Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
MENINGITIS
Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. William, Sp.A
TUTORIAL KLINIK
MENINGITIS
Oleh :
Pembimbing :
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME, berkat rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Meningitis”. Tutorial ini
disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Anak
Rumah Sakit Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima aksih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Achmad Wisnu Wardhana, M. Sc., Sp. A, sebagai Kepala Laboratorium
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. William, Sp.A, selaku dosen pembimbing tutorial klinik.
5. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
6. Rekan sejawat dokter muda stase Ilmu Anak yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
7. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan. Akhir kata, semoga
dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada
meningen atau lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum
tulang belakang yang terdiri dari Duramater, Arachnoid dan Piamater. Secara
klinis, meningitis bermanifestasi dengan gejala meningeal (misalnya, sakit kepala,
kaku kuduk, fotofobia), serta pleositosis (peningkatan jumlah sel darah putih)
dalam cairan cerebrospinal (CSS). Berdasarkan durasi gejala, meningitis dapat
diklasifikasikan sebagai akut atau kronis. Meningitis secara anatomis dibagi
menjadi inflamasi dura, kadang-kadang disebut sebagai pachymeningitis (agak
jarang) dan leptomeningitis, yang lebih umum dan didefinisikan sebagai
peradangan pada jaringan arakhnoid dan ruang subaraknoid.2
Penyebab paling umum peradangan pada meningen adalah akibat iritasi oleh
infeksi bakteri atau virus. Organisme biasanya masuk meningens melalui aliran
darah dari bagian lain dari tubuh ataupun dapat secara langsung (perkontinuitatum
dari peradangan organ atau jaringan di dekat selaput otak.2
Meningitis yang disebabkan oleh organisme nonbacterial, jamur dan parasit
penyebab meningitis juga disebut menurut agen spesifik penyebabnya, seperti
meningitis kriptokokal, meningitis Histoplasma, dan meningoencephalitis
amebic.2
Penyakit ini menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang signifikan di
seluruh dunia. Keadaan ini harus ditangani sebagai keadaan emergensi.
Kecurigaan klinis meningitis sangat dibutuhkan untuk diagnosis. Bila tidak
terdeteksi dan tidak diobati, meningitis dapat mengakibatkan kematian.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya tutorial klinik ini adalah untuk menambah wawasan bagi
dokter muda mengenai Meningitis dan sebagai salah satu syarat mengikuti ujian
stase Ilmu Kesehatan Anak.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Identitas Pasien
Nama : An. INR
Usia : 1 Tahun 7 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Tenggarong Sebrang
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 Agustus 2019, di ruang melati.
Dilakukan heteroanamnesis dengan orang tua pasien.
2.2.1 Keluhan Utama
Demam
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik RSUD AWS dengan keluhan demam. Keluhan
tersebut dirasakan sejak 5 hari SMRS. Demam dirasakan naik turun dan tidak ada
waktu tertentu maupun aktivitas tertentu yang mencetuskan terjadinya demam.
Selain itu, orang tua pasien juga mengeluhkan pasien sering tidur dan tidak aktif
bermain sejak terjadinya keluhan utama. Awalnya orang tua pasien mengatakan
anaknya kurang aktif dalam bermain tetapi sekitar 4 hari SMRS pasien lebih
sering tidur dan hanya dapat bangun saat akan minum susu atau didudukkan.
Orang tua pasien juga mengeluhkan penurunan nafsu makan sejak 1 minggu
SMRS. Orang tua pasien menyangkal adanya keluhan lain seperti batuk, pilek,
mencret, mual, muntah, dan kejang. Tidak ada keluhan BAK dan BAB.
Sebelumnya, 4 hari SMRS, orang tua pasien telah membawa pasien ke RS
Hermina dan orang tua pulang paksa karena menolak RS melakukan pemeriksaan
lanjutan. Lalu, 2 hari SMRS pasien dibawa oleh orang tuanya ke praktek dokter
dan orang tua juga menolak untuk dirujuk ke RS oleh dokter tersebut.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang serupa sebelumnya. Pasien
sebelumnya pernah mengalami gizi buruk saat usia 9 bulan tetapi orang tua pasien
hanya memberikan obat kampung dari dukun setempat yaitu air yang telah
dibacakan doa dan tidak membawa ke petugas kesehatan untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut.
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada riwayat dengan keluhan yang sama pada keluarga pasien
2.2.5 Riwayat Alergi Makanan/Obat
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan/obat
2.2.6 Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal di dalam gang. Daerah di sekitar rumah bukan merupakan
pemukiman padat penduduk. Kebersihan di rumah menurut pengakuan keluarga
cukup. Ventilasi rumah diakui cukup. Tidak ada anggota keluarga yang merokok.
2.2.7 Riwayat Penggunaan Obat
Tidak ada riwayat penggunaan obat.
