Nim :G1A116039
UNIVERSITAS JAMBI
Pemilihan obat untuk pasien hipertensi
Hipertensi adalah penyakit yang bersifat multifaktorial. Tetapi obat ditujukan pada
penurunan tekanan darah melalui efek farmakodinamik obat bersangkutan pada organ
pengendalian darah.
Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu curah jantung dan resistensi
perifer, sedangkan curah jantung adalah hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup. Besarnya
isi sekuncup ditentukan oleh kekuatan konstruksi miokard dan volume darah yang kembali ke
jantung yang terakhir. Ini merupakan selisih dari volume darah total dan volume darah yang
ditampung dalam vena. Resistensi perifer merupakan gabungan resistensi pada pembuluh
darah (arteri dan arteriol) dan resistensi akibat darahnya sendiri (viskositas darah). Resistansi
pembuluh darah disebabkan oleh tonus otot polos arteri dan arteriola dan oleh berkurangnya
elastisitas dinding pembuluh darah, yang terakhir ini akibat arteriosklerosis yang terjadi
dengan meningkatnya usia.
Besarnya tekanan darah sistolik ditentukan terutama oleh isi sekuncup dan kecepatan
ejeksinya, sedangkan tekanan darah diastolik ditentukan oleh resistensi perifer dan denyut
jantung (karena denyut jantung menentukan waktu diastolik).
Obat antihipertensi bekerja pada satu atau lebih dari empat lokasi kontrol anatomis dan
menghasilkan efeknya dengan mengganggu mekanisme pengaturan tekanan darah yang
normal. Suatu klasifikasi yang berguna dari obat-obat ini membaginya dalam kategori
berdasarkan tempat pengaturan utama atau mekanisme pada tempat bekerjanya tersebut. Oleh
karena mekanisme kerjanya sama, obat-obat dalam setiap kategori cenderung untuk
menghasilkan suatu spektrum toksisitas yang mirip. Kategori-kategori tersebut meliputi:
(1). Diuretik, yang menurunkan tekanan darah dengan mendeplesi natrium tubuh dan
mengurangi volume darah serta barangkali juga dengan mekanisme-mekanisme lainnya.
(2). Obat simpatoplegik, yang menurunkan tekanan darah dengan cara mengurangi
tahanan vaskular tepi, menghambat fungsi jantung, dan meningkatkan pembendungan darah
di vena di pembuluh-pembuluh vena kapa kapasitan. (Kedua efek terakhir mengurangi curah
jantung.) Obat ini dibagi lagi menurut tempat kerjanya pada lengkung refleks simpatis
(3). Vasodilator langsung, yang mengurangi tekanan dengan cara merelaksasi otot polos
vaskular, sehingga mendilatasi pembuluh resisten dan sampai derajat yang berbeda-beda
meningkatkan juga kapasitan.
(4). Obat-obat yang menghambat produksi dan kerja angiotensin, dengan demikian
mengurangi tahanan vaskular perifer dan (secara potensial) volume darah.
1. Diuretik
Ada tiga jenis diuretik, yaitu thiazide diuretik, loop diuretik, dan pottasium-sparing
diuretik.
1. Thiazide diuretic: Menghambat reabsorpsi natrium dan klorida pada pars asendens
ansa henle tebal, yang menyebabkan diuresis ringan. Suplemen kalium mungkin
diperlukan karena efeknya yang boros kalium. Chlorotiazide (Diazil),
Chlorothalidone, Hydrochlorotiazide, Polythiazide (Reneze), Indapamide (Lozol),
Metolazone (Mykrox).
2. Loop diuretic: Lebih poten dibanding tiazid dan harus digunakan dengan hati-hati
untuk menghindari dehidrasi. Obat-obat ini dapat mengakibatkan hipokalemia,
sehingga kadar kalium harus dipantau ketat. Bumetanide (Bumex), Furosemide
(Lasix), dan Torsemide (Demadex).
3. Pottasium-sparing diuretic: Meningkatkan ekskresi natrium dan air sambil menahan
kalium. Obat-obat ini dipasarkan dalam gabungan dengan diuretic boros kalium untuk
memperkecil ketidakseimbangan kalium Amiloride (Midamor) dan Triamterene
(Dyrenium).
2. β-Bloker (beta-bloker).
Golongan Beta-blocker bekerja dengan cara memperlambat kerja jantung melalui
pengurangan kontraksi otot-otot jantung dan menurunkan tekanan darah. Secara kimiawi
komponen obat golongan Beta-blocker menghambat kerja noradrenalin dan adrenalin.
Kerja sama kedua senyawa kimia ini berguna mempersiapkan tubuh saat menghadapi
bahaya sehingga tubuh siap "lari atau lawan". Penghambatan terhadap kerja noradrenalin
dan adrenalin mengakibatkan menurunnya kontraksi otot, memperlambat kerja jantung,
dan menurunkan tekanan darah.
