Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia aplastik bukan penyakit tunggal, tetapi suatu kelompok penyakit yang

berhubungan dengan kegagalan sumsum tulang untuk menghasilkan ketiga tipe sel

darah yaitu : sel darah merah, sel darah putih dan platelet 1. Pengurangan jumlah sel

darah merah menyebabkan rendahnya kadar Hb dalam darah tepi, sel darah putih

yang berkurang jumlahnya menyebabkan pasien mudah terkena infeksi, pengurangan

pembentukan platelet menyebabkan darah sukar membeku 2.

Anemia aplastik adalah sindrom kegagalan sumsum tulang yang ditandai

dengan pansitopenia dan hipoplasia sumsum tulang 3. Aplasia yang hanya mengenai

sistem eritropoetik disebut eritroblastopenia (anemia hipoplastik); yang hanya

mengenai sistem granulopoetik saja disebut agranulositosis (penyakit Schultz)

sedangkan yang hanya mengenai sistem trombopoetik disebut amegakariositik

trombositopenik purpura (ATP), anemia aplastik mengenai ketiga sistem ini 4.

Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,

berkisar antara 2 sampai 6 juta kasus persejuta penduduk pertahun. Penelitian The

International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study di awal tahun 1980-an

menemukan frekuensi di Eropa dan Israel 2 kasus persejuta penduduk. Perjalanan

penyakit pada pria juga lebih berat daripada wanita. Perbedaan umur dan jenis

kelamin mungkin disebabkan oleh risiko pekerjaan, sedangkan perbedaan geografis

mungkin disebabkan oleh pengaruh lingkungan 5.

1
Pemeriksaan penunjang pada anemia aplastik berupa pemeriksaan darah rutin,

pemeriksaan darah tepi (blood smear) dan pemeriksaan BMA (Bone Marrow

Aspiration) 6.

Terapi anemia aplastik dapat dibagi menjadi terapi primer dan terapi suportif.

Terapi primer secara umum terdiri dari transplantasi sumsum tulang dan terapi

imunosupresif. Terapi suportif berupa transfusi sesuai dengan sel hemopoetik yang

dibutuhkan 7.

Berikut ini akan dilaporkan suatu kasus anemia aplastik pada seorang pasien

laki-laki berumur 15 tahun yang dirawat di bangsal penyakit dalam RSUD Ratu

Zalecha Martapura.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

A. Identitas Penderita

Nama : Tn. F

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat & tanggal Lahir : Pulang Pisau, 20 April 2002

Umur : 15 tahun

B. Identitas Orangtua

Ayah Ibu

Nama : Tn. AB Nama : Ny. E

Umur : 46 tahun Umur : 40 tahun

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : IRT

Agama : Islam Agama : Islam

Alamat : Pulang Pisau

II. ANAMNESIS

Pasien rujukan dari klinik pesantren Darul Hijrah Martapura. Autoanamnesis

dengan penderita, tanggal 18 Maret 2017 pukul 14.00 WITA.

3
a. Keluhan Utama

Lemas

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 5 hari yang lalu pasien tampak lemas tanpa sebab yang jelas. Pasien

juga tampak pucat. Pucat terutama terlihat didaerah bibir, telapak tangan dan kaki.

Sebelum masuk rumah sakit, pada kulit pasien sering timbul bintik-bintik

perdarahan dan dada berdebar. Pasien juga mengaku ada keluhan demam sejak

satu minggu terakhir ini. Pasien tidak pernah mengeluhkan luka yang sulit

sembuh atau lebam yang lambat hilang jika trauma. Pasien kemudian dibawa ke

klinik pesantren dan kemudian dilakukan pemeriksaan darah dan diketahui Hb

pasien 4.6. Pasien kemudian dirujuk ke IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada mengalami keluhan serupa sebelumnya

h. Riwayat Keluarga

Tidak ada dikeluarga yang menderita penyakit seperti penderita. Tidak ada

riwayat penyakit asma, darah tinggi, kencing manis maupun penyakit keganasan

dikeluarga.

