Anda di halaman 1dari 31

BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MA
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 3 Tahun 10 Bulan
TTL : 01 Desember 2015
Alamat : Jl Burneh Robatal Sampang
Agama : Islam
Masuk RS : 04 Oktober 2019
Keluar RS : 07 Oktober 2019
Ruang : Melati B7

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Perut membesar
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan perut membesar sejak lebih dari 2 bulan yang
lalu sebelum masuk rumah sakit. Ibu pasien mengatakan keluhan tersebut sering
dialami sejak kecil. BAB hanya keluar sedikit-sedikit berupa cairan, darah
dan lender disangkal. Sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien
mengatakan bahwa nafsu makan pasien berkurang, mual muntah disangkal,
tapi perutnya membesar. Biasanya pasien dapat BAB setelah minum dulcolax
namun 2 bulanan ini meskipun sudah diberi dulcolax tapi pasien masih belum bisa
BAB sampai sekarang. Demam untuk saat ini disangkal, BAK dalam batas normal
dan tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Keluhan yang sama sudah pasien alami sejak lahir. Sehari setelah
lahir, pasien dipulangkan. Setelah dirumah, pasien menyusu dengan baik namun
perutnya tampak membesar, selama 3 hari di rumah pasien tidak BAB. Perut
menjadi kembung (+), muntah 2 kali berwarna kekuningan, BAK normal. Oleh

1
keluarga, pasien dibawa ke RSUD Sampang namun karena keterbatasan sarana
medis lalu pasien dirujuk ke RSUD Pamekasan. Selama di RSUD Pamekasan
sempat dilakukan dekompresi dan diberikan obat-obatan lewat dubur serta
dilakukan pemeriksaan foto x-ray sebelum akhirnya di rujuk ke RSUD Dr.
Soetomo. Di RSUD Dr. Soetomo pasien dikonsulkan ke bagian bedah anak
kemudian dilakukan pemasangan infus, dipasang rectal tube, dilakukan wash out,
dan di rencanakan untuk operasi namun. Karena keterbatasan biaya, pasien tidak
dapat dilakukan operasi langsung sehingga pasien dipulangkan dan orangtua
dibekali cara wash out mandiri dirumah. Selama dirumah pasien tiap BAB harus
di wash out terlebih dahulu biasanya 1 minggu sekali atau dua kali namun tidak
rutin, dan sejak usia 3 tahun pasien sesekali meminum opat pencahar (dulcolax)
untuk merangsang BABnya keluar sampai sekarang. 2 bulan terakhir ini BAB
tidak keluar sekalipun mneggunakan obat pencahar dan perut semakin membesar,
demam disangkal, mual muntah saat ini disangkal, nafsu makan minum sedikit
berkurang, BAK dalam batas normal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat trauma pada perut : disangkal.
Riwayat operasi sebelumnya : disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat keluhan yang sama disangkal

Riwayat kehamilan :
Ibu P2A0 dengan taksiran usia kehamilan 38-40 minggu. Kelainan
fisik ibu tidak ada. Ibu melakukan ante natal care (ANC) tidak rutin ke posyandu,
dan hanya 1 kali ke dokter spesialis kandungan sebelum proses kelahiran,
dikatakan saat itu kondisi janin dalam keadaan baik. Ibu selalu melakukan
pemeriksaan tekanan darah selama hamil di posyandu dan didapatkan hasil yang
selalu normal, tidak melakukan konsultasi gizi, namun pasien mengaku rutin
minum vitamin yang diberikan oleh bidan.
Riwayat kelahiran : spontan dari ibu P2A0 ditolong dokter
kandungan, langsung menangis, BBL
2500g, aterm, cukup bulan

2
Riwayat mekoneum : > 3 hari
Riwayat gizi dan nutrisi :
- ASI diberikan sampai usia 4 bulan kemudian diberikan susu formula sebagai
tambahan ASI
- Dari usia kurang dari 6 bulan sudah mulai diberikan bubur bayi instant.
Riwayat Imunisasi :
Tidak dapat dievaluasi, saat dilakukan anamnesis ibu pasien mengaku
kurang mengerti namun ibu pasien mengaku terkadang mengikuti kegiatan yang
ada di puskesmas seperti penimbangan BB balita
Riwayat Tumbuh Kembang :
- 4 bulang : tengkurap mandiri
- 6 bulan : merangkak dan duduk, bicara sedikit-sedikit
- 10 bulan : berdiri dengan pengangan tangan
- 13 bulan : berjalan
Riwayat Pengobatan : Dulcolax

