target Na –Plasma Na)
= 0,6 x 85 x (137 – 135)
= 102 mEq  natrium yang dibutuhkan, dalam 500ml Nacl
0,9% = 153mEq

5. Diabetes Mellitus Tipe 2 tidak terkontrol


Atas dasar:

- Pasien tidak minum obat karena tidak mengetahui adanya riwayat diabetes
- Pasien BAK ≥6 kali sampai terbangun di malam hari
- Pemeriksaan fisik didapatkan IMT pasien 33 kg/m2
- GDS 378, HbA1C 11,5
Dipikirkan:

Pasien memilki diabetes mellitus yang tidak terkontrol karena pasien tidak
mengetahui sebelumnya dan baru diketahui pada saat masuk rumah sakit. Keluhan
klasik diabetes mellitus berpa 3P (poliuria, polidipsia, polifagia) pada pasien
keluhan klasik yang didapatkan pada pasien beruka BAK sering ≥6 kali hingga
pasien bangun di malam hari. Pasien juga memiliki faktor risiko obesitas dimana
IMT pasien didapatkan 33 kg/m2 yang termasuk kategori obesitas II. Hasil GDS
pasien didapatkan >200 dan HbA1C pasien didapatkan >6,5 yang menandakan
pasien sudah setidaknya mengalami hiperglikemia dalam 3 bulan terakhir.

Rencana Diagnosis:

- Pantau GDS
- Cek HbA1C setiap 3 bulan
Rencana Terapi:

- Non-medikamentosa
 Edukasi pasien mengenai penyakit DM, keteraturan minum obat,
pemantauan secara berkala, dan komplikasi yang dapat terjadi

 Modifikasi gaya hidup  menurunkan berat badan

 Nutrisi  Berat Badan Ideal 90% x (160-100) x 1kg = 54kg

Kebutuhan kalori pasien (perempuan) = 25 kal/kgBB = 1350 kal  +


10% = 1485 kal
Usia pasien 44 tahun  dikurangi 5% = 1410,75 kal
Pasien seorang Guru  tambah 20% = 1692,9 kal
Pasien paska-debridement  tambah 10% = 1862,19 kal
Pasien gemuk  dikurangi 20% = 1489,75 kal/hari
Pembagian kalori dalam sehari
Pagi  20% = 297,95 kalori
Siang  30% = 446,993 kalori
Malam  25% = 372,44 kalori
Snack 2x  10% = 148,97 kalori
Karbohidrat 45-65%; Lemak 20-25%; Natrium <1500mg per hari;
serta 20-35 gram per hari.
- Medikamentosa
 Evaluasi setelah rawat inap
 Insulin prandial 0,05 U/kgBB → 4,25 U , 3 kali sehari sebelum makan

6. Hipertensi
Atas dasar:
- Pasien mengatakan 2 – 3 bulan terakhir tekanan darah pasien naik
- Saat masuk rumah sakit teknana darah pasien 145/75
Dipikirkan:

Pasien berdasarkan JNC-8 masuk kategori hipertensi stage I dengan


mengetahui tekanan darah pasien saat masuk rumah sakit yaitu 145/75. Pasien
mengetahui tekanan darah tinggi dalam 2-3 bulan terakhir namun pasien tidak
mengonsumsi obat.

Rencana Diagnostik:

- (-)
Rencana Terapi:

Non-medikamentosa: intervensi gaya hidup

Medikamentosa: target tekanan darah <130/90, bila tidak tercapai dengan


intervensi gaya hidup, inisiasi lini pertama antihipertensi oral  Amlodipin 5mg
1x1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Ketoasidosis diabetic (KAD) adalah salah satu komplikasi akut diabetes
yang didefinisikan sebagai sebuah triad yang terdiri dari, hiperglikemia, asidosis
metabolik, dan ketonemia. Selain itu, osmolaritas plasma dapat meningkat dan
adanya peningkatan anion gap.1,2 Gangguan metabolik ini merupakan hasil dari
kombinasi defisiensi insulin absolut atau relatif dan adanya peningkatan hormon
kontra-regulasi berupa glukagon, katekolamin, kortisol dan hormone pertumbuhan.
Ketoasidosis diabetic umumnya terjadi pada pasien dengan diabetes tipe 1, namun
dapat juga terjadi pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang sedang mengalami
stress katabolik karena suatu penyakit akut.3