Ikhtisar Keluarga :

Keterangan :

4
= perempuan

= laki-laki

= penderita

Susunan Keluarga

No. Nama Umur L/P Keterangan


1. Tn. AB 46 L sehat
2. Ny. E 40 P sehat
3. Nn. K 20 P sehat
4. An. F 15 L sehat

i. Riwayat Psikososial

Pasien tinggal serumah dengan ayah ibu dan kakaknya dalam rumah permanen,

ventilasinya baik, air minum, mandi, cuci dan minum sehari-hari berasal dari

PDAM. Rumah penderita ada dalam kompleks perumahan

III. PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan umum : Tampak Pucat

b. Kesadaran : Compos Mentis, GCS 4-5-6

c. Tanda vital

Tensi : 120/80 mmHg

Nadi : 120 kali/menit, kualitas kuat

Suhu : 37,3 C

Respirasi : 22 kali/menit, teratur

Berat Badan : 45 kg

5
Tinggi Badan : 160 cm

d. Kulit : Kulit berwarna sawo matang, tidak ada sianosis, tidak

ditemukan hemangioma, tidak ditemukan hematom/purpura/

ekimosis di bawah kulit, turgor cepat kembali, kelembaban

cukup, kulit tampak pucat.

e. Kepala/leher

Kepala : Bentuk kepala simetris, ukuran mesosefali, ubun-ubun besar

datar, ubun-ubun kecil sudah menutup.

Rambut : Rambut berwarna hitam, tebal, distribusi merata, tidak

terdapat alopesia.

Mata : Palpebra tidak edema, alis dan bulu mata tidak mudah

dicabut dan tidak mudah rontok, konjungtiva anemis, sklera

tidak ikterik, produksi air mata cukup, pupil berdiameter 3

mm/3 mm, isokor, reflek cahaya +/+, kornea jernih.

Telinga : Bentuk normal, simetris, tidak ada secret, serumen minimal,

nyeri tidak ada.

Hidung : Hidung berbentuk normal, simetris, tidak terdapat

pernapasan cuping hidung, tidak terdapat epistaksis, kotoran

hidung minimal.

Mulut : Bentuk tidak ada kelainan, mukosa bibir basah, bercak darah

(+). Gusi berdarah, tidak bengkak. Bibir tampak anemis.

6
Lidah : Bentuk simetris, anemis, tidak tremor, tidak kotor, warna

merah keputihan.

Pharing : Tidak tampak hiperemis, tidak edema, tidak ada abses, tidak

ada pseudomembran.

Tonsil : Warna merah muda, tidak membesar, tidak ada

abses/pseudomembran.

f. Leher : Pada vena jugularis tidak teraba pulsasi, tekanan vena

jugularis tidak meningkat, pembesaran kelenjar leher tidak

teraba, kuduk kaku tidak ditemukan, massa tidak ada,

tortikolistidak ditemukan.

g. Toraks

1. Pulmo

Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ditemukan retraksi dinding dada

Pernapasan: Inspirasi dan ekspirasi normal, frekuensi 22 kali/menit,

teratur

Palpasi : Pergerakan napas dada simetris, fremitus fokal simetris

kanan dan kiri

Perkusi : Suara ketok sonor

Auskultasi : Suara napas vesikuler, tidak ditemukan ronki dan wheezing

2. Cor

Inspeksi : Tidak terlihat adanya vousseure cardiaque, pulsasi dan ictus

7
Palpasi : Tidak teraba adanya thrill, apeks tidak teraba

Perkusi : Batas kanan : ICS IV LPS kanan

Batas kiri : ICS V LMK kiri

Batas atas : ICS II LPS kanan

Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, tidak terdapat bising, tidak ada takikardia,

