Anda di halaman 1dari 61

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Kasus Hemato-Onkologi

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Anemia Hipokrom Mikrositik

Disusun oleh:
Maria Sondang Hotmanginar Sinaga
1710029015

Pembimbing:
dr. Dhini Karunia B.A, Sp.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Agustus 2019
LEMBAR PERSETUJUAN

TUTORIAL KLINIK

Anemia Hipokrom Mikrositik

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Oleh :
Maria Sondang H.S 1710029015

Pembimbing

dr. Dhini Karunia B.A, Sp.A

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan yang berjudul “Anemia Hipokrom Mikrositik”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan tutorial ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr.Dhini Karunia B.A, Sp.A, sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran dan
mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Agustus 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. 1
LEMBAR PERSETUJUAN.............................................................................. 2
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 3
DAFTAR ISI ......................................................................................................... 4
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 5
BAB 2 LAPORAN KASUS ................................................................................. 6
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................23
BAB 4 PEMBAHASAN ......................................................................................40
BAB 5 PENUTUP ................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................45

\
BAB 1
PENDAHULUAN

Anemia adalah masalah kesehatan masyarakat dan merupakan masalah


medik yang sering dijumpai di klinik di seluruh dunia terutama di Negara-negara
berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitass kronik yang berdampak
besar pada kesejahteraan sosial, ekonomi serta kesehatan fisik penderita. Anemia
sering tidak mendapatkan perhatian oleh karena frekuensinya yang demikian
sering.
Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin
(protein pembawa O2 ) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan
perifer sehingga pengiriman O2 ke jaringan menurun (penurunan oxygen carrying
capacity). Anemia merupakan kondisi kurang darah yang umum terjadi ketika
jumlah eritrosit kurang dari normal atau akibat konsentrasi Hemoglobin yang
rendah dalam darah (Depkes 2008). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count).
Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal, serta keadaan fisiologis tertentu misalnya
kehamilan. Nilai batas ambang untuk anemia menurut WHO (2001) untuk umur
10-11 tahun <11.5 g/dl, 12-14 tahun <12 g/dl, wanita >15 tahun <12 g/dl, dan
laki-laki >15 tahun <13 g/dl. Penyebab anemia dapat karena kurangnya zat gizi
untuk pembentukan sel darah merah, misalnya zat besi, asam folat dan vitamin
B12. Tetapi yang sering terjadi adalah anemia karena kekurangan zat besi
(Rahmad, 2008).
Prevalensi anemia di dunia sangat tinggi, terutama di negara-negara
sedang berkembang termasuk Indonesia. Menurut WHO (2008), prevalensi
kejadian anemia di dunia antara tahun 1993 sampai 2005 sebanyak 24.8 persen
dari total penduduk dunia (hampir 2 milyar penduduk dunia). Di Indonesia
prevalensi anemia di kalangan pekerja memang masih tinggi. Studi mengenai
anemia pada pekerja wanita yang dilakukan di Jakarta, Bandung, Jambi, Kudus-
Jawa Tengah membuktikan bahwa anemia menurunkan produktivitas 5-10% dan
kapasitas kerjanya 6,5 jam per minggu. Anemia yang menyebabkan turunnya daya
tahan juga membuat penderita rentan terhadap penyakit (Rahmad, 2008).
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya tutorial klinik ini adalah untuk menambah wawasan bagi
dokter muda mengenai Anemia Hipokrom Mikrositik dan sebagai salah satu
syarat mengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Identitas Pasien
Nama : An. RAW
Usia : 12 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Muara Ancalong

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. R
Usia : 66 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Muara Ancalong
Pendidikan terakhir : SMP
Pernikahan ke : Pertama

Nama Ibu : Ny. KF


Usia : 44 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Muara Ancalong
Pendidikan terakhir : SMA
Pernikahan ke : Pertama
MRS tanggal 15 Juli 2019

