Anda di halaman 1dari 36

Afifah faza 051413143154

KASUS III
RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA

SIROSIS HATI + SUSPECT SBP + HIPOALBUMIN + ASITES


Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Sirosis Hati


1.1.1 Batasan
Sirosis merupakan penyakit berat, kronik dan irreversible pada hati
yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan (Ryan,
2011).

1.1.2 Etiologi
Penyebab terjadinya sirosis antara lain adalah konsumsi alkohol dalam
jangka panjang, virus hepatitis B, C, dan D kronis, penyakit hati metabolik
seperti hemokromatosis, Wilson disease, non alkoholik steatohepatitis, dan
defisiensi 1-antitripsin. Selain itu sirosis juga dapat disebabkan oleh penyakit
hati kolestatik yaitu sirosis bilier primer, sirosis bilier sekunder, dan
sclerosing cholangitis primer. Pemakaian beberapa obat seperti isoniazid,
metil dopa, metotreksat, amiodaron, fenotiazin, estrogen dan steroid, serta
herbal seperti Jamaican bush tea dan black cohosh juga dapat menyebabkan
terjadinya sirosis (Ryan, 2011).

1.1.3 Patofisiologi
Secara konseptual, liver dapat dianggap sebagai suatu sistem filtrasi
darah yang diterima dari arteri hepatik dan vena portal, dengan portal darah
yang berasal dari vena mesenterik, gastrik, splenik, dan pankreatik. Darah
memasuki hati melalui portal triad yang terdiri dari cabang vena porta dan
arteri hepatik, kantung empedu, dan jaringan limfa dan syaraf. Kemudian
darah mengalir melalui ruang sinusoidal dari lobul hepatik yang dihubungkan
oleh sel liver, hepatosit (Ryan, 2011).
Normalnya sel stelat hepatik menyediakan vitamin A dan membantu
mempertahankan matriks normal dalam ruang sinusoidal. Pada penyakit liver
kronik, sel stelat hepatik tersebut mengalami suatu proses aktivasi yang pada
puncaknya akan mengalami perkembangan fibrosis hepatik. Aktivasi
menyebabkan sel stelat kehilangan vitamin A, menjadi lebih proliferatif dan
mensintesa jaringan luka fibrosa yang akan terakumulasi dalam ruang
sinusoidal. Hal ini akan memicu hilangnya mikrovili hepatosit, hilangnya

2
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

sinusoidal endothelial fenestrae, penurunan fungsi hepatosit dan jika fibrosis


terus berlanjut akan menjadi sirosis (Ryan, 2011).
Sirosis menyebabkan perubahan terhadap splanchnic vascular bed
sebagai sistem sirkulasi. Vasodilatasi splanchnic, menurunkan respon
terhadap vasokontriktor, dan pembentukan pembuluh darah yang baru
berkontribusi terhadap peningkatan aliran darah splanchnic, pembentukan
varises pada gastroesofagus, dan terjadinya pendarahan varises. Semua itu
merupakan bagian dari sindrom portal hipertensif. Portal hipertensi ditandai
dengan hipervolemia, peningkatan cardiac index, hipotensi dan penurunan
resistensi vaskular sistemik. Hal ini juga dapat disebut sindrom hepatokinetik,
yang akan memicu aktivasi dari faktor neurohormonal vasoaktif, suatu respon
yang terjadi sebagai suatuu usaha untuk mempertahankan tekanan darah arteri
tetap dalam batas normal. Aktivasi tersebut merupakan komponen utama dari
patofisiologi asites dan disfungsi renal yang sering menyertai penyakit liver
kronik (Ryan, 2011).
Singkatnya, sirosis terjadi karena perubahan fibrosis pada sinusoid
hepatik dan perubahan tingkatan mediator vasodilator dan vasokonstriktor,
dan peningkatan aliran darah menuju vaskuler splanchnic (Ryan, 2011).

1.1.4 Klasifikasi
Derajat keparahan sirosis dan pognosis pembedahan dapat ditentukan
dengan sistem klasifikasi Child Pugh, yang mengukur efek dari proses sirosis
melalui uji laboratorium dan manifestasi klinis dari penyakit tersebut.
Tabel 1. Klasifikasi derajat keparahan Child Pugh Score

Nilai 1 2 3
Bilirubin (mg/dL) 1-2 2-3 >3
Albumin (mg/dL) >3,5 2,8-3,5 <2,8
Asites Tidak ada Ringan Sedang
Ensefalopati Tidak ada 1 dan 2 3 dan 4
hepatik
Prothrombin time 1-4 4-6 >6
(detik
perpanjangan)
Grade A<7 poin,grade B =7-9 poin, dan grade C = 10-15 poin.

3
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Selain menggunakan klasifikasi Child Pugh, juga digunakan metode


skoring The Model for End-stage Liver Disease (MELD) untuk menentukan
apakah pasien tersebut diindikasikan untuk melakukan transplantasi liver atau
tidak. Rumus yang digunakan untuk menentukan skor adalah :
Skor MELD = 6,43 + 3,78 x Ln serum total bilirubin (mg/dL) + 11,2 x
Ln INR + 9,57 x serum kreatinin (mg/dL).
Pasien dengan skor MELD 15 atau lebih membutuhkan transplantasi
hati. Pasien dengan skor kurang dari 15 namun dengan komplikasi sirosis
seperti ensefalopati hepatik, pendarahan, dan lain-lain juga sebaiknya
disarankan untuk melakukan transplantasi hati. Sementara pasien tanpa
komplikasi harus terus dimonitor komplikasi yang mungkin terjadi (Starr and
Raines, 2011).

1.1.5 Penatalaksanaan
Pendekatan umum terapi sirosis hepatik:

1. Mengidentifikasi dan mengeliminasi penyebab sirosis hepatik


(misal: penyalahgunaan alkohol).
2. Penilaian terhadap resiko pendarahan variceal dan memulai
menggunakan profilaksis farmakologi jika diindikasikan.
Memberikan profilaksis terapi endoskopik untuk pasien yang
memiliki kontraindikasi atau intoleransi terhadap -adrenergik
blocker. Terapi endoskopik juga sesuai untuk pasien yang
mengalami pendarahan akut. Variceal obliteration dengan teknik
endoskopik merupakan pilihan terapi rekomendasi pada pasien
dengan pendarahan akut.
3. Mengevaluasi tanda klinis dari asites dan memberi manajemen
terapi (misal: diuretik dan parasintesis). Monitoring adanya
peritonitis bakterial spontan terhadap pasien asites dengan
pemburukan akut.
4. Monitoring untuk hepatik ensefalopati, komplikasi yang sering
terjadi pada sirosis yang membutuhkan pengawasan klinis dan
pembatasan diet, eliminasi depresi sistem safar pusat, dan terapi
untuk menurunkan kadar ammonia.

