Anda di halaman 1dari 33

PRESENTASI KASUS

KERATITIS PUNCTATA SUPERFISIALIS

Pembimbing:

dr. Agah Gadjali, SpM

dr. Gartati Ismail, SpM

dr. Henry A Wibowo, SpM

dr. H. Hermansyah, SpM

dr. Mustafa K Shahab, SpM

Disusun oleh :

Relanfa Farando (1102012234)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO

PERIODE 16 OKTOBER 2017 –18 NOVEMBER 2017

1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. R
Tempat tanggal lahir : Jakarta, 12 Oktober 2006
Umur : 11 Tahun
Jenis kelamin : Laki – laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa, Indonesia
Status : Belum menikah
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jl. Inerbang 1 no 8 Jakarta Timur
Tanggal Pemeriksaan : 23 Oktober 2017

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan dengan cara autoanamnesis dan alloanamnesis


 Keluhan Utama:
Mata kiri merah sejak 2 hari yang lalu.

 Keluhan tambahan :
Mata sebelah kiri terasa sangat gatal, perih dan berair sejak 2 hari yang lalu.

 Riwayat penyakit sekarang :


An. R datang ke Poliklinik Mata RS POLRI dengan keluhan mata kiri
merah sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak
mengetahui mengapa sampai matanya menjadi merah. Pasien hanya merasa
tiba-tiba menjadi gatal dan kemudian pasien mengucak-ucak matanya,
akibatnya mata kiri menjadi merah. Keluhan disertai dengan terasa gatal, mata
berair dan rasa perih pada kelopak mata bagian atas sebelah kiri. Pasien

2
mengatakan bahwa saat bangun tidur, matanya terasa lebih gatal dan terdapat
kotoran (belek) yang menempel pada kelopak mata kiri tetapi tidak banyak.
Riwayat pengobatan sudah dilakukan oleh pasien dengan memberikan tetes
mata yang dibeli tanpa resep dokter, namun tidak mengalami perubahan. Ibu
pasien mengatakan bahwa teman belajar disekolahnya juga mengalami
penyakit mata yang sama. riwayat trauma dan adanya benjolan pada mata,
serta penglihatan buram disangkal oleh pasien

 Riwayat penyakit dahulu :


o Riwayat menggunakan kacamata diakui
o Riwayat alergi makanan laut diakui
o Riwayat mengalami benturan atau trauma benda lain disangkal
o Riwayat asma, alergi obat disangkal

 Riwayat penyakit keluarga :


o Riwayat keluarga dengan sakit yang sama disangkal
o Riwayat penyakit diabetes mellitus disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan umum : Baik


 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda Vital :
o Tekanan darah : 100/80 mmHg
o Nadi : 74 kali / menit
o Respirasi : 16 kali / menit
o Suhu : 36.8o C

3
IV. STATUS OFTALMOLOGI

OD OS
Visus 6/12,5 F 6/15 F
Gerakan bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah

Kedudukan bola mata Ortoforia


Lapangan pandang Dalam batas normal Dalam batas normal
Supercillia Madarosis (-) Madarosis (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Palpebra
o Superior Edema (-) Edema (-)
Benjolan (-) Benjolan (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Entropion (-) Entropion (-)
Ektropion (-) Ektropion (-)

o Inferior Edema (-) Edema (-)


Benjolan (-) Benjolan (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Entropion (-) Entropion (-)
Ektropion (-) Ektropion (-)
Konjungtiva Tarsal
o Superior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Papil (-) Papil (-)

4
Folikel (-) Folikel (-)
Edema (-) Edema (-)
Membran (-) Membran (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Sekret (-) Sekret (-)

o Inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)


Papil (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Membran (-) Membran (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Edema (-) Edema (-)
Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (+)
Injeksi silliar (-) Injeksi sillier (+)
Perdarahan (-) Perdarahan (-)
Kornea Jernih, infiltrat (-), Keruh, infiltrat (+) berupa
Ulkus (-) bercak putih
Sikatrik (-) Ulkus (-)
Sikatrik (-)
Bilik Mata Depan / COA Jernih, dalam Jernih, dalam
Pupil Bentuk bulat Bentuk bulat
Berada di sentral Berada di sentral, Reguler
Reguler Refleks cahaya langsung /
Refleks cahaya langsung cahaya tidak langsung
/ cahaya tidak langsung (+)/(+)
(+)/(+) Diameter 3 mm
Diameter 3 mm
Iris Warna cokelat, Kripti Warna cokelat, Kripti (+)
(+) Sinekia anterior dan
Sinekiaanterior dan posterior (-) / (-)

5
posterior (-) / (-)
Lensa Jernih Jernih
Shadow test (-) Shadow test (-)

Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tekanan intra okular Tidak dilakukan Tidak dilakukan


(Tonometri Schiotz)

 Pemeriksaan mata:

Gambar 1 : Injeksi konjungtiva dan Injeksi sillier OS, konjungtiva tampak hiperemis

6
 Pemeriksaan menggunakan slit lamp :

Gambar 2 : Infiltrat berupa bercak kecil , injeksi konjungtiva OS

V. RESUME

Pasien anak laki – laki berusia 11 tahun datang ke Poliklinik Mata RS POLRI
dengan keluhan mata kiri merah sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Pasien tidak mengetahui mengapa sampai matanya menjadi merah. Pasien hanya
merasa tiba-tiba menjadi gatal dan kemudian pasien mengucak-ucak matanya,
akibatnya mata kiri menjadi merah. Keluhan disertai dengan terasa gatal, mata berair
dan rasa perih pada kelopak mata bagian atas sebelah kiri. Pasien mengatakan bahwa
saat bangun tidur, matanya terasa lebih gatal dan terdapat kotoran (belek) yang
menempel pada kelopak mata kiri tetapi tidak banyak. Pasien sebelumnya hanya
memberikan tetes mata yang dibeli tanpa resep dokter namun tidak mengalami
perubahan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda – tanda vital dalam keadaan batas
normal (tekanan darah 100 / 80 mmHg, nadi 74 x / menit, laju nafas 16 x / menit, dan
suhu 36.8 derajat celsius).