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 16 Juli 2019, di ruang melati.
Dilakukan autoanamnesis dan heteroanamnesis dengan orang tua pasien.
2.2.1 Keluhan Utama
Gusi berdarah sejak 3 hari SMRS
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik RSUD AWS dengan keluhan gusi
berdarah. Keluhan tersebut dirasakan sejak 3 hari SMRS. Darah yang keluar
dari gusi tidak banyak hanya seperti flek. Tidak ada kegiatan maupun waktu
tertentu yang mendahului timbulnya keluhan. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan adanya badan lemas dan wajah pucat yang timbul bersamaan
dengan keluhan utama. Pasien juga mengatakan terdapat BAB hitam sejak 5
hari SMRS. Tidak ada darah berwarna merah yang keluar bersamaan sama
BAB hitam, ampas (+), BAB cair (-), mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-),
dan demam (-). Pasien juga merasakan nafsu makan menurun sejak 5 hari
SMRS. Tidak ada keluhan BAK dan BAB.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sejak usia 2 tahun tetapi
pasien tidak merasakan lagi keluhan tersebut selama 2 tahun terakhir ini.
Dahulu pasien MRS dengan keluhan yang sama ± 2 kali dalam setahun
dan selalu menerima transfusi darah. Pasien tidak pernah menjalani
operasi sebelumnya.
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada riwayat dengan keluhan yang sama pada keluarga pasien
2.2.5 Riwayat Alergi Makanan/Obat
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan/obat
2.2.6 Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal di dalam gang. Daerah di sekitar rumah bukan merupakan
pemukiman padat penduduk. Kebersihan di rumah menurut pengakuan
keluarga cukup. Ventilasi rumah diakui cukup. Tidak ada anggota keluarga
yang merokok.
2.2.7 Riwayat Penggunaan Obat
Tidak ada riwayat penggunaan obat.
2.2.8 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Berat badan lahir : 3500 gram
Panjang badan lahir : 51 cm
Tersenyum : 2 bulan
Miring : 2 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 7 bulan
Berdiri : 1 tahun
Berjalan : 1 tahun 2 bulan
Berbicara : 1 tahun
Tumbuh gigi : 7 bulan
2.2.9 Makan dan Minum Anak
ASI : Sejak lahir – 2 tahun
Susu sapi : sejak 6 bulan
Susu soya :-
Makanan lunak : Bubur saring sejak usia 6 bulan
Makan padat dan lauknya : sejak usia 1 tahun
2.2.10 Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Bidan di Puskesmas
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang diminum saat hamil : Vitamin dan tablet Fe
2.2.11 Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik Bersalin
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan per vaginam
2.2.12 Riwayat Imunisasi

Imunisasi

I II III IV Booster I Booster II


BCG + //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
Polio + + + + ///////// ///////////
Campak + //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
DPT + + + //////////// - -
Hepatitis B + + + + - -

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tanda Vital : Tekanan Darah 100/60 mmHg
Nadi 81 kali/menit, regular, kuat angkat
Pernafasan 20 kali/menit
Suhu 36.5o C per aksiler
SpO2 99%
Pemeriksaan Antropometri
Berat Badan : 30 kg
Tinggi Badan : 137 cm
LILA : 19 cm
Status Gizi :
o TB/Usia : Persentile 5= cm
137 cm/ cm x 100% = % (TB kurang)
o BB/Usia : Persentile 5= kg
30 kg/ kg x 100% = % (BB Kurang)
o BB/TB : 30 kg/ 1,37 m = 21,89 kg/m
17 kg/17,34 kg/m x 100% = 98 % (Normal)
Kepala/leher
Kepala/Rambut : Normocephali, rambut warna hitam
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), perdarahan
subkonjungtiva (-/-), pupil isokor (3/3mm), refleks cahaya
(+/+), edema palpebra (-/-), mata cekung (-/-)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-), deviasi
septum nasi (-)
Mulut : Mukosa bibir tampak lembab, sianosis (-), perdarahan gusi
(+)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax
Paru : Inspeksi : Bentuk dan besar dada normal, tampak
simetris, pergerakan simetris D=S, retraksi
intercostal (-/-), retraksi (-)
Palpasi : Gerakan napas simetris D=S, Pelebaran
ICS (-/-), fremitus raba simetris D=S
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi :Suara napas vesikuler (+/+), Rhonchi (-/-),
wheezing (-/-) stridor (-/-)
Jantung: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Flat, distended (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Perkusi : Timpani, asites (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), pembesaran organ (-)

