Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun oleh:
Maria Sondang Hotmanginar Sinaga
1710029015
Pembimbing:
dr. Dhini Karunia B.A, Sp.A
TUTORIAL KLINIK
Oleh :
Maria Sondang H.S 1710029015
Pembimbing
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan yang berjudul “Anemia Hipokrom Mikrositik”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan tutorial ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr.Dhini Karunia B.A, Sp.A, sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran dan
mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Agustus 2019
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. 1
LEMBAR PERSETUJUAN.............................................................................. 2
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 3
DAFTAR ISI ......................................................................................................... 4
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 5
BAB 2 LAPORAN KASUS ................................................................................. 6
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................23
BAB 4 PEMBAHASAN ......................................................................................40
BAB 5 PENUTUP ................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................45
\
BAB 1
PENDAHULUAN
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 16 Juli 2019, di ruang melati.
Dilakukan autoanamnesis dan heteroanamnesis dengan orang tua pasien.
2.2.1 Keluhan Utama
Gusi berdarah sejak 3 hari SMRS
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik RSUD AWS dengan keluhan gusi
berdarah. Keluhan tersebut dirasakan sejak 3 hari SMRS. Darah yang keluar
dari gusi tidak banyak hanya seperti flek. Tidak ada kegiatan maupun waktu
tertentu yang mendahului timbulnya keluhan. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan adanya badan lemas dan wajah pucat yang timbul bersamaan
dengan keluhan utama. Pasien juga mengatakan terdapat BAB hitam sejak 5
hari SMRS. Tidak ada darah berwarna merah yang keluar bersamaan sama
BAB hitam, ampas (+), BAB cair (-), mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-),
dan demam (-). Pasien juga merasakan nafsu makan menurun sejak 5 hari
SMRS. Tidak ada keluhan BAK dan BAB.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sejak usia 2 tahun tetapi
pasien tidak merasakan lagi keluhan tersebut selama 2 tahun terakhir ini.
Dahulu pasien MRS dengan keluhan yang sama ± 2 kali dalam setahun
dan selalu menerima transfusi darah. Pasien tidak pernah menjalani
operasi sebelumnya.
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada riwayat dengan keluhan yang sama pada keluarga pasien
2.2.5 Riwayat Alergi Makanan/Obat
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan/obat
2.2.6 Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal di dalam gang. Daerah di sekitar rumah bukan merupakan
pemukiman padat penduduk. Kebersihan di rumah menurut pengakuan
keluarga cukup. Ventilasi rumah diakui cukup. Tidak ada anggota keluarga
yang merokok.
2.2.7 Riwayat Penggunaan Obat
Tidak ada riwayat penggunaan obat.
2.2.8 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Berat badan lahir : 3500 gram
Panjang badan lahir : 51 cm
Tersenyum : 2 bulan
Miring : 2 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 7 bulan
Berdiri : 1 tahun
Berjalan : 1 tahun 2 bulan
Berbicara : 1 tahun
Tumbuh gigi : 7 bulan
2.2.9 Makan dan Minum Anak
ASI : Sejak lahir – 2 tahun
Susu sapi : sejak 6 bulan
Susu soya :-
Makanan lunak : Bubur saring sejak usia 6 bulan
Makan padat dan lauknya : sejak usia 1 tahun
2.2.10 Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Bidan di Puskesmas
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang diminum saat hamil : Vitamin dan tablet Fe
2.2.11 Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik Bersalin
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan per vaginam
2.2.12 Riwayat Imunisasi
Imunisasi
Thorax
Paru : Inspeksi : Bentuk dan besar dada normal, tampak
simetris, pergerakan simetris D=S, retraksi
intercostal (-/-), retraksi (-)
Palpasi : Gerakan napas simetris D=S, Pelebaran
ICS (-/-), fremitus raba simetris D=S
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi :Suara napas vesikuler (+/+), Rhonchi (-/-),
wheezing (-/-) stridor (-/-)
Jantung: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Flat, distended (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Perkusi : Timpani, asites (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), pembesaran organ (-)
Ekstremitas
Ekstremitas superior: Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik
Ekstremitas inferior: Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap (15/07/2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Leukosit 7.410/µL 4.500 – 14.500 /µL
Hemoglobin 6 g/dl 14 – 18 g /Dl
Hematokrit 20,9 % 35,0 - 45,0 %
Trombosit 447.000/µL 150.000 – 450.000 /µL
MCV 56,1 81-99 fl
MCH 16 27-31 pg
MCHC 28,6 33-37 g/dl
APTT 34 24-36 detik
PT 13,3 10,8-14,4 detik
INR 0,99
2.5 Diagnosis
Diagnosis kerja sementara : Anemia Hipokrom Mikrositik
Follow Up
A. Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya
besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Selain dibutuhkan untuk
pembentukan hemoglobin yang berperan dalam penyimpanan dan pengangkutan
oksigen, zat besi juga terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam
metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter dan proses katabolisme
yang dalam bekerjanya membutuhkan ion besi. Dengan demikian, kekurangan
besi mempunyai dampak yang merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan
anak, menurunkan daya tahan tubuh, menurunkan konsentrasi belajar dan
mengurangi aktivitas bekerja (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012).
Untuk mempertahankan keseimbangan Fe yang positif selama masa anak
diperlukan 0,8-1,5 mg Fe yang harus diabsorbsi setiap hari dari makanan.
