Pembimbing:
Disusun oleh:
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. V
Tanggal Lahir :-
Usia : 22 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Guru
II. ANAMNESIS
Dilakukan Autoanamnesa pada tanggal 08 Novemver 2019
A. Keluhan Utama
Kelopak mata bengakak disertai belekan
B. Keluhan Tambahan
gatal dan silau melihat cahaya
C. Riwayat penyakit sekarang
Pasien diantar perawat ruangan Cendrawasih ke poli klinik mata RS Polri karena mengalami
kelopak mata bengkak,bengkak yang rasakan pasien tidak disertai rasa nyeri,namun sangat
merah, adanya benjolan pada kelopak mata disangkal,pasien mengeluh gatal pada kedua
mata dan mengeluarkan banyak kotoran terutama pada pagi hari sehingga kesulitan untuk
membuka mata, pasien mengatakan kotoran yang dikeluarkan berwana putih sedikit
kehijauan, selain itu pasien mengeluhkan silau bila melihat cahaya, disertai demam keluhan
penurununan penglihatan disangkal, pasien mengalami keluhan seperti ini setelah
mengonsumsi obat yang diberikan dari puskesmas.
Pasien menceritakan , hari senin tanggal 27 oktober pasien mengeluh sakit tenggorokan dan
deman dan muncul benjolan dibawa telinga yang nyeri, keluhan dirasakan makin parah
sehingga hari rabu tanggal 29 oktober pasien berobat ke puskesmas terdekat, oleh dokter
puskesmas pasien diberikan paracetamol dan dexametason, pasien mengonsumsi obat
tersebut selama dua hari, pada hari sabtu timbul keluhan, muncul kemerahan dan lenting
seperti melepuh disekitar mulut,bibir dan dalam tenggorokan yang membuat pasien muntah
darah dan kesulitan untuk makan dan bernapas, selain itu pasaien juga mengeluhkan keluhan
mata berupa, kelopak mata yang bengkak dan merah, disertai demam, sehingga pada hari itu
juga pasien dibawa ke RS Polri dan pasien mulai dirawat, terhitung sudah delapan hari pasien
dirawat di RS Polri, di hari kedelapan dirawat pasien dibawa ke poli mata RS Polri oleh
perawat ruangan Cenderawasih, karena keluhan pada mata pasien makin memburuk, dengan
mulai ada belekan dengan warna agak kehijauan terutama pagi hari yang membuat pasien
kesulitan untuk membuka mata karena lengket, selain itu bengkak dikelopak mata juga tidak
berkurang, pasien juga mengeluh mata menjadi lebih kering dan silau
.Keluhan seperti sensasi benda asing,rasa mengganjal, mata berair, penurunan penglihatan,
sakit kepala, mual , muntah, adanya kemerahan berbentuk segitiga pada,mata merah akibat
benturan disangkal oleh pasien.
OD OS
Visus 6/10 6/20
Visus Kacamata
koreksi
Posisi Hirschberg
Palpebra
Superior Edema (+) Edema (+)
Benjolan (-) Benjolan (-)
Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Enteropion (-) Enteropion (-)
Ektropion(-) Ektropion(-)
Konjungtiva Tarsal
Superior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Papil (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Edema (-) Edema (-)
Membran (-) Membran (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Sekret (+) Sekret (+)
I. RESUME
Pasien perempuan berumur 22 tahun datang dibawa oleh perawat ruang
cendrawasih ke poli klinik RS Polri karena mengalami mata merah, kelopak mata
bengkak gatal dan mengeluarkan banyak kotoran terutama pada pagi hari sehingga
kesulitan untuk membuka mata, pasien mengatakan kotoran yang dikeluarkan berwana
putih sedikit kehijauan, selain itu pasien mengeluhkan silau bila melihat cahaya,disertai
muncul kemerahan dan melepuh disekitar bibir. Pasien mengalami keluhan seperti ini
setelah mengonsumsi obat yang diberikan dari puskesmas. Keluhan penglihatan
ganda,penurunan penglihatan (-), mata merah (-), nyeri kepala (-), mual (-), muntah (-).