3.2 ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Ketoasidosis diabetik (KAD) umumnya terjadi pada pasien dengan
diabetes mellitus yang seringkali berhubungan dengan defisiensi insulin relatif.
KAD lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes tipe 1, namun 10 – 30%
kasus terjadi pada pasien dengan diabetes tipe 2. KAD itu sendiri dapat
disebabkan oleh timbulnya stress fisiologik atau dapat berupa manifestasi klinis
pada pasien yang belum pernah terdiagnosis diabetes sebelumnya.4 Penyebab
lainnya yang dapat memicu terjadinya KAD berupa adanya infeksi atau penyakit
akut seputar sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinal, gangguan aksis
endokrin, dan gangguan termoregulasi atau tindakan operasi. Obat-obatan berupa
diuretik, beta-blocker, kortikosteroid, anti-psikotik generasi kedua, anti-
konvulsan, sodium-glucosecotransporter-2 (SGLT) inhibitors dan/atau inhibitor
checkpoint imun juga dapat memicu KAD.5

Infeksi menjadi faktor pencetus paling sering untuk KAD, namun


beberapa penelitian mendapatkan bahwa penghentian atau kurangnya dosis insulin
juga menjadi faktor pencetus yang penting. Infeksi yang paling sering ditemukan
adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih yang mencakup 30-50% kasus.
Penyakit lainnya yang dapat memicu KAD berupa penyalahgunaan alkohol,
trauma, infark miokard dan emboli paru.6

Tabel 1. Faktor-faktor pencetus KAD6


Faktor Pencetus Kasus
Infeksi 19-56%
Penyakit kardiovaskular 3-6%
Insulin inadekuat/stop 15-41%
Diabetes awitan baru 10-22%
Penyakit medis lainnya 10-12%
Tidak diketahui 4-33%

3.3 PATOFISIOLOGI KETOASIDOSIS DIABETIK


Glukosa merupakan subtrat berbasis karbon yang utama dalam darah
untuk produksi adenosis triphosphate (ATP), yang merupakan bahan energi untuk
sel tubuh setelah glukosa dimetabolisasi selama glikolisis, siklus krebs dan rantai
transpor elektron. Benda keton adalah bahan dari lemak yang digunakan oleh
jaringan saat ketersediaan glukosa terbatas. Benda keton yang digenerasi oleh
hepar umumnya terstimulasi oleh kombinasi level insulin yang rendah dan level
hormon kontra-regulasi yang tinggi, seperti glukagon.

Level insulin yang rendah dapat ditemukan pada defisiensi insulin absolut
atau relatif pada diabetes tipe 1; atau defisiensi relatif dengan resisten insulin pada
diabetes tipe 2.4 Defisiensi insulin, meningkatnya hormon kontra-regulasi insulin
(kortisol, glukagon, growth hormone dan katekolamin) dan resisten insulin perifer
dapat menyebabkan hiperglikemia, dehidrasi, ketosis dan electrolyte imbalance
yang mendasari patofisiologi dari KAD. Hiperglikemia pada KAD terjadi melalui
akselerasi glukoneogenesis, glikogenolisis dan menurunnya pemanfaatan glukosa
yang disebabkan defisiensi insulin absolut.5

Kombinasi defisiensi insulin dan meningkatnya hormon kontra-regulasi


pada KAD dapat menimbulkan pelepasan free fatty acids ke dalam sirkulasi dari
jaringan adiposa (lipolisis) dan untuk hepatic fatty acid yang bebas dioksidasi
dalam liver menjadi benda keton (beta-hydroxybutyrate dan acetoacetate), yang
kemudian dapat mengakibatkan ketonemia dan asidosis metabolik.3

Meningkatnya hormon kontra-regulasi berkontribusi terhadap akselerasi


glukogenesis, glikogenolisis dan gangguan pemanfaatan glukosa oleh jaringan
perifer dan mengakibatkan KAD. Glukagon adalah hormon kontra-regulasi utama
yang berperan dalam timbulnya KAD. Glukagon mengakselerasi terjadinya
ketonemia dan hiperglikemia pada kondisi defisiensi insulin, namun tidak esensial
dalam terjadinya KAD. selain terjadinya produksi berlebih dari benda keton,
pembersihannya juga menurun pada KAD.