PEMERIKSAAN FISIK (dilakukan pada tanggal 4 Oktober 2019)


Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Nadi : 110 x/menit
Respirasi : 28 x/menit
Suhu : 36,7 °C
Antropometris
Berat Badan (BB) : 14 kg
Tinggi Badan(TB) : 92 cm
BB/U : titik berada di antara 0 SD dan 2 SD  Normoweight
TB/U : titik berada di antara 0 SD dan 2 SD  Normolength
BB/TB : titik berada di antara 0 SD dan 1 SD  Gizi Baik

3
Status Generalis
Kepala : Normocephalic, Rambut bewarna hitam, tidak mudah
rontok, A/I/C/D -/-/-/-, Pupil bulat isokor 3mm/3mm,
Refleks cahaya D/I (+/+), hidung dan telinga dbn
Leher : Trakea berada di tengah dan tidak terdapat deviasi.
Tak tampak adanya pembesaran KGB, tak tampak
adanya pembesaran tyroid.
Thorax
Jantung Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat, pergerakan dada simetris,
efloresensi yang bermakna (-).
Palpasi : ictus cordis teraba di midclavicular ICS V
Perkusi : batas jantung kanan di parasternal ICS III-IV dextra,
batas jantung kiri ICS III sternalis dan di midclavicular
ICS IV sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I &II reguler, murmur (-), gallop (-).
Paru Inspeksi : Ppergerakan dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Pergerakan dada saat bernafas baik, vokal fremitus
simetris kanan dan kiri
Perkusi : Suara sonor di kedua lapang paru,
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-.
Abdomen Inspeksi : Distended (+), darm contour (+), darm steifung (+),
sikatriks (-)
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat 16x/ menit
Perkusi : Timpani +
Palpasi : Nyeri tekan (-), supel, hepar lien tidak teraba, teraba
massa (+)  status lokalis
Ekstremitas Inspeksi : simetris, palmar eritem (-)
Palpasi : akral teraba hangat kering merah +/+/+/+, oedem -/-/-
/, CRT <2dtk

4
Status Lokalis

Regio Look : Distended (+), darm contour (+), darm steifung (+),
Abdomen sikatrik (-)
Feel : Nyeri tekan (-), supel, hepar lien tidak teraba, defans
muskular (-).
Teraba massa (+) berbentuk bulat lonjong,
berbatas ukuran ± 8 x 6 cm, konsistensi padat
lunak, mobile jika digerakkan.
Anus dan Inspeksi : tampak normal, hiperemis (-), benjolan (-).
rectum Palpasi : Pada pemeriksaan Rectal toucher, didapatkan Tonus
sphincter ani normotom, ampulla rectum didapatkan
massa (+) menyentuh ujung jari pemeriksa, mukosa
licin,, nyeri tekan (-), pada handschoen didapatkan
feses yang menempel di ujung jari pemeriksa, tidak
ditemukan darah dan lendir, dan tidak ada feses yang
menyemprot.
INITIAL ASSASMENT
Hirschsprung’s Disease

DIAGNOSIS BANDING
- Hirschsprung’s Disease
- Ileus Obstruksi
- Enterocolitis
- Meconium Plug Syndrome
- Small Left Colon Syndrome

5
PLANNING DIAGNOSIS
- Darah Lengkap
- Urine Lengkap
- BOF
- Barium Enema
- Anorectal Manometri
- Biopsi Rectum

PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN
Darah Lengkap (27/09/2019) Urine Lengkap (04/10/2019)

6
BOF (01 Oktober 2019)

Klinis :
- Bayangan gas usus normal
- Hepar dan lien kesan tak
membesar,
- Psoas shadow normal
- Bayangan ginjal kanan kiri
kesan normal
- Tulang-tulang kesan normal
- Terdapat bulky faecal

Kesan :
Bulky faecal material di
abdomen

7
PEMERIKSAAN LAIN YANG SEBELUMNYA DILAKUKAN

Foto Thorax ( 27 September 2019 )

Klinis :
- Cor : Besar dan bentuk ukuran
normal
- Pulmo : tampak patchy infiltrate
di suprahiller kanan kiri dan
paracardial kanan kiri
- Kedua sinus costoprenicus tajam
- Tulang dan soft tissue tampak
normal

Kesan :
Bronchopneumonia

BOF (09 Januari 2016)