4
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Monitoring secara berkala tanda atau gejala sindrom hepatorenal,


pulmonary insufficiency, dan disfungsi endokrin jika diperlukan (Ryan, 2011).

1.2 Asites
1.2.1 Batasan

Asites merupakan keadaan patologik dimana terjadi penumpukan cairan


limfatik pada rongga peritoneal yang dapat memicu pengembangan
Spontaneus Bacterial Peritnitis (SBP) dan sindrom hepatorenal. Asites biasa
terjadi karena konsekuensi dari hipertensi portal yang menyebabkan
terjadinya peningkatan vasodilatasi sistemik dsan splanchnic sehingga terjadi
peningkatan tekanan arteri, retensi garam dan air dan vasokntriksi renal
(Moore and Thiel, 2013).

1.2.2 Etiologi

Asites pada sirosis disebabkan oleh sejumlah faktor yang secara luas
didefinisikan sebagai faktor hormonal dan disregulasi sitokin serta
berhubungan dengan overload cairan akibat hipertensi portal, retensi natrium,
vasodilatasi arteri splahnik, perubahan aliran vaskular sistemik, peningkatan
pembentukan cairan limfa hepatik dan splahnik, dan hipoalbumin (Moore and
Thiel, 2013).

Penyebab lain asites (pada kasus non-sirosis) dapat dikelompokkan


menjadi pre-hepatik dan post-hepatik. Pre-hepatik misalnya disebabkan oleh
trombosis vena portal, limfoma, obstruksi atau luka pada abdominal limfatik,
perforasi usus besar, gagal ginjal, pankreatitis, tuberkulosa peritoneal, atau
keganasan dengan implan peritoneal. Sementara yang termasuk penyebab
post-hepatik diantaranya adaslah gagal jantung kongestif (biasanya
berhubungan dengan hipertensi pulmonar), perkarditis konstriktif, sindrom

5
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Budd-Chiari, dan pembentukan striktur pada inferior vena kava (Moore and
Thiel, 2013).

Serum Ascites Albumin Gradien (SAAG) dihitung dengan membagi


albumin di cairan asites dengan albumin dalam serum. SAAG digunakan
untuk mengkategorikan dan mengetahui penyebab asites, hasil 1,1 g/dL atau
lebih mengindikasikan bahwa asites disebabkan oleh adanya hipertensi
portal, sementara nilai SAAG kurang dari 1,1 g/dL mengindikasikan
penyebab lain asites seperti sindrom nefrotik, gagal jantung, dan lain-lain
(Mohammad, 2012).

1.2.3 Patofisiologi
Mekanisme berkembangnya asites masih belum secara lengkap
difahami dan masih terus dipelajari. Namun teori hibrid yang ada menyatakan
tentang konsep overflow dan underfill yang meliputi (1) luka atau
kerusakan hepar yang berkelanjutan sebagai kombinasi dari faktor eksogen
seperti alkohol kronik atau virus atau non-alcoholic steatohepatitis (NASH),
(2) termasuk dalam suatu disposisi genetik, dan (3) proses mikro
berkelanjutan dari inflamasi, nekrosis, dan deposisi/regenerasi kolagen,
semua hal tersebut bersama-sama merubah hepar dari sistem resistensi rendah
menjadi resistensi tinggi, misal suatu spektrum fibrosis dengan disfungsi otot
polos pembuluh darah. Kemudian berlanjut menjadi terjadinya peningkatan
tekanan pada vena portal atau disebut hipertensi portal.
Pada keadaan hipertensi portal, substansi vasodilator seperti nitrit
oksida (NO) mulai terakumulasi. Hal ini menyebabkan vasodilatasi splehnik
dengan resultan hipoperfusi (meski secara umum terjadi euvolemik atau
hipervolemik) dari sistem renal. Maka sistem RAA (renin angiotensin-
aldosteron) teraktivasi dan memicu retensi cairan. renin disekresi oleh
aparatus juxtaglomerular ginjal di sekitar nefron proksimal sebagai respon
terhadap perubahan tekanan vaskular, perubahan dalam serum sodium, dan
aktivasi dari sistem saraf simpatis. Lalu angiotensinogen berubah menjadi
angiotensin I, yang kemudian dirubah lagi menjadi angiotensin II oleh
angiotensin converting enzyme (ACE) di paru-paru. Angiotensin II memiliki

6
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

banyak fungsi penting dalam pengaturan penambahan dan retensi cairan,


termasuk stimulasi pelepasan aldosteron dari zona glomerolusa di korteks
adrenal dan sekresi vasopresin dari pituitari posterior. Kelebihan tahanan
volume darah ini dapat pecah keluar langsung dari permukaan hepar dan
pembuluh mesenterik. Mekanisme selanjutnya dikarenakan peningkatan
hidrstatik dan permeabilitas dinding pembuluh darah dan secara bersama-
sama terjadi penurunan retensi cairan onkotik sebagai bentuk dari
hipoalbuminemia baik absolut maupun relatif (Moore and Thiel, 2013).

1.2.4 Klasifikasi dan penatalaksanaan asites


Pasien sirosis dengan asites memiliki resiko tinggi mengalami
komplikasi sirosis lainnya, termasuk refractory ascites, Spontaneous
Bacterial Peritonitis (SBP), hiponatremia, atau sindrm hepatorenal. Tidak
adanya komplikasi tersebut pada pasien asites digolongkan menjadi
uncomplicated ascites. Beberapa tingkatan keparahan pada uncomplicated
ascites terangkum pada tabel berikut :
Tabel 2. Tingkat keparahan asites

Tingkatan asites Definisi Terapi


Asites tingkat 1 Asites ringan, hanya Tanpa terapi
terdeteksi menggunakan
ultrasonik abdomen.
Mengindikasikan terdapat
setidaknya 100 mL cairan
pada peritoneum.
Asites tingkat 2 Asites sedang, dapat dideteksi Pembatasan asupan
dengan pemeriksaan fisik garam dan pemberian
melalui sagging flanks, diuretik.
shiftng dullness, fluid wave,
dan pemeriksaan lab lain.
Setidaknya terdapat 1000 mL
cairan pada peritoneum.

Asites tingkat 3 Asites berat (grossly ascites), Parasintesis volume

7
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

ditandai dengan perut yang besar diikuti dengan


menggelembung karena pembatasan asupan
terdapat beberapa liter cairan garam dan pemberian
dalam rongga peritoneum. terapi diuretik.
(Moore and Thiel, 2013; EASL, 2010).

