Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


TUBERKULOSIS TESTIS

Disusun Oleh:
Evita Putri Makatengkeng

Penguji: dr. Sylvia S. Siahaan, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE JANUARI 2020 – MARET 2020
TANGERANG

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 3
BAB II ILUSTRASI KASUS……………………………………………………4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 Definisi 15
2.2 Epidemiologi 15
2.3 Etiologi & Transmisi 16
2.4 Patogenesis 18
2.5 Manifestasi Klinis 19
2.6 Diagnosis 20
2.7 Komplikasi 21
2.8 Tata Laksana 21
2.9 Prognosis…………………………………………………………………….28
BAB IV PEMBAHASAN KASUS……………………………………………..29
DAFTAR PUSTAKA 39

3
4
BAB I
PENDAHULUAN

Data epidemiologi WHO tahun 2017 menunjukkan insidensi TB di benua


Asia Tenggara sebesar 45% dan Indonesia merupakan negara terbesar ke-3
kejadian tertinggi di dunia terjadinya infeksi TB 1. Infeksi tuberculosis merupakan
infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacetrium tuberculosis. Infeksi ini
dapat mudah terjadi pada setiap orang dengan penyakit yang mengganggu
sistem imun, salah satunya dapat menyerang orang dengan gagal ginjal kronik 2.
Pada orang dengan gagal ginjal kronik terutama yang menjalani prosedur
hemodialisis memiliki morbiditas 50% dan mortalitas 20% terhadap infeksi 2.
Risiko terjadinya TB pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah sebesar 6.9-
52.5 kali. Infeksi TB menyumbang kematian secara global sekitar >1.7 juta orang
per tahun pada orang dengan gagal ginjal kronik3.
Tuberkulosis ditransmisikan melalui airborne dari individu yang terinfeksi
bakteri TB. Pada setiap orang dengan sistem imun baik, bakteri yang
ditransmisikan hanya 5% dengan status infeksi laten atau dorman. Pada pasien
dengan sistem imun yang terganggu, seperti pada orang dengan gagal ginjal
kronik memiliki risiko transmisi infeksi TB yang lebih besar, yaitu sebesar 20% 3.
Ada banyak bentuk TB ekstra paru, salah satu di antaranya adalah TB
urogenital. TB urogenital merupakan penyakit yang ditransmisikan secara
hematogen dan dapat juga melalui hubungan seksual. Penyebaran penyakit ini
akan semakin meningkat jika terdapat komorbiditas, seperti hepatitis dan sifilis 4.
Penting untuk mengetahui sumber infeksi dari TB ekstra paru serta
tingkat keparahan TB ekstra paru pada organ tertentu. Hal ini penting untuk
diketahui, terutama dalam penatalaksanaan infeksi TB. Selain mengetahui
sumber infeksi, penting juga mengetahui adanya komorbid yang dapat

5
mempengaruhi pemilihan terapi yang tepat untuk infeksi TB serta meminimalisir
efek samping yang mungkin dapat terjadi akibat pengobatan TB.

6
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. CS
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 58 tahun
Status perkawinan : Sudah menikah
Agama : Islam
No. Rekam medis : 00-83-xx-xx
Status pembayaran : BPJS 3
Tanggal masuk RS : 13 Januari 2020
Tanggal pemeriksaan : 13 Januari 2020

Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis pada hari Senin, 13 Januari 2020 di
poliklinik paru lantai 1 Rumah Sakit Umum Siloam

Keluhan Utama
Benjolan pada kemaluan sebelah kiri sejak 3 bulan SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik paru RSU Siloam dengan keluhan benjolan pada
kemaluan sebelah kiri 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Benjolan
semakin hari semakin membesar. Awalnya, benjolan berukuran ± 1cm
kemudian menjadi ± 7cm dalam 1 bulan terakhir. Pasien mengatakan
benjolan tersebut tidak nyeri dan dapat digerakkan. Keluhan benjolan
pada pasien tidak disertai demam, menggigil maupun keringat malam.
Pasien juga mengaku volume sperma yang dikeluarkan pasien setiap
kali berhubungan seksual menjadi lebih sedikit dan kadang berwarna
kekuningan. Pasien sudah menjalani operasi pengangkatan tumor
beserta biopsi pada jaringan testis pada bulan Desember 2019.

7
Pasien juga mengeluhkan jumlah BAK yang berkurang dalam 1 tahun
terakhir. Pasien menyangkal adanya keluhan nyeri, rasa tidak tuntas,
panas, berdarah maupun mengedan saat BAK. Pasien juga mengaku
mudah lelah meskipun hanya melakukan aktivitas sehari-hari sejak 1
tahun terakhir. Pasien sedang menjalani proses hemodialysis sejak 1
tahun yang lalu karena pasien menderita gagal ginjal kronik. Pasien
menyangkal adanya mual dan muntah serta sesak. Pasien mengaku
memiliki riwayat darah tinggi yang awalnya tidak terkontrol di mana
pasien jarang melakukan pemeriksaan rutin ke dokter dan baru
melakukan pemeriksaan ke dokter dan meminum obat darah tinggi
yang teratur dalam 5 tahun terakhir. Obat anti-hipertensi yang
dikonsumsi pasien, yaitu Ramipril 1x5 mg. Pasien mengaku pertama
kali didiagnosis darah tinggi 15 tahun yang lalu dengan tensi pertama
kali 160/90 mmHg.
Pasien juga mengeluhkan adanya batuk berdahak sejak 5 bulan SMRS.
Keluhan batuk berdahak sudah lama dialami pasien yang bersifat
hilang timbul, tidak disertai darah, dahak berwarna putih dan pasien
dapat batuk sebanyak 5x dalam sehari, volume dahak yang dikeluarkan
sebanyak ±1/4 gelas air mineral. Pasien mengaku sudah meminum
obat batuk OBH, namun tidak ada perbaikan. Pasien sudah tidak
bekerja, namun pasien sebelumnya bekerja sebagai wiraswasta. Pasien
mengaku bahwa tetangga pasien pernah menderita penyakit flek paru.
Pasien mengeluhkan berat badan pasien berkurang dalam waktu 3
bulan terakhir sebanyak 7kg dari 54kg menjadi 47kg serta pasien juga
mengeluhkan nafsu makan pasien menjadi berkurang dalam 1 tahun
terakhir. Pasien menyangkal adanya nyeri dada saat bernafas. Pasien
menyangkal adanya riwayat kencing manis, penyakit jantung, alergi
maupun asma. Pasien menyangkal adanya keluhan pada BAB.

8
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku belum pernah mengalami kondisi yang serupa.

Riwayat Pengobatan
Pasien sedang mengonsumsi obat-obatan rutin hemodialysis.
1) Methylcobalamine 3 x 500mcg (IV)
2) Eritropoietin Alfa 1 x 5000IU (SC)
3) Vitamin C 1 x 1000mg (IV)

Riwayat Operasi
Pasien telah menjalani operasi eksisi dan biopsi tumor testis pada Desember
2019

Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi makanan dan obat-obatan.

Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok, mengonsumsi alkohol dan narkoba disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berasal dari kalangan menengah kebawah. Pasien sehari-hari hanya
beraktivitas di rumah dan tidak bekerja. Pasien sudah menikah dan
memiliki 1 orang anak.

Riwayat Diet
Pola makan pasien sehari-hari teratur yaitu 3 kali sehari dan makanan
bervariasi, namun jumlah makanan hanya setengah piring.