Banyaknya Fe yang diabsorbsi dari makanan sekira 10% setiap hari, sehingga
untuk nutrisi yang optimal diperlukan diet yang mengandung Fe sebanyak 8-10
mg Fe perhari. Fe yang berasal dari susu ibu diabsorbsi secara lebih efisien
daripada yang berasal dari susu sapi sehingga bayi yang mendapatkan ASI lebih
sedikit membutuhkan Fe dari makanan lain. Sedikitnya makanan yang kaya Fe
yang dicerna selama tahun pertama kehidupan menyebabkan sulitnya memenuhi
jumlah yang diharapkan, oleh karena itu diet bayi harus mengandung makanan
yang diperkaya Fe sejak usia 6 bulan (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012).
B. Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari
setengahnya merupakan anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi lebih
sering ditemukan di negara yang sedang berkembang sehubungan dengan
kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah dan
infestasi parasit yang merupakan masalah endemik. Saat ini di Indonesia, anemia
defisiensi besi masih merupakan salah satu masalah gizi utama disamping
kekurangan kalori-protein, vitamin A dan yodium (Raspati, Reniarti, & Susanah,
2012).
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak
usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-
8 tahun) di kota sekitar 5,5%, anak praremaja 2,6% dan gadis remaja yang hamil
26%. Di Amerika Serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun diketahui kekurangan
besi, 3% menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika Serikat
kekurangan besi dan 2% menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar
50% cadangan besinya berkurang saat pubertas (Raspati, Reniarti, & Susanah,
2012).
Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibandingkan kulit putih.
Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam
yang lebih rendah (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012). Berdasarkan penelitian di
Indonesia prevalensi ADB pada anak balita sekitar 40-45%. Dari hasil SKRT
tahun 2001 menunjukkan prevalensi ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan,
dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8%, dan 48,1%. Penelitian kohort
terhadap 211 bayi berusia 0 bulan selama 6 bulan dan 12 bulan didapatkan
insidensi ADB sebesar 40,8% dan 47,4%. Pada usia balita, prevalensi tertinggi
ADB umumnya terjadi pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi
melalui diet dan pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama. Angka kejadian
ADB lebih tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi premature (sekitar 25-85%)
dan bayi yang mengonsumsi ASI secara eksklusif tanpa suplementasi (Gatot, et
al., 2011).
C. Etiologi
Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorbsi besi, diit yang
mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang.
Kekurangan besi dapat disebabkan oleh (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012):
1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
- Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa
remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden
ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali
dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat
lahir. Bayi prematur dengan pertumbuhan yang sangat cepat, pada umur 1
tahun berat badannya dapat mencapai 4 kali dan massa hemoglobin dalam
sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
- Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah
kehilangan darah lewat menstruasi.
2. Kurangnya besi yang diserap
- Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan
yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih
kurang 200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama
digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mengandung ASI eksklusif
jarang menderita kekurangan besi pada 6 bulan pertama. Hal ini disebabkan
besi yang terkandung di dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan besi
yang terkandung pada susu formula
- Malabsorbsi besi
Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya
mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang
telah mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB
walaupun penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan
berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui
bagian atas usus halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non heme
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab tersering terjadinya
ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi.
Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga
kehilangan darah 3-4 ml/hari (1,5-2 mg besi) dapat mengakibatkan keseimbangan
negatif besi. Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced
enteropathy, ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat,
kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi non steroid) dan infestasi cacing
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) yang menyerang usus halus
bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus.
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi Ibu akan menyebabkan ADB
pada akhir massa fetus dan pada awal masa neonatus.
5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan.
Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melalui urin
rata-rata 1,8-7,8 mg/hari.
6. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium
berisiko untuk menderita ADB.
7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru yang
hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul. Keadaan
ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga 1,5-3 gr/dl dalam 24
jam.
8. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolahraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitar 40% remaja
perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya <10 µg/dl.
Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia yang hilang
timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari.
D. Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi
yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini
menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Terdapat tiga tahapan
defisiensi besi yaitu sebagai berikut (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012; Edward
& Benz, 2008).
1. Tahap Pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan
fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan
absorbsi besi non heme. Ferritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain
untuk mengetahui adanya kekurangan masih normal.
2. Tahap Kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau
iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk
menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai
besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron
binding capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP)
meningkat.
3. Tahap Ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan
mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.
E. Manifestasi Klinis
Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh
penderita dan keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya dari
temuan laboratorium saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB
dengan kadar Hb 6-10 gr/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga
gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun <5 gr/dl gejala iritabel dan
anoreksia akan mulai tampak lebih jelas. Bila anemia terus berlanjut dapat terjadi
takikardia, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Namun kadang-kadang pada
kadar Hb <3-4 gr/dl pasien tidak mengeluh karena tubuh sudah mengadakan
kompensasi, sehingga beratnya gejala ADB sering tidak sesuai dengan kadar Hb.
Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi akibat kekurangan besi
seperti (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012):
- Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (bentuk kuku
konkaf atau spoon-shaped nail), atrofi papila lidah, postricoid oesophageal
webs dan perubahan mukosa lambung dan usus halus.
- Intoleransi terhadap latihan : penurunan aktivitas kerja dan daya tahan tubuh
- Termogenesis yang tidak normal : terjadi ketidakmampuan untuk
mempertahankan suhu tubuh normal pada saat udara dingin
- Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, hal ini terjadi karena fungsi
leukosit yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrofil mempunyai
kemampuan untuk fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh E.coli dan
S.aureus menurun.
