Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI LANJUTAN

“SIROSIS HEPATIK”

Disusun oleh :

Nama : Fadilla mubakkira s.nao


NIM : 1911102415020
Kelas :C
Dosen P : apt. Deasy Nur Chairin Hanifa, M. Clin.,
Pharm

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
SAMARINDA
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. TUJUAN PRAKTIKUM
Pada praktikum ini mahasiswa dapat menganalisa kasus penyakit dan pengobatan
pada penyakit syaraf ,hati dan infeksi kandungan kemih

B. DASAR TEORI
DEFINISI
Sirosis hati (liver cirrhosis) merupakan perjalanan patologi akhir berbagai
macam penyakit hati. Istilah sirosis hati diperkenalkan pertama kali oleh Laennec
pada tahun 1826 (Word, 2000). Sirosis hati berasal dari bahasa yunani yaitu scirrhus
atau menunjukkan warna orange atau kuning kecoklatan permukaan hati yang tampak
saat otopsi. Banyak bentuk kerusakan hati yang ditandai dengan fibrosis. Fibrosis
adalah penumpukan berlebihan matriks ekstraselular dalam hati. Respon fibrosis
terhadap kerusakan hati bersifat reversibel. Namun pada sebagian besar pasien sirosis
hati, proses fibrosis tidak reversibel (Sulaiman, et al., 2007).
Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), pada tahun 2000 sekitar 170 juta
menderita sirosis hati. Angka ini meliputi sekitar 3% dari seluruh populasi manusia di
dunia dan setiap tahun kejadian sirosis hati baru bertambah 3-4 juta orang. Penyakit
hati menahun dan sirosis hati menyebabkan sekitar 35000 kematian per tahun di
Amerika Serikat. Sirosis hati merupakan penyebab kematian utama kesembilan di
Amerika Serikat (Cheney, 2013; Wolf, 2015).
Sirosis hati adalah penyebab paling sering asites di Amerika Serikat;
diperkirakan sekitar 85% dari kasus (Sylvana, 2015). Selain itu, asites adalah
komplikasi yang paling umum penyakit sirosis hati. Dalam 10 tahun setelah
didiagnosis sirosis hati, sekitar 58% akan mengalami asites. Pengobatan asites pada
pasien sirosis hati adalah tidak mengkonsumsi alkohol, membatasi asupan natrium,
dan pemberian diuretik (Gines, et al., 2007).

EPIDEMIOLOGI

Lebih dari 40% pasien sirosis hati di Amerika. Pada keadaan ini sirosis hati
ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu otopsi. Keseluruhan

2
insiden sirosis hati di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 (0,3%) penduduk. Hasil
penelitian lain menyebutkan perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepatitis
nonalkoholik (NASH) dengan prevalensi 4%) dan biasanya berakhir dengan sirosis
hati dengan prevalensi 0,3%. Prevalensi sirosis hati akibat steatohepatitis alkoholik
dilaporkan sebesar 0,3%. Beberapa pusat pendidikan di RS Dr. Sardjito Yogyakarta
jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di bagian penyakit
dalam, dalam kurun waktu 1 tahun(Sylvana, 2015)

ETIOLOGI

Penyebab utama sirosis hati adalah: induksi obat, pascanekrotik (viral),


alkoholik, sirosis jantung, sirosis biliaris sekunder dan primer, hemokromatosis,
penyakit Wilson, sindrom Budd-Chairidan Idiopatik. Secara etiologi sering dapat
ditentukan melalui riwayat medis, pemeriksaan fisik, penelitian laboratorium
terseleksi dan biopsi hati. Sekitar tahun 60-70an penyebab utama penyakit sirosis hati
yang paling menonjol di Amerika Serikat, dijelaskan alkohol saat ini penyebab utama
adalah hepatitis C 6%, penyakit hati alkoholik 21%, hepatitis C plus penyakit hati
alkoholik 15%, kriptogenik 18%, hepatitis B 15%, dan penyebab lain 5% (Wolf, 2015)

PATOFISIOLOGI

Sirosis hati merupakan gangguan yang tidak dapat dipulihkan kembali, ditandai
dengan kerusakan arsitektur hati normal karena regenerasi nodular dan fibrosis. Kasus
individual secara patologis dapat dibagi menjadi sirosis hati mikronodular dan
makronodular, meskipun sering terjadi tumpang tindih. Pada sirosis hati mikronudular
diameter nodul yang beregenerasi adalah 3 mm atau kurang, sedangkan pada sirosis
hati makronudular berdiameter sampai beberapa sentimeter. Dengan semakin
lanjutnya sirosis hati, menyebabkan hati akan mengecil dan mengeras dan padat, dan
umumnya akan mengalami kerusakan, dan peningkatan resistensi terhadap aliran
darah vena portal sehingga terjadi hipertensi portal. Asites timbul karena naiknya
tekanan portal dan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemia. Banyak
morbiditas dan mortilitas yang berkaitan dengan sirosis hati, terjadi akibat komplikasi
hipertensi portal (Sulaiman, et al., 2007 ; Word, 2000)