9
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal adanya keluhan serupa dalam keluarga pasien. Pasien juga
menyangkal adanya riwayat kencing manis, penyakit jantung maupun
penyakit keturunan lainnya.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tingkat kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
Tinggi Badan : 163 cm
Berat badan : 47 kg
BMI : 17.7 (Underweight)

Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 130/70
Laju napas : 18x/menit
Nadi : 86x/menit, regular, kuat angkat
Suhu : 36.6oC

Status generalis
Kepala Normosefali
Wajah Normofasialis
Rambut Rambut tersebar merata, berwarna hitam, kuat, tidak
mudah rontok
Leher Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), deviasi
trakea (-), JVP 5 ± 2 cm, kaku kuduk (-)
Mata Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (+/+), pupil
bulat isokor 3mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+.
Hidung Pernapasan cuping hidung (-), deviasi septum (-), bekas
luka (-), pendarahan (-), sekret (-), deformitas (-)
Telinga Simetris, sekret (-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tekan
pinna (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)

10
Tenggoroka Deviasi lidah (-), atrofi papil lidah (-), coated tongue (-),
n oral thrush (-), faring hiperemis (-), tonsil T1/T1, detritus
(-), kripta (-)
Paru-paru ● Inspeksi : Bentuk dada normal, pengembangan
(anterior) dada simetris saat statis dan dinamis, bekas luka operasi
(-), retraksi (-), memar (-), penggunaan otot bantu nafas
(-), spider naevi (-)
● Palpasi : Pengembangan dada simetris, tactile vocal
fremitus simetris
● Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
● Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/-
(posterior) ● Inspeksi : Bentuk punggung normal, skoliosis
(-), simetris saat statis dan dinamis, bekas luka operasi
(-), retraksi (-), memar (-).
● Palpasi : Pengembangan dada simetris kanan dan
kiri, tactile vocal fremitus kanan dan kiri simetris
● Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
● Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/-
Jantung ● Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
● Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, tidak teraba
adanya thrill atau heave.
● Perkusi : batas jantung dalam batas normal
● Auskultasi : S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen ● Inspeksi: datar, bekas luka (-), massa (-), spider
naevi (-), caput medusa (-), striae (-)
● Auskultasi: Bising usus (+) normal, metallic sound
(-) , bruit (-)
● Perkusi: Timpani di seluruh region abdomen,
shifting dullnes (-)
● Palpasi: Nyeri tekan (-) , Hepatosplenomegaly (-),

11
defens muscular (-), hepatojugular reflex (-)
Ekstremitas ● Look : Deformitas (-), sianosis (-), ruam (-), jaundice
(-), needle track (-)
● Feel : Akral hangat, CRT <2 detik, nyeri tekan (-),
nadi pada a. dorsalis pedis dan a. tibialis posterior
simetris dan kuat angkat, pitting edema (-)
● Move : tidak ada keterbatasan ROM baik pasif atau
aktif.
Status ● Inspeksi: Skar (+), kulit mengkerut (+) pada skrotum
Lokalis sinistra, hiperemis (-),
(Genitalia) ● Palpasi: hangat (-), nyeri (-), massa (-)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium (09/01/2020)

Tes Hasil Satuan Nilai Rujukan


HEMATOLOGI DARAH
Hemoglobin 8,30 g/dL 14 – 18
Hematokrit 26,60 % 40 – 54
RBC 3,09 106/uL 4,60 – 6,00
WBC 7,60 103/uL 4,5 – 11, 5

12
Basophil - % 0–1
Eosinophil - % 1–3
Band Neutrophil - % 2–6
Segment - % 50 – 70
Lymphocyte - % 25 – 40
Monocyte - % 2–8
Platelet Count 428.00 103/uL 150,00 – 440,00
LED - mm/jam 0 – 20
MCV 86,10 fL 80,00 – 100,00
MCH 26,90 Pg 26,00 – 34,00
MCHC 31,20 g/dL 32,00 – 36,00

BIOKIMIA DARAH
SGOT - U/L 0 – 32
SGPT - U/L 0 – 33
Ureum 52,0 mg/dL <71
Creatinine 6,37 mg/dL 0,5 – 1,3
e-GFR 8,8 ml/min/1.73m2 ≥ 60
GDS 87,0 mg/dL <200
Natrium 142 mEq/L 137 – 145
Kalium 3,9 mEq/L 3,6 – 5,0
Chloride 102 mEq/L 98 – 107

Chest Xray (01/11/19)


PARU: Fibrosis pada lapangan atas paru kanan. Fibrokalsifikasi pada perihilar dan
lapangan tengah paru kiri. Corakan bronkovaskular kasar ireguler
MEDIASTINUM: Normal
TRAKEA DAN BRONKUS: Normal
HILUS: Normal
PLEURA: Normal
JANTUNG: CTR <50%
AORTA: Normal
VERTEBRA THORAKAL DAN TULANG-TULANG LAINNYA: Normal
JARINGAN LUNAK: Normal
ABDOMEN YANG TERVISUALISASI: Normal

13
LEHER YANG TERVISUALISASI: Normal

Kesan:
Suspek Bekas TB
Cor dalam batas normal

Immunology – Serology (14/01/20)


- Gen Xpert MDR-TB
o Spesimen: Sputum
o Not detected
Mikrobiologi (14/01/20)
- AFB direct smear
o Sputum → Good quality sputum, leukosit 80/ lpf, epitel <10 lpf,
acid fast bacillus not found
- AFB direct smear II
o Sputum → Good quality sputum, leukosit 30/ lpf, epitel <10 lpf,
acid fast bacillus not found

CT- Abdomen dan Pelvis tanpa Kontras (21/11/19)

14
● Hidronefrosis grade IV dan hydroureter proksimal e.c batu pada ureter
proksimal kanan ± -1,01 cm, sepanjang ± 1,48cm setinggi corpus vertebra
L3-L4 sisi kanan
● CKD bilateral
● Hipertrofi prostat volume ± 27,9mL
● Limfadenopati mesenterial multiple pada abdomen kanan bawah diameter
± 0,5-0,7cm
● Fibrosis pada basal paru bilateral
● Organ-organ intrabdomen lainnya dalam batas normal

Histologi dan Sitologi (29/11/2019)


Tumor testis kiri
● Makroskopik: Diterima wadah bertuliskan testis kiri, wadah berisi 1
potong jaringan berukuran 11x4x4cm, warna putih, konsistensi kenyal.
Sebagian cetak.
● Mikroskopik: Sediaan testis tersusun atas gambaran tubulus seminiferous
disertai sel Leydig. Tampak pula area yang mengandung daerah-daerah
nekrosis kaseosa dikelilingi sel-sel epiteloid bersebukan sel-sel radang
limfosit, histiosit, leukosit. PMN dan sel datia berinti banyak menyerupai
sel datia langhan.

Resume
Pasien laki-laki, usia 58 tahun datang ke poliklinik paru RSU Siloam dengan
keluhan benjolan pada kemaluan sebelah kiri 3 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Benjolan semakin membesar dari ukuran ± 1cm menjadi
± 7cm dalam 1 bulan terakhir. Benjolan tidak nyeri dan dapat
digerakkan. Pasien juga mengaku volume sperma yang dikeluarkan
pasien setiap kali berhubungan seksual menjadi lebih sedikit dan
terkadang berwarna kekuningan. Pasien sudah menjalani operasi eksisi
dan biopsi jaringan testis pada Desember 2019. Pasien juga
mengeluhkan jumlah BAK yang berkurang dalam 1 tahun terakhir.

