Anda di halaman 1dari 48

CASE REPORT

KEJANG DEMAM KOMPLEKS + ISPA

Disusun oleh :
Fadlina Arysta Brawidya 1102012079

Pembimbing:
dr. H. Budi Risjadi, Sp.A, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SOREANG
MEI-JULI 2016
BAB I

PAPARAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : An. I

Umur : 1 tahun 5 bulan 6 hari

Jenis Kelamin : Perempuan

Pendidikan Terakhir : -

Suku Bangsa : Sunda

Agama : Islam

Alamat : Nagrak 02/07 Jatisari Kec. Cangkuang Kab Bandung

No. RM : 556189

Tanggal Masuk RS : 06 Juni 2016

II. Anamnesis

Alloanamnesis dengan kedua orangtua pasien serta dari Rekam Medis

Keluhan Utama : Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan kejang 2x pada saat 12 jam SMRS dan saat 1 jam

SMRS. Sifat dari kedua kejang sama yaitu lama kejang <5 menit, pada saat kejang

seluruh tubuh kaku dan mata mendelik keatas. Setelah kejang pasien sadar kembali

dan ingin menyusu. Batuk (+) berdahak tetapi sulit keluar sejak 3 hari SMRS, pilek

(+) bening semenjak 3 hari SMRS. Panas (+) dirasakan naik turun sejak 2 hari SMRS.

Panas dirasakan lebih tinggi saat malam. Pada saat minggu malam (1 hari SMRS)

pukul 19.00 pasien panas tinggi lalu kejang setelah kejang diberikan obat penurun

panas pukul 21.00, hingga kejang kedua pukul 07.00 pasien masih panas dan belum

diberikan obat penurun panas lagi. Mual (-), muntah (+) 1x berisi sisa makanan 1 hari

1
SMRS. Gusi berdarah (-), mimisan (-), bintik kemerahan (-). Pasien belum BAB sejak

2 hari SMRS, BAK tidak ada kelainan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat kejang sebelumnya (+) di usia 9 bulan. Kejang 1x selama <5 menit, bentuk

kejang kaku seluruh tubuh, kejang didahului oleh demam, penyebab demam tidak

diketahui pasien hanya diberikan obat penurun panas.

Riwayat Tambahan

Riwayat kejang demam di keluarga (+).

Riwayat epilepsi di keluarga (-).

Riwayat DBD di tetangga (-)

Riwayat TB pada keluarga (-)

Riwayat kelahiran: Pasien lahir dari ibu G2P1A0 secara spontan, di bidan pada

kehamilan 36 minggu BB 2700 gram, PB 42 cm.

Riwayat tumbuh kembang: pasien belum bisa berjalan dengan lancar.

Riwayat Imunisasi

Riwayat imunisasi lengkap menurut orang tua pasien.

Riwayat Alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi

III. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang

2
b. Kesadaran : Composmentis

c. Tanda vital :

i. Nadi : 120 x/menit

ii. Respirasi : 32 x/menit

iii. Suhu : 39,1 0C

iv. Tekanan darah : tidak diukur

d. Berat Badan : 10 kg

e. Tinggi Badan : 75 cm

f. Status gizi

BB/U : <1 SD (Gizi Baik)

TB/U : <-1 SD (Normal)

BB/TB : <1 SD (Gizi Normal)

Status Generalis

 Kepala

Deformitas (-) normocephal

 Mata

Konjungtiva : tidak anemis

Sklera : tidak ikterik

Pupil bulat isokor

Refleks Cahaya Langsung : +/+

 Hidung

Sekret (-/-), PCH (-/-), Epistaksis (-/-).

 Mulut

3
Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis, arcus pharingeus simetris, uvula terletak di

tengah, POC (-), Tifoid Tongue (-)

 Leher

KGB tidak teraba membesar

 Thorax

Bentuk dan gerak statis dan dinamis

Pulmonal : Vesicular Breath Sound kanan = kiri, Rhonki -/- Wheezing -/-

COR : Bunyi Jantung Murni Regular, Murmur (-) Gallop (-)

 Abdomen

Inspeski : Datar, tidak ada kelainan kulit

Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba membesar, turgor

kembali cepat

Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen

Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

 Ekstremitas

Ekstremitas atas: akral hangat +/+, CRT <2”, edema (-)

Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, CRT <2”, edema (-)

 Pemeriksaan Neurologis : tidak dilakukan

IV. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (RSUD SOREANG)

Tgl : 06/06/2016 Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Pukul: 07:46

Darah Rutin

 Hemoglobin 11,4 g/dL 10-14

4
 Hematokrit 34 % 37-43

 Lekosit 14,100/mm3 6.000 – 15.000

 Trombosit 263.000/mm³ 150.000 – 400.000

Gula darah sewaktu 105 mg/dL <180

V. Diagnosis Kerja

Kejang demam kompleks + ISPA

VI. Diagnosis Banding

Meningitis

VII. Usulan Pemeriksaan

VIII. Penatalaksanaan

 IGD

1. O2 1-2 lpm

2. IVFD N4 1000 cc/24 jam = 15 gtt/menit macro

3. Diazepam 3 mg IV (bila kejang)

4. Luminal 200 mg -> selanjutnya 2 x 25 mg (IV)

5. PCT syr 3 x 1 cth (p.c)

6. TD II

 Ruangan Kenanga

1. IVFD RL 15 gtt/menit macro

2. Ceftriaxone 2x300 mg (IV)

5
3. Luminal/Sibital 2 x 30 mg (IV)

4. Diazepam 3 mg IV (bila kejang)

5. PCT syr 3 x 1 cth (p.c)

6. TD II

IX. Prognosis

Quo ad Vitam : ad bonam

Quo ad Functionam : ad bonam

Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

X. Follow Up

Tanggal : 7/06/2016

S/ O/ A/ P/

Demam (-), kejang N : 110x/menit Kejang demam 1. IVFD RL 15


(-), batuk (+) R : 40x/menit kompleks + gtt/menit macro
berdahak, Pilek (- S : 37,6°C ISPA 2. Ceftriaxone
), mual (-), muntah 2x300 mg (IV)
(-), mimisan (-), Kepala: normochepal. 3. Luminal/Sibital
gusi berdarah (-), Mata : CA (-), SI (-) 2 x 30 mg (IV)
BAB belum sejak Hidung: PCH (-), sekret (-) 4. Diazepam 3 mg
3 hari yang lalu. Mulut: POC (-), T1-T1 IV (bila kejang)
BAK tidak ada Leher: KGB tidak teraba 5. PCT Syr 3 x 1
kelainan. membesar. cth (p.c)
Thorax: B/G simetris, VBS 7
ka=ki, ronkhi -/-, wheezing -/-
, BJ I dan II murni reguler,
murmur (-), gallop (-).
Abd : datar, soepel, bising
usus (+) normal, nyeri tekan (-
).
Hepar: tidak teraba.
Lien: tidak teraba.
Eks: akral hangat, CRT <2”,
udem -/-, petechiae -/-.