Enzim glukoneogenik pada liver berupa fructose 1,6-bisphosphatease,


phosphoenolpyruvate carboxykinase (PEPCK), glucose-6-phosphatase, dan
pyruvate carboxylase distimulasi oleh peningkatan rasio glukagon dan insulin
serta peningkatan konsentrasi kortisol. Mekanisme utama dari hiperglikemia pada
ketoasidosis berupa glukoneogenesis di hepar, namun glukoneogenesis di ginjal
juga ikut berperan.

Osmotik diuresis merupakan hasil dari hiperglikemia dan tingginya


konsentrasi benda keton dalam sirkulasi, yang kemudian dapat berakhir menjadi
hipovolemia dan menurunnya laju filtrasi glomerular. Osmotik diuresis membantu
keluarnya sodium, potassium, calcium, magnesium, chloride dan phosphate yang
akan menghasilkan terjadinya abnormalitas elektrolit yang berhubungan dengan
KAD. Kehilangan volum secara progresif dapat mengakibatkan menurunnya laju
filtrasi glomerular, dengan berlanjutnya pembersihan glukosa dan benda keton
yang menurun, dapat berkontribusi terhadap hiperglikemia, hiperosmolalitas dan
asidosis metabolik.1
Gambar 1. Patogenesis Ketoasidosis Diabetik1

Gambar 2. Patogenesis KAD dan HHS: stres, infeksi atau insulin


insufisiensi.3
Terdapat bukti-bukti yang mengindikasikan bahwa kondisi hiperglikemia
pada pasien dengan krisis hiperglikemia berhubungan dengan fase inflamasi berat
yang dikarakteristikan dengan adanya peningkatan sitokin proinflamasi (tumor
necoris factor-alpha dan interleukin-beta, -6, -8), c-reactive protein, reactive
oxygen species dan peroksidasi lipid, juga faktor risiko kardiovaskular,
plasminogen activator inhibitor-1 dan free fatty acids pada kondisi yang tidak
ditemukan adanya infeksi atau patologi kardiovaskular.3

3.4 DIAGNOSIS
Diagnosis ketoasidosis diabetik bergantung pada pendekatan anamnesis,
tanda-tanda klinis, analisa gas darah dan ketonuria. Manifestasi klinis KAD
seringkali tidak spesifik. Gejala umum yang dikeluhkan pasien berupa nyeri
abdomen, mual, muntah, dan trias klasik dari hiperglikemia yaitu: polidipsia,
polifagia, dan poliuria. Selain itu dapat juga dikeluhkan adanya bau napas seperti
buah karena adanya kelebihan aseton. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
takikardia, hipotensi, pernapasan Kussmaul dan dehidrasi (mukosa mulut kering,
turgor kulit menurun dan capillary refill). Dengan bertambah parahnya
hiperglikemia dan asidosis, dapat muncul manifestasi neurologis seperti
perubahan status mental (confusion, stupor, koma). 7,8

Pasien yang memiliki penyebab pemicu KAD dapat mengeluhkan


keluhan yang berhubungan. Pasien dengan infeksi miokard dapat mengeluhkan
gejala angina, atau manifestasi klinis infeksi lainnya seperti pneumonia atau
infeksi saluran kemih. Namun tanda dan gejala infeksi dapat bertumpang tindih
dengan gejala KAD seperti frekuensi BAK dan dispneu. Selain itu, pasien dengan
KAD dan infeksi sebagai faktor yang memicu dapat datang tanpa keluhan demam.
Hal ini dipikirkan karena adanya vasodilatasi perifer dan kurangnya insulin untuk
memindahkan glukosa ke dalam otot untuk membantu termoregulasi. 8

Tabel 2. Kriteria Diagnosis menurut American Diabetes Association 8

Indikator Ringan Sedang Berat


Serum glukosa >250 >250 >250
(mg/dL)
Serum pH 7,25-7,30 7,00-7,24 <7,00
Serum bikarbonat
15-18 10-14 <10
(mEq/L)
Ketonuria/Ketonemia (+) (+) (+)
Β-hydroxybutyrate >3,0 >3,0 >3,0
Anion gap >10 >12 >12
Mental status Sadar Sadar/mengantuk Stupor/koma

Diagnosis KAD didasari oleh adanya triad metabolik yaitu hiperglikemia


dengan gula darah > 250mg/dL; asidosis dengan pH darah <7,3; dan adanya keton
dalam darah atau urin.7,8 Klasifikasi KAD berdasarkan American Diabetes
Association (ADA) dibagi menurut keparahan dengan melihat penemuan
laboratorium yang dapat dilihat pada tabel 2.

