Anda di halaman 1dari 15

ASMA EKSASERBASI AKUT : PATOFISIOLOGI, TERAPI DAN PENCEGAHAN

Sang Ketut Widiana


Ari Baskoro

Pendahuluan
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Kemajuan ilmu dan
teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan
asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan
ke unit gawat darurat, rawat inap, angka kesakitan dan bahkan kematian karena asma.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu
tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia yang menyatakan bahwa asma ada di peringkat kelima daftar penyakit yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Angka prevalensi asma di seluruh Indonesia
sebesar 13/ 1000. Dari survei didapatkan bahwa 77 dari 90 kasus asma eksaserbasi akut,
angka kematian bisa dicegah dengan penanganan yang adekuat (PDPI 2018).

Definisi
Menurut konsensus asma oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), asma
adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak komponen
berupa mediator inflamasi. Inflamasi kronik menyebabkan hiperesponsifitas jalan napas
yang menimbulkan gejala episodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan (PDPI 2018). Eksaserbasi asma adalah suatu episode yang ditandai
peningkatan gejala secara progresif dari sesak nafas, batuk, mengi (wheezing), rasa berat
di dada dan penurunun yang progresif dari fungsi paru. Eksaserbasi biasanya terjadi
sebagai respon terhadap agen eksternal (infeksi saluran napas seperti virus, serbuk sari,
maupun polusi) dan terkait rendahnya tingkat kepatuhan terhadap obat-obatan. (PDPI
2018, GINA 2018).

Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Inflamasi dapat
ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma yang
dicetuskan oleh suatu aktifitas (exercise induced asthma) dan asma yang dicetuskan
aspirin (GINA, 2018). Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor

Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas


Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya
antara lain alergen, virus, bakteri atipikal, dan iritan yang secara sinergis dapat
menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan reaksi
asma tipe lambat berupa sumbatan jalan nafas, peningkatan produksi mukus dan
hiperreaktivitas. (Jamee R., Stephen P, 2017)
Tipe cepat ditandai dengan alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel
mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan platelet activating factor (PAF) yang menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi fase lambat timbul antara 6-9
jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerakan serta aktivasi eosinofil, sel T
CD4+, neutrofil dan makrofag. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik.
Sel tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot
polos bronkus. (Fanta CH. Drug Therapy : Asthma 2013)

Infeksi Virus
Hampir 80% dari asma eksaserbasi sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas
terkait virus. Infeksi rhinovirus (RV) subtipe A & C sebagai penyebab utama sekitar 2/3
kasus. Selain itu bisa juga H1N1, Respiratory syncytial virus, coronavirus (Jamee R.,
Stephen P, 2017). RVs adalah virus RNA rantai tunggal bagian dari picornavirus dan
ditularkan melalui kontak langsung dan melalui rute pernapasan dengan inokulasi dan
replikasi yang terjadi di epitel saluran napas bagian atas. Seorang penderita asma sangat
rentan terhadap rhinovirus oleh karena adanya gangguan produksi interferon. Interferon
merupakan protein yang berperan penting pada respon innate terhadap infeksi. Beberapa
interferon yang berperan dalam kejadian asma antara lain, interferon β dimana
produksinya turun sehingga mengakibatkan sel yang terinfeksi tidak mampu mengalami
apoptosis dan bahkan memicu terjadinya replikasi virus yang berlebih. Penurunan
Interferon α juga mengakibatkan perubahan respon terhadap PBMC (Peripheral Blood
Mononuclear Cells), sedangkan penurunan interferon tipe III atau IFN λ berespon
terhadap perubahan epitelial bronkus dan makrofag alveolus dimana terjadi penyempitan
saluran pernapasan. Mekanisme rhinovirus menimbulkan eksaserbasi belum diketahui
secara jelas, tapi didapatkan karakteristik yang jelas dengan ditandai inflamasi dari
neutrofil (Jamee R., Stephen P, 2017). Infeksi akan menyebabkan inflamasi, peningkatan
level neutrofil, eosinophil, CD4, CD8 dan mast sel melalui peningkatan ekspresi mRNA
dan translasi dari IL-6, IL-8, IL-16, eksotoksin, IFN λ (Inducible protein (IP)-10,
Regulated upon Activation, Normal T-cell Expressed, and Secreted (RANTES) dan
sitokin proinflamasi lainnya). Contohnya, IL-16 merupakan kemoatraktan limfosit yang
kuat yang mengaktivasi eosinofil dan limfosit. RANTES juga kemoatraktan eosinofil dan
limfosit kuat yang mana nantinya pengaktifan dari semua sitokin proinflamasi diatas akan