2.2.8 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Berat badan lahir : 2600 gram
Panjang badan lahir : 47 cm
Tersenyum : 2 bulan
Miring : 2 bulan
Tengkurap : OT lupa
Duduk : 9 bulan
Merangkak : 10 bulan
Berdiri : 1 tahun 5 bulan
Berjalan : Belum bisa
Berbicara : 1 tahun 3 bulan
Tumbuh gigi : 6 bulan
2.2.9 Makan dan Minum Anak
ASI : Sejak lahir – saat ini
Susu sapi : sejak 1 tahun 7 bulan
Susu soya :-
Makanan lunak : Bubur saring sejak usia 6 bulan
Makan padat dan lauknya : sejak usia 1 tahun
2.2.10 Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Bidan di Puskesmas
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang diminum saat hamil : Vitamin dan tablet Fe
2.2.11 Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik Bersalin
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan per vaginam
2.2.12 Riwayat Imunisasi
Imunisasi
Thorax
Paru : Inspeksi : Bentuk dan besar dada normal, tampak
simetris, pergerakan simetris D=S, retraksi
intercostal (-/-), retraksi (-)
Palpasi : Gerakan napas simetris D=S, Pelebaran
ICS (-/-), fremitus raba simetris D=S
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), Rhonchi (-/-),
wheezing (-/-) stridor (-/-)
Jantung: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Flat, distended (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Perkusi : Timpani, asites (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), pembesaran organ (-)
Ekstremitas
Ekstremitas superior: Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik
Ekstremitas inferior: Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik
Pemeriksaan Neurologis
Fungsi motorik
Pemeriksaan Tungkai Tungkai Lengan Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Kekuatan TDE TDE TDE TDE
Tonus Hipotoni Hipotoni Hipotoni Hipotoni
Klonus - - - -
Reflek fisiologis ++ ++ ++ ++
Reflek patologis - - - -
Fungsi sensorik : Tidak Dapat Dievaluasi
Fungsi nervi craniales : Tidak Dapat Dievaluasi (Nervus 2 dan 3 DBN)
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (+) , Brudzinsky I, II (-), Kernig sign
(-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap (15/08/2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Leukosit 6.260/µL 6.000 – 17.500 /µL
Hemoglobin 6,8 g/dl 13,4 – 19,8 g /Dl
Hematokrit 21,5 % 33,0 - 41,0 %
Trombosit 367.000/µL 150.000 – 450.000 /µL
MCV 74,4 81-99 fl
MCH 23,4 27-31 pg
MCHC 31,4 33-37 g/dl
GDS 84 70-140 mg/dl
Na 134 135-155
K 3,9 3,6-5,5
Cl 103 98-108
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 MENINGITIS
2.1.1 DEFINISI
2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap patogen
spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 – 12
bulan); 95 % terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi
pada setiap umur. Resiko tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri
patogen, kontak erat dengan individu yang menderita penyakit invasif, perumahan
padat penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan pada bayi
yang tidak diberikan ASI pada umur 2 – 5 bulan. Cara penyebaran mungkin dari
kontak orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran pernafasan (Fenichel,
2005).
Meningitis Bakterial
Secara umum, mortalitas dari meningitis bacterial bervariasi menurut usia
dan jenis pathogen, dengan angka tertinggi untuk S.pneumoniae. Mortalitas pada
neonatus tinggi dan meningitis bakterial juga menyebabkan long term sequelae
yang menyebabkan morbiditas pada periode neonatal. Mortalitas tertinggi yakni
pada tahun pertama kehidupan, menurun pada pertengahan (mid life) dan
meningkat kembali di masa tua. Insidens lebih banyak pada kulit hitam. Bayi laki
– laki lebih sering terkena meningitis gram negatif, bayi perempuan lebih rentan
terhadap infeksi L.monocytogenes , sedangkan Streptococcus agalactiae (GBS)
mengenai kedua jenis kelamin (Prober, 2004).
Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan-2 tahun.
Umumnya terdapat pada anak distrofik,yang daya tahan tubuhnya rendah.
Insidens meningitis bakterialis pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000
kelahiran hidup. Insidens meningitis pada bayi berat lahir rendah tiga kali lebih
tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal. Streptococcus group B dan
E.coli merupakan penyebab utama meningitis bakterial pada neonatus. Penyakit
ini menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40%
diantaranya mengalami gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit
neurologis (FKUI, 1985; Pusponegoro, 2004; Pudjiadi, 2010).
Meningitis Tuberkulosis
Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan
kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5%
dari seluruh kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai
frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk.
Meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan di Indonesia karena
morbiditas tuberkulosis anak masih tinggi. Angka kejadian tertinggi dijumpai
pada anak terutama bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih
rendah. Angka kejadian jarang dibawah usia 3 bulan dan mulai meningkat dalam
usia 5 tahun pertama, tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka kematian
berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18%
pasien yang normal secara neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis
tuberkulosis yang tidak diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu. Angka
kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa
(FKUI, 1985; Fenichel, 2005; Pudjiadi, 2010)..
Meningitis Viral
Insidens meningitis viral di Amerika serikat yang secara resmi dilaporkan
berjumlah lebih dari 10.000 kasus, namun pada kenyataannya dapat mencapai
75.000 kasus. Kekurangan dalam pelaporan data ini disebabkan oleh gejala klinis
yang tidak khas dan inabilitas beberapa virus untuk tumbuh dalam kultur.
Menurut data yang dilaporkan Centers for Disease Control and Prevention
(CDC), pasien rawat inap dengan meningitis viral sekitar 25.000 – 50.000 tiap
tahunnya (Cordia, 2011).