15
Pasien juga mengaku mudah lelah meskipun hanya melakukan
aktivitas sehari-hari sejak 1 tahun terakhir. Pasien sedang menjalani
proses hemodialysis sejak 1 tahun yang lalu karena pasien menderita
gagal ginjal kronik. Pasien mengaku memiliki riwayat hipertensi yang
didiagnosis pertama kali 15 tahun lalu. Awalnya hipertensi tidak
terkontrol, namun pasien rutin kontrol dan meminum obat dalam 5
tahun terakhir. Obat anti-hipertensi yang dikonsumsi, yaitu Ramipril
1x5 mg. Pasien mengaku tensi pertama kali pada saat pasien
didiagnosis adalah 160/90 mmHg.
Pasien juga mengeluhkan adanya batuk berdahak sejak 5 bulan SMRS. Batuk
berdahak tidak disertai darah, dahak berwarna putih dan pasien dapat
batuk sebanyak 5x dalam sehari, volume dahak yang dikeluarkan
sebanyak ±1/4 gelas air mineral. Pasien mengaku sudah meminum
obat batuk OBH, namun tidak ada perbaikan. Pasien mengaku bahwa
tetangga pasien pernah menderita penyakit flek paru. Pasien
mengeluhkan berat badan pasien berkurang dalam waktu 3 bulan
terakhir sebanyak 7kg serta nafsu makan pasien menjadi berkurang
dalam 1 tahun terakhir. Pasien mengaku tetangga pasien pernah
memiliki riwayat flek paru.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan skar dan kulit mengkerut pada skrotum
sinistra. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan adanya anemia
normositik normokromik, serta peningkatan ureum dan kreatinin. Pada
chest xray ditemukan fibrosis pada kedua basal paru dan kalsifikasi
pada perihilar dan lobus paru tengah kiri. Pada CT abdomen dan pelvis
ditemukan hidronefrosis grade IV dan hydroureter proksimal e.c batu
pada ureter proksimal kanan, CKD bilateral, hipertrofi prostat,
limfadenopati mesenterial multipel, serta fibrosis pada basal paru
bilateral. Pada histologi dan sitologi ditemukan pada sampel testis
tersusun atas gambaran tubulus seminiferous disertai sel Leydig.
Tampak pula area yang mengandung daerah-daerah nekrosis kaseosa
dikelilingi sel-sel epiteloid bersebukan sel-sel radang limfosit, histiosit,

16
leukosit. PMN dan sel datia berinti banyak menyerupai sel datia
langhan.

Daftar Masalah
a. TB Testis
b. TB paru kasus baru, lesi sedang, sputum BTA negatif, HIV negatif
c. CKD Stage V on Intermittent Haemodialysis
d. Anemia Normositik Normokromik

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Tuberkulosis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacetrium
tuberculosis. Infeksi ini dapat mudah terjadi pada setiap orang dengan penyakit
yang mengganggu sistem imun, seperti HIV (human immunodeficiency virus)
malnutrisi, diabetes, gagal ginjal kronik, dan perokok 5. Tuberkulosis testis
merupakan suatu infeksi yang awalnya berasal dari infeksi epididimis melalui
sirkulasi epididimis khususnya daerah lobus minor. Sebagian besar infeksi
tuberkulosis yang terjadi pada epididimis penyebarannya melalui hematogen,
namun dapat juga berasal dari retrokanalikular. TB testis yang melibatkan
epididimis merupakan suatu kasus yang jarang4.

17
Gagal ginjal kronik merupakan suatu proses penurunan fungsi ginjal yang
berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Gagal ginjal kronik adalah suatu
keadaan dimana terdapat abnormalitas baik struktur maupun fungsi ginjal
selama setidaknya 3 bulan6. Stadium gagal ginjal kronik ditentukan berdasarkan
eGFR (estimated glomerular filtration rate) serta adanya bukti kelainan pada
struktur ginjal atau kerusakan lainnya yang dapat terdeteksi pada pemeriksaan
lain, seperti penemuan protein pada urin7.

3.2. Epidemiologi
Berdasarkan data epidemiologi WHO tahun 2017 insidensi TB di benua
Asia Tenggara sebesar 45% dan Indonesia merupakan negara terbesar ke-3
kejadian tertinggi di dunia terjadinya infeksi TB 1. Prevalensi gagal ginjal kronik di
seluruh dunia adalah 8-16%. Pada orang dengan gagal ginjal kronik terutama
yang menjalani prosedur hemodialisis memiliki morbiditas 50% dan mortalitas
20% terhadap infeksi. Hal ini terjadi akibat adanya gangguan pada sistem imun
oleh uremia. Gangguan sistem imun, baik respon imun innate maupun adaptive
dapat terjadi dimulai dari gagal ginjal kronik stadium ≥3.
Pada beberapa penelitian risiko terjadinya TB pada pasien
dengan gagal ginjal kronik adalah sebesar 6.9-52.5 kali 3.
Sistem imun dapat semakin memburuk sesuai dengan progresivitas serta
penggunaan renal replacement therapy karena pada tahap telah masuk dalam
tahap inflamasi uremia. Infeksi TB menyumbang kematian secara global sekitar
>1.7 juta orang per tahun pada orang dengan gagal ginjal kronik2.

18
Gambar 3.1 Epidemiologi TB pada Benua Asia Tenggara

3.3. Etiologi dan Transmisi


Infeksi tuberculosis disebabkan oleh bakteri aerob bersifat slow-growth
dan facultative intracellular parasite, yaitu Mycobacterium tuberculosis. Bakteri
ini ditransmisikan melalui airborne dari individu yang terinfeksi bakteri TB. Pada
setiap orang dengan sistem imun baik, bakteri ini ditransmisikan hanya 5%
dengan status infeksi laten atau dorman. Pada pasien dengan sistem imun yang
terganggu, seperti pada orang dengan gagal ginjal kronik memiliki risiko transmisi
infeksi TB sebesar 20%2. Ada banyak bentuk TB ekstra paru, salah satu di
antaranya adalah TB urogenital. TB urogenital merupakan penyakit yang
ditransmisikan secara hematogen dan dapat juga melalui hubungan seksual.
Penyebaran penyakit ini akan semakin meningkat jika terdapat komorbiditas,
seperti hepatitis dan sifilis8.
Suatu penelitian mencatat bahwa ada sekitar 35%-65% penderita
hipertensi esensial berkembang menjadi proteinuria dengan satu pertiganya
berkembang menjadi insufisiensi ginjal dan 6-10% meninggal akibat uremia 9,10.
Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit gagal ginjal.
Sebaliknya, CKD merupakan penyebab tersering terjadinya hipertensi
sekunder11,12. Prevalensi CKD dikarakteristikan lebih baik sejak National Kidney
Foundation mengeluarkan klasifikasi standar berdasarkan tingkat Glomerular
Filtration Rate (GFR) dan ada atau tidaknya bukti renal injury13,14. Pasien dengan
stage 1 dan 2 memerlukan bukti adanya kerusakan ginjal (mis, proteinuria) dan
GFR sebagai berikut.

19
Gambar 3.2 Stadium Gagal Ginjal Kronik
Risiko lebih besar terjadi pada penderita dengan tekanan darah sistolik
berkepanjangan, yaitu >200 mmHg. Risiko mortalitas dan insufisiensi renal
berkorelasi dengan tingkat keparahan lesi arteriosclerotic renal13,14. Istilah
“nefropati” secara klasik dikaitkan dengan urin berbusa, hipertensi, dan
terbentuknya edema disebabkan terjadinya retensi natrium akibat gangguan
fungsi ginjal15,16.
3.4. Patogenesis
Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri yang tumbuh dan bertahan
dalam monosit. Oleh karena itu, bakteri ini dapat dengan mudah menginvasi
kelenjar getah bening dan menyebar ke daerah di luar parenkim paru

20
(extrapulmonary), seperti sumsum tulang, abdomen, hati, limpa, tulang, serta
urogenital. Selain itu, infeksi TB juga dapat ditransmisikan secara hematogen 4.