2
menimbulkan hiperresponsifitas, inflamasi dan sekresi mukus. Infeksi rhinovirus dapat
memicu pelepasan Inducible protein (IP)-10, dimana semakin tinggi kadar serum IP-10
berkorelasi dengan penurunan respon bronkodilator terhadap β agonis. Dalam penelitian
terbaru yang membandingkan respon inflamasi jalan nafas pada pasien dengan asma oleh
karena infeksi virus akut dan pada subjek non-asma dengan infeksi RV. Jumlah neutrofil
absolut dari dahak yang diinduksi dua kali lipat lebih tinggi pada subjek dengan asma akut
dengan infeksi virus (317.5 × 104 / ml) dibandingkan pada subyek non-asma dengan
infeksi virus (165 × 104 / ml).( Pola-Bibian, B. et al,2017)

Infeksi Bakteri
Peran dari infeksi bakteri kurang begitu jelas dibandingkan dengan infeksi virus.
Beberapa laporan terbaru menyebutkan orang dengan riwayat asma akan meningkatkan
risiko terhadap infeksi bakteri dimana semakin tingginya kemungkinan terdeteksi
Chlamydhopila Pneumonia pada kasus asma yang stabil. Beberapa studi menjabarkan
peran dari bakteri atipikal Chlamydhopila Pneumonia pada asma eksaserbasi akut yang
dipicu oleh virus. Laporan pertama menjelaskan bahwa pasien asma eksaserbasi pada
anak-anak didapatkan bukti yang kuat berupa kadar IgA Chlamydhopila Pneumonia yang
tinggi pada cairan hidung (Fergeson, et al, 2017). Laporan kedua menyebutkan 38% orang
dewasa yang yang berobat ke ruang unit gawat darurat rumah sakit terkait asma
eksaserbasi memiliki bukti serologis reaktivasi dari Chlamydhopila Pneumonia. Ini sangat
penting untuk diperhatikan mengingat tingginya angka kejadian infeksi Chlamydhopila
Pneumonia pada pasien dengan infeksi virus (85% & 76%). Chlamydhopila Pneumonia
akut berperan dalam menginduksi sekresi sitokin, termasuk TNF-α, IL-1B, dan IL-6, dari
peripheral blood mononuclear cell (PBMCs) dan makrofag alveolar yang nantinya
menyebabkan jalan nafas hiperresponsif dan inflamasi jalan nafas.(Pola-Bibian, et al,
2017)

Pencemaran Udara
Polusi udara adalah pemicu penting dari asma akut dan seperti infeksi saluran
pernapasan oleh karena virus. Ada bukti epidemiologis yang mengaitkan dengan asma
akut. Kualitas udara yang buruk merupakan campuran dari partikel, senyawa karbon,
senyawa organik yang mudah menguap, logam, dan kadar endotoksin yang semuanya
dapat menyebabkan peradangan saluran napas dan gejala pernapasan akut. Paparan
terhadap peningkatan level ozon lingkungan merupakan pemicu penting dari eksaserbasi
akut dengan asma pada anak usia sekolah di mana paparan ozon inhalasi menyebabkan
penurunan Forced Expiratory Volume in one second (FEV1) dan peningkatan neutrofilia
dahak. Paparan terhadap partikel pembuangan diesel dapat menghasilkan efek inflamasi
yang luas seperti peningkatan produksi IgE dari sel B, peningkatan pelepasan IL-8 dan