Pasien dengan asites derajat 2 atau sedang, tidak membutuhkan rawat


inap kecuali jika terdapat komplikasi. Terapi berfokus pada retensi natrium
oleh ginjal dan capaian kesetimbangan natrium negatif. Hal ini dapat dicapai
dengan mengurangi asupan garam dan meningkatkan ekskresi natrium oleh
ginjal melalui pemberian diuretik. Pembatasan asupan garam yang
direkomendasikan adalah 80-120 mmol natrium per hari atau setara dengan
6,9 g garam per hari (Level B1) (EASL, 2010).
Pemberian diuretik yang direkomendasikan adalah golongan antagonis
aldosteron, yakni Spironolakton, dengan atau tanpa kombinasi dengan
diuretik loop, Furosemid. Pasien dengan episode pertama asites tingkat 2
diberikan Spironolakton tunggal dengan dosis 100 mg per hari dengan
peningkatan dosis 100 mg tiap seminggu sekali hingga maksimal dosis 400
mg. Jika efek belum adekuat, ditandai dengan penurunan berat badan kurang
dari 2 kg per minggu atau pasien mengalami hiperkalemia maka dapat
ditambahkan Furosemid 40 mg per hari dengan peningkatan dosis 40 mg tiap
seminggu sekali hingga maksimal 160 mg per hari. Terapi kombinasi juga
dapat dimulai sejak awal pemberian diuretik dengan perbandingan
Spironolakton : Furosemid adalah 100:40 (Level A1). Umumnya pemberian
diuretik kombinasi diberikan pada pasie dengan asites yang persisten (EASL,
2010).
Large Volume Paracentesis (LVP) merupakan terapi pilihan untuk
pasien dengan asites tingkat 3. Pemindahan sejumlah besar cairan asites
berhubungan dengan disfungsi sirkulatori yang ditandai dengan penurunan
volume darah, kondisi ini biasa disebut post-paracentesis circulatory
dysfunction (PPCD). Untuk menghindari hal tersebut maka perlu penambahan
albumin pada proses parasintesis jika cairan yang diambil lebih dari 5 L
(Level 1A). Meskipun parasintesis merupakan terapi utama pada asites

8
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

tingkat 3 namun perlu disadari bahwa parasintesis tidak menyelesaikan


penyebab utama munculnya asites, yakni retensi natrium dan air oleh ginjal.
Maka pasien tetap memerlukan terapi diuretik setelah proses parasintesis
untuk mencegah timbulnya akumulasi cairan asites berulang (EASL, 2010).

1.3 Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)


1.3.1 Batasan SBP
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) adalah infeksi dari cairan
asites tanpa adanya sumber infeksi dari intra abdominal, disebabkan oleh
bakteri enterik pada pasien sirosis dengan asites (Ryan, 2011; Horinek and
Fish, 2009).

1.3.2 Etiologi SBP


SBP disebabkan oleh bakteri patogen termasuk bakteri Gram negatif,
biasanya Eschericia coli, dan bakteri coccus Gram positif yang utamanya
spesies Streptococcus dan Enterococcus (Sease et al., 2011). Sementara
bakteri patogen lain yang terkadang juga ditemukan pada cairan asites adalah
Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeuroginosa, Enterobacter cloacae,
Citrobacter freundii, dam Enterococcus faecalis (Horinek and Fish, 2009).

1.3.3 Patofisiologi SBP


SBP terjadi karena adanya translokasi bakteri, yaitu suatu proses
perpindahan bakteri enterik ke dalam lumen intestinal dan menginfeksi limfa
node mesenterik dan berkeliling melalui sirkulasi darah menuju cairan asites.
Hal ini terbukti dengan ditemukannya bakteri enterik Gram negatif sebagai
bakteri patogen utama cairan asites, yang berasal dari usus besar. Tiga
mekanisme yang berhubungan dengan translokasi bakteri adalah : perubahan
dalam pertahanan imun lokal, pertumbuhan bakteri usus yang terlalu cepat,
dan kerusakan barrier usus (Horinek and Fish, 2009).

1.3.4 Diagnosa SBP


Diagnosa SBP dapat diketahui dari analisa cairan asites, dikatakan
mengalami SBP jika leukosit polimorfonuklear (PMN) jumlahnya 250
sel/mm3 atau lebih (Runyon, 2012).

9
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

1.3.5 Penatalaksanaan SBP


Saat diagnosa SBP telah ditegakkan melalui analisa cairan asites,
pasien harus segera mendapatkan terapi antibiotik empiris bahkan jika kultur
cairan asites menunjukkan hasil negatif. Berdasarkan American Association
for the Study of Liver Disease (AASLD), antibiotik empiris untuk SBP yang
dapat direkomendasikan adalah Sefalosporin generasi ketiga, lebih disarankan
penggunaan Cefotaxime, selain itu Ceftriaxone juga dapat dipilih sebagai
pilihan alternatif (Mohammad, 2012; Runyon, 2012).
Antibiotik profilaksis untuk SBP dibedakan menjadi profilaksis
primer dan sekunder. Pasien dengan riwayat SBP harus mendapatkan terapi
antibitotik profilaksis sekunder, sementara pasien dengan protein asites
rendah (<1,5 g/dL) atau disertai dengan perdarahan GIT harus mendapatkan
antibiotik profilaksis primer (Mohammad, 2012).
Tabel 3. Antibiotik profilaksis dan terapi untuk SBP
(Mohammad, 2012).

10
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

BAB II
ASUHAN KEFARMASIAN
LAPORAN KASUS

Inisial pasien : Tn. N Berat badan : 60 kg Status :Jamkesda

Umur :45 th Tinggi badan : 166 cm

Keluhan utama : nyeri perut selama 2 minggu, demam, perut membesar


sejak 2 minggu, semakin lama semakin membesar serta
terasa penuh dan kaku.

