Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Serum Transferrin receptor (sTfR)


Transferrin receptor merupakan transmembran homodimer yang
terdiri dari dua monomer yang identik, berat molekul sekitar 90 kDa,
dimana tiap monomer dihubungkan oleh ikatan 2 sulfida pada Cys89 dan
Cys98. Reseptor ini memiliki region sitoplasmik NH2-terminal (residu 167), single transmembrant pass (residu 68-88) dan bagian ektraseluler
yang besar (ektodomain, residu 89-760).19,20,21 Ektodomain larut dan
mengandung satu site yang sensitif trypsin, dan mengandung site untuk
berikatan dengan transferin. sTfR disintesa di retikulum endoplasma.19
Domain ekstraseluler memiliki tiga posisi N-linked glycosilation pada
Asn251, Asn317 dan Asn727 dan posisi O-linked glycosilation pada
Thr104. Posisi ini sangat penting untuk fungsi sTfR.19
Ektodomain merupakan homodimer yang berbentuk seperti kupukupu. Tiap monomer terdiri dari tiga domain globular yang berbeda, yaitu
protease-like, apical dan helical domain, membentuk cleft lateral sehingga
dapat berikatan dengan molekul transferin.19,20,22 Ektodomain dipisahkan
dari membran oleh sebuah tangkai. Transferrin receptor berikatan dengan
dua molekul transferin dengan affinitas yang bervariasi. Protein dalam
bentuk diferik memiliki affinitas yang lebih tinggi dibandingkan bentuk
monoferik dan bentuk apo.19
7

Universitas Sumatera Utara

Transferin receptor diekspresikan pada semua sel yang berinti


seperti sel erytroid, hepatosit, sel intestinal, monosit (makrofag), otak ,
blood brain barrier, tetapi dalam jumlah yang berbeda. Pada sel yang
membelah dengan cepat dapat dijumpai 10.000 sampai 100.000 molekul
per sel, sebaliknya ekspresi TfR pada sel yang tidak berproliferasi sagat
rendah bahkan sering tidak dapat dideteksi.19
Jumlah TfR berbeda selama maturasi seri erytroid, mencapai
puncaknya pada normoblast polikromatofilik. Jumlah paling sedikit
dijumpai pada burst-forming unit-erythroid cells, dan sedikit meningkat
pada colony- forming unit-erythroid cells.

Pada setiap sel normoblast

basofilik dijumpai 300.000 reseptor dam meningkat mencapai 800.000


pada tiap sel normoblast polikromatofilik. Tingkat uptake besi secara
langsung berhubungan dengan jumlah reseptor. Jumlah TfR berkurang
pada retikulosit, dimana sel erythroid melepaskan sisa TfR melalui
eksosotosis dan proteolisis. Jumlah reseptor yang lepas dapat dijumpai
pada plasma dalam konsentrasi tertentu yang berhubungan dengan laju
erythropoesis. Peningkatan sTfR merupakan indikator yang sensitif untuk
massa erytroid dan defisiensi besi jaringan.6
Kadar sTfR berubah selama ontogenesis, meningkat pada umur
20-42 minggu kehidupan fetal. Pada saat lahir kadar sTfR dua kali lebih
tinggi dari pada usia dewasa.23 Anak usia satu tahun memiliki nilai sTfR
sedikit lebih tinggi dibandingkan usia dewasa.23,24 Nilai sTfR tidak ada

Universitas Sumatera Utara

korelasi dengan usia (19-79 tahun) dan tidak ada perbedaan antara lakilaki dan perempuan atau perempuan pre dan post menopause.23,24
Pada anemia

defisiensi besi nilai sTfR meningkat 3-5 kali lipat

dibandingkan orang normal. Kandungan besi tubuh pada orang yang


dilakukan phlebotomy secara kuantitatif menjadi

berkurangnya, tetapi

sTfR masih relatif stabil dalam batas normal sampai cadangan menjadi
kosong. Pada saat kompartemen besi