Pada TB ekstra paru yang menginfeksi epididimis ditransmisikan secara


hematogen dari prostat yang sebelumnya terinfeksi. Pada individu dengan infeksi
TB epididimis saja tanpa adanya keterlibatan saluran kemih sering terjadi pada
pria yang aktif secara seksual dan banyak terjadi pada individu dengan HIV.
Infeksi ini berawal dari prostat dan tidak menimbulkan gejala kemudian infeksi
menyebar hingga ke vas melalui limfatik perivasal kemudian menginfeksi
epididimis. Oleh karena itu, secara klinis dapat dilihat adanya keluhan benjolan
atau massa yang teraba pada skrotum, namun tidak nyeri17.
Bakteri ini kemudian tumbuh di dalam epididimis dan membuat fagosit
berkumpul dan membentuk abses dalam epididimis. Abses yang ruptur ini
kemudian dapat membentuk sinus yang bersifat permanen dan dapat

21
menginvasi bagian testis. Keterlibatan testis merupakan bentuk yang paling
jarang dari infeksi TB dibandingkan epididimis18.

3.5. Manifestasi Klinis


Pada pasien dengan TB testis dapat ditanyakan pertanyaan berkaitan
dengan riwayat kontak dengan penderita TB dan riwayat TB. TB urogenital ini
dapat muncul bertahun-tahun setelah pasien terinfeksi TB paru. Manifestasi
klinis yang paling sering terjadi adalah pembengkakan skrotum yang nyeri dan
disertai radang serta adanya gejala iritatif. Dapat juga dilihat pada inspeksi ada
sinus di bagian posterior yang terkadang mengeluarkan sekret. Pada 12,4% kasus
ditemukan fistula18.
Pembesaran testis ini terkadang sulit dibedakan dengan keganasan.
Meskipun TB prostat jarang memberikan gejala, namun adanya peningkatan
frekuensi berkemih dan nokturia merupakan gejala yang paling sering ditemukan
pada TB prostat. Manifestasi klinis yang dapat dijumpai berupa dysuria,
hematuria, urgensi dan hematospermia. TB yang melibatkan vesikulaseminalis
dapat memberikan gejala berupa infertilitas, penurunan volume ejakulasi,
azoospermia dan hematuria4.
Infeksi epididimis dan testis biasanya dimulai dari globus minor, karena
memiliki vaskularisasi yang lebih kaya. Infeksi akut muncul sebagai massa
skrotum yang menyakitkan, yang awalnya tidak dapat dibedakan secara klinis
dari epididimo-orkitis. Infeksi akut biasanya menghilang dalam 2-4 minggu, dan
kondisi ini akan berevolusi menuju reabsorpsi (mis. nodul keras dan tidak nyeri
pada ekor epididimis). Pada pemeriksaan akan ditemukan epididimis yang
membesar, tidak beraturan, nodular. Jika epididimo-orkitis TB tidak diobati,
maka granuloma dengan kaseosa dapat menyebabkan fistula, sinus atau abses 19.

Hematospermia berulang jarang terjadi, namun hal ini meningkatkan


kecurigaan TB epididimo-orkitis. Infertilitas juga dapat terjadi karena obstruksi

22
epididimal dan / atau vasal. TB epididimo-orkitis memiliki efek yang cukup besar
pada kesuburan, karena jumlah dan motilitas sperma dapat dikurangi dengan
penyumbatan vas dan / atau atrofi sekunder19.
TB penis sangat jarang dan menyumbang <1% dari semua kasus
urogenital TB pada pria. TB penis dapat ditularkan secara seksual dari wanita
dengan urogenital TB. TB ini akan muncul dengan penampakan papulonekrotik
atau sebagai ulkus pada kelenjar20.

3.6. Diagnosis
Pada anamnesis untuk individu yang terinfeksi TB penting ditanyakan
riwayat kontak TB, riwayat infeksi saluran kemih berulang, infeksi saluran kemih
disertai BAK berdarah persisten, sperma berwarna kekuningan seperti nanah
dan/atau sperma disertai darah serta fistula pada skrotum, perianal dan lumbar 4.
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan jika adanya fistula. Fase akut
TB epididimitis memiliki karakteristik benjolan yang keras, sangat nyeri dan
membesar pada epididimis sehingga terdesak hingga testis dan testis dapat
diraba. Fase kronik TB epididimitis, memiliki karakteristik benjolan yang keras,
membesar dan tidak nyeri serta berbatas tegas. Pada 35%-40% individu lesi
terjadi secara bilateral18.
Pada pemeriksaan penunjang perlu dilakukan urinalisis. Hasil yang
diperoleh akan ditemukan leukosituria pada 90%-100% pasien dengan KTB
(Kidney Tuberculosis) dan hematuria pada 50 60%. Selanjutnya, pemeriksaan
yang perlu dilakukan adalah bakteriologi. Investigasi histologis dapat
mengungkapkan granuloma epiteloid, nekrosis caseous, tetapi ini cepat diganti
dengan jaringan fibrosa4. Pada 79% kasus TB prostat disertai dengan KTB,
perubahan patologis yang terdeteksi oleh USG ginjal merupakan gambaran
‘prostatitis kronik’ yang dapat mengarahkan pada UGTB. TB epididimitis dan
orkitis muncul sebagai lesi yang diperbesar secara difus, yang mungkin homogen

23
atau heterogen dan juga dapat muncul sebagai lesi hipoekoik yang membesar
secara nodular19.
Investigasi ultrasonografi transrektal dapat menunjukkan lesi hipoekoik
dan hiperekhoik pada prostat, terutama di zona perifer. Radiografi kompleks
diindikasikan untuk pasien yang diduga menderita UGTB: film rontgen polos
saluran kemih dapat mendeteksi kalsifikasi di daerah ginjal dan di saluran
urogenital bawah; IVU diindikasikan untuk pasien dengan leukositosis dan/atau
kelainan pada pemeriksaan ultrasonografi 4.
Pemeriksaan X-ray sangat informatif, terutama pada ginjal (IVU) dan TB
prostat (urethrography), tetapi multisliced computer tomography secara
signifikan lebih informatif. Dalam CT scan yang ditingkatkan kontrasnya, TB dari
prostat atau vesikula seminalis dapat dilihat sebagai lesi kepadatan rendah atau
kavitasi karena nekrosis dan kaseosa dengan atau tanpa kalsifikasi. Tanpa
kalsifikasi, penemuannya mungkin mirip dengan abses prostat piogenik. Namun,
pada tahap awal UGTB tidak memiliki fitur radiologis spesifik 21.

3.7. Komplikasi
Infeksi TB yang tidak ditangani akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi
pada TB paru dapat dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi akut dan kronik.
Kompllikasi akut yang dapat timbul, seperti pleuritis, efusi pleura, laryngitis, dll.
Sedangkan komplikasi kronik, berupa SOPT (sindroma obstruksi pasca
tuberkulosis) yang terjadi akibat adanya obstruksi jalan nafas dan kerusakan
pada parenkim paru. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya gagal nafas, kor
pulmonal serta fibrosis paru. Kompliksai yang terjadi pada urogenital TB adalah
hidronefrosis, stenosis uretra, abses prostat serta TB ginjal 22.