Selain pemeriksaan gula darah, analisa gas darah, dan keton, perlu
diperiksa juga elektrolit, fosfat, blood urea nitrogen (BUN), dan kreatinin;
urinalisis; pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis; dan EKG. Level
potassium dapat berkurang atau normal pada pasien dengan KAD. Level
potassium inisial kurang dari 3,3 mEq/L yang menunjukkan adanya hipokalemia.
Level amliase dan lipase dapat meningkat pada pasien KAD, bahkan tanpa adanya
pankreatitis. Leukositos dapat terjadi tanpa adanya infeksi, peningkatan neutrofil
batang lebih akurat memprediksi adanya infeksi. Pemeriksaan foto x-ray toraks,
urinalisis dan kultur darah perlu ditambahkan untuk mengevaluasi infeksi.
Penemuan laboratorium lainnya dapat berupa peningkatan hemoglobin,
peningkatan level transaminase hepatik, peningkatan kreatinin kinase dan level
troponin tanpa adanya kerusakan miokard. Pemeriksaan level HbA1C
9
mengindikasikan derajat kontrol glikemik pada pasien dengan diabetes.
3.5 TATALAKSANA
Tujuan tatalaksana ketoasidosis diabetik berupa restorasi volume cairan;
resolusi dari hiperglikemia dan ketosis/acidosis; koreksi gangguan elektrolit; dan
terapi penyebab mendasari dan mencegah komplikasi. 10
Terapi inisial dari ketoasidosis diabetik yang paling utama berupa terapi
cairan, dimana tujuan dari pemberian cairan ialah mengembalikan volume
sirkulasi, mengeluarkan benda keton dan mengoreksi gangguan elektrolit yang
disebabkan oleh perubahan cairan yang terjadi karena dehidrasi.7 Pemberian
cairan intravena perlu diberikan secepatnya setelah mengetahui status dehidrasi
pasien. Umumnya diberikan cairan salin 0,9% 15-20mL/kgBB/jam, atau 1 L/jam.
Selama pemberian cairan perlu dimonitor status cairan, status kardiak, produksi
urine, tekanan darah dan level elektrolit. Ketika pasien sudah stabil, maka cairan
dapat diturunkan menjadi 4-14mL/kgBB/jam atau 250-500ml/jam. Apabila
terdapat perubahan konsentrasi sodium yang sudah terkoreksi (normal atau
meningkat lebih dari 135mEq/L), maka solusi cairan dapat diganti menjadi salin
0,45%, bila kadar serum sodium terkoreksi rendah maka dapat diberikan salin
isotonic dengan laju yang sama. Dekstrosa dapat diberikan apabila level glukosa
menurun hingga 200mg/dL.6,9 Pergantian cairan harus memperbaiki defisit cairan
dengan perkiraan waktu 24 jam pertama. Target pergantian cairan sebesar 50%
dari kekurangan cairan dalam 8-12 jam pertama kemudian sisanya dalam 12-16
jam berikutnya.11 Setelah fungsi ginjal yang telah dinilai dan terjaga dengan baik,
maka cairan infus harus ditambahkan 20-30mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3
KPO4), sampai pasien stabil dan dapat menerima suplementasi oral. Setelah
pergantian cairan diperbaiki, perubahan osmolalitas serum tidak boleh melebihi 3
mOsm/kg H2O/jam.6
Gambar 3. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik9