7
Pada pemeriksaan oftalmologis ditemukan :
1. Visus :
o OD : 6/12,5 F
o OS : 6/15 F
2. Konjungtiva bulbi:
OS :
o Injeksi sillier (+)
o Injeksi konjungtiva (+)
3. Kornea :
OS : Infiltrat (+) berupa bercak putih
4. Pemeriksaan oftalmologi lainnya dalam batas normal

VI. DIAGNOSIS KERJA :

Keratitis Punctata Superfisialis Oculus Sinistra

VII. DIAGNOSIS BANDING

Keratitis subepithelial

VIII. PENATALAKSANAAN :

1. Rencana diagnostic :
Pemeriksaan flurescein  akan menunjukan warna hijau
Pemeriksaan kultur

2. Rencana Terapi :
Non-medikamentosa :
 Kompres dingin 3-4 kali sehari selama 5-10 menit tiap kalinya.
Lakukan dengan mata tertutup

8
Medikamentosa ;
 Topical : Cendo Floxa 0.6 mL (4 dd gtt OS)
Cendo Hervis EO 3,5 G (4 dd gtt OS)
Cendo Protagenta ( 4 dd gtt OS)

3. Edukasi Pasien :
o Menjelaskan cara pemakaian obat dan pentingnya menggunakan obat
dengan teratur dan sesuai petunjuk.
o Menjelaskan pentingnya menjaga higenitas kedua mata  Segera cuci
tangan dengan sabun setelah kontak dengan mata, terutama sebelum dan
sesudah membersihkan mata dan memakai obat.
o Menggunakan pelindung mata (kaca mata hitam) untuk melindungi dari
paparan dari luar seperti debu dan sinar ultraviolet

4. Rencana monitor / evaluasi :


o Evaluasi tanda – tanda vital pasien
o Evaluasi klinis pasien
o Evaluasi higenitas mata pasien

IX. PROGNOSIS :
o Quo Ad Vitam : Ad Bonam
o Quo Ad Fungsionam : Ad Bonam
o Quo Ad Sanactionam :Ad Bonam
o Quo Ad Cosmetican :Ad Bonam

9
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi dan Fisiologi

Anatomi

Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata dibagian depan
(kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tanham sehingga terdapat 2 bentuk
kelengkungan yang berbeda.
Bola mata dibungkus oleh 3 jaringan ikat, yaitu :
1. Sklera merupakan jaringan ikat kenyal dan memberikan bentuk pada mata, merupakan
bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan sklera disebut kornea yang
bersifat transparant sehingga memudahkan cahaya masuk kedalam bola mata.
Kelengkungan pada kornea lebih besar dibandingkan pada sklera.
2. Jaringan uvea merupakan jaringan vesikular, yang terdiri dari iris, corpus siliaris dan
koroid. Pada iris didapatkan pupil yang terdiri oleh 3 sususan saraf otot dapat
mengatur jumlah sinar yang masuk ke dalam mata. Otot silliaris yang terletak dibadan
siliaris mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi. Corpus silliaris
menghasilkan aquos humor yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada
pangkal iris dibatas kornea dan sklera.
3. Lapisan ketiga bola mata adalah retina yang terletak dalam dan mempunyai susunan
sebanyak 10 lapis membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi
rangsangan pada saraf optik yang diteruskan ke otak

Kornea (Latin cornum ; seperti tanduk) adalah selaput bening mata, merupakan bagian
selaput mata yang tembus cahaya dan merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata
bagian depan.

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata disebelah
depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dan 50 dioptri
pembiasaan sinar masuk dilakukan oleh kornea. Rata – rata ketebalan kornea pada orang

10
dewasa adalah 0.52 mm di sentral dan 0.65 mm di perifer. Diameter horizontal kornea rata –
rata pada orang dewasa adalah 11,75 mm dan diabeter ventrikelnya rata-rata 10.66 mm

Dari anterior ke posterior, kornea memiliki 5 lapisan yang saling berhubungan yaitu
epitel (yang merupakan kelanjutan dari epitel di konjungtiva bulbi), membrana bowman,
stroma, membrana descement dan endotel.

1. Epitel
Terdiri dari 5 lapisan sel tanduk yang saling tumpang tindih, 1 lapis sel basal, sel
poligonal, dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal di
depannya melalui dermosom dan makula ekluden, ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal
yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekurens.

2. Membrana Bowman
Membrana bowman, terletak di bawah epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tesusun tidak teratur seperti stroma dan bersal dari bagian stroma. Lapisan ini tidak
mempunyai daya degenerasi.

11
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar dengan satu dengan
yang lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama
yang kadang – kadang sampai 15 bulan. Stroma merupakan sekitar 90% dari kebetulan
kornea.