Diagnosis : Sirosis Hepatik Child B + S.SBP + hipoalbumin + asites

Riwayat penyakit : -

Riwayat pengobatan :

Obat Dosis

Alergi : tidak ada


Kepatuhan Obat tradisional -
Merokok - OTC -
Alkohol - Lain-lain -

11
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Catatan Perkembangan Pasien Inisial pasien : Tn. N

Tanggal Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi


130315 Pasien MRS melalui IRD dengan keadaan lemah, perut sudah
membesar sejak kurang lebih 2 minggu lalu. Perut terasa penuh
dan kaku disertai mual dan muntah. Sebelumnya pasien sudah
dirawat selama 10 hari di RS Bojonegoro namun belum ada
perbaikan, perut semakin terasa membesar. Tidak diketahui
riwayat pengobatan pasien selama perawatan sebelumnya.
Pasien mengalami demam (38C) dengan RR = 22x/menit dan
terjadi peningkatan WBC, sementara TD dan nadi berada pada
rentang normal.
Pasien mengalami hipoalbumin dengan kadar albumin 2,48 g/dL.
Pasien mendapatkan transfusi albumin 20% sebanyak 100 cc,
Parasetamol 3x500 mg, Furosemid 3x20 mg, dan Spironolakton
25 mg-0-0.

140315 Pasien pindah ruangan ke Pandan II. Suhu tubuh pasien sudah
normal, namun terjadi kenaikan frekuensi nadi dan TD. Pasien
masih merasakan nyeri pada perut dengan skala nyeri +2. Terapi
diuretik dilanjutkan dengan perubahan Furosemid 1x1 amp dan
Spironolakton ditingkatkan menjadi 50 mg-0-0, ditambah dengan
Ciprofloxacin 2x400 mg drip, aminofusin hepar, injeksi
metoklopramid 3x1, injeksi omeprazol 2x40 mg, injeksi vit K3x1
amp, dan infus PZ.

150315 Pasien masih lemas dengan TTV normal, skala nyeri +1. Terapi
masih sama dengan kemarin.

160315 Pasien masih lemas dengan TTV normal, skala nyeri +3. Asites
belum ada perbaikan Penggunaan furosemid dan vit. K
dihentikan, selebihnya terapi pasien sama dengan kemarin.
Dilakukan pengambilan cairan asites untuk dianalisa. Hasil
analisa cairan asites pasien menunjukkan PMN 88 sel/L.

12
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

170315 Pasien mengalami demam pada malam hari dengan suhu 38,3C,
TTV lain dalam batas normal.
Asites masih belum ada perbaikan. Penggunaan metklopramid
dihentikan, ditambah pemberian sucralfat untuk nyeri
lambungnya.

180315 TTV pasien dalam batas normal namun pasien mengeluhkan sulit
BAB dan batuk.
Pasien mendapat tambahan terapi Lactulax dan Codein. Skala
nyeri pasien meningkat menjadi +4, asites belum teratasi.

190315 TTV pasien dalam batas normal. Dari data lab terjadi kenaikan
WBC menjadi 35,74 dan peningkatan kadar albumin menjadi 2,6
g/dL. Skala nyeri pasien +3, pasien masih mengeluhkan susah
BAB sehingga terapi ditambahkan Dulcolax supp. Masalah asites
pasien masih belum teratasi. Pasien juga mendapat tambahan
analgesik Ketorolak 2x1 iv.

200315 TTV pasien normal dengan skala nyeri +2, asites belum teratasi
namun akan dilakukan parasintesis.
Penggunaan codein dan dulcolax dihentikan, sementara terapi
yang lain masih dilanjutkan.

CATATAN PENDUKUNG LAINNYA

Inisial Pasien : Tn. N

Tanggal Laporan / Tindakan Keterangan


130315 Foto toraks Kesan : cor dan pulmo tak tampak
kelainan

160315 Analisa cairan asites Glukosa asites = 94 mg/dL


Jumlah sel asites = 88 sel/ L dengan
mononuklear sebanyak 28% dan
polinuklear sebanyak 72%.
Protein total = 3,9 g/dL
LDH asites = 360 /L
pH = 8

13
DOKUMEN FARMASI PASIEN
IRNA/RUANGAN : INTERNA / PANDAN II

No. DMK : 12.40.xxxx Diagnosa : SH Child B + S. SBP + Tgl MRS/KRS: 13 Maret 2015 /
RuanganAsal : Pandan II hipoalbumin + asites Keterangan KRS: sembuh / pulang
Nama : Tn. N Alasan MRS/ : nyeri perut sejak 2 minggu lalu, paksa/ meninggal
Alamat : Bojonegoro demam, perut membesar, makin
PindahRuangan:
Umur/BB : 45 th/60 kg lama makin besar, terasa penuh dan
Riwayat alergi : tidak ada kaku.. Nama Dokter : dr. A
Riwayat penyakit : - Nama Apoteker : Afifah Faza, S. Farm

No Jenis obat Regimen dosis Tanggal Pemberian Obat (mulai MRS)


13/03 14/03 15/03 16/03 17/03 18/03 19/03 20/03
1. Transfusi albumin 20% 100 cc
2. Cefotaxime 3x2 g iv drip TAP
3. Parasetamol 3x500 mg p.o 4x
4. Furosemid 3x1 amp (20mg/2mL) iv bolus 1-0-0 1-0-0
5. Spironolakton 25 mg-0-0 p.o 50mg 50mg 50mg 50mg 50mg 50mg 50mg
-0-0 -0-0 -0-0 -0-0 -0-0 -0-0 -0-0
6. Ciprofloxacin 2x400 mg iv drip
7. Aminofusin hepar 7 tpm infusa
8. Metoklopramid 3x1 amp (10mg/2mL) iv drip
9. Omeprazol 2x40 mg iv
10. Vit.K 3x1 amp iv
11. PZ 500 mL Infus 7 tpm
12. D5 500 mL Infus
13. Ceftriaxone 1g iv drip
14. Sucralfat 4xC1
15. Lactulax (Lactulosa 3xC1
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

No Jenis obat Regimen dosis Tanggal Pemberian Obat (mulai MRS)


13/03 14/03 15/03 16/03 17/03 18/03 19/03 20/03
3,335 g/5 mL)
16. Codein 3x10 mg
17. Dulcolax (Bisacodyl 10 Supp I
mg)
18. Ketorolac 2x30 mg

Nama pasien : Tn. N

DATA KLINIK

15
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

No. Data klinik Normal 13/03 14/03 15/03 16/03 17/03 18/03 19/03 20/03
Lemah/ Lemah/
1. KondisiUmum Baik 456 456 456 456 456 456
456 456
2. HR 80-100 x/min 100 100 94 96 108 92 100 92
3. Suhu 36,5-37,2 C 38C 36,8 C 36,4 C 36,5 38,3 C 36,6 C 36,5 C 36,6 C
120/80
4. TekananDarah 110/70 140/90 140/90 140/90 130/80 130/80 120/80 140/80
mmHg
5. RR 12-20 x/min 22 28 20 20 20
6. Mual/muntah - +/+
7. Rh / Wh - -/- -/-
8. BAB - + + + + - - - +
9. Sesak nafas - + + + + + + + +
10. Batuk - - - - - - - - -
11. a/i/c/d -/-/-/- -/-/-/- -/-/-/+ -/-/-/- +/-/-/- +/-/-/- -/-/-/- +/-/-/- +/-/-/-
12. Asites - + + + + + + + +
13. Nyeri (0) +2 +2 +1 +3 + +4 +3 +2

Komentar dan alasan :

Pasien mengalami demam pada tanggal 13 dan 17, perlu diperhatikan tanda-tanda SIRS lain seperti nadi, RR dan nilai WBC karena
pasien sirosis dengan asites resiko mengalami Spontaneous Bacterial Peritonitis.