Klinis :
- Distribusi gas usus tampak
dilatasi dan meningkat
- Hepar dan lien tampak normal,
tidak membesar
- Kontur kedua ginjal tak tampak
jelas
- Musculus psoas tak tampak jelas
- Corpus, pedicle dan spatium
intervertebralis baik
- Tak tampak bayangan
radiopaque sepanjang traktus
urinarius

Kesimpulan :
 Peningkatan dan dilatasi gas
usus bisa suatu ileus
DD : Ileus Paralitik
(proevaluasi lebih lanjut)
 Tak tampak batu radiopaque
sepanjang traktus urinarius
DIAGNOSIS KERJA
Hirschsprung’s Disease

RENCANA TINDAKAN
- Informed Consent
- Colotranversostomy Sinistra
- Lavement washout dengan glycerin : PZ hangat 50:50 (2x/hari)
- Profilasis antibiotic cefuroxime 1 g di OK
- Konsul dokter anestesi
- Puasa jam 06.00 terakhir makan & minum
- Infus D5 ¼ NS 40cc / jam
- Konsul dokter pediatric
- Cek urinalisis  hasilnya dalam batas normal  acc operasi

PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam

2
LAPORAN OPERASI
Diagnosis Pra : hirschsprung's Tgl Operasi : 05-10-2019
Bedah disease + retensi
fecaloma +
encoporesis
Diagnosis Pasca : hirschsprung's Mulai Jam 15.00
Bedah disease + retensi Selesai Jam 16.15
fecaloma +
encoporesis
Jenis Tindakan : Colotranversostomi S Asisten I : Catur Ertika S.Kep
+ evakuasi fecaloma
Nama Operator : Barmadisatrio, dr. Asisten II : Yusna A Md.Kep
Sp.B, Sp. BA
Nama Instrumentor : Tika Jenis Mulai Jam 14.50
Anestesi : Selesai Jam
SAB 16.15
Nama Anestesist dr. Reza Hery Urgensi No. K. Operasi :
Mahendra Putra, Sp. Operasi : 5
An Elektif Ronde Ke : 3
Isi Laporan : Penjelasan Teknik Operasi Secara Kronologi (Kalo Perlu)
Persiapan Operasi : Informed consent
Puasa
Washout
Antibiotic Profilaksis cefuroksime 1 g
Posisi Pasien : Telentang
Desinfeksi : Povidone Iodine 10%
Insisi Kulit Dan Pembukaan : Transversal di hipokondrium S
Lapangan Op
Pendapatan Pada Explorasi : Dilatasi sigmoid berisi fecal material
Apa Yang Dikerjakan : Dilakukan colotransversostomi S +
evakuasi fecaloma via anus
Penutupan Lapangan Op & : Jahit 8 penjuru di stoma
Kulit
Komplikasi Op : -
Pendarahan Durante Op : ± <2 cc minimal
Deskripsi Jaringan/Organ Yang : Colontranversum dilakukan pembuatan
Di Eksisi & Diapakan stoma
Jar/Organ Itu
Lain2 Yang Perlu : -
Kesimpulan : Telah dilakukan colotransversostomi S +
evakuasi fecaloma

3
Dokumentasi Durante Operasi colotransversostomi S + evakuasi fecaloma
Desinfeksi daerah operasi (abdomen) Insisi transversal di hipokondrium kiri

Jahit 8 penjuru di stoma Jahit 8 penjuru di stoma

Stoma Ditutup Dengan Ostomy Bag Evakuasi Fecaloma Via Anus

4
FOLLOW UP HARIAN
Tanggal S Perut kembung
04-10-2019 Tidak bisa BAB
Nafsu makan berkurang
O KU : lemah
GCS 456 (CM)
RR 26 x/menit
N 120 x/menit
S 36,2◦C
Saturasi O2 99%
A Hirschsprung’s Disease
P - Informed Consent
- Pro Colotranversostomy sinstra tanggal 05-10-19
- Lavement washout dengan glycerin : PZ hangat 50:50
(2x/hari)
- Profilasis antibiotic cefuroxime 1 g di OK
- Konsul dokter anestesi
- Puasa jam 06.00 terakhir makan & minum
- Infus D5 ¼ NS 40cc / jam
- Konsul dokter pediatric
- Cek urinalisis  hasilnya dalam batas normal  acc
operasi
Tanggal S Perut kembung
05-10-2019 Rewel
O KU : lemah
GCS 456 (CM)
RR 24 x/menit
N 132 x/menit
S 37 ◦C
A  Hirschsprung’s Disease
P - Colotranversostomy sinstra jam 15.00 wib
- Lavement washout dengan glycerin : PZ hangat 50:50
(2x/hari)  washout pagi jam 06.00 wib
- Terapi post op
- Infus D5 ¼ NS 45cc / jam
- Injeksi cefuroxime 3 x 250 mg intravena
- Injeksi ondancentron 2 x 2 mg intravena
- Injeksi antrain 3 x 200 mg intravena
- Lavement washout dengan PZ hangat 2 xc100 cc
- Rawat colostomy

