Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

UVEITIS KRONIS ODS

Disusun oleh:
Ivy Nydia Yuwono (01073200089)
Ruth Adelia Kristanti (01073200178)
Melisa Aurelia Wibisono (01073210122)
Michaela Kemuning (01073210126)

Pembimbing:
dr. Karliana Kartasa Taswir, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


PERIODE NOVEMBER– DESEMBER 2022
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
RUMAH SAKIT SILOAM LIPPO KARAWACI
TANGERANG
DAFTAR ISI

BAB I ILUSTRASI KASUS


1.1 Identitas Pasien
1.2 Anamnesis
1.3 Pemeriksaan Fisik
1.4 Resume
1.5 Diagnosis
1.6 Diagnosis Banding
1.7 Tatalaksana
1.8 Prognosis
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
2.2 Uveitis Anterior
2.2.1 Definisi
2.2.2 Epidemiologi
2.2.3 Etiologi
2.2.4 Patofisiologi
2.2.5 Manifestasi Klinis
2.2.6 Diagnosis
2.2.7 Komplikasi
2.2.8 Tatalaksana
2.2.9 Pencegahan
2.2.10 Prognosis
BAB III ANALISA KASUS
DAFTAR PUSTAKA

1
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 1 Januari 2002
Usia : 20 tahun
Agama : Kristen
Alamat : Tangerang
Tanggal berobat : 21 November 2022

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di Poliklinik Mata Rumah
Sakit Umum Siloam pada tanggal 21 November 2022.

1.2.1 Keluhan Utama


Pasien datang dengan keluhan mata merah serta pandangan kabur sejak 3
minggu SMRS.

1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan mata merah yang disertai dengan pandangan
kabur sejak 3 minggu SMRS. Pasien mengatakan keluhan mata merah, pandangan
kabur, dan nyeri yang dirasakan pada kedua mata. Keluhan tersebut dirasakan
bertambah parah sejak 2 hari terakhir, terutama dirasakan saat pasien membaca
jarak dekat. Pasien mengatakan skala nyeri pada mata berupa 5/10. Pasien juga
mengeluhkan rasa silau yang berlebih pada kedua mata ketika melihat ke arah
cahaya. Pasien menyangkal keluhan rasa gatal, mata berair, dan kotoran pada
kedua mata.

1.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien menyangkal pernah mengalami keluhan serupa. Pasien mengatakan
memiliki riwayat Tuberkulosis paru sejak 2 tahun yang lalu akan tetapi pasien
mengaku tidak menyelesaikan pengobatan karena keluhan sudah membaik dan tidak
pernah berkonsultasi kembali ke dokter paru. Pasien menyangkal memiliki riwayat

2
penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi, riwayat penyakit
autoimun, maupun riwayat keganasan. Pasien juga menyangkal pernah mengalami
trauma maupun riwayat operasi pada mata.

1.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien menyangkal di keluarga ada yang mengalami keluhan serupa. Pasien


juga mengatakan keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit seperti diabetes
mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi, riwayat autoimun maupun keganasan.

1.2.5. Riwayat Kebiasaan

Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok maupun mengkonsumsi


alkohol.

1.2.6. Riwayat Sosial dan Ekonomi

Pasien mengatakan di sekitar lingkungan kerja maupun perumahan pasien tidak


ada yang mengalami keluhan serupa. Pasien juga mengatakan tempat tinggal pasien
cukup bersih.

1.2.7 Riwayat Obat-Obatan

Pasien mengatakan ada mengkonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT), akan tetapi pasien
mengatakan tidak rutin mengkonsumsi obat.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84x/menit
Laju napas : 16x/menit
Suhu : 36,9°C
SpO2 : 100%

3
Status Oftalmologi
Okuli Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)

Inspeksi

6/60 Visus 6/60

Tidak ada Koreksi Tidak ada

- Addisi Kacamata -

Gerak bola mata ke Gerak Bola Mata Gerak bola mata ke


segala arah baik segala arah baik

Tidak ada Nistagmus Tidak ada

Ortoforia Alignment (Hirscherbg Test) Ortoforia

Palpebra superior

(-) Edema (-)

(-) Hiperemis (-)

(-) Entropion (-)

(-) Ektropion (-)

(-) Blefarospasme (-)

(-) Ptosis (-)

(-) Trikiasis (-)

(-) Benjolan/massa (-)

4
Palpebra Inferior

(-) Edema (-)

(-) Hiperemis (-)

(-) Entropion (-)

(-) Ektropion (-)

(-) Blefarospasme (-)

(-) Ptosis (-)

(-) Trikiasis (-)

(-) Benjolan/massa (-)

Area lakrimal dan Punctum Lakrimal

(-) Lakrimasi (-)

(-) Epifora (-)

(-) Sekret (-)

(-) Bengkak (-)

(-) Hiperemis (-)

(-) Benjolan/massa (-)

(-) Fistula (-)

Konjungtiva Bulbi

(-) Permukaan (-)

(-) Injeksi (-)

5
(-) Injeksi episklera (-)

(-) Perdarahan subkonjungtiva (-)

(-) Kemosis (-)

(-) Massa (-)

(-) Jaringan fibrovaskular (-)

(-) Pseudomembran (-)

(-) Corpus alienum (-)

Konjungtiva Tarsal Superior

(-) Folikel (-)

(-) Papil (-)

(-) Lithiasis (-)

(-) Laserasi (-)

(-) Simblefaron (-)

(-) Hiperemis (-)

(-) Anemis (-)

(-) Corpus alienum (-)

(-) Membran/pseudomembran (-)

Konjungtiva Tarsal Inferior

(-) Folikel (-)

(-) Papil (-)

6
(-) Lithiasis (-)

(-) Laserasi (-)

(-) Simblefaron (-)

(-) Hiperemis (-)

(-) Anemis (-)

(-) Corpus alienum (-)

(-) Membran/pseudomembran (-)

Sklera

Normal Warna Normal

(-) Nodul (-)

(-) Vulnus (-)

(-) Ruptur (-)

Kornea

jernih Kejernihan jernih

(-) Keratic precipitate (-)

(-) Edema (-)

(-) Corpus Alienum (-)

(-) Refleks Kornea (-)

(-) Tes Fluorescein (-)

COA

Dangkal Kedalaman Dangkal

7
(-) Hifema (-)

(-) Hipopion (-)

Pupil

>3mm Ukuran >3mm

Ireguler Bentuk Ireguler

Tegas Batas Tegas

Diameter 3 mm Anisokoria Diameter 2 mm

Tidak diperiksa Refleks Cahaya Langsung Tidak diperiksa

Tidak diperiksa RAPD Tidak diperiksa

Iris

Hiperpigmentasi Warna Hiperpigmentasi

(+) Ireguler (+)

(-) Sinekia anterior (-)

(+) pada jam 1,2, 8, dan 11 Sinekia posterior (+) pada jam 12 dan 3

Lensa

Jernih Kejernihan Jernih

(-) Shadow Test (-)

Vitreous

Jernih Kejernihan Jernih

(-) Floaters (-)

8
(-) Perdarahan (-)

Fundus

(+) Refleks Fundus Tidak dapat dilakukan

Bulat oval Bentuk Papil Tidak dapat dilakukan

Tegas Batas Papil Tidak dapat dilakukan

2/3 A/V Ratio Tidak dapat dilakukan

0.3 C: D Ratio Tidak dapat dilakukan

TIO

N+1 Palpasi Palpebra N+1

18 Tonometri Digital 19

Campus

Sama dengan pemeriksa Lapang Pandang Sama dengan pemeriksa

Tes Ishihara (Buta Warna)

Normal (tidak ada red green deficiency)

1.4. Resume
Pasien datang dengan keluhan mata merah yang disertai dengan pandangan kabur
sejak 3 minggu SMRS. Pasien mengatakan keluhan mata merah, pandangan kabur, dan
nyeri yang dirasakan pada kedua mata. Keluhan tersebut dirasakan bertambah parah sejak
2 hari terakhir, terutama dirasakan saat pasien membaca jarak dekat. Pasien mengatakan
skala nyeri pada mata berupa 5/10. Pasien juga mengeluhkan photophobia. Pasien
menyangkal pernah mengalami keluhan serupa. Pasien mengatakan memiliki riwayat
Tuberkulosis paru sejak 2 tahun yang lalu akan tetapi pasien mengaku tidak
menyelesaikan pengobatan karena keluhan sudah membaik dan tidak pernah
berkonsultasi kembali ke dokter paru.

