Disusun oleh :
Fadlina Arysta Brawidya 1102012079
Pembimbing:
dr. H. Budi Risjadi, Sp.A, M.Kes
PAPARAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : An. I
Pendidikan Terakhir : -
Agama : Islam
No. RM : 556189
II. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan kejang 2x pada saat 12 jam SMRS dan saat 1 jam
SMRS. Sifat dari kedua kejang sama yaitu lama kejang <5 menit, pada saat kejang
seluruh tubuh kaku dan mata mendelik keatas. Setelah kejang pasien sadar kembali
dan ingin menyusu. Batuk (+) berdahak tetapi sulit keluar sejak 3 hari SMRS, pilek
(+) bening semenjak 3 hari SMRS. Panas (+) dirasakan naik turun sejak 2 hari SMRS.
Panas dirasakan lebih tinggi saat malam. Pada saat minggu malam (1 hari SMRS)
pukul 19.00 pasien panas tinggi lalu kejang setelah kejang diberikan obat penurun
panas pukul 21.00, hingga kejang kedua pukul 07.00 pasien masih panas dan belum
diberikan obat penurun panas lagi. Mual (-), muntah (+) 1x berisi sisa makanan 1 hari
1
SMRS. Gusi berdarah (-), mimisan (-), bintik kemerahan (-). Pasien belum BAB sejak
Riwayat kejang sebelumnya (+) di usia 9 bulan. Kejang 1x selama <5 menit, bentuk
kejang kaku seluruh tubuh, kejang didahului oleh demam, penyebab demam tidak
Riwayat Tambahan
Riwayat kelahiran: Pasien lahir dari ibu G2P1A0 secara spontan, di bidan pada
Riwayat Imunisasi
Riwayat Alergi
2
b. Kesadaran : Composmentis
c. Tanda vital :
d. Berat Badan : 10 kg
e. Tinggi Badan : 75 cm
f. Status gizi
Status Generalis
Kepala
Mata
Hidung
Mulut
3
Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis, arcus pharingeus simetris, uvula terletak di
Leher
Thorax
Pulmonal : Vesicular Breath Sound kanan = kiri, Rhonki -/- Wheezing -/-
Abdomen
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba membesar, turgor
kembali cepat
Ekstremitas
Pukul: 07:46
Darah Rutin
4
Hematokrit 34 % 37-43
V. Diagnosis Kerja
Meningitis
VIII. Penatalaksanaan
IGD
1. O2 1-2 lpm
6. TD II
Ruangan Kenanga
5
3. Luminal/Sibital 2 x 30 mg (IV)
6. TD II
IX. Prognosis
X. Follow Up
Tanggal : 7/06/2016
S/ O/ A/ P/
P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal: -
6
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Tanggal : 8/06/2016
S/ O/ A/ P/
P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal: -
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Tanggal : 9/06/2016
S/ O/ A/ P/
7
keluar, Pilek (-), mg (IV)
mual (-), muntah (-), Kepala: normochepal. 3. Luminal/Sibital 2 x
mimisan (-), gusi Mata : CA (-/-), SI (-/-) 30 mg (IV)
berdarah (-), BAB Hidung: PCH (+), sekret (-) 4. Diazepam 3 mg IV
belum sejak 5 hari Mulut: POC (-), T1-T1 (bila kejang)
yang lalu, BAK Leher: KGB tidak teraba 5. Paracetamol 3 x 1
tidak ada kelainan, membesar. cth
napsu makan Thorax: B/G simetris, VBS 6. Dexamethasone 3x
berkurang tapi ka=ki, ronkhi -/-, wheezing 3 mg
masih mau -/-, slem +/+ 7. Dulcolax supp 5 mg
menyusu. BJ I dan II murni reguler,
murmur (-), gallop (-).
Abd : datar, soepel, bising
usus (+) normal, nyeri tekan
(-).
Hepar: tidak teraba.
Lien: tidak teraba.
Eks: akral hangat, CRT
<2”, udem -/-, petechiae -/-.
P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal:
-
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Tanggal : 10/06/2016
S/ O/ A/ P/
8
(-).
Hepar: tidak teraba.
Lien: tidak teraba.
Eks: akral hangat, CRT
<2”, udem -/-, petechiae -/-.