3
GEJALA KLINIS

Keluhan pasien sirosis hati umumnya tidak khas. Kelelahan dikeluhkan sekitar
60-80% pasien, gangguan tidur, keluhan gangguan saluran cerna (50- 60%), dan
gangguan mental kadang dikeluhkan oleh pasien (Kuntz, et al., 2008). Beberapa
keluhan dan gejala yang sering timbul pada penyakit sirosis hati antara lain adalah:
kulit berwarna kuning, rasa mudah lelah, nafsu makan menurun, gatal, mual,
penurunan berat badan, dan nyeri perut . Pasien sirosis hati juga dapat mengalami
keluhan dan gejala akibat komplikasi sirosis hati. Pada beberapa pasien, komplikasi
ini dapat menjadi gejala pertama yang menyebabkan pasien berobat. Pasien sirosis
hati dapat tetap dalam kondisi kompensata selama bertahun-tahun sebelum berubah
menjadi dekompensata. Sirosis hati dekompensata dikenali akibat berbagai
komplikasi, seperti ikterus, perdarahan varises, asites dan ensefalopati. Ikterus terjadi
karena kegagalan fungsi hati, dan pengobatan terhadap komplikasi ini biasanya
mengecewakan, kecuali pasien mendapat transplantasi hati (Cheney, et al., 2013;
Wolf, 2015)

PENATALAKSANA( Thursz MR,2015; European ,2018)

Sirosis Tanpa Komplikasi


Sirosis tanpa komplikasi dapat ditangani dengan penggunaan obat-obatan
dengan kombinasi diet yang bertujuan untuk mengurangi berat badan. Obat yang
dapat digunakan berkisar antara steroid hingga antivirus.

Medikamentosa

Pada pasien tanpa infeksi, pemberian glukokortikoid dan pentoxifylline dapat


diberikan untuk menangani sirosis. Pemberian pentoxifylline masih kontroversial
karena terdapat studi yang menyatakan bahwa penggunaannya tidak meningkatkan
tingkat kesintasan pasien. Walau demikian, obat ini tetap digunakan, terutama pada
pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap glukokortikoid karena belum terdapat
alternatif obat yang lebih baik.

4
Pasien dengan hepatitis B dapat diberikan interferon alfa dan lamivudine.
Lamivudin dapar diberikan 100 mg setiap hari selama 1 tahun secara oral. Interferon
alfa diberikan 3 MIU 3x per minggu selama 4-6 bulan secara subkutan. Pada pasien
yang resisten lamivudin dapat diberikan adefovir dan tenofovir. Walaupun begitu,
pemberian lamivudin dapat menyebabkan resistensi apabila digunakan 9-12 bulan.
Selain itu, suatu penelitian di Jepang menunjukkan bahwa interferon tidak
direkomendasikan pada pasien dengan sirosis, karena efeknya belum terbukti oada
fibrosis dan hepatoselular karsinoma.

Tenofovir terbukti efektif pada suatu penelitian tahun 2013. Pada penelitian
tersebut ditemukan bahwa pemberian tenofovir selama 5 tahun dapat mensupresi virus
hepatitis B dan mengurangi sirosis dan fibrosis pada hati. Penelitian tersebut
mengambil sampel sebanyak 641 pasien dan 489 pasien mengikuti penelitian hingga
minggu ke 240.

Berbeda dengan hepatitis B, pasien dengan hepatitis C dapat diberikan


interferon subkutan 5 MIU 3x seminggu dan ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6
bulan.

Diet dan Gaya Hidup

Diet dengan protein 1 gram/kgBB disertai kalori sebesar 2000-3000 kkal/hari


dapat diberikan apabila tidak terdapat koma hepatika. Selain itu, edukasi mengenai
reduksi konsumsi alkohol juga harus dilakukan untuk mengurangi risiko sirosis
hepatis yang lebih parah.

Pada pasien dengan ensefalopati hepatis, pemberian diet protein harus dikurangi
hingga 0.5 gram/kgBB/hari. Selain itu, pemberian laktulosa dapat membantu
mengeluarkan ammonia dari tubuh. Pasien dengan asites dapat diberikan diet rendah
garam

Pengurangan konsumsi alkohol dan pemberian terapi untuk Hepatitis B dan C


terbukti memperbaiki kondisi sirosis hepatis.

