Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

“Konjungtivitis EC Steven Johnson Syndrom ”

Pembimbing:

dr. Agah Gadjali, SpM


dr. Hermansyah, SpM
dr. Henry A. W, SpM (K)
dr. Mustafa K. Shahab, SpM
dr. Susan Sri Anggraeni, SpM

Disusun oleh:

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


RUMAHSAKIT BHAYANGKARA TK.1 RADEN SAID SUKANTO
PERIODE 04 NOVEMBER 2019 – 7 DESEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
KRISTEN KRIDA WACANA
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. V

Jenis kelainan : Perempuan

Tanggal Lahir :-

Usia : 22 Tahun

Status : Belum menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Guru

Suku Bangsa : Jawa

Alamat : Jalan Kesemek no.58 Pasar Minggu Baru

II. ANAMNESIS
Dilakukan Autoanamnesa pada tanggal 08 Novemver 2019

A. Keluhan Utama
Kelopak mata bengakak disertai belekan

B. Keluhan Tambahan
gatal dan silau melihat cahaya
C. Riwayat penyakit sekarang

Pasien diantar perawat ruangan Cendrawasih ke poli klinik mata RS Polri karena mengalami
kelopak mata bengkak,bengkak yang rasakan pasien tidak disertai rasa nyeri,namun sangat
merah, adanya benjolan pada kelopak mata disangkal,pasien mengeluh gatal pada kedua
mata dan mengeluarkan banyak kotoran terutama pada pagi hari sehingga kesulitan untuk
membuka mata, pasien mengatakan kotoran yang dikeluarkan berwana putih sedikit
kehijauan, selain itu pasien mengeluhkan silau bila melihat cahaya, disertai demam keluhan
penurununan penglihatan disangkal, pasien mengalami keluhan seperti ini setelah
mengonsumsi obat yang diberikan dari puskesmas.

Pasien menceritakan , hari senin tanggal 27 oktober pasien mengeluh sakit tenggorokan dan
deman dan muncul benjolan dibawa telinga yang nyeri, keluhan dirasakan makin parah
sehingga hari rabu tanggal 29 oktober pasien berobat ke puskesmas terdekat, oleh dokter
puskesmas pasien diberikan paracetamol dan dexametason, pasien mengonsumsi obat
tersebut selama dua hari, pada hari sabtu timbul keluhan, muncul kemerahan dan lenting
seperti melepuh disekitar mulut,bibir dan dalam tenggorokan yang membuat pasien muntah
darah dan kesulitan untuk makan dan bernapas, selain itu pasaien juga mengeluhkan keluhan
mata berupa, kelopak mata yang bengkak dan merah, disertai demam, sehingga pada hari itu
juga pasien dibawa ke RS Polri dan pasien mulai dirawat, terhitung sudah delapan hari pasien
dirawat di RS Polri, di hari kedelapan dirawat pasien dibawa ke poli mata RS Polri oleh
perawat ruangan Cenderawasih, karena keluhan pada mata pasien makin memburuk, dengan
mulai ada belekan dengan warna agak kehijauan terutama pagi hari yang membuat pasien
kesulitan untuk membuka mata karena lengket, selain itu bengkak dikelopak mata juga tidak
berkurang, pasien juga mengeluh mata menjadi lebih kering dan silau

.Keluhan seperti sensasi benda asing,rasa mengganjal, mata berair, penurunan penglihatan,
sakit kepala, mual , muntah, adanya kemerahan berbentuk segitiga pada,mata merah akibat
benturan disangkal oleh pasien.

Riwayat penyakit dahulu

 Riwayat penyakit Diabetes Mellitus Tipe II disangkal


 Riwayat menggunakan kacamata (+) sejak kelas 5 SD
 Riwayat Hipertensi disangkal
 Riwayat mengalami benturan atau trauma benda lain disangkal
 Riwayat operasi mata disangkal
Riwayat Penggunaan Obat

 Riwayat penggunaan obat Paracetamol dan Dexametason


Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat keluarga dengan sakit yang sama (-)


 Orang tua ( Ayah ) pasien memakai kacamata (+)
 Ayah memiliki riwayat Hipertensi (+)
 Riwayat penyakit Diabetes Mellitus Tipe II disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis

 Keadaan umum : Baik


 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda vital
 Tekanan darah : 110/80 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 Pernafasan : 20 x/menit
 Suhu : 36,8 °C