P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal:
-
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Hasil laboratorium:
Hb : 10,9 g/dL
Ht : 31 %
Leukosit :3.200/mm3
Trombosit: 123.000/mm³
Tanggal : 11/06/2016
S/ O/ A/ P/
P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal:-
9
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Hasil laboratorium:
Hb : 10,7 g/dL
Ht : 31 %
Leukosit : 6.300/mm3
Trombosit: 112.000/mm³
Tanggal : 12/06/2016
S/ O/ A/ P/
P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal:-
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Tanggal : 13/06/2016
10
S/ O/ A/ P/
P. Neurologis:
Tanda rangsang meningeal:-
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Hasil laboratorium:
Hb : 10 g/dL
Ht : 31 %
Leukosit : 5.500/mm3
Trombosit: 135.000/mm³
ANALISA KASUS
Pasien di diagnosa kejang demam kompleks karena dari anamnesa pasien di dapatkan:
- Kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam yaitu 2x pada saat 12
11
- Setelah kejang pasien sadar kembali dan ingin menyusu.
- Pasien sedang mengalami infeksi berupa Batuk pilek sejak 3 hari SMRS.
- Usia pasien yaitu 1 tahun 5 bulan 6 hari dimana umumnya kejang demam
Dari data yang ada maka diagnosis kejang demam kompleks sudah tepat.
12
Dari pemeriksaan fisik didapatkan:
- Tidak terdapat takipneu (Kurang dari 40 kali/menit untuk anak usia 1 tahun –
5 tahun.)
Kepala
Mata
Hidung
Mulut
Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis, arcus pharingeus simetris, uvula terletak di
Leher
Thorax
Pulmonal : Vesicular Breath Sound kanan = kiri, Rhonki -/- Wheezing -/-
Abdomen
13
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba membesar, turgor
kembali cepat
Ekstremitas
Hasil laboratorium:
Hb : 10,9 g/dL
Ht : 31 %
Leukosit : 3.200/mm3
Trombosit: 123.000/mm³ -- trombosit menurun maka pasien belum boleh dipulangkan
14
Tanggal 11-06-2016
Hasil laboratorium:
Hb : 10,7 g/dL
Ht : 31 %
Leukosit : 6.300/mm3
Trombosit: 112.000/mm³
Tanggal 13-06-2016
Hasil laboratorium:
Hb : 10 g/dL
Ht : 31 %
Leukosit : 5.500/mm3
Trombosit: 135.000/mm³
di cek IgG dan IgM anti dengue dengan hasil IgM reaktif maka diagnosis tambahan suspek
dengue sudah benar.
TEORI
Kejang demam kompleks
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Etiologinya hingga kini belum diketahui dengan
pasti. Demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
15
Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
1. Anamnesis
- Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik
turun)
- Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam atau
epilepsi)
- Trauma kepala
2. Pemeriksaan Fisik
- Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang berpindah-pindah
atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
16
Pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
Demam dengue
Demam dengue sering ditemukan pada anak besar, remaja dan dewasa. Setelah melalui
masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala berupa:
demam, myalgia, sakit punggung dan gejala konstitusional lain yang tidak spesifik
seperti rasa lemah (malaise), anoreksia dan gangguan rasa kecap. Demam pada
umumnya timbul mendadak, tinggi (39oC-40oC), terus menerus (pola demam kurva
kontinua), bifasik, biasanya berlangsung antara 2-7 hari. Pada hari ketiga sakit pada
umumnya suhu tubuh turun, namun masih di atas normal, kemudian suhu naik tinggi
kembali, pola ini disebut sebagai pola demam bifasik. Demam disertai dengan myalgia,
sakit punggung (karena gejala ini, demam dengue pada masa lalu disebut sebagai
breakbone fever), arthralgia, muntah, fotofobia (mata seperti silau walau terkena cahaya
dengan intensitas rendah) dan nyeri retroorbital pada saat mata digerakkan atau ditekan.
Gejala lain dapat ditemukan berupa gangguan pencernaan (diare atau konstipasi), nyeri
perut, sakit tenggorok dan depresi.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah leukosit yang normal, namun pada
beberapa kasus ditemukan leukositosis pada awal demam, namun kemudian terjadi
leukopenia dengan jumlah PMN yang turun, dan ini berlangsung selama fase demam.