4. Membrana descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang
dihasilkan dari sel endotel dan merupakan membran basalnya.

5. Endotel
Terdiri atas satu lapisan sel dengan bentuk hexagonal, besarnya sampai 40 – 60 mm.
Endotel tidak mempunyai daya degenerasi.

Suplai darah kornea berasal dari pembuluh – pembuluh darah konjungtiva episklera dan
sklera yang berakhir di sekitar limbus kornosklera. Kornea sendiri bersifat avaskuler.

12
Fisiologi

1. Fisiologi Kornea
Fungsi utama kornea adalah sebagai membrana protektif dan sebuah “jendela” yang
dilakui cahaya untuk mencapai retina. Transparasi kornea dimungkinkan oleh sifat yang
avaskuler, memiliki struktur yang uniform yang bersifat deturgescene – nya. Transparansi
stroma dibentuk oleh pengeturan fisis dari komponen – komponen fibril. Walaupun
indeks refraksi dari masing – masing fibril kolagen berbeda dari subtansi infibrial,
diameter yang kecil (300A) dari fibril dan jarak yang kecil diantara mereka (300A)
mengakibatkan pemisahan dan regularitas yang menyebabkan sedikit pembiasan cahaya
dibandingkan dengan inhomogenitas optikalmya. Sifat deturgenscene di jaga dengan
pompa bikarbonat aktif dari endotel dan fungsi barbier dari epitel dan endotel. Kornea
dijaga agar tetap berada pada keadaan “basah” dengan kadar air sebanyak 78%.

13
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang sangat
penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 42,35 dioptri dari total
58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia atau sekitar 74% dari seluruh kekuatan
dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada kornea dapat memberikan
pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi visus seseorang.

Kornea merupakan struktur vital dan sensitif.Saraf – saraf kornea masuk dari
strome melalui membrana bowman dan berakhir secara bebas diantara sel – sel epitelial
serta tidak memiliki selubung myelin lagi sekitar 2-3 mm dari limbus ke sentral kornea.
Hal ini menyebabkan kornea memiliki sensitifitas yang tinggi.

Kornea menerima suplai sensorik dari n.trigeminus. Setiap kerusakan pada kornea
(erosi, penetrasi benda asing, atau keratokonjungtivitis ultraviolet)mengekspose ujung
saraf sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan
penutupan bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunteer
(blepharospasme), refleks lakrimasi (epihora) dan nyeri selalu mengarahkan kepada
kemungkinan cahaya cedera kornea.

Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan
membantu nutrisi koena. Tanpa film mata, permukaan epitel akan kasar dan pasien akan
melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film air mata juga
melindungi mata dari infeksi.

2. Resistensi Kornea terhadap infeksi


Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam
kornea. Namun bila kornea mengalami cedera, stroma yang avaskularr dan membrana
bowman mudah terkena infeksi oleh bebagai macam mikroorganisme, seperti bakteri,
amoeba, dan jamur. Streptococcus penumonia adalah bakteri pathigen korna, pathogen
lain memerlukan inokulum yang berat atau hospes yang lemah misalnya defisiensi imun
yang dapat menimbulkan infeksi.

Kortikosteroid lokal atau sistemik akan mengubah reaksi imun hospes dengan
berbagai cara dan memungkinkan organisme opurtunistik masuk dan tumbuh dengan
subur.

14
3. Fisiologi Gejala
Kornea memilki banyak serabut nyeri, sehingga kebanyakan lesi kornea
superfisialis atau profunda (benda asing kornea, abrasi kornea, phyctenule, keratitis
intertisial) menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit ini diperhebat dengan
gesekan palpbera (terutama palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.

Fotofobia adalah penyakit kornea akibat kontraksi iris yang radang. Dilatasi pembuluh
iris adalah fenomena reflex yang disebabkan iritasi pada ujung saraf kornea. Fotofobia
yang berat kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestasi
terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga.

1.2 Definisi

Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikan menurut lapisan kornea
yang terkena, yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel atau bowman dan
keratitis profunda atau interstisialis (keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.
Keratitis punctata didefinisikan sebagai peradangan pada kornea, dimana dengan slit –
lamp akan tampak bintik kemerahan. Penyebab keratitis bisa karena bakteri, virus maupun
jamur.
Keratitis punctata superfisialis adalah penyakit biletaral recurens menahun yang jarang
ditemukan, tanpa memandang jenis kelamin dan umur. Penyakit ini ditandai dengan kekerutan
epitel yang meninggi berbentuk lonjong dan jelas yang menampakan bintik – bintik pada
pemulana dengan flurescien, terutama di daerah pupil. Kekeruhan ini tidak tampak dengan
mata telanjang, namun mudah dilihat dengan slit – lamp atau kaca pembesar.

1.3 Epidemiologi

Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sekitar sebesar 5% diantara seluruh kasus


kelainan mata. Di Negara – negara berkembang insidensi keratitis berkisar antara 5,9-20,7 per
100.000 orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000
penduduk di Indonesia, perbandingan laki – laki dan perempuan tidak begitu bermakna pada
angka kejadian keratitis. Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis antara lain karena trauma,
pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan lensa kontak
yang berlebihan, heroes genitak atau infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang menurun karena
15
penyakit lain serta higenitas dan nutrisi yang tidak baik, kadang – kadang tidak diketahui
penyebabnya.