IV. STATUS OFTALMOLOGI

OD OS
Visus 6/10 6/20

Tes Pinhole (+) (+)

Visus Kacamata
koreksi

Posisi Hirschberg

Kedudukan bola Ortoforia


mata
Lapang pandang Dalam Batas Normal Dalam Batas Normal
Supercillia Madarosis (-) Madarosis (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)

Palpebra
 Superior Edema (+) Edema (+)
Benjolan (-) Benjolan (-)
Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Enteropion (-) Enteropion (-)
Ektropion(-) Ektropion(-)

 Inferior Edema (+)


Edema (+)
Benjolan (-) Benjolan (-)
Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Enteropion (-) Enteropion (-)
Ektropion(-) Ektropion(-)

Konjungtiva Tarsal
 Superior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Papil (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Edema (-) Edema (-)
Membran (-) Membran (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Sekret (+) Sekret (+)

 Inferior Hiperemis (-)


Hiperemis (-)
Papil (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Edema (-) Edema (-)
Membran (-) Membran (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)
Sekret (+) Sekret (+)

Konjungtiva Bulbi Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (-)


Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (-)
Perdarahan (-) Perdarahan (-)
Kornea Jernih Jernih
Infiltrat (-) Infiltrat (-)
Ulkus (-) Ulkus (-)
Sikatrik (-) Sikatrik (-)

Bilik Mata Depan Sedang, jernih Sedang, jernih


/ COA
Pupil Bentuk bulat Bentuk bulat
Berada di sentral regular Berada di sentral
RCL +/+, RCTL +/+ regular
Diameter 3mm RCL +/+, RCTL +/+
Diameter 3mm
Iris Berwarna coklat Berwarna coklat
Kripti (-) Kripti (-)
Sinekia Anterior dan Sinekia Anterior dan
posterior (-) / (-) posterior (-) / (-)
Sinekia (-)\\
Lensa Jernih Jernih
Shadow test (-) Shadow test (-)
Funduskopi Neovaskularisasi (-) Neovaskularisasi (-)
Edem Makula (-) Edem Makula (-)
Mikroaneurisma (-) Mikroaneurisma (-)
Edem papil (-) Edem papil (-)
Tekanan Normal perpalpasi Normal perpalpasi
Intraokuler
Perpalpasi

I. RESUME
Pasien perempuan berumur 22 tahun datang dibawa oleh perawat ruang
cendrawasih ke poli klinik RS Polri karena mengalami mata merah, kelopak mata
bengkak gatal dan mengeluarkan banyak kotoran terutama pada pagi hari sehingga
kesulitan untuk membuka mata, pasien mengatakan kotoran yang dikeluarkan berwana
putih sedikit kehijauan, selain itu pasien mengeluhkan silau bila melihat cahaya,disertai
muncul kemerahan dan melepuh disekitar bibir. Pasien mengalami keluhan seperti ini
setelah mengonsumsi obat yang diberikan dari puskesmas. Keluhan penglihatan
ganda,penurunan penglihatan (-), mata merah (-), nyeri kepala (-), mual (-), muntah (-).

V. DIAGNOSIS KERJA
Konjutivitis Ec Steven Johnson Syndrom
VI. DIAGNOSIS BANDING :

Konjungtivitis mukopurulenta

VI. PENATALAKSANAAN
Antiobiotik spektrum luas
Progenta
Vitamin A
VII. PRGONOSIS
ODS :
Quo ad vitam : ad Bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : ad Bonam
Quo ad cosmetican : ad Bonam
Tinjauan Pustaka

PENDAHULUAN

Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata
dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai
macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa. 1, 3

Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini, mata
sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Konjungtivitis bakteri biasanya
mengenai kedua mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata dalam jumlah banyak,
berwarna kuning kehijauan. Konjungtivitis alergi juga mengenai kedua mata. Tandanya,
selain mata berwarna merah, mata juga akan terasa gatal. Gatal ini juga seringkali dirasakan
dihidung. Produksi air mata juga berlebihan sehingga mata sangat berair. Konjungtivitis
papiler raksasa adalah konjungtivitis yang disebabkan oleh intoleransi mata terhadap lensa
kontak. Biasanya mengenai kedua mata, terasa gatal, banyak kotoran mata, air mata berlebih,
dan kadang muncul benjolan di kelopak mata. Konjungtivitis virus biasanya tidak diobati,
karena akan sembuh sendiri dalam beberapa hari. Walaupun demikian, beberapa dokter tetap
akan memberikan larutan astringen agar mata senantiasa bersih sehingga infeksi sekunder
oleh bakteri tidak terjadi dan air mata buatan untuk mengatasi kekeringan dan rasa tidak
nyaman di mata.1, 3