Ekstremitas
Ekstremitas superior: Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik
Ekstremitas inferior: Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap (15/07/2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Leukosit 7.410/µL 4.500 – 14.500 /µL
Hemoglobin 6 g/dl 14 – 18 g /Dl
Hematokrit 20,9 % 35,0 - 45,0 %
Trombosit 447.000/µL 150.000 – 450.000 /µL
MCV 56,1 81-99 fl
MCH 16 27-31 pg
MCHC 28,6 33-37 g/dl
APTT 34 24-36 detik
PT 13,3 10,8-14,4 detik
INR 0,99
2.5 Diagnosis
Diagnosis kerja sementara : Anemia Hipokrom Mikrositik

2.6 Tatalaksana Awal


IVFD RL 20 tpm
Inj dexamethasone extra 2 mg IV jika masuk reaksi transfusi
Transfusi PRC 3x : I. 150 cc. II. 300 cc, III. 300 cc dengan interval 8 jam
Cek DL, PT, APTT, HDT dan Hb elektroforesis

Follow Up

Tanggal/ Subjektif & Objektif Assesment & Planning


Tempat
Hari ke- 1 S: Gusi Berdarah, badan A: Anemia hipokrom mikrositik susp
16/7/2019 lemas, bab hitam thalasemia
Melati O: KU : Sakit Sedang
 N : 92 x/i Pdx :
 RR : 22 x/i  HDT, SI, TIBC, retic, ferritin,
 T: 36,1 oC CRP, FL, Hb elektroforesis

 TD: 100/70 mmHg Tx :

 Konjungtiva anemis (+/ PRC 300 cc selama 2 hari


+) IVFD D51/2 NS 500cc/24 jam

Hasil Lab : Inj PCT 300mg IV (k/p)


FL : warna coklat, Observasi
konsistensi lembek, darah (-),
lender (-), eritrosit 0-1,
leukosit 1-2, darah samar (-)
HDT :
Eritrosit : Mikrositik
Hipokrom,
anisopoikilositosis, ovalosit
(+), sel pensil (+),
fragmented (+), tear drop sel
(+), polikromasia (+), sferosit
(+), normoblast (-)
Leukosit : Jumlah normal,
PMN>L, morfologi normal,
sel muda (-)
Trombosit : Jumlah normal,
morfologi normal
Kesan : Anemia Mikrositik
Hipokrom suspek Anemia
Hemolitik DD
Hemoglobinophati, Def
fe/anemia penyakit kronik
Hari ke- 2 S: pucat, gusi berdarah A: Anemia hipokrom mikrositik susp
17/7/2019 O: thalasemia
Melati  T: 36,6 oC
 N: 92 x/i Pdx :

 RR: 23 x/i  Co gigi

 TD: 100 /60 mmHg  Cek DL post transfusi


Hasil Lab : Tx :
Leu 7.15, Hb 6.2, Hct 21.6,  Terapi lanjut
PLT 485, Retikulosit 2,0  PRC hari ke 2
Saturasi Transferin 2, Serum
Iron 11, UIBC 491, TIBC
502

Hari ke- 3 S: gusi berdarah A: Anemia hipokrom mikrositik susp


18/7/2019 O: thalasemia
Melati  T: 36,5 oC
 N: 90 x/i P:

 RR: 22 x/i  Co gigi

 TD: 110 /70 mmHg  Terapi lanjut


 DL post transfusi
Hari ke -4 S: Keluhan (-) A: Anemia hipokrom mikrositik susp
19/7/2019 O: thalasemia
Melati  T: 34,5 oC
 N: 76 x/i P:

 RR: 24 x/i  Rencana krs

 TD: 100 /60 mmHg


Hasil Lab:
Leu 10.15, Hb 11.3, Hct
35.4, PLT 551

Hasil Hb elektroforesis : (18 Juli 2019)


Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Ferritin 2,9 25-78 Ng/ml Laki-laki, 12 tahun
19,5-49 Ng/ml Laki-laki, 13 tahun
Analisa Hb (HPLC)
HbA2 2,3 2.3-3.5% >2 tahun
HbF <1 <1% >2 tahun
Fraksi Lain - - -
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Anemia merupakan kondisi kurang darah yang terjadi bila kadar
hemoglobin darah kurang dari normal (Depkes 2008). Nilai tersebut berbeda-beda
untuk kelompok umur dan jenis kelamin sebagaimana ditetapkan oleh WHO
seperti tercantum pada tabel 1.
Tabel 1. Batas normal kadar hemoglobin (WHO, 2008)
Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat belum ada
keseragaman mengenai batasannya, hal ini disebabkan oleh perbedaan
kelompok umur, kondisi penderita, komplikasi dengan penyakit lain, keadaan
umum gizi penderita, lamanya menderita anemia, dan lain-lain yang sulit
dikelompokkan. Akan tetapi, menurut Husaini (1989) bahwa semakin rendah
kadar Hb, makin berat anemia yang diderita. Menurut Depkes (2001), anemia
dibagi menjadi 2 derajat yaitu anemia sedang dan anemia berat. Anemia sedang
bila kadar Hb 8-11 g% dan dikatakan anemia berat bila Hb < 8 g%
Anemia mikrositik hipokromik adalah suatu kondisi dimana ukuran eritrosit
yang lebih kecil dari normal dan mengandung konsentrasi hemoglobin yang juga
kurang dari normal (indeks eritrosit: MCV < 73fl, MCH <23 pg, MCHC 26-35%).
Penyebab anemia mikrositik hipokromik antara lain: anemia defisiensi besi,
thalassemia major, anemia akibat penyakit kronik dan anemia sideroblastik.

Diagnosis Banding Anemia Hipokrom Mikrositik


Normal ADB Anemia Thalasemia
penyakit
kronik
MCV 80 – 90 fl Menurun Menurun/N Menurun
<70 fl
MCH 27 – 31 pg Menurun Menurun/N Menurun
Besi serum 50 – 150 Menurun Menurun Normal
μg/dL <50 μg/dL
TIBC 240 – 360 Meningkat Menurun Normal/
μg/dL >360 μg/dL Meningkat
Saturasi 30 – 35% Menurun Menurun/N Meningkat
transferin < 15% 10-20% >20%
Besi sumsum Positif Negatif Positif Positif kuat
tulang
FEP 15 – 18 Meningkat Meningkat Normal
μg/dL >100 μg/dL
Feritin serum 20 – 250 Menurun Normal Meningkat
μg/dL <20 μg/dL >50 μg/dL
Elektroforesis Normal Normal Hb A2
Hb meningkat

1. ANEMIA DEFISIENSI BESI

A. Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya
besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Selain dibutuhkan untuk
pembentukan hemoglobin yang berperan dalam penyimpanan dan pengangkutan
oksigen, zat besi juga terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam
metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter dan proses katabolisme
yang dalam bekerjanya membutuhkan ion besi. Dengan demikian, kekurangan
besi mempunyai dampak yang merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan
anak, menurunkan daya tahan tubuh, menurunkan konsentrasi belajar dan
mengurangi aktivitas bekerja (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012).
Untuk mempertahankan keseimbangan Fe yang positif selama masa anak
diperlukan 0,8-1,5 mg Fe yang harus diabsorbsi setiap hari dari makanan.
Banyaknya Fe yang diabsorbsi dari makanan sekira 10% setiap hari, sehingga
untuk nutrisi yang optimal diperlukan diet yang mengandung Fe sebanyak 8-10
mg Fe perhari. Fe yang berasal dari susu ibu diabsorbsi secara lebih efisien
daripada yang berasal dari susu sapi sehingga bayi yang mendapatkan ASI lebih
sedikit membutuhkan Fe dari makanan lain. Sedikitnya makanan yang kaya Fe
yang dicerna selama tahun pertama kehidupan menyebabkan sulitnya memenuhi
jumlah yang diharapkan, oleh karena itu diet bayi harus mengandung makanan
yang diperkaya Fe sejak usia 6 bulan (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012).

B. Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari
setengahnya merupakan anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi lebih
sering ditemukan di negara yang sedang berkembang sehubungan dengan
kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah dan
infestasi parasit yang merupakan masalah endemik. Saat ini di Indonesia, anemia
defisiensi besi masih merupakan salah satu masalah gizi utama disamping
kekurangan kalori-protein, vitamin A dan yodium (Raspati, Reniarti, & Susanah,
2012).
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak
usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-
8 tahun) di kota sekitar 5,5%, anak praremaja 2,6% dan gadis remaja yang hamil
26%. Di Amerika Serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun diketahui kekurangan
besi, 3% menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika Serikat
kekurangan besi dan 2% menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar
50% cadangan besinya berkurang saat pubertas (Raspati, Reniarti, & Susanah,
2012).
Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibandingkan kulit putih.
Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam
yang lebih rendah (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012). Berdasarkan penelitian di
Indonesia prevalensi ADB pada anak balita sekitar 40-45%. Dari hasil SKRT
tahun 2001 menunjukkan prevalensi ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan,
dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8%, dan 48,1%. Penelitian kohort
terhadap 211 bayi berusia 0 bulan selama 6 bulan dan 12 bulan didapatkan
insidensi ADB sebesar 40,8% dan 47,4%. Pada usia balita, prevalensi tertinggi
ADB umumnya terjadi pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi
melalui diet dan pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama. Angka kejadian
ADB lebih tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi premature (sekitar 25-85%)
dan bayi yang mengonsumsi ASI secara eksklusif tanpa suplementasi (Gatot, et
al., 2011).

C. Etiologi
Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorbsi besi, diit yang
mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang.
Kekurangan besi dapat disebabkan oleh (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012):
1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
- Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa
remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden
ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali
dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat
lahir. Bayi prematur dengan pertumbuhan yang sangat cepat, pada umur 1
tahun berat badannya dapat mencapai 4 kali dan massa hemoglobin dalam
sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
- Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah
kehilangan darah lewat menstruasi.
2. Kurangnya besi yang diserap
- Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan
yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih
kurang 200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama
digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mengandung ASI eksklusif
jarang menderita kekurangan besi pada 6 bulan pertama. Hal ini disebabkan
besi yang terkandung di dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan besi
yang terkandung pada susu formula
- Malabsorbsi besi
Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya
mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang
telah mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB
walaupun penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan
berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui
bagian atas usus halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non heme
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab tersering terjadinya
ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi.
Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga
kehilangan darah 3-4 ml/hari (1,5-2 mg besi) dapat mengakibatkan keseimbangan
negatif besi. Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced
enteropathy, ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat,
kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi non steroid) dan infestasi cacing
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) yang menyerang usus halus
bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus.
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi Ibu akan menyebabkan ADB
pada akhir massa fetus dan pada awal masa neonatus.
5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan.
Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melalui urin
rata-rata 1,8-7,8 mg/hari.
6. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium
berisiko untuk menderita ADB.
7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru yang
hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul. Keadaan
ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga 1,5-3 gr/dl dalam 24
jam.
8. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolahraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitar 40% remaja
perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya <10 µg/dl.
Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia yang hilang
timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari.
D. Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi
yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini
menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Terdapat tiga tahapan
defisiensi besi yaitu sebagai berikut (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012; Edward
& Benz, 2008).
1. Tahap Pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan
fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan
absorbsi besi non heme. Ferritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain
untuk mengetahui adanya kekurangan masih normal.
2. Tahap Kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau
iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk
menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai
besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron
binding capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP)
meningkat.
3. Tahap Ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan
mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.