Jumlah trombosit dapat normal atau menurun (100.000-150.000/mm3), jarang ditemukan
jumlah trombosit kurang dari 50,000/mm3. Peningkatan nilai hematokrit sampai 10%
mungkin ditemukan akibat dehidrasi karena demam tinggi, muntah, atau karena asupan
cairan yang kurang. Pemeriksaan serum biokimia pada umumnya normal, SGOT dan
SGPT dapat meningkat.
18
influenza, hepatitis A dan hantavirus.
Infeksi bakteri : Meningokokus, leptospirosis, demam tifoid, meiloidosis, penyakit
riketsia, demam skarlet
Infeksi parasite : Malaria
Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih tanda dan
gejala lain, diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakkan.
airway, breathing dan circulation, pada saat demam otak membutuhkan distribusi
Pemberian diazepam bila kejang juga sudah sesuai dosis yaitu 0,3-0,5 mg/kgBB =
0,3 mg x 10 = 3 mg
LD = 20 mg x 10 = 200 mg
2 sesuai dosis.
20
Dosis sudah sesuai.
Pada keadaan ISPA yang disertai kejang, maka obat pilihan pertama adalah
sefotaksim atau seftriakson IV, disini obat pilihannya adalah ceftriaxone 25-50
mg/kgBB/ hr, dosis yang diberikan: 50 x 10 = 250 mg/x
2
Pemberian ceftriaxone sebagai pilihan obat sudah sesuai tetapi dosisnya >50 mg.
Trolit diberikan untuk menaikkan jumlah trombosit.
TEORI
Keterangan:
* Bila jalur i.v. belum tersedia, diazepam boleh diberikan per rektal
21
**Pemilihan obat lini ke-2 (fenitoin/fenobarbital) ditentukan oleh ketersediaan obat,
***Pemberian midazolam dilakukan di ruang intensif, namun bila tidak tersedia dapat
diberikan di ruang rawat inap dengan pemantauan tanda vital. Midazolam dapat
ISPA
Terapi oksigen
Bayi dan anak yang mengalami hipoksia mungkin tidak tampak sianosis
Agitasi mungkin menjadi indikasi hipoksia Oksigen diberikan pada penderita dengan
saturasi oksigen <90% pada udara kamar untuk mempertahankan saturasi oksigen
Terapi Cairan
Anak yang tidak mampu mempertahankan asupan cairan akibat sesak atau
dan karena itu harus dihindari pada anak yang sakit berat, terutama bayi dengan
lubang hidung yang kecil. Penderita yang muntah-muntah atau sakit berat
memerlukan cairan i.v. Bila diperlukan, cairan i.v. diberikan 80% dari kebutuhan
Pemberian antibiotik
Antibiotik yang sesuai harus diberikan segera sesudah penderita masuk rumah sakit.
diberikan tiap 12 jam p.o. (penelitian menunjukkan amoksisilin dua dosis sehari
memiliki konsentrasi dalam darah yang sama dengan amoksisilin 3 dosis/hr) selama
22
3–5 hr Efikasi kedua obat sama, kecuali di daerah yang mengalami resistensi pada
salah satu obat Antibiotik parenteral harus diberikan pada anak dengan pneumonia
berat .
Ampisilin 50 mg/kgBB/dosis i.v. atau i.m. setiap 6 jam yang harus dipantau
dalam 24 jam selama 48–72 jam pertama Bila keadaan klinis berat, pengobatan
inisial berupa kombinasi ampisilin-gentamisin Bayi usia <2 bl atau pneumonia sangat
berat, ampisilin dosis di atas ditambah gentamisin 7,5 mg/kgBB i.v. atau i.m. sekali
sehari.
lemah, fontanel menojol) dan septikemia, maka obat pilihan pertama adalah
sefotaksim atau seftriakson i.v. Sesudah 48 jam pengobatan pneumonia sangat berat
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah :
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 12 bulan
c. Temperatur yang rendah saat kejang
d. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar pada tahun pertama.
Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :
23
a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
b. Kejang demam kompleks.
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
d. Semakin muda usia dan semakin rendah suhu saat terjadi kejang
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumat pada kejang demam.
Prognosis ISPA adalah baik apabila tidak terjadi komplikasi yang berat. Kematian
karena demam dengue hampir tidak ada.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
24
2.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium tidak terkait dengan
kelainan intrakranial, gangguan metabolik, atau riwayat kejang tanpa demam. Kejang demam
ini terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.
Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang
tanpa demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk
dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Definisi ini menyingkirkan
kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati.
Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena
2.2 Epidemiologi
dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira – kira 20 % kasus merupakan kejang
demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17 – 23
bulan) kejang demam sedikit lebih sering pada laki – laki. Angka kejadian kejang demam di
Indonesia sendiri mencapai 2-4% tahun 2008 dengan 80% disebabkan oleh infeksi saluran
pernafasan. Angka kejadian di wilayah Jawa Tengah sekitar 2-5% pada anak usia 6 bulan - 5
tahun disetiap tahunnya. 25-50% kejang demam akan mengalami bangkitan kejang demam
berulang.
25
2.3 Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Namun pada sebagian besar anak dipicu
oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu tubuh. Biasanya suhu demam
diatas 38,8oc. Jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan
demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang
demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Ada riwayat
kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan
kecenderungan genetik. Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada
masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah, cepatnya anak
mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat
demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang demam kompleks.
2.5 Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting
adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan
perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler. Jadi sumber
26
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel
dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na – K – ATPase yang terdapat
pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
b.Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari
sekitarnya.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada seorang anak berumur 3
tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan
terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari
tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang
telah terjadi pada suhu 38o C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi,
27
kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan
bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah,
sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akibatnya
hipertensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat
meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan
neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan
dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada
daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama
dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan.
Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
2.6 Klasifikasi
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan
berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang
tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80 % diantara
seluruh kejang demam. Suhu yang tinggi merupakan keharusan pada kejang demam
28
sederhana, kejang timbul bukan oleh infeksi sendiri, akan tetapi oleh kenaikan suhu yang
tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya pada radang telinga tengah yang akut, dan
sebagainya. Bila dalam riwayat penderita pada umur – umur sebelumnya terdapat periode -
periode dimana anak menderita suhu yangsangat tinggi akan tetapi tidak mengalami kejang;
maka pada kejang yang terjadi kemudian harus berhati – hati, mungkin kejang yang ini ada
penyebabnya. Pada kejang demam yang sederhana kejang biasanya timbul ketika suhu
sedang meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak mengetahui
sebelumnya bahwa anak menderita demam. Agaknya kenaikan suhu yang tiba – tiba
merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang. Kejang pada kejang demam
sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik – klonik seperti kejang grand mal;
kadang – kadang hanya kaku umum atau mata mendelik seketika. Kejang dapat juga
berulang, tapi sebentar saja, dan masih dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya
pada kenaikan suhu yang mendadak, dalam hal ini juga kejang demamsederhana masih
mungkin.
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih
dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8 %
kejangn demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari,
diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16 % diantara anak
29
2.7 Manifestasi Klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dengan cepat yang tidak disebabkan oleh infeksi susunan
saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis. Serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat
bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti
sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi
setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya
kelainan saraf.
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya
b. Pungsi lumbal
kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6 % - 6,7 %.Pada
bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena
manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada :
3. Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu
30
c. Elektroensefalografi
kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari
d. Pencitraan
Foto X – ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT – scan) atau
magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas
indikasi seperti :
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak
Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus
dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat (otak) .
Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya sumber infeksi
seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah mendapat antibiotik
31
1.10 Penatalaksanaan
Pengobatan intermitten
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang
demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.
Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan
tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari. Meskipun
jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari
32
2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam menurunkan
resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis
0,5mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 o C. Dosis tersebut cukup tinggi dan
menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25 % - 39 % kasus.
Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah
kejang demam.
Pengobatan Rumatan
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut
(salahsatu) :
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
3. Kejang fokal.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi
ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum
33
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap
hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40 % - 50 % kasus.
Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus,terutama yang berumur
kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
dalam 1 – 2 dosis.
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
34
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
f. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
g. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.
Vaksinasi
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang
mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka
kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6 – 9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi,
sedangkan setelah vaksinasi MMR 25 – 34 per 100.000 anak. Dianjurkan untuk memberikan
diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR.
Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari
kemudian.