Sirosis dengan Komplikasi

5
Strategi penatalaksanaan pada pasien sirosis dengan komplikasi dapat dilakukan
dengan beberapa cara. Mengobati infeksi, memperbaiki fungsi sirkulasi, menangani
hipertensi portal, diet, serta transplantasi hati dapat dilakukan untuk menangani sirosis
dengan komplikasi.

Penanganan Infeksi

Infeksi dapat ditangani dengan memberikan antibiotik seperti rifaximin.


Antibiotik lainnya yang dapat diberikan adalah cefotaxime, amoxicillin, dan
aminoglikosida, terutama pada pasien dengan peritonitis bakterial spontan.

Perbaikan Fungsi Sirkulasi

Perbaikan sirkulasi yang buruk dapat dilakukan dengan pemberian albumin. Hal
ini ditunjukkan dengan berkurangnya asites. Selain albumin, pemberian diuretik
seperti spironolactone 1x 100-200 mg/hari dapat dikombinasikan dengan diet rendah
garam dalam memperbaiki asites. Perbaikan dari asites dapat dilihat dari perubahan
berat badan 500 gram - 1 kg per hari.

Asites yang sangat besar dapat dilakukan parasentesis. Jika ditemukan


pewarnaan Gram dari hasil parasentesis positif atau peritonitis bakterial spontan
dicurigai secara klinis, berikan antibiotik segera. Pilihan antibiotik yang dapat
digunakan di antaranya adalah cefotaxime dan ciprofloxacin. Parasentesis juga
sebaiknya dilakukan pada pasien dengan ensefalopati hepatis

Penanganan Hipertensi Portal

Propranolol dapat diberikan pada pasien dengan varises esofagus, untuk


memperbaiki hipertensi portal. Pemberian beta blocker sebagai profilaksis untuk
perdarahan varises apabila terdapat varises yang besar (>5 mm) atau memiliki risiko
tinggi (Child-Pugh Class B atau C).

Pemberian propranolol dapat mengurangi angka kejadian komplikasi terkait


hipertensi portal, seperti ensefalopati, peritonitis bakterial spontan, dan asites.
Propranolol yang direkomendasikan adalah sebesar 20-40 mg, dua kali per hari dan
dilakukan hingga detak jantung 55-60 kali per menit dan tekanan darah sistolik tidak

6
di bawah 90 mmHg. Setelah baik, pasien diminta untuk kontrol dan melanjutkan
terapi propranolol. Selain propranolol, obat yang dapat diberikan adalah nadolol dan
carvedilol.

Prosedur TIPS, Transjugular Intrahepatic Portosystem Shunt, merupakan


prosedur yang dapat dilakukan dalam menangani perdarahan alibat varises yang aku
ataupun berulang tetapi tidak dapat dilakukan terapi farmakologi maupun skleroterapi.
TIPS bertujuan untuk mengalihkan aliran darah portal ke vena hepatika. Hal ini
bertujuan untuk mengurangi tekanan pada sirkulasi portal dan sistemik, dan dapat
mengurangi hipertensi portal dan perdarahan, serta ascites. Pasien yang akan
dilakukan transplantasi hepar sebelumnya dapat dilakukan terlebih dahulu TIPS,
walaupun sebenarnya hal ini masih kontroversial. TIPS tidak boleh dilakukan pada
pasien dengan skor child-pugh C, ensefalopati yang berat, serta pasien
dengan polycystic liver disease.

Kelebihan TIPS dibanding pemasangan shunt secara pembedahan adalah tidak


merusak anatomi ekstrahepatis. Walaupun prosedur yang baik, penggunaannya harus
disertai dengan pengawasan pasca TIPS yang tepat serta pengawasan komplikasi yang
dapat terjadi.

Menangani Perdarahan Akibat Varises

Pada perdarahan akibat varises, dapat diberikan agen vasoaktif seperti


somatostatin, okreotid, vasopressin, dan terlipresin. Pemberian agen vasoaktif dapat
disertai dengan skleroterapi atau ligase endoskopi variseal (endoscopic variceal
ligation / EVL). Antibiotik seperti rifaximin, cefotaxime, amoxicillin, atau
aminoglikosida perlu diberikan untuk mencegah komplikasi peritonitis bakterial
spontan

Pasien dengan sirosis biasanya memiliki koagulopati yang disebabkan


kerusakan fungsi hepar, serta peningkatan faktor pembekuan darah yang dihasilkan
endothelium pembuluh darah. Hal ini dapat ditangani dengan transfusi platelet apabila
platelet di bawah 50.000 mm3. Selain itu, pemberian agen antifibrinolitik seperti asam
aminokaproat, juga dapat diberikan dalam pencegahan thrombosis pada pasien dengan
kelainan hepar. Defisiensi vitamin K sering ditemukan pada pasien dengan sirosis

7
dekompensata. Pemberian vitamin K yang direkomendasikan dilakukan secara injeksi
10mg. Pemberian fresh frozen plasma (FFP) pada pasien dengan koagulopati
memiliki efek yang masih diragukan. Pasalnya, pemberiannya dapat menyebabkan
efek samping yang signifikan: seperti volume overload, hipertensi portal eksaserbasi
dan risiko infeksi.