1.4 Etiologi

Belum ditemukan organisme penyebabnya, namun penyebabnya dicurigai virus. Pada


satu kasus berhasil diisolasi virus varicella-zooster dari kerokan kornea. Penyebab lainnya
dapat terjadi pada moluskum kontangiosum, acne roasea, blefaritis neuroparalitik, trachoma,
trauma radiasi, lagoftalmus keracunan obat seperti neomisin, tobramisin, dan bahan pengawet
lainnya.
Penyebab kerarititis punctata bermacam – macam. Bakteri, virus, dan jamur dapat
menyebabkan keratitis. Penyebab paling sering adalah virus herpes simplex tipe I. Penyebab
lain adalah kekeringan pada mata, pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing
yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata,
debu, polusi atau bahan iritatif lain, kekurangan vitamin A dan penggunaan lensa kontak yang
kurang baik.

Keratitis dapat disebabkan oleh banyak factor (Ilyas, 2004), diantaranya :


1. Virus
2. Bakteri
3. Jamur
4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari
5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak
6. Mata kering yang disebebkan kelopak mata robek atau tidak cukupnya pembentukan air
mata
7. Adanya benda asing dimata
8. Reaksi terhadap obat seperti neomisi, tobtamisin, polusi atau partikel udara seperti debu,
serbuk sari

16
1.5 Patofisiologi

Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh
karena itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan.
Mekanisme pertahanan tersebut refleks berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim),
epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap diffuse serta kemampuan epitel untuk
beregenerasi secara cepat dan lengkap.
Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam
kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan bowman
menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri,
amoeba dan jamur. Streptococcus pneumonia merupakan pathogen kornea bacterial, pathogen
– pathogen lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host yang immunocoprommised
untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea.
Ketika pathogen telah menginvasi jaringan melalui lesi kornea superficial, terdapat
beberapa proses.
1. Lesi pada kornea
2. Pathogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea
3. Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi pathogen
4. Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan
membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea
5. Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan
berakumulasi pada dasar dari bilik mata depan)
6. Pathogen akan menginvasi seluruh kornea
7. Hasilnya struma akan mengalami atrofi dan melekat pada membrane descement yang
relatif kuat dan menghasilkan descematolocele yang dimana hanya membrane
descement yang intak.
8. Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement terjadi dan
humor aqous akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforate dan merupakan
indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien menunjukan gejala penurunan visus
progresif dan bola mata akan menjadi lunak.

17
1.6 Klasifikasi

Keratitis dapat dibagi berdasarkan :

1. Lesi kornea:
o Keratitis Epithelial
Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis keratitis, dan pada kasus – kasus
tertentu merupakan satu – satunya jaringan yang telibat (misalnya pada keratitis
punctata superfisialis). Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari edema biasa
dan vakuolasi sampai erosi kecil – kecil, pembentukan filament, keratinasi parsial
dan lain – lain. Lesi tersebut bervasi lokasinya pada kornea. Semua variasi ini
mempunyai makna diagnostic yang merupakan bagian dari setiap pemeriksaan mata
bagian luar.

o Keratitis Stroma
Respon stroma terhadap penyakit infiltasi, yang menunjukan akumulasi sel –
sel radang, edema muncul sebagai penebalan kornea, pengkeruhan atau parut,
penipisan dan perlunakan yang dapat berakibat perforasi, dan vaskularisasi. Pada
respon ini kurang spesifik bagi penyakit ini, tidak seperti pada keratitis epiteal,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menentukan penyebabnya.

18
o Keratitis Endotilial
Disfungsi endothelium kornea akan berakibat edema kornea, yang mula – mula
mengenai stroma dan epithel. Hal ini berbeda dengan edema kornea yang disebabkan
oleh peningkatana tekanan intraokuler, yang mulai pada epitel kemudian stroma. Sel
– sel radang pada endotel (endapam keratik atau keratik percipitat) tidak selalu
menandakan adanya penyakit endotel karena sel radang merupakan manifestasi dari
uveitis anterior yang dapat menyertai keratitis stroma.

2. Organisme Penyebabnya
o Keratitis Bakterial
Lebih dari 90 % inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang dapat
menginfeksi kornea yaitu Staphylococcus epidermis, Staphylococcus aureus,
Streptococcus pneumonia, Koliformis, Pseudomonas dan Haemophilus.
Kebanyakan bakteri tidak dapat menetrasi kornea sepanjang epitel kornea
masih intak kecuali gonococci dan difteri yang dapat menetrasi epittel korna yang
masih intak.
Gejalanya antara lain yaitu nyeri, fotofobia, visus lemah, lakrimasi dan secret
purulen. Sekret purulen khas untuk keratitis bakteri sedangkan keratitis virus
mempunyai secret yang berair.
Terapi konservatif pada keratitis bakteri adalah antibiotic topical (ofloxacin dan
polymixin) yang berspektrum luas untuk bakteri gram positif dan negative sampai
hasil kultur pathogen dan resistensi diketahui. Immobilisasi badan siliar dan iris oleh
terapi midriasis diindikasikan jika ada iritasi intraocular. Keratitis bakteri dapat
diterapi dengan tetes mata atau salep. Terapi pembedahan berupa keratoplasti
emergency dilakukan jika terdapat descematocel atau ulkus kornea yang perforasi.

o Keratitis Viral
1. Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis ini terjadi akibat infeksi herpes simpleks dalam berbagai bentuk
seperti : keratitis punctata superfisialis, keratitis dendritik, keratitis profunda.
Keratitis dendritik yang disebabkan oleh virus akan memberikan gambaran