3
Granulocyte Macrophage Colony-stimulating factor (GM-CSF) dari sel epitel, dan
peningkatan IL-8, RANTES dan TNF-α dari PBMCs. Sesuai dengan temuan
eksperimental ini, baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa anak-anak yang dirawat di
rumah sakit dengan asma akut lebih mungkin berada di daerah dengan tingkat lalu lintas
yang tinggi.(Wark, 2016)

Merokok
Lebih dari 30% orang dewasa dengan asma adalah perokok dan merokok tidak jarang
di antara pasien yang berkunjung ke unit gawat darurat dengan asma akut. Institut
kedokteran menyimpulkan bahwa ada bukti yang cukup tentang hubungan sebab akibat
antara paparan asap rokok dan eksaserbasi asma. Menurut Guyton dan Hall, mengatakan
secara luas bahwa merokok dapat mengurangi “napas”. Pernyataan ini benar karena
terdapat banyak alasan. Pertama, salah satu dampak nikotin adalah menyebabkan
konstriksi bronkiolus terminal dari paru, yang meningkatkan resistensi aliran udara ke
dalam dan keluar paru-paru. Kedua, efek iritasi asap rokok itu sendiri menyebabkan
peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang bronkus, juga membengkaknya lapisan epitel.
Ketiga, nikotin melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel pernapasan yang normalnya
terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan dan partikel asing dari saluran
pernapasan (dikutip dari Oemiati, et al, 2011). Akibatnya, lebih banyak debris
terakumulasi di jalan napas dan menambah kesukaran bernapas. Menurut laporan Nadyah,
disebutkan juga bahwa setiap hisapan rokok akan merusak ribuan silia pada saluran napas.
Jumlah silia yang rusak berbanding lurus dengan jumlah paparan asap rokok pada tiap
hisapan. Partikulat dalam asap rokok mengendap dalam lapisan mukus yang melapisi
mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi
mukosa berkurang. Sehingga, iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih
merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia yang
menimbulkan gejala batuk kronik dan ekspektorasi. Produk mukus yang berlebihan
memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat proses penyembuhan. Keadaan ini
merupakan suatu siklus akibat terjadinya hipersekesi. Bila iritasi dan oksidasi di saluran
napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Selain
itu, terjadi pula metaplasia dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis
dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel. Asap rokok juga merangsang
pelepasan radikal bebas yang dapat menimbulkan jejas seluler. Jejas ini merangsang
pelepasan mediator-mediator sehingga terjadi hipersekresi mukus, perusakan epitel yang
bersifat irreversibel dan menimbulkan edema saluran napas. (Oemiati, et al,. 2011)
Berdasarkan penjelasan diatas tentang hubungan merokok dengan kejadian asma
bronkial, jelaslah bahwa merokok sangat berperan sebagai salah satu penyebab terjadinya
asma bronkial. Karena, kandungan rokok terutama nikotin, tar dan karbon monoksida

4
dapat berefek pada saluran pernapasan. Hal tersebut dapat mengaktifkan beberapa
mediator kimia seperti histamin, bradikinin yang akan mempengaruhi otot polos dan
kelenjar jalan napas dan menyebabkan bronkospasme dan pembentukan mukus yang
banyak.(dikutip dari Oemiati, et al,. 2011)