F. Diagnosis
Pada anamnesis akan didapatkan informasi adanya (Pudjiadi, Hegar,
Handryastuti, Idris, Gandaputra, & Harmoniati, 2009):
- Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan
- Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh
terhadap infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi belajar
- Memakan bahan makanan yang kurang mengandung zat besi, bahan makanan
yang menghambat penyerapan zat besi seperti kalsium dan fitat (beras,
gandum), serta konsumsi susu sebagai sumber energi utama sejak bayi sampai
usia 2 tahun (milkalcoholics)
- Infeksi malaria, infeksi parasit seperti ankylostoma dan schistosoma.
Pada pemeriksaan fisik dapat didapatkan tanda klinis sebagai berikut (Pudjiadi,
Hegar, Handryastuti, Idris, Gandaputra, & Harmoniati, 2009).
- Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh
keluarga. Bila kadar Hb <5gr/dl ditemukan gejala iritabel dan anoreksia
- Pucat ditemukan bila kadar Hb <7 gr/dL
- Tanpa organomegali
- Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis, takikardia, gagal
jantung, protein losing enteropathy
- Rentan terhadap infeksi
- Gangguan pertumbuhan
- Penurunan aktivitas kerja
Pada pemeriksaan penunjang yang dapat didapatkan adalah sebagai berikut
(Pudjiadi, Hegar, Handryastuti, Idris, Gandaputra, & Harmoniati, 2009).
- Darah lengkap yang terdiri dari hemoglobin rendah, MCV, MCH dan MCHC
rendah. Red cell distrbution width (RDW) yang lebar dan MCV yang rendah
merupakan salah satu skrining defisiensi besi.
o Nilai RDW tinggi >14,5% pada defisiensi besi, bila RDW normal (<13%)
pada talasemia trait.
o Ratio MCV/RBC (Mentzer Index) >13 dan RDW Index (MCV/RBCxRDW)
220, merupakan tanda anemia defisiensi besi, sedangkan jika kurang dari
220 merupakan tanda talasemia trait.
o Apusan darah tepi : mikrositik, hipokromik, anisositosis dan poikilositosis
- Kadar besi serum yang rendah, TIBC, serum feritin <12 ng/mL
dipertimbangkan sebagai diagnostik defisiensi besi
- Nilai retikulosit : normal atau menurun menunjukkan produksi sel darah merah
tidak adekuat
- Serum transferin receptor (STfR) : sensitif untuk menentukan defisiensi besi,
mempunyai nilai yang tinggi untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan
anemia penyakit kronis
- Kadar zinc protoporphyrin (ZPP) akan meningkat
- Pemberian terapi besi : dengan dosis 3mg/kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan
retikulosit 5-10 hari diikuti dengan kenaikan hemoglobin 1 gr/dl atau
hematokrit 3% setelah 1 bulan menyokong diagnosis anemia defisiensi besi.
Kira-kira 6 bulan lagi, Hb dan Hct diperiksa kembali untuk menilai
keberhasilan terapi.
G. Penatalaksanaan
Mengetahui faktor penyebab: riwayat nutrisi dan kelahiran, adanya perdarahan
yang abnormal, pasca pembedahan.
- Preparat besi
Preparat yang tersedia ferous sulfat, ferous glukonat, ferous fumarat, dan
ferous suksinat. Dosis besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari. Respons terapi
dengan menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan, yaitu kenaikan
kadar Hb sebesar 2 gr/dl atau lebih. Bila respons ditemukan, terapi
dilanjutkan sampai 2-3 bulan. Komposisi besi elemental (Pudjiadi, Hegar,
Handryastuti, Idris, Gandaputra, & Harmoniati, 2009):
a. Ferous fumarat: 33% merupakan besi elemental
b. Ferous glukonas: 11,6% merupakan besi elemental
c. Ferous sulfat: 20% merupakan besi elemental
- Transfusi darah
Jarang diperlukan, hanya diberi pada keadaan anemia yang sangat berat
dengan kadar Hb < 4 gr/dl. Komponen darah yang diberi PRC (Pudjiadi,
Hegar, Handryastuti, Idris, Gandaputra, & Harmoniati, 2009).
Gatot et al. (2011) merekomendasikan dosis dan lama pemberian suplementasi besi
berdasarkan usia:
Usia (tahun) Dosis besi elemental Lama pemberian
Bayi : BBLR (<2.500 gr) 2-4 mg/kgBB/hari Usia 1 bulan sampai 2 tahun
Cukup bulan 1 mg/kgBB/hari Usia 4 bulan sampai 2 tahun
2 - 5 (balita) 2 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
> 5 - 12 (usia sekolah) 2 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
12 - 18 (remaja) 60 mg/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
H. Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja
diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penangan yang adekuat. Gejala
anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat
besi. Jika terjadi kegagalan pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa
kemungkinan sebagai berikut (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012).
- Diagnosis salah
- Dosis obat yang tidak adekuat
- Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluwarsa
- Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap
- Disertai penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi (seperti :
infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit
karena defisiensi vitamin B12, asam folat)
- Gangguan absorbsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan
pada ulkus peptikum dapat menyebabkan peningkatan terhadap besi)
I. Komplikasi (Davey, 2005)
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan anemia (Davey, 2005):
1) Reaksi transfusi, segera (anafilaksis) atau lambat. Reaksi minor (sering pada
mereka yang menjalani banyak transfusi menyebabkan demam (pasca)
transfusi dan mempersingkat masa hidup eritrosit yang ditransfusikan.
2) Transfusi dalam jumlah banyak bisa memicu gagal jantung atau gagal
hemostatik (zat pengawet darah mengkelasi kalsium, sehingga menghambat
proses pembekuan).
