Anda di halaman 1dari 6

PROTON PUMP INHIBITOR TREATMENT IS ASSOCIATED

WITH THE SEVERITY OF LIVER DISEASE AND INCREASED


MORTALITY IN PATIENTS WITH CIRRHOSIS

DISUSUNOLEH:
RelanfaFarando
1102012234

PEMBIMBING:
Dr. Eny Ambarwati, SpPD, MARS, FINASIM
Letkol. Ckm (K) / NRP.32980

KEPANITERAANKLINIKILMUPENYAKITDALAM
RSTK.IIMOH.RIDWANMEURAKSA
FAKULTASKEDOKTERAN

UNIVERSITASYARSI
PERIODE26SEPTEMBER201604DESEMBER2016
Hubungan pengobatan PPI dengan tingkat keparahan penyakit hati dan meningkatnya
mortalitas pada pasien dengan sirosis hepatis

Pendahuluan
Sirosis hepatis merupakan akibat dari penyakit hati kronik yang ditandai dengan kematian sel
hepar, inflamasi, dan perubahan fibrotik dari hepar. Jika dekompensasi dari sirosis terjadi, akan
menimbulkan peningkatan dari morbiditas dan mortalitas secara cepat. Komplikasi dari sirosis
yang paling sering terjadi antara lain pendarahan dari ulkus / varises, gastropati hipertensi (PGH)
atau sindrom ekstavaskuler lambung (GAVE). Pada beberapa pasien, PPI dapat menurunkan
resiko dari kematian dari hemostatis endoskopik.
Pasien yang sedang dalam ligasi endoskopi mendapatkan keuntungan dari penggunaan PPI
dalam hal menurunkan ukuran dari ulkus pasca ligasi, Namun PPI memiliki efek samping yang
merugikan pada pasien dengan sirosis. PPI menyebabkan infeksi bakteri termasuk diantaranya
Spontaneous bacterial peritonitis (SBP). Selain itu, meskipun pada pasien dengan non-sirosis,
penggunaan PPI dapat menyebabkan peningkatan risiko dari infeksi bakteri termasuk
diantaranya pneumonia atau colitis clostridium difficle. PPI dapat memfasilitasi kolonisasi
bakteri disaluran pencernaan atas dan usus, pasien sirosis yang menerima terapi supresi asam
memiliki kemungkinan risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya kolonisasi bakteri MDR.
Pasien dan Metode
Pasien yang ikut dalam penelitian ini adalah pasien dengan sirosis yang diterapi di klinik antara
bulan mei 2009 juni 2011. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu pasien dengan sirosis yang
telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologis atau hasil yang patognomonik pada USG,
CT-Scan, atau MRI. Kriteria Oklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan riwayat kanker
selain HCC (Hepatocelulercarcinoma) dalam 5 tahun, riwayat transplantasi organ dan umur
dibawah 18 tahun.
Pasien yang memenuhi kriteria menunjukan terdapatnya komplikasi dari sirosis seperti asites,
SBP, HRS, perdarahan gastrointestinal termasuk diantaranya perdarahan varises esofagus dan
ensefalopati hepatis. Subjek yang menerima transplantasi hati tidak termasuk dalan analisis.
Sampel darah juga diambil untuk menjadi parameter klinis rutin.
Terapi PPI diberikan pada indikasi yang kuat (perdarahan gastrointestinal, ulkus peptikum, reflux
gastrophageal, ligasi varises endoskopi ) atau nyeri epigastrium, mual, dan muntah. Asites dinilai
dengan menggunakan pemeriksaan klinis dan USG abdomen. Pasien dengan asites dilakukan
parasintesis dan kultur jumlah neutrofil, diagnosis SBP ditegakkan jika jumlah neutrofil >
250/mm2. Diagnosis dari HRS juga dapat ditegakkan dengan peningkatan jumlah serum kreatinin
yang bukan disebabkan oleh hal lain.