Koreksi hiperglikemia kemudian dilanjutkan dengan menambahkan


insulin pada cairan intravena 1-2 jam setelah pemberian cairan. Jika pasien tidak
mengalami hipokalemia yaitu kadar serum kalium <3,3mEq/L maka dapat
diberikan inisial berupa bolus 0,15 U/kgBB yang diikuti dengan infus kontinu
insulin reguler 0,1 U/kgBB/jam. Bila pasien mengalami hipokalemia maka perlu
dikoreksi terlebih dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang dapat
mengakibatkan aritmia jantung. Umumnya penurunan gula darah dengan insulin
dosis rendah berupa 50-75mg/dL/jam. Jika pada jam pertama tidak ada penurunan
gula darah sebesar 50mg/dL maka perlu cek status hidrasi pasien. Bila status
hidrasi mencukupi maka infus insulin dinaikan 2 kali lipat setiap jam hingga
tercapai penurunan konstan. Apabila kadar glukosa darah sudah menurun hingga
200 mg/dL maka laju infus insulin dapat diturunkan menjadi 0,05-0,1
U/kgBB/jam dan ditambahkan infus dekstrosa 5-10%. Pemberian infus 0,14
U/kgBB /jam direkomendasikan bila tidak terdapat bolus. Insulin subkutan dapat
menjadi alternatif yang efektif untuk pasien dengan KAD tanpa komplikasi.9,11
Pemberian insulin akan menurunkan kadar hormone glukagon, yang dapat
menekan produksi benda keton di hati, pelepasan free fatty acids dari jaringan
lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utlisasi
glukosa oleh jaringan.11 Kriteria resolusi KAD berupa kadar gula darah
<200mg/dL; serum bikarbonat ≥18mEq/L, pH vena >7,3; dan anion gap ≤12
mEq/L.

Pada pemberian terapi insulin, koreksi asidosis dan ekspansi volume dapat
menurunkan konsentrasi serum kalium. Sehingga untuk mencegah hipokalemia,
dilakukan penggantian kalium apabila kadar serum kalium di bawah 5,5 mEq/L
dengan asumsi produksi urin adekuat. Umumnya pemberian 20-30 mEq/L kalium
(2/3 KC dan 1/3 KPO4) untuk setiap liter cairan infus mencukupi untuk
mempertahankan kadar serum kalium 4-5 mEq/L. namun apabila pasien dengan
KAD didapatkan menglami hipokalemia yang signifikan, maka diberikan terapi
KCl 40mEq/L dan pemberian insulin ditunda sampai kadar kalium terkoreksi
lebih dari 3,3 mEq/L untuk mencegah terjadinya aritmia, henti jantung dan
kelemahan otot pernapasan. Terapi kalium tidak dapat dilakukan apabila tidak
6,11
ada produksi urin, adanya kelainan ginjal atau kadar kalium > 6 mEq/L.

Asidosis metabolik terjadi karena hiperglikemia yang memicu peningkatan


pemecahan free fatty acids yang kemudian memproduksi badan keton ketika
termetabolisasi.7 Koreksi asidosis metabolik menggunakan bikarbonat masih
kontroversial dan tidak secara rutin direkomendasikan. Pada pH darah >7
pemberian insulin menghambat lipolisis dan asidosis mengalami perbaikan tanpa
dibutuhkan bikarbonat. Terapi bikarbonat dapat diberikan pada pasien KAD
dewasa dengan pH darah arteri <7. Pasien dengan pH darah arteri 6,9 – 7
diberikan sodium bikarbonat 50 mmol dalam 200 mL air bidestilata dengan 10
mEq KCl diberikan selama 1 jam hingga pH mencapai >7. Bila pH <6,9
direkomendasikan pemberian sodium bikarbonat 100 mmol dalam 400 mL air
bidestilata (solusi isotonik) dengan 20 mEq KCL diberikan dengan laju 200
mL/jam selama 2 jam hingga pH mencapai >7. 6,10

Level fosfat dapat meningkat atau normal, namun dapat menurun dengan
pemberian terapi insulin karena fosfat masuk ke ruang intraseluler. Pemberian
fosfat direkomendasikan apabila level fosfat menurun di bawah 1,0 mg/dL atau
ketika terjadi komplikasi. Walaupun beberapa penelitian tidak menemukan
keuntungan dari penggantian fosfat, namun defisiensi fosfat dihubungkan dengan
adanya kelelahan otot, rabdomiolisis, hemolisis, gagal nafas, dan aritmia. Selain
itu, KAD dapat menghasilkan penurunan pada kadar magnesium, yang dapat
mengakibatkan paresthesia, tremor, spasm otot, kejang, dan aritmia. Sehingga
perlu diberikan hanya bila turun di bawah 1,2 mg/dL atau terdapat gejala
hipomagnesium. 9

Tatalaksana lainnya yang dapat dilakukan berupa pemantauan EKG


kontinu mempertimbangkan adanya risiko hipo- atau hiperkalemia. Pemasangan
tabung nasogastrik pada pasien dengan kesadaran yang menurun karena risiko
gastroparesis dan aspirasi. Pemasangan kateter urin dengan pertimbangan
penurunan kesadaran atau bila pasien tidak dapat mengeluarkan urin setelah 4 jam
pemberian terapi. Selain itu pemantauan vena sentral dapat dipertimbangkan juga
pada pasien tua atau dengan keadaan gagal jantung.