3) Transfusi virus, khususnya HIV dan hepatitis B atau C. Di banyak negara
dilakukan skrining semua darah untuk mencari adanya patogen ini.
4) Kelebihan Fe pada mereka yang banyak mendapat transfusi (misalnya pada
anemia herediter)
5) Supresi immun
6) Penyakit organ cangkok versus pejamu (graft versus host disease)
2. THALASEMIA
A. Definisi
Thalasemia adalah sekelompok heterogen gangguan genetik pada sintesis
hemoglobin yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai
globin. Thalassemia merupakan sekelompok anemia hipokromik herediter dengan
berbagai derajat keparahan. Defek genetik yang mendasari meliputi delesi total
atau parsial gen globin dan substitusi, delesi, atau insersi nukleotida. Akibat dari
berbagai perubahan ini adalah penurunan atau tidak adanya mRNA bagi satu atau
lebih rantai globin atau pembentukan mRNA yang cacat secara fungsional
sehingga mengakibatkan penurunan dan supresi total sintesis rantai polipeptida
Hb (Sudoyo, 2009).
B. Epidemiologi
Penyebaran thalasemia mulai dari Mediterania, Timur Tengah, Anak Benua
(sub-continent) India dan Burma, serta di daerah sepanjang garis antara Cina
bagian selatan, Thailand, semenanjung Malaysia, kepulauan Pasifik dan
Indonesia. Daerah-daerah tersebut lazim disebut daerah sabuk thalassemia,
dengan kisaran prevalens thalassemia sebesar 2,515%. World Health Organization
(WHO) pada tahun 1994 menyatakan bahwa tidak kurang dari 250 juta penduduk
dunia, yang meliputi 4,5% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat
(bentuk heterozigot). Dari jumlah tersebut sebanyak 80-90 juta adalah pembawa
sifat thalassemia β dan sisanya adalah pembawa sifat thalassemia α, jenis lain
pembawa sifat hemoglobin varian seperti HbE, HbS, HbO, dan lain-lain. Saat ini
sekitar 7% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat kelainan ini. Di
Indonesia, thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak
ditemukan. Angka pembawa sifat thalassemia β adalah 3-5%, bahkan di beberapa
daerah mencapai 10%, sedangkan angka pembawa sifat HbE berkisar antara 1,5-
36%. Berdasarkan hasil penelitian di atas dan dengan memperhitungkan angka
kelahiran dan jumlah penduduk Indonesia, diperkirakan jumlah pasien thalassemia
baru yang lahir setiap tahun di Indonesia cukup tinggi, yakni sekitar 2.500 anak
(HTA Indonesia, 2010).
C. Klasifikasi
Saat ini dikenal sejumlah besar sindrom thalasemia; masing-masing
melibatkan penurunan produksi satu atau lebih rantai globin, yang membentuk
bermacam-macam jenis Hb yang ditemukan pada sel darah merah. Jenis yang
paling penting dalam praktek klinis adalah sindrom yang mempengaruhi baik
sintesis rantai α maupun β (Yaish, 2013)
1. Thalassemia-α
Delesi gen globin-α menyebabkan sebagian besar kelainan ini. Terdapat
empat gen globin-α pada individu normal, dan empat bentuk thalassemia-α yang
berbeda telah diketahui sesuai dengan delesi satu, dua, tiga, dan semua empat gen
ini (Yaish, 2013).
Tabel 1. Thalassemia-α
Genotip Jumlah Hemoglobin Elektroforesis
Presentasi
gen α Saat Lahir > 6 bulan
Klinis
αα/αα 4 Normal N N
-α/αα 3 Silent carrier 0-3 % Hb Barts N
--/αα atau 2 Trait thal-α 2-10% Hb Barts N
–α/-α
--/-α 1 Penyakit Hb H 15-30% Hb Bart Hb H
--/-- 0 Hydrops fetalis >75% Hb Bart -
Keterangan :
N = hasil normal, Hb = hemoglobin, Hb Bart’s = γ4, HbH = β4
a. Silent Carrier Thalassemia-α
Pada tipe silent carrier, salah satu gen α pada kromosom 16
menghilang, menyisakan hanya 3 dari 4 gen tersebut. Penderita sehat
secara hematologis, hanya ditemukan adanya jumlah eritrosit yang
rendah dalam beberapa pemeriksaan. Pada tipe ini, diagnosis tidak
dapat dipastikan dengan pemeriksaan elektroforesis Hb, sehingga
harus dilakukan tes lain yang lebih canggih. Bisa juga dicari akan
adanya kelainan hematologi pada anggota keluarga (misalnya
orangtua) untuk mendukung diagnosis. Pemeriksaan darah lengkap
pada salah satu orangtua yang menunjukkan adanya hipokromia dan
mikrositosis tanpa penyebab yang jelas merupakan bukti yang cukup
kuat menuju diagnosis thalassemia (Yaish, 2013).
b. Trait Thalassemia-α
Trait ini dikarakterisasi dengan anemia ringan dan jumlah sel darah
merah yang rendah. Kondisi ini disebabkan oleh hilangnya 2 gen α
pada satu kromosom 16 atau satu gen α pada masing-masing
kromosom. Kelainan ini sering ditemukan di Asia Tenggara, India dan
Timur Tengah. Pada bayi baru lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb
Barts (γ4) dapat ditemukan pada elektroforesis Hb. Setelah umur satu
bulan, Hb Barts tidak terlihat lagi, dan kadar Hb A2 dan HbF secara
khas normal (Yaish, 2013).