semakin deplesi, nilai sTfR

meningkat secara progresif berbanding terbalik dengan tingkat defisit


besi. Keadan ini mencerminkan peningkatan besar reseptor yang
diekspresikan tiap sel pada defisiensi besi.25
Feritin serum mempunyai keterbatasan dalam menilai status besi
pada anak-anak, masa pertumbuhan, kehamilan dan atlet, karena
cadangan besi biasanya berkurang pada masa ini. Karena faktor-faktor
lain yang mempengaruhi dapat terjadi peningkatan palsu kadar feritin,
sehingga konsentrasi sTfR merupakan penilaian yg baik. Kerusakan lever
akut dan inflamasi tidak mempunyai efek terhadap pengukuran kadar
sTfR. Maka sTfR dapat membedakan anemia karena penyakit kronis dan
inflamasi. Sebelum pemeriksaan sTfR dikembangkan hanya evaluasi
sumsum tulang untuk pewarnaan besi merupakan pemeriksaan yang
reliabel untuk membedakannya ADB dan APK. Pada keadaan dijumpai
kombinasi ADB dan APK, dengan pemeriksaan sTfR diketahui defisit besi
fungsional.19

Universitas Sumatera Utara

Serum transferrin receptor meningkat pada keadaan aktivitas


erytripoesis sumsum tulang yang meningkat meskipun tidak dijumpai
deplesi besi fungsional yaitu anemia hemolitik atau inefektif eritropoesis
seperti pada anemia megaloblastik, myelodisplasia, dan talasemia mayor.
Pada keadaan yang disebut di atas nilai feritin serum normal atau
meningkat. Pada anemia hemolitik dijumpai retikulositosis dan nilai MCV
normal atau meningkat. Anemia megaloblastik dan myelodisplasia pada
umumnya terjadi peningkatan MCV.19
Konsentrasi sTfR

tetap normal pada APK. Ratio sTfR terhadap

feritin merupakan perkiraan kuantitatif jumlah besi di tubuh, dan indeks


sTfR-F secara langsung berbanding dengan jumlah cadangan besi.
Dengan menggunakan indeks sTfR-F, pemeriksaan pewarnaan sumsum
tulang dengan prussian blue besidapat berkurang pada pasien inflamasi
kronik

untuk

mengetahui

apakah

terdapat

defisiensi.20

Dengan

pemeriksaan feritin dan sTfR dapat dihasilkan nilai indeks sTfR-F yaitu
rasio sTfR/log feritin. Rasio ini sangat baik untuk mengestimasi cadangan
besi. Cut-off untuk indeks sTfRF adalah 1,5. Pada ADB indeks sTfRF
lebih besar dari 1,5, dan pada APK lebih kecil dari 1,5.6

2.2. Anemia defisiensi besi


Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa Hb
yang beredar di sirkulasi tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.26
10

Universitas Sumatera Utara

Menurut WHO, dikatakan anemia bila:27


Laki-laki dewasa

Hb < 13 g/dl

Perempuan dewasa tidak hamil

Hb < 12 g/dl

Perempuan hamil

Hb < 11 g/dl

Anak umur 6-12 tahun

Hb < 12 g/dl

Anak umur 6 bulan-6 tahun

Hb < 11 g/dl

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat


berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi
kosong yang akhirnya mengakibatkan pembentukan Hb berkurang.13
Penilaian status besi merupakan tambahan pemeriksaan Hb dan
hematokrit (Ht), dan dapat dinilai dengan beberapa test yang telah
ditetapkan. Hanya saja tidak ada pemeriksaan tunggal yang standart
untuk menilai defisiensi besi tanpa anemia. Penggunaan test yang
beragam hanya sebagian mengatasi

keterbatasan test tunggal dan

tidak menjadi pilihan pada keadaan sumber daya yang terbatas. Indikator
yang terbaik untuk deteksi defisiensi besi adalah feritin serum pada saat
tidak dijumpai infeksi.27,28
Feritin serum merupakan indikator yang terbaik untuk menilai
interfensi besi dan deplesi besi. WHO merekomendasikan

konsentrasi

konsentrasi feritin < 12 ug/l mengindikasikan deplesi cadangan besi pada


anak-anak < 5 tahun, dan nilai < 15 ug/l mengindikasikan deplesi
cadangan besi pada umur > 5 tahun. Tetapi feritin merupakan protein fase
akut

sehingga

nilainya

meningkat

pada

keadaan

inflamasi.10,11
11

Universitas Sumatera Utara

Pengukuran

protein

fase

akut

yang

berbeda

dapat

membantu

menginterpretasi nilai serum feritin, jika konsentrasi protein fase akut ini
meningkat menandakan dijumpai inflamasi. Pemeriksaan protein fase akut
yang sering digunakan adalah CRP, karena meningkat dengan cepat
terhadap inflamasi dan juga turun dengan cepat. 28