9
Pada hasil pemeriksaan fisik pada Oculi Sinistra ditemukan visus pasien 6/60, pada
pemeriksaan CoA ditemukan CoA dangkal, terdapat synechiae posterior 360° (oklusio),
dan pupil anisokor, bentuk ireguler.

1.5 Diagnosis
● Uveitis kronis ODS
● Myopia ODS

1.6 Diagnosis Banding


● Glaukoma akut
● Keratitis

1.7 Tatalaksana
● Tatalaksana Non-medikamentosa
● Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit, pentingnya menggunakan obat
secara teratur sesuai anjuran, menjaga kebersihan mata
● Konsultasi Sp.P

● Tatalaksana Medikamentosa
○ Tetes mata sikloplegik, berupa Sulfas atropin 1% ED 1x1 tetes ODS
○ Steroid topikal, berupa Prednisolone asetat 1% ED 6x1 tetes ODS
○ Methylprednisolone 8mg PO 2x1

1.8 Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Uvea


Uvea merupakan bagian dari bola mata yang berada dalam lapisan vaskular, lapisan
yang berada dibawah lapisan fibrous. Traktus uvealis dari anterior ke posteior terdiri dari
tiga bagian: iris, badan siliaris, dan koroid.

2.1.1 Iris
Iris merupakan bagian dari traktus uvealis yang paling anterior, membentuk
diafragma di depan lensa kristalina. Iris berfungsi untuk mengatur banyaknya
jumlah cahaya yang masuk ke mata menuju retina dengan mengubah apertura
pupil. Di perifer, iris melekat pada permukaan anterior medial pada badan silias dan
juga membagi ruang antara kornea dan lensa menjadi bilik anterior dan bilik
posterior. Secara makroskopik, permukaan anterior iris dapat terbagi menjadi
cilliary zone dan pupillay zone oleh garis zigzag yang disebut colarette. Secara
mikroskopik, ada 4 lapisan dari anterior ke posterior yaitu anterior limiting layer,
stroma iris, lapisan epitelial anterior, posterior pigmented epithelial layer. Anterior
limiting layer terdiri dari melanosit dan fibroblas, warna pada iris tergantung pada
lapisan ini, apabila iris berwarna biru, lapisan ini tipis dan mengandung sel pigmen
yang sedikit, tetapi jika iris berwarna coklat, lapisan ini tebal dan memiliki banyak
pigmen. Stroma iris terdiri dari jaringan kolagen yang longgar dimana didalamnya
terdapat sphincter pupillae muscle, dilator pupillae muscle, pembuluh darah, saraf,
sel pigmen, sel-sel yang lain seperti limfosit, fibroblas, makrofag, dan sel mast.
Spinchter pupillae muscle berguna untuk konstriksi pupil karena saraf
parasimpatetik melalui third cranial nerve dan dilator pupilae muscle yang terletak
di bagian posterior stroma iris berguna untuk dilatasi pupil karena saraf simpatetik.
Lapisan epitel anterior adalah kelanjutan dari epitel berpigmen retina dan badan
siliaris. Lapisan epitel berpigmen posterior adalah lanjutan dari epitel nonpigmen
badan silairis. Lapisan epitel ini akan berlanjut ke lapisan epitel berpigmen anterior.
Pembuluh darah arteri yang mensuplai darah ke iris berasal dari major circle of the
iris dan persarafan melalui serat saraf siliaris.

11
Gambar 1. Struktur Iris

2.1.2 Badan Siliaris


Badan siliaris berbentuk segitiga dengan potongan melintang. Di sisi anterior
badan siliaris, membentuk sudut bilik anterior dan posterior. Di bagian tengah
adalah tempat iris melekat. Pada bagian luar terletak pada sklera dengan ruang
suprakoroidal diantaranya. Pada bagian dalam, terbagi menjadi dua bagian yaitu
bagian anterior (lebar sekitar 2mm) disebut pars plicata dan bagian posterior (lebar
sekitar 4 mm) disebut pars plana. Pars plana merupakan zona berpigmen halus dan
realtif avaskulardan meluas dari ora serrata sampai ke prosesus siliaris. Ora serrata
menghubungkan pars plana dengan retina. Pars plikata berakhir pada ora serrata,
mempunyai banyak vaskularisasi, dan terdiri dari lebih kurang 70 lipatan radial
yang disebut sebagai prosesus siliaris. Secara mikroskopik, badan siliaris terdiri
dari 5 lapisan yaitu: supraciliary lamina, stroma badan siliaris, epitel berpigmen,
epitel tidak berpigmen, dan internal limiting membrane. Supraciliary lamina
adalah lapisan terluar stroma dan terdiri dari serat kolagen berpigmen. Stroma
badan siliaris terdiri dari jaringan ikat kolagen dan fibroblas, dimana didalamnya
terdapat otot siliaris, pembuluh darah, saraf, dan sel-sel lainnya. Otot siliaris
bersifat seperti serabut otot polos yang tidak berstriata, terbagi menjadi 3 bagian
yaitu serat longitudinal (membantu aliran keluar dari humor akuos), serat sirkular
(membantu dalam akomodasi), dan serat radial/oblik (memiliki fungsi sama dengan
serat longitudinal). Otot siliaris dipersarafi oleh serat parasimpatetik melalui saraf

12
siliaris. Lapisan epitel berpigmen adalah lanjutan dari epitel berpigmen retina, di
anterior lapisan ini berlanjut dengan epitel berpigmen iris. Epitel berpigmen
tersusun relatif seragam dan mengandung granul-granul pigmen 3-4 kali lebih
besar dari koroid dan retina. Lapisan epitel tidak berpigmen terdiri dari sel kuboid
dan merupakan lanjutan dari retina sensorik dan berlanjut menjadi epitel berpigmen
posterior dari iris. Internal limiting membrane merupakan lanjutan dari internal
limiting membrane dari retina. Fungsi dari badan siliaris adalah pembentukan
humor akuos dan membantu otot siliaris dalam akomodasi. Pembuluh darah arteri
yang mensuplai badan siliaris berasal dari major circle of the iris dan persarafa
melalui short ciliary nerves.