c. Penyakit Hb H
Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin α, merepresentasikan
thalassemia-α intermedia, dengan anemia sedang sampai berat,
splenomegali, ikterus dan jumlah sel darah merah yang abnormal. Pada
sediaan apus darah tepi yang diwarnai dengan pewarnaan supravital
akan tampak sel-sel darah merah yang diinklusi oleh rantai tetramer β
(Hb H) yang tidak stabil dan terpresipitasi di dalam eritrosit, sehingga
menampilkan gambaran golf ball. Badan inklusi ini dinamakan sebagai
Heinz bodies (Yaish, 2013)
3. ANEMIA SIDEROBLASTIK
A. Definisi
Anemia sideroblastik adalah anemia mikrositik-hipokromik yang
disebabkan oleh abnormalitas metabolisme heme. Penderita anemia ini pada
sumsum tulangnya ditemukan sideroblas cincin, yang merupakan sel darah merah
berinti (eritrosit imatur) dengan lingkaran perinuklear mengandung granula besi
(agregat besi dalam mitokondria). Eritrosit imatur ini gagal menjadi matur dan
banyak hancur dalam sumsum tulang sebelm mencapai sirkulasi (Caudill, et al.,
2008).
B. Etiologi
Penyebab anemia sideroblastik dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok,
yaitu congenital anemia sideroblastik dan anemia sideroblastik yang didapat.
Anemia ini melibatkan sintesis heme yang abnormal sehingga terjadi deposisi
granular besi di mitokondria yang membentuk cincin di sekitar inti eritrosit
imatur. Penyebab kongenital sering ditemukan anemia normositik atau mikrositik,
sedangkan yang didapat sering ditemukan normositik atau makrositik (Saini, et
al., 2012).
1. Kongenital anemia sideroblastik (primer)
a. X-linked sideroblastic anemia
X-linked sideroblastic anemia merupakan penyebab paling umum
congenital anemia sideroblastik yang melibatkan defek ALAS2 (langkah
awal sintesis heme) dan mutasi ABC7.
b. Autosomal recessive sideroblastic anemia
Autosomal recessive sideroblastic anemia melibatkan mutasi pada gen
SLC25A38. Fungsi protein ini terlibat dalam transportasi mitokondria
glisin. Glisin adalah substrat untuk ALAS2 dan diperlukan untuk sintesis
heme.
c. Pearson syndrome yaitu defek protein mitokondria
d. DIDMOAD syndrome
e. Defek Glutaredoxin 5
f. Defek gen SCL19A2 (thiamine transporter)
2. Anemia sideroblastik yang didapat
a. Myelodysplastic syndrome
b. Penggunaan alkohol berlebih,
c. Defisiensi piridoksin,
d. Keracunan timbal,
e. Penggunaan obat-obatan seperti isoniazid, chloramphenicol, cycloserine,
dan linezolid
C. Patofisiologi
Perubahan pada anemia sideroblastik pada dasarnya terjadi kegagalan
inkorporasi besi ke dalam senyawa hem pada mitokondria yang mengakibatkan
besi mengendap pada mitokondria sehingga jika yang dicat dengan cat besi akan
terlihat bintik-bintik yang mengelilingi inti yang disebut sebagai sideroblas cincin.
Hal yang menyebabkan kegagalan pemnbentukan hemoglobin yang disertai
eritropoesis inefektif dan menimbulkan anemia hipokromik mikrositik.
Gambar 1. Ring Sideroblas (Mir, 2013)
eritropeisis inefektif
D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat
istirahat, fatigue, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat,
jantung berdebar, dan roaring in the ears), kelelahan, dan pusing. Pada anemia
yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang
mengancam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia dan/atau infark miokard).
Penyakit jantung, kerusakan hati, dan gagal ginjal dapat terjadi akibat
penumpukan zat besi dalam organ-organ ini (Papadakis, et al., 2005).
2. Pemeriksaan fisik
Pada anemia sideroblastik kulit terlihat pucat, anemia sedang sampai berat
terdapat anisocytosis dan poikilocytosis. Pada pemeriksaan abdomen dapat
ditemukan pembesaran lien dan hepar (Papadakis, et al., 2005).
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan Lab didapatkan (Papadakis, et al., 2005):
a. Peningkatan serum iron
b. Peningkatan kadar ferritin
c. Total iron-binding capacity normal
d. Saturasi transferin tinggi
e. Hematokrit sekitar 20-30%
f. Volume corpuscular rata-rata atau MCV biasanya normal atau rendah
untuk penyebab kongenital anemia sideroblastik
g. Pada keracunan timbal, melihat coarse basophilic stippling pada sel darah
merah pada apus darah tepi
h. Tes khusus: Prussian blue stain pada sel darah merah di sumsum tulang
yang mennjukan ring sideroblas. Pewarnaan biru Prusia melibatkan reaksi
non-enzimatik ferrous iron dengan ferrocyanide membentuk ferric-
ferrocyanide, yang berwarna biru.
E. Tatalaksana
Terapi yang digunakan untuk penderita anemia sideroblastik berupa
(Papadakis, et al., 2005):
Terapi untuk anemia sideroblastik berupa terapi simptomatik yaitu dengan
transfusi darah. Pemberian vitamin B6 dapat dicoba karena pada sebagian kecil
penderita bersifat responsif terhadap piridoksin. Untuk anak-anak diberikan dalam
dosis 200-500 mg/24 jam. Vitamin B6 merupakan kofaktor enzim ALA-sintase.
BAB 3
ANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang
dilakukan pada An. RAW yang datang bersama orang tuanya ke Poliklinik RSUD
AWS Samarinda pada 15 Juli 2019 dengan keluhan utama gusi berdarah sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit. Diagnosis masuk dan diagnosis kerja pasien ini
adalah Anemia Hipokrom Mikrositik suspek Thalasemia . Diagnosa ini ditegakkan
berdasarkan hasil dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
TEORI KASUS
ANAMNESIS
Anemia mikrositik hipokromik adalah RPS : Pasien datang ke
suatu kondisi dimana ukuran eritrosit yang poliklinik RSUD AWS dengan
lebih kecil dari normal dan mengandung keluhan gusi berdarah. Keluhan
konsentrasi hemoglobin yang juga kurang dari tersebut dirasakan sejak 3 hari
normal (indeks eritrosit: MCV < 73fl, MCH SMRS. Darah yang keluar dari
<23 pg, MCHC 26-35%). Penyebab anemia gusi tidak banyak hanya seperti
mikrositik hipokromik antara lain: anemia flek. Tidak ada kegiatan maupun
defisiensi besi, thalassemia major, anemia waktu tertentu yang mendahului
akibat penyakit kronik dan anemia timbulnya keluhan. Selain itu,
sideroblastik. pasien juga mengeluhkan adanya
ADB : Gejala umum anemia disebut juga badan lemas dan wajah pucat
sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia yang timbul bersamaan dengan
organ target serta akibat mekanisme keluhan utama. Pasien juga
kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar mengatakan terdapat BAB hitam
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap sejak 5 hari SMRS. Tidak ada
kasus anemia setelah penurunan hemoglobin darah berwarna merah yang
sampai kadar tertentu(Hb <7 g/dl). Sindrom keluar bersamaan sama BAB
anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, hitam, ampas (+), BAB cair (-),
telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang- mual (-), muntah (-), nyeri ulu
kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas, dan hati (-), dan demam (-). Pasien
dispepsia (Bakta, 2009). juga merasakan nafsu makan
Thalasemia : Gejala klinis pada thalasemia menurun sejak 5 hari SMRS.
hampir semua sama, yang membedakan adalah Tidak ada keluhan BAK dan
tingkat keparahannya, dari ringan BAB.
(asimptomatik) sampai parahnya gejala.. Gejala RPD : Pasien pernah mengalami
klinis biasa berupa tanda-tanda anemia seperti keluhan yang sama sejak usia 2
pucat, lemah, letih, lesu, tidak aktif beraktifitas tahun tetapi pasien tidak
atau jarang bermain dengan teman seusianya, merasakan lagi keluhan tersebut
sesak nafas kurang konsentrasi, sering pula selama 2 tahun terakhir ini.
disertai dengan kesulitan makan, gagal tumbuh, Dahulu pasien MRS dengan
infeksi berulang dan perubahan tulang. keluhan yang sama ± 2 kali
Anemia Sideroblastik : Gejala utama adalah dalam setahun dan selalu
sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat menerima transfusi darah tiap
istirahat, fatigue, gejala dan tanda keadaan MRS. Pasien tidak pernah
hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung menjalani operasi sebelumnya.
berdebar, dan roaring in the ears), kelelahan, Tidak ada alergi, tidak ada
dan pusing. Pada anemia yang lebih berat, keluarga dengan riwayat
dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi penyakit yang sama dan tidak
yang mengancam jiwa (gagal jantung, angina, ada menggunakan obat selama
aritmia dan/atau infark miokard). Penyakit keluhan berlangsung.
jantung, kerusakan hati, dan gagal ginjal dapat
terjadi akibat penumpukan zat besi dalam
organ-organ ini (Papadakis, et al., 2005).
Anemia Penyakit Kronis : Gejalanya sama
seperti anemia pada umumnya yaitu lelah,
lemah, jantung berdebar, pusing, sesak nafas,
mual, dan muntah. Gejala tersebut timbul
ringan sampai sedang kadang asimtomatik
(Harmening, 2009).