P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal: -

6
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-

Tanggal : 8/06/2016

S/ O/ A/ P/

Demam (+) naik N : 130x/menit Kejang demam 1. IVFD RL 15


turun, kejang (-), R : 32x/menit kompleks + gtt/menit macro
batuk (+) berdahak S : 36,5°C ISPA 2. Ceftriaxone 2x300
sulit keluar, Pilek Pukul 06.00 sempat naik mg (IV)
(-), mual (-), 38,8oc 3. Luminal/Sibital 2 x
muntah (-), 30 mg (IV)
mimisan (-), gusi Kepala: normochepal. 4. Diazepam 3 mg IV
berdarah (-), BAB Mata : CA (-), SI (-) (bila kejang)
belum sejak 4 hari Hidung: PCH (-), sekret (-) 5. Paracetamol 3 x 1
yang lalu, BAK Mulut: POC (-), T1- T1 cth
tidak ada kelainan, Leher: KGB tidak teraba 6. Dexamethasone 3x
napsu makan membesar. 3 mg
berkurang tapi Thorax: B/G simetris, VBS
masih mau ka=ki, ronkhi -/-, wheezing -/-
menyusu. , BJ I dan II murni reguler,
murmur (-), gallop (-).
Abd : datar, soepel, bising
usus (+) normal, nyeri tekan (-
).
Hepar: tidak teraba.
Lien: tidak teraba.
Eks: akral hangat, CRT <2”,
udem -/-, petechiae -/-.

P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal: -
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-

Tanggal : 9/06/2016

S/ O/ A/ P/

Demam (-), kejang N : 120x/menit Kejang demam 1. IVFD RL 15


(-), batuk (+) jarang R : 40x/menit kompleks + gtt/menit macro
berdahak sulit S : 37°C ISPA 2. Ceftriaxone 2x300

7
keluar, Pilek (-), mg (IV)
mual (-), muntah (-), Kepala: normochepal. 3. Luminal/Sibital 2 x
mimisan (-), gusi Mata : CA (-/-), SI (-/-) 30 mg (IV)
berdarah (-), BAB Hidung: PCH (+), sekret (-) 4. Diazepam 3 mg IV
belum sejak 5 hari Mulut: POC (-), T1-T1 (bila kejang)
yang lalu, BAK Leher: KGB tidak teraba 5. Paracetamol 3 x 1
tidak ada kelainan, membesar. cth
napsu makan Thorax: B/G simetris, VBS 6. Dexamethasone 3x
berkurang tapi ka=ki, ronkhi -/-, wheezing 3 mg
masih mau -/-, slem +/+ 7. Dulcolax supp 5 mg
menyusu. BJ I dan II murni reguler,
murmur (-), gallop (-).
Abd : datar, soepel, bising
usus (+) normal, nyeri tekan
(-).
Hepar: tidak teraba.
Lien: tidak teraba.
Eks: akral hangat, CRT
<2”, udem -/-, petechiae -/-.

P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal:
-
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-

Tanggal : 10/06/2016

S/ O/ A/ P/

Demam (-), kejang N : 120x/menit Kejang demam 1. IVFD RL 15


(-), batuk (+) R : 40x/menit kompleks + gtt/menit macro
berkurang jarang, S : 36,4°C ISPA 2. Ceftriaxone 2x300
Pilek (-), BAB 1x mg (IV)
dalam batas normal, Kepala: normochepal. 3. Luminal/Sibital 2 x
BAK tidak ada Mata : CA (-/-), SI (-/-) 30 mg (IV)
kelainan, napsu Hidung: PCH (-), sekret (-) 4. Diazepam 3 mg IV
makan berkurang Mulut: POC (-), T1-T1 (bila kejang)
tapi masih mau Leher: KGB tidak teraba 5. Paracetamol 3 x 1
menyusu. membesar. cth
Thorax: B/G simetris, VBS 6. Dexamethasone 3x
ka=ki, ronkhi -/-, wheezing 3 mg
-/-, slem -/- 7. Cek DR ulang
BJ I dan II murni reguler,
murmur (-), gallop (-).
Abd : datar, soepel, bising
usus (+) normal, nyeri tekan

8
(-).
Hepar: tidak teraba.
Lien: tidak teraba.
Eks: akral hangat, CRT
<2”, udem -/-, petechiae -/-.

P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal:
-
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-

Hasil laboratorium:

Hb : 10,9 g/dL
Ht : 31 %
Leukosit :3.200/mm3
Trombosit: 123.000/mm³

Tanggal : 11/06/2016

S/ O/ A/ P/

Demam (-), kejang N : 114x/menit Kejang demam 1. IVFD RL 30 cc/jam


(-), batuk (+) R : 26x/menit kompleks + 2. Ceftriaxone 2x300
berkurang, Pilek (-), S : 36,5°C ISPA + Susp mg (IV)
mimisan (-), gusi Dengue Fever 3. Luminal/Sibital 2 x
berdarah (-), BAB Kepala: normochepal. 30 mg (IV)
(+) dalam batas Mata : CA (-/-), SI (-/-) 4. Diazepam 3 mg IV
normal, BAK dalam Hidung: PCH (-), sekret (-) (bila kejang)
batas normal, napsu Mulut: POC (-), T1-T1 5. Paracetamol 3 x 500
makan meningkat Leher: KGB tidak teraba mg (p.o)
membesar. 6. Dexamethasone 3x
Thorax: B/G simetris, VBS 3 mg
ka=ki, ronkhi -/-, wheezing 7. Trolit 3x1 sach
-/-, slem -/- 8. Cek DR ulang
BJ I dan II murni reguler,
murmur (-), gallop (-).
Abd : datar, soepel, bising
usus (+) normal, nyeri tekan
(-).
Hepar: tidak teraba.
Lien: tidak teraba.
Eks: akral hangat, CRT
<2”, udem -/-, petechiae -/-.

P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal:-

9
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-

Hasil laboratorium:

Hb : 10,7 g/dL
Ht : 31 %
Leukosit : 6.300/mm3
Trombosit: 112.000/mm³

Tanggal : 12/06/2016

S/ O/ A/ P/

Demam (-), kejang N : 130x/menit Kejang demam 1. IVFD RL 30 cc/jam


(-), batuk (+) R : 40x/menit kompleks + 2. Ceftriaxone 2x300
berkurang, Pilek (-), S : 36,5°C ISPA + Susp mg (IV) (STOP)
mual (-), muntah (-), Dengue Fever 3. Luminal/Sibital 2 x
sesak (-), mimisan (- Kepala: normochepal. 30 mg (IV)
), gusi berdarah (-), Mata : CA (-/-), SI (-/-) 4. Diazepam 3 mg IV
bintik kemerahan (-) Hidung: PCH (-), sekret (-) (bila kejang)
BAB terakhir 1 hari Mulut: POC (-), T1-T1 5. Paracetamol 3 x 500
yang lalu, BAK Leher: KGB tidak teraba mg (p.o)
dalam batas normal, membesar. 6. Dexamethasone 3x
napsu makan baik. Thorax: B/G simetris, VBS 3 mg
ka=ki, ronkhi -/-, wheezing 7. Trolit 3x1 sach
-/-, slem -/- 8. Serial 24 jam
BJ I dan II murni reguler,
murmur (-), gallop (-).
Abd : datar, soepel, bising
usus (+) normal, nyeri tekan
(-), petechiae (-).
Hepar: tidak teraba.
Lien: tidak teraba.
Eks: akral hangat, CRT
<3”, udem -/-, petechiae -/-.