1.11 Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan
kematian.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian
35
kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah :
e. Riwayat kejang demam dalam keluarga
f. Usia kurang dari 12 bulan
g. Temperatur yang rendah saat kejang
h. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar pada tahun pertama.
Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :
e. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
f. Kejang demam kompleks.
g. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
h. Semakin muda usia dan semakin rendah suhu saat terjadi kejang
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumat pada kejang demam.
Definisi
36
ISPA adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu dan atau lebih bagian dari
saluran napas, mulai dari hidung (saluran pernapasan atas) hingga alveoli (saluran pernapasan
bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura yang
disebabkan oleh masuknya kuman (bakteri, virus atau riketsia) ke dalam organ saluran
pernapasan yang berlangsung selama 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan
proses akut dari suatu penyakit, meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan
dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. 4
III. 2 Klasifikasi
Menurut Depkes RI (1991), Pembagian ISPA berdasarkan atas umur dan
tanda-tanda klinis yang didapat yaitu :4
1. Untuk anak umur 2 bulan-5 tahun
Untuk anak dalam berbagai golongan umur ini ISPA diklasifikasikan
menjadi 3 yaitu :
a) Pneumonia berat
Tanda utama :
Adanya tanda bahaya yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, serta gizi buruk.
Adanya tarikan dinding dada kebelakang. Hal ini terjadi bila paru-paru
menjadi kaku dan mengakibatkan perlunya tenaga untuk menarik
nafas.
Tanda lain yang mungkin ada :
Nafas cuping hidung.
Suara rintihan.
Sianosis (pucat).
b) Pneumonia tidak berat
Tanda Utama :
Tidak ada tarikan dinding dada ke dalam.
Di sertai nafas cepat :
Lebih dari 50 kali/menit untuk usia 2 bulan – 1 tahun.
Lebih dari 40 kali/menit untuk usia 1 tahun – 5 tahun.
c) Bukan pneumonia
Tanda utama :
37
Tidak ada tarikan dinding dada kedalam.
Tidak ada nafas cepat :
Kurang dari 50 kali/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun.
Kurang dari 40 kali/menit untuka anak usia 1 tahun – 5 tahun.
III. 3 Epidemiologi
Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Dari hasil pengamatan
epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan dikota cenderung lebih besar
dari pada di desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal
dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi daripada di desa.1
38
ISPA merupakan penyakit yang sering kali dilaporkan sebagai 10 penyakit
utama di Negara berkembang. Di Negara berkembang, penyakit pneumonia
merupakan 25% penyumbang kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang
dari 2 bulan.
Di Indonesia angka ini dilaporkan sekitar 3-6 kali per tahun per anak, sekitar
40-60% kunjungan berobat di puskesmas dan 15-30% kunjungan berobat jalan dan
rawat inap di rumah sakit juga disebabkan oleh ISPA.
III. 5 Patofisiologi
39
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh.
Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada
permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu
tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan
epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Kending dan Chernick, 1983).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering (Jeliffe,
1974). Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas
kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi
pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan cairan yang berlebihan
tersebut menimbulkan gejala batuk (Kending and Chernick, 1983). Sehingga pada tahap awal
gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri.
Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan
mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga
memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti
streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa
yang rusak tersebut (Kending dan Chernick, 1983). Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan
sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak
nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan
adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan
bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan
gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Tyrell, 1980).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain
dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke
saluran nafas bawah (Tyrell, 1980). Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang
saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran
pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga
menyebabkan pneumonia bakteri (Shann, 1985).
Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek
imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang
sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya.
Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar,
merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA
memegang peranan pada saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah.
40
Diketahui pula bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas
mukosa saluran nafas (Siregar, 1994).
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat
tahap, yaitu:
a. Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
b. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang
sudah rendah.
c. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala
demam dan batuk.
d. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna,
sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat
pneumonia.
41
Gambaran klinis secara umum yang sering didapat adalah rinitis, nyeri
tenggorokan, batuk dengan dahak kuning/ putih kental, nyeri retrosternal dan
konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4-7 hari disertai malaise, mialgia, nyeri
kepala, anoreksia, mual, muntah dan insomnia. Bila peningkatan suhu berlangsung
lama biasanya menunjukkan adanya penyulit.