Obat tetes atau salep antibiotik biasanya digunakan untuk mengobati konjungtivitis
bakteri. Antibiotik sistemik juga sering digunakan jika ada infeksi di bagian tubuh lain. Pada
konjungtivitis bakteri atau virus, dapat dilakukan kompres hangat di daerah mata untuk
meringankan gejala. Tablet atau tetes mata antihistamin cocok diberikan pada konjungtivitis
alergi. Selain itu, air mata buatan juga dapat diberikan agar mata terasa lebih nyaman,
sekaligus melindungi mata dari paparan alergen, atau mengencerkan alergen yang ada di
lapisan air mata. Untuk konjungtivitis papiler raksasa, pengobatan utama adalah
menghentikan paparan dengan benda yang diduga sebagai penyebab, misalnya berhenti
menggunakan lensa kontak. Selain itu dapat diberikan tetes mata yang berfungsi untuk
mengurangi peradangan dan rasa gatal di mata. 3

Pada dasarnya konjungtivitis adalah penyakit ringan, namun pada beberapa kasus
dapat berlanjut menjadi penyakit yang serius. Untuk itu tidak ada salahnya berkonsultasi
dengan dokter mata jika terkena konjungtivitis. 3

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui manifestasi SJS

pada mata dan tata laksananya.

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva


Konjungtiva adalah membran mukosa tipis dan transparan yang melapisi permukaan
posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva
bulbaris). Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat
erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada
forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva
bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat
berkali-kali.
Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar
permukaan konjungtiva sekretorik. Adapun duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks
temporal superior. Struktur konjungtiva forniks sama dengan konjungtiva palpebra, namun
hubungan dengan jaringan di bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan. Selain
itu, konjungtiva forniks juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, udem
akan mudah terjadi di tempat ini apabila terdapat peradangan mata.
Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva
Secara histologis, lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel
epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di
atas kurunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata yang terdiri
dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau
oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna
lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan
fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat
dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid
tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa
konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian
menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari Jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva.
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause
dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma.
Sebagian besar kelenjar Krause berada di forniks atas dan sedikit ada di forniks bawah.
Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas7.

Vaskularisasi dan Persarafan


Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis.
Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva
membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat banyak. Konjungtiva juga menerima
persarafan dari percabangan pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit
(Vaughan, 2010; Tortora, 2009).

Definisi Steven Johnson Syndrome (SJS)


Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh trias
kelianan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala umum berat. Sindroma ini
merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated hypersensitivity, atau yang juga
disebut reaksi hipersensitivitas tipe III.
Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat sputum
purulen, sakit kepala, malaise, dan arthralgia.
Pasien mungkin mengeluhkan ruam pembakaran yang dimulai secara simetris pada
wajah dan bagian atas dari torso tubuh. Selain itu, ada beberapa tanda dari keterlibatan kulit
dalam SJS, antara lain:
a. Eritema
b. Edema
c. Sloughing
d. Blister atau vesikel
e. Ulserasi
f. Nekrosis.

Patofisilogi

Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks
soluble dari antigen atau metaboliknya dengan antibody IgM dan IgG, serta reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions atau reaksi hipersensitivitas
tipe IV) yang merupakan reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. 6 Reaksi tipe III
terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi
sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran
(target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limposit T yang tersensitisasi berkontak kembali
dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang
(Monica, 2013).
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA,
C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa
hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga
terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab
(misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas
faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit
dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta
mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal
di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk
inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit
yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis (Williams, 2013).
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi
seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti
peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan
termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.5