3.6 PROGNOSIS
Prognosis pada pasien dengan ketoasidosis diabetik yang diterapi
didapatkan hasil yang baik terutama pada pasien muda yang tidak ditemukan
infeksi. Prognosis yang buruk didapatkan pada pasien berusia lanjut dengan
penyakit lain yang parah seperti infak miokard, sepsis atau pneumonia, terutama
pada pasien yang dirawat diluar unit intensif. Mortalitas pada penyakit
ketoasidosis diabetic sebesar 0,2 – 2%. Adanya keadaan koma saat diagnosis,
hipotermia dan oliguria menjadi tanda-tanda prognosis yang buruk.12

3.7 GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM DAN BASA


Gangguan keseimbangan asam dan basa diklasifikasikan berdasarkan
adanya asidosis atau alkalosis, dan mempertimbangkan penyebab utama yaitu
secara metabolik atau respiratorik. Mengidentifikasi gangguan asam-basa perlu
dilakukan secara sistematis dengan melihat pH (7,35 – 7,45), PaCO2 (35-45
mmHg), PaO2 (80-100 mmHg), HCO3- (22-26 mEq/L) dan base excess (BE) (-)2
– (+)2. Setelah menentukan gangguan asam-basa, kemudian dapat menilai derajat
kompensasi dari gangguan asam-basanya.13
Tabel 3. Respon Kompensasi14

3.7.1 Asidosis Metabolik


Asidosis metabolik dapat terjadi antara lain karena retensi dari asam non-
volatil atau hilangnya HCO3-. Penemuan hasil laboratorium berupa pH rendah dan
kadar HCO3- rendah. Penyebab asidosis metabolik dapat dibagi menjadi 2
kategori, yaitu: AG (Anion Gap) dan non-AG (Non-Anion Gap). Hanya terdapat
beberapa faktor penyakit atau obat-obatan yang dapat menyebabkan asidosis
metabolik dengan AG, yang mana dapat diingat dengan singkatan MUDPILES:
Methanol, Uremia, Diabetic ketoacidosis, Paraldehyde, Isoniazid dan Iron, Lactic
Acid, Ethylene glycol dan Ethanol-induced ketoacidosis, serta Salicylates. Tubuh
akan berusaha mempertahankan keseimbangan asam-basa atau kompensasi
melalui pembuangan asam. Hal ini dapat terjadi dengan mengeluarkan asam
karbonat sebagai CO2, dengan harapan hasil kompensasi beurpa reduksi pada
PaCO2 yang ditandain dengan meningkatnya respirasi. 14

3.7.2 Alkalosis Metabolik


Alkalosis metabolik adalah kondisi patofisiologik yang mengakibatkan
adanya peningkatan dari HCO3- atau hilangnya H+ dari cairan ekstraseluler.
Berdasarkan hasil laboratorium alkalosis metabolik berupa peningkatan serum pH
dan serum HCO3 -. Alkalosis metabolic dibagi menjadi 2 tipe, yaitu: responsive
terhadap klorida dan tidak responsive terhadap klorida. Pada kasus-kasus berat,
pasien dengan alkalosis metabolik dapat datang dengan letargi, kebingungan,
aritmia kardiak, dan spasme otot. Tata laksana pada tipe responsive terhadap
klorida berupa penggantian Cl- yang dapat diperoleh dari NaCl atau KCl,
sedangkan untuk tipe yang tidak responsive terhadap klorida dapat dilakukan
koreksi untuk hypokalemia.