19
spesifik berupa infiltrate pada kornea dengan bentuk seperti ranting pohon yang
bercabang dan memberikan uji flurescein positif nyata pada tempat percabangan.
Sensibilitas kornea nyata menurun diakibatkan karena ujung saraf tersebut
terkena infeksi herpes simpleks. Infeksi ini biasanya bersifat reinfeksi endogen.
Infeksi primer berjalan tanpa gejala klinis atau sub klinis, Virus pada infeksi
primer masuk melalui akson saraf menuju ganglion dan menetap menjadi laten.
Bila pasien mengalami penurunan daya tahan tubuh seperti demam maka akan
mudah terjadi rekurensi.
Gejala keratitis virus herpes simpleks sangat nyeri, fotofobia, lakrimasi
dan edema palpebra. Bentuk keratitis virus herpes simpleks dibedakan
berdasarkan lokasi lesi pada lapisan kornea. Keratitis dendritik mempunyai ciri
khas yaitu lesi epitel yang bercabang, sensitifitas kornea menurun dan dapat
berkembang menjadi keratitis stromal. Keratitis stromal mempunyai epitel
yang intak, pada pemeriksaan slitlamp menunjukan infiltrate kornea disiformis
sentral. Keratitis Endothelium terjadi karena virus herpes simpleks terdapat
pada humor aquos yang menyebabkan pembengkakan sel endotel. Sindrom
nekrosis retinal akut mengenai bola mata bagian posterior yang terlibat pada
pasien dengan immuno – comprimised.

2. Keratitis Herpes Zooster


Keratitis herpes zoster merupakan manifestasi infeksi virus herpes zooster
pada cabang pertama n.trigeminus, termasuk puncak hidung, kornea dan
konjungtiva. Bila kelainan n. trigeminus makan akan memberikan keluhan pada
daerah yang dipersyarafinya dan pada herpes zooster akan mengakibatkan
terdapatnya vesikel pada kulit. Pada mata akan terasa sakit dengan perasaan
yang berkurang (anastesia dolorosa). Pengobatan simptomatik seperti pemberian
analgetika, vitamin, dan antibiotik topical atau umum untuk mencegah infeksi
sekunder.

20
o Keratitis Jamur
Patogen yang lebih sering adalah Aspergilus dan Candida Albicans.
Mekanisme yang paling sering adalah trauma terkena bahan – bahan organik yang
mengandung jamur seperti ranting pohon. Pasien pada umumnya mengeluhkan gejala
yang sedikit. Pada inspeksi didapatkan mata merah, ulkus berbatas tegas dan dapat
meluas menjadi ulkus kornea serpihinuos.
Pada pemeriksaan slitlamp menunjukan infiltrat yang berwarna putih keabuan,
khususnya jika penyebabnya adalah Candida Albicans. Lesi yang lebih kecil
berkelompok mengelilingi lesi yang besar membentuk lesi satelit. Identifikasi
mikrobiologi jamur sulit dan memakan waktu, Pengobatan konservatif berupa anti
nikotik topical seperti natamycin, nystatin dan amphoterisin B. Tindakan
pembedahan berupa keratoplasti bisa dilakukan jika pengobatan konservatif gagal
dan keadaan makin memburuk dalam pengobatan.

o Keratitis Akantamoeba
Gejala keratitis akantamoeba berupa nyeri, fotofobia dan lakrimasi. Pasien
sering mempunyai riwayat tidak berhasil dengan pengobatan antibiotik. Pada
inspeksi menunjukan mata merah unilateral, biasanya tidak mempunyai sekret.
Infeksi dapat membentuk infiltat pada sub epitel, opasifikasi disformis
intrastratromal pada kornea atau abses kornea yang membentuk cincin.
Keratitis akantamoeba ini disebabkan oleh amoeba air tawar. Infeksi ini
menjadi lebih sering terjadi dengan peningkatan penggunaan lensa kontak lunak.
Amoeba dapat diisolasi dari kornea (dari lensa kontak) dengan kerokan dan dikultur
dalam media khusus yang dipenuhi dengan Escherichia coli.

3. Bentuk Lesi
1. Keratitis Punctata Superfisialis
Berupa bintik – bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit infeksi virus antara lain virus herpes simpleks, herpes zooster, dan
vaksinia.

21
2. Keratitis Flikten
Benjolan putih yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan untk
menyerang kornea.

3. Keratitis Sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimal atau
sel goblet yang berada di konjungtiva.

4. Keratitis Lepra
Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf disebut juga
keratitis neuroparalitik.

5. Keratitis Numularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea basanya multiple dan banyak
didapatkan pada petani.