Etiologi SJS
Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun penyebab yang
paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu reaksi berlebihan dari tubuh
untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh.
Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25% karena
infeksi dan penyebab lainnya. Paparan obat dan reaksi hipersensitivitas yang dihasilkan
adalah penyebab mayoritas yangsangat besar dari kasus SJS. Dalam angka absolut kasus,
alopurinol adalah penyebab paling umum dari SJS di Eropa dan Israel, dan sebagian besar
pada pasien yang menerima dosis harian setidaknya 200 mg (Williams, 2013).
Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan timbulnya SJS antara lain:
1. Obat-obatan
Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan antipiretik (penurun
demam). Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan SJS antara lain: Penisilin dan
derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide, Tetrasiklin, Analgetik/antipiretik (misalnya Derivat
Salisilat, Pirazolon, Metamizol, Metampiron dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin,
Barbiturat (Fenobarbital), Kinin Antipirin, Chlorpromazin, Karbamazepin dan jamu-jamuan.1
2. Infeksi
a. Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr, enterovirus, HIV,
Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok, lymphogranuloma venereum,
rickettsia dan variola.
b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri, brucellosis,
mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan tifus.
c. Jamur, meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan histoplasmosis.
d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.
3. Imunisasi
Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.
4. Penyebab lain :
a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna
b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain
c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler
d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma,
Myeloma, dan Polisitemia
e. Kehamilan dan Menstruasi
f. Neoplasma
g. Radioterapi.

Manifestasi Klinis
Steven Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat akut. Gejala
awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala, batuk berdahak, pilek, nyeri
tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung selama 1-14 hari.1 Muntah dan diare
juga dapat muncul sebagai gejala awal. Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi
gejala yang lebih berat, yang ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju
pernapasan, rasa lemah, serta penurunan kesadaran.
Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:
a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson, antara lain
timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula.1 Sedangkan
tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target atau targetoid lesions.
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda Nikolsky
positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan seperti pada bagian
punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka
termasuk sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome – Toxic
Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area tubuh, maka disebut Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN).
b. Kelainan pada mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan esofageal,
namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian genital.13 Adanya kelainan
pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan
nekrosis.
Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan mukosa
bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang dapat pecah
sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama
pada bibir penderita.1 Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan
bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan
mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia
atau buang air kecil.12
c. Kelainan pada mata
Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam
kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi
dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan
faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan.
Bila kita mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila kita baru mulai

memakai obat baru, segera periksa ke dokter.

Gam. Sindrom Steven Johnson

Manifestasi SJS pada mata

Konjungtivitis

Konjungtivitis pada sindrom Steven Johnson merupakan konjungtivitis yang

disebabkan karena proses alergi akibat reaksi terhadap non infeksi, dapat berupa reaksi

cepat seperti alergi biasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada

reaksi terhadap obat, bakteri, dan toksik. Merupakan reaksi hiper sensitivitas tipe cepat

atau lambat, atau reaksi antibody humoral terhadap allergen. Pada keadaan yang berat

merupakan bagian dari sindrom Steven Johnson, suatu penyakit eritema multiforme berat

akibat reaksi alergi pada orang dengan prediposisi alergi obat-obatan. Pada pemakaian

mata palsu atau lensa kontak juga dapat terjadi reaksi alergi. Dengan gambaran klinis

berupa mata merah, sakit, bengkak, panas, berair, gatal, dan silau. Sering berulang dan

menahun, bersamaan dengan rinitis alergi. Biasanya terdapat riwayat atopi sendiri atau

dalam keluarga. Pada pemeriksaan ditemukan injeksi ringan pada konjungtiva palbebra

dan bulbi serta papil besar pada konjungtiva tarsal yang dapat menimbulkan komplikasi
pada konjungtiva. Pada keadaan akut dapat terjadi kemosis berat. Terapi pada

konjungtivitis akibat reaksi alergi biasanya akan sembuh sendiri. Pengobatan ditujukan

untuk menghindarkan penyebab dan menghilangkan gejala. Terapi yang dapat diberikan

misalnya vasokonstriktor local pada keadaan akut (epinefrin 1:1.000), astringen, steroid

topical dosis rendah dan kompres dingin untuk menghilangkan edemanya. Untuk

pencegahan diberikan Natrium kromoglikat 2% topical 4 kali sehari untuk mencegah

degranulasi sel mast. Pada kasus yang berat dapat diberikan antihistamin dan steroid

sistemik. Penggunaan steroid sistemik berkepanjangan harus dihindari karena bisa terjadi

infeksi virus, katarak, hingga ulkus kornea oportunistik. Antihistamin sistemik hanya

sedikit bemanfaat. Pada sindrom Steven Johnson, pengobatan bersifat sistomatik dengan

pengobatan umum. Pada mata dilakukan pembersihan sekret, mediatrik, steroid topical

dan pencegahan simblefaron (Ilyas, 2004).