P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal:-
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-

Tanggal : 13/06/2016

10
S/ O/ A/ P/

Demam (-), kejang N : 120x/menit Kejang demam 1. IVFD RL 30 cc/jam


(-), batuk (+) jarang, R : 30x/menit kompleks + 2. Trolit 3x1 sach
Pilek (-), mual (-), S : 36,5°C ISPA + Susp 3. Cek IgG IgM anti
muntah (-), sesak (- Dengue Fever dengue
), gusi berdarah (-), Kepala: normochepal. 4. BLPL
mimisan (-), bintik Mata : CA (-/-), SI (-/-)
kemerahan (-), BAB Hidung: PCH (-), sekret (-)
1x dalam batas Mulut: POC (-), T1-T1
normal, BAK dalam Leher: KGB tidak teraba
batas normal, napsu membesar.
makan baik. Thorax: B/G simetris, VBS
ka=ki, ronkhi -/-, wheezing
-/-, slem -/-
BJ I dan II murni reguler,
murmur (-), gallop (-).
Abd : datar, soepel, bising
usus (+) normal, nyeri tekan
(-), petechiae (-).
Hepar: tidak teraba.
Lien: tidak teraba.
Eks: akral hangat, CRT
<3”, udem -/-, petechiae -/-.

P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal:-
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-

Hasil laboratorium:

Hb : 10 g/dL
Ht : 31 %
Leukosit : 5.500/mm3
Trombosit: 135.000/mm³

Dengue IgG : Non reaktif


Dengue IgM : Reaktif

ANALISA KASUS

1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?

Pasien di diagnosa kejang demam kompleks karena dari anamnesa pasien di dapatkan:

- Kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam yaitu 2x pada saat 12

jam SMRS dan saat 1 jam SMRS.

11
- Setelah kejang pasien sadar kembali dan ingin menyusu.

- Kejang didahului oleh demam.

- Pasien sedang mengalami infeksi berupa Batuk pilek sejak 3 hari SMRS.

- Usia pasien yaitu 1 tahun 5 bulan 6 hari dimana umumnya kejang demam

timbul pada tahun kedua kehidupan (17 – 23 bulan).

Dari pemeriksaan fisik pasien di dapatkan:

- Status generalis dalam batas normal kecuali suhu > 37,5oC


- Status neurologis pada saat di IGD tidak dilakukan tetapi di ruangan sudah
dilakukan dengan hasil:
Tanda rangsang meningeal: -
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-

Dari pemeriksaan penunjang:


Laboratorium (RSUD SOREANG)
Tgl : 06/06/2016 Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Pukul: 07:46
Darah Rutin
 Hemoglobin 11,4 g/dL 10-14
 Hematokrit 34 % 37-43
 Lekosit 14,100/mm3 6.000 – 15.000
 Trombosit 263.000/mm³ 150.000 – 400.000
Gula darah sewaktu 105 mg/dL <180

Dari data yang ada maka diagnosis kejang demam kompleks sudah tepat.

Pasien di diagnosa ISPA karena dari anamnesa pasien di dapatkan:

- Batuk (+) berdahak tetapi sulit keluar sejak 3 hari SMRS

- Pilek (+) bening semenjak 3 hari SMRS.

- Panas (+) dirasakan sejak 2 hari SMRS

12
Dari pemeriksaan fisik didapatkan:

- Tidak terdapat takipneu (Kurang dari 40 kali/menit untuk anak usia 1 tahun –

5 tahun.)

- Tidak ada tarikan dinding dada kedalam.

Kepala

Deformitas (-) normocephal

Mata

Konjungtiva : tidak anemis

Sklera : tidak ikterik

Pupil bulat isokor

Refleks Cahaya Langsung : +/+

Hidung

Sekret (-/-), PCH (-/-), Epistaksis (-/-).

Mulut

Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis, arcus pharingeus simetris, uvula terletak di

tengah, POC (-), Tifoid Tongue (-)

Leher

KGB tidak teraba membesar

Thorax

Bentuk dan gerak statis dan dinamis

Pulmonal : Vesicular Breath Sound kanan = kiri, Rhonki -/- Wheezing -/-

COR : Bunyi Jantung Murni Regular, Murmur (-) Gallop (-)

Abdomen

Inspeski : Datar, tidak ada kelainan kulit

13
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba membesar, turgor

kembali cepat

Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen

Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

Ekstremitas

Ekstremitas atas: akral hangat +/+, CRT <2”, edema (-)

Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, CRT <2”, edema (-)

Dari pemeriksaan penunjang didapatkan :

Laboratorium (RSUD SOREANG)


Tgl : 06/06/2016 Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Pukul: 07:46
Darah Rutin
 Hemoglobin 11,4 g/dL 10-14
 Hematokrit 34 % 37-43
 Lekosit 14,100/mm3 6.000 – 15.000
 Trombosit 263.000/mm³ 150.000 – 400.000
Gula darah sewaktu 105 mg/dL <180

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diagnosis

pasien sudah tepat termasuk ke dalam ISPA yang bukan pneumonia.

Pada tanggal 10-6-2016 pasien di Darah Rutin ulang,

Hasil laboratorium:

Hb : 10,9 g/dL

Ht : 31 %

Leukosit : 3.200/mm3

Trombosit: 123.000/mm³ -- trombosit menurun maka pasien belum boleh dipulangkan

Diagnosis ditambahkan dengan suspek dengue fever,

14
Tanggal 11-06-2016

Hasil laboratorium:

Hb : 10,7 g/dL

Ht : 31 %

Leukosit : 6.300/mm3

Trombosit: 112.000/mm³

Tanggal 13-06-2016

Hasil laboratorium:

Hb : 10 g/dL

Ht : 31 %

Leukosit : 5.500/mm3

Trombosit: 135.000/mm³

di cek IgG dan IgM anti dengue dengan hasil IgM reaktif maka diagnosis tambahan suspek
dengue sudah benar.

TEORI
Kejang demam kompleks

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh yang

disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Etiologinya hingga kini belum diketahui dengan

pasti. Demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,

pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.

Kejang demam kompleks (complex febrile seizure).

Kejang dengan salah satu ciri berikut :

1. Kejang lama lebih dari 15 menit.

2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.

3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

15
Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan

penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis.

1. Anamnesis

- waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang

- sifat kejang (fokal atau umum)

- Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)

- Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis status konvulsivus)

- Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik

turun)

- Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)

- Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam atau

epilepsi)

- Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)

- Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan

- Trauma kepala

2. Pemeriksaan Fisik

- Tanda vital terutama suhu

- Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-pindah

atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.

- Pemeriksaan refleks patologis (menyingkirkan diagnosis kelainan intrakranial)

- Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis meningitis)

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

16
Pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab

demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan

laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.