3.8. Tata laksana23,24


Pengobatan pada infeksi Tuberkulosis memiliki dua tahapan, yaitu
tahapan awal dan tahapan lanjut. Pada tahap awal, obat diberikan setiap hari

24
untuk menurunkan jumlah bakteri serta meminimalisir pengaruh sebagian
bakteri yang sudah resisten sebelum pasien mendapat pengobatan. Minimal
durasi pemberian obat pada pengobatan tahap awal adalah 2 bulan. Jika pasien
menjalani pengobatan secara teratur dan tidak memiliki penyulit apapun, maka
dapat dipastikan daya penularan infeksi pada pasien akan menurun setelah 2
minggu awal sejak pengobatan pertama dimulai.
Pada pengobatan tahap lanjutan dilakukan selama 4 bulan untuk
membunuh bakteri yang masih tersisa, khususnya bakteri yang persisten untuk
mencegah kekambuhan. Pada tahap ini, obat juga terus diberikan setiap hari.
Berikut ini rekomendasi obat anti tuberculosis lini pertama pada pasien dewasa.

Nama Obat Dosis Rekomendasi Harian 3x per minggu


Dosis Maksimum Dosis Maksimum
(mg/kgBB) (mg) (mg/kgBB) (mg)
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Tabel 3.1 OAT beserta dosis
Pada pasien yang berusia > 60 tahun tidak dapat mentoleransi >500-700 mg/ hari
sehingga beberapa penelitian merekomendasikan dosis 10 mg/kgBB pada pasien
dengan kelompok usia tersebut. Pasien dengan berat badan < 50 kg tidak dapat
mentoleransi dosis >500-750 mg/hari. Saran dosis harian berdasarkan WHO yang
disarankan bagi pasien dengan terapi TB lini pertama adalah 2RHZE/ 4 RH. Jika
tidak tersedia regimen dosis harian, maka dosis yang disarankan adalah 2RHZE/
4R3H3 yang disertai syarat pengawasan lebih ketat secara langsung setiap dosis
obat.
Pada TB paru durasi pemberian OAT yang disarankan adalah 6 bulan,
sedangkan pada pasien dengan TB ekstra paru, OAT yang disarankan sebaiknya
lebih dari 6 bulan. Semua pasien yang akan mendapat pengobatan OAT ini wajib
diperiksakan uji kepekaan dengan metode rapid test (TCM) dan metode

25
konvensional baik. Semua pasien yang mendapat terapi OAT wajib dipantau
untuk mengevaluasi respon pengobatan obat, efek samping obat serta
keteraturan atau disiplin dalam pegobatan.

Pemeriksaan sputum BTA perlu diulang pada pasien dengan pengobatan


OAT. Pemeriksaan yang disarankan untuk kasus baru adalah pada akhir bulan
kedua setelah pengobatan dan akhir bulan ketiga pada kasus pengobatan ulang
serta pasien dengan sputum BTA negatif. Jika ditemukan adanya sputum BTA
positif pada akhir fase intensif, maka beberapa hal ini dapat menyebabkan
kondisi tersebut:
a. Pengawasan yang kurang baik pada fase awal dan ketaatan dalam
pengobatan yang buruk
b. Kualitas OAT buruk
c. Dosis OAT di bawah kisaran yang direkomendasikan
d. Resolusi lambat karena kavitas besar dan jumlah bakteri yang banyak pada
pasien
e. Komorbid yang mengganggu ketaatan maupun respon terapi
f. Penyebab TB pada pasien adalah bakteri yang resisten obat sehingga tidak
respon terhadap pengobatan TB lini pertama
Hasil sputum yang masih positif pada bulan ke-5 atau bulan ke-8 sejak
pengobatan awal menandakan adanya kegagalan pada pengobatan sehingga
memerlukan pemeriksaan TCM, biakan, uji kepekaan (minimal INH dan
Rifampisin) untuk mendiagnosis kegagalan pengobatan. Pada pasien dengan BTA
sputum negatif pada awal pengobatan dan tetap negatif pada akhir bulan kedua
pengobatan, maka pemantauan dahak tidak perlu dilakukan. Setelah
pemeriksaan dilakukan, makan hasil pengobatan dapat disimpulkan sesuai
dengan definisi.
Jika pada pemeriksaan ditemukan hasil BTA sputum
negatif atau biakan negatif setelah dikonfirmasi positif
pada pemeriksaan bakteriologis awal, maka pasien

26
dinyatakan sembuh. Pasien dinyatakan pengobatan gagal
jika pemeriksaan BTA sputum atau biakan positif pada
bulan ke-5 atau akhir pengobatan. Jika pasien memulai
pengobatan TB dan menghentikan pengobatan selama ≥2
bulan berturut-turut, maka dinyatakan putus obat.
Beberapa pengobatan tuberkulosis dapat memberikan efek samping
sehingga perlu dilakukan evaluasi gejala klinis. Efek samping ini juga dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari pasien yang dapat mempengaruhi ketaatan
pengobatan sehingga penting untuk diedukasikan efek samping dari masing-
masing pengobatan untuk mencegah kasus putus obat. Efek samping dari
pengobatan TB dapat dibagi menjadi dua, yaitu mayor dan minor. Pada pasien
dengan efek samping minor dapat diberikan terapi simtomatik, sedangkan pasien
dengan efek samping mayor pengobatan dapat dihentikan.
Penanganan efek samping dari pengobatan tuberculosis harus
mempertimbangkan ringan atau beratnya gejala yang muncul akibat efek
samping pengobatan TB. Pasien yang mengalami efek samping gejala yang berat
akibat pengobatan TB, maka perlu dihentikan pemberian obat-obatan tersebut
dan dirujuk ke fasilitas yang lebih tinggi. Berikut ini efek samping beberapa obat
tuberkulosis dengan gejala ringan beserta cara penanganannya.
Efek Samping Obat Penyebab Penanganan
Anoreksia, mual, nyeri perut Pirazinamid, Sarankan menelan pil secara
rifampisin, isoniazid perlahan bersamaan dengan air
dan dapat diminum bersamaan
dengan makanan. Jika
berkepanjangan disertai
perdarahan dan pembengkakan
dapat dirujuk ke dokter spesialis
Nyeri Sendi Isoniazid Berikan aspirin, non-steroid atau
parasetamol
Rasa terbakar, kebas atau Isoniazid Piridoksin 50-75mg/ hari

27
kesemutan di tangan dan
kaki
Rasa mengantuk Isoniazid Obat diberikan sebelum tidur
Urin berwarna kemerahan Rifampisin Edukasi pada awal sebelum
pengobatan
Sindrom flu (demam, Pemberian rifampisin Diubah menjadi setiap hari
menggigil, malaise, sakit intermiten
kepala, nyeri tulang)
Tabel 3.2 Efek Samping OAT

Gagal ginjal merupakan salah satu faktor risiko terjadinya infeksi


tuberkulosis. Ada beberapa pertimbangan dalam tata laksana infeksi tuberkulosis
pada pasien dengan kondisi khusus, seperti gagal ginjal. Pasien dengan gagal
ginjal kronik lebih sering menderita infeksi TB ekstra paru.
Pada kasus TB ekstra paru selain kasus berat, seperti meningitis TB,
tuberculoma otak, dan spondylitis TB dapat dipertimbangkan pemberian
pengobatan jangka pendek. Berikut ini adalah dosis OAT jangka pendek
berdasarkan berat badan.
Kanamisin tidak dapat diberikan pada pasien dengan gangguan
pendengaran sensoris, gangguan fungsi ginjal, gangguan keseimbangan maupun
pada wanita hamil. Pemberian kanamisin ini dapat diganti dengan kapreomisin
dengan dosis yang sama. Pemberian INH pada pasien dengan berat badan 33-40
kg dapat diberikan dosis 450 mg, sedangkan pasien dengan berat badan >40 kg
diberikan dosis 600 mg. Pemberian Clofazimin untuk pasien dengan berat badan
<33 kg diberikan dua kali dosis 100 mg dalam satu hari. Pada pengobatan jangka
pendek durasi pengobatan minimal adalah 9 bulan. Pengobatan ini dibagi dalam
2 fase, yaitu fase awal selama 4 bulan dan fase lanjutan selama 5 bulan.
Pedoman pengobatan infeksi TB pada pasien dengan gagal ginjal kronik
saat ini didasarkan pada laporan dari seri kasus, karakteristik farmakologis yang
diketahui dari obat yang digunakan, dan rekomendasi dari para ahli di bidang ini,