Di seluruh dunia, penyebab meningitis viral termasuk enterovirus, mumps
virus mumps (gondongan), virus measles (campak), virus varicella zoster (VZV)
dan HIV. Gejala meningitis dapat timbul hanya pada 1 dari 3000 kasus. Mumps
menyebabkan 10-20% meningitis dan meningoencephalitis di bagian negara
dimana akses vaksin sulit. Insidens 20 kali lebih besar pada tahun pertama
kehidupan. Pada neonatus lebih dari 7 hari, meningitis aseptik sering disebabkan
oleh enterovirus. Vaksinasi mengurnagi insidens dari meningitis oleh virus
mumps, polio dan measles. Virus mumps dan measles sering menyebabkan
meningitis pada anak usia sekolah sampai kuliah. Enterovirus 1,3 – 1,5 kali lebih
sering lebih sering menyebabkan meningitis pada laki-laki dibanding perempuan ,
sedangkan virus mumps 3 kali lebih sering menyerang laki-laki dibanding
perempuan. Menurut WHO tahun 1997, meningitis enteroviral dengan sepsis
merupakan penyebab tersering ke-5 kematian pada neonatus. Diluar periode
neonatal mortalitas kurang dari 1%, begitu juga dnegan morbiditasnya (Cordia,
2011).
Meningitis virus lebih sering dijumpai pada anak daripada orang dewasa.
Di negeri tropis dan subtropis tingginya frekuensi meningitis virus tidak
bergantung kepada musim seperti pada negeri beriklim dingin yang angka
kejadian tertingginya dijumpai pada musim panas dan musim rontok (FKUI,
1985).
2.1.3. ETIOLOGI
Meningitis dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus, bakteri, jamur maupun
parasit :
Virus :
Meningitis virus umumnya tidak terlalu berat dan dapat sembuh secara alami
tanpa pengobatan spesifik. Kasus meningitis virus di Amerika serikat terutama
selama musim panas disebabkan oleh enterovirus; walaupun hanya beberapa
kasus saja yang berkembang menjadi meningitis. Infeksi virus lain yang dapat
menyebabkan meningitis, yakni :
Virus Mumps
Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr virus, herpes simplexs, varicella-
zoster, Measles, and Influenza
Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya (Arboviruses)
Kasus lain yang agak jarang yakni LCMV (lymphocytic choriomeningitis
virus), disebarkan melalui tikus (CDC, 2009).
Bakteri :
Salah satu penyebab utama meningitis bakteri pada anak-anak dan orang dewasa
muda
di Amerika Serikat adalah bakteri Neisseria meningitidis. Meningitis disebabkan
oleh bakteri ini dikenal sebagai penyakit meningokokus. Bakteri penyebab
meningitis juga bervariasi menurut kelompok umur.5
Selama usia bulan pertama, bakteri yang menyebabkan meningitis pada
bayi normal merefleksikan flora ibu atau lingkungan bayi tersebut (yaitu,
Streptococcus group B, basili enterik gram negatif, dan Listeria monocytogenes).
Meningitis pada kelompok ini kadang -kadang dapat karena Haemophilus
influenzae dan patogen lain ditemukan pada penderita yang lebih tua.
b. 3 bulan – 5 tahun
Sejak vaksin conjugate HIB menjadi vaksinasi rutin di Amerika Serikat,
penyakit yang disebabkan oleh H.influenza tipe B telah menurun. Bakteri
penyebab tersering meningitis pada grup usia ini belakangan seperti
N.meningitidis dam S.Pneumoniae. H. influenza tipe B masih dapat
dipertimbangkan pada meningitis yang terjadi pada anak kurang dari 2
tahun yang belum mendapat imunisasi atau imunisasi yang tidak lengkap.
Meningitis oleh karena Mycobacterium Tuberculosis jarang, namun harus
dipertimbangkan pada daerah dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi
dan jika didapatkan anamnesis, gejala klinis, LCS dan laboratorium yang
mendukung diagnosis Tuberkulosis. Virus yang sering pada grup usia ini
seperti enterovirus, HSV, Human Herpesvirus-6 (HHV-6).
c. 5 tahun – dewasa
Bakteri yang tersering menyebabkan meningitis pada grup usia ini seperti
N.meningitidis dan S.pneumoniae. Mycoplasma pneumonia juga dapat
menyebabkan meningitis yang berat dan meningoencephalitis pada grup
usia ini. Meningitis virus pada grup ini tersering disebabkan oleh
enterovirus, herpes virus, dan arbovirus. Virus lain yang lebih jarang
seperti virus Epstein-Barr , virus lymphocytic choriomeningitis, HHV-6,
virus rabies, dan virus influenza A dan B.
Faktor Host
Beberapa faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis:
1. Telah dibuktikan bahwa laki-laki lebih sering menderita meningitis
dibandingkan dengan wanita. Pada neonates sepsis menyebabkan
meningitis, laki-laki dan wanita berbanding 1,7 : 1
2. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan premature lebih mudah
menderita meningitis disbanding bayi cukup bulan
3. Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama
kehamilan, adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah
terjadinya sepsis dan meningitis
4. Pada bayi adanya kekurangan maupun aktivitas bakterisidal dari leukosit,
defisiensi beberapa komplemen serum, seperti C1, C3. C5, rendahnya
properdin serum, rendahnya konsentrasi IgM dan IgA ( IgG dapat di
transfer melalui plasenta pada bayi, tetapi IgA dan IgM sedikit atau sama
sekali tidak di transfer melalui plasenta), akan mempermudah terjadinya
infeksi atau meningitis pada neonates. Rendahnya IgM dan IgA berakibat
kurangnya kemampuan bakterisidal terhadap bakteri gram negatif.