frekuensi 120 kali/menit, reguler

h. Abdomen

Inspeksi : Bentuk cembung, simetris

Palpasi : Hepar teraba, lien teraba (Schuffner I), tidak ditemukan

massa

Perkusi : Suara ketuk timpani, tidak ditemukan adanya asites

Auskultasi : Bising usus (+) normal

i. Ekstremitas

Umum : Akral hangat, tidak edema, tidak ada parese, kedua telapak

tangan dan kaki tampak pucat

Neurologis : Gerakan normal, tonus tidak meningkat, tidak ada atrofi,

tidak didapatkan klonus, reflek fisiologis tidak meningkat,

reflek patologis tidak ada. Sensibilitas normal. Tanda

rangsangan meningeal tidak ada

j. Susunan saraf : Dalam batas normal

k. Genitalia : Tidak dilakukan

8
l. Anus : Tidak dilakukan

IV. FOLLOW UP PASIEN


Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter
18 Maret S : Pucat (+), gusi berdarah (<), lemas (+) IVFD NS 16 tpm
2017 O : Compos Mentis, E4V5M6 Inj. Antrain (k/p)
TD:100/80 Kepala : Konjungtiva anemis(+), ikterus(-) Transfusi PRC 2 kolf/hari
Mata : Isokor 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+) Jika reaksi transfusi
Thorax : Nafas Spontan, SN Vesikuler inj.
Rh -/-, Wh -/- dipenhidramin
Cor : BJ I/II reguler, murmur(-) Saran: MDT
Abdomen : Peristaltik(+), supel, teraba hepar dan Transfusi TC
lien schuffner 1
Ekstremitas : udem -/-, pucat +/+
A : Pansitopenia ec suspect malaria dd demam
berdarah dengue

19 Maret S : Pucat (+), gusi berdarah (-), lemas (+) IVFD NS 16 tpm
2017
O : Compos Mentis, E4V5M6 Inj. Antrain (k/p)
TD:
120/80 Kepala : Konjungtiva anemis(+), ikterus(-) Transfusi PRC sampai 3
Mata : Isokor 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+) kolf cek DL ulang
Thorax : Nafas Spontan, SN Vesikuler
Rh -/-, Wh -/-
Cor : BJ I/II reguler, murmur(-)
Abdomen : Peristaltik(+), supel, teraba hepar dan
lien schuffner 1
Ekstremitas : udem -/-, pucat +/+
A : Pansitopenia ec suspect malaria dd demam

9
berdarah dengue

S : Pucat (-), gusi berdarah (-), lemas (-),


20 Maret pandangan mata kanan kabur seperti ada IVFD NS 16 tpm
2017
bayangan Inj. Antrain (k/p)
TD:
110/70 O : Compos Mentis, E4V5M6 Transfusi PRC sampai Hb >
Kepala : Konjungtiva anemis(-), ikterus(-) 10
Malaria
negatif Mata : Isokor 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+)
D: COA dalam jernih terang, CA -/-, conjungtiva
Hb 9,3 Konsul Sp. M
dbn Retinal bleeding
Hasil
S: dbn
MDT: Saran: Rujuk ke poli retina
Anemia Thorax : Nafas Spontan, SN Vesikuler RSUD Ulin
aplastik
Rh -/-, Wh -/-
Cor : BJ I/II reguler, murmur(-)
Abdomen : Peristaltik(+), supel, teraba hepar dan
lien schuffner 1
Ekstremitas : udem -/-, pucat +/+
A : Anemia Aplastik

21 Maret S : Pucat (-), gusi berdarah (+), lemas (-),


2017
pandangan kabur (+/-), ada bayangan di mata BLPL
Rujuk ke RSUD Ulin Poli
TD: menetap Retina
120/80
O : Compos Mentis, E4V5M6
Hb: 10,1
Kepala : Konjungtiva anemis(-), ikterus(-)
Mata : Isokor 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+)
D: COA dalam jernih terang, CA -/-, conjungtiva
dbn