Auskultasi → fine crackles (ronki basah halus) yang khas pada anak besar,
mungkin tidak ditemukan pada bayi Iritasi pleura akan menyebabkan nyeri dada; bila
berat gerakan dada tertinggal waktu inspirasi, anak berbaring ke arah yang sakit
dengan kaki fleksi Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu, dan perut
Pemeriksaan Penunjang
Radiologis
Foto Rontgen toraks proyeksi posterior-anterior (PA) merupakan dasar
diagnosis utama pneumonia
Foto lateral dibuat bila diperlukan informasi tambahan (tidak rutin dilakukan).
Untuk negara berkembang, foto Rontgen toraks secara rutin tidak direkomendasikan
terutama pneumonia yang tidak memerlukan perawatan di rumah sakit
Indikasi spesifik foto Rontgen toraks adalah pneumonia sangat berat, dugaan
komplikasi pneumonia (misal efusi pleura), atau tidak berespons terhadap terapi yang
diberikan, dan kecurigaan LTBI Indikasi tambahan lainnya adalah gejala atipikal dan
pemantauan pada anak dengan kolaps lobar atau gejala yang berlanjut Foto Rontgen
toraks tidak dapat membedakan antara pneumonia bakteri dan pneumonia virus
Gambaran radiologis yang klasik dapat berupa: Konsolidasi lobar atau segmental
disertai air bronchogram , biasanya disebabkan infeksi Pneumoccocus spp. atau
bakteri lain Pneumonia interstisial, biasanya karena virus atau mikoplasma; gambaran
berupa corakan bronkovaskular bertambah, peribronchial cuffing , dan overaeration ;
bila berat terjadi patchy consolidation karena atelektasis Gambaran difus bilateral,
corakan peribronkial bertambah, dan infiltrat halus sampai ke perifer. Gambaran
pneumonia karena S. aureus biasanya menunjukkan pneumatokel.
Laboratorium
Jumlah leukosit >15.000/µL dengan dominasi neutrofil sering didapatkan pada
pneumonia bakteri, tetapi dapat pula karena pneumonia non bakteri.
43
Diagnosis pasti pneumonia bakterial yaitu dengan isolasi mikroorganisme dari
paru, cairan pleura, atau darah. Pengambilan spesimen dari paru sangat invasif dan
tidak rutin diindikasikan dan dilakukan Kultur darah hanya (+) pada 10−30% kasus
Pemeriksaan C-reactive protein perlu dipertimbangkan pada pneumonia dengan
komplikasi dan dapat bermanfaat untuk melihat respons antibiotik Tidak dapat
membedakan pneumonia akibat virus atau bakteri
Meskipun penyebab pneumonia sulit ditentukan, tetapi ada beberapa gejala
dan tanda yang dapat dikenali secara klinis, yaitu:
Staphylococcus aureus : Progresivitas penyakit sangat cepat dengan gejala
respiratori sangat berat: grunting , sianosis, takipnea, dan gambaran radiologis
necrotizing pneumonia, pneumonia dengan komplikasi (efusi pleura, empiema,
piopneumotoraks), perburukan klinis dan radiologis yang sangat cepat, atau pada
keadaan pascainfeksi campak (saat ini atau 4 mgg sebelumnya) Pada kulit penderita
dapat dijumpai bisul atau abses
Streptococcus grup A: Penyebab tersering faringitis, tonsilitis dengan
limfadenitis koli, demam, malaise, sakit kepala, dan gejala pada abdomen. Sering
merupakan komplikasi infeksi kulit pada anak dengan varisela. Penyakit memburuk
dalam 24 jam. Sering diikuti dengan syok septik, empiema, dan pneumatokel yang
terjadi dalam beberapa hari sampai 1 miggu sesudah pengobatan.
III. 9 Penatalaksanaan
Perawatan Umum di Rumah Sakit
Terapi oksigen Bayi dan anak yang mengalami hipoksia mungkin tidak
tampak sianosis Agitasi mungkin menjadi indikasi hipoksia Oksigen diberikan pada
44
penderita dengan saturasi oksigen <90% pada udara kamar untuk mempertahankan
saturasi oksigen ≥90%, dan pada penderita dengan distres napas
Terapi Cairan
Anak yang tidak mampu mempertahankan asupan cairan akibat sesak atau
kelelahan memerlukan terapi cairan Pipa nasogastrik dapat memengaruhi pernapasan
dan karena itu harus dihindari pada anak yang sakit berat, terutama bayi dengan
lubang hidung yang kecil. Penderita yang muntah-muntah atau sakit berat
memerlukan cairan i.v. Bila diperlukan, cairan i.v. diberikan 80% dari kebutuhan
basal dan perlu dipantau elektrolit serum
Pemberian antibiotik
Antibiotik empiris diberikan berdasarkan usia penderita dan derajat penyakit.