2.1.3 Koroid
Koroid adalah bagian posterior dari lapisan vaskular. Permukaan dalam koroid
halus dan melekat pada epitel berpigmen retina, dan bagian luar permukaannya
bersifat kasar dan melekat pada sklera. Secara mikroskopis, koroid memiliki 3
lapisan yaitu lamina suprakoroidal, stroma koroid, lamina basal. Lamina
suprakoroidal merupakan membran tipis dengan serat kolagen, melanosit, fibroblas,
sel endotel, arteri dan nervus siliaris posterior longus dan brevis. Lamina ini
berlanjut ke anterior dengan lamina suprasiliaris. Stroma koroid adalah jaringan
ikat longgar dan terdiri dari serat elastis, sel pigmen, dan sel plasma. Stroma koroid
terdiri dari 3 lapisan yaitu Hailers’ layer, Sattler’s layer, dan lapisan koriokapilaris
yang menutrisi lapisan terluar retina. Lamina basal juga disebut membran Bruch,
sebuah membran yang membatasi epitel pigmen retina dengan lapisan
koriokapilaris. Membran ini terdiri dari banyak jaringan ikat yang permeabel
terhadap molekul kecil, seperti fluoresein. Persarafan koroid melalui saraf
siliaris.1,2,3

13
Gambar 2. Struktur mikroskopik dari koroid

2.2 Uveitis Anterior


2.2.1 Definisi
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi pada bagian iris (iritis, iridocyclitis),
badan siliar (uveitis intermediate, siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis), atau
badan koroid (koroiditis). Uveitis dapat terjadi sekunder terhadap inflamasi kornea
(keratitis), sklera (skleritis), atau keduanya (keratoskleritis).
Sedangkan uveitis anterior adalah peradangan pada lapisan tengah mata, yang
meliputi iris dan badan siliaris. Uveitis anterior merupakan peradangan yang paling
sering terjadi diantara jenis uveitis lainnya, dan biasanya terjadi secara akut dan
unilateral. Semua bentuk gejala dari uveitis harus segera dirujuk ke dokter spesialis
mata dikarenakan pengobatan pada umumnya diberikan dalam durasi yang cukup
lama dan apabila dibiarkan dalam jangka waktu yang panjang maka akan
menimbulkan komplikasi lanjutan.1

2.2.2 Epidemiologi
Uveitis merupakan peradangan pada lapisan uvea pada mata dan dapat
mengancam penglihatan yang merupakan salah satu penyebab utama dari
morbiditas okular dengan persentase sebesar 5-10% mengalami gangguan
penglihatan di seluruh dunia.
Terdapat studi terbaru yang menjelaskan prevalensi uveitis di negara maju
sebesar 38-714 kasus per 100.000. Insiden dan prevalensi uveitis sangat bervariasi
berdasarkan usia, lokasi inflamasi (anterior, intermediate, posterior, panuveitis),
jenis kelamin, histopatologi (granulomatosa), durasi inflamasi (akut, kronis,
berulang) dan etiologi. Berdasarkan lokasi inflamasi, uveitis anterior merupakan
bentuk paling umum dari peradangan intraokular dengan prevalensi tertinggi yaitu

14
sebesar 27.7 kasus per 100.000, diikuti dengan posterior uveitis sebanyak 23.4
kasus per 100.000, panuveitis sebanyak 4.4 kasus per 100.000, dan yang paling
jarang berupa intermediate uveitis sebanyak 0.17 kasus 100.000
Berdasarkan etiologi, sekitar 30-60% kasus uveitis terjadi secara idiopatik
dimana paling banyak terjadi pada anterior uveitis dan intermediate uveitis. Uveitis
akibat infeksi terjadi cukup besar di negara berkembang yaitu sebesar 30-50%
dengan penyebab paling umum berupa toksoplasmosis, tuberkulosis, leptospirosis,
uveitis herpetik, dan penyakit infeksi lainnya. Sedangkan uveitis non infeksi lebih
banyak terjadi di negara maju dengan penyebab paling umum berupa uveitis terkait
HLA-B27 (cth. ankylosing spondylitis, arthritis reaktif, enteropathic arthropathy,
arthritis psoriatik).

https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09273948.2016.1196713?scroll=
top&needAccess=true
https://journals.plos.org/plosone/article/file?id=10.1371/journal.pone.0237995
&type=printable

2.2.3 Etiologi
Uveitis paling sering terjadi secara idiopatik maupun penyakit yang berkaitan
dengan HLA-B27. Etiologi dalam kasus tersebut masih belum jelas, akan tetapi
melibatkan reaktivitas silang dengan antigen mikroba tertentu pada individu yang
memiliki kecenderungan genetik. Selain itu terdapat etiologi lain baik infeksi
maupun non-infeksi.
a. Idiopatik
Sekitar setengah dari individu yang mengalami uveitis anterior terjadi secara
idiopatik
b. Uveitis terkait HLA-B27 (cth. Ankylosing spondylitis, arthritis reactive,
psoriatic arthritis, inflammatory bowel disease).
c. Uveitis akibat lensa
Uveitis terjadi akibat adanya reaksi imun dari bahan lensa, faktor sekunder dari
prosedur katarak yang tidak lengkap, trauma akibat kerusakan pada kapsul
lensa, dan katarak hipermatur.
d. Iritis Pascaoperasi
Terjadi akibat adanya inflamasi pada bilik depan mata terkait dengan operasi
intraokular. Selain itu endoftamitis juga dapat diperkirakan jika terdapat nyeri

15
dan inflamasi berat.
e. Sindroma Uveitis Glaucoma Hyphema (UGH)
Biasa terjadi secara sekunder akibat iritasi dari lensa intraokular.
f. Penyakit Behçet
Umumnya terjadi pada dewasa muda, hipopion akut, iritis, ulserasi genital,
eritema nodosum, retinal vasculitis baik arteri maupun vena dan pendarahan
g. Penyakit Lyme
Umumnya pada pasien memiliki riwayat tergigit kutu dan mengalami
ruam-ruam
h. Iskemik pada bilik depan mata
Pada pasien dengan riwayat operasi otot ekstraokular, adanya insufisiensi dari
karotid.
i. Sindroma Tuberiointerstinal nefritis dan uveitis (TINU)
Jarang terjadi, umumnya pada anak-anak dan dewasa muda terjadi secara
bilateral pada nongranulomatous uveitis, dengan predileksi wanita.
j. Lainnya
Mumps, influenza, adenovirus, measles, chlamydia, leptospirosis, penyakit
kawasaki, chikungunya
Selain itu, uveitis juga dapat terjadi secara kronik dengan etiologi sebagai berikut:
a. Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA)
Umumnya terjadi secara bilateral dengan predileksi pada anak perempuan.
Tanda dan gejala berupa asimptomatik dengan injeksi minimal. Pada
pemeriksaan laboratorium akan terlihat adanya peningkatan laju sedimentasi
eritrosit (ESR), antinuclear antibody (ANA) yang positif, dan faktor
rheumatoid negatif. JIA umumnya berkaitan dengan glaukoma, katarak
b. Iridosiklitis kronik
Umumnya terjadi pada anak anak terutama anak perempuan. Memiliki tanda
dan gejala yang sama seperti JIA akan tetapi tidak mengalami artritis
c. Fuchs' heterochromic iridocyclitis (FHIC)

Atrofi stroma iris difus sering menyebabkan iris berwarna lebih terang dengan
cacat transiluminasi dan penumpulan arsitektur iris. Gonioskopi mungkin
menunjukkan pembuluh halus yang melintasi trabecular meshwork, biasanya
tanpa sinekia posterior. Presipitat keratik halus di seluruh endotel kornea,
reaksi bilik mata depan ringan . Kekeruhan vitreous, glaukoma, dan katarak

16
sering terjadi, tetapi edema makula dan sinekia posterior tidak ada.
d. Sarcoidosis
Sarkoidosis paling umum terjadi pada individu Afrika Amerika dan
Scandinavia. Terjadi secara bilateral dan memiliki komplikasi berupa posterior
synechiae dan nodul pada konjungtiva atau iris.
e. Herpes simplex/ varicella zoster
Tanda dan gejala berupa adanya presipitat keratik difus, peningkatan tekanan
intraokular dan atrofi pada iris. Memiliki riwayat mata merah secara unilateral,
terkadang juga memiliki riwayat vesikel kulit. Terkadang dapat ditemukan
adanya bekas luka pada kornea yang berkaitan dengan penurunan sensasi pada
kornea
f. Sifilis
Etiologi sifilis banyak mengakibatkan uveitis anterior dan intermedia. Dapat
bermanifestasi menjadi ruam makulopapula, roseola iris (papul vaskular pada
iris), dan intestinal keratitis.
g. Tuberkulosis
Dapat ditemukan adanya Protein Derivative of Tuberculin (PPD) yang positif
dan / atau interferon gamma release assay (IGRA). Dapat juga dilakukan
pemeriksaan radiografi pada toraks, akan tetapi pasien dengan TB uveitis
terjadi tanpa adanya TB pulmonal.
h. Lainnya seperti leprosy dan brucellosis.