16
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Mual muntah dan rasa tidak enak pada perut dikarenakan pasien mengalami asites sehingga pasien kurang nafsu makan dan terjadi
peningkatan asam lambung.
Sesak nafas yang dikeluhkan pasien kemungkinan karena keadaan perut yang membesar menekan diafragma.

DATA LABORATORIUM

17
No. Data Lab. Normal 13/3 14/3Laporan
15/3 Studi Kasus
16/3 Program
17/3 18/3Bidang
PKP 19/3
Rumah Sakit
1. DL : Program Profesi Apoteker Periode 100
WBC (x 103/mm3) 3,37 10 x103/mm3 19,67 37,54 Airlangga
Fakultas Farmasi Universitas
Hb 11-14,7 g/dl 9,9 10,2
Trombosit(x 103/mm3) 150-450x103/mm3 465 432
RBC 3,69-5,46 3,78
Hct 41,3-52,1% 33,7
MCV 86,7-102,3 87,4
MCH 27,1-32,4 26,9
MCHC 29,7-33,1 g/Dl 30,8
2. SE :
K 3.5-5.0 mmol/L 3,59
Na 136-145 mmol/L 140,6
Cl/Phospat 97-103 mmol/L / 2.5-4.9 108,4
mg/Dl
Ca/Mg 7,6 11,0 mg/Dl
3. RFT :
BUN 7-18 mg/Dl 7
Scr 0.5-1.2 mg/Dl 0,59
Ccr
4. BGA :
Ph 7,35- 7,45 7,441
PCO2 35 45 31,2
PO2 80-107 74,2
HCO3 21-25 21,4
5. LFT :
SGOT <41 37
SGPT <38 13
Bili total 0-1 0,78
Bili direct <0,20 0,46
Lain-lain :
Albumin 3.4-5.0 g/Dl 2,48 2,6
GDA < 200 mg/Dl 137
urine 600mL 800 mL 600 mL
HbSAg + 18
APTT 23-38 det 51,6
Control APTT 27,4
PPT 9-12 det 12,6
Control PPT 11,1
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Komentar :
Hipoalbumin pada pasien asites terjadi karena sintesa albumin mengalami penurunan. Albumin dan serum protein lainnya
disintesa di liver, ketika fungsi hepatoselular mengalami penurunan maka sintesa protein-protein tersebut juga akan menurun
sehingga kadarnya dalam darah akan berada di bawah nilai normal. Hipoalbumin menyebabkan tekanan onkotik plasma
menurun sehingga menggeser kesetimbangan hemodinamik dan meningkatkan permeabilitas kapiler menyebabkan keluarnya
cairan menuju rongga peritoneal dan muncullah asites (McPhee, ; Ryan, 2011).
Leukosit atau WBC mengalami kenaikan disertai peningkatan suhu tubuh cukup indikasi untuk pemberian antibiotik. Pasien
mengalami asites memiliki resiko SBP sehingga memerlukan pengambilan cairan asites untuk dianalisa dan pemberian
antibiotik profilaks.
Terjadi perpanjangan nilai APTT, hal ini dapat terjadi karena pada pasien asites terjadi penurunan sintesa faktor koagulasi oleh
liver (Ryan, 2011).
PROFIL PENGOBATAN

Obat Pemantauan Komentar dan alasan


Mula Jenis obat Rute Dosis Frek. Stop Indikasi obat kefarmasian
i
13/03 Transfusi albumin iv infus 100cc 13/03 Terapi -kondisi Tranfusi albumin
20% hipoalbumin umum diberikan untuk
-kadar memperbaiki
albumin hemodinamika pasien serta
darah memperbaiki kondisi
asites.

13/03 Parasetamol Peroral 500 mg 3x1 16/03 Anti piretik -Suhu tubuh Parasetamol digunakan
sebagai antipiretik dengan
dosis 325-650 mg tiap 4-6
jam dengan dosis
maksimal 4 g/hari (Lacy et
al., 2009).

19
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Obat Pemantauan Komentar dan alasan


Mula Jenis obat Rute Dosis Frek. Stop Indikasi obat kefarmasian
i
Bekerja pada hipotalamus
dengan memproduksi
antipiresis (Medscape,
2015).

13/03 Furosemid iv 20 3x 20 mg 15/03 Terapi asites - Asites Furosemid digunakan


mg/dosis (lingkar kombinasi dengan
diturunka perut atau Spironolakton untuk terapi
n menjadi penurunan pada asites sedang-berat
1x20 mg. BB) dengan perbandingan dosis
- Sesak 40:100.
- Serum Perbandingan tersebut
elektrolit dianggap dapat menjaga
(terutama elektrolit pasien tetap
kalium) normal (normokalemi,
- Jumlah normonatremi) (Runyon,
cairan 2012).
keluar
13/03 Spironolakton Peroral 25 mg 25 mg-0-0 Terapi asites - Asites Spironolakton dapat
(lingkar diberikan tunggal maupun
dinaikkan perut atau kombinasi dengan
menjadi penurunan Furosemid untuk
50 mg-0-0 BB) mengatasi asites pada
- Sesak sirosis. Dosis awal
- Serum diberikan 100 mg,
elektrolit kemudian ditingkatkan
(terutama setiap minggunya 100 mg

20
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Obat Pemantauan Komentar dan alasan


Mula Jenis obat Rute Dosis Frek. Stop Indikasi obat kefarmasian
i
kalium) hingga maksimal 400 mg
Jumlah per hari (EASL, 2010).
cairan keluar Penurunan berat badan per
hari yang dikehendaki
adalah 0,5 kg karena
pasien mengalami asites
tanpa udema pada bagian
tubuh lain. Sementara jika
ada udem maka penurunan
BB yang dikehendaki
adalah 1 kg/hari (EASL,
2010).