ISPA (Infeksi saluran pernapasan akut)


ISPA adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu dan atau lebih bagian dari
saluran napas, mulai dari hidung (saluran pernapasan atas) hingga alveoli (saluran pernapasan
bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura yang
disebabkan oleh masuknya kuman (bakteri, virus atau riketsia) ke dalam organ saluran
pernapasan yang berlangsung selama kurang dari 14 hari.
Menurut Depkes RI (1991), Pembagian ISPA berdasarkan atas umur dan tanda-tanda
klinis yang didapat yaitu :
1. Untuk anak umur 2 bulan-5 tahun
Untuk anak dalam berbagai golongan umur ini ISPA diklasifikasikan menjadi 3 yaitu :
a) Pneumonia berat
Tanda utama :
• Adanya tanda bahaya yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor,
serta gizi buruk.
• Adanya tarikan dinding dada kebelakang. Hal ini terjadi bila paru-paru menjadi kaku
dan mengakibatkan perlunya tenaga untuk menarik nafas.
• Tanda lain yang mungkin ada :
Nafas cuping hidung.
Suara rintihan.
Sianosis (pucat).
b) Pneumonia tidak berat
Tanda Utama :
• Tidak ada tarikan dinding dada ke dalam.
• Di sertai nafas cepat :
Lebih dari 50 kali/menit untuk usia 2 bulan – 1 tahun.
Lebih dari 40 kali/menit untuk usia 1 tahun – 5 tahun.
c) Bukan pneumonia
Tanda utama :
• Tidak ada tarikan dinding dada kedalam.
17
• Tidak ada nafas cepat :
Kurang dari 50 kali/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun.
Kurang dari 40 kali/menit untuka anak usia 1 tahun – 5 tahun.

Demam dengue

Demam dengue sering ditemukan pada anak besar, remaja dan dewasa. Setelah melalui
masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala berupa:
demam, myalgia, sakit punggung dan gejala konstitusional lain yang tidak spesifik
seperti rasa lemah (malaise), anoreksia dan gangguan rasa kecap. Demam pada
umumnya timbul mendadak, tinggi (39oC-40oC), terus menerus (pola demam kurva
kontinua), bifasik, biasanya berlangsung antara 2-7 hari. Pada hari ketiga sakit pada
umumnya suhu tubuh turun, namun masih di atas normal, kemudian suhu naik tinggi
kembali, pola ini disebut sebagai pola demam bifasik. Demam disertai dengan myalgia,
sakit punggung (karena gejala ini, demam dengue pada masa lalu disebut sebagai
breakbone fever), arthralgia, muntah, fotofobia (mata seperti silau walau terkena cahaya
dengan intensitas rendah) dan nyeri retroorbital pada saat mata digerakkan atau ditekan.
Gejala lain dapat ditemukan berupa gangguan pencernaan (diare atau konstipasi), nyeri
perut, sakit tenggorok dan depresi.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah leukosit yang normal, namun pada
beberapa kasus ditemukan leukositosis pada awal demam, namun kemudian terjadi
leukopenia dengan jumlah PMN yang turun, dan ini berlangsung selama fase demam.
Jumlah trombosit dapat normal atau menurun (100.000-150.000/mm3), jarang ditemukan
jumlah trombosit kurang dari 50,000/mm3. Peningkatan nilai hematokrit sampai 10%
mungkin ditemukan akibat dehidrasi karena demam tinggi, muntah, atau karena asupan
cairan yang kurang. Pemeriksaan serum biokimia pada umumnya normal, SGOT dan
SGPT dapat meningkat.

Diagnosis banding demam dengue


Berbagai penyakit baik yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, maupun parasite
pada fase awal penyakit menyerupai DD seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Diagnosis banding demam dengue
Infeksi virus : Virus chikungunya, dan penyakit infeksi virus lain seperti campak,
campak Jerman, dan virus lain yang menimbulkan ruam; virus eipstein-barr, enterovirus,

18
influenza, hepatitis A dan hantavirus.
Infeksi bakteri : Meningokokus, leptospirosis, demam tifoid, meiloidosis, penyakit
riketsia, demam skarlet
Infeksi parasite : Malaria

Perjalanan penyakit Demam dengue


Lama sakit dan beratnya penyakit bervariasi di antara individu. Masa konvalesens
berlangsung singkat dan sembuh segera, namun rasa lemah dan myalgia kadang
berlangsung lama. Pada pasien remaja masa penyembuhan dapat terjadi dalam waktu
beberapa minggu yang sering disertai dengan rasa letih dan depresi. Bradikardia dapat
ditemukan pada masa konvalesens. Manifestasi perdarahan berat seperti perdarahan
saluran cerna, epistaksis masif, hipermenore jarang sekali ditemukan namun apabila
ditemukan dapat merupakan penyebab kematian terutama pada anak besar. Demam
dengue dengan manifestasi perdarahan berat harus dibedakan dari demam berdarah
dengue.

Kriteria diagnosis klinis


 Demam dengue
- Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik
- Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena, maupun uji tourniquet
positif
- Nyeri kepala, myalgia, artralgia, nyeri retroorbital
- Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah
- Leukopenia < 4.000/mm3
- Trombositopenia < 100.000/mm3

Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih tanda dan
gejala lain, diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakkan.

2. Apakah penatalaksanaannya sudah tepat?


19
IGD Ruang Kenanga
1. O2 1-2 lpm 1. IVFD RL 15 gtt/menit macro
2. IVFD N4 1000 cc/24 jam = 15 2. Ceftriaxone 2x300 mg (IV)
gtt/menit macro 3. Luminal/Sibital 2 x 30 mg (IV)
3. Diazepam 3 mg IV (bila kejang) 4. Diazepam 3 mg IV (bila kejang)
4. Luminal 200 mg -> selanjutnya 2 5. PCT syr 3 x 1 cth (p.c)
x 25 mg (IV) 6. TD II
5. PCT syr 3 x 1 cth (p.c)
6. TD II

 Hal pertama yang dilakukan dalam penatalaksanaan kejang adalah perhatikan

airway, breathing dan circulation, pada saat demam otak membutuhkan distribusi

02 yang lebih sehingga tatalaksana igd pemberian O2 sudah benar.

 Pemberian IVFD berguna untuk memudahkan masuknya obat seperti diazepam

(IV) atau fenobarbital (IV) berdasarkan rumus Holiday segar

BB= 10 kg , 100x BB = 100x10 = 1000 cc/24 jam

pemberian IVFD sudah sesuai dosis.

 Pemberian diazepam bila kejang juga sudah sesuai dosis yaitu 0,3-0,5 mg/kgBB =

0,3 mg x 10 = 3 mg

 Apabila setelah diberikan diazepam pasien diberikan fenitoin, apabila

ketidaksediaan fenitoin, pasien boleh diberikan loading dose fenobarbital dengan

dosis 20 mg/kgBB dan untuk rumatan 4-8 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis

LD = 20 mg x 10 = 200 mg

Rumatan = 4-8 mg x 10 = 20-40 mg/x --> Pemberian luminal (fenobarbital) sudah

2 sesuai dosis.