10
S: dbn
Thorax : Nafas Spontan, SN Vesikuler
Rh -/-, Wh -/-
Cor : BJ I/II reguler, murmur(-)
Abdomen : Peristaltik(+), supel, teraba hepar dan
lien schuffner 1
Ekstremitas : udem -/-, pucat +/+
A : Anemia Aplastik + Retinal Bleeding

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

16 Maret 2017

Hematologi

Hb : 4,6 gr% (normal L : 13,0-17,5 gr%; P : 11,5-15,5 gr%)

Leukosit : 3500/L (normal : 4700 10.500 L)

Hematokrit : 13,5% (normal L : 40-50%; P : 35-45%)

Trombosit : 10.000/L (normal : 150.000-350.000)

Eritrosit : 3.500.000/L (normal: 4.100.000-5.500.000/L)

Hemogram

Mid : 6,0 (normal: 2-10%)

11
Segmen : 31,0 (normal: 50-70%)

Lymphosit : 63,0 (normal: 25-40%)

MCH : 28,3 pq MCV : 83 fL

MCHC : 34,0 g/dL PLT : 5 x 103/L

17 Maret 2017

Hematologi

Hb : 3,9 gr% (normal L : 13,0-17,5 gr%; P : 11,5-15,5 gr%)

Leukosit : 2200/L (normal : 4700 10.500 L)

Hematokrit : 10,6% (normal L : 40-50%; P : 35-45%)

Trombosit : 14.000/L (normal : 150.000-350.000)

Eritrosit : 1.460.000/L (normal: 4.100.000-5.500.000/L)

19 Maret 2017

Hematologi

Hb : 9,3 gr% (normal L : 13,0-17,5 gr%; P : 11,5-15,5 gr%)

Leukosit : 4900/L (normal : 4700 10.500 L)

LED : 7

Hematokrit : 26,4% (normal L : 40-50%; P : 35-45%)

Trombosit : 14.000/L (normal : 150.000-350.000)

Eritrosit : 3.370.000/L (normal: 4.100.000-5.500.000/L)

12
20 Maret 2017

Morfologi Darah Tepi

Eritrosit : Mikrositik, hipokromik

Leukosit : Jumlah menurun, blast like? 1%, limfosit variant (+), sebagian

granulasitokik neutrofil

Trombosit : Jumlah menurun

Kesan : Anemia, leukopenia, trombositopenia

Kesimpulan : Pansitopenia dengan proses inflamasi

DD/ : Anemia Aplastik

21 Maret 2017

Hematologi

Hb : 10,2 gr% (normal L : 13,0-17,5 gr%; P : 11,5-15,5 gr%)

Leukosit : 3000/L (normal : 4700 10.500 L)

Hematokrit : 29,6% (normal L : 40-50%; P : 35-45%)

Trombosit : 27.000/L (normal : 150.000-350.000)

Eritrosit : 3.760.000/L (normal: 4.100.000-5.500.000/L)

5. RESUME

Nama : Tn. F

13
Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 15 tahun

Berat Badan : 45 kg

Keluhan Utama : Pucat dan lemas

Uraian : Sejak 5 hari yang lalu penderita pucat dan lemas, terdapat

tanda anemia, terdapat tanda perdarahan di kulit, ada demam

sejak seminggu yang lalu.

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum : tampak pucat

Kesadaran : komposmentis (GCS 4-5-6)

Tensi : 120/80 mmHg

Nadi : 120 kali/menit, kualitas kuat

Suhu : 37,3 C

Pernafasan : 22 kali/menit, teratur

Kulit : anemis, purpura (-)

Kepala : tidak ada kelainan

Mata : konjungtiva anemis

Hidung : tidak ada epistaksis

Telinga : tidak ada kelainan

Mulut : bibir anemis

Lidah : merah mudah

14
Leher : tidak ada kelainan

Toraks : tidak ada kelainan

Abdomen : hepatomegali (+), splenomegali (+)