2.3. Mekanisme transport besi


Besi merupakan ion yang bermuatan dan tidak dapat

berdifusi

bebas melewati membrane sel, sehingga dibutuhkan protein karier spesifik


untuk transfer transmembran. Secara umum ada dua jalan transport
besi. Beberapa sel seperti sel epitel intestinal, hepatosit dan makrofag
dilengkapi keduanya yaitu mekanisme import besi ke dalam sel dan
pelepasan (eksport) besi dari luar sel. Sel-sel ini terlibat dalam
penerimaan, penyimpanan dan mobilisasi besi. Pada sel lain seperti
prekursor eritroid hanya terjadi import besi tetapi tidak melepaskannya
kecuali sel tersebut hancur. 29
Sekitar 25 mg besi dibutuhkan setiap hari untuk mendukung
produksi Hb pada eritrosit yang matur. Jumlah ini sangat besar
dibandingkan dengan 1-2 mg besi yang masuk ke dalam tubuh setiap hari.
Besi untuk eritropoiesis diperoleh dari makrofag retikuloendotelial yang
menjalankan fungsi siklus besi dari eritrosit tua. 29
Besi diabsorbsi dalam lingkungan asam pada mukosa duodenum
dan jejunum proksimal. Makanan dalam bentuk non heme adalah bentuk
12

Universitas Sumatera Utara

ferri (Fe3+) harus direduksi menjadi ferro (Fe2+) oleh ferrireductase, yang
diidentifikasi merupakan duodenal cytochrome b (DCYTB). Ion Fe

2+

melalui divalent metal transporter 1 (DMT1, disebut juga Nramp 2)


memasuki sitoplasma.

Besi yang masuk dalam sitoplasma sebagian

disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral


transporter (ferroportin disebut juga IREG 1) ke dalam kapiler usus. Pada
proses ini terjadi perubahan dari feri menjadi fero oleh enzim ferooksidase,
antara lain hephaestin. 29,30.31
Di dalam plasma, besi berikatan dengan transferin. Transferin
mempunyai tiga fungsi penting. Pertama, menjaga besi dalam bentuk
terlarut. Kedua transferin membuat besi tidak reaktif sehingga menjadi
tidak toksik dalam sirkulasi. Ketiga, transferin memfasilitasi pengiriman
besi menuju sel yang memiliki transferin reseptor di permukaannya.29
Transferin mengirim besi ke normoblast dan sel-sel lain melalui
ikatan dengan transferin reseptor. Setelah interaksi reseptor dengan ligan,
transferin yang mengandung besi mengalami endositosis yang diawali
dengan invaginasi clathrin-coated pits, membentuk endosom. Endosom
mengalami

asidifikasi

(pH

5-6)

melalui

influks

proton

sehingga

memudahkan pelepasan besi dari transferin dan memperkuat interaksi


apotransferin-reseptor. Besi dirubah dari bentuk ferro menjadi ferri dan
keluar dari endosome melalui divalent metal ion transporter 1 (DMT1)
menuju

tempat

(mitokondria).

penyimpanan
Kompleks

(feritin)

dan

transferin-TfR

digunakan
kemudian

dalam

sel

mengalami
13

Universitas Sumatera Utara

eksternalisasi kembali ke permukaan sel dan apotransferin dilepaskan


kembali. 6,31

2.4. Stadium klinis defisiensi besi dan diagnosis laboratorium.


Karakteristik penting dari defisiensi besi adalah pelepasan besi dari
makrofag dan cadangan hepatosit bersama-sama dengan masukan dari
makanan tidak mencukupi kebutuhan besi untuk eritropoiesis. Pada fase
awal yang disebut juga defisiensi besi laten, semua cadangan besi akan
dimobilisasi.