5. Defisiensi kongenital dari ketiga immunoglobulin ( gamma globulinemia
atau dysgammaglobulinemia), kekurangan jaringan timus kongenital,
kekurangan sel B dan T, asplenia kongenital mempermudah terjadinya
meningitis
6. Keganasan seperti system RES, leukemia, multiple mieloma, penyakit
Hodgkin menyebabkan penurunan produksi immunoglobulin sehingga
mempermudah terjadinya infeksi.
7. Pemberian antibiotik, radiasi dan imunosupresan juga mempermudah
terjadinya infeksi
8. Malnutrisi
Faktor Mikroorganisme
Penyebab meningitis bakterial terdiri dari bermacam-macam bakteri.
Mikroorganisme penyebab berhubungan erat dengan umur pasien. Pada periode
neonatal bakteri penyebab utama adalah golongan enterobacter terutama
Escherichia Coli disusul oleh bakteri lainnya seperti Streptococcus grup B,
Streptococcus pneumonia, Staphylococuc sp dan Salmonella sp. Sedangkan pada
bayi umur 2 bulan sampai 4 tahun yang terbanyak adalah Haemophillus influenza
type B disusul oleh Streptococcus pneumonia dan Neisseria meningitides. Pada
anak lebih besar dari 4 tahun yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia,
Neisseria meningitides. Bakteri lain yang dapat menyebabkan meningitis bakterial
adalah kuman batang gram negative seperti Proteus, Aerobacter, Enterobacter,
Klebsiella Sp dan Seprata Sp.
Faktor Lingkungan
Kepadatan penduduk, kebersihan yang kurang, pendidikan rendah dan
sosial ekonomi rendah memgang peranan penting untuk mempermudah terjadinya
infeksi. Pada tempat penitipan bayi apabila terjadi infeksi lebih mudah terjadi
penularan. Adanya vektor binatang seperti anjing, tikus, memungkinkan suatu
predisposisi, untuk terjadinya leptospirosis.
Meningitis Viral
Virus masuk tubuh manusia melalui beberapa jalan. Tempat permulaan
masuknya virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan.
Setelah masuk ke dalam tubuh virus tersebut akan menyebar keseluruh tubuh
dengan beberapa cara (Saharso, 1999):
Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan
atau organ tertentu.
Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian
menyebar ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah
pertama kali masuk (permukaan selaput lender) kemudian menyebar ke
organ lain.
Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput
lender dan menyebar melalui system saraf.
Berikut contoh cara transmisi virus (Cordia, 2011):
Enterovirus : biasanya melalui rute oral-fekal, namun dapat juga melalui
rute saluran respirasi
Arbovirus : melalui artropoda menghisap darah, biasanya nyamuk
Virus limfositik koriomeningitis – melalui kontak dengan tikus dan
sejenisnya ataupun bahan eksresinya.
Pada umumnya, virus masuk ke sistem limfatik, melalui penelanan
enterovirus; pemasukan membran mukosa oleh campak, rubela, VVZ atau HSV;
atau dengan penyebaran hematogen dari nyamuk atau gigitan serangga lain.
Ditempat tersebut, mulai terjadi multiplikasi dan masuk alirann darah
menyebabkan infeksi beberapa organ. Pada stadium ini (fase ekstraneural) ada
sakit demam, sistemik, tetapi tidak terjadi multiplikasi virus lebih lanjut pada
organ yang ditempati, penyebaran sekunder sejumlah virus dapat terjadi. Invasi
SSP disertai dengan bukti klinis penyakit neurologis. HSV-1 mungkin mencapai
otak dengan penyebaran langsung sepanjang akson saraf.
Kerusakan neurologis disebabkan (1) oleh invasi langsung dan
penghancuran jaringan saraf oleh pembelahan virus secara aktif dan atau (2) oleh
reaksi hospes terhadap antigen virus. Kebanyakan penghancuran saraf mungkin
karena invasi virus secara langsung, sedangkan respon jaringan hospes yang hebat
mengakibatkan demielinasi dan penghancuran vaskuler serta perivaskuler dan (3)
oleh reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat laten (Saharso, 1999; Prober,
2004).
Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen atau
neural. Hematogen merupakan jalur tersering dari patogen viral yang diketahui.
Penetrasi neural menunjukkan penyebaran disepanjang saraf dan biasanya terbatas
pada virus Herpes (HSV-1, HSV-2, dan varicella zoster virus [VZV] B virus),
dan kemungkinan beberapa enterovirus. Pertahanan tubuh mencegah
inokulum virus dari penyebab infeksi yang signifikan secara klinis. Hal ini
termasuk respon imun sistemik dan lokal, barier mukosa dan kulit, dan blood-
brain barrier (BBB). Virus bereplikasi pada sistem organ awal ( seperti mukasa
sistem respiratorius atau gastrointestinal ) dan mencapai akses ke pembuluh darah.
Viremia primer memperkenalkan virus ke organ retikuloendotelial (hati, spleen
dan kelenjar limfe / limfonodus) jika replikasinya timbul disamping pertahanan
imunologis, viremia sekunder dapat timbul, dimana dipikirkan untuk bertanggung
jawab dalam SSP . Replikasi viral cepat tampaknya memainkan peranan dalam
melawan pertahanan host.
Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral kedalam SSP tidak sepenuhnya
dimengerti. Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler
atau melalui defek natural (area post trauma dan tempat lainyang kurang BBB).
Respon inflamasi terlihat dalam bentuk pleositosis; leukosit polimorfonuklear
(PMN) menyebabkan perbedaan jumlah sel pada 24-48 jam pertama, diikuti
kemudian dengan penambahan jumlah monosit dan limfosit. Limfosit CSS telah
dikenali sebagai sel T, meskipun imunitas sel B juga merupakan pertahanan dalam
melawan beberapa virus.
Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke SSP
dengan transport retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis
HSV-1 adalah melalui akar saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa
oleh serat olfaktori ke basal frontal dan lobus temporal anterior.
Meningitis Bakterial
Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah (FKUI, 1985):
1. Gejala infeksi akut.
a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam ringan.
d. Muntah.
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).
g. Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).
Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya
dah pada pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan
dilakukan pada meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis.
Cairan serebrospinal dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit
kepala dan sakit pinggang. Pungsi lumbal berulang-ulang juga dilakukan pada
tekanan intrakranial meninggi jinak (beningn intracranial hypertension), pungsi
lumbal juga dilakukan untuk memasukkan obat-obat tertentu.
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah
sekitar tempat pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya
proses desak ruang dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan
pembekuan yang belum diobati. Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga
karena infeksi (meningitis) bukan kontraindikasi tetapi harus dilakukan dnegan
hati-hati.
Sel
Untuk menghitung jumlah sel LCS harus segar, harus sudah dihitung dalam
waktu 1 jam sesudah pungsi, karena jika terlalu lama sebagian sel menempel di
dinding tabung/botol, sebagian sudah lisis sehingga mempengaruhi perhitungan.
Jumlah sel leukosit normal pada bayi sampai umur 1 tahun adalah 10 sel/ µl, 1-4
tahun 8 sel/ µl, remaja dan dewasa 2,59 ± 1,73 leukosit /µl. Eritrosit biasanya
tidak terdapat pada anak dan orang dewasa, kecuali pada pungsi traumatik.
Adanya sel neoplastik, plasmasit, sel stem dan eosinofil dalam LCS selalu
abnormal.
Sel eritrosit berlebihan dalam LCS menunjukkan adanya perdarahan atau
pungsi traumatik, untuk membedakannya segera lakukan pemutaran (centrifuge)
dan perhatikan supernatanya. Apabila supernatan berwarna xantokrom berarti
perdarah lama, jika jernih berarti pungsi traumatik.
Apabila terdapat peninggian jumlah sel dan terutama PMN, maka
kemungkinan pasien menderita meningitis bakterial, atau pada meningitis virus
dini atau neoplasma.di Bagian ilmu kesehatan anak FKUI dipakai patokan jumlah
sel LCS normal pada anak 20/3 per µl dan pada neonatus minggu pertama 100/3
per µl, tetapi tergantung juga pada keadaan klinis pasien dan diferensiasi sel.
Protein
Kadar protein normal 20-40 mg/dl. Kadar ini meningkat pada sindrom
Guillain Barre, tumor intrakranial atau intraspinal, perdarah intrakranial, penyakit
degeneratif dan meningitis.
Pada neonatus kadar protein agak lebih tinggi, yaitu 40-80 mg/dl pada umur
0-2 minggu, dan 30-50 mg/dl pada umur 2-4 minggu. Pada neonatus dengan berat
badan lahir rendah kadar protein lebih tinggi lagi rata-rata 100 mg/dl. Kadar
protein yang tinggi pada neonatus mungkin disebabkan oleh fungsi sawar darah
otak yang belum matang dan adanya perdarahan-perdarahan kecil saat partus.
Glukosa
Kadar normal glukosa dalam LCS antara ½ - 2/3 kadar glukosa plasma,
biasanya 50-90 mg/dl. Bila memeriksa kadar glukosa LCS perlu pula ditentukan
kadar glukosa plasma dan kedua nilai ini dibandingkan. Bila kadar glukosa LCS
kurang dari 50% kadar glukosa plasma, maka dapat dikatakan bahwa kadar
glukosa dalam LCS merendah. Penurunan kadar glukosa dalam LCS didapati
pada pasien dengan meningitis bakterial, karsinomatosis selaput otak dan lain-
lain.
Mikroorganisme
Pemeriksaan mikroorganisme perlu dilakukan yang pertama-tama dengan
pewarnaan gram. Dengan melihat bentuk kuman dan gram dapat diduga
diagnosisnya secara cepat. Biakan LCS dalam media dan uji sensitivitas terhadap
obat dapat menentukan kuman penyebab yang sebenarnya dan obat yang serasi.
Meningitis bakterial (Pudjiadi, 2010)
- Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan
elektrolit jika ada indikasi.
- Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan etiologi :
Didapatkan cairan keruh atau opalesens dengan Nonne (-)/(+) dan
Pandy (+)/(++).
Jumlah sel 100-10.000/m3 dengan hitung jenis predominan
polimorfonuklear, protein 200-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Pada
stadium dini jumlah sel dapat normal dengan predominan limfosit.
Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat
tidak spesifik.
- Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan
pemberian antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai
diagnostik kecuali identifikasi kuman, itupun jika antibiotiknya senstitif)
- Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-
tanda peningkatan tekanan intracranial, pungsi lumbal masih dapat
dilakukan asalkan berhati-hati. Pemakaian jarum spinal dapat
meminimalkan komplikasi terjadinya herniasi.
- Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan
gejala peningkatan tekanan intracranial oleh karena lesi desak ruang.
- Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI kepala (pada kasus berat
atau curiga ada komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus dan
abses otak)
- Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan
umum.
Meningitis Viral
- Pemeriksaan hematologi dan kimia harus dilakukan
- Pemeriksaan LCS merupakan pemeriksaan yang penting dalam pemeriksaan
penyebab meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang berkaitan
dengan tanda neurologis abnormal untuk menyingkirkanlesi intrakranial atau
hidrosefalus obstruktif sebelum pungsi lumbal (LP). Kultur LCSD tetap
kriteria standar pada pemeriksaan bakteri atau piogendari meningitis aseptic.
Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari meningitis bakteri dapat timbul
dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul aseptic. Hal berikut ini
merupakan karakteristik LCS yangdigunakan untuk mendukung diagnosis
meningitis viral:
Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000x
109/L darah telah dilaporkan pada meningitis virus, Sel mononuclear
predominan merupakan aturannya, tetapi PMN dapat merupakan sel utama
pada 12-24 jam pertama; hitung sel biasanya kemudian didominasi oleh
limfosit pada pola LCS klasik meningitisviral. Hal ini menolong untuk
membedakan meningitis bakterial dari viral, dimana mempunyai lebih
tinggi hitung sel dan predominan PMN pada sel pada perbedaan sel; hal ini
merupakan bukan merupakan aturan yang absolute bagaimanapun.
Protein: Kadar protein LCS biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat
bervariasi dari normal hingga setinggi 200 mg/dL.
- Studi Pencitraan : Pencitraan untuk kecurigaan meningitis viral dan ensefalitis
dapat termasuk CT Scan kepala dengan dan tanpa kontras, atau MRI
otak dengan gadolinium. CT scan dengan contrast menolong dalam
menyingkirkan patologi intrakranial. Scan contrast harus didapatkan untuk
mengevaluasi untuk penambahan sepanjang mening dan untuk menyingkirkan
cerebritis, abses intrakranial, empyema subdural, atau lesi lain. Secara
alternative, dan jika tersedia, MRI otak dengan gadolinium dapat dilakukan.
MRI dengan contrast merupakan standar kriteria pada memvisualisasikan
patologi intrakranial pada encephalitis viral. HSV-1 lebih sering
mempengaruhi basal frontal dan lobus temporal dengan gambaran sering lesi
bilateral yang difus.
- Tes Lain : Semua pasien yang kondisinya tidak membaik secara klinis
dalam24-48 jam harus dilakukan rencana kerja untuk mengetahui penyebab
meningitis. Dalam kasus ensefalitis yang dicurigai, MRI dengan penambahan
kontras dan visualisasi yang adekuat dari frontal basal dan area temporal
adalah diperlukan. EEG dapat dilakukan jika ensefalitis atau kejang subklinis
dicurigai pada pasien yang terganggu, Periodic lateralized epileptiform
discharge (PLEDs) seringkali terlihat pada ensefalitis herpetic.
- Prosedur : Pungsi Lumbal merupakan prosedur penting yang digunakan dalam
mendiagnosis meningitis viral. Prosedur potensial lain, tergantung pada
indikasi individu dan keparahan penyakit, termasuk monitoring tekanan
intrakranial, biopsi otak, dan drainase ventricular atau shunting.
Meningitis Tuberkulosis
Diagnosis dapat ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting ialah
gambaran CSS. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman
tuberkulosis dalam CSS. Uji tuberkulin yang positif, kelainan radiologis yang
tampak pada foto roentgen thorak dan terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga
hanya dapat menyokong diagnosis. Uji tuberkulin pada Meningitis tuberkulosis
sering negatif karena reaksi anergi (false-negative), terutama dalam stadium
terminalis (FKUI, 1985).
Meningitis Viral
Diagnosis etiologis hanya dapat dibuat dengan isolasi virus. Dalam prakteknya,
pemeriksaan serologis tidak dikerjakan berhubung dengan banyaknya jenis virus
yang dapat menyebabkan penyakit ini.
Diagnosis biasanya dapat dibuat berdasarkan gejala klinis, kelainan CSS
dan perjalanan penyakit yang self-limited. Biakan CSS terhadap kemungkinan
penyebab mikroorganisme lain harus dikerjakan (fungus, leptospira,
mikobakterium) agar kemungkinan mikroorganisme penyebab lain dapat
disingkirkan.
Selain biakan CSS, pemeriksaan lain seperti uji tuberkulin, foto Roentgen
thorak, mencari sumber tuberkulosis harus dikerjakan agar dapat menyingkirkan
kemungkinan meningitis tuberkulosa.