6. Keratitis Profunda
Bentuk keratitis profunda antara lain :
o Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital
o Keratitis sklerotikans

22
Gambar : Jenis-jenis keratitis

Berikut ini adalah jenis keratitis dan bentuknya:


No. Jenis keratitis Bentuk keratitis
1. Keratitis stafilokok Erosi kecil-kecil terputus fluorescin; terutama sepertiga
bawah kornea
2. Keratitis herpetik Khas dendritik (kadang-kadang bulat atau lonjong)
dengan edema dan degenerasi
3. Keratitis varicella-zooster Lebih difus dari lesi HSK; kadang-kadang linear
(pseudosendrit)
4. Keratitis adenovirus Erosi kecil-kecil terpulas fluorecein; difus namun paling
mencolok di daerah pupil
5. Keratitis sindrom sjorgen Epitel rusak dan erosi kecil-kecil, pleomorfik, terpulas
fluorescein; filament epithelial dan mukosa khas;
terutama belahan bawah kornea
6. Keratitis terpapar akibat Erosi kecil-kecil tidak teratur, terpulas fluorescein;
lagoftalmus atau eksoftalmus terutama di belahan bawah kornea
7. Keratokonjungtuvitis vernal Lesi mirip-sinsisium, yang keruh dan berbercak-bercak
kelabu, paling mencolok di daerah pupil atas. Kadang-

23
kadang membentuk bercak epithelium opak
8. Keratitis trofik-sekuele HS, Edema epitel berbercak-bercak; difus namun terutama di
HZ dan destruksi ganglion fissure palpebrae, pukul 9-3
gaseri
9. Keratitis karena obat- Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein dengan edema
terutama antibiotika seluler berbintik-bintik; lingkaran epitel
spectrum luas
10. Keratitis superficial punctata Fokus sel-sel epithelial sembab, bulat atau lonjong;
(SPK) menimbul bila penyakit aktif
11. Keratokonjungtivitis limbic Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein di sepertiga atas
superior kornea; filament selama eksaserbasi; hiperemi bulbar,
limbus berkeratin menebal, mikropanus
12. Keratitis rubeola, rubella dan Lesi tipe virus seperti pada SPK; di daerah pupil
parotitis epidemika
13. Trachoma Erosi epitel kecil-kecil terpulas fluorescein pada
sepertiga atas kornea
14. Keratitis defisiensi vitamin Kekeruhan berbintik kelabu sel-sel epitel akibat
A keratinisasi partial; berhubungan dengan bintik-bintik
bitot

1.7 Manifestasi klinis

Pada anamnesis, bisa didapatkan gejala klinis pada pasien yang terkait dengan
perjalanan penyakit keratitis punctata superficial. Pasien dapat mengeluhkan adanya rasa
nyeri, pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia, penurunan visus, sensasi benda asing, rasa
panas, iritasi okuler, dan blefarosspasma.
Kornea memiliki banyak serat – serat saraf, sehingga apabila ada lesi akan
menyebabkan nyeri dan fotobia. Nyeri pada keratitis diperparah dengan pergerakan dari
palpebra (umumnya palpebra superior) terhadap kornea dan biasanya menetap hingga terjadi
penyembuhan karena kornea bersifat sebagai jendela mata dan merefrasikan cahaya. Lesi

24
pada kornea juga sering kali menyebabkan penglihatan menjadi kabur terutama ketika lesinya
berada di daerah sentral.
Pada keratitis puncatata superfisialis, didapatkan lesi kornea berupa lesi epithelia
multiple sebanyak 1-50 lesi (rata-rata sekitar 20 lesi didapatkan). Lesi epithelia yang
didapatkan pada keratitis puncatata superfisialis berupa kumpulan bintik – bintik kecil kelabu
yang berbentuk oval atau bulat dan cenderung berakumulasi di daerah pupil. Opasitas pada
kornea tersebut tidak tampak apabila diinspeksi secara langsung, tetapi dapat dilihat dengan
slitlamp ataupun loup setelah diberi flouresent.
Sensitifitas kornea umumnya normal atau hanya sedikit berkurang, tapi tidak pernah
menghilang sama sekali seperti pada keratitis herpes simpleks. Walaupun umunnya respon
konjungtiva tidak tampak pada pasien akan tetapi reaksi minimal seperti injeksi konjungtiva
bulbi dapat dilihat pada pasien.

1.8 Diagnosis

o Anamnesis
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien yang datang
dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau (fotofobia) dan
merasa kelilipan (blefarospasma). Pada keratitis punctata superfisial termasuk lesi
inflamasi dari epitel kornea dan membrane bowman.

o Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada keluhan yang mengatahkan kecurigaan pada keratitis
dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Pemeriksaan biomikroskop (slit
lamp) esensial dalam pemeriksaan kornea dapat membedakan letak lesi kornea dengan
melihat tanda – tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial (keratitis
punctata superficial)perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari edema ringan dan
vakuolasi hingga erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi partial. Pada keratitis
stroma, respon stroma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang bermanifestasi
kepada edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke epitel kornea.
Apabila tidak terdapat slit lamp maka pemeriksaan dapat dilakukan menggunakan
loup dan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya refleksi cahaya

25
sementara memindahkan cahaya dengan hati – hati ke seluruh kornea. Dengan cara ini area
yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat terlihat. Keratitis puncatata
superfisialis atau disebut juga sebagai keratitis punctata epithelial atau Thygenson’s
Disease merupakan salah satu tipe inflamasi atau peradangan pada kornea dengan
hilangnya epitel kornea. Lesi pada keratitis tipe ini berupa punctata yang terlihat seperti
titik – titik.
Pemeriksaan menggunakan larutan flouresent dapat menggambarkan lesi epitel
superfisial yang tidak dapat dilihat dengan inspeksi biasa. Larutan flurosens diteteskan
pada mata dan mata diperiksa menggunakan slit lamp atau dengan iluminasi terang dan
melihat menggunakan loup. Pola distribusi flouresensi yang spesifik dapat sebagai
informasi yang berguna dalam menegakkan kemungkinan etiologi dan keratitis punctata
superfisial.
Flouresensi topikal merupakan larutan nontoksik dan water-soluble yang tersedia
dalam beberapa sediaan : dalam larutan 0,25 % dengan zat anestetik (benoxinate atau
proparacaine), sebagai antiseptic (providone-iodine), maupun dalam zat pengawet sebagai
tetes mata tanpa pengawet 2% dosis unit. Flouresens akan menempel pada defek epithelial
punctata maupun yang berbentuk makrouluseratif (positif staining) dan dapat memberikan
gambaran akan lesi yang tidak berbekas melalui film air mata (negative staining).
Flouresens yang terkumpul dalam sebuah defek epithelial akan mengalami difusi ke dalam
struma kornea dan tampak dengan warna hijau pada kornea