Paparan alergen dan ditempat kerja


Infiltrasi eosinofilik pada saluran nafas bersama dengan limfosit yang
mengekspresikan fenotip Th2, mensekresi peningkatan kadar IL-4 dan IL-13, telah
menandai apa yang sekarang dianggap sebagai komponen inflamasi asma yang diinduksi
alergen. Pertama kali dijelaskan pada tahun 1952, individu yang peka ketika terpapar
alergen akan berkembang dengan respon dini dengan penurunan fungsi paru yang
sebagian besar dimediasi oleh pelepasan histamin sebelumnya, tetapi dalam sebagian
besar penderita asma, diikuti oleh respon yang lambat yang ditandai lagi oleh penurunan
FEV1 bersamaan dengan infiltrasi jalan napas oleh eosinofil dan limfosit. Paparan di
tempat kerja juga dapat menyebabkan sensitisasi, iritasi saluran napas, atau keduanya.
Paparan ini sering memperburuk gejala asma dan pajanan masif dapat mengakibatkan
eksaserbasi yang parah. Alergen di tempat kerja adalah penyebab eksaserbasi yang relatif
jarang terjadi tetapi penting untuk diketahui. Mekanisme seluler yang mendukung
eksaserbasi asma akibat paparan pekerjaan membutuhkan penelitian lebih lanjut (Wark,
2016).

Interaksi antara pemicu


Penderita asma sering terpapar lebih dari satu pemicu dan ini tampaknya berinteraksi
dalam eksaserbasi asma. Dalam studi eksperimental, respon terhadap alergen ditingkatkan
oleh paparan terhadap pemicu lain seperti polusi udara atau merokok. Efek serupa telah
terlihat dengan infeksi virus. Green and co worker telah melaporkan bahwa risiko masuk
ke rumah sakit dengan asma akut pada orang dewasa sangat meningkat dengan adanya
kombinasi antara paparan terhadap alergen dan adanya infeksi virus. Murray et al juga
telah memperluas hasil ini untuk menunjukkan bahwa, pada anak-anak, infeksi virus dan
paparan alergen rumah tangga berinteraksi untuk meningkatkan risiko rawat inap sebesar
19 kali lipat. Hasil ini menunjukkan bahwa ada sinergisme antara sensitisasi alergi,
paparan terhadap allergen dan infeksi virus. Mekanisme efek sinergis masih harus
ditegakkan, tetapi hampir semua studi mengarahkan pada aktivasi beberapa jalur
inflamasi yang mengarah pada eksaserbasi asma. (Wark, 2016).

5
Gambar 1. Penyebab Asma Eksaserbasi. Infeksi virus merupakan penyebab
tersering dari asma eksaserbasi dan bersinergi juga dengan sensitisasi oleh alergen
dan infeksi dari bakteri atipikal (Jamee R., Stephen P, 2017)

Klasifikasi Asma Eksaserbasi Akut


Ringan – Sedang Berat Mengancam Jiwa
Berbicara Frasa Kata per kata Penurunan
Posisi Duduk Duduk
kesadaran, silent
Membungkuk
chest, pernapasan
Kesadaran Tidak Agitasi Agitasi
Frekuensi Meningkat < >30x/menit paradoksal
Napas 30x/menit
Otot Bantu Tidak Ada Ada
Napas
Frekuensi 100-120 kali/menit >120x/menit
Nadi
Saturasi <90-95% <90%
Arus Puncak >50% nilai prediksi <50% nilai prediksi
Ekspirasi
(APE)
Tabel 1. Derajat Eksaserbasi (PDPI 2018)

Penatalaksanaan
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat fatal atau
mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan asma sehari-hari
yang kurang tepat, dengan kata lain penanganan asma ditekankan kepada penanganan
jangka panjang, dengan tetap memperhatikan serangan asma akut atau perburukan gejala
dengan memberikan pengobatan yang tepat. Penilaian berat serangan merupakan kunci
pertama dalam penanganan serangan akut. Langkah berikutnya adalah memberikan