Infectious
Virus → Cytomegalovirus, HSV, VZV, Rubella virus, Rubeola virus)
Bacteria → Tuberculosis, Brucellosis, Syphilis, Bakteri gram positif dan negatif)
Fungi → Candida, Histoplasma, Cryptococcus, Aspergillus)
Parasites → Toxoplasma, Toxocara, Cysticercus, Onchocerca)

Non-infectious
Autoimun → Juvenile Idiopathic Arthritis, Ankylosing Spondylitis, Arthritis
Psoriatik, Arthritis reaktif, SLE
Malignancy → intraocular lymphoma, malignant melanoma, leukemia

Lainnya
Fuchs Heterochromic Iridocyclitis (Fuchs uveitis syndrome)
Krisis glaukomatosiklitik (Posner-schlossman syndrome)

Bagheri N, Wajda VN, Calvo CM, Durrani AK, Friedberg MA, Rapuano CJ. The Wills Eye
Manual: Office and Emergency Room Diagnosis and Treatment of Eye Disease. 7th ed.
Wolters Kluwers; 2017.

17
2.2.4 Patofisiologi
Secara umum, patofisiologi uveitis masih belum dapat diketahui dengan baik.
Terdapat penelitian yang menjelaskan bahwa trauma pada mata dapat menyebabkan
cedera sel dan kematian sel sehingga akan terjadi pelepasan sitokin inflamasi yang
menyebabkan uveitis pasca trauma. Selain itu, terdapat juga patofisiologi uveitis
akibat penyakit inflamasi, dimana diperkirakan karena adanya mimikri molekuler,
dimana agen infeksi akan bereaksi silang dengan antigen spesifik okular.
Peradangan yang mengancam penglihatan dimediasi oleh sel CD4 Th1.
Biasanya, hanya limfosit yang teraktivasi diizinkan untuk melewati sawar darah
retina, sehingga akan menurunkan sensitisasi sel T naif terhadap protein okular.
Beberapa penelitian juga menunjukan adanya mimikri molekul antara peptida S-Ag
retina dan peptida dari antigen HLA-B terkait penyakit yang berkaitan dengan target
protein okular dan respon inflamasi.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK540993/

2.2.6 Manifestasi Klinis


Pasien dengan Uveitis Anterior memiliki beberapa gejala khas, yakni onset
cepat dari nyeri unliteral yang dirasakan pasien, kemerahan dan keluarnya cairan,
terkadang pasien juga akan merasakan ketidaknyamanan selama beberapa hari
sampai terjadi perkembangan komplikasi seperti katarak.15
Berdasarkan Kanski, beberapa manifestasi klinis yang dapat terjadi pada pasien
dengan Uveitis Anterior Akut adalah sebagai berikut. 15:
1. Ketajaman Penglihatan (Visual Acquity) bervariasi dan bergantung pada tingkat
keparahan dari inflamasi dan keberadaan komplikasi. Pada pasien dengan
Uveitis Anterior Akut seringkali ketajaman penglihatan hanya berkurang
sedikit.
2. Injeksi Silier merupakan hiperemia konjungtiva sirkumkorneal dengan warna
keunguan karena adanya keterlibatan pembuluh darah yang lebih dalam, seperti
yang terlihat pada Gambar (...) berikut.

18
Gambar (...). Gambaran Injeksi Silier.
3. Meiosis dapat terjadi akibat spasme dari sfingter pupil, sekaligus menjadi
predisposisi pembentukan sinekia posterior, seperti yang terlihat pada gambar
berikut.

Gambar (...). Gambaran Miosis.


4. Sel ruang anterior merupakan indikator dari terjadinya inflamasi.
5. Aqueous flare adalah kekeruhan cairan yang biasanya jernih di ruang anterior,
yang menandakan adanya protein akibat kerusakan sawar darah-akuos. Flare
dapat dinilai secara klinis dengan menggunakan slit-lamp untuk menilai tingkat
gangguan visualisasi iris dan lenda. Apabila tersedia, fotometri suar laser lebih
objektif.
6. Hipopion mengacu pada eksudat purulen berwarna keputihan yang terdiri dari
banyak sel inflamasi di bagian inferior ruang anterior, membentuk tingkat
horizontal di bawah pengaruh gravitasi. Pada pasien dengan Uveitis Anterior
Akut umm terjadi hipopion dan terkait dengan HLA-B27. Pada saat kandungan
fibrin tinggi menyebabkan tidak dapat bergerak dan juga lambat untuk diserap.
7. Keratic precipitates merupakan endapan pada endotel kornea yang tersusun
atas sel inflamasi, seperti limfosit, sel plasma, dan makrofag. Umumnya
terkonsentrasi secara inferior dan sering dalam pola segitiga dengan puncak
yang mengarah ke atas.
8. Eksudat fibrinosa umum terjadi pada pasien dengan Uveitis Anterior Akut dan
sering terlihat pada peradangan terkait HLA-B27.
9. Nodul Iris dapat terjadi pada uveitis anterior granulomatosa dan non

19
granulomatosa
10. Sinekia Posterior merupakan adhesi inflamasi antara margin pupik dan kapsul
lensa anterior dan juga dapat terbentuk di lokasi nodul Koeppe. Sinekia
posterior dapat berkembang dengan cepat dan dapat dicegah dengan profilaksis
awal dengan agen midriatik, umum digunakan pada pasien dengan uveitis
anterior akut kecuali yang sangat ringan.
11. Atrofi Iris dapat menjadi petunjuk diagnostik yang berguna atau khas. Atrofi
stroma difus terlihat pada sindrom uveitis Fuchs dan atrofi bercak atau sektoral
dapat terjadi pada uveitis herpes.
12. Iridis Heterokromi mengacu pada perbedaan warna antara iris kedua mata,
paling baik dilihat di siang hari. Dalam konteks uveitis, heterokromi secara
khas terjadi pada sindrom uveitis Fuchs.
13. Neovaskularisasi iris dapat terjadi terutama pada peradangan kronis. Proses
terbentuknya cenderung akut dibandingkan dengan penyebab vaskular primer
seperti oklusi vena retina.
14. Tekanan Intraokular dapat berkurang akibat adanya gangguan sekresi akuos
oleh epitel siliaris.
15. Pemeriksaan segmen posterior harus selalu dilakukan untuk deteksi penyebab
uveitis anterior.

Kanski Clinical Ophthalmology, A systematic approach. John F. Salmon. Journal of Chemical


Information and Modeling (2019).

2.2.7 Diagnosis
Pada pemeriksaan anamnesis, gejala paling umum adalah nyeri okular,
fotofobia, kemerahan, mata berair, dan penglihatan menurun. Semua keluhan
tersebut ditanyakan apakah dialami atau tidak, tanyakan juga apakah terjadi pada
satu atau kedua mata, progresivitas dan tingkat severitasnya masing-masing. Jenis
onset juga perlu diketahui, apakah terjadi secara tiba-tiba atau bertahap. Adanya
gejala lain, baik okular maupun sistemik harus diuraikan, contohnya nyeri sendi,
demam, batuk dan sebagainya. Riwayat penyakit okular yang diderita pasien,
apakah serangan yang dialami pasien baru pertama kali terjadi atau telah terjadi
sebelumnya. Ditanyakan kapan tanggal terakhir terjadi serangan dan interval

20
diantara serangan. Setiap riwayat trauma atau operasi okular juga dicari. Apakah
pasien pernah menjalani operasi mata seperti operasi katarak, operasi vitreoretinal,
atau operasi untuk glaukoma, katarak, jenis operasi, riwayat implantasi lensa
intraokuler (IOL) dari uveitis sebelumnya, komplikasi pasca operasi, steroid pasca
operasi, atau komplikasi apa pun harus ditanyakan. Riwayat pengobatan pasien
termasuk penggunaan steroid (topikal, sistemik atau periocular) dan durasinya.
Ditanyakan seberapa sering pengobatan digunakan, kapan injeksi periokular
terakhir diberikan, apakah menggunakan imunosupresan. Dosis dan durasi juga
ditanyakan. Apakah tatalaksananya dihentikan atau dilakukan penurunan dosis
karena adanya komplikasi seperti katarak/glaukoma atau sindrom cushingoid.