14/03 Ciprofloxacin IV drip 400 mg 2x400 mg Terapi - tanda-tanda Hasil analisa cairan asites
profilaksis SIRS (WBC, dengan PMN >250
SBP suhu, nadi, sel/mm3 dengan kultur
dan RR). positif ataupun negatif
membutuhkan terapi
antibitotik profilaksis
untuk SBP. Antibiotik
yang dapat digunakan
pada kasus asites tanpa GI
bleeding adalah
Ciprofloxacin 750 mg
peroral seminggu sekali,
atau cotrimoxazol 1

21
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Obat Pemantauan Komentar dan alasan


Mula Jenis obat Rute Dosis Frek. Stop Indikasi obat kefarmasian
i
double strength tablet
perhari, Norfloxacin 400
mg sehari sekali.
Sementara dosis
ciprofloxacin 400 mg iv
diindikasikan untuk
profilaks SBP pada pasien
dengan perdarahan GI,
diberikan 5-7 hari
(Mohammad, 2012).

14/03 Aminofusin Hepar IV 500 mL 16/03 Membantu Kondisi Aminofusin Hepar


infusion perbaikan umum pasien mengandung asam amino
hemodinamik rantai cabang (BCAA)
pasien, yang dapat membantu
mencegah perbaikan hemodinamika
HE. pasien sirosis asites
dengan meningkatkan
sintesa albumin melalui
peningkatan suplai substrat
untuk sintesa protein dan
merangsang inisiasi
albumin. Hal ini akan
mengurangi asites dan
meningkatkan kualitas
hidup pasien (Itou et al.,
2009).

22
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Obat Pemantauan Komentar dan alasan


Mula Jenis obat Rute Dosis Frek. Stop Indikasi obat kefarmasian
i

14/03 Metoklopramid Iv 10 mg/2 3x1 amp 17/03 Anti emetik -Frekuensi Metoklopramid injeksi
mL mual muntah digunakan untuk
-ESO extra mengatasi mual muntah
pyramidal yang dialami pasien. Dosis
syndrome yang diberikan sudah tepat
yakni 10 mg, diberikan
sebelum makan tiap 6 jam.
Mekanisme sebagai anti
emetik adalah dengan
memblokade reseptor
dopamin dan serotonin
pada chemoreceptor
trigger zone di CNS,
meningkatkan sensitivitas
jaringan terhadap
asetilkolin, meningatkan
motilitas GI bagian atas
tapi tidak mempengaruhi
sekresinya, dan
meningkatkan sfingter
tonus esofageal bagian
bawah (Medscape, 2015).

14/03 Omeprazol IV 40 mg 2x1 amp Mengatasi Nyeri perut Pengeluaran asam


nyeri perut, lambung yang berlebihan
mencegah dapat menyebabkan ulcer

23
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Obat Pemantauan Komentar dan alasan


Mula Jenis obat Rute Dosis Frek. Stop Indikasi obat kefarmasian
i
gastric ulcer saluran cerna yang dapat
memicu terjadinya
perdarahan sehingga
diberikan agen
penghambat pompa
proton. Dosis untuk gastric
ulcers 1x40 mg Bekerja
dengan pengikatan pada
H+/K+- exchanging
ATPase (proton pump) di
sel parietal lambung
sehingga menekan sekresi
asam basal dan asam yang
telah terstimulasi (Mc
Evoy, 2011; Medscape,
2015).
15/03 Vit. K Iv 3x1 amp 15/03 Mencegah -Perdarahan Injeksi vitamin K
pendarahan -Nilai PTT sebanyak 10 mg dapat
dan aPTT diberikan pada pasien
dengan defisiensi vitamin
K, pemberian selama 3
hari sudah dirasa cukup
untuk memperbaiki
defisiensi vitamin K dan
harus diberikan pada
pasien dengan sirosis yang
terdekompensasi

24
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Obat Pemantauan Komentar dan alasan


Mula Jenis obat Rute Dosis Frek. Stop Indikasi obat kefarmasian
i
(Amarapurkar and
Amarapurkar, 2011).

17/03 Sucralfat p.o 4xC1 Mengatasi Nyeri perut Sucralfat digunakan untuk
nyeri perut terapi profilaks stress
ulcer, bekerja dengan
melekat pada ulcer di
cairan asam lambung
membentuk suatu lapisan
protektif sebagai barrier
melawan asam di lambung
(Medscape, 2015).

18/03 Lactulax p.o 3,335 3xC1 Mengatasi Frekuensi Lactulosa untuk terapi
(Lactulose) g/5mL konstipasi BAB konstipasi diberikan 10-20
g peroral sehari sekali,
atau bisa ditingkatkan
hingga 40 g sehari.
Bekerja sebagai agen
hioerosmotik yang
meningkatkan kandungan
air pada feses, melunakkan
feses, dan memicu
peristaltik (Medscape,
2015).

18/03 Codein p.o 10 mg 3x1 tab 19/03 Mengatasi -skala nyeri Codein diberikan untuk

25
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Obat Pemantauan Komentar dan alasan


Mula Jenis obat Rute Dosis Frek. Stop Indikasi obat kefarmasian
i
nyeri -ESO mengatasi nyeri pada
konstipasi punggung yang dikeluhkan
oleh pasien. Codein dapat
digunakan untuk
mengatasi nyeri ringan
hingga sedang yang tidak
membaik dengan
pemberian analgesik non-
opioid (McEvoy, 2011).
Dosis yang digunakan
sebagai analgesik adalah
30 mg setiap 4 jam atau
15-60 mg tiap 4 jam sesuai
kebutuhan.
19/03 Dulcolax supp 10 mg 2x1 19/03 Terapi Frekuensi Menstimulasi peristaltik
(bisacodyl) konstipasi BAB dengan mengiritasi
lngsung pada otot polos
usus, mempengaruhi
sekresi air dan elektrolit
sehingga terjadi akumulasi
cairan intestinal dan
berefek laksan. Dosis
supposituria adalah 10 mg
sebagai dosis tunggal
(Lacy et al., 2009).
19/03 Ketorolak iv 30 mg/mL 2x1 Analgesik Skala nyeri Untuk manajemen nyeri
yang akut, skala sedang

26
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

Obat Pemantauan Komentar dan alasan


Mula Jenis obat Rute Dosis Frek. Stop Indikasi obat kefarmasian
i
hingga berat. Dosis yang
digunakan untuk
pemberian intravena
adalah 30 mg sebagai
single dose atau 30 mg
tiap 6 jam (Lacy et al.,
2009).