6
pengobatan tepat, selanjutnya menilai respon pengobatan dan berikutnya memahami
tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada penderita (pulang, observasi, rawat inap,
intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan lain -lain) (PDPI 2018, GINA, 2018).
Penanganan serangan yang tidak tepat antara lain penilaian berat serangan di unit
gawat darurat yang tidak tepat dan berakibat pada pengobatan yang tidak adekuat,
memulangkan penderita terlalu dini dari unit gawat darurat, pemberian pengobatan (saat
pulang) yang tidak tepat, penilaian respons pengobatan yang kurang tepat menyebabkan
tindakan selanjutnya menjadi tidak tepat. Kondisi penanganan tersebut di atas
menyebabkan perburukan asma yang menetap, menyebabkan serangan berulang dan
semakin berat sehingga berisiko jatuh dalam keadaan asma akut berat bahkan fatal (PDPI
2018, GINA, 2018).
Penderita asma mutlak untuk memahami bagaimana mengatasi saat terjadi serangan,
apakah cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang sehari-hari digunakan, ataukah ada
obat tambahan atau bahkan harus pergi ke rumah sakit. Kondisi di Indonesia dengan
fasilitas layanan medis yang sangat bervariasi mulai dari puskesmas sampai rumah sakit,
akan mempengaruhi bagaimana penatalakasanaan asma saat serangan akut terjadi sesuai
fasilitas dan kemampuan dokter yang ada. Serangan yang ringan sampai sedang, relatif
dapat ditangani di fasilitas layanan medis sederhana, bahkan serangan ringan dapat diatasi
di rumah. Akan tetapi serangan sedang sampai berat sebaiknya dilakukan di rumah sakit
(PDPI 2008).

7
Tabel 2. Pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat
pengobatan (PDPI 2018).

Pada serangan ringan obat yang diberikan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi
dapat berbentuk inhalasi dosis terukur (IDT), lebih dianjurkan dengan menggunakan
spacer (sebuah rongga penyimpan berkatup dirancang sebagai aksesori yang
digunakan bersama inhaler), dry powder inhalation (DPI) atau nebulisasi. IDT dengan
spacer menghasilkan efek yang sama dengan nebulisasi, mempunyai onset yang lebih
cepat, efek samping lebih minimal dan membutuhkan waktu yang lebih cepat,
sehingga lebih mudah dikerjakan di rumah maupun di unit gawat darurat/rumah sakit.
Walaupun pada beberapa keadaan pemberian nebulisasi lebih optimal misal pada
penderita asma anak. Bila di rumah tidak tersedia obat inhalasi, dapat diberikan agonis
beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral agonis kerja singkat dan teofilin. Dosis
agonis beta-2 kerja singkat, inhalasi 2-4 semprot setiap 3-4 jam, atau oral setiap 6-8
jam. Terapi tambahan tidak dibutuhkan jika pengobatan tersebut di atas menghasilkan
respon komplet (arus puncak ekpirasi (APE) > 80% nilai terbaik/ prediksi) dan respon
tersebut bertahan minimal sampai 3-4 jam. Lanjutkan terapi tersebut selama 24-48
jam. Pada penderita dalam inhalasi steroid, selain terapi agonis beta-2, tingkatkan
dosis steroid inhalasi, maksimal sampai dengan 2 kali lipat dosis sebelumnya.
Anjurkan penderita untuk mengunjungi dokter. Bila memberikan respon komplit,
pertahankan terapi tersebut sampai dengan 5-7 hari bebas serangan, kemudian kembali
kepada terapi sebelumnya. Pada serangan asma sedang -berat, bronkodilator saja tidak
cukup untuk mengatasi serangan karena tidak hanya terjadi bronkospasme tetapi juga
peningkatan inflamasi jalan napas, oleh karena itu mutlak dibutuhkan kortikosteroid.
Dengan kata lain pada keadaan tidak ada respon dengan agonis beta-2 kerja singkat
inhalasi, atau bahkan perburukan, dapat dianjurkan menggunakan kortikosteroid oral
0,5-1 mg/kgBB dalam 24 jam pertama, dan segera ke dokter (PDPI 2018).