Pada keadaan ini semua parameter laboratorium masih

dalam batas normal, meskipun konsentrasi feritin dan cadangan besi di


sumsum tulang (feritin dan hemosiderin) berkurang secara bertahap.16
Reseptor transferin masih stabil.32
Fase kedua yang disebut eritropoesis defisiensi besi, cadangan
besi kosong sehingga jumlah besi tidak cukup untuk produksi Hb dan
protein lain yang mengandung besi. Konsentrasi Hb masih normal, tetapi
feritin serum menurun, SI rendah, transferin

serum tinggi (akibatnya

saturasi transferin berkurang) dan terjadi peningkatan sTfR di plasma.16,32


Pada fase ketiga yaitu anemia defisiensi besi, kadar Hb sudah
berkurang. Pada keadaan kronik, dengan berkurangnya Hb lebih lanjut,
MCV dan MCH dapat menjadi rendah, bersamaan dengan munculnya
eritroblast patologis pada sumsum tulang dan morfologi eritrosit yang
patologis pada darah tepi.16 Penurunan feritin lebih berat dan peningkatan
sTfR jauh lebih tinggi.32
14

Universitas Sumatera Utara

Petunjuk pertama pada defisiensi besi adalah anemia, akan tetapi


penilaian Hb dan Ht memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang rendah dan
dibutuhkan pemeriksaan laboratorium tambahan. Selain gambaran
laboratorium untuk erytropoesis defisiensi besi, pemeriksaan lain seperti
saturasi transferin, mean corpuscular hemoglobin consentration (MCHC),
erythrocyte zinc protoporphyrin, konsentrasi hemoglobin eritrosit dan
retikulosit

dapat meningkatkan diagnosa. Akan tetapi perubahan dari

parameter ini pada defisiensi besi tidak dapat dibedakan dari APK. Hal ini
karena

inflamasi

menyebabkan

peningkatan

hepcidin

sehingga

menghalangi pelepasan besi dari enterosit dan sistem retikuloendotelial


dan menghasilkan defisiensi besi eritropoeisis.16
Saturasi transferin memiliki kelebihan yaitu biaya yang murah dan
banyak tersedia, tetapi mengalami variasi diurnal dan dipengaruhi
beberapa kelainan klinis. Pemeriksaan darah tepi dapat dipercaya bila
diperiksa yang berpengalaman. MCV merupakan indikator yang dapat
dipercaya, tetapi parameter ini berubah tergantung onset defisiensi
eritropoeisis. Persentase eritrosit yang hipokrom dapat diukur dengan
hematology analyzer tertentu , tetapi merupakan indikator yang lambat
untuk mendeteksi eritropoeisis defisensi besi.16
Pendekatan diagnostik yang optimal untuk ADB dengan menilai
serum feritin

dan sTfR. Pemeriksaan feritin serum

tersedia luas dan

telah dibakukan dengan baik dan merupakan indeks status besi yang
lebih dipercaya. Nilai feritin yang rendah merupakan diagnosa untuk ADB.
15

Universitas Sumatera Utara

WHO merekomendasikan

konsentrasi feritin < 12 ug/l mengindikasikan

deplesi cadangan besi pada anak-anak < 5 tahun, dan nilai < 15 ug/l
mengindikasikan deplesi cadangan besi pada umur > 5 tahun.10,11
Penelitian Pasricha dkk mendapatkan dengan pemakaian cut-off feritin
<15 ug/l memberikan sensitivitas 44% dan spesifisitas 80%, dan cut-off <
30% memberikan sensitivitas 72% dan spesifisitas 52%.12 Penelitian di
Bali dengan memakai feritin serum < 12 ug/l dan 20 ug/l memberikan
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan
96%.