ASUHAN KEFARMASIAN
Nama Pasien: Tn. N

Kode masalah:

1. Indikasi : a. Tidak ada indikasi, b. Ada indikasi tanpa terapi, c. 9. Efek samping obat
Kontraindikasi 10. Ketidaksesuaian RM dg : a. Resep,b. Buku injeksi perawat
2. Pemilihan obat 11. Kesalahan penulisan resep
3. Dosis obat : a. Overdose, b. Underdose 12. Stabilitas sediaan injeksi
4. Interval pemberian 13. Sterilitas sediaan injeksi
5. Cara/waktu pemberian 14. Kompatibilitas obat
6. Rute pemberian 15. Ketersediaan obat/ kegagalan mendapatkan obat
7. Lama pemberian 16. Kepatuhan
8. Interaksi obat : a. Obat, b. Makanan/minuman, c. Hasil lab 17. Duplikasi terapi

27
Laporan Studi Kasus Program PKP Bidang Rumah Sakit
Program Profesi Apoteker Periode 100
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

28
Obat Problem Tindakan (usulan pada klinisi,
perawat, pasien)
Vitamin K (7) Vitamin K untuk pencegahan pendarahan -memperpanjang lama terapi menjadi 3
karena adanya gangguan koagulasi (APTT hari
dan PPT memanjang) hanya diberikan -melakukan tes darah lengkap lagi
selama 1 hari, pada pustaka disebutkan
bahwa terapi vitamin K paling tidak
memerlukan waktu selama 3 hari
(Amarapurkar and Amarapurkar, 2011).
Furosemid dan Penggunaan Furosemid 3x20 mg dan -monitoring khasiat, jika dengan dosis
Spironolakton Spironolakton 25 mg-0-0 untuk terapi asites yang diberikan pasien efek terapi telah
kurang sesuai dosisnya. Berdasarkan tercapai maka pemberian dosis tersebut
beberapa pustaka, perbandingan dosis dapat diteruskan. Namun jika belum
Spironolakton : Furosemid yang dianjurkan tercapai, maka disarankan untuk
adalah 100 mg : 40 mg/hari, dapat dititrasi dilakukan titrasi dosis
hingga maksimal 400 mg : 160 mg/hari - monitoring penurunan berat badan
(Dipiro et al., 2008; Runyon, 2004) (maks 0,5 kg/hari), serta dilakukan
pengukuran lingkar perut.

Furosemid dan Spironolakton dan Furosemid dapat -monitoring elektrolit pasien, terutama
Spironolakton (9) mempengaruhi kadar Potasium darah. Potasium
Furosemid menurunkan kadar Potasium -koreksi segera dengan pemberian KCl
sementara Spironolakton dapat jika terjadi hipokalemi atau Ca glukonas
meningkatkan nya (Medscape, 2015). jika terjadi hierkalemi
Parasetamol (2) Pasien mengalami demam (38C) pada tgl Sebaiknya diberikan Sistenol, yakni
13 Maret dan 38,3 C pada malam hari tgl Parasetamol yang dikombinasi dengan
17 Maret, diberikan Paracetamol sebagai N-acetyl cystein (500:200mg) yang
Obat Problem Tindakan (usulan pada klinisi,
perawat, pasien)
antipiretik. Parasetamol kontraindikasi pada dapat menangkap hasil metabolit
pasien dengan gangguan hepar karena Parasetamol.
metabolitnya yang toksik pada hepar. (Sistenol tidak masuk dalam
Formularium Nasionalperlu
diinformasikan kepada keluarga pasien
bahwa obat tersebut harus dibeli karena
tidka masuk jaminan BPJS)
Parasetamol (7) Pada tgl 14-16 Maret, pasien masih Penggunaan Parasetamol dapat
diberikan Paracetamol padahal suhu tubuh dihentikan, gunakan bila perlu saja dan
pasien sudah normal informasikan hal tersebut kepada
perawat dan keluarga pasien
Codein (2) Pasien mengalami konstipasi selama 3 hari -mengganti Codein dengan analgesik
(17-19 Maret) dan mengeluhkan merasa lain misal Ketorolak atau Tramadol
nyeri, dokter memberikan terapi Codein
sebagai analgesik padahal Codein memiliki
efek samping konstipasi (A to Z Drug
Facts). Terapi konstipasi diberikan Dulcolax
supp
Ketorolak (3b) Ketorolac diberikan dengan regimen 2x30 Evaluasi efek terapi, jika tidak adekuat
mg, sementara di pustaka disebutkan bahwa
maka pemberian ketorolac ditingkatkan
dosis ketorolak sebagai analgesik adalah 30
menjadi 4x30 mg, dengan lama
mg tiap 6 jam (Lacy et al.,2009) penggunaan maksimal hingga 5 hari
(Lacy et al., 2009).
Bisacodyl (16) Dokter meresepkan Dulcolax supp untuk Edukasi pasien bahwa penggunaan
mengatasi konstipasi pasien namun belum suppositoria memang tidak nyaman
Obat Problem Tindakan (usulan pada klinisi,
perawat, pasien)
digunakan oleh pasien (mungkin pasien awalnya,namun hanya berlangsung
merasa tidak nyaman dengan penggunaan sebentar, efek nya dapat langsung
obat tersebut) dirasakan setelah 15 menit minum obat
Sarankan pasien untuk segera
menggunakan obat agar keluhan perut
sebah dan penuh dapat segera berkurang
(1) TD pasien tinggi pada tgl 14-18 Maret Berikan Propanolol 40 mg sehari dua
namun tidak ada terapi anti hipertensi kali p.o
Propanolol dapat juga digunakan
sebagai terapi Portal Hypertension yang
biasanya menyertai pasien sirosis.
Furosemid dan Pasien mengaku perut sudah membesar -Berikan kombinasi dengan Furosemid
Spironolakton (2) sejak 3 minggu lalu dan belum ada 2x1 amp atau 3x1 amp dengan terus
perbaikan. Untuk terapi asites awalnya monitoring kadar kalium pasien
dokter memberikan Furosemid 3x1 amp dan -lakukan pengukuran lingkar perut dan
Spironolakton 25 mg-0-0 selama 1 hari tampung urin setiap hari agar dapat
kemudian dosis Spironolakton dinaikkan diketahui respon pasien terhadap terapi
menjadi 50 mg-0-0 namun Furosemid dan seberapa berkurangnya asites pasien
dihentikan. -jika tidak menunjukkan perbaikan,
pertimbangkan untuk dilakukan
parasintesis

MONITORING
No. Parameter Tujuan monitoring
1. Suhu Evaluasi pemberian Ciprofloxacin untuk terapi profilaksis SBP
RR
Nadi
WBC