V. DIAGNOSIS KERJA
Konjutivitis Ec Steven Johnson Syndrom
VI. DIAGNOSIS BANDING :
Konjungtivitis mukopurulenta
VI. PENATALAKSANAAN
Antiobiotik spektrum luas
Progenta
Vitamin A
VII. PRGONOSIS
ODS :
Quo ad vitam : ad Bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : ad Bonam
Quo ad cosmetican : ad Bonam
Tinjauan Pustaka
PENDAHULUAN
Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata
dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai
macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa. 1, 3
Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini, mata
sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Konjungtivitis bakteri biasanya
mengenai kedua mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata dalam jumlah banyak,
berwarna kuning kehijauan. Konjungtivitis alergi juga mengenai kedua mata. Tandanya,
selain mata berwarna merah, mata juga akan terasa gatal. Gatal ini juga seringkali dirasakan
dihidung. Produksi air mata juga berlebihan sehingga mata sangat berair. Konjungtivitis
papiler raksasa adalah konjungtivitis yang disebabkan oleh intoleransi mata terhadap lensa
kontak. Biasanya mengenai kedua mata, terasa gatal, banyak kotoran mata, air mata berlebih,
dan kadang muncul benjolan di kelopak mata. Konjungtivitis virus biasanya tidak diobati,
karena akan sembuh sendiri dalam beberapa hari. Walaupun demikian, beberapa dokter tetap
akan memberikan larutan astringen agar mata senantiasa bersih sehingga infeksi sekunder
oleh bakteri tidak terjadi dan air mata buatan untuk mengatasi kekeringan dan rasa tidak
nyaman di mata.1, 3
Obat tetes atau salep antibiotik biasanya digunakan untuk mengobati konjungtivitis
bakteri. Antibiotik sistemik juga sering digunakan jika ada infeksi di bagian tubuh lain. Pada
konjungtivitis bakteri atau virus, dapat dilakukan kompres hangat di daerah mata untuk
meringankan gejala. Tablet atau tetes mata antihistamin cocok diberikan pada konjungtivitis
alergi. Selain itu, air mata buatan juga dapat diberikan agar mata terasa lebih nyaman,
sekaligus melindungi mata dari paparan alergen, atau mengencerkan alergen yang ada di
lapisan air mata. Untuk konjungtivitis papiler raksasa, pengobatan utama adalah
menghentikan paparan dengan benda yang diduga sebagai penyebab, misalnya berhenti
menggunakan lensa kontak. Selain itu dapat diberikan tetes mata yang berfungsi untuk
mengurangi peradangan dan rasa gatal di mata. 3
Pada dasarnya konjungtivitis adalah penyakit ringan, namun pada beberapa kasus
dapat berlanjut menjadi penyakit yang serius. Untuk itu tidak ada salahnya berkonsultasi
dengan dokter mata jika terkena konjungtivitis. 3
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui manifestasi SJS
TINJAUAN PUSTAKA
Patofisilogi
Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks
soluble dari antigen atau metaboliknya dengan antibody IgM dan IgG, serta reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions atau reaksi hipersensitivitas
tipe IV) yang merupakan reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. 6 Reaksi tipe III
terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi
sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran
(target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limposit T yang tersensitisasi berkontak kembali
dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang
(Monica, 2013).
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA,
C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa
hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga
terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab
(misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas
faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit
dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta
mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal
di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk
inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit
yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis (Williams, 2013).
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi
seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti
peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan
termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.5
Etiologi SJS
Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun penyebab yang
paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu reaksi berlebihan dari tubuh
untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh.
Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25% karena
infeksi dan penyebab lainnya. Paparan obat dan reaksi hipersensitivitas yang dihasilkan
adalah penyebab mayoritas yangsangat besar dari kasus SJS. Dalam angka absolut kasus,
alopurinol adalah penyebab paling umum dari SJS di Eropa dan Israel, dan sebagian besar
pada pasien yang menerima dosis harian setidaknya 200 mg (Williams, 2013).
Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan timbulnya SJS antara lain:
1. Obat-obatan
Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan antipiretik (penurun
demam). Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan SJS antara lain: Penisilin dan
derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide, Tetrasiklin, Analgetik/antipiretik (misalnya Derivat
Salisilat, Pirazolon, Metamizol, Metampiron dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin,
Barbiturat (Fenobarbital), Kinin Antipirin, Chlorpromazin, Karbamazepin dan jamu-jamuan.1
2. Infeksi
a. Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr, enterovirus, HIV,
Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok, lymphogranuloma venereum,
rickettsia dan variola.
b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri, brucellosis,
mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan tifus.
c. Jamur, meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan histoplasmosis.
d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.
3. Imunisasi
Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.
4. Penyebab lain :
a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna
b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain
c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler
d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma,
Myeloma, dan Polisitemia
e. Kehamilan dan Menstruasi
f. Neoplasma
g. Radioterapi.