Beberapa contoh obat antihipertensi golongan Beta-blocker sebagai berikut.
1) Atenolol (Tenormin)
2) Betaxolol (Kerlone)
3) Bisoporol
4) Acebutolol
5) Pindolol
6) Propanolol
3. α- Bloker (Alfa-bloker).
Antagonis adrenoreseptorm α memblok reseptor adrenergic α dipembuluh darah
sehingga vasodilatasi. obat ini tidak menimbulkan toleransi pada penggunaan janka
panjang sebagai antihipertensi. Alfa bloker merupakan satu-satunya golongan
antihipertensi yang memberikan efek positif terhadap lipid darah (menurunkan kolesterol
LDL dan trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL). Alfa bloker juga dapat
menurunkan resistensi insulin (disamping penghambat ACE), memberikan sedikit efek
bronkodilatasi dan mengurangi serangan asma akibat latihan fisik, dan tidak berinteraksi
dengan AINS. Karena itu, alfa bloker dianjurkan penggunaanya pada penderita hipertensi
yang disertai diabetes, dislipidemia, obesitas, gangguan resistensi perifer, asma, dan
perokok. Merokok meningkatkan trigliserida dan menurunkan kolesterol HDL dalam
darah. Alfa bloker juga dapat dianjurkan untuk penderita muda yang aktif secara fisik,
dan mereka yang menggunakan AINS.
Golongan Alpha-blocker bekerja dengan cara menghambat kerja adrenalin pada
otot-otot dinding pembuluh darah. Adrenalin menyebabkan pembuluh darah
menyempit sehingga tekanan darah meningkat. Dengan penghambatan adrenalin
menyebabkan pembuluh darah melebar sehingga menyebabkan pembuluh darah melebar
sehingga tekanan darah menurun. Biasanya pemberian Alpha-blocker menimbulkan mulut
kering dan rasa pusing. Obat golongan ini antara lain: Dexazosin, Prazosin, dan Terazosin.
4. Antagonis kalsium
Pada otot jantung ada otot vaskuler, ion kalsium terutama berperan dalam peristiwa
kontraksi. Meningkatnya kadar ion kalsium dalam sitosol akan meningkatkan kontraksi.
Masuknya ion kalsium dalam ruang ekstrasel kedalam ruang intrasel dipacu oleh
perbedaan kadar (kadar kalsium ekstrasel 10. 000 kali lebih tinggi disbanding kadar ion
kalsium intrasel sewaktu diastole). Obat antihipertensi golongan antagonis kalsium bekerja
dengan jalan memblok kanal kalsium yang terletak pada otot polos sehingga mencegah
terjadinya vasokonstriksi.Antagonis kalsium makin banyak digunakan karena efek
sampingnya pada kardiovaskuler, bronkus, dan metabolism tubuh lebih kecil dibandingkan
dengan beta bloker. Berdasarkan efek tersebut, antagonis kalsium ini terutama digunakan
pada hipertensi, apabila diuretik dan atau beta bloker kurang efektif. Golongan obat
antihipertensi ini menurunkan darah secara efektif, dan umumnya dapat ditoleransi dengan
baik serta menekan kejadian stroke. Indikasi terutama hipertensi sistolik pada lansia.
Obat-obat ini memiliki mekanisme dengan jalan menghambat influks kalsium ke
dalam otot polos arteri dan dengan memperlebar arteriol perifer sehingga dapat
mengurangi tekanan darah. Efek samping samping penggunaan obat ini adalah sakit
kepala,muka merah terjadi karena vasodilatasi arteri meningeal dan di daerah muka.
Edem perifer terutama terjadi oleh dihidropiridin,dan yang paling sering adalah
nifedipin. Edem terjadi akibat dilatasi arteriol yang melebihi dilatasi vena, sehingga
meningkatkan tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar keruang interstisial tanpa
adanya retensi cairan dan garam. Contoh obat dari golongan ini adalah: nifedipin,
verapamil, dan diltiazem.
8. Vasodilator
Obat antihipertensi golongan ini dapat mengembangkan dinding-dinding arteriola
sehingga daya tahan pembuluh perifer berkurang dan tekanan darah menurun. Mekanisme
kerjanya langsung terhadap obat-obat licin pembuluh yang daya kontraksinya dikurangi,
tanpa hubungan dengan saraf-saraf adrenergik. Mekanisme vasodilator dalam menurunkan
tekanan darah adalah dengan merelaksasi otot polos arteriol sehingga terjadi penurunan
tahanan vaskular sistemik. Contoh obat dari golongan ini adalah:hidralazin,minoksidil,dan
diazoksid.
Daftar Pustaka
a. Gilman dan Goodman. 2008. Dasar Farmakologi Terapi volume I. Jakarta. EGC
b. Gunawan, Sulistia Gan. 2011. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta. Badan Penerbit
FKUI
c. Katzung, Bertram G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta. EGC