5
Tanggal S Belum BAB, tapi perut sudah tidak begitu kembung
06-10-2019 Makan minum membaik
O KU : lemah
GCS 456 (CM)
RR 24 x/menit
N 120 x/menit
S 37◦C
A  Hirschsprung’s Disease
P - Infus D5 ¼ NS 45cc / jam
- Injeksi cefuroxime 3 x 250 mg intravena
- Injeksi ondancentron 2 x 2 mg intravena
- Injeksi antrain 3 x 200 mg intravena
- Lavement washout dengan PZ hangat 2 xc100 cc
- Rawat colostomy
Tanggal S Tadi pagi BAB sendiri tanpa di washout
07-10-2019 Makan minum membaik
O KU : Tampak Baik
GCS 456 (CM)
RR 24 x/menit
N 116 x/menit
S 36,8◦C
A  Hirschsprung’s Disease
P - Infus D5 ¼ NS 45cc / jam
- Injeksi cefuroxime 3 x 250 mg intravena
- Injeksi ondancentron 2 x 2 mg intravena
- Injeksi antrain 3 x 200 mg intravena
- Lavement washout dengan PZ hangat 2 xc100 cc
- Rawat colostomy

R/ KRS dengan obat pulang :


- Ibu profen syrup 3 x cth I
- Cefixime syrup 2 x cth I
- Washout dengan glycerin : PZ hangat 50:50 (2x/hari)

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI ANOREKTAL
Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi
ektoderm, sedangkan rektum berasal dari endoderm. Karena perbedaan anus
dan rektum ini, maka perdarahan, persarafan, serta aliran limfa berbeda.
Rektum dilapisi mukosa glanduler, sedangkan kanalis analis, yang merupakan
epitel gepeng. Tidak ada yang disebut mukosa anus. Daerah batas rektum dan
kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis epitel. Kanalis analis dan kulit
luar disekitarnya kaya akan persarafan sensoris somatik yang peka terhadap
rangsangan nyeri, sedangkan mukosa rektum mempunyai persarafan autonom
dan tidak peka terhadap nyeri. Darah vena di atas garis anorektum mengalir
melalui sistem porta, sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem
kava melalui vena iliaka.4,5
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif
mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana
bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior.4,5

Gambar 1. Rektum dan Kanalis Analis

Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi
sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dikelilingi oleh
sfingter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi

7
rektum ke luar. Sfingter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan
depan.4,5
Vaskularisasi rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan
medialis (a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti
oleh a.uterina) yang merupakan cabang dari a.mesenterika inferior.
Sedangkan arteri hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari a.pudendalis
interna, berasal dari a.iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal dan
daerah anus.1

Gambar 2. Vaskularisasi anorektal

Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf


simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut
syaraf parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus.
Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan
muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis
mensyarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak
mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh
n.splanknikus (parasimpatis). Walhasil, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi
oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik (syaraf parasimpatis).1

8
Gambar 3. Innervasi daerah perineum (laki-laki)
Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.

Gambar 4. Skema syaraf autonomy instrinsik usus

Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada


ke-3 pleksus tersebut.
Fungsi Saluran Anal Pubo-rectal sling dan tonus spinkter ani eksterna
bertanggung jawab atas penutupan saluran anal ketika istirahat. Jika ada
peristaltik yang kuat, akan menimbulkan regangan pada sleeve and sling.
Untuk menghambat gerakan peristaltik tersebut (seperti mencegah flatus)
maka diperlukan kontraksi spinkter eksterna dan sling yang kuat secara sadar.
Sleeve and sling dapat membedakan antara gas, benda padat, benda cair,
maupun gabungan, serta dapat mengeluarkan salah satu tanpa mengeluarkan
yang lain.1
Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.
Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada

9
wakru dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat
kompleks, namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan:
- Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih
proksimal ke rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan
sigmoid (2-3 kali/hari) serta refleks gastrokolik.
- Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory
reflex, yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi
spinkter ani interna secara involunter.
- Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara
involunter. Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan
relaksasi akibat kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri.
- Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal
secara volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut,
hingga defekasi dapat terjadi.1