Pemeriksaan ekstraokuler.
1. Wajah. Dalam pemeriksaan wajah, lihat apakah terdapat bekas luka
yang disebabkan oleh herpes zoster oftalmikus atau penyakit Hansen.
Dapat dicari juga apakah terdapat vitiligo.
2. Tangan. Pada pemeriksaan tangan, lihat apakah ada kelainan seperti
deformitas swan neck yang ditemukan pada artritis reumatoid. Setiap
deformitas yang menunjukkan penyakit Hansen harus dicari.
3. Postur. Tinjau apakah terdapat postur seperti pada ankylosing
spondylitis atau juvenile idiopathic arthritis.

Harthan J, Fromstein S, Morettin C, Opitz D. Diagnosis and treatment of anterior uveitis:


optometric management. Clinical Optometry. (2016)

Pemeriksaan okuler.

1. Konjungtiva. Apakah terdapat kongesti, nodul dan nekrosis.


2. Sklera. Dicari apakah terdapat kongesti, nodul atau nekrosis.
3. Kornea. Ditinjau kejernihan kornea, adanya band shaped keratopathy,
scar dari keratitis viral, apakah lesi kornea telah sembuh atau aktif.
Apakah terdapat edema kornea atau lipatan pada membrane Descement.
Apakah terdapat keratic precipitate, apakah bulat dan keputihan atau
terpigmentasi dan tepinya tidak mulus, ukuran (terdistribusi merata pada

21
seluruh endothelium), tipe mutton fat kecil, sedang, atau besar.
Bagaimana distribusinya, apakah Arlt’s triangle, difus atau terlokalisir.
4. Bilik mata depan. Saat memeriksa bilik mata depan, ditinjau kedalaman,
baik pusat maupun perifer. Untuk reaksi bilik mata depan, cari sel dan
flare dan tingkatkan menurut tingkat keparahannya. Jika terdapat
hipopion, catat jenis, warna, dan luasnya. Juga ditinjau ada tidaknya
eksudat, fibrin atau hifema.
5. Pupil. Pemeriksaan pupil penting dan mencakup reaksi pupil, ukuran,
dan bentuknya. Apakah terdapat sinekia posterior luas atau sinekia
anterior perifer.
6. Iris. Tinjau apakah terdapat nodul. Nodul Koeppes terlihat di tepi pupil,
nodul busaccas terlihat di stroma iris. Tinjau patch atrofi di iris, apakah
difus atau sektoral. Jika ada sinekia posterior, apakah terlokalisir. Jika
mereka luas, hal ini menunjukkan tuberkulosis.
7. Lensa. Tinjau perubahan lentikular dan jenis katarak, apakah
subkapsular posterior, nukleus, atau total.
8. Lensa intraokuler. Pemeriksaan IOL harus mencakup jenis lensa,
pigmen apa pun di atasnya, dan fiksasi haptik.
9. Tekanan intraokuler. TIO harus ditinjau dalam semua kasus uveitis
anterior. Jika tinggi, menunjukkan penyumbatan drainase atau
trabekulitis dan jika rendah, menunjukkan penutupan silia atau
membran di atas badan siliaris. Tekanan intraokular yang tinggi sering
dikaitkan dengan uveitis anterior virus.
10. Gonioskopi. Pemeriksaan gonioskopi termasuk mencari sinekia anterior
perifer, jenisnya, dan luasnya. Nodul juga dapat terlihat pada sudut
pada sarkoidosis.
11. Vitreous anterior. Tinjau apakah terdapat sel.
12. Pemeriksaan funduskopi. Dilakukan dengan biomikroskopi slit-lamp
atau oftalmoskopi indirek dan cari patologi segmen posterior seperti
edema makula cystoid, uveitis intermediet, atau lesi lainnya.

Cullom RD, Chang B. The Wills Eye Manual. Philadelphia: J.B. Lippincott (1994)
Agrawal RV, Murthy S, Sangwan V, Biswas J. Current approach in diagnosis and management
of anterior uveitis. Indian J Ophthalmol (2010)

22
Pemeriksaan laboratorium:
1. HLA-B27. Kompleks histokompatibilitas utama (MHC) adalah
sekelompok gen yang terlibat dalam interaksi sel darah putih-antigen
dan fungsi kekebalan lainnya, termasuk pengkodean glikoprotein
permukaan sel. Pada manusia, MHC yang ditemukan pada kromosom
6, disebut sistem human leukocyte antigen (HLA). HLA digunakan
untuk menentukan kompatibilitas transplantasi organ dan juga dapat
menunjukkan kecenderungan penyakit tertentu. Fenotipe ini memiliki
hubungan yang sangat kuat dengan anterior uveitis akut, ankylosing
spondylitis dan beberapa kondisi inflamasi lainnya seperti artritis reaktif
(sindrom Reiter), artritis psoriasis dan artritis pada penyakit inflamasi
usus. Ditemukan pada 50% pasien dengan AAU yang dinyatakan sehat
dan 90% pasien dengan AAU yang memiliki spondyloarthropathy,
terutama ankylosing spondylitis. Pengujian HLA-B27 harus dilakukan
pada setiap orang dewasa atau anak dengan granulomatous anterior
berulang atau uveitis kronis.
2. Serologi sifilis. Tes antibodi treponema seperti ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay) sangat sensitif dan spesifik, tetapi membutuhkan
waktu sekitar 3 bulan untuk menjadi positif.
a. Tes antibodi non-specific titratable cardiolipin seperti rapid
plasma reagin (RPR) atau venereal disease research laboratory
(VDRL) lebih umum positif pada infeksi awal dan digunakan
untuk membantu memantau aktivitas penyakit. Tes ini menjadi
negatif dari waktu ke waktu, umumnya pada penyakit yang
diobati. Hasil positif palsu dapat terjadi.
b. Kedua kategori tes harus dilakukan saat skrining untuk sifilis
okular. o Gambaran klinis yang menunjukkan diagnosis sifilis
harus segera dirujuk ke dokter spesialis penyakit menular atau
menular seksual.
3. Serum angiotensin converting enzyme (ACE) : tes non-spesifik yang
menunjukkan adanya penyakit granulomatosa seperti sarkoidosis,
tuberkulosis dan kusta. Peningkatan terjadi hingga 80% pasien dengan