 Pemberian Paracetamol sebagai antipiretik dengan dosis parasetamol yang

digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali = 10-15 mg x 10 = 100-150 mg/x = 120

mg/x karena sediaan syrup = 120 mg/5 mL = 1cth

20
Dosis sudah sesuai.

 Pada keadaan ISPA yang disertai kejang, maka obat pilihan pertama adalah
sefotaksim atau seftriakson IV, disini obat pilihannya adalah ceftriaxone 25-50
mg/kgBB/ hr, dosis yang diberikan: 50 x 10 = 250 mg/x
2

Pemberian ceftriaxone sebagai pilihan obat sudah sesuai tetapi dosisnya >50 mg.
 Trolit diberikan untuk menaikkan jumlah trombosit.

TEORI

Keterangan:

* Bila jalur i.v. belum tersedia, diazepam boleh diberikan per rektal

21
**Pemilihan obat lini ke-2 (fenitoin/fenobarbital) ditentukan oleh ketersediaan obat,

akses vena besar, dan alat monitor EKG

***Pemberian midazolam dilakukan di ruang intensif, namun bila tidak tersedia dapat

diberikan di ruang rawat inap dengan pemantauan tanda vital. Midazolam dapat

dihentikan setelah 24 jam bebas kejang.

ISPA

Terapi oksigen

Bayi dan anak yang mengalami hipoksia mungkin tidak tampak sianosis

Agitasi mungkin menjadi indikasi hipoksia Oksigen diberikan pada penderita dengan

saturasi oksigen <90% pada udara kamar untuk mempertahankan saturasi oksigen

≥90%, dan pada penderita dengan distres napas

Terapi Cairan

Anak yang tidak mampu mempertahankan asupan cairan akibat sesak atau

kelelahan memerlukan terapi cairan Pipa nasogastrik dapat memengaruhi pernapasan

dan karena itu harus dihindari pada anak yang sakit berat, terutama bayi dengan

lubang hidung yang kecil. Penderita yang muntah-muntah atau sakit berat

memerlukan cairan i.v. Bila diperlukan, cairan i.v. diberikan 80% dari kebutuhan

basal dan perlu dipantau elektrolit serum

Pemberian antibiotik

Antibiotik empiris diberikan berdasarkan usia penderita dan derajat penyakit.

Antibiotik yang sesuai harus diberikan segera sesudah penderita masuk rumah sakit.

Untuk pneumonia atau bukan pneumonia berat dapat diberikan kotrimoksazol (8

mg/kgBB/dosis trimetoprim dalam 2 dosis p.o.) atau amoksisilin 25 mg/kgBB/dosis

diberikan tiap 12 jam p.o. (penelitian menunjukkan amoksisilin dua dosis sehari

memiliki konsentrasi dalam darah yang sama dengan amoksisilin 3 dosis/hr) selama

22
3–5 hr Efikasi kedua obat sama, kecuali di daerah yang mengalami resistensi pada

salah satu obat Antibiotik parenteral harus diberikan pada anak dengan pneumonia

berat .

Pilihan pemberian antibiotik inisial pada pneumonia anak

Ampisilin 50 mg/kgBB/dosis i.v. atau i.m. setiap 6 jam yang harus dipantau

dalam 24 jam selama 48–72 jam pertama Bila keadaan klinis berat, pengobatan

inisial berupa kombinasi ampisilin-gentamisin Bayi usia <2 bl atau pneumonia sangat

berat, ampisilin dosis di atas ditambah gentamisin 7,5 mg/kgBB i.v. atau i.m. sekali

sehari.

Pada keadaan dicurigai meningitis (malas menetek, letargis, kejang, menangis

lemah, fontanel menojol) dan septikemia, maka obat pilihan pertama adalah

sefotaksim atau seftriakson i.v. Sesudah 48 jam pengobatan pneumonia sangat berat

tidak tampak perbaikan, antibiotik diubah menjadi sefalosporin generasi ketiga,

seperti seftriakson dan sefotaksim.

3. Bagaimana prognosis dari pasien ini?

Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah :
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 12 bulan
c. Temperatur yang rendah saat kejang
d. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar pada tahun pertama.
Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :

23
a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
b. Kejang demam kompleks.
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
d. Semakin muda usia dan semakin rendah suhu saat terjadi kejang
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumat pada kejang demam.

Prognosis ISPA adalah baik apabila tidak terjadi komplikasi yang berat. Kematian
karena demam dengue hampir tidak ada.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

24
2.1 Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu

rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium tidak terkait dengan

kelainan intrakranial, gangguan metabolik, atau riwayat kejang tanpa demam. Kejang demam

ini terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami

kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.

Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang

tanpa demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk

dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun

mengalami kejang didahului demam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan misalnya

infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Definisi ini menyingkirkan

kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati.

Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena

keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat.

2.2 Epidemiologi

Kejadian kejang demam diperkirakan 2 % - 4 % di Amerika Serikat, Amerika Selatan

dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira – kira 20 % kasus merupakan kejang

demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17 – 23

bulan) kejang demam sedikit lebih sering pada laki – laki. Angka kejadian kejang demam di

Indonesia sendiri mencapai 2-4% tahun 2008 dengan 80% disebabkan oleh infeksi saluran

pernafasan. Angka kejadian di wilayah Jawa Tengah sekitar 2-5% pada anak usia 6 bulan - 5

tahun disetiap tahunnya. 25-50% kejang demam akan mengalami bangkitan kejang demam

berulang.

25
2.3 Etiologi

Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Namun pada sebagian besar anak dipicu

oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu tubuh. Biasanya suhu demam

diatas 38,8oc. Jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan

demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang

demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis

akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih.

2.4 Faktor Resiko

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Ada riwayat

kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan

kecenderungan genetik. Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada

masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah, cepatnya anak

mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat

keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.

Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari yaitu adanya gangguan

neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga, lamanya

demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang demam kompleks.

2.5 Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu

energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting

adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan

perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler. Jadi sumber

26
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel

dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid

dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui

dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan

elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi

dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.

Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan

potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan

potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na – K – ATPase yang terdapat

pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :

a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.

b.Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari

sekitarnya.

c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal

10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada seorang anak berumur 3

tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa

yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan

keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion

kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan

listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel

maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan

terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari

tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang

telah terjadi pada suhu 38o C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi,

27
kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan

bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah,

sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita

kejang. Penelitian binatang menunjukkan bahwa vasopresin arginin dapat merupakan

mediator penting pada patogenesis kejang akibat hipertermia.

Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,

meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akibatnya

terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik,

hipertensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat

disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak

meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan

neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan

peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler

dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada

daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama

dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan.

Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak

sehingga terjadi epilepsi.