Ekstremitas : telapak tangan dan kaki anemis

Susunan saraf : tidak ada kelainan

Genitalia : tidak ada kelainan

Anus : tidak ada kelainan

6. DIAGNOSA

a. Diagnosa Banding

Pansitopenia ec suspect Malaria

Leukemia

ITP

Anemia Aplastik

b. Diagnosa Kerja

Anemia aplastik

7. PENATALAKSANAAN

IVFD NS 16 tpm
Inj. Antrain (k/p)
Transfusi PRC 2 kolf/hari
Jika reaksi transfusi inj. dipenhidramin

15
8. USUL DAN SARAN

Cek morfologi darah tepi

9. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

10. PENCEGAHAN

Pencegahan infeksi sekunder dan trauma serta menghentikan paparan terhadap

insektisida

BAB III
PEMBAHASAN
16
Anemia aplastik merupakan keadaan yang disebabkan berkurangnya sel darah

dalam darah tepi, sebagai akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam

sumsum tulang. Sistem yang mengalami aplasia meliputi sistem eritropoetik,

granulopoetik dan trombopoetik. Sebenarnya sistem limfopoetik dan RES juga

mengalami aplasia, tetapi relatif lebih ringan dibandingkan dengan ketiga sistem

hemopoetik lainnya4,8.

Anemia aplastik termasuk penyakit yang jarang ditemukan. Di Amerika

Serikat memiliki angka kejadian 2 : 1.000.000 penduduk. Anemia aplastik lebih

sering terjadi di Asia, angka kejadian di Bangkok adalah 4 : 1.000.000 penduduk,

angka kejadian di Thailand adalah 6 : 1.000.000 penduduk dan angka kejadian di

Jepang 14 : 1.000.000 penduduk. Angka yang lebih tinggi di Asia berkaitan dengan

lebih banyaknya paparan terhadap bahan kimia yang terjadi1,7,9.

Anemia aplastik dapat terjadi pada segala umur1,7. Kecuali jenis kongenital,

anemia aplastik biasanya terdapat pada pasien besar berumur lebih dari 6 tahun.

Depresi sumsum tulang oleh obat atau bahan kimia, meskipun dengan dosis rendah

tetapi berlangsung sejak usia muda secara terus-menerus, baru akan terlihat

pengaruhnya setelah beberapa tahun kemudian. Misalnya pemberian kloramfenikol

yang terlampau sering pada bayi (sejak umur 2-3 bulan), baru akan menyebabkan

gejala anemia aplastik setelah ia berumur lebih dari 6 tahun. Di samping itu pada

17
beberapa kasus gejala sudah timbul hanya beberapa saat setelah ia kontak dengan

agen penyebabnya4.

Anemia aplastik diklasifikasikan menjadi :


Klasifikasi Kriteria
Anemia Aplastik berat
Selularitas sumsum tulang <25%
Sitopenia sedikitnya dua dari tiga seri sel Hitung netrofil <500/ul
darah Hitung trombosit <20.000/ul
Hitung retikulosit absolute
<60.000/ul
Anemia Aplastik sangat berat Sama seperti diatas kecuali
hitung neutrofil <200/ul
Anemia Aplastik tidak berat Sumsum tulang hiposelular
namun sitopenia tidak memenuhi
criteria berat

Sekitar 50-75% etiologi anemia aplastik merupakan idiopatik. Sekitar 5%

etiologi berhubungan dengan infeksi virus terutama hepatitis. Sekitar 10-15%

berhubungan dengan obat-obatan 6,9.