23
sarkoidosis akut tetapi mungkin normal selama remisi. Pada anak
normal, kadar ACE serum cenderung lebih tinggi dan secara diagnostik
kurang bermanfaat. Olahraga berat dapat meningkatkan ACE.
4. Lysozyme adalah sekelompok enzim yang ditemukan dalam neutrofil
polimorfonuklear dan sejumlah sekresi termasuk air mata. Memiliki
antibakteri yang kuat, memediasi kerusakan dinding sel bakteri. Uji
lisozim serum umumnya sedikit kurang sensitif dan spesifik
dibandingkan serum ACE dalam diagnosis sarkoidosis, tetapi
melakukan kedua tes dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas.
5. Laju sedimentasi eritrosit dan protein C-reaktif (CRP): reaktan fase akut
yang mungkin bernilai terbatas, tetapi dapat meningkat pada berbagai
gangguan inflamasi sistemik.
6. Hitung darah lengkap: leukositosis dapat meningkatkan kecurigaan
infeksi dan keganasan hematologis. Eosinofilia dapat terjadi pada
infeksi parasit.
7. Antibodi antinuklear (ANA): penggunaannya terbatas, kecuali pada
anak-anak. Pada pasien dengan juvenile idiopathic arthritis (JIA)
dikaitkan dengan risiko anterior uveitis kronik yang lebih tinggi.
8. Antineutrofil sitoplasma antibodi (ANCA): penggunaan terbatas pada
uveitis anterior jika terkait dengan skleritis dan/atau keratitis ulseratif
perifer. 10. Interferon-gamma release assay (e.g. QuantiFERON-TB
GoldTM) tes darah untuk tuberkulosis.
9. Serologi HIV: diindikasikan untuk pasien tertentu, biasanya mereka
yang telah didiagnosis atau diduga terinfeksi oportunistik.
10. X-ray sendi sakroiliaka dapat menunjukkan bukti sakroiliitis pada
ankylosing spondylitis dan spondyloarthropathies seronegatif lainnya.
11. Chest X-ray dapat menunjukkan bukti sarkoidosis atau tuberkulosis.
12. Pencitraan okular
a. Ultrasonografi B-scan.
b. Optical coherence tomography (OCT) dapat menunjukan
komplikasi segmen posterior seperti makula cystoid edema dan
membran epiretina.
c. Fundus autofluorescence (FAF)
d. Dugaan patologi segmen posterior sebagai lesi dari beberapa

24
kondisi inflamasi, seperti multiple evanescent white dot
syndrome (MEWDS).
e. Fluorescein angiography (FA) berguna pada beberapa kasus
uveitis anterior seperti konfirmasi atau eksklusi dugaan patologi
segmen posterior, contohnya vaskulitis, white dot syndrome,
atau mengidentifikasi iskemia makula sebagai penyebab
penurunan penglihatan jika tidak ada kelainan makula yang
terlihat pada OCT.
f. Indocyanine green angiography (ICGA) jarang diindikasikan
pada uveitis anterior, tetapi mungkin digunakan untuk mencari
patologi koroid. g. Ultrasound biomicroscopy (UBM) terutama
diindikasikan pada kasus hipotoni dan dapat menunjukkan
patologi seperti efusi koroid, celah siklodialisis dan membran
siklitik.
13. Aqueous tap. Sampel aqueous humor dapat dikirim untuk analisis
polymerase chain reaction (PCR) untuk bukti materi genetik virus dan
untuk pemeriksaan mikroskop, kultur dan antibodi.
14. Biopsi iris: jarang dilakukan.
15. Biopsi vitreous: pada investigasi inflamasi segmen posterior yang tidak
jelas dan dugaan endoftalmitis menular.
16. Biopsi konjungtiva: pengambilan sampel jaringan, contohnya pada
suspek granuloma atau lesi infiltratif.
Bajoria SK, Biswas J. Commissioned Article Recent approach in diagnosis and management
of anterior uveitis Examination of a Case of Anterior Uveitis. (2018)
Kanski Clinical Ophthalmology, A systematic approach. John F. Salmon. Journal of Chemical
Information and Modeling (2019).

2.2.8 Diagnosis Banding

a. Glaukoma

Glaukoma merupakan suatu neuropati optik yang ditandai dengan pencekungan


“cupping” diskus optikus dan penyempitan lapang pandang yang disertai
dengan peningkatan tekanan intraokuler yang merupakan faktor resiko

25
terjadinya glaukoma. Mekanisme peningkatan tekanan intraokuler pada
glaukoma dipengaruhi oleh gangguan aliran keluar humor aqueous. Gangguan
lapangan pandang pada glaukoma dapat mengenai 30 derajat lapangan pandang
bagian central. Cara pemeriksaan lapangan pandang dapat menggunakan
automated perimeter.

b. Panuveitis

Panuveitis merupakan penyakit yang terjadi pada bagian mata. Panuveitis


adalah peradangan seluruh uvea dan struktur sekitarnya seperti retina dan
vitreus. Panuveitis menggambarkan pola inflamasi yang parah dan difus pada
segmen anterior dan posterior. Seringkali terjadi secara bilateral. Endoftalmitis
atau skleritis posterior harus dipertimbangkan pada pasien dengan uveitis
posterior dan nyeri yang signifikan. Gejala yang umum ditemukan pada
panuveitis adalah penglihatan kabur dan adanya floaters. Selain itu, keluhan
nyeri, kemerahan, dan fotofobia juga dapat ditemukan karena adanya
peradangan di ruang anterior. Penyebab tersering adalah tuberkulosis, sindrom
VKH, oftalmia simpatika, penyakit behcet, dan sarkoidosis. Diagnosis
panuveitis ditegakkan bila terdapat koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior.
Tanda-tanda kritikal pada pasien dengan panuveitis adalah adanya sel-sel di
vitreous, kebut vitreous, lesi inflamasi retina atau koroid, dan vaskulitis retina.

c. Ulkus kornea

Ulkus kornea merupakan suatu kondisi dimana terdapat defek pada bagian pitel
kornea yang terkena hingga lapisan stroma. Ulkus kornea sendiri dapat terjadi
akibat infeksi maupun non-infeksi. Penyebab infeksi dapat berupa infeksi
bakteri, virus, jamur. Penyebab non-infeksi seperti ada masalah ada jaringan
ikat seperti rheumatoid arthritis, penyakit Wegener, Sistemik Lupus
Eritematosus dan polychondritis. Selain itu dapat juga terjadi akibat trauma
seperti pada pasca operasi katarak. Manifestasi klinis pada ulkus kornea dapat
berupa mata merah, penurunan visus, fotofobia, mata berair, nyeri yang hebat
pada bagian mata dan mata bengkak. Untuk pemeriksaan ulkus kornea dapat
dilakukan menggunakan slit lamp untuk melihat apakah terdapat infiltrat dan
ulkus pada kornea.

26
2.2.9 Komplikasi
Pada pasien dengan uveitis anterior dapat menghasilkan sinekia anterior dan
posterior. Keadaan sinekia anterior dapat menghambat aliran keluar akuos pada
sudut ruang dan menyebabkan hipertensi okular dan glaukoma. Sinekia posterior,
jika meluas, dapat menyebabkan terjadinya glaukoma sudut tertutup sekunder
dengan menyebabkan pengasingan pupil dan penonkolan iris ke depan. Penggunaan
awal kortikosteroid dan agen sikloplegik/midriatik mengurangi kemungkinan
komplikasi ini.

Peradangan ruang anterior dan posterior meningkatkan penebalan dan


kekeruhan lensa. Pada awalnya dapat menyebabkan pergeseran sederhana dalam
kesalahan bias, biasanya ke arah miopia. Namun, seiring berjalannya waktu,
perkembangan katarak seringkali membatasi penglihatan. Perawatan melibatkan
pengangkatan katarak, tetapi hanya perlu dilakukan ketika peradangan intraokular
terkontrol dengan baik selama minimal 6 bulan, dikarenakan risiko komplikasi
intraoperatif dan pasca operasi lebih besar pada pasien dengan uveitis aktif.
Penggunaan kortikosteroid lokal dan sistemik biasanya diperlukan sebelum, selama,
dan setelah operasi katarak pada pasien.

Edema makula kistoid adalah penyebab umum kehilangan penglihatan pada


pasien dengan uveitis anterior atau intermediate yang parah. Edema makula yang
berlangsung lama atau berulang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
permanen karena degenerasi kistoid. Angiografi fluorescein dan tomografi
koherensi optik dapat digunakan untuk diagnosis edema makula kistoid dan
memantau responnya terhadap terapi.