13

Penelitian Mast AE dkk mendapatkan sensitivitas 25% dan

spesivisitas 98% dengan memakai feritin < 12 ug/l. Akan tetapi dengan
memakai feritin < 30 ug/l diperoleh sensitivitas 92% dan spesifisitas
98%.14
Tetapi feritin merupakan protein fase akut dan pada keadaan
inflamasi akut atau kronis feritin meningkat tidak tergantung pada status
besi. Perbedaan antara APK dan ADB sangat sulit karena konsentrasi
feritin serum yang meningkat tidak mengeksklusi ADB yang bersamaan
dengan inflamasi. Sebaiknya pada negara berkembang dengan frekwensi
infeksi yang tinggi dilakukan pemeriksaan marker inflamasi seperti CRP.16
Dalam waktu relatif singkat (6-8) jam setelah terjadi reaksi radang akut /
kerusakan jaringan, sintesa dan sekresi CRP meningkat dengan tajam,
dan hanya dalam waktu 24-48 jam telah mencapai nilai puncaknya. Kadar
CRP akan menurun dengan tajam bila proses radan / kerusakan jaringan

16

Universitas Sumatera Utara

telah mereda. Dalam waktu sekitar 24-48 jam telah dicapai nilai normalnya
kembali.33

2.5. Perubahan metabolisme besi pada anemia penyakit kronis


Anemia penyakit kronis didefinisikan sebagai anemia yang terjadi
pada infeksi kronis, inflamasi atau neoplasma dan bukan oleh karena
adanya tumor pada sumsum tulang, perdarahan atau hemolisis, yang
ditandai dengan hypoferemia dan dijumpai cadangan besi.34
Disregulasi besi pada APK terjadi karena peningkatan hepcidin
sebagai respon terhadap sitokin yang meningkat karena inflamasi dan
juga karena efek langsung sitokin seperti IFN - dan TNF- yang
merangsang makrofag untuk mengakusisi besi melalui DMT1 dan
menginhibisi feroportin 1 untuk melepaskan besi. Kedua mekanisme ini
menyebabkan sekuestrasi besi dalam fagosit mononuklear, sehingga
ketersediaan besi untuk eritropoesis berkurang.34,35 Gambaran ini tampak
melalui parameter hematologi yaitu, SI berkurang,

saturasi transferin

berkurang < 16 %, dan nilai feritin serum normal hingga meningkat.


Pengukuran nilai sTfR

dan indeks sTfR-F dapat membedakan ADB

dengan APK.16

2.6. Metode pemeriksaan sTfR


Metode yang umum dipakai untuk mengukur sTfR adalah enzyme
linked immunosorbent assay ( ELISA) dan immunoturbidimetry.36
17

Universitas Sumatera Utara

1.

Prinsip

ELISA

berdasarkan

microplate

sandwich

enzyme

immunoassay menggunakan dua antibodi monoklonal spesifik


untuk sTfR. sTfR sebagai antigen berikatan dengan antibodi
monoklonal yang berada pada microplate. Setelah dicuci kemudian
ditambahkan antibodi monoklonal berkonjugasi dengan enzyme,
sehingga terjadi kompleks antibodi-sTfR-antibodi. Jumlah kompleks
ini

sebanding

dengan

konsentrasi

sTfR

pada

sampel.

37

Pemeriksaan dengan metode ELISA dilakukan secara manual,


sehingga cukup merepotkan , memerlukan banyak waktu dan
memerlukan peralatan khusus. Selain itu belum ada kalibrator yang
sama untuk penetapan nilai sTfR.38

2.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode particle


enhanced immunoturbidimetric assay. sTfR dalam serum sebagai
antigen berikatan dengan antibodi soluble transferrin receptor yang
dilapisi dengan partikel lateks. Komplek antigen antibodi yang
terjadi diukur secara fotometer pada panjang gelombang 583 nm.39
Jumlah analit berbanding terbalik dengan jumlah sinar yang
diteruskan40. Partikel lateks berguna untuk memperbesar kompleks
imun sehingga terjadi amplifikasi reaksi dan sensitivitas reaksi
meningkat secara bermakna.41
Pemeriksaan dengan metode immunoturbidimetry dilakukan secara
automatis dan memerlukan waktu yang lebih singkat dibandingkan
18

Universitas Sumatera Utara

dengan metode ELISA. Koefisien variasi intra dan interassay dua


sampai tiga kali lebih rendah dibandingkan dengan metode ELISA.
Akan tetapi metode ini memerlukan analyzer yang tidak dijumpai
pada semua laboratorium klinik. 38

Gambar 2.1. Skema reaksi imunoturbidimetri (dikutip dari kepustakaan 42)

19

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai