Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU

REFERAT
April 2017

Sindrom Ovarium Polikistik


Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)

Disusun Oleh :

Hazrati Mochtar (10 777 020)

Pembimbing : dr. John A. Kaput, Sp.OG

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT PALU
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa mahasiswa yang

bersangkutan sebagai berikut:

Nama : Hazrati Mochtar (10 777 020)

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Pendidikan Dokter

Universitas : Al-Khairaat

Judul Referat : Sindrom ovarium polikistik (PCOS)

Bagian : Ilmu Kebidanan Dan Penyakit Kandungan

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu

Obstetri dan Ginekologi RSU Anutapura Palu, Fakultas Kedokteran Universitas Al-

Khairaat.

Palu, April 2017

Mengetahui,

Pembimbing Dokter Muda

dr. John Abbas Kaput, Sp. OG Hazrati Mochtar, S.Ked

2
BAB I
PENDAHULUAN

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau juga dikenal Sindroma ovarium


polikistik (SOPK) merupakan kelainan kompleks endokrin dan metabolik yang
ditandai dengan adanya anovulasi kronik dan atau hiperandrogenisme yang
diakibatkan oleh kelainan dari fungsi ovarium dan bukan oleh sebab lain. Pertama
kali diperkenalkan oleh Stein dan Leventhal (1935) dalam bentuk penyakit ovarium
polikistik (polycyctic ovary disease/Ovarium polikistik/Stein-Leventhal Syndrome),
dimana gambaran dari sindroma ini terdiri dari polikistik ovarium bilateral dan
terdapat gejala ketidakteraturan menstruasi sampai amenorea, riwayat infertil,
hirsutisme, retardasi pertumbuhan payudara dan kegemukan. Sindroma ini dicirikan
dengan sekresi gonadotropin yang tidak sesuai, hiperandrogenemia, peningkatan
konversi perifer dari androgen menjadi estrogen, anovulasi kronik, dan ovarium yang
sklerokistik dengan demikian sindroma ini merupakan satu dari penyebab paling
umum dari infertilitas.1,2
Diagnosis dan terapi SOPK masih menjadi kontroversi. Pada pertemuan
European Society for Human Reproduction and Embryology (ESHRE) and the
American Society for Reproductive Medicine (ASRM) di Rotterdam pada tahun 2003
telah ditetapkan poin diagnostik untuk menegakkan SOPK yaitu adanya
oligomenorrhea atau anovulasi, tanda-tanda hiperandrogenisme secara klinis maupun
biokimia, polycystic ovarian morphology (sonography), setidaknya didapatkan 2 dari
3 kriteria tersebut maka seorang wanita dapat ditegakkan diagnosis SOPK.2
Oleh karena SOPK sering menunjukkan beragam manifestasi klinis maka
pemahaman gejala klinis sangat penting sehingga diagnosis dapat ditegakkan seakurat
mungkin, dengan demikian penatalaksanaan yang diberikan dapat serasional mungkin
dan bermanfaat baik secara medikamentosa ataupun operatif.1

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Ovarium
Ovarium adalah sepasang organ reproduksi wanita yang mempunyai panjang
sekitar 1,5 inchi atau 4 cm, lebar 1,5cm, dan tebal 1 cm, terletak di kiri dan di kanan,
dekat pada dinding pelvis di fossa ovarika. Ovarium melekat pada lapisan belakang
ligamentum latum dengan mesovarium. Selain mesovarium, ovarium juga
mempunyai dua perlekatan lain, ligamentum infundibulopelvikum (ligamentum
suspensorium ovarii), yang merupakan tempat melintasnya pembuluh darah,
pembuluh limfe, dan persarafan ovarium dari dinding pelvis, dan ligamentum ovarii,
yang menghubungkan ovarium dan uterus. Ovarium menerima aliran darah dari arteri
ovarii yang merupakan percabangan dari aorta. Pada aliran darah balik, vena ovarii
kanan menuju ke vena cava inferior, sedangkan vena ovarii kiri menuju ke vena renal.
Pembuluh limfe ovarium melewati aortic nodesdi level yang sama dengan pembuluh
ginjal, mengikuti peraturan umum bahwa aliran pembuluh limfe suatu organ sama
seperti aliran pembuluh vena organ tersebut. Untuk persarafan, ovarium menerima
persarafan dari aortic plexus

Gambar 2.1. Anatomi Ovarium

4
2.2. Fisiologis Siklus Menstruasi

Fungsi menstruasi normal merupakan hasil interaksi antara hipotalamus,


hipofisis, dan ovarium dengan perubahan-perubahan terkait pada jaringan sasaran
pada saluran reproduksi normal, ovarium memainkan peranan penting dalam proses
ini, karena tampaknya bertanggung jawab dalam pengaturan perubahan-perubahan
siklik maupun lama siklus menstruasi Ovarium menghasilkan hormon steroid,
terutama estrogen dan progesteron. Beberapa estrogen yang berbeda dihasilkan oleh
folikel ovarium, yang mengandung ovum yang sedang berkembang dan oleh sel-sel
yang mengelilinginya. Estrogen ovarium yang paling berpengaruh adalah estradiol.
Estrogen bertanggung jawab terhadap perkembangan dan pemeliharaan organ-
organ reproduktif wanita dan karakteristik seksual sekunder yang berkaitan dengan
wanita dewasa. Estrogen memainkan peranan penting dalam perkembangan payudara
dan dalam perubahan siklus bulanan dalam uterus.
Progesteron juga penting dalam mengatur perubahan yang terjadi dalam
uterus selama siklus menstruasi. Progesteron merupakan hormon yang paling penting
untuk menyiapkan endometrium yang merupakan membran mukosa yang melapisi
uterus untuk implantasi ovum yang telah dibuahi. Jika terjadi kehamilan sekresi
progesteron berperan penting terhadap plasenta dan untuk mempertahankan
kehamilan yang normal. Sedangkan androgen juga dihasilkan oleh ovarium, tetapi
hanya dalam jumlah kecil. Hormon androgen terlibat dalam perkembangan dini
folikel dan juga mempengaruhi libido wanita .
Menstruasi disertai ovulasi terjadi selang beberapa bulan sampai 2-3 tahun
setelah menarche yang berlangsung sekitar umur 17-18 tahun. Dengan
memperhatikan komponen yang mengatur menstruasi dapat dikemungkakan bahwa
setiap penyimpangan system akan terjadi penyimpangan pada patrum umun
menstruasi. Pada umumnya menstruasi akan berlangsung setiap 28 hari selama ±7
hari. Lama perdarahannya sekitas 3-5 hari dengan jumlah darah yang hilang sekitar