2.2.9 Tatalaksana
Sebelum memberikan tatalaksana, kita harus mengetahui terlebih dahulu
etiologi dan klasifikasi dari uveitis yang dialami oleh pasien. Setelah etiologi diketahui,
tatalaksana dapat mulai diberikan. Tatalaksana yang pertama adalah pemberian
kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal yang paling umum diberikan untuk kasus
uveitis anterior adalah prednisolone acetate 1%, dexamethasone 0.1% dan prednisolone
sodium phosphate 1%. Pada kasus uveitis anterior akut, kortikosteroid setiap jam
selama pasien bangun dengan durasi 1 minggu.
Setelah 1 minggu, pasien akan di follow-up dan jumlah anterior chamber
cells/high-power field (HPF) harus setengah dari pemeriksaan sebelumnya. Bila tidak

27
berkurang, maka pasien tidak menggunakan obat dengan benar atau terdapat etiologi
infeksius. Pasien harus tetap di follow-up setiap minggunya sampai hanya terdapat lima
atau kurang sel / HPF pada anterior chamber. Setelah itu, penggunaan kortikosteroid
dikurangi menjadi 2 jam sekali dan setelah tanda-tanda inflamasi berkurang maka
follow up dapat dilakukan 2 minggu sekali. Tapering kortikosteroid topikal yang tepat
adalah 1 tetes setiap 2 jam selama 2 minggu, 1 tetes 4 kali sehari selama 2 minggu, 1
tetes 3 kali sehari selama 2 minggu, 1 tetes 2 kali sehari selama 2 minggu, 1 tetes 1 kali
per hari selama 2 minggu, kemudian kortikosteroid topikal harus dihentikan.
Tatalaksana menggunakan sikloplegik biasanya homatropin 5% dapat dilakukan
1 tetes dua kali sehari untuk mengurangi rasa sakit akibat peningkatan spasme siliaris
dan mengurangi risiko perkembangan sinekia posterior. Pasien dengan HLA-B27
positif mungkin memiliki hipopion bersamaan dengan inflamasi dan seringkali
membutuhkan kortikosteroid per jam selama berminggu-minggu sebelum pengurangan
dimulai. Selain kortikosteroid topikal per jam, pasien ini juga dapat diresepkan
kortikosteroid oral, yang setara dengan prednison 1 mg/kg/hari selama 7 hari pertama
atau injeksi periokular (dexamethasone 2 mg, 0,5 mL).
Terapi Imunomodulator dapat digunakan untuk mengontrol uveitis jangka
panjang ketika pasien tidak dapat mentoleransi kortikosteroid baik karena peningkatan
TIO atau pembentukan dini katarak dalam pengaturan penyakit sistemik. Pada uveitis,
tidak terdapat perawatan bedah khusus. Pembedahan dilakukan hanya untuk mengatasi
komplikasi uveitis.
Harthan JS, Opitz DL, Fromstein SR, Morettin CE. Diagnosis and treatment of anterior
uveitis: optometric management. Clin Optom (Auckl). 2016 Mar 31;8:23-35. doi:
10.2147/OPTO.S72079. PMID: 30214346; PMCID: PMC6095364.
Read, R. Acute anterior uveitis. AAO. April 21 2021. Accessed from:
https://eyewiki.aao.org/Acute_Anterior_Uveitis

2.2.10 Pencegahan
Pada kasus anterior uveitis tidak ada tindakan pencegahan khusus yang harus
dilakukan karena etiologi dari uveitis sangat beragam dan terkadang penyebabnya
bersifat idiopatik. Namun, etiologi seperti autoimun dapat dikontrol agar tidak
berkembang menjadi uveitis anterior.
Read, R. Acute anterior uveitis. AAO. April 21 2021. Accessed from:
https://eyewiki.aao.org/Acute_Anterior_Uveitis

28
2.2.11 Prognosis
Pada kebanyakan kasus, prognosis dari uveitis ini baik bila dideteksi awal dan
mendapatkan tatalaksana yang tepat. Pada beberapa pasien yang mengalami
komplikasi okular, pengobatan dan pembedahan yang tepat diperlukan,
menurunkan kemungkinan kehilangan penglihatan secara permanen.
Mengidentifikasi etiologi yang mendasari uveitis sangat penting untuk dilakukan
karena morbiditas dan mortalitas yang signifikan terkait dengan penyakit sistemik
tertentu yang dapat menyebabkan uveitis.

Groen F, Ramdas W, de Hoog J, Vingerling JR, Rothova A. Visual outcomes


and ocular morbidity of patients with uveitis referred to a tertiary center during first
year of follow-up. Eye (Lond). 2016 Mar;30(3):473-80.

29
BAB III
ANALISA KASUS

Pasien datang dengan keluhan penglihatan mata kiri kabur sejak 2 minggu SMRS, disertai
dengan mata merah dan rasa tidak nyaman. Karena keluhan termasuk dalam kategori mata
merah visus turun, maka perlu dipikirkan gangguan pada anatomi yang termasuk pada media
refraksi dan berada di anterior, seperti kornea, bilik mata depan (anterior chamber), lensa, dan
bola mata. Selain itu pasien juga mengeluhkan nyeri pada mata kiri secara hilang timbul,
namun menyangkal keluhan mata berair dan kotoran berlebih pada mata. Pasien mengalami
demam dan batuk lama sejak kurang lebih 10 bulan yang lalu dan pasien mengaku sedang
dalam pengobatan tuberkulosis di puskesmas namun tidak pernah tuntas. Dari sini dapat
diketahui bahwa pasien sedang terinfeksi tuberkulosis, dimana dikatakan lebih lanjut bahwa
suami pasien juga sedang menderita tuberkulosis. Keadaan ini diperburuk dengan kurangnya
ventilasi pada rumah pasien dan lingkungan sekitar rumah pasien yang banyak menderita
tuberkulosis.
Pemeriksaan fisik penting untuk penentuan diagnosis pada mata. Pada hasil pemeriksaan
fisik pasien ini, pada Oculi Sinistra ditemukan visus pasien 6/60, injeksi siliar, kornea terlihat
keruh dan terdapat presipitat keratik, CoA tampak dangkal, dan terdapat dilatasi pupil >3mm.
Pada pemeriksaan TIO ditemukan menurun sebesar 10 mmHg. Dari hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dipikirkan kecurigaan uveitis anterior, sarkoidosis, glukoma akut, dan
keratitis.
Sarkoidosis merupakan penyakit sistemik yang kurang diketahui penyebabnya, namun
banyak menimbulkan manifestasi pada mata, paru-paru, dan kelenjar getah bening.
Manifestasi yang terjadi pada paru dapat bervariasi, namun manifestasi yang awal terjadi
biasanya adalah pembesaran kelenjar getah bening. Pada mata biasanya muncul manifestasi
berupa uveitis anterior granulomatous. Terdapat 7 tanda kunci berdasarkan The International
Workshop on Ocular Sarcoidosis (IWOS) 2009 untuk mendiagnosis sarkoidosis intraokular,
yakni temuan presipitat keratik “Mutton fat”, nodul jaring trabekular, opasitas pada vitreous,
lesi korioretinal perifer multiple, periflebitis nodular atau segmental dan/atau
makroaneurisma retina, nodul diskus optikus/ granuloma dan/atau nodul koroid soliter, dan
manifestasi okular lainnya (nodul konjungtival, infiltrasi kelenjar lakrimal, mata kering,
nodul kelopak bola mata, lesi skleral dan orbital). Tanda-tanda ini banyak yang tidak sesuai
dengan keluhan yang terjadi pada pasien, sehingga kemungkinan sarkoidosis juga dapat
disingkirkan.19
Pada glaukoma akut, penderita biasanya mengeluhkan adanya nyeri pada mata yang