Antibiotik yang sesuai harus diberikan segera sesudah penderita masuk rumah sakit.
Untuk pneumonia atau bukan pneumonia berat dapat diberikan kotrimoksazol (8
mg/kgBB/dosis trimetoprim dalam 2 dosis p.o.) atau amoksisilin 25 mg/kgBB/dosis
diberikan tiap 12 jam p.o. (penelitian menunjukkan amoksisilin dua dosis sehari
memiliki konsentrasi dalam darah yang sama dengan amoksisilin 3 dosis/hr) selama
3–5 hr Efikasi kedua obat sama, kecuali di daerah yang mengalami resistensi pada
salah satu obat Antibiotik parenteral harus diberikan pada anak dengan pneumonia
berat .
Pilihan pemberian antibiotik inisial pada pneumonia anak
Ampisilin 50 mg/kgBB/dosis i.v. atau i.m. setiap 6 jam yang harus dipantau
dalam 24 jam selama 48–72 jam pertama Bila keadaan klinis berat, pengobatan
inisial berupa kombinasi ampisilin-gentamisin Bayi usia <2 bl atau pneumonia sangat
berat, ampisilin dosis di atas ditambah gentamisin 7,5 mg/kgBB i.v. atau i.m. sekali
sehari.
Pada keadaan dicurigai meningitis (malas menetek, letargis, kejang, menangis
lemah, fontanel menojol) dan septikemia, maka obat pilihan pertama adalah
sefotaksim atau seftriakson i.v. Sesudah 48 jam pengobatan pneumonia sangat berat
tidak tampak perbaikan, antibiotik diubah menjadi sefalosporin generasi ketiga,
seperti seftriakson dan sefotaksim.
III. 10 Komplikasi
Kejang demam
45
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rentan lebih dari 38Oc) dengan geiala berupa serangan kejang klonik atau
tonikklonik bilateral. Tanda lainnya seperti mata terbalik keatas dengan disertai
kejang kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului
kekakuan atau hanya sentakan kekauan fokal.
Tuli
Tuli adalah gangguan system pendengaran yang terjadi karena adanya infeksi
yang disebabkan oleh bakteri atau virus dengan gejala awal nyeri pada telinga
yang mendadak, persisten dan adanya cairan pada rongga telinga.
Syok
Syok merupakan kondisi dimana seseorang mengalami penurunan f'ungsi dari
system tubuh yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : faktor obstruksi
contohnya hambatan pada system pernafasan yang mengakibatkan seseorang
kekurangan oksigen sehingga seseorang tersebut kekurang suplay oksigen ke
otak dan mengakibatkan syok.
Demam Reumatik, Penyakit Jantung Reumatik dan Glomerulonefritis, yang
disebabkan oleh radang tenggorokan karena infeksi Streptococcus beta
hemolitikus grup A (Strep Throat)
III. 11 Prognosis
Pada dasarnya, prognosis ISPA adalah baik apabila tidak terjadi komplikasi
yang berat. Hal ini juga didukung oleh sifat penyakit ini sendiri, yaitu self limiting
disease sehingga tidak memerlukan tindakan pengobatan yang rumit. Penyakit yang
tanpa komplikasi berlangsung 1-7 hari. Kematian terbanyak oleh karena infeksi
bakteri sekunder. Bila panas menetap lebih dari 4 hari dan leukosit > 10.000/ul,
biasanya didapatkan infeksi bakteri sekunder.
46
DAFTAR PUSTAKA
DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP 1992. Pedoman Pemberantasan Penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta.
Garna H & Nataprawira HM. 2012. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
ed.5 Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/RS Hasan Sadikin. Bandung.
Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. 2006. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta
Saharso Darto 2006. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya.
UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI. 2014. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana
Infeksi Virus Dengue pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
47