5
30-40 cc. Puncak pendarahannya hari ke-2 atau 3 hal ini dapat dilihat dari jumlah
pemakaian pembalut sekitar 2-3 buah. Diikuti fase proliferasi sekitar 6-8 hari.

Bagian-bagian siklus menstruasi, ada beberapa rangkaian dari siklus menstruasi

1) Siklus Hipofisis-Hipotalamus
Menjelang akhir siklus menstruasi yang normal, kadar estrogen dan
progesteron darah menurun. Kadar hormon ovarium yang rendah dalam darah
ini menstimulasi hipotalamus untuk mensekresi gonadotropin realising
hormone (GnRH). Sebaliknya, Gn-RH menstimulasi sekresi folikel
stimulating hormone (FSH). FSH menstimulasi perkembangan folikel de
graaf ovarium dan produksi estrogennya. Kadar estrogen mulai menurun dan
Gn-RH hipotalamus memicu hipofisis anterior untuk mengeluarkan lutenizing
hormone (LH). LH mencapai puncak pada sekitar hari ke-13 atau ke-14 dari
siklus 28 hari. Apabila tidak terjadi fertilisasi dan implantasi ovum pada masa
ini, korpus luteum menyusut, oleh karena itu kadar estrogen dan progesteron
menurun, maka terjadi menstruasi.

6
Gambar 2. Siklus menstruasi

2) Siklus Endomentrium
Terdiri dari empat fase, yaitu :
a) Fase menstruasi
Pada fase ini, endometrium terlepas dari dinding uterus dengan disertai
pendarahan dan lapisan yang masih utuh hanya stratum basale. Rata-rata
fase ini berlangsung selama 3-4 hari. Pada awal fase menstruasi kadar
estrogen, progesteron, LH (Lutenizing Hormon) menurun atau pada kadar
terendahnya selama siklus dan kadar FSH (Folikel Stimulating Hormon)
baru mulai meningkat.2,3
b) Fase proliferasi
Fase proliferasi merupakan periode pertumbuhan cepat yang berlangsung
sejak sekitar hari ke-4 sampai hari ke-14 dari siklus haid. Permukaan

7
endometrium secara lengkap kembali normal sekitar empat hari atau
menjelang perdarahan berhenti. Dalam fase ini endometrium tumbuh
menjadi setebal ± 3,5 mm atau sekitar 8-10 kali lipat dari semula, yang akan
berakhir saat ovulasi. Fase proliferasi tergantung pada stimulasi estrogen
yang berasal dari folikel ovarium.2,3
c) Fase sekresi/luteal
Fase sekresi berlangsung sesudah ovulasi dan berlangsung dari hari ke-14
sampai ke-28. Pada fase ini endometrium kira-kira tetap tebalnya, tetapi
bentuk kelenjar berubah menjadi panjang, berkeluk-keluk, dan
mengeluarkan getah yang makin lama makin nyata.dalam endometrium
telah tertimbun glikogen dan kapur yang kelak diperlukan sebagai makanan
untuk telur yang dibuahi. Memang perubahan ini adalah untuk
mempersiapkan endometrium menerima telur yang telah dibuahi.2
d) Fase iskemi/premenstrual
Implantasi atau nidasi ovum yang dibuahi terjadi sekitar 7 sampai 10 hari
setelah ovulasi. Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus
luteum yang mensekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring
penyusutan kadar estrogen dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi
spasme, sehingga suplai darah ke endometrium fungsional terhenti dan
terjadi nekrosis. Lapisan fungsional terpisah dari lapisan basal dan
perdarahan menstruasi dimulai.

3) Siklus Ovulasi
Ovulasi merupakan peningkatan kadar estrogen yang menghambat
pengeluaran FSH, kemudian hipofise mengeluarkan LH (lutenizing hormon).
Peningkatan kadar LH merangsang pelepasan oosit sekunder dari folikel.
Folikel primer primitif berisi oosit yang tidak matur (sel primordial). Sebelum
ovulasi, satu sampai 30 folikel mulai matur didalam ovarium dibawah
pengaruh FSH dan estrogen. Lonjakan LH sebelum terjadi ovulasi

8
mempengaruhi folikel yang terpilih. Di dalam folikel yang terpilih, oosit
matur dan terjadi ovulasi, folikel yang kosong memulai berformasi menjadi
korpus luteum. Korpus luteum mencapai puncak aktivitas fungsional 8 hari
setelah ovulasi, dan mensekresi baik hormon estrogen maupun progesteron.
Apabila tidak terjadi implantasi, korpus luteum berkurang dan kadar hormon
menurun. Sehingga lapisan fungsional endometrium tidak dapat bertahan dan
akhirnya luruh.