Dekompensasi hepar digambarkan dengan adanya gejala klinis berupa asites, SBP, perdarahan
gastrointestinal, HRS, ensefalopati hepatis. Diagnosis HCC dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan histopatologis atau hasil yang berbeda dari pemeriksaan MRI / CT-Scan
berdasarkan European Guidelines.
Skrining untuk kolonisasi dari bakteri MDR dilakukan berdasarkan dari pedoman kontrol infeksi
lkal pada setiap pasien yang terindikasi : Dilakukan swab pada nasal ntuk dilakukan tes
methicillin resistant staphylococcus aureus (MRSA) pada pasien yang setidaknya telah diterapi
3 hari ( sebelumnya pasien telah mendapatkan perawatan spesial dirumah pada 12 bulan
terakhir ) pada pasien yang dirawat di rumah sakit dalam ruang perawatan intensif atau pada
pasien yang sedang menjalani operasi atau yang telah terdaftar untuk transplantasi hepar. Swab
tambahan dilakukan untuk tes bakteri MDR gram negatif dan VRE yaitu swab dari rektum dan
luka, kateterisasi vena sentral, ataupun trakeostoma.
Pada pasien yang menunjukan tanda-tanda infeksi seperti demam, menggigil, batuk, atau disuria
atau menunjukan peningkatan CRP atau jumlah leukosit dalam tes darah, urinalisis dan x-ray
dari foto thorax dilakukan. Skor CHILD-PUGH dan MELD dihitung dari pemeriksaan klinis,
hasil lain, dan hasil dari pemeriksaan USG Abdomen, CT-Scan, dan MRI.

Hasil
Total pasien yang mengikuti studi ini berjumlah 272 subjek dengan sirosis. Etiologi utama dari
sirosis yaitu riwayat konsumsi alkohol, infeksi virus kronik dari Hepatitis C dan Hepatitis B. 199
pasien dari 272 pasien menunjukan dekompensasi hepar termasuk asites, perdarahan
gastrointestinal, HRS atau Ensefalopati hepatis. 47 Pasien (17,3%) menderita HCC. 213 (78,3%)
dari 272 pasien menerima PPI yaitu Omeprazole, Esomeprazole, atau Pantoprazole dalam dosis
rutin sebesar 20-200mg. 89 Pasien dari 213 pasien menggunakan PPi dengan indikasi perdarahan
gastrointestinal, endoskopi ligasi varises, refluks berat ataupun ulkus peptikum. Pada 124 pasien
diberikan PPI untuk nyeri epigastrium atau nyeri pada abdomen. 86 pasien (31,6%) meninggal
selama waktu observasi. Alasan utama dari kematian diketahui disebabkan oleh gagal hati, sepsis
pada gagal organ dan perdarahan varises.
PPI dan Komplikasi dari sirosis
PPI dipertimbangkan dapat memfasilitasi pertumbuhan bakteri secara berlebihan pada jalur
gastrointestinal dan dapat memperburuk dari fungsi hepar. Pasien yang menerima PPI memiliki
kemungkinan sirosis yang ditandai dengan peningkatan yang signifikan dari skor MELD
dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima pengobatan PPI dan pasien yang menerima
PPI lebih banyak yang mengalami asites. Namun, tidak ada perbedaan pada penggunaan PPI
berdasarkan etiologi dari sirosis.
Mengenai jenis kelamin dan umur tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara 2 kelompok
yang diobservasi. Pasien yang diterapi dengan PPI lebih banyak yang mengalami kolonisasi
bakteri MDR dibandingkan dengan pasien tanpa PPI. 28 Pasien dari 272 pasien mengalami
kolonisasi bakteri MDR dimana 27 pasien menerima PPI. Pada 13 orang Extended-spectrum
Beta lactamase producing enterobacteriaceae (ESBL) teridentifikasi dari swab rektum.
Penggunaan PPI berhubungan dengan tingkat keparahan dari penyakit hati (MELD yang
meningkat, asites) dan komplikasi infeksi.
Indikasi untuk PPI (spesifik versus simptomatik) tidak berhubungan dengan keparahan dari
penyakit atau faktor lain pada kriteria studi : asites ( P = 0,534), kolonisasi bakteri MDR
(P=0,868), komplikasi infeksi ( P = 0,740), HRS ( P = 0,117), jenis kelamin ( P= 0,831), MELD
(P=0,081), atau umur ( P = 0,513)