PEMERIKSAAN FISIK
Thalasemia : Pada pemeriksaan fisik Keadaan Umum: Sakit sedang
didapatkan facies Cooley, conjungtiva anemis, N : 92 x/i
bentuk tulang yang abnormal, pembesaran lien RR : 22 x/i
dan atau hepar. T: 36,1 oC
Anemia Sideroblastik : Pada anemia
TD: 100/70 mmHg
sideroblastik kulit terlihat pucat, anemia sedang
Konjungtiva anemis (+/+)
sampai berat terdapat anisocytosis dan
Gusi Berdarah (+)
poikilocytosis. Pada pemeriksaan abdomen
dapat ditemukan pembesaran lien dan hepar BB: 30 kg
Anemia penyakit kronis : Pada pemeriksaan TB: 137 cm
fisik ditemukan muka pucat, konjungtiva pucat, LILA: 19 cm
takikardi, cepat lelah, lemah, takikardi, kuku
pucat, capillary refill time meningkat. Namun,
pada pasien–pasien dengan gangguan paru
yang berat, demam, atau fisik dalam keadaan
lemah akan menimbulkan berkurangnya
kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah
sedang, yang mana ini nantinya akan
mencetuskan gejala
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Normal ADB Anemia Thalasemia Hasil DL :
penyakit
Leu : 7,41
kronik
MCV 80 – 90 Menurun Menuru Menurun Hb : 6,0
fl <70 fl n/N
MCH 27 – 31 Menurun Menuru Menurun Hct : 20,9
pg n/N PLT : 447
Besi 50 – 150 Menurun Menuru Normal
serum μg/dL <50 μg/dL n MCV : 56,1
TIBC 240 – Meningka Menuru Normal/
MCH : 16
360 t n Meningkat
μg/dL >360
MCHC : 28,6
μg/dL APTT : 34
Saturasi 30 – Menurun Menuru Meningkat
transferi 35% < 15% n/N >20%
PT : 13,3
n 10-20% INR : 0,99
Besi Positif Negatif Positif Positif kuat
sumsum
FL : warna coklat, konsistensi
tulang lembek, darah (-), lender (-),
FEP 15 – 18 Meningka Mening Normal
eritrosit 0-1, leukosit 1-2, darah
μg/dL t kat
>100 samar (-)
μg/dL HDT :
Feritin 20 – 250 Menurun Normal Meningkat
serum μg/dL <20 μg/dL >50 μg/dL Eritrosit : Mikrositik Hipokrom,
Elektrof Normal Normal Hb A2
anisopoikilositosis, ovalosit (+),
oesis Hb Meningkat
Pada Anemia Sideroblastik : sel pensil (+), fragmented (+),
a. Peningkatan serum iron tear drop sel (+), polikromasia
b. Peningkatan kadar ferritin (+), sferosit (+), normoblast (-)
c. Total iron-binding capacity normal Leukosit : Jumlah normal,
d. Saturasi transferin tinggi PMN>L, morfologi normal, sel
e. Hematokrit sekitar 20-30% muda (-)
f. Volume corpuscular rata-rata atau MCV Trombosit : Jumlah normal,
biasanya normal atau rendah untuk morfologi normal
penyebab kongenital anemia sideroblastik Kesan : Anemia Mikrositik
g. Pada keracunan timbal, melihat coarse Hipokrom suspek Anemia
basophilic stippling pada sel darah merah Hemolitik DD
pada apus darah tepi Hemoglobinophati, Def
h. Tes khusus: Prussian blue stain pada sel fe/anemia penyakit kronik
darah merah di sumsum tulang yang Retikulosit 2,0, Saturasi
mennjukan ring sideroblas. Pewarnaan biru Transferin 2, Serum Iron 11,
Prusia melibatkan reaksi non-enzimatik UIBC 491, TIBC 502
ferrous iron dengan ferrocyanide Hb eletroforesis :
membentuk ferric-ferrocyanide, yang Ferritin : 2,9
berwarna biru. HbA2 : 2,3
HbF <1
Fraksi lain -
DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis Anemia Hipokrom Berdasarkan klinis diatas pasien
Mikrositik berdasarkan Anamnesis, diagnosis Anemia Hipokrom
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang Mikrositik
berupa pemeriksaan darah, Hb elektroforesis.
PENATALAKSANAAN
ADB Penatalaksanaan di berikan di
- Preparat besi ruang Melati yaitu:
Preparat yang tersedia ferous sulfat, ferous
PRC 300 cc selama 2
glukonat, ferous fumarat, dan ferous
hari
suksinat. Dosis besi elemental 4-6
IVFD D51/2 NS
mg/kgBB/hari. Respons terapi dengan
500cc/24 jam
menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu
Inj PCT 300mg IV (k/p)
bulan, yaitu kenaikan kadar Hb sebesar 2
gr/dl atau lebih. Bila respons ditemukan,
terapi dilanjutkan sampai 2-3 bulan.
Komposisi besi elemental:
d. Ferous fumarat: 33% merupakan besi
elemental
e. Ferous glukonas: 11,6% merupakan besi
elemental
f. Ferous sulfat: 20% merupakan besi
elemental
- Transfusi darah
Jarang diperlukan, hanya diberi pada
keadaan anemia yang sangat berat dengan
kadar Hb < 4 gr/dl. Komponen darah yang
diberi PRC
Thalasemia
Penderita trait thalasemia tidak
memerlukan terapi ataupun perawatan lanjut
setelah diagnosis awal dibuat. Terapi preparat
besi sebaiknya tidak diberikan kecuali memang
dipastikan terdapat defisiensi besi dan harus
segera dihentikan apabila nilai Hb yang
potensial pada penderita tersebut telah tercapai.
a. Transfusi Darah
Transfusi darah harus dimulai pada usia
dini ketika anak mulai mengalami gejala dan
setelah periode pengamatan awal untuk menilai
apakah anak dapat mempertahankan nilai Hb
dalam batas normal tanpa transfusi.
- Transfusi darah bertujuan untuk
mempertahankan nilai Hb tetap pada level
9-9.5 gr/dL sepanjang waktu.
- Darah yang akan ditransfusikan harus
rendah leukosit; 10-15 mL/kg PRC dengan
kecepatan 5 mL/kg/jam setiap 3-5 minggu
biasanya merupakan regimen yang adekuat
untuk mempertahankan nilai Hb yang
diinginkan.
- Pertimbangkan pemberikan asetaminofen
dan difenhidramin sebelum transfusi untuk
mencegah demam dan reaksi alergi.
a. Terapi Khelasi (Pengikat Besi)
- Apabila diberikan sebagai kombinasi
dengan transfusi, terapi khelasi dapat
menunda onset dari kelainan jantung dan,
pada beberapa pasien, bahkan dapat
mencegah kelainan jantung tersebut.