2.3. Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) /Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK)


2.3.1 Definisi PCOS
Sindroma ovarium polikistik merupakan serangkaian gejala yang
dihubungkan dengan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang berhubungan
dengan kelainan endokrin dan metabolik pada wanita tanpa adanya penyakit primer
pada kelenjar hipofise atau adrenal yang mendasari. Anovulasi kronik terjadi akibat
kelainan sekresi gonadotropin sebagai akibat dari kelainan sentral dimana terjadi
peningkatan frekuensi dan amplitudo pulsasi GnRH dengan akibat terjadi
peningkatan kadar LH serum dan peningkatan rasio LH/ FSH serta androgen.
Hiperandrogenisme secara klinis dapat ditandai dengan hirsutisme, timbulnya jerawat
(akne), alopesia akibat androgen dan naiknya konsentrasi serum androgen khususnya
testosteron dan androstenedion. Sedangkan kelainan metabolik berhubungan dengan
timbulnya keadaan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik.3

2.3.2 Prevalensi
Penelitian tentang prevalensi SOPK masih terbatas. Di Amerika Serikat
prevalensinya berkisar 4-6%. Menurut Leventhal sindroma ini terjadi 1% - 3 % dari
semua wanita steril, 3%-7% wanita yang mempunyai pengalaman ovarium polikistik
serta 15-25% wanita usia reproduksi akan mengalami siklus yang tidak berovulasi.
Sebanyak 75% dari siklus yang tidak berovulasi itu berkembang menjadi anovulasi
kronis dalam bentuk Ovarium polikistik (OPK). Telah ditemukan bahwa 80% dari

9
kelainan ovarium polikistik ini secara klinis tampil sebagai Penyakit Ovarium
Polikistik (POPK). Pada 5-10% wanita usia reproduksi, Penyakit Ovarium polikistik
ini akan bergejala lengkap sebagai Sindroma Ovarium polikistik (SOPK).1
Walaupun ovarium polikistik dapat ditemukan dalam 20% populasi wanita, hal
ini tidak harus menimbulkan gejala klinik seperti PCOS, akan tetapi dalam
perjalanannya akan menimbulkan gejala klinik bila diprovokasi oleh kenaikan berat
badan atau resisten terhadap insulin. PCOS berkaitan dengan 75% dari seluruh
kelainan anovulasi yang menyebabkan infertility, 90% dari wanita dengan
oligomenorrhoea, lebih dari 90% dengan hirsutism dan lebih dari 80% dengan acne
yang persisten.

2.3.3 Etiologi
Etiologi SOPK tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sangat
dipengaruhi oleh genetik. Bila dalam satu keluarga terdapat penderita SOPK maka
50% wanita dalam keluarga tersebut akan menderita SOPK pula.3 Pada masa ini
terdapat peningkatan penemuan tentang hipotesa etiologi dari SOPK yaitu tekanan
darah tinggi selama kehamilan yang dapat berdampak bagi ibu dan anak, salah satu
dampak bagi anak tersebut adalah timbulnya ovarium polikistik.4
Tanda awal SOPK umumnya terlihat setelah menarche. Remaja dengan
periode haid sekitar 45 hari perlu mendapatkan pemeriksaan lanjutan untuk
menyingkirkan kemungkinan SOPK. Pada beberapa penderita, gejala SOPK muncul
setelah berat badan meningkat pesat.3

2.3.4 Patofisiologi
Sindrom ovarium polikistik adalah suatu anovulasi kronik yang menyebabkan
infertilitas dan bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan hubungan umpan
balik antara pusat (hipotalamus-hipofisis) dan ovarium sehingga kadar estrogen selalu
tinggi yang mengakibatkan tidak pernah terjadikenaikan kadar FSH yang cukup
adekuat. Selain itu dijumpai pula peningkatan kadar androgen. Kelainan metabolik

10
berupa hiperinsulinemia dan resistensi insulin ikut berperan dalam timbulnya
SOPK.1,3
Pada sindrom ovarium polikistik terjadi peningkatan aktivitas sitokromp-
450c17 (enzim yang diperlukan untuk pembentukan androgen ovarium) dan terjadi
juga peningkatan kadar LH yang tinggi akibat sekresi gonadotropine releasing
hormone (GnRH) yang meningkat. Hal ini sehingga menyebabkan sekresi androgen
dari ovarium bertambah karena ovarium pada penderita sindrom ini lebih sensitif
terhadap stimulasi gonadotropin. Peningkatan produksi androgen menyebabkan
terganggunya perkembangan folikel sehingga tidak dapat memproduksi folikel yang
matang. Hal ini mengakibatkan berkurangnya estrogen yang dihasilkan oleh ovarium
dan tidak adanya lonjakan LH yang memicu terjadinya ovulasi. Selain itu adanya
resistensi insulin menyebabkan keadaan hiperinsulinemia yang mengarah pada
keadaan hiperandrogen, karena insulin merangsang sekresi androgen dan
menghambat sekresi SHBG hati sehingga androgen bebas meningkat.1,3

2.3.4 Gambaran Klinis


1) Gangguan menstruasi dan infertilitas
Penderita SOPK sering datang dengan keluhan gangguan menstruasi dapat
berupa oligomenorea, amenorea dan infertilitas. Hal ini disebabkan oleh
adanya anovulasi kronik dan hiperandrogenemia.5
2) Hirsutisme
Keadaan dengan pertumbuhan rambut yang berlebihan pada kulit ditempat
yang biasa, seperti kepala dan ekstremitas. Keadaan ini terjadi akibat
pembentukkan androgen yang berlebihan akibat kerusakan enzim 3
betahidroksisteroid dehidrogenase.2
3) Obesitas
Wanita dengan berat badan yang berlebihan, 4-5 kali lebih sering terjadi
gangguan fungsi ovarium. Wanita yang gemuk menunjukkan aktivitas
kelenjar suprarenal yang berlebihan, peningkatan produksi testosteron,