30
progresif, visus turun mendadak, terdapat halo, mual, muntah, dan berkeringat. Akan
ditemukan adanya injeksi siliaris, nyeri tekan, dilatasi pupil, kornea keruh karena adanya
edema kornea, CoA dangkal, dan edema pada iris. Semua hal ini terjadi karena adanya
peningkatan tekanan intraokular, dimana pada pemeriksaan dapat ditemukan TIO mencapai
40-80 mmHg. Temuan yang sesuai dengan pasien adalah nyeri pada mata, visus yang
menurun, temuan injeksi siliaris, dilatasi pupil, kornea keruh, dan CoA dangkal, namun pada
TIO ditemukan menurun sehingga kemungkinan glaukoma dapat disingkirkan. Pemeriksaan
gonoskopi dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis glaukoma.
Keratitis merupakan peradangan pada kornea akibat infeksi maupun non-infeksi. Tanda
klinis dari keratitis secara umum dapat berupa edema kornea, infiltrasi dari sel inflamasi,
kongesti siliar yang menyebabkan kekeruhan kornea, dan penurunan visus. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan pembengkakan kelopak mata dan ulserasi berat, defek epitel dengan
infiltrat, edema stromal, dan kemosis. Hal-hal ini tidak sesuai dengan pasien sehingga dapat
disingkirkan.22
Manifestasi klinis dari uveitis anterior secara umum adalah adanya mata merah, nyeri,
pandangan kabur, dan fotofobia. Uveitis dikatakan akut apabila inflamasi dapat sepenuhnya
diredakan dengan pengobatan. Uveitis akut ditandai dengan onset yang tiba-tiba dan durasi
yang terbatas. Gejala uveitis anterior akut adalah nyeri, kemerahan, dan fotofobia (sensitivitas
terhadap cahaya), yang biasanya berkembang pesat selama beberapa hari dan akan sembuh
dengan terapi anti-inflamasi. Jika terapi dapat dikurangi dan peradangan tidak muncul kembali
setidaknya selama tiga bulan setelah pengobatan, penyakit ini dikatakan memiliki durasi yang
terbatas (akut). Ini berbeda dengan penyakit kronis dimana peradangan (dengan atau tanpa
gejala) berulang ketika pengobatan dikurangi dan dihentikan.21 Seluruh hal ini sesuai dengan
keluhan pasien. Hasil temuan pemeriksaan uveitis anterior dengan menggunakan slit-lamp
presipitat keratik di bagian dalam kornea. Temuan ini sesuai dengan hasil temuan pemeriksaan
pada pasien. Pada pasien ditemukan ada penurunan tekanan intraokular, yang menandakan
adanya penutupan silia atau membran di atas badan siliaris.
Kemungkinan penyebab dari uveitis anterior yang dipikirkan adalah akibat infeksi
Tuberkulosis. Pada uveitis tuberkulosis, gejala pada mata dapat berupa fotofobia, penglihatan
kabur, dan mata merah. Pada pemeriksaan akan didapatkan adanya inflamasi pada vitreous
humor dan lesi koroid inaktif. Kemungkinan penyebab uveitis anterior akibat infeksi
tuberkulosis diperkuat dengan pernyataan pasien bahwa pasien sedang dalam pengobatan
tuberkulosis. Maka dari itu, penting untuk mengedukasi pasien mengenai penyakit
tuberkulosis dan manifestasinya pada mata. Penting juga untuk ditekankan bahwa pasien
harus mengkonsumsi obat secara teratur mengingat riwayat pasien yang tidak tuntas berobat,

31
dan juga harus diberitahukan untuk menjaga kebersihan mata seperti tidak mengucek mata
dengan tangan yang kotor dan mengurangi paparan terik matahari dan debu. Tatalaksana
medikamentosa yang penting untuk diberikan pada uveitis anterior adalah terapi
kortikosteroid topikal dan agen sikloplegik/midriatik, sehingga pada pasien diberikan sulfas
atropine yang adalah agen sikloplegik dan fluorometholone yang berupa steroid topikal.
Metilprednisolon diberikan guna membantu mengurangi inflamasi. Pengobatan tuberkulosis
harus dilanjutkan, yakni dengan Rifampicin, Isoniazid, Etambutol, dan Pirazinamid. Selain
itu dibutuhkan juga rujukan kepada dokter spesialis paru.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Eva P, Augsburger J. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology, Nineteenth Edition.


19th ed. Florida: McGraw-Hill Education, Inc; 2018.
2. Khurana A. Comprehensive Ophthalmology. Sixth Edit. Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2015
3. Sitorus Ri, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP. Buku Ajar Oftalmologi. Edisi Pert. Sitorus
Ri, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2017
4. González MM, Solano MM, Porco TC, et al. Epidemiology of uveitis in a US population
based study. J Ophthalmic Inflamm Infect. 2018;8(1):6. Published 2018 Apr 17.
doi:10.1186/s12348-018-0148-5
5. Acharya NR, Tham VM, Esterberg E, et al. Incidence and Prevalence of Uveitis: Results
From the Pacific Ocular Inflammation Study. JAMA Ophthalmol. 2013;131(11):1405–
1412.
6. Tsirouki T, Dastiridou A, Symeonidis C, Tounakaki O, Brazitikou I, Kalogeropoulos C,
Androudi S. A Focus on the Epidemiology of Uveitis. Ocul Immunol Inflamm.
2018;26(1):2-16. doi: 10.1080/09273948.2016.1196713. Epub 2016 Jul 28. PMID:
27467180.
7. Rhee D. The Wills eye manual. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2016.
8. Duplechain A, Conrady CD, Patel BC, Baker S. Uveitis [Internet]. National Center for
Biotechnology Information. U.S. National Library of Medicine; 2021 [cited 2021Jul17].
Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31082037/
9. Mérida S, Palacios E, Navea A, Bosch-Morell F. New Immunosuppressive Therapies in
Uveitis Treatment. International Journal of Molecular Sciences.
2015Aug11;16(8):18778– 95.
10. Caspi RR. A look at autoimmunity and inflammation in the eye. Journal of Clinical
Investigation. 2010Sep1;120(9):3073–83.
11. Anterior uveitis [Internet]. AOA.org. [cited 2021Jul17]. Available from:
https://www.aoa.org/healthy-eyes/eye-and-vision-conditions/anterior-uveitis?sso=y 12.
Mustafa M, Muthusamy P, Hussain SS, Shimmi SC, Sein MM. IOSR Journal of Pharmacy
(IOSRPHR). Uveitis: Pathogenesis, Clinical presentations and Treatment.
2014Dec;4(12):42–7.
13. Gueudry J, Muraine M. Anterior uveitis. Journal Français d'Ophtalmologie.
2017Nov14;41(1).
14. Cullom RD, Chang B. The Wills Eye Manual. Philadelphia: J.B. Lippincott; 1994. p.

33
353‐ 4.
15. Kanski JJ. Screening for uveitis in juvenile chronic arthritis. Br J Ophthalmol
1989;73:225‐8
16. Harthan J, Fromstein S, Morettin C, Opitz D. Diagnosis and treatment of anterior uveitis:
optometric management. Clinical Optometry. 2016;:23.
17. Agrawal RV, Murthy S, Sangwan V, Biswas J. Current approach in diagnosis and
management of anterior uveitis. Indian J Ophthalmol 2010;58:11‐9
18. Bajoria SK, Biswas J. Commissioned Article Recent approach in diagnosis and
management of anterior uveitis Examination of a Case of Anterior Uveitis. 2018;36–4
19. Salmon J. Kanski’s Clinical Ophthalmology. 9th ed. Elsevier; 2020.
20. Jogi R. Basic Ophthalmology. 4th ed. Jaypee. 2016.
21. Read, R. Acute anterior uveitis. AAO. April 21 2021. Accessed from:
https://eyewiki.aao.org/Acute_Anterior_Uveitis
22. Singh P, Gupta A, Tripathy K. Keratitis. [Updated 2021 Feb 14]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559014/.

34

Anda mungkin juga menyukai