B. DEFINISI
Hirschsprung’s Disease atau Megakolon Konginetal adalah suatu
kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak adanya sel ganglion
parasimpatik pleksus auerbach dan meissner pada kolon distal mulai dari
spinkter ani kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi dan
memberikan gejala klinis akibat gangguan pasase kolon fungsional.2

Gambar 5. Gambaran colon normal dan Hirschsprung’s Disease

C. EPIDEMIOLOGI

10
Hirschsprung’s Disease adalah suatu penyakit kongenital karena
kurangnya saraf intrinsik (sel ganglion) pada segmen distal traktus
intestinum. Adanya segmen abnormal tersebut menyebabkan obstruksi
mekanik akibat kegagalan relaksasi saat proses peristaltik. Insiden
Hirschsprung’s Disease terjadi pada 1 di antara 5.000-10.000 kelahiran
hidup. Sekitar 80% anak-anak memiliki 'zona transisi' di rektum atau kolon
rectosigmoid. 10% lainnya memiliki keterlibatan kolon lebih proksimal, dan
sekitar 5-10% memiliki aganglionosis total pada kolon dengan keterlibatan
variabel usus halus distal. Jarang, bayi menderita aganglionosis usus
mendekati total. Sejumlah sindrom berhubungan dengan Hirschsprung’s
Disease termasuk trisomi 21, congenital central hypoventilation syndrome,
Goldberg–Shprintzen syndrome, Smith– Lemli–Opitz syndrome,
neurofibromatosis, and neuroblastoma (Tabel.1).
Congenital Anomalies and Conditions
TABEL 1 Commonly Associated with
Hirschsprung Disease

D. ETIOLOGI
Hirschsprung’s Disease disebabkan oleh malformasi pada sistem
parasimpatis pelvis yang mengakibatkan tidak adanya sel ganglion di pleksus
Auerbach dari segmen – segmen kolon distal. Penyebab Hirschsprung’s
Disease masih belum sepenuhnya dipahami, meskipun pemikiran saat ini
menunjukkan bahwa penyakit ini merupakan hasil dari cacat dalam migrasi
sel krista neural, yang merupakan prekursor embrionik dari sel ganglion usus.
Dalam kondisi normal, sel-sel krista neural bermigrasi ke usus dari cephal ke

11
caudal. Proses ini selesai pada minggu kedua belas kehamilan, tetapi migrasi
dari kolon midtransverse ke anus membutuhkan waktu 4 minggu. Selama
periode terakhir ini, janin paling rentan terhadap cacat dalam migrasi sel
krista neural. Ini mungkin menjelaskan mengapa sebagian besar kasus
aganglionosis melibatkan rektum dan rektosigmoid. Panjang segmen
aganglionik usus ditentukan oleh daerah paling distal yang dicapai oleh sel-
sel krista neural bermigrasi. Dalam kasus yang jarang terjadi, aganglionosis
kolon total dapat terjadi.
Studi terbaru telah menjelaskan dasar molekuler untuk penyakit
Hirschsprung. Pasien dengan penyakit Hirschsprung mengalami peningkatan
frekuensi mutasi pada beberapa gen, termasuk GDNF, Ret reseptornya, atau
koreceptornya Gfra-1. Selain itu, mutasi pada gen-gen ini juga mengarah
pada megakolon aganglionik pada tikus, yang memberikan kesempatan untuk
mempelajari fungsi protein yang dikodekan. Investigasi awal menunjukkan
bahwa GDNF menampilkan kelangsungan hidup, proliferasi, dan migrasi sel
populasi campuran krista neural dalam kultur. Penelitian lain telah
mengungkapkan bahwa GDNF diekspresikan dalam usus sebelum bermigrasi
sel krista neural dan kemoattractive untuk sel krista neural dalam kultur.
Temuan ini meningkatkan kemungkinan bahwa mutasi pada gen GDNF atau
Ret dapat menyebabkan gangguan migrasi krista neural dalam rahim dan
perkembangan penyakit Hirschsprung.

E. PATOFISIOLOGI
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal
colon dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu
bagian yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal
sehingga bagian yang normal akan mengalami dilatasi di bagian
proksimalnya. Bagian aganglionik selalu terdapat dibagian distal
rectum. Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang
propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus
internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau
disganglionosis pada usus besar.5

12
1. Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area
hipoganglionosis. Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi.
Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang
dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari
jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus berkurang
50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang
colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon.
2. Imaturitas dari sel ganglion
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali
dengan pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak
memiliki sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase. Sehingga
tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwann’s dan sel saraf lainnya.
Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi
succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah pada minggu
pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh reaksi
SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2 sampai 4
tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan
hipoganglionosis.
3. Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal
dari vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular
adalah infeksi Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin
B1, infeksi kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel
ganglion karena aliran darah yang inadekuat, aliran darah pada segmen
tersebut, akibat tindakan.