28
termasuk lembaga internasional yang terlibat dalam pengendalian TB.
Pengobatan TB pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah 2 bulan isoniazid,
rifampisin, etambutol dah pirazinamid yang dilanjutkan dengan 4 bulan isoniazid
dan rifampisin
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengobatan pasien gagal ginjal.
Berikut faktor-faktor berikut yang mempengaruhi pengobatan pasien gagal ginjal
dengan TB:
• Farmakokinetik obat, terutama proporsi obat yang diekskresikan oleh
ginjal dan pembersihannya dengan dialisis (baik hemodialisis dan dialisis
peritoneum), yang mempengaruhi kadar serum obat dan akibatnya serta
toksisitasnya
• Keparahan toksisitas yang diantisipasi dengan peningkatan kadar obat
dalam darah dan ketersediaan agen efektif alternatif untuk
menyembuhkan pasien TB
• Penyakit yang muncul bersamaan dan kemungkinan interaksi obat yang
dapat mempengaruhi terapi
1) Berikut ini adalah regimen standar 6 atau 9 bulan
Regimen standar enam atau sembilan bulan umumnya digunakan tetapi
etambutol ditahan untuk:
a. Obat yang rentan atau penyakit bakteriologis negatif
dan
e. di mana kerentanan belum tersedia tetapi resistensi obat tidak dicurigai.
2) Durasi pengobatan adalah keputusan individu berdasarkan keadaan
klinis tertentu dan dapat terjadi pada kasus dengan imunodefisiensi atau
penyakit yang luas. Secara umum, dosis standar digunakan dan sesuai
indikasi. Pengurangan frekuensi dosis lebih disarankan agar tidak
membahayakan regimen dengan tingkat obat sub-terapi.
3) Penyakit yang resisten terhadap obat diobati dengan obat yang
sesuai sebagaimana ditunjukkan dengan uji kerentanan, dirinci
sesuai dengan pedoman.

29
4) Hemodialisis (HD) sering mengarah pada eliminasi sebagian besar
obat TB dan obat-obatan biasanya diberikan setelah dialisis.
5) Pemantauan yang cermat terhadap pasien sangat penting karena
efek samping, terutama masalah neuropsikiatri, hepatitis dan
neuropati optik. Hal ini tercatat terjadi pada tingkat yang lebih
tinggi pada pasien dengan gagal ginjal dan terutama pada pasien
yang menjalani dialisis.
6) Pemantauan obat terapeutik dianjurkan dengan aminoglikosida.
7) Pengobatan TB pada pasien dengan gangguan ginjal ringan dengan
laju filtrasi glomerulus (GFR) antara 30-60ml/menit, harus
disesuaikan secara individual dengan menggunakan obat standar
dalam rentang dosis dalam kisaran yang lebih rendah dari
rekomendasi yang biasa untuk pasien dengan fungsi ginjal normal,
dengan pemantauan efek samping yang cermat.
8) Ethambutol digunakan untuk mencegah timbulnya resistensi
rifampisin dengan isolat yang resisten isoniazid.
9) Semua kecuali obat lini pertama hanya boleh digunakan setelah
diskusi dengan dokter konsultan yang berpengalaman dalam
mengobati TB atau dengan Pusat Pengendalian Tuberkulosis
Regional.
Berikut ini tabel tata laksana infeksi TB pada individu dengan gagal ginjal kronik

30
Tabel 3.3 Tata Laksana TB pada Gagal Ginjal Kronik
Tata laksana umumnya kemoterapi konvensional tuberkulosis. Pada
epididimo-orkitis TB setelah kemoterapi, jika lesi menjadi nodular, kencang, dan
tidak nyeri, epididimo-orchiektomi wajib dilakukan tanpa penundaan.
Pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi abses, gejala obstruktif, atau
kegagalan kemoterapi.

31
3.10. Prognosis
Resolusi penuh umumnya diharapkan dalam kasus TB non-MDR dan non-
XDR dengan beberapa komplikasi ketika regimen obat selesai. Pada beberapa
penelitian yang dipublikasikan yang melibatkan pengobatan TB, tingkat
kekambuhan berkisar 0-14%25. Di negara-negara dengan tingkat TB yang rendah,
kekambuhan biasanya terjadi dalam 12 bulan setelah penyelesaian
pengobatan26. Di negara-negara dengan tingkat TB yang lebih tinggi, sebagian
besar kekambuhan setelah pengobatan yang tepat terjadi akibat re-infeksi dan
bukan kasus kambuh25.
Penanda prognostik yang buruk termasuk keterlibatan ekstra paru,
keadaan immunocompromised, usia yang lebih tua, dan riwayat pengobatan
sebelumnya. Dalam penelitian prospektif terhadap 199 pasien dengan TB di
Malawi, 12 (6%) meninggal. Faktor risiko mortalitas pada pasien TB adalah
berkurangnya respons TNF-α awal terhadap stimulasi, indeks massa tubuh yang
rendah, dan peningkatan laju pernapasan saat diagnosis TB27.
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

1. TB Testis
Atas dasar:
o Anamnesis:
▪ Benjolan pada kemaluan sebelah kiri 3 bulan SMRS
▪ Semakin hari semakin membesar (± 1cm → ± 7cm) dalam 1
bulan terakhir
▪ Tidak nyeri dan dapat digerakkan
▪ Volume sperma sedikit setiap kali berhubungan seksual dan
kadang berwarna kekuningan
▪ Sudah menjalani operasi pengangkatan tumor beserta biopsi
pada jaringan testis pada bulan Desember 2019.

32
o Pemeriksaan Fisik:
▪ Inspeksi: Skar (+), kulit mengkerut (+) pada skrotum
sinistra

Gambar 4.1 Status Lokalis (Genitalia)

o Pemeriksaan Penunjang:
Histologi dan Sitologi (29/11/2019)
Tumor testis kiri
o Makroskopik: Diterima wadah bertuliskan testis
kiri, wadah berisi 1 potong jaringan berukuran
11x4x4cm, warna putih, konsistensi kenyal.
Sebagian cetak.
o Mikroskopik: Sediaan testis tersusun atas gambaran
tubulus seminiferous disertai sel Leydig. Tampak
pula area yang mengandung daerah-daerah nekrosis
kaseosa dikelilingi sel-sel epiteloid bersebukan sel-
sel radang limfosit, histiosit, leukosit. PMN dan sel
datia berinti banyak menyerupai sel datia langhan.