11
androstenedion serta peningkatan rasio estron/estradion 2,5. Selain itu
dikemukakan pula penurunan kadar SHBG serum. Androgen merupakan
hormon yang diperlukan oleh tubuh untuk menghasilkan estrogen. Enzim
yang diperlukan untuk mengubah androgen menjadi estrogen adalah
aromatase. Jaringan yang dimiliki kemampuan untuk mengaromatisasi
androgen menjadi estrogen adalah sel-sel granulosa dan jaringan lemak. 2,3
Perubahan androstenedion menjadi E1 terjadi terutama di jaringan
lemak, dan tingkat perubahan ini berhubungan dengan jumlah jaringan lemak.
Pengurangan berat badan pada wanita gemuk berhubungan dengan
pengurangan kadar androgen dan estrogen terutama estron serum.
Hiperestronemia dan hiperinsulinemia adalah 2 hal yang berhubungan dengan
kegemukan yang berperan dalam patogenesis ovarium polikistik. 2,3

4) Akne, seborrhoe, pembesaran klitoris , pengecilan payudara.


Keadaan ini terjadi akibat pembentukkan androgen yang berlebihan. 2

2.3.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan :
1) Data-data subjektif dan objektif :
Infertilitas, gangguan haid, perubahan suara kelaki-lakian, jerawat, hirsutisme,
hipertropi klitoris, hipertropi otot, obesitas (+/-), gambaran USG dan
gangguan hormonal.
2) Temuan penunjang :
Ultrasonografi: pemeriksaan USG transabdominal untuk pemeriksaan
ovarium polikistik mempunyai spesifitas yang tinggi, tetapi kurang sensitif
terutama pada wanita gemuk. Tetapi kelemahan ini dapat diatasi dengan cara
USG transvaginal.
Beberapa kriteria diagnositik ovarium polikistik dengan USG :

12
Tabel 3.1 : Perbandingan SOPK dari pemeriksaan USG
Jenis USG Kriteria Diagnostik

Transabdominal -Penebalan Stroma


- >10 folikel berdiameter 2-9 mm
di subkorteks dalam satu bidang
Transvaginal -Penebalan Stroma 50%
-Volume ovarium > 8cm3
- >15 folikel dengan diameter 2-10
mm dalam satu bidang

3) Pemeriksaan hormonal :
Pemeriksaan hormonal yang digunakan untuk mendiagnosis adanya penyakit
ovarium polikistik adalah kadar : progesterone, LH, testosteron,
androstenedion, nisbah LH/FSH, nisbah testosteron/SHBG, nisbah gula darah
puasa/insulin puasa.

4) Resistensi insulin
Ada beberapa cara pengukuran untuk menentukan adanya resistensi insulin,
antara lain :
a. Uji Toleransi Glukosa Oral
b. Uji toleransi insulin
c. Infus glukosa secara berkesinambungan
d. Tehnik klem euglikemik, ini merupakan baku emas untuk mengukur
sensitivitas jaringan terhadap insulin.
e. Nisbah gula darah puasa / insulin puasa.

13
Menurut kesepakatan National Institute of Health – National Institute of Child
Health and Human Development (NIH-NICHD) untuk mendiagnosa SOPK
ditetapkan. 6,7
Kriteria mayor :
- Anovulasi
- Hiperandrogenemia
- Tanda klinis hiperandrogenisme
- Penyebab lainnya dapat disingkirkan

Kriteria minor :
- Resistensi insulin
- Hirsutisme dan obesitas yang menetap
- Meningkatnya perbandingan rasio LH-FSH
- Anovulasi intermiten yang berhubungan dengan hiperandrogenemia
- Bukti secara ultrasonografi terdapat ovarium polikistik

Terdapat dua kriteria mayor untuk mendiagnosis SOPK: anovulasi dan adanya
hiperandrogenisme yang ditetapkan secara klinis dan laboratorium. Adannya dua
kelainan ini cukup untuk mendiagnosis SOPK tanpa adanya penyakit primer pada
kelenjar hipofise atau adrenal yang mendasari seperti neoplasma adrenal atau
ovarium, sindrom Cushing, hypogonadotropic atau gangguan hypergonadotropic,
hyperprolactinemia, dan penyakit tiroid. Dibutuhkan 1 kriteria mayor yaitu anovulasi
dan 2 kriteria minor yaitu rasio LH/FSH > 2,5 dan terbukti adanya ovarium polikistik
secara USG. USG dan atau laparoskopi merupakan alat utama untuk diagnosis.
Dengan USG, hampir 95 % diagnosis dapat dibuat. Terlihat gambaran seperti
rodapedati, atau folikel-folikel kecil berdiameter 7-10 mm. Baik dengan USG
maupun dengan laparoskopi, ke dua, atau salah satu ovarium pasti membesar.7

14
Diagnosis dapat ditentukan dengan menggunakan klasifikasi ESHRE/ASRM
(Rotterdam 2003), bila didapatkan dua dari tiga tanda, dibawah ini
 Oligo atau Anovulasi
 Tanda klinis atau biokimia hiperandrogenisme
 Polycistic ovarium pada pemeriksaan sonografi
Dan, kriteria menurut AES,2006. Bila, didapatkan semua tanda dibawah ini
 Hyperandrogenism (Hirsustisme dan/atau hiperandrogenemia)
 Disfungsi ovarium (oligo-anovulasi dan/atau polikistik ovarium)
 Pengecualian terhadap kelebihan androgen lainnya atau gangguan ovulasi.

Dan, kriteria menurut AES,2006. Bila, didapatkan semua tanda dibawah ini
 Hyperandrogenism (Hirsustisme dan/atau hiperandrogenemia)
 Disfungsi ovarium (oligo-anovulasi dan/atau polikistik ovarium)
 Pengecualian terhadap kelebihan androgen lainnya atau gangguan ovulasi.