Etiologi dari anemia aplastik dapat dibagi menjadi:4

a. Faktor kongenital

Sindrom Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali,

strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.

b. Faktor didapat

1. Bahan kimia : benzene, insektisida, senyawa As, Au, Pb

18
2. Obat : kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan), piribenzamin (antihistamin),

santonin-kalomel, obat sitostatika (myleran, methotrexate, TEM, vincristine,

rubidomycine dan sebagainya)

3. Radiasi : sinar rontgen, radioaktif

4. Faktor individu : alergi terhadap obat, bahan kimia dan lain-lain

5. Infeksi : tuberkulosis milier, hepatitis dan sebagainya

6. Idiopatik merupakan penyebab yang paling sering

Pada kasus ini, anemia aplastik yang terjadi bersifat idiopatik dan terjadi

setelah pasien berumur 11 tahun. Hal ini berdasarkan riwayat penyakit penderita dan

riwayat penyakit keluarga. Pasien tidak pernah menderita sakit sebelumnya. Pasien

tinggal bersama orang tua yang bergolongan ekonomi menengah ke atas. Lingkungan

jauh dari daerah pertanian dan tidak pernah terpapar insektisida atau bahan

sejenisnya. Keluarga pasien juga tidak ada yang menderita penyakit yang serupa,

karena penyebab yang tidak jelas ini maka etiologinya digolongkan idiopatik.

Manifestasi klinis pada prinsipnya berdasarkan pada gambaran sumsum

tulang yang berupa aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik, serta

aktifitas relatif sistem limfopoetik dan RES. Gejala anemia dapat berupa pucat, sakit

kepala, palpitasi dan mudah lelah. Pada anemia yang sangat berat dapat terjadi

dispneu, edema pretibial dan gejala lain yang disebabkan kegagalan jantung.

Trombositopenia mengakibatkan perdarahan pada mukosa dan gusi atau timbulnya

petekie dan purpura pada kulit. Granulositopenia sangat memudahkan timbulnya

19
infeksi sekunder dan berulang, hal ini biasanya ditandai dengan demam yang kronik

atau tanda infeksi yang lain sesuai agen penyebabnya 1,2,3,4. Pada anemia aplastik tidak

terjadi pembesaran organ (hepatosplenomegali, limfadenopati)2,4.

Manifestasi klinis yang biasa ditemukan pada anemia aplastik:

Jenis keluhan %

Perdarahan 83
Badan lemah 30
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak nafas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13

Pemeriksaan fisik pada anemia aplastik

Jenis pemeriksaan fisik %

Pucat 100
Perdarahan 63
Kulit 34
Gusi 26
Retina 20
Hidung 7
Saluran cerna 6
Vagina 3
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0

Manifestasi klinis yang berat dari anemia seperti dispneu, edema pretibial

akibat kegagalan jantung tidak didapatkan baik dari anamnesa maupun pemeriksaan

20
fisik. Dari riwayat tidak didapatkan adanya infeksi sekunder yang dapat memperberat

kondisi pasien saat ini.

Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa pucat, perdarahan dan tanpa

organomegali. Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia dan limfositosis

relatif. Diagnosis pasti ditentukan dari pemeriksaan sumsum tulang yaitu gambaran

sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem

eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik. Diantara sel sumsum tulang yang

sedikit ini banyak ditemukan limfosit, sel RES (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel

endotel)4.

Pada kasus ini didapatkan manifestasi klinis berupa gejala anemia yaitu

penderita tampak pucat, mukosa konjungtiva anemis dan tanda granulositopenia

berupa petekie yang tampak di seluruh tubuh.

Pada kasus ini ditegakkan berdasarkan adanya gejala dan tanda anemia dan

granulositopenia dengan ditemukannya organomegali. Hal ini diperkuat dengan

pemeriksaan penunjang yang mendukung dimana semua sel darah mengalami

penurunan jumlah.

Diagnosis banding yaitu ITP dapat disingkirkan karena pemeriksaan darah

rutin dan blood smear pada ITP hanya akan terjadi trombositopenia. Diagnosis

leukemia dapat disingkirkan karena biasanya terjadi organomegali dan pada blood

smear akan ditemukan sel-sel muda. Kedua diagnosis banding di atas akan jelas dapat

disingkirkan apabila dilakukan pemeriksaan BMA.