Komplikasi lanjut :
Gangguan pendengaran samapi tuli
Disfungsi saraf kranial
Kejang multipel
Paralisis fokal
Efusi subdural
Hidrocephalus
Defisit intelektual
Ataksia
Buta
Waterhouse-Friderichsen syndrome
Gangren periferal
Meningitis bacterial
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke
meningitis. Idealnya kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh
sebelum antibiotik yang diberikan. Jika bayi yang baru lahir dengan ventilator dan
penilaian klinis menunjukkan pungsi lumbal mungkin berbahaya, dapat ditunda
hingga bayi stabil. Pungsi lumbal yang dilakukan beberapa hari pengobatan awal
berikut masih menunjukkan kelainan seluler dan kimia namun hasil kultur bias
negatif.(Muller,2011)
Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan
memeriksa tanda-tanda vital dan status neurologis dan balance cairan, menetapkan
jenis yang dan volume cairan, risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus
menerima cairan cukup untuk menjaga tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mm
Hg, output urin 500 mL/m2/hari, dan perfusi jaringan yang memadai. Meskipun
menghindari SIADH adalah penting, mengurangi hidrasi pasien dan risiko
penurunan perfusi serebral sama-sama penting juga. Dopamin dan agen inotropik
lain mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang
memadai(Muller,2011).
Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi
empirik untuk neonatus dengan meningitis bakterial sebagai berikut (Pudjiadi,
2011):
Umur 0-7 hari
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100
mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV atau
- Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5
mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV.
Umur >7 hari
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5
mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV atau
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau
- Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV.
44
N meningitidis - 7 hari
H influenzae - 7 hari
S pneumoniae - 10-14 hari
S agalactiae - 14-21 hari
Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu
L monocytogenes - 21 hari atau lebih
Terapi Deksametason
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis bakterial
yang menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi,
penurunan edema serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan
kerusakan otak (Muller, 2011).
Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H.infulenzae
tipe B yang mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan
insidens gejala sisa neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki
gangguan pendengaran. Oleh karena itu IDSA merekomendasikan penggunaan
deksametason pada kasus meningits oleh H.influenza tipe B 10 – 20 menit
sebelum atau saat pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 – 0,6 mg/kg setiap 6
jam selama 2-4 hari (Suharso, 1999; Muller, 2011).
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik
ke SSP. Oleh karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang
berdasarkan kasus, resiko dan manfaatnya (Muller, 2011).
Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti
empiema subdural, abses otak, atau hidrosefalus (Pudjiadi, 2010).
45
Dasar pengobatan meningitis tuberkulosis adalah pemberian kombinasi
obat anti-tuberkulosa ditambah dengan kortikosteroid, pengobatan simptomatik
bila terdapat kejang, koreksi dehidrasi akibat masukan makanan yang kurang atau
muntah-muntah dan fisioterapi.
CMV meningitis
46
Gansiklovir (dosis induksi 5 mg / kg q12h IV, dosis pemeliharaan 5 mg /kg q24h)
dan foskarnet (dosis induksi 60 mg / kg q8h IV, pemeliharaan dosis 90-120 mg /
kg q24h IV) digunakan untuk CMV meningitis pada host yang
immunocompromised.
HIV meningitis
2.1.11 PROGNOSIS
Meningitis bacterial (Suharso, 1999)
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain:
1. Umur pasien
2. Jenis mikroorganisme
3. Berat ringannya infeksi
4. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir
yang menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai
DIC mempunyai prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat
ataupun kurang adekuat dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen.
Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik bersifat fatal.
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang
adekuat dan pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat
diturunkan. Walaupun kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif masih sulit diturunkan, tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-
bakteri seperti H.influenzae, pneumokok dan meningokok angka kematian dapat
diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens sequele Meningitis bakterialis
9-38%, karena itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan setelah
47
pulang, selain pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain
disesuaikan dengan temuan klinis pada saat itu (FKUI, 1985; Suharso, 1999).
48
BAB IV
ANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang
dilakukan pada An. RAW yang datang bersama orang tuanya ke Poliklinik RSUD
AWS Samarinda pada 15 Agustus 2019 dengan keluhan utama demam sejak 5
hari sebelum masuk rumah sakit. Diagnosis masuk dan diagnosis kerja pasien ini
adalah Suspek Meningoensefalitis. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil dari
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
TEORI KASUS
ANAMNESIS
Meningitis Bakterial RPS :
Gejala infeksi akut Pasien datang ke poliklinik
Gejala tekanan intrakranial yang meninggi RSUD AWS dengan keluhan
Meningitis TB demam sejak 5 hari SMRS.
Stadium Awal : Tidak ada gejala spesifik Demam dirasakan naik turun dan
Stadium Intermediet : Letargi, Iritasi meningen, tidak ada waktu tertentu maupun
Defisit neurologis minor aktivitas tertentu yang
Stadium akhir: stupor atau koma, pergerakan mencetuskan terjadinya demam.
abnormal, kejang, defisit neurologis berat. Selain itu, orang tua pasien juga
Meningitis Virus mengeluhkan pasien sering tidur
Berlangsung mendadak, walaupun kadang- dan tidak aktif bermain sejak
kadang didahului dengan panas selama terjadinya keluhan utama. Orang
beberapa hari. Gejala yang ditemukan pada tua pasien juga mengeluhkan
anak besar ialah panas dan nyeri kepala penurunan nafsu makan sejak 1
mendadak, nyeri tenggorok, nausea, muntah, minggu SMRS. Orang tua pasien
penurunan kesadaran, nyeri pada kuduk dan menyangkal adanya keluhan lain
punggung, fotophobia, parestesia, myalgia. seperti batuk, pilek, mencret,
Gejala pada bayi tidak khas. Bayi mudah mual, muntah, dan kejang. Tidak
terangsang dan menjadi gelisah. Mual dan ada keluhan BAK dan BAB.
muntah sering dijumpai tetapi gejala kejang RPD :
jarang didapati. Pasien belum pernah
mengalami keluhan yang serupa
49
sebelumnya. Pasien sebelumnya
pernah mengalami gizi buruk
saat usia 9 bulan tetapi orang tua
pasien hanya memberikan obat
kampung.