Wanita SOPK menunjukkan kadar FSH, PRL, dan E normal, sedangkan LH


sedikit meninggi (nisbah LH/FSH>3). LH yang tinggi ini akan meningkatkan
sintesis T di ovarium, dan membuat stroma ovarium menebal (hipertikosis). Kadar T
yang tinggi membuat folikel atresi. LH menghambat enzim aromatase. Bila di
temukan hirsutismus, perlu diperiksa testosteron, dan umumnya kadar T tinggi.
Untuk mengetahui, apakah hirsutismus tersebut berasal dari ovarium, atau kelenjar
suprarenal, perlu di periksa DHEAS. Kadar T yang tinggi selalu berasal dari ovarium
(> 1,5 ng/ml), sedangkan kadar DHEAS yang tinggi selalu berasal dari suprarenal (>
5-7ng/ml). Indikasi pemeriksaan T maupun DHEAS dapat dilihat dari ringan
beratnya pertumbuhan rambut. Bila pertumbuhan rambut yang terlihat hanya sedikit
saja (ringan), maka kemungkinan besar penyebab tingginya androgen serum adalah
akibat gangguan pada ovarium, berupa anovulasi kronik, sedangkan bila terlihat
pertumbuhan rambut yang mencolok, maka peningkatan androgen kemugkinan besar
berasal dari kelenjar suprarenal, berupa hiperplasia, atau tumor.7

15
2.3.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding termasuk variasi yang luas dari sejumlah gangguan lain
yang berakibat pada abnormalitas pelepasan gonadotropin, anovulasi kronik, dan
ovarium yang sklerokistik. Ovarium yang sklerokistik merupakan ekspresi morfologi
yang nonspesifik dari anovulasi kronik pada pasien-pasien premenopause, dan dapat
disertai :

a. Lesi adrenal, misalnya sindroma Cushing, hiperplasia adrenal kongenital, dan


tumor-tumor adrenal virilisasi.
b. Gangguan hipotalamus-pituitari primer
c. Lesi-lesi ovarium yang memproduksi jumlah yang berlebihan dari estrogen
atau androgen, termasuk tumor-tumor sex-cord stromal, tumor-tumor sel
steroid dan beberapa lesi nonneoplastik seperti hiperplasia sel Leydig dan
hipertekosis troma.

Ovarium sklerokistik juga terjadi pada pasien-pasien dengan ooforitis


autoimun, setelah penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang, berhubungan dengan
adhesi periovarium, setelah terapi androgen jangka panjang pada wanita agar menjadi
pria transeksual dan ditemukan normal pada individu-indivudi prespubertas.(7)

2.3.7 Penatalaksanaan
Sindroma ovarium polikistik adalah sekelompok masalah gangguan kesehatan
akibat gangguan keseimbangan hormonal. Seringkali SOPK menyebabkan gangguan
pada pola haid dan menimbulkan kesulitan untuk mendapatkan kehamilan.1,8
Olahraga secara teratur, konsumsi makanan sehat, serta menghentikan
kebiasaan merokok dan mengendalikan berat badan merupakan kunci utama
pengobatan SOPK.Alternatif pengobatan lainnya adalah dengan menggunakan obat
untuk menyeimbangkan hormon.1,8

16
Tidak terdapat pengobatan definitif untuk SOPK, namun pengendalian
penyakit dapat menurunkan resiko infertilitas, abortus, diabetes, penyakit jantung dan
karsinoma uterus.1,8

A. Penatalaksanaan Awal

 Pengendalian dan penurunan berat badan


Dapat menurunkan resiko terjadinya diabetes, hipertensi dan
hiperkolesterolemia.9 Penurunan berat badan yang tidak terlalu drastis dapat
mengatasi kadar androgen dan kadar insulin serta infertiliti. Penurunan berat
badan sebesar 5 – 7% dalam waktu 6 bulan sudah dapat menurunkan kadar
androgen sedemikian rupa sehingga ovulasi dan fertilitas menjadi pulih pada
75% kasus SOPK.2,8

- Penurunan berat badan. Memperoleh berat badan yang ideal akan


memperbaiki kesehatan penderita dan dapat mengatasi masalah kesehatan
jangka panjang. Meningkatkan aktivitas dan makan makanan sehat merupakan
kunci pengendalian berat badan.
- Olah raga. Penderita diharap untuk menjadikan olah raga teratur sebagai
bagian penting dalam kehidupannya. Berjalan kaki merupakan aktivitas yang
paling baik dan sederhana yang dapat dengan mudah dikerjakan.
- Makanan sehat dan gizi seimbang yang terdiri dari kombinasi buah dan
sayuran, produk makanan kecil berkalori rendah yang dapat memuaskan nafsu
makan dan menngatasi kebiasaan makan kecil.
- Pertahankan berat badan yang sehat.
- Hentikan kebiasaan merokok

B. Terapi Medikamentosa
Pengobatan tergantung tujuan pasien. Beberapa pasien membutuhkan terapi
kontrasepsi hormonal, dimana yang lainnya membutuhkan induksi ovulasi.