26
Gambar : Pemeriksaan menggunakan slit lamp
o Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboraturium dengan melakukan kultur dari flora normal pada kornea
dilakukan selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penanganan selanjutnya,
akan tetapi hal tersebut tidak begitu signifikan dalam penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan penyakit keratitis punctata superfisial. Pemeriksaan pencitraan
menggunakan fotografi slit lamp untuk mendokumentasikan inflamasi aktif dan periode
inaktivitas dapat dilakukan bila diperlukan.
.
1.9 Diagnosis Banding

Keratitis Punctata Subepithelial Keratitis dengan banyak tipe lesi dari lesi
subepithelial. Lesi tersebut sering merupakan lesi sekunder dari keratitis epithelial (contohnya
infiltrate subepithelial pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus 8
dan 19.

1.10 Penatalaksanaan

Terdapat beberapa terapi secara baik dapat menagani keratitis punctata superfisial.
Terapi suprortif dengan lubrikans topical seperti air mata artificial sering adekuat pada kasus
– kasus ringan. Air mata artifisla dapat mengurasi sisa produk inflamasi yang tertinggal pada

27
reservoir air mata. Obat ini tidak hanya berkerja sebagai lubrikans, tapi juga sebagai agen
pembersih, pembilas dan dilusi dari film air mata serta sebagai agen pemoles dari epitel
superfisial untuk membentuk kembali micovilae dan menstabilkan lapisan musin dari air
mata.
Penatalaksanaan pada keratitis punctata superfisial pada prinsipnya adalah sesuai
dengan etiologinya atau terapi causal. Untuk keratitis yang disebabkan oleh virus dapat
diberikan idoxuridine, trifuridin atau acyclovir. Sekitar 80% inflamasi kornea disebabkan oleh
bakteri. Epitel yang tidak intak dapat sebagai jalur penetrasi dari bakteri ke dalam kornea.
Penanganan diawali terapi causal dengan antibiotik topikal terhadap kebanyakan organisme
gram positif dan gram negatif hingga sembuh atau hingga hasil kultur dan tes sensitifitas
diketahui bila tidak mengalami perubahan. Antibiotik sistematik digunakan bila terdapat
ekstensi ke sklera akibat infeksi atau didapatkan adanya ancaman perforasi kornea pada
pasien. Levofloxacin maupun ofloxacin memilki penetrasi aqous dan vitrous humor yang
baik.
Penggunaan kortikosteroid topical masih kontroversial karena penggunaanya pada
infeksi virus dan jamur masih dikontraindikasikan. Akan tetapi kortikosteroid sistemik dapat
mencegah perforasi kornea dan pembentukan jaringan parut pada kornea.
Penangan pada pasien dengan keratitis punctata superfisial tidak dilakukan sampai
seluruh lesi pada kornea hilang karena hal itu akan membutuhkan waktu yang lama. Terapi
dilakukan hingga pasien dapat mencapai titik kenyamanan.

1.11 Pencegahan

Keratitis termasuk penyakit yang bisa dihindari. Langkah – langkah sederhana yang
dapat dilakukan meliputi:
1. Jangan lupa untuk melepas lensa kontak sebelum tidur atau berenang.
2. Merawat lensa kontak secara rutin dan seksama, misalnya mencuci tangan sebelum
membersihkan lensa kontak, menggunakan produk – produk pembersih steril khusus
untuk lensa kontak, serta jangan membersihkan lensa kontak dengan cairan yang sudah
dipakai.
3. Mengganti lensa kontak sesuai dengan batas waktunya.
4. Hindari penggunaan obat tetes mata kortikosteroid, kecuali atas anjuran dokter.

28
5. Mencuci tangan sebelum menyentuh mata atau bagian sekitarnya, terutama jika mengidap
luka akibat virus Herpes.

1.12 Komplikasi

Keratitis dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu keratitis yang tidak menular dan
menular. Keratits tidak menular (misalnya karena cedera) yang tidak ditangani dengan
seksama bisa bertambah parah dan mengalami infeksi yang kemudian bisa berubah menjadi
keratitis menular.
Jika terus berkembang semakin parah, keratitis berpotensi memicu berbagai komplikasi
dan bahkan kebutaan. Beberrapa komplikasi yang bisa terjadi meliputi infeksi korena
kambuhan atau kronis, pembengkakan dan jaringan parut kornea, luka bernanah pada kornea,
penurunan kemampuan melihat sementara atau permanen, serta kebutaan.