Manifestasi Klinis
Steven Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat akut. Gejala
awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala, batuk berdahak, pilek, nyeri
tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung selama 1-14 hari.1 Muntah dan diare
juga dapat muncul sebagai gejala awal. Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi
gejala yang lebih berat, yang ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju
pernapasan, rasa lemah, serta penurunan kesadaran.
Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:
a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson, antara lain
timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula.1 Sedangkan
tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target atau targetoid lesions.
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda Nikolsky
positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan seperti pada bagian
punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka
termasuk sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome – Toxic
Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area tubuh, maka disebut Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN).
b. Kelainan pada mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan esofageal,
namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian genital.13 Adanya kelainan
pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan
nekrosis.
Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan mukosa
bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang dapat pecah
sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama
pada bibir penderita.1 Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan
bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan
mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia
atau buang air kecil.12
c. Kelainan pada mata
Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam
kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi
dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan
faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan.
Bila kita mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila kita baru mulai
Konjungtivitis
disebabkan karena proses alergi akibat reaksi terhadap non infeksi, dapat berupa reaksi
cepat seperti alergi biasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada
reaksi terhadap obat, bakteri, dan toksik. Merupakan reaksi hiper sensitivitas tipe cepat
atau lambat, atau reaksi antibody humoral terhadap allergen. Pada keadaan yang berat
merupakan bagian dari sindrom Steven Johnson, suatu penyakit eritema multiforme berat
akibat reaksi alergi pada orang dengan prediposisi alergi obat-obatan. Pada pemakaian
mata palsu atau lensa kontak juga dapat terjadi reaksi alergi. Dengan gambaran klinis
berupa mata merah, sakit, bengkak, panas, berair, gatal, dan silau. Sering berulang dan
menahun, bersamaan dengan rinitis alergi. Biasanya terdapat riwayat atopi sendiri atau
dalam keluarga. Pada pemeriksaan ditemukan injeksi ringan pada konjungtiva palbebra
dan bulbi serta papil besar pada konjungtiva tarsal yang dapat menimbulkan komplikasi
pada konjungtiva. Pada keadaan akut dapat terjadi kemosis berat. Terapi pada
konjungtivitis akibat reaksi alergi biasanya akan sembuh sendiri. Pengobatan ditujukan
untuk menghindarkan penyebab dan menghilangkan gejala. Terapi yang dapat diberikan
misalnya vasokonstriktor local pada keadaan akut (epinefrin 1:1.000), astringen, steroid
topical dosis rendah dan kompres dingin untuk menghilangkan edemanya. Untuk
degranulasi sel mast. Pada kasus yang berat dapat diberikan antihistamin dan steroid
sistemik. Penggunaan steroid sistemik berkepanjangan harus dihindari karena bisa terjadi
infeksi virus, katarak, hingga ulkus kornea oportunistik. Antihistamin sistemik hanya
sedikit bemanfaat. Pada sindrom Steven Johnson, pengobatan bersifat sistomatik dengan
pengobatan umum. Pada mata dilakukan pembersihan sekret, mediatrik, steroid topical
Konjungtivitis
(www.google.com)
Simblefaron
forniks.
Dapat disebabkan akibat trauma kecelakaan, operasi, luka bakar oleh zat kimia,
dan peradangan. Dengan gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus, sehingga
kornea dan penglihatan terganggu. Terapi yang dapat diberikan jika terjadi simblefaron,
jika ringan dapat dilepaskan dan diberi salep, pada keadaan yang hebat dilakukan operasi
plastik, setelah simblefaron dilepaskan pada tempat lepasnya ditutup dengan membran
Simblefaron
(www.google.com)
Konjungtivitis mukopurulen
Gejala
Hiperemi konjungtiva
Sekret berlendir yang mengakibatkan kedua kelopak mata melekat terutama saat
bangun pagi.
Komplikasi SJS
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai
berikut:
Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai
hari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata.
Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra
dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang
pada kornea dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada
berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun
menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti peradangan pada kornea dan
sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan terjadinya
konjutivitis
atau tetrasiklin
hari berturut-turut
KESIMPULAN
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa
orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan
pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi hipersensitivitas
lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV). Manifestasi SJS pada mata
erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Penangan konjuntifitis ec
SJS Prinsip terapi dengan obat topical spectrum luas. Pada 24 jam pertama obat
diteteskan tiap 2 jam kemudian pada hari berikutnya diberikan 4 kali sehari selama 1
minggu. Pada malam harinya diberikan salep mata untuk mencegah belekan di pagi hari