13
F. KLASIFIKASI
Hirschsprung’s Disease dikategorikan berdasarkan seberapa banyak
colon yang terkena. Tipe Hirschsprung’s Disease meliputi:
1. Ultra short segment : Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat
kecil dari rectum.
2. Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil
dari colon.
3. Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar
colon.
4. Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum
dan kadang sebagian usus kecil.

G. DIAGNOSIS
 Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi
pada neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah
terlambatnya mekonium untuk dikeluarkan dalam waktu 24 jam setelah
lahir. Tetapi gejala ini biasanya ditemukan pada 6% atau 42% pasien.
Gejala lain yang biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan
pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjadi pada
neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan kegagalan
pertumbuhan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan
periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif
kita harus mencurigai adanya enterokolitis. Pada bayi yang lebih tua
penyakit hirschsprung akan sulit dibedakan dengan kronik konstipasi dan
enkoperesis. Faktor genetik adalah faktor yang harus diperhatikan pada
semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium enema dilakukan pada
hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan sulit ditemukan.
Penyakit hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran spastic
pada segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal
intestinal. 4

14
 Gejala klinik
Pada periode bayi baru lahir, gejala yang paling umum adalah
perut kembung (distensi abdomen), delayed meconium >24 jam, dan
emesis bilious. Setiap bayi yang tidak mengeluarkan meconium lebih dari
24 jam awal kehidupan harus diselidiki untuk mengetahui adanya
Hirschsprung’s Disease. Kadang-kadang, bayi hadir dengan komplikasi
enterocolitis. Pola presentasi ini ditandai oleh distensi abdomen dan nyeri
tekan serta dikaitkan dengan manifestasi toksisitas sistemik yang meliputi
demam, gagal tumbuh, dan lesu. Bayi sering mengalami dehidrasi dan
menunjukkan leukositosis. Pada pemeriksaan dubur, pengeluaran paksa
dari feses cair berbau busuk biasanya diamati dan mewakili akumulasi
tinja di bawah tekanan dalam usus distal yang terhambat. Perawatan
termasuk rehidrasi, antibiotik sistemik, dekompresi nasogastrik, dan
irigasi rektum sementara diagnosis penyakit Hirschsprung sedang
dikonfirmasi. Pada anak-anak yang tidak berespon terhadap manajemen
nonoperatif, diperlukan stoma dekompresi. Penting untuk memastikan
bahwa stoma ini ditempatkan di usus yang mengandung ganglion, yang
harus dikonfirmasi oleh bagian beku pada saat pembuatan stoma.
Dalam sekitar 20% kasus, diagnosis Hirschsprung’s Disease dibuat
melampaui periode bayi baru lahir. Anak-anak ini mengalami sembelit
parah, yang biasanya diobati dengan obat pencahar dan enema. Distensi
abdomen dan kegagalan tumbuh juga dapat terjadi saat diagnosis.

Gambar 6. Distensi abdomen pada pasien Hirschsprung’s Disease

15
 Pemeriksaan penunjang :
Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan
pemeriksaan :
1. Barium enema.
Pada pasien Hirschsprung’s Disease, spasme pada distal rectum
memberikan gambaran seperti kaliber/peluru kecil jika dibandingkan
colon sigmoid yang proksimal. Identifikasi zona transisi dapat
membantu diagnosis Hirschsprung’s Disease. 1 Segmen aganglion
biasanya berukuran normal tapi bagian proksimal usus yang
mempunyai ganglion mengalami distensi sehingga pada gambaran
radiologis terlihat zona transisi. Dilatasi bagian proksimal usus
memerlukan waktu, mungkin dilatasi yang terjadi ditemukan pada
bayi yang baru lahir. Ada beberapa tanda dari penyakit Hirschsprung
yang dapat ditemukan pada pemeriksaan barium enema, yang paling
penting adalah zona transisi. Posisi pemeriksaan dari lateral sangat
penting untuk melihat dilatasi dari rektum secara lebih optimal.
Retensi dari barium pada 24 jam dan disertai distensi dari kolon ada
tanda yang penting tapi tidak spesifik. Enterokolitis pada
Hirschsprung’s Disease dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen
yang ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang
berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme, ulserasi dari dinding
intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan barium
enema. Diagnosis radiologi sangat sulit untuk tipe aganglionik yang
long segmen, sering seluruh colon. Tidak ada zona transisi pada
sebagian besar kasus dan kolon mungkin terlihat normal / dari semula
pendek / mungkin mikrokolon. Hirschsprung’s Disease harus
dipikirkan pada semua neonates dengan berbagai bentuk perforasi
spontan dari usus besar / kecil atau semua anak kecil dengan
appendicitis pada 1 tahun pertama. 6