33
Dipikirkan: TB Testis
Rencana Diagnosis: -
Rencana Terapi:
2RHZ3E3 4RH
Rifampisin 1x400mg PO (sebelum makan)
Isoniazid 1x200mg PO (sebelum makan)
Pirazinamid 1x1200mg PO (setelah HD)
Etambutol 1x600mg PO (setelah HD)
Pyridoxine 1x1000mg PO (sesudah makan)
Diagnosis TB Testis dapat ditegakkan karena pada anamnesis ditemukan
gejala berupa benjolan pada salah satu sisi kemaluan yang semakin membesar
dalam waktu 1 bulan terakhir. Adanya benjolan pada salah satu sisi ini dapat
menyingkirkan diagnosis BPH yang mungkin dapat terjadi pada usia >50 tahun.
Benjolan ini juga bersifat tidak nyeri dan dapat digerakkan dimana hal ini yang
membedakan dengan suatu keganasan. Selain itu, pasien mengaku adanya
keluhan volume sperma yang sedikit setiap kali berhubungan seksual dan kadang
berwarna kekuningan. Gejala ini merupakan salah satu gejala pada TB testis.
Pada pasien ini gejala TB prostat dapat disingkirkan karena pada pasien
tidak terdapat gejala berupa peningkatan frekuensi berkemih dan hematuria.
Pada pasien ini juga tidak ditemukan dysuria, hematuria, urgensi maupun
hematospermia. TB yang melibatkan vesikulaseminalis dapat memberikan gejala
berupa infertilitas, penurunan volume ejakulasi seperti yang terdapat pada
pasien, namun pasien tidak mengalami azoospermia dan hematuria.
Selain itu, pada pemeriksaan fisik ditemukan skrotum yang membesar,
tidak beraturan, nodular sama seperti karakteristik yang dapat mengarahkan
pada TB testis. Pasien juga sudah menjalani operasi pengangkatan tumor beserta
biopsi pada jaringan testis pada bulan Desember 2019. Cara membedakan tumor
testis yang bersifat jinak maupun ganas, baik yang disebabkan oleh infeksi
maupun keganasan cukup sulit sebelum biopsi dapat dilakukan. Pada hasil biopsi

34
pasien kemudian ditemukan ciri khas dan karakteristik bakteri penyebab
inflamasi dan infeksi pada pasien, yaitu M.tuberculosis melalui penemuan
nekrosis kaseosaa.
Pasien dengan TB testis dapat mengalami infertilitas jika infeksi
menyebabkan obstruksi pada vesikula seminalis. Keluhan yang biasa dikeluhkan
adalah berkurangnya atau tidak adanya sperma yang keluar pada saat pasien
berhubungan seksual. Infertilitas ini dapat terjadi akibat infeksi TB pada
epididimis dan vesikula seminalis yang dapat menurunkan motilitas serta jumlah
sperma pada pasien. Pada pasien ini ditemukan penurunan jumlah sperma saat
berhubungan seksual yang diduga terjadi akibat adanya penyumbatan pada
vesikula seminalis.

Gambar 4.2
Anatomi Sistem
Reproduksi
Laki-laki

2. TB paru kasus baru, lesi sedang, sputum BTA negatif, HIV negatif
Atas dasar:
o Anamnesis:
● Batuk berdahak sejak 5 bulan SMRS
● Dahak berwarna putih

35
● Batuk sebanyak 5x dalam sehari
● Volume dahak ±1/4 gelas air mineral
● Sudah meminum obat batuk OBH, namun tidak ada perbaikan
● Tetangga pasien pernah menderita penyakit flek paru
● Berat badan pasien berkurang dalam waktu 3 bulan sebanyak
7kg
● Nafsu makan pasien menjadi berkurang dalam 1 tahun terakhir.
▪ Pemeriksaan Fisik: -
▪ Pemeriksaan Penunjang:
Chest Xray (01/11/2019)
o Fibrosis pada lapangan atas paru kanan. Fibrokalsifikasi pada
perihilar dan lapangan tengah paru kiri. Corakan
bronkovaskular kasar ireguler
o Kesan: Suspek TB Paru lama, Cor dalam batas normal
Immunology – Serology (14/01/20)
- Gen Xpert MDR-TB
o Spesimen: Sputum
o Not detected
- Anti-HIV (Rapid)
o Spesimen: Darah
o Not reactive
Mikrobiologi (14/01/20)
- AFB direct smear
o Sputum → Good quality sputum, leukosit 80/ lpf, epitel <10 lpf,
acid fast bacillus not found
- AFB direct smear II
o Sputum → Good quality sputum, leukosit 30/ lpf, epitel <10 lpf,
acid fast bacillus not found
Dipikirkan: TB Paru Kasus Baru, lesi sedang, sputum BTA negatif,
HIV negatif

36
Rencana Diagnosis: -
Rencana Terapi:
2RHZ3E3 4RH
Rifampisin 1x400mg PO (sebelum makan)
Isoniazid 1x200mg PO (sebelum makan)
Pirazinamid 1x1200mg PO (setelah HD)
Etambutol 1x600mg PO (setelah HD)
Pyridoxine 1x1000mg PO (sesudah makan)
Pasien didiagnosis TB paru kasus baru berdasarkan gejala yang dikeluhkan
pasien. Gejala yang dirasakan pasien berupa batuk berdahak sejak 5 bulan SMRS.
Dahak berwarna putih, batuk sebanyak 5x dalam sehari dengan olume dahak
±1/4 gelas air mineral. Dari keluhan gejala pasien tersebut menandakan adanya
suatu infeksi kronik yang menyebabkan pasien menderita batuk kronik.
Meskipun pada pasien tidak ditemukan adanya batuk darah, namun pasien
mengaku memiliki kontak dengan tetangga yang memiliki riwayat flek paru.
Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan dalam 3 bulan terakhir sehingga
berat badan pasien turun hingga 7 kg.
Selain mengumpulkan data anamnesis mengenai gejala yang dirasakan
pasien untuk menegakkan diagnosis TB juga penting untuk dilakukan
pemeriksaan sputum BTA serta serologi untuk melihat apakah sudah terjadi
resistensi obat pada bakteri yang ada dalam tubuh pasien. Pada pasien telah
dilakukan kedua pemeriksaan tersebut dan memperoleh hasil negatif untuk
pemeriksaan sputum BTA dan tidak terdeteksi adanya resistensi obat.
Jika didapatkan hasil yang negatif pada pemeriksaan sputum BTA, namun
pasien secara klinis memiliki gejala batuk kronik beserta lesi pada foto rontgen
thorax, maka pengobatan dapat diberikan namun perlu dievaluasi lagi dengan
melakukan pemeriksaan sputum BTA lagi 2 bulan setelah awal pengobatan.

37
Tabel 4.1 Algoritme Diagnosis Infeksi Tuberkulosis 24
Penatalaksanaan TB kategori I pada pasien ini sedikit berbeda karena
pasien ini memiliki komorbid gagal ginjal. Pada pasien perlu dipertimbangkan
efek samping terhadap ginjal dan beberapa obat yang melakukan clearance pada
ginjal. Hal ini perlu diperhatikan sebelum terjadi kerusakan yang lebih lanjut pada
fungsi ginjal yang masih dapat dipertahankan.

3. CKD Stage V on Intermittent Hemodialysis


Atas dasar:

38
o Anamnesis:
▪ Jumlah BAK yang berkurang dalam 1 tahun terakhir.
▪ Mudah lelah meskipun hanya melakukan aktivitas sehari-
hari sejak 1 tahun terakhir.
▪ Sedang menjalani proses hemodialysis sejak 1 tahun yang
lalu.
▪ Riwayat hipertensi yang didiagnosis pertama kali 15 tahun
lalu.
▪ Awalnya hipertensi tidak terkontrol, namun pasien rutin
kontrol dan meminum obat dalam 5 tahun terakhir.
▪ Obat anti-hipertensi yang dikonsumsi, yaitu Ramipril 1x5
mg.
▪ Tensi pertama kali pada saat pasien didiagnosis adalah
160/90 mmHg.