2. Suhu Monitoring pemberian Parasetamol untuk terapi anti piretik


3. Perdarahan Monitoring pendarahan pasien karena terjadi gangguan koagulasi, evaluasi pemberian injeksi
vitamin K
4. Frekuensi mual muntah Monitoring kejadian muntah, evaluasi pemberian anti emetik Metoclopramid.
5. Kondisi klinis (nyeri Monitoring adanya stres ulcer, dan gangguan tidak nyaman pada perut akibat kondisi asites.
perut, mual muntah)
6. Skala nyeri Monitoring nyeri setelah pemberian analgesik Codein dan Ketorolak
7. Kondisi asites (lingkar Monitoring keberhasilan terapi dan perbaikan asites pasien setelah pemberian diuretik
perut atau berat badan) kombinasi.
Jumlah cairan keluar Monitoring efek samping diuretik pada kadar kalium pasien.
Serum elektrolit
8. Frekuensi BAB Evaluasi setelah pemberian Lactulosa dan Bisacodyl

KONSELING

Pemberian informasi pada pasien

No. Uraian Rekomendasi /saran


1. Pasien mendapat terapi Parasetamol 3x500 mg Monitoring suhu pasien sehari minimal 3 kali. Mengganti
untuk menurunkan demam yang dialami pasien. penggunaan parasetamol menjadi sistenol jika memungkinkan.
Parasetamol dapat bersifat hepatotoksik sehingga
penggunaannya pada pasien sirosis harus
dihindari, jika dikehendaki tetap menggunakan
Parasetamol maka harus digunakan ketika perlu
saja (prn).

2. Spironolakton 25 mg-0-0 diberikan untuk Memberitahu pasien cara dan waktu minum obat.
mengurangi cairan asites dengan
mengeluarkannya lewat urine, cukup diminum
sehari sekali pada pagi hari bersama makan untuk
mengurangi efek pada GIT

3. Pasien mendapat terapi Sucralfat 4xC1 untuk Memberitahu pasien bahwa obat diminum sehari 4x1 sendok makan
terapi stres ulcer. (15mL) pada saat erut kosong, minimal 1 jam sebelum makan.
Kocok dahulu sebelum digunakan. Obat oral lain diberikan dengan
jeda 2 jam setelah pemberian sucralfat
Simpan sediaan pada suhu ruang, terhindar dari cahaya matahari.

4. Pasien mengalami batuk dan diberikan codein. Monitoring frekuensi batuk pasien.
Obat ini dapat diminum ketika masih mengalami
batuk, jika batuk sudah sembuh maka penggunaan
obat dapat dihentikan

5. Pasien mendapat terapi Lactulosa 3xC1 untuk Menjelaskan bahwa konstipasi dapat terjadi akibat penggunaan obt
terapi konstipasi batuk codein,maka diberikan Lactulosa sebanyak 3x1 sendok makan
tiap hari, diminum bersama atau setelah makan.

6. Pasien mendapat terapi Dulcolax supp (Bisacodyl) Menjelaskan bahwa obat untuk mengatasi konstipasi bentuk
untuk terapi konstipasi suppositoria akan memberikan efek defikasi yang lebih cepat yakni
kurang lebih 15 menit setelah penggunaan.
Menjelaskan cara penggunaan suppositoria kepada pasien atau
keluarga pasien yakni diberikan dengan posisi miring atau sedikit
mengangkat pinggul, obat dimasukkan ke dalam dubur dengan
sebelumnya dicelupkan ke dalam air untuk memudahkan obat
masuk. Pasien diminta tetap dalam posisi berbaring kurang lebih 10
menit untuk memastikan bahwa obat sudah masuk.

DAFTAR PUSTAKA

Amarapurkar, P.D.,and Amarapurkar, D.N. 2011. Review Article : Management of Coagulopathy in Patients with Decompensated
Liver Cirrhosis. International Journal of Hepatology. Vol 2011, p. 1-5.
EASL. 2010. EASL Clinical Practice Guidelines on The Management Of Ascites, Spontaneous Bacterial Peritonitis, and Hepatorenal
Syndrome in Cirrhosis. Journal of Hepatology. Vol 53, p. 397-417.
Horinek, E., and Fish, D. 2009. Spontaneous Bacterial Peritonitis. AACN Advanced Critical Care. Vol 20 No 2, p. 121-125.
Itou, M., Kawaguchi, T., Taniguchi, E., Oku, Y., Fukushima, N., Ando, E., Oriishi, T., Uchida, Y., Otsuka, M., Tanaka, S., Iwasaki, S.,
Torii, M., Yoshida,, K., Adachi, Y., Suga, M.., Yoshiyama, M., Ibi, R., Akiyama, Y., Tayakura, M., Mitsuyama, K., Tsuruta, O.,
and Sata, M. 2009. Branched-chain amino acid supplements reduced ascites and increased the quality of life in a patient with
liver cirrhosis: A case report. Molecular Medicine Reports. Vol 2, p. 977-981.
Lacy, C,F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lanco, L.L. 2008. Drug Information Handbook: A Comprehensive Resource for
all Clinicians and Healthcare Professionals. Ohio : American Pharmacists Association.
McEvoy, G.K. 2011. AHFS Drug Information. Bethesda: American Society of Health-System Pharmacist.
Medscape.com diakses terakhir pada 13 Juni 2015.
Mohammad, R.A. 2012. Complication of Chronic Liver Disease. PSAP VII Gastroenterology and Nutrititon, p. 91-100.
Moore, C.M., and Thiel, D.H.V. 2013. Cirrhotic ascites review : Pathophysiology, diagnosis and management. World Journal of
Hepatology. Vol 05, p. 251-256.
Runyon, B.A. 2012. Practice Guideline Management of Adult Patiens with Ascites Due to Cirrhosis: Update 2012. American
Association for the Study of Liver Disease.
Sease, J.M., Timm, E.G., and Stragand, J.J. 2011. Portal Hypertension and Cirrhosis. In : Dipiro, Joseph T., Talbert, Robert L., Yee,
Gary C., Matzke, Gary R., Wells, Barbara G., and Posey, L. Michael (Eds). 2011 Pharmacotherapy: A Pathophysiologic
Approach, 8th Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Starr, S.P., and Raines, D. 2011. Cirrhosis : Diagnosis, Management, and Prevention. American Family Physician. Vol 18. No 12, p.
1353-1356.
Tatro, D.S. 2003. A to Z Drug Facts. San Fransisco: Facts and Comparison.
Trissel, L.A. 2009. Handbook on Injectable Drugs 15th Ed. Bethesda: American Society of Health-System Pharmacists.

Anda mungkin juga menyukai