2.6 Klasifikasi

a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan

berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang

tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80 % diantara

seluruh kejang demam. Suhu yang tinggi merupakan keharusan pada kejang demam

28
sederhana, kejang timbul bukan oleh infeksi sendiri, akan tetapi oleh kenaikan suhu yang

tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya pada radang telinga tengah yang akut, dan

sebagainya. Bila dalam riwayat penderita pada umur – umur sebelumnya terdapat periode -

periode dimana anak menderita suhu yangsangat tinggi akan tetapi tidak mengalami kejang;

maka pada kejang yang terjadi kemudian harus berhati – hati, mungkin kejang yang ini ada

penyebabnya. Pada kejang demam yang sederhana kejang biasanya timbul ketika suhu

sedang meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak mengetahui

sebelumnya bahwa anak menderita demam. Agaknya kenaikan suhu yang tiba – tiba

merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang. Kejang pada kejang demam

sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik – klonik seperti kejang grand mal;

kadang – kadang hanya kaku umum atau mata mendelik seketika. Kejang dapat juga

berulang, tapi sebentar saja, dan masih dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya

pada kenaikan suhu yang mendadak, dalam hal ini juga kejang demamsederhana masih

mungkin.

b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)

Kejang dengan salah satu ciri berikut :

1. Kejang lama lebih dari 15 menit.

2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.

3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih

dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8 %

kejangn demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang

didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari,

diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16 % diantara anak

yang mengalami kejang demam.

29
2.7 Manifestasi Klinik

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan

kenaikan suhu badan yang tinggi dengan cepat yang tidak disebabkan oleh infeksi susunan

saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis. Serangan kejang

biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat

bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti

sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi

setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya

kelainan saraf.

1.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat

dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya

gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan

misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.

b. Pungsi lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan

kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6 % - 6,7 %.Pada

bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena

manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada :

1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.

2. Bayi antara 12 – 18 bulan dianjurkan.

3. Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu

dilakukan pungsi lumbal.

30
c. Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau

memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh

karenanya,tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan

kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari

6 tahun atau kejang demam fokal.

d. Pencitraan

Foto X – ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT – scan) atau

magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas

indikasi seperti :

1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)

2. Paresis nervus VI

3. Papiledema

1.9 Diagnosis Banding

Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya :

1. Meningitis

2. Ensefalitis

3. Abses otak

Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus

dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat (otak) .

Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya sumber infeksi

seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah mendapat antibiotik

maka perlu pertimbangan pungsi lumbal.

31
1.10 Penatalaksanaan

Pengobatan intermitten

a. Penatalaksanaan Saat Kejang

b. Pemberian Obat Pada Saat Demam

1. Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang

demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.

Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan

tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari. Meskipun

jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari

18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.

32
2. Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam menurunkan

resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis

0,5mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 o C. Dosis tersebut cukup tinggi dan

menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25 % - 39 % kasus.

Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah

kejang demam.

Pengobatan Rumatan

a. Indikasi pemberian obat rumat

Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut

(salahsatu) :

1. Kejang lama > 15 menit.

2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya

hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.

3. Kejang fokal.

4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :

 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.

 Kejang demam > 4 kali per tahun.

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi

pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan

ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum

menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.

b. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat

33
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan

resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya

dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya

diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap

hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40 % - 50 % kasus.

Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus,terutama yang berumur

kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam

valproat 15 – 40 mg/kgBB/hari dalam 2 – 3 dosis, dan fenobarbital 4 – 8 mg/kgBB/hari

dalam 1 – 2 dosis.

Edukasi Pada Orang Tua

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang

sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus

dikurangi dengan cara yang diantaranya :

a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.

b. Memberitahukan cara penanganan kejang.

c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.

d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya

efek samping obat.

Beberapa Hal Yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Kejang

a. Tetap tenang dan tidak panik.

b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.

34
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan

atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan

memasukkan sesuatu ke dalam mulut.

d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.

e. Tetap bersama pasien selama kejang.

f. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.

g. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.

Vaksinasi

Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang

mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka

kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6 – 9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi,

sedangkan setelah vaksinasi MMR 25 – 34 per 100.000 anak. Dianjurkan untuk memberikan

diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR.

Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari

kemudian.

1.11 Prognosis

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan

kematian.

a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.

Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya

normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian

35
kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang

berulang baik umum atau fokal.

Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah :
e. Riwayat kejang demam dalam keluarga
f. Usia kurang dari 12 bulan
g. Temperatur yang rendah saat kejang
h. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar pada tahun pertama.
Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :
e. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
f. Kejang demam kompleks.
g. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
h. Semakin muda usia dan semakin rendah suhu saat terjadi kejang
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumat pada kejang demam.

Definisi

36
ISPA adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu dan atau lebih bagian dari
saluran napas, mulai dari hidung (saluran pernapasan atas) hingga alveoli (saluran pernapasan
bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura yang
disebabkan oleh masuknya kuman (bakteri, virus atau riketsia) ke dalam organ saluran
pernapasan yang berlangsung selama 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan
proses akut dari suatu penyakit, meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan
dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. 4

III. 2 Klasifikasi
Menurut Depkes RI (1991), Pembagian ISPA berdasarkan atas umur dan
tanda-tanda klinis yang didapat yaitu :4
1. Untuk anak umur 2 bulan-5 tahun
Untuk anak dalam berbagai golongan umur ini ISPA diklasifikasikan
menjadi 3 yaitu :
a) Pneumonia berat
Tanda utama :
 Adanya tanda bahaya yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, serta gizi buruk.
 Adanya tarikan dinding dada kebelakang. Hal ini terjadi bila paru-paru
menjadi kaku dan mengakibatkan perlunya tenaga untuk menarik
nafas.
 Tanda lain yang mungkin ada :
 Nafas cuping hidung.
 Suara rintihan.
 Sianosis (pucat).
b) Pneumonia tidak berat
Tanda Utama :
 Tidak ada tarikan dinding dada ke dalam.
 Di sertai nafas cepat :
 Lebih dari 50 kali/menit untuk usia 2 bulan – 1 tahun.
 Lebih dari 40 kali/menit untuk usia 1 tahun – 5 tahun.
c) Bukan pneumonia
Tanda utama :

37
 Tidak ada tarikan dinding dada kedalam.
 Tidak ada nafas cepat :
 Kurang dari 50 kali/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun.
 Kurang dari 40 kali/menit untuka anak usia 1 tahun – 5 tahun.

2. Anak umur kurang dari 2 bulan


Untuk anak dalam golongan umur ini, di klasifikasikan menjadi 2 yaitu :
a) Pneumonia berat
Tanda utama :
 Adanya tanda bahaya yaitu kurang bisa minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, wheezing, demm atau dingin.
 Nafas cepat dengan frekuensi 60 kali/menit atau lebih.
 Tarikan dinding dada ke dalam yang kuat.
b) Bukan pneumonia
Tanda utama :
 Tidak ada nafas cepat.
 Tidak ada tarikan dinding dada ke dalam.

Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut:


• Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada
kedalam (chest indrawing).
• Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
• Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai
demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis,
faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia.

III. 3 Epidemiologi
Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Dari hasil pengamatan
epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan dikota cenderung lebih besar
dari pada di desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal
dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi daripada di desa.1

38
ISPA merupakan penyakit yang sering kali dilaporkan sebagai 10 penyakit
utama di Negara berkembang. Di Negara berkembang, penyakit pneumonia
merupakan 25% penyumbang kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang
dari 2 bulan.
Di Indonesia angka ini dilaporkan sekitar 3-6 kali per tahun per anak, sekitar
40-60% kunjungan berobat di puskesmas dan 15-30% kunjungan berobat jalan dan
rawat inap di rumah sakit juga disebabkan oleh ISPA.