8
Algoritme Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi Akut di Rumah (PDPI 2018)

Oksigen
Pada serangan asma, segera berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen >
90% dan dipantau dengan oksimetri (PDPI 2018).

Agonis beta-2
Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT dan spacer yang
menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara nebulisasi, onset yang cepat,
efek samping lebih sedikit dan membutuhkan waktu lebih singkat dan mudah di UGD.
Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat
inhalasi meningkatkan respon bronkodilatasi dan sebaiknya diberikan sebelum pemberian
aminofilin. Kombinasi tersebut menurunkan risiko perawatan di rumah sakit dan
perbaikan faal paru (APE dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Alternatif
pemberian adalah pemberian injeksi (subkutan atau intravena). Pada pemberian intravena
harus dilakukan pemantauan ketat (bedside monitoring). Alternatif agonis beta-2 kerja
singkat injeksi adalah epinefrin (adrenalin) subkutan atau intramuskular. Bila dibutuhkan
dapat ditambahkan bronkodilator aminofilin intravena dengan dosis 5-6 mg/ kg BB/ bolus
yang diberikan dengan dilarutkan dalam larutan NaCL fisiologis 0,9% dengan
perbandingan 1:1. Pada penderita yang sedang menggunakan aminofilin 6 jam
sebelumnya, maka dosis diturunkan setengahnya dan untuk mempertahankan kadar

9
aminofilin dalam darah, pemberian dilanjutkan secara drip dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam
(PDPI 2018, Fanta CH. Drug Therapy 2013).

Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat perbaikan pada serangan asma
derajat manapun kecuali serangan ringan, terutama jika :
 Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidak
memberikan respons
 Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan
 Serangan asma berat
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena, pemberian oral lebih
disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada penderita yang tidak dapat diberikan
oral karena gangguan absorpsi gastrointestinal atau lainnya maka dianjurkan pemberian
intravena.Kortikosteroid sistemik membutuhkan paling tidak 4 jam untuk tercapai
perbaikan klinis. Penelitian menunjukkan Kortikosteroid sistemik metilprednisolon 60-80
mg atau 300-400 mg hidrokortison atau ekivalennya adalah adekuat untuk penderita
dalam perawatan. Bahkan 40 mg metilprednisolon atau 200 mg hidrokortison sudah
adekuat. Kortikosteroid oral (prednison) dapat dilanjutkan sampai 10-14 hari. Pengamatan
menunjukkan tidak bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu terlalu singkat ataupun
terlalu lama sampai beberapa minggu (PDPI 2008, Fanta CH. Drug Therapy 2013,
O’Byrne, P. M. 2011).

Antibiotik
Tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri (pneumonia,
bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan demam. Infeksi
bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif, dan bakteri
atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif dan bahkan anaerob
seperti sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi kronik (Stenson, E. K 2017).
Antibiotik sesuai bakteri penyebab atau pengobatan empiris yang tepat untuk gram
positif dan atipik yaitu makrolid, golongan kuinolon dan alternatifnya yaitu
amoksisilin/amoksisilin dengan asam klavulanat (PDPI 2018, Branconnier, M.et all 2016).
Algoritme Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi Akut di Rumah Sakit (PDPI 2018)

10
Tabel 3. Sediaan beberapa obat saat eksaserbasi. (PDPI 2018, Fanta CH. Drug Therapy
2013).

Algoritme Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi Akut di Rumah Sakit (PDPI 2018)