17
Kebanyakan pasien dengan SOPK mencari pengobatan untuk hirsutisme dan
infertilitasnya. Hirsutisme dapat diobati dengan obat antiandrogen (Cyproterone
Acetate) yang menurunkan kadar androgen tubuh. Infertilitas pada SOPK sering
berespon terhadap klomifen sitrat.(1),(5)
1) Kontrasepsi Oral
Kontrasepsi oral kombinasi menurunkan produksi adrenal dan androgen, dan
mengurangi pertumbuhan rambut dalam 2/3 pasien hirsutisme. Terapi dengan
kontrasepsi oral memiliki beberapa manfaat, antara lain :
a) Komponen progestin menekan LH, mengakibatkan penurunan produksi
androgen ovarium
b) Estrogen meningkatkan produksi hepatik SHBG, menghasilkan penurunan
testosteron bebas.
c) Mengurangi kadar androgen sirkulasi.
d) Estrogen mengurangi konversi testosteron menjadi dehidrotestosteron pada
kulit dengan menghambat 5α-reduktase. (1)
Pasien dengan SOPK terjadi anovulasi yang kronis dimana endometriumnya
distimulasi hanya dengan estrogen. Hal ini menjadi endometrium hiperplasia dan
dapat terjadi endometrium carcinoma pada pasien SOPK dengan anovulasi yang
kronis. Banyak dari kasus seperti ini dapat dikembalikan dengan menggunakan
progesteron dosis tinggi, seperti megestrol asetat 40-60 mg/hari untuk 3-4 bulan.(5)
Ketika kontrasepsi oral digunakan untuk mengobati hirsutisme, keseimbangan
harus dipertahankan antara penurunan kadar testosteron bebas dan androgenisitas
intrinsik dari progestin. Tiga progestin senyawa yang terdapat dalam kontrasepsi oral
(norgestrel, norethindrone, dan norethindrone asetat) diyakini merupakan androgen
dominan. Kontrasepsi oral yang berisi progestin baru (desogestrel, gestodene,
norgestimate, dan drospirenone) memiliki aktivitas androgenik yang minimal.
Terdapat bukti yang terbatas bahwa terdapat perbedaan dalam hasil uji klinis yang
ditentukan oleh perbedaan-perbedaan ini secara in vitro dari potensi androgenik. (1)

18
2) Medroksiprogesteron Asetat
Penggunaan medroksiprogesteron asetat secara oral atau intramuskuler telah
berhasil digunakan untuk pengobatan hirsutisme. Secara langsung mempengaruhi
axis hipofise-hypothalamus oleh menurunnya produksi GnRH dan pelepasan
gonadotropin, sehingga mengurangi produksi testosteron dan estrogen oleh ovarium.
Meskipun penurunan SHBG, kadar androgen total dan bebas berkurang secara
signifikan. Dosis oral yang direkomendasikan adalah 20-40 mg per hari dalam dosis
terbagi atau 150 mg diberikan intramuscular setiap 6 minggu sampai 3 bulan dalam
bentuk depot. Pertumbuhan rambut berkurang sebanyak 95% pasien. Efek samping
dari pengobatan termasuk amenorea, hilangnya kepadatan mineral tulang, depresi,
retensi cairan, sakit kepala, disfungsi hepatik, dan penambahan berat badan. (1)

3) Agonis Gonadotropin releasing Hormone (Gn-RH)


Penggunaan GnRH agonis memungkinkan diferensiasi androgen adrenal yang
dihasilkan oleh ovarium. Ini ditujukan untuk menekan kadar steroid ovarium pada
pasien SOPK. Pengobatan dengan leuprolid asetat yang diberikan intramuskular
setiap 28 hari mengurangi hirsutisme dan diameter rambut pada hirsutisme idiopatik
atau pada hirsutisme sekunder pada SOPK. Tingkat androgen ovarium secara
signifikan dan selektif ditekan. GnRH agonis dapat diberikan dengan dosis tunggal, 3
mg pada hari ke 8 siklus haid, atau dengan dosis ganda setiap hari 0,25 mg mulai hari
ke 7 siklus haid. Penambahan kontrasepsi oral atau terapi penggantian estrogen untuk
pengobatan agonis GnRH dapat mencegah keropos tulang dan efek samping lainnya
dari menopause, seperti hot flushes dan atrofi genital. Supresi hirsutisme tidak
menambah potensi dengan terapi penambahan estrogen untuk pengobatan agonis
GnRH. (1)

4) Ketokonazol
Ketokonazol, agen antijamur yang disetujui oleh US Food and Drug
Administration, menghambat kunci sitokrom steroidogenik. Diberikan pada dosis

19
rendah (200 mg / hari), dapat secara signifikan mengurangi tingkat androstenedion,
testosteron, dan testosteron bebas. (1)
5) Flutamide
Flutamid merupakan antiandrogen nonsteroid yang dilaporkan tidak
mempunyai aktivitas progestasional, estrogenik, kortikoid, atau antigonadotropin.
Pada banyak studi, kadar perifer T dan T bebas tidak berubah, meskipun beberapa
dilaporkan modulasi produksi androgen. Flutamid mempunyai efikasi yang serupa
dengan spironolakton dan cyproteron. Obat ini telah digunakan untuk mengobati
kanker prostat pada laki-laki. Obat ini diguakan secara umum dalam dosis 125-250
mg dua kali sehari. Efek samping yang umum ialah kulit kering dan meningkatkan
nafsu makan.
6) Cyproterone Acetate
Cyproterone asetat adalah progestin sintetis poten yang memiliki sifat
antiandrogen kuat. Mekanisme utama cyproterone asetat ialah menginhibisi secara
kompetitif testosteron dan DHT pada tingkat reseptor androgen. Agen ini juga
menginduksi enzim hepatik dan dapat meningkatkan laju metabolisme plasma
clearance androgen. Formulasi Eropa dengan cyproterone ethinyl estradiol plasma
acetate mengurangi kadar testosteron dan androstenedion secara signifikan, menekan
gonadotropin, dan meningkatkan tingkat SHBG. Cyproterone asetat juga
menunjukkan aktivitas glukokortikoid ringan dan dapat mengurangi tingkat DHEAS.
Diberikan dalam rejimen berurutan terbalik (cyproterone asetat 100 mg / hari pada
hari ke-5 - 15, dan ethinyl estradiol 30-50 mg / hari pada siklus hari ke-5 - 26), jadwal
siklus ini membuat perdarahan menstruasi yang teratur, membuat kontrasepsi yang
sangat baik, dan efektif dalam pengobatan hirsutisme dan bahkan jerawat yang parah.
Efek samping cyproterone asetat ialah kelelahan, meningkatnya berat badan,
penurunan libido, perdarahan tak teratur, mual, dan sakit kepala. Gejala ini terjadi
lebih jarang ketika ethinyl estradiol ditambahkan. (1)