III. 4 Etiologi Dan Faktor Resiko


Etiologi ISPA terdiri dari:
Bakteri : Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenza, dan lain-lain.
Virus : Rinovirus, coronavirus, adenovirus, enterovirus, (ISPA atas virus
utama), Parainfluenza, 123 coronavirus, adenovirus.
Jamur : Aspergillus sp, Candida albicans, Histoplama, dan lain-lain.
Aspirasi : Makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (bahan bakar minyak)
biasanya minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir, benda asing
(biji-bijian, mainan plastic kecil, dan lain-lain). 6
Disamping penyebab, perlu juga diperhatikan faktor resiko, yaitu faktor yang
mempengaruhi atau mempermudah terjadinya ISPA. Secara umum ada 3 faktor yaitu:
 Keadaan social ekonomi dan cara mengasuh atau mengurus anak.
 Keadaan gizi dan cara pemberian makan.
 Kebiasaan merokok dan pencemaran udara
Faktor yang meningkatkan morbiditas adalah anak usia 2 bulan, gizi kurang,
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), pemberian Air Susu Ibu (ASI) tidak memadai,
polusi udara, kepadatan dalam rumah, imunisasi tidak lengkap dan menyelimuti
anak berlebihan.
Faktor yang meningkatkan mortalitas adalah umur kurang dari 2 bulan, tingkat
social ekonomi rendah, gizi kurang, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), tingkat
pengetahuan ibu rendah, kepadatan dalam rumah, imunisasi tidak lengkap dan
menderita penyakit kronis.

III. 5 Patofisiologi

39
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh.
Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada
permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu
tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Kending dan Chernick, 1983).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering (Jeliffe,
1974). Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas
kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi
pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan cairan yang berlebihan
tersebut menimbulkan gejala batuk (Kending and Chernick, 1983). Sehingga pada tahap awal
gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri.
Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan
mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga
memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti
streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa
yang rusak tersebut (Kending dan Chernick, 1983). Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan
sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak
nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan
adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan
bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan
gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Tyrell, 1980).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain
dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke
saluran nafas bawah (Tyrell, 1980). Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang
saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran
pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga
menyebabkan pneumonia bakteri (Shann, 1985).
Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek
imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang
sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya.
Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar,
merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA
memegang peranan pada saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah.
40
Diketahui pula bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas
mukosa saluran nafas (Siregar, 1994).
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat
tahap, yaitu:
a. Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
b. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang
sudah rendah.
c. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala
demam dan batuk.
d. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna,
sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat
pneumonia.

III. 6 Manifestasi Klinis Diagnosis


Tanda dan gejala penyakit ISPA antara lain:
a) Batuk terjadi karena produksi mukus meningkat, sehingga terakumulasi pada
trakea yang kemudian menimbulkan batuk. Batuk juga bisa terjadi karena
iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (nonproduktif)
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum).
b) Kesulitan bernafas
Akumulasi mukus di trakea akan mengakibatkan saluran nafas tersumbat
sehingga mengalami kesulitan dalam bernafas.
c) Sakit tenggorokan
Terjadi iritasi jalan nafas akibat pembengkakan akan merangsang ujung
dendrit oleh nervus, untuk menstimulasi pelepasan kemoreseptor yaitu
bradikinin dan serotonin sehingga terjadi perangsangan nyeri pada
tenggorokan.
d) Demam
Infeksi jalan nafas juga mengakibatkan munculnya demam, ini sebagai
mekanisme pertahanan tubuh dalam melawan mikroorganisme yang masuk.

41
Gambaran klinis secara umum yang sering didapat adalah rinitis, nyeri
tenggorokan, batuk dengan dahak kuning/ putih kental, nyeri retrosternal dan
konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4-7 hari disertai malaise, mialgia, nyeri
kepala, anoreksia, mual, muntah dan insomnia. Bila peningkatan suhu berlangsung
lama biasanya menunjukkan adanya penyulit.

III. 7 Diagnosis ISPA


1. Anamnesis
Demam tinggi, batuk, gelisah, rewel, dan sesak napas
Pada bayi, gejala tidak khas, sering kali tanpa demam dan batuk
Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen, sertai muntah
2. Pemeriksaan Fisis
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok usia
tertentu
- Neonatus: sering dijumpai takipnea, grunting , pernapasan cuping hidung,
retraksi dinding dada, sianosis, dan malas menetek
- Bayi yang lebih besar: jarang ditemukan grunting . Gejala lain yang sering
terlihat adalah batuk, panas, dan iritabel
- Anak prasekolah, selain gejala di atas, dapat ditemukan batuk
produktif/nonproduktif, dan dispnea
- Anak sekolah dan remaja, gejala lainnya yang dapat dijumpai yaitu nyeri
dada, nyeri kepala, dehidrasi, dan letargi
Takipnea berdasarkan WHO:
42
Usia <2 bl → ≥60×/mnt
Usia 2–<12 bl → ≥50×/mnt
Usia 1–5 th → ≥40×/mnt
Takipnea terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam
mendiagnosis pneumonia

Auskultasi → fine crackles (ronki basah halus) yang khas pada anak besar,
mungkin tidak ditemukan pada bayi Iritasi pleura akan menyebabkan nyeri dada; bila
berat gerakan dada tertinggal waktu inspirasi, anak berbaring ke arah yang sakit
dengan kaki fleksi Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu, dan perut

Pemeriksaan Penunjang
Radiologis
Foto Rontgen toraks proyeksi posterior-anterior (PA) merupakan dasar
diagnosis utama pneumonia
Foto lateral dibuat bila diperlukan informasi tambahan (tidak rutin dilakukan).
Untuk negara berkembang, foto Rontgen toraks secara rutin tidak direkomendasikan
terutama pneumonia yang tidak memerlukan perawatan di rumah sakit
Indikasi spesifik foto Rontgen toraks adalah pneumonia sangat berat, dugaan
komplikasi pneumonia (misal efusi pleura), atau tidak berespons terhadap terapi yang
diberikan, dan kecurigaan LTBI Indikasi tambahan lainnya adalah gejala atipikal dan
pemantauan pada anak dengan kolaps lobar atau gejala yang berlanjut Foto Rontgen
toraks tidak dapat membedakan antara pneumonia bakteri dan pneumonia virus
Gambaran radiologis yang klasik dapat berupa: Konsolidasi lobar atau segmental
disertai air bronchogram , biasanya disebabkan infeksi Pneumoccocus spp. atau
bakteri lain Pneumonia interstisial, biasanya karena virus atau mikoplasma; gambaran
berupa corakan bronkovaskular bertambah, peribronchial cuffing , dan overaeration ;
bila berat terjadi patchy consolidation karena atelektasis Gambaran difus bilateral,
corakan peribronkial bertambah, dan infiltrat halus sampai ke perifer. Gambaran
pneumonia karena S. aureus biasanya menunjukkan pneumatokel.
Laboratorium
Jumlah leukosit >15.000/µL dengan dominasi neutrofil sering didapatkan pada
pneumonia bakteri, tetapi dapat pula karena pneumonia non bakteri.