21
Secara umum penatalaksanaan anemia aplastik adalah terapi primer dan terapi

suportif6,7. Terapi primer dapat berupa transplantasi sumsum tulang terutama pada

pasien yang berusia muda. Transplantasi sumsum tulang ini memiliki angka

kesembuhan yang tinggi yaitu sekitar 70% dengan efek jangka panjang yang baik

yaitu 67%. Jika transplantasi tidak dapat dilakukan karena adanya reaksi penolakan

maka dapat diberikan terapi imunosupresif dengan antilimfosit globulin dan

siklosporin dengan angka keberhasilan jangka panjang 36,6%7. Terapi suportif adalah

pemberian transfusi sesuai dengan kebutuhan penderita6,7.

Penatalaksanaan pada anemia aplastik pada FKUI adalah sebagai berikut4:

1. Prednison dan testosteron

Prednison diberikan dengan dosis 2-5 mg/kgBB/hari peroral, sedangkan

testosteron dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari sebaiknya secara parenteral.

Penelitian menyebutkan bahwa testosteron lebih baik diganti dengan oksimetolon

yang mempunyai daya anabolic dan merangsang sistem hemopoetik lebih kuat

dan diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari peroral. Pengobatan biasanya

berlangsung berbulan-bulan, bahkan sampai dapat bertahun-tahun. Bila telah

terdapat remisi, dosis obat diberikan separuhnya dan jumlah sel darah diawasi

setiap minggu. Bila kemudian terjadi relaps, dosis obat harus diberikan penuh

kembali. Remisi biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan (dengan

oksimetolon 2-3 bulan), mula-mula terlihat perbaikan pada sistem eritropoetik,

kemudian sistem granulopoetik dan terakhir sistem trombopoetik. Kadang-kadang

22
remisi terlihat pada sistem granulopoetik terlebih dahulu, disusul oleh sistem

eritropoetik dan trombopoetik. Pemeriksaan BMA sebulan sekali merupakan

indikator terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telah

tercapai bahaya perdarahan yang fatal masih ada, sehingga pasien sebaiknya

dipulangkan dari rumah sakit setelah jumlah trombosit mencapai 50.000-

100.000/mm3.

2. Transfusi darah

Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan kadar

hemoglobin yang tinggi, karena dengan transfusi darah yang terlampau sering,

akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat menyebabkan timbulnya

reaksi hemolitik (reaksi transfusi), sehingga dalam hal ini transfusi darah gagal

karena eritropoesit, leukosit dan trombosit akan dihancurkan sebagai akibat

timbulnya antibodi terhadap sel darah tersebut. Dengan demikian transfusi darah

hanya diberikan bila diperlukan.

3. Pengobatan terhadap infeksi sekunder

Untuk menghindarkan pasien dari infeksi, sebaiknya pasien diisolasi dalm

ruangan yang suci hama. Pemberian obat antibiotik hendaknya dipilih yang tidak

menyebabkan depresi sumsum tulang. Kloramfenikol tidak boleh diberikan.

4. Makanan

Disesuaikan dengan keadaan pasien, umumnya diberikan makanan lunak.

23
5. Istirahat

Untuk mencegah terjadinya perdarahan, terutama perdarahan otak.

Pada kasus ini penanganan yang terbaik adalah dilakukan transplantasi

sumsum tulang karena umur penderita masih muda dengan efek jangka panjang yang

baik, akan tetapi hal ini tidak memungkinkan dilakukan karena kurangnya sarana dan

prasarana yang ada. Pilihan terapi yang lain yaitu terapi imunosupresif. Terapi

imunosupresif yang memungkinkan untuk dilakukan pada pasien adalah dengan

pemberian kortikosteroid yang dalam hal ini adalah prednison. Program terapi dengan

prednison ini hanya dapat kita lakukan apabila didapatkan kepastian diagnosa dari

BMA.