Terapi Eksperimental pada Sirosis Hepatis

Seiring berkembangnya bidang kefarmasian, banyak studi yang meneliti


efektifitas obat yang dapat menjadi pilihan bagi pasien dengan sirosis hepatis.
Beberapa obat seperti emricasan dan ASK1-I memiliki fungsi untuk menginhibisi
apoptosis. Adapun inhibitor p38 MAPK, NOX-1/4, dan cenicriviroc yang berfungsi
untuk mengurangi inflamasi serta fibrosis pada hepar. Selain itu, penggunaan obat
seperti aramchol, analog FGF-21 dan FGF-19, serta inhibitor asetil ko-a karboksilase
dapat membantu dalam mengurangi sintesis lipid serta meningkatkan oksidasi asam
lemak. Untuk saat ini, obat-obat tersebut masih dalam penelitian fase 2, sehingga,
dibutuhkan penelitian lainnya untuk mengetahui efektivitasnya.

Transplantasi Hati
Sebelumnya, pertimbangan untuk transplantasi hati dilakukan berdasarkan skor
Child-Pugh. Akan tetapi, saat ini, transplantasi hepar didasarkan pada Model for End-
Stage Liver Disease (MELD). MELD dihitung berdasarkan serum bilirubin, serum
kreatinin, dan INR berdasarkan rumus berikut:

MELD = 3.78 x ln [serum bilirubin (mg/dL)] + 11.2 x ln [INR] + 9.57 x ln


[serum kreatinin (mg/dL)] + 6.43

MELD memiliki interpretasi sebagai berikut:

 >40 : mortalitas 71.3%

 30-39 : mortalitas 52.6%

 20-29 : mortalitas 19.6%

 10-19 : mortalitas 6.0%

 <9 : mortalitas 1.9%

8
Mortalitas yang dimaksud adalah mortalitas dalam 3 bulan. Hasil perhitungan
MELD sudah tidak dapat digunakan setelah 48 jam. Pada pasien dengan dialisis
sebanyak 2x, kreatinin adalah 4 mg/dL. Transplantasi hepar diutamakan pada pasien
dengan skor MELD >15 atau di bawah 15 dengan adanya komplikasi.

9
DAFTAR PUSTAKA

European Association of the Study of the Liver, EASL Clinical Practice Guideline
For The Management Decompensated Cirrhosis. 2018.
Thursz MR, Richardson P, Allison M, Austin A, Bowers M, Day CP, Downs N,
Gleeson D, MacGilchrist A, Grant A, Hood S. Prednisolone or pentoxifylline for
alcoholic hepatitis. New England Journal of Medicine. 2015 Apr
23;372(17):1619-28.
Cheney, C.P., E.M. Goldberg., S, Chopra., (2013). Cirrhosis and portal hypertension :
an overview. Handbook of Liver Disease. 2nd ed. China : Churchill Livingstone :
96
Sylvana, Dhini, (2015). Akurasi Rasio Na/K sewaktu terhadap natrium urin 24 jam
dalam menilai sensitivitas diuretik pada penderita sirosis hati dengan asites di
RSUP. H Adam Malik Medan.
Wolf, D.C., (2015). Cirrhosis of the Liver.Available at
http://www.emedicine .com/med/topic3183.htm. Accessed Oktober 8 , 2015.
World Health Organization., (2000). Hepatitis C-global prevalence (update). Weekly
Epidemiological Record (74) 425-427.
Sulaiman, H. Ali., Akbar, H. nurul., Lesmana A, Lauretius., Noer, Sjaifoellah., (2007).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi pertama, jaya badi : Hal. 335- 365.
Kuntz, Erwin., dan Han-Dieter, (2008). Hepatology : Textbook And Atlas. Germany :
springer medizin verlag heilderberg. 54
Gines, P.,dan Cardenas, A., (2008). The managementof asites and hyponatremiain
cirrhosis. Semin. Liver Dis ; 28:43-58

10

Anda mungkin juga menyukai