Tabel 4. Penyebab Alkolosis Metabolik14

Alkalosis Responsif Klorida Alkalosis tidak Responsif Klorida


Muntah Cushing’s syndrome

Nasogastric suctioning Steroid eksogen

Riwayat penggunaan loop diuretik atau Meningkatnya renin/aldosterone


thiazide
Konsumsi licorice
Post-hiperkapnia
Gitelman’s syndrome
Kistik fibrosis
Barter’s syndrome

Penggunaan loop diuretic atau thiazide

Refeeding syndrome

3.7.3 Asidosis Respiratorik


Asidosis respiratorik dapat terjadi karena hasil langsung dari hipoventilasi
atau ketidakmampuan paru-paru untuk mengekskresikan CO2 selama produksi
berlangsung, sehingga mengakibatkan adanya peningkatan PaCO2 (hiperkapnia).
Asidosis respiratorik dapat terjadi karena adanya kondisi akut dan kronik seperti
gangguan kontrol respiratorik sentral, menurunnya pergantian gas, obstruksi jalan
napas, obat-obatan, atau disfungsi neuromuskular. Peningkatan PaCO2 yang akut
dapat muncul manifestasi neurologi seperti nyeri kepala dan kebingungan, serta
berpotensi mengakibatkan stupor dan koma bila tidak diterapi. Tata laksana
asidosis respiratorik difokuskan pada kondisi yang mendasari, namun tujuan tata
laksana dapat berbeda tergantung pada tingkat penurunan respirasi yang kronis.
Pasien dengan manifestasi hipoksemia (PaO2 <4mmHg) yang mengancam nyawa
perlu diberikan suplementasi oksigen . 14
3.7.4 Alkalosis Respiratorik
Alkalosis respiratorik ditandai dengan adanya hiperventilasi atau kelebihan
eliminasi CO2 melalui ekspirasi. Penyebab alkalosis respiratorik dapat terjadi dari
berbagai penyebab akut maupun kronik. Umumnya pasien akan datang dengan
keluhan dispneu, nyeri dada, palpitasi, dan yang jarang dikeluhkan berupa mual
dan muntah. Tata laksana alkalosis respiratorik difokuskan pada penyebab yang
mendasari. Sama halnya dengan asidosis respiratorik, pemberian terapi
suplementasi oksigen perlu dipertimbangkan pada pasien yang datang dengan
hipoksia.
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien atas nama Ny. N usia 44 tahun, berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis berupa
ketoasidosis diabetik ec abses perianal, hiponatremia ringan, diabetes mellitus
tidak terkontrol dan hipertensi.

Pasien dapat dikatakan mengalami ketoasidosis diabetik karena pasien


memenuhi triad yang terdapat pada KAD yaitu, pasien hiperglikemia dengan nilai
serum gula darah 378 mg/dL; ketone dalam darah pasien juga meningkat atau
disebut ketonemia, pada pasien didapatkan sebesar 4,89; dan pasien mengalami
asidosis metabolic dengan anion gap, dimana dapat dinilai dari analisa gas darah
pasien yang didapatkan pH normal dengan pCO2, HCO3-, dan BE menurun.
Setelah anion gap dihitung didapatkan sebesar 26,7. KAD dapat dibandingkan
dengan hyperosmolar hyperglycemic state (HHS) yang merupakan komplikasi
dari diabetes juga. Namun, pada HHS hanya didapatkan adanya hiperglikemia dan
hiperosmolalitas dan tidak ditemukan adanya ketosis maupun asidosis.
Penanganan awal pada pasien diberikan loading normal saline 200ml kemudian
dilanjut 500ml/6 jam. Kemudian pasien diberikan drip insulin (Apidra) 2 unit/jam.
Serum kalium pasien didapatkan 5 mEq/L, pasien dapat diberikan kalium 20-30
mEq/L untuk mempertahankan serum kalium 4-5 mEq/L.