11
Pencegahan
Vaksinasi

12
Infeksi saluran pernapasan oleh karena virus tetap menjadi penyebab utama
eksaserbasi asma dan pencegahan infeksi dengan vaksinasi merupakan strategi yang
efektif untuk mencegah eksaserbasi. Tidak ada vaksin yang efektif untuk infeksi
rhinovirus yang merupakan penyebab paling umum dari eksaserbasi asma, karena
keragaman antigenik dan serotipe multipelnya. Oleh karena itu program vaksinasi
terkonsentrasi terutama pada virus influenza.
Infeksi influenza telah dikaitkan dengan eksaserbasi asma dalam banyak penelitian,
dan vaksinasi influenza pada pasien asma sangat dianjurkan. Vaksinasi terhadap pandemi
influenza H1N1 secara khusus direkomendasikan pada pasien asma. Aman, efektif dalam
menginduksi seroproteksi dan dapat dikombinasikan dengan vaksinasi influenza musiman.
Asma adalah komorbiditas yang paling umum diidentifikasi terkait dengan peningkatan
keparahan penyakit dalam pandemi H1N1 baru-baru ini dan kini ditekankan pentingnya
peran vaksinasi (Watanabe, S., Hoshiyama, Y et all 2015). Beberapa jurnal (Cates CJ, et.al
2013, Seo YB, et.al 2014) juga menyimpulkan bahwa vaksinasi influenza tidak
berpengaruh signifikan terhadap pencegahan asma eksaserbasi akut usia dewasa. Namun
secara umum, telah diketahui bahwa pemberian vaksin influenza dapat mengurangi
keparahan gejala infeksi yang terjadi. (Dewi, N. Q. 2018)

Pola Hidup Sehat


Olahraga menghasilkan kebugaran fisis secara umum, menambah rasa percaya diri dan
meningkatkan ketahanan tubuh. Walaupun terdapat salah satu bentuk asma yang timbul
serangan sesudah exercise (exercise-induced asthma/ EIA), akan tetapi tidak berarti
penderita EIA dilarang melakukan olahraga. Bila dikhawatirkan terjadi serangan asma
akibat olahraga, maka dianjurkan menggunakan beta2-agonis sebelum melakukan
olahraga (PDPI 2018). Senam Asma Indonesia (SAI) adalah salah satu bentuk olahraga
yang dianjurkan karena melatih dan menguatkan otot-otot pernapasan khususnya, selain
manfaat lain pada olahraga umumnya. Senam asma Indonesia dikenalkan oleh Yayasan
Asma Indonesia dan dilakukan di setiap klub asma di wilayah yayasan asma di seluruh
Indonesia. Manfaat senam asma telah diteliti baik manfaat subjektif (kuesioner) maupun
objektif (faal paru); didapatkan manfaat yang bermakna setelah melakukan senam asma
secara teratur dalam waktu 3 – 6 bulan, terutama manfaat subjektif dan peningkatan
VO2max (PDPI 2018).
Berhenti atau tidak pernah merokok
Asap rokok merupakan oksidan, menimbulkan inflamasi dan menyebabkan ketidak
seimbangan protease antiprotease, dimana protease (berperan dalam menghancurkan
jaringan ikat) dan antiprotease (berperan melindungi jaringan ikat). Kelebihan protease
yang berasal dari sel inflamasi dan sel epitel pada pasien asma dapat memicu terjadinya
kerusakan elastin (komponen utama jaringan ikat di paru) sehingga menyebabkan
terjadinya emfisema dan kerusakan yang menetap.

13
. Penderita asma yang merokok akan mempercepat perburukan fungsi paru dan
mempunyai risiko mendapatkan bronkitis kronik dan atau emfisema sebagaimana perokok
lainnya dengan gambaran perburukan gejala klinis, berisiko mendapatkan kecacatan,
semakin tidak produktif dan menurunkan kualitas hidup. Oleh karena itu penderita asma
dianjurkan untuk tidak merokok. Penderita asma yang sudah merokok diperingatkan agar
menghentikan kebiasaan tersebut karena dapat memperberat penyakitnya (PDPI 2018,
GINA 2018).
Lingkungan Kerja
Bahan-bahan di tempat kerja dapat merupakan faktor pencetus serangan asma,
terutama pada penderita asma kerja. Penderita asma dianjurkan untuk bekerja pada
lingkungan yang tidak mengandung bahan-bahan yang dapat mencetuskan serangan asma.
Apabila serangan asma sering terjadi di tempat kerja perlu dipertimbangkan untuk pindah
pekerjaan. Lingkungan kerja diusahakan bebas dari polusi udara dan asap rokok serta
bahan-bahan iritan lainnya. (PDPI 2018, GINA 2018).