Konjungtivitis
(www.google.com)

Simblefaron

Simblefaron adalah perlengketan antara konjungtiva palpebra, konjungtiva

bulbi, dan konjungtiva forniks. Jenis simblefaron :

 Simblefaron partialis anterior : perlengketan antara konjungtiva palpebra dan

konjungtiva bulbi atau kornea.

 Simblefaron partialis posterior : perlengketan antara konjungtiva forniks


 Simblefaron totalis : perlengketan antara konjungtiva palpebra, bulbi dan

forniks.

Dapat disebabkan akibat trauma kecelakaan, operasi, luka bakar oleh zat kimia,

dan peradangan. Dengan gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus, sehingga

kornea dan penglihatan terganggu. Terapi yang dapat diberikan jika terjadi simblefaron,

jika ringan dapat dilepaskan dan diberi salep, pada keadaan yang hebat dilakukan operasi

plastik, setelah simblefaron dilepaskan pada tempat lepasnya ditutup dengan membran

mukosa mulut atau bibir (Wijana, 1993).

Simblefaron
(www.google.com)

Diagnosis Banding konjungtifitis ec SJS

Konjungtivitis mukopurulen

Konjungtivitis mukopurulen merupakan konjungtivitis dengan gejala umum


konjungtivitis kiataral mukoid yang disebabkan oleh Staphylococcus atau basil Koch Weeks.3

Gejala

 Hiperemi konjungtiva
 Sekret berlendir yang mengakibatkan kedua kelopak mata melekat terutama saat
bangun pagi.

Komplikasi SJS
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai

berikut:

o Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan.

Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai

hari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata.

Akibat adanya perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau

konjungtivitis membranosa, yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis.

Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra

yang mendorong terjadinya ektropion, entropion, trikriasis dan lagoftalmus.

Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan yang dapat berakibat

simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah

dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang

mana komplikasi tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi

pada kornea dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada

komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa pemaparan kornea sampai

terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang rekuren, hingga

timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat

berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun

ditambah dengan adanya kelainan akibat komplikasi-komplikasi di atas akan

menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti peradangan pada kornea dan

sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan terjadinya

perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya harus

dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata (Viswanadh, 2002)


Penatalaksanaan

Klasifikasi Etiologi Terapi

konjutivitis

Bakteri Diptheric Topikal: antibiotik spektrum luar,penesilin

atau tetrasiklin

Gonococal Topikal : Antibiotik spektrum luas, sistemik

seftriaksoan 1 gr IM sampai hasil swab ( –) 3

hari berturut-turut

Haemophilus dan moraxella

Virus Epidemik Keratokonjungtivitis Tidak ada terapi spesifik

Parasit Onchocerdiasis dan lao-lao Terapi sistemik dan bedah

KESIMPULAN

Sindrom Steven-Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi

mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa

orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan

pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan

dengan respon imun terhadap obat.

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan

dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi hipersensitivitas

lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV). Manifestasi SJS pada mata

dapat berupa konjungtivitis, konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,


iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi

erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Penangan konjuntifitis ec

SJS Prinsip terapi dengan obat topical spectrum luas. Pada 24 jam pertama obat

diteteskan tiap 2 jam kemudian pada hari berikutnya diberikan 4 kali sehari selama 1

minggu. Pada malam harinya diberikan salep mata untuk mencegah belekan di pagi hari

dan mempercepat penyembuhan1


TINJAUAAN PUSTAKA

1. Wijana, N. 1993. Konjungtiva dalam Ilmu Penyakit Mata. hal: 41-69


2. Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.
3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In:
Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
4. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition.
EGC. Jakarta. 2004. hal 141-14
5. Monica. Sindrom Stevens-Johnson. Didapat dari: http://elib.fk.uwks.ac.id/. Diakses
pada: 15 Desember 2015. American Academy of Opthalmology. External Disease
and Cornea. Section 11. San Fransisco: MD Association, 2005-2006
6. Ilyas DSM, Sidarta,. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 1998
7. Ilyas, H. Sidarta Prof. dr. SpM. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI; 2003, hal 2,
134.
8. James, Brus, dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005

Anda mungkin juga menyukai