Ketoasidosis diabetik yang terjadi pada pasien dipikirkan penyebabnya


berupa infeksi yang berasal dari abses perianal. Seperti yang sudah dibahas diatas
dimana faktor pencetus utama untuk KAD berupa infeksi. Pasien dengan keluhan
adanya benjolan pada kedua bokong, yang disertai nyeri, kemerahan serta rasa
panas saat disentuh yang kemudian mengelurkan cairan dan disertai juga demam
serta pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya leukositosis dengan shift to
the right. Hal ini menunjukkan adanya infeksi yang sedang berlangsung. Tata
laksana pada pasien yang dilakukan berupa tindakan insisi dan drainase serta
diberikan antibiotik empiris berupa ceftriaxone IV 2 gram dan Metronidazole IV
500 mg.
Walaupun pasien tidak mengetahui sebelumnya adanya riwayat diabetes
karena tidak pernah memeriksakan diri, namun keluhan klasik diabetes mellitus
yang berupa 3P (polyuria,polidipsi dan polifagia) pada pasien didapatkan berupa
BAK lebih dari 6 kali sampai pasien sering bangun pada malam hari (polyuria).
Selain itu, pasien juga memiliki faktor risiko berupa obesitas yang mana pasien
memiliki IMT 33 kg/m2 sehingga masuk kedalam kategori obesitas II. Pasien saat
masuk rumah sakit diperiksakan gula darah sewaktu dan HbA1C, dan didapatkan
kadar gula darah pasien mencapai 378 mg/dL dan HbA1C pasien 11,5. Hal ini
mendukung diagnosis diabetes mellitus tipe 2 pada pasien yang mana tidak
terkontrol karena pasien tidak minum obat.

Pasien selama 2-3 bulan terakhir ini tekanan darahnya naik turun, namun
pasien tidak memiliki obat rutin untuk hipertensinya. Pasien saat masuk rumah
sakit terukur tekanan darah pasien 145/75 mmHg. Berdasarkan JNC-8 pasien
sudah dapat dikategorikan ke dalam hipertensi stage 1. Tatalaksan pada pasien
belum diberikan terapi medikamentosa, pasien dapat diedukasi terlebih dahulu
untuk modifikasi gaya hidup. Apabila tidak mencapai target tekanan darah dengan
modifikasi gaya hidup maka dapat diberikan obat antihipertensi lini pertama
seperti Amlodipin 5mg 1x1.

Hasil laboratorium menunjukkan adanya hyponatremia ringan, dimana


dapat dipikirkan hiponatremia disebabkan karena adanya ketoasidosis diabetik.
Pada pasien setelah dihitung osmolalitas plasma didapatkan peningkatan
osmolaritas yang menandakan hiponatremia hipertonik yang mana umumnya
ditemukan pada pasien dengan hiperglikemia. Penanganan pada pasien ini berupa
pemberian cairan NaCl 0,9% 500ml/6 jam.
DAFTAR PUSTAKA

1. French EK, Donihi AC, Korytkowski MT. Diabetic ketoacidosis and


hyperosmolar hyperglycemic syndrome: review of acute decompensated
diabetes sin adult patients. BMJ. 2019.
2. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A,
et al. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia 2015. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PB PERKENI). 2015;1:55.
3. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic Crises in
Adult Patients With Diabetes. Diabetes Care. 2009; 32(7): 1335-1343.
4. Ghimire P, Dhamoon AS. Ketoacidosis. StatPearls. 2020.
5. Gosmanov AR, Kitabchi AE. Diabetic Ketoacidosis. Endotext. 2018.-
6. Sumantri S. Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana Ketoasidosis
diabetikum, Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Penatalaksanaan dan
Perkembangan Terbaru. Internal Medicine Department. 2009.
7. Kreider KE. Updates in Management of Diabetic Ketoacidosis. The Journal
for Nurse Practitioners. 2018; 14(8): 591-597.
8. Long B, Willis GC, Lentz S, Koyfman A, Gottlieb M. Evaluation and
Management of The Critically Ill Adult With Diabetic Ketoacidosis. The
Journal of Emergency Medicine. Elsevier. 2020: 1-13.
9. Westerberg DP. Diabetic Ketoacidosis: Evaluation and Treatment.
American Family Physician. 2013; 87(5); 337-346.
10. Gosmanov AR, Nematollahi LR. Diabetic Ketoacidosis. BMJ. 2020.
11. Gotera W, Budiyasa DGA. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD). J
Peny Dalam. 2010; 11(2): 126-138.
12. Hamdy O, khardori R. Diabetic Ketoacidosis (DKA). Medscape. 2021.
13. Hamilton PK, Morgan NA, Connolly GM, Maxwell AP. Understanding
Acid-Base Disorders. Ulster Med J. 2017; 86(3): 161-166.
14. Dzierba AL, Abraham P. A Practical Approach to understanding Acid-Base
Abnormalities in Critical Illness. 2011; 24(1): 17-26.

Anda mungkin juga menyukai