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2018, Konsensus Asma : Pedoman Diagnosis


dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta.
2. Global Initiative for Asthma, 2018. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention : Management of worsening asthma and exacerbations
3. Supriyatno B, 2015, Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak. Majalah
Kedokteran Indonesia;55(3):237-43.
4. Fanta CH. Drug Therapy : Asthma 2013. N Engl J Med;360:1002-14.
5. Sears, M. R. (2016). Epidemiology of asthma exacerbations. Journal of Allergy and
Clinical Immunology, 122(4), 662–668.
6. Jackson, D. J., Sykes, A., Mallia, P., & Johnston, S. L. (2011). Asthma exacerbations:
Origin, effect, and prevention. Journal of Allergy and Clinical Immunology, 128(6),
1165–1174.
7. Wark, P. A. B. (2016). Asthma exacerbations 3: Pathogenesis. Thorax, 61(10), 909–
915
8. Castillo, J. R., Peters, S. P., & Busse, W. W. (2017). Asthma Exacerbations:
Pathogenesis, Prevention, and Treatment. The Journal of Allergy and Clinical
Immunology. In Practice, 5(4), 918–927
9. Fergeson, J. E., Patel, S. S., & Lockey, R. F. (2017). Acute asthma, prognosis, and
treatment. Journal of Allergy and Clinical Immunology, 139(2), 438–447.
10. Pola-Bibian, B., Dominguez-Ortega, J., Vilà-Nadal, G., Entrala, A., González-Cavero,
L., Barranco, P., Quirce, S. (2017). Asthma exacerbations in a tertiary hospital:
Clinical features, triggers, and risk factors for hospitalization. Journal of
Investigational Allergology and Clinical Immunology, 27(4), 238–245.
11. Dunican, E. M., & Fahy, J. V. (2015). TRANSATLANTIC AIRWAY CONFERENCE
The Role of Type 2 Inflammation in the Pathogenesis of Asthma Exacerbations.
AnnalsATS, 12(November), 144–149.
12. Stenson, E. K., Tchou, M. J., & Wheeler, D. S. (2017). Management of acute asthma
exacerbations. Current Opinion in Pediatrics, 29(3), 305–310.
13. Treatment of Acute Asthma Exacerbations in Adults in the Primary Care or Urgent
Care Setting Clinical Practice Guideline MedStar Health “. (2018), (January).
14. Dewi, N. Q. L., & Nelwan, E. J. (2018). Efektivitas Vaksinasi Influenza dalam
Mencegah Asma Eksaserbasi Akut pada Pasien Dewasa. EJournal Kedokteran
Indonesia, 5(3).
15. Watanabe, S., Hoshiyama, Y., Matsukura, S., Kokubu, F., Kurokawa, M., Kuga, H.,
Kawaguchi, T. (2015). Prevention of Asthma Exacerbation with Vaccination against
Influenza in Winter Season. Allergology International, 54(2), 305–309.
16. O’Byrne, P. M. (2011). Therapeutic strategies to reduce asthma exacerbations. Journal
of Allergy and Clinical Immunology, 128(2), 257–263.
17. Branconnier, M. P., Hess, D. R., Abdelrahim, M. E., Plant, P., Chrystyn, H., Rrt, D. R.
H. O’Callaghan, C. (2018). Life-threatening asthma: pathophysiology and
management. Respiratory Care, 53(3), 740–748; discussion 749-50.
18. Oemiati, Ratih, dkk,. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Penyakit Asma
Di Indonesia. http://digilib.litbang.depkes.go.id/files/disk1/74/jkpkbppk-gdlgrey-
2011-ratihoemia-3689-asma-rat-h.pdf.

15

Anda mungkin juga menyukai