- Chelating agent yang biasa dipakai adalah
DFO yang merupakan kompleks
hidroksilamin dengan afinitas tinggi
terhadap besi. Rute pemberiannya sangat
penting untuk mencapai tujuan terapi, yaitu
untuk mencapai keseimbangan besi negatif
(lebih banyak diekskresi dibanding yang
diserap). Karena DFO tidak diserap di usus,
maka rute pemberiannya harus melalui
parenteral (intravena, intramuskular, atau
subkutan).
- Dosis total yang diberikan adalah 30-
40mg/kg/hari diinfuskan selama 8-12 jam
saat pasien tidur selama 5 hari/minggu.
b. Diet
Pasien dianjurkan menjalani diet
normal, dengan suplemen sebagai berikut:
o Vitamin C à 100-250 mg/hari selama
pemberian kelasi besi.
o Asam Folat à 2-5 mg/hari untuk
memenuhi kebutuhan yang meningkat.
o Vitamin E à 200-400 IU setiap hari.
Anemia Sideroblastik
Terapi untuk anemia sideroblastik berupa terapi
simptomatik yaitu dengan transfusi darah.
Pemberian vitamin B6 dapat dicoba karena
pada sebagian kecil penderita bersifat responsif
terhadap piridoksin. Untuk anak-anak diberikan
dalam dosis 200-500 mg/24 jam.
Pada pasien–pasien anemia penyakit kronik
yang penyakit dasarnya anemia karena
kanker, gagal ginjal, HIV dan artritis
rematoid. Dosisnya dapat dimulai dari 50–
100 Unit/Kg, 3x seminggu, pemberiannya
secara intra venous (IV) atau subcutan
(SC). Bila dalam 2–3 minggu konsentrasi
hemoglobin meningkat dan/atau feritin
serum menurun, maka kita boleh menduga
bahwa eritroit respons. Bila dengan dosis
rendah responsnya belum adekuat, maka
dosisnya dapat ditingkatkan sampai 150
Unit/Kg, 3x seminggu.
Transfusi darah berupa packed red cell (PRC)
Prednisolon
Diberikan pada pasien anemia penyakit
kronik dengan penyakit dasarnya artritis
temporal, reumatik dan polimialgia.
Hemoglobin akan segera kembali normal
demikian juga dengan gejala–gejala
polimialgia akan segera hilang dengan
cepat.
Kobalt klorida
Juga bermanfaat untuk memperbaiki
anemia pada penyakit kronik dengan cara
kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan
eritropoetin, tetapi oleh karena efek
toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk
diberikan.
Suplementasi zat besi
Tidak diindikasikan kecuali untuk mengatasi
anemia artritis reumatoid
BAB 4
KESIMPULAN
Pasien An. RAW, berjenis kelamin laki laki, dengan usia 12 tahun dengan
keluhan gusi berdarah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit dengan diagnosis
Anemia hipokrom mikrositik et causa Thalasemia. Selama perawatan, ditemukan
anak tersebut sesuai dengan teori dan menjalani penatalaksanaan sesuai teori.
Secara umum, mulai dari anamnesis, hasil pemeriksaan fisik dan penunjang,
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus ini sudah sesuai dengan
teori yag penulis dapatkan dari literatur yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman Richard E., Kliegman Robert, Arvin Ann M., et al. Kelainan
Hemoglobin: Sindrom Thalasemia. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 2.
Edisi ke-15. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal 1708-1712.
2. Yaish Hassan M. Thalasemia. April 30, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/958850-overview.
3. Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. Sel darah merah:
Eritropoisis. Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak. Cetakan ketiga. Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta : 2010. Hal 1-6, 16-23.
4. Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. Hemoglobin Abnormal:
Thalasemia. Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak.. Cetakan ketiga. Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta : 2010. Hal 64-84.
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hematologi. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas
Kedokteran Universita Indonesia: Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
6. U.S Department of Health & Human Services. Thalasemias. Available at:
http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/Thalasemia/Thalasemia_Causes.
html.
7. Bleibel, SA. Thalasemia Alpha. August 26, 2009. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/206397-overview
8. Takeshita, K. Thalasemia Beta. September 27, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/206490-overview
9. Yaish Hassan M. Thalasemia: Differential diagnoses & Workup. April 30,
2010. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/958850-diagnosis
10. Hay WW, Levin MJ. Hematologic Disorders. Current Diagnosis and
Treatment in Pediatrics. 18th Edition. New York : Lange Medical Books/
McGraw Hill Publishing Division ; 2007. Hal 841-845.
11. Haut, A., Wintrobe MM. The hemoglobinopathies and thalasemias. Forfar and
Arneil’s Textbook of Paediatrics. Edisi 7. Chruchill Livingstone. 2010. Hal
1621-1632.
12. Edward, J., & Benz, Jr. (2008). Disorders of Hemoglobin. In A. S. Fauci, & E.
Braunwald, Harrison's Priciples of Internal Medicine. 17th Ed (pp. 635-642).
United States: The McGraw-Hill Companies.
13. Gatot, D., Idjridinata, P., Abdulsalam, M., Lubis, B., Soedjatmiko, Hendarto,
A., et al. (2011). Rekomendasi Suplemen Besi Untuk Anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
14. Pudjiadi, A. H., Hegar, B., Handryastuti, S., Idris, N. S., Gandaputra, E. P., &
Harmoniati, E. D. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
15. Raspati, H., Reniarti, L., & Susanah, S. (2012). Anemia Defisiensi Besi. In B.
Permono, Sutaryo, I. Ugrasena, E. Windiastuti, & M. Abdulsalam, Buku Ajar
Hematologi-Onkologi Anak (pp. 30-43). Jakarta: Badan Penerbit IDAI.