▪ Pemeriksaan Fisik: -

▪ Pemeriksaan Penunjang:
Hematology (09/01/2020)
Ureum 52,0
Creatinine 6,37
e-GFR 8,8
CKD Stage V: e-GFR <15
CT- Abdomen dan Pelvis tanpa Kontras (21/11/19)
o Hidronefrosis grade IV dan hydroureter proksimal e.c batu pada
ureter proksimal kanan ± -1,01 cm, sepanjang ± 1,48cm setinggi
corpus vertebra L3-L4 sisi kanan
o CKD bilateral
o Hipertrofi prostat volume ± 27,9mL
o Limfadenopati mesenterial multiple pada abdomen kanan bawah
diameter ± 0,5-0,7cm

39
o Fibrosis pada basal paru bilateral
o Organ-organ intrabdomen lainnya dalam batas normal
Dipikirkan: CKD Stage V on Intermittent Hemodialysis
Rencana Diagnosis: -

Rencana Terapi:
Hemodialisis
Terapi suportif:
Methylcobalamine 3x500mg IV
Vit. C 1x1000mg IV
Pada pasien ini telah terjadi komplikasi mikrovaskular, yaitu nefropati
yang menyebabkan terjadinya gagal ginjal adalah hipertensi. Pasien mengaku
bahwa pasien memiliki riwayat hipertensi yang didiagnosis pertama kali 15 tahun
lalu. Komplikasi ini terjadi akibat pasien memiliki hipertensi tidak terkontrol dan
baru saja rutin kontrol serta meminum obat dalam 5 tahun terakhir.

Gambar 4.3
Patofisiologi Gagal
Ginjal Kronik pada
Hipertensi
4. Anemia Normositik Normokromik
Atas dasar:
o Anamnesis:

40
▪ Mudah lelah meskipun hanya melakukan aktivitas sehari-
hari sejak 1 tahun terakhir.
▪ Sedang menjalani proses hemodialysis sejak 1 tahun yang
lalu.
▪ Pemeriksaan Fisik: Konjungtiva anemis +/+
▪ Pemeriksaan Penunjang:
Hematology (09/01/2020)
Hemoglobin 8,30 g/Dl
Hematokrit 26,60 %
RBC 3,09 106/uL

MCV 86,10
MCH 26,90
MCHC 31,20

Dipikirkan: Anemia normositik normokromik


Rencana Diagnosis: - Blood smear
Rencana Terapi:
Terapi erythropoietin 5000 IU
Penyebab anemia pada pasien ini akibat fungsi ginjal yang telah menurun
sehingga hal ini pula yang memengaruhi sintesi erythropoietin (EPO) untuk
memproduksi sel darah merah. Anemia pada pasien dengan gagal ginjal biasanya
berlangsung secara kronik. Pada umumnya anemia pada gagal ginjal kronik
merupakan anemia normositik normokromik.

41
Beberapa mekanisme penyebab terjadinya anemia, yaitu rendahnya
kadar EPO, sindrom uremik yang menyebabkan gangguan hematopoiesis dan
hemolysis darah perifer, defisiensi asam folat, vit. B12, serta zat besi (bila kronik).

42
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Global Tuberculosis Report 2018. 20th ed. France: WHO Library
Catalogue 2018.
2. Ugarte-gil C, Carrillo-larco RM, Kirwan DE. International Journal of
Infectious Diseases Latent tuberculosis infection and non-infectious co-
morbidities : Diabetes mellitus type 2 , chronic kidney disease and
rheumatoid arthritis. Int J Infect Dis [Internet]. 2019;80:S29–31. Available
from: https://doi.org/10.1016/j.ijid.2019.02.018
3. Cheng K, Liao K, Lin C, Liu C, Lai S. Chronic kidney disease correlates with
increased risk of pulmonary tuberculosis before initiating renal
replacement therapy. 2018;0(June).
4. Kulchavenya E. Best practice in the diagnosis and management of
urogenital tuberculosis. TherAdvUrolJun. 2013;5 (3): 143-51
5. Ostermann M, Palchaudhuri P, Riding A, Begum P, Milburn HJ. Incidence of
tuberculosis is high in chronic kidney disease patients in South East
England and drug resistance common. 2016;6049.
6. Fraser SDS, Blakeman T. Chronic kidney disease : identification and
management in primary care. 2016;21–32.
7. Recommendations CP, Providers H. Chronic Kidney Disease (CKD).
8. Lessnau, KD. Tuberculosis of the Genitourinary System.
http//emedicine.medscape.com/article/ 450651-overview. 2015
9. Boggia J, Li Y, Thijs L, et al. Prognostic accuracy of day versus night
ambulatory blood pressure: a cohort study. Lancet. 2007; 370(9594):1219–
1229. [PubMed: 17920917]
10. Liu M, Takahashi H, Morita Y, et al. Non-dipping is a potent predictor of
cardiovascular mortality and is associated with autonomic dysfunction in

43
haemodialysis patients. Nephrol Dial Transplant. 2003; 18(3):563–569.
[PubMed: 12584280]
11. Bakris GL, Williams M, Dworkin L, et al. Preserving renal function in
adults with hypertension and diabetes: a consensus approach. National
Kidney Foundation Hypertension and Diabetes Executive Committees
Working Group. Am J Kidney Dis. 2000; 36(3):646–661. [PubMed:
10977801]
12. Klag MJ, Whelton PK, Randall BL, et al. Blood pressure and end-stage
renal disease in men. N Engl J Med. 1996; 334(1):13–18. [PubMed:
7494564]
13. Lash JP, Go AS, Appel LJ, et al. Chronic Renal Insufficiency Cohort
(CRIC) Study: baseline characteristics and associations with kidney
function. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4(8):1302–1311. [PubMed:
19541818]
14. Tozawa M, Iseki K, Iseki C, Kinjo K, Ikemiya Y, Takishita S. Blood
pressure predicts risk of developing end-stage renal disease in men and
women. Hypertension. 2003; 41(6):1341–1345. [PubMed: 12707291]
15. Minutolo R, Agarwal R, Borrelli S, et al. Prognostic role of ambulatory
blood pressure measurement in patients with nondialysis chronic kidney
disease. Arch Intern Med. 2011; 171(12):1090–1098. [PubMed: 21709109]
16. Haruhara K, Tsuboi N, Koike K, et al. Renal histopathological findings in
relation to ambulatory blood pressure in chronic kidney disease patients.
Hypertens Res. 2014 [e-pub ahead of print, 2014 Sep 18.].
http://dx.doi.org/10.1038/hr.2014.140.
17. Shugaba AI, Rabiu AM, Uzokwe C, Matthew RM. Clinical Medicine
Insights : Case Reports Tuberculosis of the Testis : A Case Report. :169–
72.
18. Yonguc T, Bozkurt IH. Mycobacterial Diseases. 2014;4(5):9–11.
19. Kinnear N, Hoh I, Campillo P, Bolt J. Tuberculous epididymo-orchitis
masquerading as acutescrotum. BMJ CaseRep. Feb 4 2016.

44
20. KarJK, KarM. Primary tuberculosis of the glans penis. J
AssocPhysiciansIndia. 2012Aug; 60:52-3.
21. Jacob JT, Nguyen ML, Ray SM. Male genital tuberculosis. Lancet Infect
Dis. 2008; 8: 355-42.
22. Shah M, Reed C. Complications of tuberculosis. 2014;403–10.
23. Guideline Treatment of tuberculosis in renal disease. :0–8.
24. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2019.
25. Cox HS, Morrow M, Deutschmann PW. Long term efficacy of DOTS
regimens for tuberculosis: systematic review. BMJ. 2008 Mar 1.
336(7642):484-7.
26. Jasmer RM, Bozeman L, Schwartzman K, et al. Recurrent tuberculosis in
the United States and Canada: relapse or reinfection?. Am J Respir Crit
Care Med. 2004 Dec 15. 170(12):1360-6.
27. Waitt CJ, Peter K Banda N, White SA, et al. Early deaths during
tuberculosis treatment are associated with depressed innate responses,
bacterial infection, and tuberculosis progression. J Infect Dis. 2011 Aug.
204(3):358-62.

45

Anda mungkin juga menyukai