16
Gambar 7. These two barium enema examinations in different infants
demonstrate Hirschsprung disease. The aganglionic rectum (arrows) in
both studies is small and contracted. The proximal ganglionic colon is
dilated. A transition zone between the aganglionic and ganglionic colon
is nicely seen in both studies.

2. Anorectal manometry
Anorectal manometry adalah salah satu tehnik pemeriksaan yang
berguna, yang mana pada pemeriksaan ini akan menampilkan recto-
anal inhibitory reflex (refleks relaksasi dari muskulus spingter ani
interna saat dilakukan distensi balon pada rectum. Pada
Hirschsprung’s Disease, gejala yang ditemukan adalah kegagalan
relaksasi sphincter ani interna ketika rectum dilebarkan dengan balon.
Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan dan pasien bisa
langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi umum. Metode ini
lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan
pada neonatus.3

17
Gambar8. (A) In the child without Hirschsprung disease undergoing anorectal
manometry, the recto-anal inhibitory reflex is normal. Note the drop in the internal
sphincter pressure with rectal distention. (B) A child with Hirschsprung disease is
seen to have abnormally increased contraction of the anal canal and no relaxation
of the internal sphincter with rectal distention. (The arrow points to the initiation of
rectal distention in both A and B)

4. Biopsy Rectal
Merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis penyakit
hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan
morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy
rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil 1,0 -1,5 cm
diatas linea dentate dan juga mengambil sample yang normal jadi dari
yang normal ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya
harus menggunakan anestesi umum karena contoh yang diambil pada
mukosa rectal lebih tebal. 3

18
FIGURE 34-4 ■ Histological findings in children with
Hirschsprung disease. (A) Absence of ganglion cells in the
myenteric plexus. (B) Hypertrophied nerve trunks are marked
with arrows

FIGURE 34-5 ■ Cholinesterase staining in (A) normal colon


and (B) colon affected by Hirschsprung disease.

FIGURE 34-6 ■ Calretinin staining in (A) normal colon and


(B) colon affected by Hirschsprung disease.

19
 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh
kelainan dengan obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:
Obstruksi mekanik Obstruksi fungsional
- Meconium ileus {Simple / - Sepsis
Complicated (with meconium cyst - Intracranial hemorrhage
or peritonitis)} - Hypothyroidism
- Meconium plug syndrome - Maternal drug ingestion or
- Neonatal small left colon addiction
syndrome - Adrenal hemorrhage
- Malrotation with volvulus - Hypermagnesemia
- Incarcerated hernia - Hypokalemia
- Jejunoileal atresia
- Colonic atresia
- Intestinal duplication
- Intussusception
- NEC

H. TATALAKSANA
Diagnosis dari penyakit hirschsprung pada semua kasus membutuhkan
pendekatan pembedahan klinik terdiri dari prosedur tingkat multipel. Hal ini
termasuk kolostomi pada neonatus, diikuti dengan operasi pull-
through definitif setelah berat badan anak >10 kg. Ada tiga opsi yang layak
untuk prosedur pull-through definitif yang saat ini digunakan. Meskipun
masing-masing ahli bedah dapat menganjurkan satu prosedur di atas prosedur
lain, penelitian telah menunjukkan bahwa hasil setelah setiap jenis operasi
adalah serupa. Untuk setiap operasi yang dilakukan, prinsip-prinsip
perawatan termasuk mengkonfirmasikan lokasi zona transisi antara usus
ganglion dan aganglionik ada, reseksi segmen aganglion usus, dan melakukan
anastomosis usus ganglion baik ke anus atau manset mukosa dubur (Gbr. 39-
23).