Imunosupresan glukokortikoid yaitu prednisolon dan prednison. Terhadap

respon imun humoral, efek glukokortikoid belum dapat disimpulkan secara tuntas

yang jelas terlihat ialah pengurangan jumlah immunoglobulin. Terhadap respon imun

selular, glukortikoid menghambat efek MIF sehingga makrofag dibebaskan dari

jeratan disekitar tempat pembebasan MIF dan jaringan setempat terhindar dari

kerusakan akibat penghancuran oleh makrofag. Dalam hal ini, efek glukokortikoid

sebenarnya terjadi berdasarkan mekanisme antiinflamasi10.

Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena prednisone

dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon. Pada penderita dengan hipertensi,

gangguan cor, atau keadaan lain yang retensi garam merupakan masalah, maka dipilih

24
kortikosteroid yang efek mineralokortikoidnya sedikit atau tidak ada, terlebih-lebih

bila diperlukan dosis kortikosteroid yang tinggi 11.

Prognosis bergantung pada gambaran sumsum tulang (hiposeluler atau

seluler) sehingga parameter yang paling baik dalam menentukan prognosis adalah

hasil pemeriksaan BMA. Selain itu, jika kadar Hb F lebih dari 200 mg%, jumlah

granulosit lebih dari 2.000/mm3 dan infeksi sekunder dapat dikendalikan maka

prognosis akan lebih baik4.

BAB IV
PENUTUP

Demikian telah dilaporkan suatu laporan kasus anemia aplastik pada seorang

pasien laki-laki berumur 15 tahun yang dirawat di ruang penyakit dalam RSUD Ratu

Zalecha Martapura. Diagnosa ditegakkan berdasarkan adanya gejala anemia,

granulositopenia dan trombositopenia ringan dengan adanya organomegali serta

pansitopenia pada pemeriksaan darah rutin dan blood smear. Diagnosa pasti

ditegakkan dengan MDT, tidak bisa dilakukan BMA karena ketidaksediaan fasilitas.
25
Etiologi diduga adalah idiopatik. Selama dirawat diberikan terapi suportif berupa

transfusi. Selama dirawat keadaan pasien sempat membaik, kemudian ditemukan

pandangan kabur yang oleh dokter spesialis mata didiagnosa sebagai retinal bleeding

dan pasien diperbolehkan pulang kemudian dirujuk ke poli retina RSUD Ulin

Banjarmasin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Aplastic Anemia (Severe). Dalam : Medical Center, 2010. Dari URL:
http://www.medical center.com/

2. Anonim. Blood Disease Aplastic Anemia. Dalam : Universitas of Maryland,


2010. Dari URL: http://www.UMMC.com/

3. Bakhsi S. Aplastic Anemia. Dalam : Emedicine Article, 2009. Dari URL:


http://www.emedicine.com/

4. Hasan R, Alatas H ed. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Pasien Buku I, 1985;
Jakarta.

5. Salonder, H. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga, 2001;
Jakarta.

6. Small BM. Bone Marrow Failure. Dalam : SMBS Education Fact Sheet, 2011.
Dari URL: http://www.smbs.buffallo.edu/

7. American Cancer Society. Aplastic Anemia. Dalam : ACS Information and


Guide, 2009. Dari URL: http://www.cancer.org/

26
8. Young NS. Acquired Aplastic Anemia. Dalam : Annals of Internal Medicine,
2002. Vol 136 No 7 Dari URL: http://www.annals.org/

9. Lee D. Bone Marrow Failure. Dari URL: http://www.medsqueensu.ca/

10. Tirza D dan Handoko T Imunosupresan. Dalam : Farmakologi dan Terapi Edisi
4. Editor : Sulistia G. Ganiswara. 1995: FKUI, Jakarta hal709-710.

11. Djuanda A Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam Bidang


Dermato-venerologi. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 3. Editor :
Adhi Djuanda. 2001: FKUI, Jakarta hal 316

27

Anda mungkin juga menyukai