20
7) Spironolactone
Spironolacton merupakan diuretik hemat kalium yang menginhibisi
pertumbuhan rambut dengan menghambat aktivitas 5α-reduktase dan mengikat secara
kompetitif terhadap reseptor intraseluler dari DHT. Dosis pemberian spironolakton
adalah 2x50 mg/hari.Dosis yang lebih besar mengganggu aktivitas sitokrom P-450,
yang mengurangi jumlah total androgen sintesis dan sekresi. Efek samping
spironolakton ialah menstruasi yang ireguler, mual dan lemah dengan dosis yang
lebih tinggi. Disebabkan spironolakton merupakan diuretik hemat kalium, wanita
dengan hiperkalemia harus diobservasi dengan hati-hati atau sebaiknya diberikan
alternatif obat lainnya.(3)
8) Insulin Sensitizers
Karena hiperinsulinemia memainkan peran dalam SOPK terkait anovulasi,
pengobatan dengan insulin sensitizers dapat menggeser keseimbangan endokrin
terhadap ovulasi dan kehamilan, baik penggunaan sendiri atau dalam kombinasi
dengan modalitas pengobatan lain. (1)

Metformin direkomendasikan didalam International Guidelines sebagai terapi


utama untukdiabetes mellitus tipe 2 karena mempunyai profil yang baik dalam
pengontrolan metabolism glukosa. Akan tetapi sampai saat ini belum ditemukan
regimen dosis yang tetap sehinggadianjurkan untuk disesuaikan secara individu
dengan dasar efektifitas dan toleransi dan tidakmelebihi dosis maksimal yang
direkomendasikan yaitu 2250 mg untuk dewasa dan 2000 mguntuk anak-anak dalam
sehari.Untuk meminimalisir efek samping, terapi metformin dimulai pada dosis yang
rendah yang diminum saat makan, dan dosis ini ditingkatkan secara progresif. Pasien-
pasien diberi metformin 500 mg sekali/hari diminum saat makan besar, biasanya
makan malam selama 1 minggu kemudian ditingkatkan menjadi 2kali/sehari, bersama
sarapan dan makan malam, selama 1 minggu kemudian dosis dinaikkan 500 mg saat
sarapan dan 1000 mg saat makan malam selama 1 minggu dan akhirnya dosis
ditingkatkan menjadi 1000 mg 2kali/hari saat sarapan dan makan malam. Tidak

21
terdapat penelitian mengenai kisaran dosis metformin pada sindrom ovarium
polikistik, tapi penelitian kisaran dosis pada pasien diabetes menggunakan
kadarhemoglobin glikase sebagai pengukur outcome, menunjukkan bahwa dosis 2000
mg per hari sudah optimal.(1)
Dosis dan jangka waktu yang optimal untuk pemberian metformin pada
penderita SOPKdengan insulin resisten sampai sekarang belum ditemukan suatu
konsensus. Beberapa penelitimemberi pengobatan 4 sampai 8 minggu dengan dosis
500 mg tiga kali sehari sebagaipengobatan awal sebelum diberikan clomiphene
citrate, tetapi banyak pasien yang merasa tidak nyamandan sering menemukan efek
samping dengan pemberian 4 sampai 8 minggu tersebut,sehingga banyak yang tidak
melanjutkan pengobatan. Untuk mempersingkat waktu danmeningkatkan kepatuhan
dalam pengobatan, banyak peneliti mencoba pemberian metforminyang lebih
singkat.Hwu dkk memberikan metformin dengan dosis 500 mg tiga kali sehariuntuk
12 hari sebelum dimulai pengobatan dengan clomiphene citrate.Pada penelitian
tersebut ovulasiditemukan pada 42.5% dibandingkan hanya 12.5% pada kelompok
kontrol. Khorram dkkmemberikan metformin 500 mg tiga kali sehari dimulai dari
hari pertama withdrawalbleeding (setelah pemberian medroxy-progesterone acetate
10 mg perhari selama 10 hari) danpemberian clomiphene citrate pada hari ke lima
sampai hari ke sembilan. Pada penelitian tersebut ditemukan44% dan 31%
dibandingkan hanya 6.7% dan 0% pada kelompok kontrol yang ovulasi
dankeberhasilan untuk hamil.

9) Clomiphene citrate
Clomiphene citrate merupakan estrogen lemah sintetis yang meniru aktivitas
antagonis estrogen bila diberikan pada dosis farmakologi khas untuk induksi ovulasi.
Fungsi hipofise-hipotalamus-ovarium axis diperlukan untuk kerja klomifen sitrat
yang tepat. Lebih khusus lagi, clomiphene sitrat diperkirakan dapat mengikat dan
memblokir reseptor estrogen di hipotalamus untuk periode yang lama, sehingga
mengurangi umpan balik estrogen normal hipotalamus-ovarium. Blokade ini