20
Gambar. A. The Duhamel procedure, B. The Swenson procedure, C. The
Soave operation.
Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat
dilakukan secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini
mengikuti prinsip terapi yang sama seperti pada prosedur bertingkat
melindungi pasien dari prosedur pembedahan tambahan. Banyak dokter
bedah melakukan diseksi intra abdominal menggunakan laparoskop. Cara ini
terutama banyak pada periode neonatus yang dapat menyediakan visualisasi
pelvis yang baik. Pada anak-anak dengan distensi usus yang signifikan adalah
penting untuk dilakukannya periode dekompresi menggunakan rectal
tube jika akan dilakukan single stage pull-through. Pada anak-anak yang
lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim, kolostomi dilakukan
dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi sebelum dilakukan
prosedur pull-through. Namun, harus ditekankan, tidak ada batas umur pada
prosedur pull-through.
Dari ketiga prosedur pull-through yang dilakukan pada penyakit
Hirschsprung yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini
rektum aganglionik diseksi pada pelvis dan dipindahkan ke anus. Kolon
ganglionik lalu dianastomosis ke anus melalui pendekatan perineal. Pada
prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi terhadap ruang retrorektal
dan kolon ganglionik dianastomosis secara posterior tepat di atas anus.
Dinding anterior dari kolon ganglionik dan dinding posterior dari rektum
aganglionik dianastomosis menggunakan stappler. Walaupun kedua prosedur
ini sangat efektif, namun keterbatasannya adalah adanya kemungkinan
kerusakan syaraf parasimpatis yang menempel pada rektum. Untuk mengatasi
masalah ini, prosedur Soave menyertakan diseksi seluruhnya dari rektum.

21
Mukosa rektum dipisahkan dari mukosa muskularis dan kolon yang
ganglionik dibawa melewati mukosa dan dianastomosis ke anus. Operasi ini
dapat dilakukan sepenuhnya dari bawah. Dalam banyak kasus, sangat penting
untuk menentukan dimana terdapat usus yang ganglionik. Banyak ahli bedah
mempercayai bahwa anastomosis dilakukan setidaknya 5 cm dari daerah yang
sel ganglion terdeteksi. Dihindari dilakukannya pull-through pada zona
transisi yang berhubungan dengan tingginya angka komplikasi karena tidak
adekuatnya pengosongan segmen usus yang aganglionik. Sekitar 1/3 pasien
yang di pull-through pada zona transisi akan membutuhkan reoperasi.
Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post
operatif, konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, hasil jangka panjang dengan menggunakan 3 prosedur
sebanding dan secara umum berhasil dengan baik bila ditangani oleh tangan
yang ahli. Ketiga prosedur ini juga dapat dilakukan pada aganglionik kolon
total dimana ileum digunakan sebagai segmen yang di pull-through.
Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan
penyakit hirschsprung:
- Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen
kemudian dalakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy
seromuskuler.
- Terapi definitif yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3 metode:
1. Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter
ani interna dan dilakukan anastomosis coloanal pada perineum
2. Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian
yang ganglionik ditarik ke bagian belakang ujung daerah aganglioner.
stapler GIA kemudian dimasukkan melalui anus.
3. Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan bagian distal
aganglioner.
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya
berhasil baik, walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga
konstipasi adalah gejala tersering pada pascaoperasi.

22
I. KOMPLIKASI
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
hisprung dapat digolongkan atas :
1) Kebocoran anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan
yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang inadekuat
pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose
serta trauma colok dubur businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu
dini dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis yang terljadi akibat kebocoran
anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga pelvic, abses intra
abdomen, peritonisis, sepsis dan kematian.
2) Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka daerah anastomose, serta prosedur bedah
yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi
prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat
prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat
prosedur Soave. Manifestasi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen,
enterokolitis hingga vistula perianal.
3) Enterokolitis
Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat mengakibatkan
kematian. Tindakan yang dapat dilakukan dengan penderita dengan
tanda-tanda enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan dan
elektrolit, pemasangan pipa rectal untuk decompresi, melakukan wash
out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotic
yang tepat.
4) Gangguan fungsi spingter

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Wahab,Samik. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. EGC : 2000


2. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in:
Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia.
page 453-468
3. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies
of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging
10th edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153
4. Hidayat Muhammad dan Nurmantu, Farid, dkk. Anorectal Function of
Hiscprung’s patients after definitive surgery. Faculty of public health,
hasanudin university. Vol/.2 April- June 2009 : 77- 85.
5. Hay, William, Levin, Myron and Sondheimer, Judith. Current Diagnosis and
Treatment Pediatrics 20th Edition. Mcgraw-Hill Books. 2011
6. Juffrie, Mohammad, dkk. Buku Ajar Gastroenterologi-hepatologi. UKK-
Gastroenterologi-Hepatologi IDAI. 2012

24

Anda mungkin juga menyukai