Penggunaan PPI berhubungan dengan mortalitas pasien dengan sirosis


Hubungan dari penggunaan terapi PPI dengan indikator prognosis yang buruk seperti komplikasi
dari sirosis dan peningkatan skor MELD, disimulkan bahwa terapi PPi itu sendiri bisa menjadi
faktor prognosis yang merugikan. Prediksi lebih lanjut dari mortalitas yaitu komplikasi infkesi
(HR : 2.784, 95% CI 1.759-4.158, P< 0,001), Dekompensasi hepar ( HR 2.700, 95% CI 1.5424.730, P : 0,01), HCC ( HR 2.542, 95% CI 1.557-4149, P <0,001) dan skor MELD ( HR 1.102,
95% CI 1.067-1.138, P < 0,001). Terapi PPi merupakan faktor prognosis negatif dalam proses
terjadinya dekompensasi hepar, HCC, dan skor MELD dalam analisis multivarian.

Diskusi
PPI telah dikatakan memberikan manfaat setelah perdarahan varises dan ligasi endoskopi pada
pasien sirosis. Namun, banyak dari pasien sirosis yang menerima terapi PPI untuk terapi
simptomatik dari rasa tidak nyaman pada epigastrium. Penggunaan PPI menjadi diwaspadai
karena pada beberapa studi menunjukan bahwa terdapat hubungan antara terapi PPI dengan
peningkatan risiko dari terjadinya SBP.
Sekitar 78.3 % dari pasien yang menerima PPI telah dikonfirmasi bahwa PPI diberikan pada
individu yang mengalami sirosis. Lebih dari 50% pasien dengan terapi PPI memperoleh supresi
asam sebagai terapi simptomatik dari keluham abdomen tanpa adanya perdarahan akut selain
seringnya terjadi rasa tidak nyaman pada epigastrium. Frekuensi dari penggunaan pada pasien
sirosis juga menimbulkan kekhawatiran dari terjadinya ulkus peptikum pada beberapa pasien.
Oleh karena itu, percobaan telah diamati pada terapi PPi pada pasien sirosis dengan hipertensi
portal telah dijamin.
Pasien dengan gangguan hepar yang lebih berat sering mendapatkan terapi PPi yang dicerminkan
dengan skor MELD yang lebih tinggi dan asites. Supresi dari produksi asam lambung memacu
pertumbuhan bakteri yang lebih banyak pada saluran cerna dan merusak motilitas dari saluran
gastrointestinal. Sebagai tambahan, PPi juga diketahui dapat merusak fungsi neutrofil. PPi bukan
hanya berhubungan dengan peningkatan risiko dari SBP tetapi PPi juga berhubungan dalam
peningkatan frekuensi dari kolitis Clostridium difficle. Terapi supresi asam juga dihubungkan
dengan kolonisasi dari bakteri MDR pada analisis univariat dan menunjukan kecenderungan
pada analisis multivariat.
Oleh karena itu, terapi PPI dikatakan dapat memperuruk prognosis pada pasien dengan gangguan
hati, sedangkan supresi asam lambung berhubungan dengam mortalitas diliha dari skor MELD,
HCC, dan sirosis dekompensasi.
Perlu diperhatikan, penggunaan PPI harus diperhatikan pada pasien dengan gangguan hati. PPI
dimetabolisme di hati oleh sitokrom Cyp 450 dan disekresi oleh ginjal. Apabila terjadi
insufisiensi ginjal, maka tidak terjadi sekresi dari PPI yang menyebabkan resiko dari kerusakan
hati menjadi meningkat dengan adanya perpanjangan dari waktu paruh obat.
Dapat disimpulkan bahwa penggunaan PPI dapat meningkatkan risiko dari mortalitas pada
pasien dengan sirosis yang ditunjukan dengan skor MELD dan skor CHILD-PUGH yang
meningkat. Hal ini menunjukan bahwa resiko terjadinya kemarian pada pasien menjadi
meningkat apabila dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima pengobatan PPI.

Anda mungkin juga menyukai