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala rangsangan meningeal. Keadaan Umum: Sakit berat
Kaku kuduk positif. Kesadaran : Somnolen
Kernig, Brudzinsky I dan II positif. GCS : E3V4M4
Pada anak besar sebelum gejala di atas N : 124 x/i
terjadi, sering terdapat keluhan sakit di RR : 30 x/i
daerah leher dan punggung. T: 37,6 oC
Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, Konjungtiva anemis (+/+)
gejala meningeal tidak dapat diandalkan BB: 6,7 kg
sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala TB: 70 cm
tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal
LILA: 12 cm
untuk mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).
Reflek Fisiologis (+), Reflek
Patologis (-), Kaku Kuduk (+)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan hematologi dan kimia Hasil DL :
Pemeriksaan LCS Leu : 7,41
Studi Pencitraan : CT scan kepala
Tes Lain: MRI dan EEG Hb : 6,0
Hct : 20,9
PLT : 447
MCV : 56,1
MCH : 16
MCHC : 28,6
DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis Meningitis Berdasarkan klinis diatas pasien
berdasarkan Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan diagnosis Meningoensefalitis
50
pemeriksaan penunjang. dan Anemia Hipokrom
Mikrositik
PENATALAKSANAAN
Meningitis Bakteri Penatalaksanaan di berikan di
Terapi Antibiotik ruang Melati yaitu:
Terapi Dexamethasone Cek DL, GDS, SE, HDT
Meningitis TB IVFD D51/4 NS 750 ml/24
Terapi OAT jam
Meningitis Virus Inj Paracetamol 3x75mg I.V
Kebanyakan meningitis viral jinak dan self- Observasi : Vital sign dan
limited. Biasanya hanya perlu terapi suportif Kesadaran
dan tidak memerlukan terapi spesifik lainnya.
Pada keadaan tertentu antiviral spesifik
mungkin diperlukan.
51
BAB V
KESIMPULAN
Meningitis adalah proses infeksi dan inflamasi yang terjadi pada selaput
otak. Infeksi ini disertai dengan frekuensi komplikasi akut dan resiko morbiditas
kronis yang tinggi. Meningitis dapat terjadi karena infeksi virus, bakteri, jamur
maupun parasit. Meskipun demikian, pola klinis meningitis pada masa neonatus
dan pasca – neonatus dapat tumpang tindih, terutama pada penderita usia 1 – 2
bulan dimana Streptococcus group B, H. influenzae tipe B, meningococcus, dan
pneumococcus semuanya dapat menimbulkan meningitis.
Tanpa memandang etiologi, kebanyakan penderita dengan infeksi sistem
saraf pusat mempunyai sindrom yang serupa. Gejala – gejala yang lazim adalah :
nyeri kepala, nausea, muntah, anoreksia, gelisah dan iritabilitas. Sayangnya,
kebanyakan dari gejala – gejala ini sangat tidak spesifik. Tanda – tanda infeksi
sistem saraf pusat yang lazim, disamping demam adalah : fotofobia, nyeri dan
kekakuan leher, kesadaran menurun, stupor, koma, kejang – kejang dan defisit
neurologis setempat. Keparahan dan tanda – tanda ditentukan oleh patogen
spesifik, hospes dan penyebaran infeksi secara anatomis
Penyakit ini menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang signifikan
di seluruh dunia. Keadaan ini harus ditangani sebagai keadaan emergensi.
Kecurigaan klinis meningitis sangat dibutuhkan untuk diagnosis. Bila tidak
terdeteksi dan tidak diobati, meningitis dapat mengakibatkan kematian.
Selama pengobatan meningitis, perlu dimonitor efek samping penggunaan
antiobiotik dosis tinggi; periksa darah perifer serial, uji fungsi hati dan uji fungsi
ginjal. Perlu dilakukan pemantauan ketat terhadap tumbuh kembang pasien yang
sembuh dari meningitis.
52
DAFTAR PUSTAKA
1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS,
Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999.
h. 40-6, 339-71
2. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview. Accessed May
29th,2011.
3. Tan TQ. Meningitis. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting.
Pediatric Hospital Medicine, textbook of inpatient management.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2003. h. 443-6.
4. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf.
Accessed June 1st, 2011.
5. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.
Updated: August 6th, 2009 Available from :
http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html. Accessed May 29th,
2011.
6. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier
saunders; 2005. h. 106-13.
7. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman,
Kliegman, Jenson, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia: Saunders; 2004. h. 2038-47.
8. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Accessed
May 29th, 2011.
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2.
Jakarta: Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
10. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid 1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2010. h. 189-96.
53
11. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-
1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 – 208.
12. Cordia W,dkk. Meningitis Viral. Updated: Mar 29th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview. Accessed May
29th, 2011.
13. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.
Updated: August 6th, 2009 Available from :
http://www.cdc.gov/meningitis/about/ prevention.html. Accessed June 1st,
2011.
14. Bakta, M. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC
54