1.13 Prognosis

Secara umum prognosis dari keratitis punctata superfisial baik, jika tidak terdapat
jaringan parut ataupun vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan metode penanganan yang
dihasilkan prognosis dalam hal visus pada pasien dengan keratitis punctata superfisialis baik.
Parut ringan pada kornea dapat timbul pada kasus – kasus dengan keratitis punctata superfisial
yang berlangsung lama. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan
meninggalkan gejala sisa.
Meskipun sebagian besar KPS memberikan hasil akhir yang baik namun pada beberapa
pasien dapat berlanjut hingga menjadi ulkus korna jika lesi pada KPS tersebut telah melebihi
dari epitel dan membrane bowman. Hal ini terjadi jika pengobatan yang diberikan sebelumnya
tidak adekuat. Kurangnya kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi yang sudah dianjurkan,
terdapat penyakit sistemik lain yang dapat menghambat proses penyembuhan seperti pada
pasien diabetes mellitus, ataupun dapat juga karena pasien tersebut masih terpapar secara
berlebihan oleh lingkungan luar misalnya sinar matahari atau debu.

29
Penggunaan kortikosteroid untuk waktu lama dapat memperpanjang perjalanan penyakit
hingga bertahun – tahun serta dapat mengakibatkan timbulnya katarak dan glaukoma yang
diinduksi oleh steroid.

ANALISA KASUS

Berdasarkan teori Berdasarkan kasus

Gejala 1. Mata terlihat merah 1. Mata merah sejak 7 hari yang


2. Mata terus mengeluarkan air mata atau lalu
kotoran (berair dan belekan) 2. Mata terasa seperti ada yang
3. Sensasi panas atau perih pada mata, mengganjal pada kelopak mata
seperti terbakar bagian bawah (palpebra inferior)
4. Mata terasa seperti mengganjal 3. Pandangan kabur sejak 6 hari
5. Pandangan kabur yang lalu
6. Kelopan mata sulit dibuka akibat 4. Mata berair
iritasi atau rasa sakit 5. Mata sulit dibuka pada pagi hari
7. Sensitivitas mata terhadap cahaya 6. Mata mengeluarkan kotoran
yang meningkat
Pemeriksaan 1. Pemeriksaan menggunakan slit lamp: 1. Pemeriksaan menggunakan slit
Fisik Berupa bintik – bintik putih pada lamp : terdapat infiltrasi berupa
permukaan kornea yang dapat bintik – bintik kecil pada
disebabkan oleh berbagai penyakit permukaan epitel kornea
infeksi virus antara lain virus herpes
simpleks, herpes zooster, dan vaksinia.

30
2. Pemeriksaan menggunakan fluorosens
 menunjukan warna hijau

2. Pemeriksaan mata : terlihat


adanya injeksi silliar dan injeksi
conjungtiva.

Pemeriksaan Pemeriksaan kultur dari flora kornea Belum dilakukan pemeriksaan


Penunjang dilakukan selama infeksi aktif yang penunjang pada pasien ini.
berguna untuk penanganan lebih lanjut.
Terapi 1. Terapi supportif : air mata artificial  1. Terapi causal : pada pasien ini
berfungsi sebagai lubricans, membantu secret yang dikeluarkan banyak,
membentuk microvilae dan membantu dan mata tidak dominan merah
menstabilkan lapisan musin pada sehingga diduga etiologi dari

31
kornea keratitis punctata superfisialis
2. Terapi causal : tergantung jenis disebabkan oleh bakteri,
etiologinya. sehingga pengobatan yang
 Bakteri : diberikan antibiotic dilakukan mengarah pada
levofloxacin atau ofloxacin  antibiotic Cendo LFX MD 5
memiliki penetrasi humor aquous dd 1 di tetes pada mata kiri.
dan vitreus yang baik 2. Terapi edukasi : mengedukasi
 Virus : diberikan antiviral cara menjaga higenitas dan
trifuridin, acyclovir menggunakan obat yang bena
3. Terapi kortikosteroid  mencegah
timbulnya jaringan parut dan
mencegah perforasi kornea, syarat:
kornea harus intak
4. Terapi edukasi : memberikan edukasi
bagaimana menjaga higenitas dalam
upaya tindakan pencegahan dan
menggunakan obat yang benar.

Prognosis Bila dilakukan dengan penangan yang


tepat dan segera maka prognosis dari
keratitis punctata superfisial :

Quo Ad Vitam : Ad Bonam Quo Ad Vitam : Ad Bonam


Quo Ad Fungsionam : Ad Bonam Quo Ad Fungsionam : Ad Bonam
Quo Ad Sanactionam :Ad Bonam Quo Ad Sanactionam :Ad Bonam
Quo Ad Cosmetican :Ad Bonam
Quo Ad Cosmetican :Ad Bonam

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalmology. 2006. Externa disease and Cornea. San fransisco; 8-12
:157-160

Ilyas, Sidarta. 2005. Ilmu Penyakit Mata edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal : 113-116

Ilyas, Sidarta. 2002. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Balai penerbit FKUI. Hal : 52

Ilyas, Sidarta. 2003. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Penyakit Mata. Jakarta : Balai Penerbit
FK UI.

Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. Hal
: 56

Skuta GL,et al. 2008 – 2009. Structure dan Function of the External Eye dan Cornea. In :
Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and Cliniccal Science Cources : External Disease dan
Cornea Singapore : American Academy of Ophthalmology. p.5-14

32
Thygeson, Philips. 1950. Superficial Punctate Keratitis. Journal of the American Medical
Association; 144:1544-1549. Available at http://webeye.ophth.uiowa.edu/ (accessed 17 January
2017)

Vaughan, Daniel G et al. 2002. Oftalmologi umum edisi 14. Jakarta : Widya Medika. Hal : 129-
152

33

Anda mungkin juga menyukai