43
Diagnosis pasti pneumonia bakterial yaitu dengan isolasi mikroorganisme dari
paru, cairan pleura, atau darah. Pengambilan spesimen dari paru sangat invasif dan
tidak rutin diindikasikan dan dilakukan Kultur darah hanya (+) pada 10−30% kasus
Pemeriksaan C-reactive protein perlu dipertimbangkan pada pneumonia dengan
komplikasi dan dapat bermanfaat untuk melihat respons antibiotik Tidak dapat
membedakan pneumonia akibat virus atau bakteri
Meskipun penyebab pneumonia sulit ditentukan, tetapi ada beberapa gejala
dan tanda yang dapat dikenali secara klinis, yaitu:
Staphylococcus aureus : Progresivitas penyakit sangat cepat dengan gejala
respiratori sangat berat: grunting , sianosis, takipnea, dan gambaran radiologis
necrotizing pneumonia, pneumonia dengan komplikasi (efusi pleura, empiema,
piopneumotoraks), perburukan klinis dan radiologis yang sangat cepat, atau pada
keadaan pascainfeksi campak (saat ini atau 4 mgg sebelumnya) Pada kulit penderita
dapat dijumpai bisul atau abses
Streptococcus grup A: Penyebab tersering faringitis, tonsilitis dengan
limfadenitis koli, demam, malaise, sakit kepala, dan gejala pada abdomen. Sering
merupakan komplikasi infeksi kulit pada anak dengan varisela. Penyakit memburuk
dalam 24 jam. Sering diikuti dengan syok septik, empiema, dan pneumatokel yang
terjadi dalam beberapa hari sampai 1 miggu sesudah pengobatan.

III. 8 Diagnosis Banding


Penyakit infeksi saluran pernafasan ini mempunyai beberapa diagnosis
banding yaitu difteri, mononukleosis infeksiosa dan agranulositosis yang semua
penyakit diatas memiliki manifestasi klinis nyeri tenggorokan dan terbentuknya
membrana. Mereka masing-masing dibedakan melalui biakan kultur melalui swab,
hitungan darah dan test Paul-bunnell. Pada infeksi yang disebabkan oleh streptokokus
manifestasi lain yang muncul adalah nyeri abdomen akuta yang sering disertai dengan
muntah (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990; 454).

III. 9 Penatalaksanaan
Perawatan Umum di Rumah Sakit
Terapi oksigen Bayi dan anak yang mengalami hipoksia mungkin tidak
tampak sianosis Agitasi mungkin menjadi indikasi hipoksia Oksigen diberikan pada

44
penderita dengan saturasi oksigen <90% pada udara kamar untuk mempertahankan
saturasi oksigen ≥90%, dan pada penderita dengan distres napas
Terapi Cairan
Anak yang tidak mampu mempertahankan asupan cairan akibat sesak atau
kelelahan memerlukan terapi cairan Pipa nasogastrik dapat memengaruhi pernapasan
dan karena itu harus dihindari pada anak yang sakit berat, terutama bayi dengan
lubang hidung yang kecil. Penderita yang muntah-muntah atau sakit berat
memerlukan cairan i.v. Bila diperlukan, cairan i.v. diberikan 80% dari kebutuhan
basal dan perlu dipantau elektrolit serum
Pemberian antibiotik
Antibiotik empiris diberikan berdasarkan usia penderita dan derajat penyakit.
Antibiotik yang sesuai harus diberikan segera sesudah penderita masuk rumah sakit.
Untuk pneumonia atau bukan pneumonia berat dapat diberikan kotrimoksazol (8
mg/kgBB/dosis trimetoprim dalam 2 dosis p.o.) atau amoksisilin 25 mg/kgBB/dosis
diberikan tiap 12 jam p.o. (penelitian menunjukkan amoksisilin dua dosis sehari
memiliki konsentrasi dalam darah yang sama dengan amoksisilin 3 dosis/hr) selama
3–5 hr Efikasi kedua obat sama, kecuali di daerah yang mengalami resistensi pada
salah satu obat Antibiotik parenteral harus diberikan pada anak dengan pneumonia
berat .
Pilihan pemberian antibiotik inisial pada pneumonia anak
Ampisilin 50 mg/kgBB/dosis i.v. atau i.m. setiap 6 jam yang harus dipantau
dalam 24 jam selama 48–72 jam pertama Bila keadaan klinis berat, pengobatan
inisial berupa kombinasi ampisilin-gentamisin Bayi usia <2 bl atau pneumonia sangat
berat, ampisilin dosis di atas ditambah gentamisin 7,5 mg/kgBB i.v. atau i.m. sekali
sehari.
Pada keadaan dicurigai meningitis (malas menetek, letargis, kejang, menangis
lemah, fontanel menojol) dan septikemia, maka obat pilihan pertama adalah
sefotaksim atau seftriakson i.v. Sesudah 48 jam pengobatan pneumonia sangat berat
tidak tampak perbaikan, antibiotik diubah menjadi sefalosporin generasi ketiga,
seperti seftriakson dan sefotaksim.

III. 10 Komplikasi
 Kejang demam

45
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rentan lebih dari 38Oc) dengan geiala berupa serangan kejang klonik atau
tonikklonik bilateral. Tanda lainnya seperti mata terbalik keatas dengan disertai
kejang kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului
kekakuan atau hanya sentakan kekauan fokal.
 Tuli
Tuli adalah gangguan system pendengaran yang terjadi karena adanya infeksi
yang disebabkan oleh bakteri atau virus dengan gejala awal nyeri pada telinga
yang mendadak, persisten dan adanya cairan pada rongga telinga.
 Syok
Syok merupakan kondisi dimana seseorang mengalami penurunan f'ungsi dari
system tubuh yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : faktor obstruksi
contohnya hambatan pada system pernafasan yang mengakibatkan seseorang
kekurangan oksigen sehingga seseorang tersebut kekurang suplay oksigen ke
otak dan mengakibatkan syok.
 Demam Reumatik, Penyakit Jantung Reumatik dan Glomerulonefritis, yang
disebabkan oleh radang tenggorokan karena infeksi Streptococcus beta
hemolitikus grup A (Strep Throat)

III. 11 Prognosis
Pada dasarnya, prognosis ISPA adalah baik apabila tidak terjadi komplikasi
yang berat. Hal ini juga didukung oleh sifat penyakit ini sendiri, yaitu self limiting
disease sehingga tidak memerlukan tindakan pengobatan yang rumit. Penyakit yang
tanpa komplikasi berlangsung 1-7 hari. Kematian terbanyak oleh karena infeksi
bakteri sekunder. Bila panas menetap lebih dari 4 hari dan leukosit > 10.000/ul,
biasanya didapatkan infeksi bakteri sekunder.

46
DAFTAR PUSTAKA

DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP 1992. Pedoman Pemberantasan Penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta.
Garna H & Nataprawira HM. 2012. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
ed.5 Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/RS Hasan Sadikin. Bandung.
Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. 2006. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta
Saharso Darto 2006. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya.
UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI. 2014. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana
Infeksi Virus Dengue pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.

47

Anda mungkin juga menyukai