22
meningkatkan jumlah GnRH di beberapa wanita yang anovulatoir. Peningkatan kadar
GnRH menyebabkan peningkatan sekresi hipofise gonadotropin, yang memperbaiki
perkembangan folikel ovarium. Clomiphene citrate juga dapat mempengaruhi ovulasi
melalui tindakan langsung pada hipofisis atau ovarium. Sayangnya, efek antiestrogen
clomiphene sitrat pada tingkat endometrium atau serviks memiliki efek yang
merugikan pada kesuburan pada sebagian kecil individu. (1)
Obat ini adalah suatu antagonis estrogen yang bekerja dengan mengadakan
penghambatan bersaing dengan estrogen terhadap hipotalamus sehingga efek umpan
balik estrogen ditiadakan. Dengan demikian hipotalamus akan melepaskan LH-FSH-
RH yang selanjutnya akan rnenyebabkan hipofisis anterior meningkatkan sekresi
FSH dan LH. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel
serta ovulasi.
Dosis diberikan 50 mg satu kali pemberian perhari dengan dosis maksimal
perhari dapat ditingkatkan menjadi 200 mg. Penggunaan clomiphene sitrat untuk
induksi ovulasi memiliki hasil yang sangat baik. Bahkan, pada beberapa populasi,
80% hingga 85% wanita akan berovulasi dan 40% akan hamil. (1)

3.8.3. Terapi Pembedahan


Terapi pembedahan kadang-kadang dilakukan pada kasus infertilitas akibat
SOPK yang tidak segera mengalami ovulasi setelah pemberian terapi medikamentosa.
Melalui pembedahan, fungsi ovarium di pulihkan dengan mengangkat sejumlah kista
kecil.2

Alternatif tindakan :

 “Wedge Resection” , mengangkat sebagian ovarium. Tindakan ini dilakukan


untuk membantu agar siklus haid menjadi teratur dan ovulasi berlangsung
secara normal. Tindakan ini sudah jarang dikerjakan oleh karena memiliki
potensi merusak ovarium dan menimbulkan jaringan parut. 2

23
 “Laparoscopic ovarian drilling” , merupakan tindakan pembedahan untuk
memicu terjadinya ovulasi pada penderita SOPK yang tidak segera mengalami
ovulasi setelah menurunkan berat badan dan memperoleh obat-obat pemicu
ovulasi. Pada tindakan ini dilakukan eletrokauter atau laser untuk merusak
sebagian ovarium. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa dengan
tindakan ini dilaporkan angka ovulasi sebesar 80% dan angka kehamilan
sebesar 50%.11 Wanita yang lebih muda dan dengan BMI dalam batas normal
akan lebih memperoleh manfaat melalui tindakan ini. 2

24
KESIMPULAN

 Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan kompleks endokrin dan


metabolik yang ditandai dengan adanya anovulasi kronik dan atau
hiperandrogenisme yang diakibatkan oleh kelainan dari fungsi ovarium dan bukan
oleh sebab lain.
 Prevalensi terjadinya SOPK sekitar 1% - 3 % dari semua wanita steril, 3%-7% dari
wanita yang mempunyai pengalaman ovarium polikistik
 Etiologi SOPK tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sangat
dipengaruhi oleh genetik.
 SOPK menyebabkan infertilitas dan bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi
gangguanhubungan umpan balik antara pusat (hipotalamus-hipofisis) dan ovarium
sehingga kadar estrogenselalu tinggi yang mengakibatkan tidak pernah
terjadikenaikan kadar FSH yang cukup adekuat.
 Gambaran klinis berupa : Gangguan menstruasi dan infertilitas, hirsutisme,
obesitas, akne, seborrhoe, pembesaran klitoris , dan pengecilan payudara.
 Penatalaksanaan awal berupa pengendalian dan penurunan berat badan
 Terapi medikamentosa dengan pemberian kontrasepsi oral, medroksiprogesteron
asetat,agonis gonadotropin releasing hormone (gn-rh), ketokonazol, flutamide,
cyproterone acetate, spironolactone, insulin sensitizers, dan clomiphene citrate
 Terapi pembedahan dengan “Wedge Resection” dan “Laparoscopic ovarian
drilling”

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Maharani, L. Wratsangka R. 2002. Sindrom Ovarium Polikistik: Permasalahan


Dan Penatalaksanaannya. (diunduh tanggal 29 Juni 2015). Dari URL :
http://www.univmed.org/wp-content/ uploads/2011/02/Dr._Laksmi.pdf
2. Hadibroto, B.R. 2005. Sindroma Ovarium Polikistik. (diunduh tanggal 29 Juni
2015). Dari URL : http://repository.usu.ac.id/bitstream
/123456789/15588/1/mkn-des2005-%20%2811%29.pdf
3. Duarsa, M.A. 2004. Pendekatan Medisinalis Dan Bedah Pada Penanganan Sopk.
(diunduh tanggal 29 Juni 2015). Dari URL : http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-
sciences/pendekatan-medisinalis-dan-bedah-pada-penanganan-sopk/mrdetail/914/
4. Ramli R. 2010. Dampak Preeklampsia. (diunduh tanggal 29Juni 2015). Dari URL
: http://www.ibubayi.com/topik/dampak-preeklampsia.html
5. Melissa Conrad Stöppler. William C. Shiel Jr. 2010. Polycystic Ovarian
Syndrome. (diunduh tanggal 29 Juni 2015). Dari URL :
http://www.medicinenet.com/polycystic_ovary/article.htm
6. Hestiantoro, A. 2009. Sindroma ovarium polikistik, penyebab gangguan haid.
(diunduh tanggal 29 Juni 2015). Dari URL :
http://botefilia.com/index.php/archives/2009/04/10/sindroma-ovarium-polikistik-
penyebab-gangguan-haid/
7. Anonym. 2010. Ovarium polikistik Sindrom - Penyebab, Gejala dan Metode
Pengobatan. (Diunduh tanggal 29 Juni 2015). Dari URL :
http://id.hicow.com/polikistik-ovarium-sindrom/kehamilan/hormon-772734.html
8. Murfida, L. 2001. terapi metformin pada sindrom ovarium polikistik. (diunduh
tanggal 29 Juni 2015). Dari URL : http://digilib.unsri.ac.id/download/Terapi
%20Metformin%20pada%20SOPK.pdf

26
27

Anda mungkin juga menyukai