E. Manifestasi Klinis
Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh
penderita dan keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya dari
temuan laboratorium saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB
dengan kadar Hb 6-10 gr/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga
gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun <5 gr/dl gejala iritabel dan
anoreksia akan mulai tampak lebih jelas. Bila anemia terus berlanjut dapat terjadi
takikardia, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Namun kadang-kadang pada
kadar Hb <3-4 gr/dl pasien tidak mengeluh karena tubuh sudah mengadakan
kompensasi, sehingga beratnya gejala ADB sering tidak sesuai dengan kadar Hb.
Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi akibat kekurangan besi
seperti (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012):
- Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (bentuk kuku
konkaf atau spoon-shaped nail), atrofi papila lidah, postricoid oesophageal
webs dan perubahan mukosa lambung dan usus halus.
- Intoleransi terhadap latihan : penurunan aktivitas kerja dan daya tahan tubuh
- Termogenesis yang tidak normal : terjadi ketidakmampuan untuk
mempertahankan suhu tubuh normal pada saat udara dingin
- Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, hal ini terjadi karena fungsi
leukosit yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrofil mempunyai
kemampuan untuk fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh E.coli dan
S.aureus menurun.

F. Diagnosis
Pada anamnesis akan didapatkan informasi adanya (Pudjiadi, Hegar,
Handryastuti, Idris, Gandaputra, & Harmoniati, 2009):
- Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan
- Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh
terhadap infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi belajar
- Memakan bahan makanan yang kurang mengandung zat besi, bahan makanan
yang menghambat penyerapan zat besi seperti kalsium dan fitat (beras,
gandum), serta konsumsi susu sebagai sumber energi utama sejak bayi sampai
usia 2 tahun (milkalcoholics)
- Infeksi malaria, infeksi parasit seperti ankylostoma dan schistosoma.
Pada pemeriksaan fisik dapat didapatkan tanda klinis sebagai berikut (Pudjiadi,
Hegar, Handryastuti, Idris, Gandaputra, & Harmoniati, 2009).
- Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh
keluarga. Bila kadar Hb <5gr/dl ditemukan gejala iritabel dan anoreksia
- Pucat ditemukan bila kadar Hb <7 gr/dL
- Tanpa organomegali
- Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis, takikardia, gagal
jantung, protein losing enteropathy
- Rentan terhadap infeksi
- Gangguan pertumbuhan
- Penurunan aktivitas kerja
Pada pemeriksaan penunjang yang dapat didapatkan adalah sebagai berikut
(Pudjiadi, Hegar, Handryastuti, Idris, Gandaputra, & Harmoniati, 2009).
- Darah lengkap yang terdiri dari hemoglobin rendah, MCV, MCH dan MCHC
rendah. Red cell distrbution width (RDW) yang lebar dan MCV yang rendah
merupakan salah satu skrining defisiensi besi.
o Nilai RDW tinggi >14,5% pada defisiensi besi, bila RDW normal (<13%)
pada talasemia trait.
o Ratio MCV/RBC (Mentzer Index) >13 dan RDW Index (MCV/RBCxRDW)
220, merupakan tanda anemia defisiensi besi, sedangkan jika kurang dari
220 merupakan tanda talasemia trait.
o Apusan darah tepi : mikrositik, hipokromik, anisositosis dan poikilositosis
- Kadar besi serum yang rendah, TIBC, serum feritin <12 ng/mL
dipertimbangkan sebagai diagnostik defisiensi besi
- Nilai retikulosit : normal atau menurun menunjukkan produksi sel darah merah
tidak adekuat
- Serum transferin receptor (STfR) : sensitif untuk menentukan defisiensi besi,
mempunyai nilai yang tinggi untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan
anemia penyakit kronis
- Kadar zinc protoporphyrin (ZPP) akan meningkat
- Pemberian terapi besi : dengan dosis 3mg/kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan
retikulosit 5-10 hari diikuti dengan kenaikan hemoglobin 1 gr/dl atau
hematokrit 3% setelah 1 bulan menyokong diagnosis anemia defisiensi besi.
Kira-kira 6 bulan lagi, Hb dan Hct diperiksa kembali untuk menilai
keberhasilan terapi.

Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis,


pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan
gejala klinis yang sering tidak khas. Terdapat beberapa kriteria diagnosis yang
dipakai untuk menentukan ADB yaitu sebagai berikut (Raspati, Reniarti, &
Susanah, 2012).
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO (Pudjiadi, Hegar, Handryastuti, Idris,
Gandaputra, & Harmoniati, 2009).
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N:32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 Ug/dl (N:80-180 ug/dl)
4. Saturasi transferin <15% (N:20-50%)
Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen
1. Anemia hipokrom mikrositik
2. Saturasi transferin <16%
3. Nilai FEP >100 ug/dl eritrosit
4. Kadar Ferritin serum <12 ug/dl
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, ferritin serum dan
FEP) harus dipenuhi.
Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat dikethui melalui (Raspati, Reniarti, &
Susanah, 2012):
1. Pemeriksaan apus darah tepu hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan
kadar MCV, MCH dan MCHC yang menurun, RDW <17%
2. FEP meningkat
3. Ferritin serum menurun
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST<16%
5. Respon terhadap pemberian preparat besi
- Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi
- Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 gr/dl/hari atau PCV
meningkat 1%/hari
6. Sumsum tulang
- Tertundanya maturasi sitoplasma
- Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang

G. Penatalaksanaan
Mengetahui faktor penyebab: riwayat nutrisi dan kelahiran, adanya perdarahan
yang abnormal, pasca pembedahan.
- Preparat besi
Preparat yang tersedia ferous sulfat, ferous glukonat, ferous fumarat, dan
ferous suksinat. Dosis besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari. Respons terapi
dengan menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan, yaitu kenaikan
kadar Hb sebesar 2 gr/dl atau lebih. Bila respons ditemukan, terapi
dilanjutkan sampai 2-3 bulan. Komposisi besi elemental (Pudjiadi, Hegar,
Handryastuti, Idris, Gandaputra, & Harmoniati, 2009):
a. Ferous fumarat: 33% merupakan besi elemental
b. Ferous glukonas: 11,6% merupakan besi elemental
c. Ferous sulfat: 20% merupakan besi elemental
- Transfusi darah
Jarang diperlukan, hanya diberi pada keadaan anemia yang sangat berat
dengan kadar Hb < 4 gr/dl. Komponen darah yang diberi PRC (Pudjiadi,
Hegar, Handryastuti, Idris, Gandaputra, & Harmoniati, 2009).
Gatot et al. (2011) merekomendasikan dosis dan lama pemberian suplementasi besi
berdasarkan usia:
Usia (tahun) Dosis besi elemental Lama pemberian
Bayi : BBLR (<2.500 gr) 2-4 mg/kgBB/hari Usia 1 bulan sampai 2 tahun
Cukup bulan 1 mg/kgBB/hari Usia 4 bulan sampai 2 tahun
2 - 5 (balita) 2 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
> 5 - 12 (usia sekolah) 2 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
12 - 18 (remaja) 60 mg/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun

Preparat besi oral (Gatot, et al., 2011).


Nama generic Sedian Tablet (kandung Sediaan elixir (kandungan
besi (mg)) besi (mg/5ml)
Ferrous sulfate 325 mg (65) 300 mg (60)
Ferrous fumarate 325 mg (107)
195 mg (64)
Ferrous gluconate 150 mg (150) 100 (100)
50 mg (50)

H. Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja
diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penangan yang adekuat. Gejala
anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat
besi. Jika terjadi kegagalan pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa
kemungkinan sebagai berikut (Raspati, Reniarti, & Susanah, 2012).
- Diagnosis salah
- Dosis obat yang tidak adekuat
- Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluwarsa
- Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap
- Disertai penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi (seperti :
infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit
karena defisiensi vitamin B12, asam folat)
- Gangguan absorbsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan
pada ulkus peptikum dapat menyebabkan peningkatan terhadap besi)
I. Komplikasi (Davey, 2005)
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan anemia (Davey, 2005):
1) Reaksi transfusi, segera (anafilaksis) atau lambat. Reaksi minor (sering pada
mereka yang menjalani banyak transfusi menyebabkan demam (pasca)
transfusi dan mempersingkat masa hidup eritrosit yang ditransfusikan.
2) Transfusi dalam jumlah banyak bisa memicu gagal jantung atau gagal
hemostatik (zat pengawet darah mengkelasi kalsium, sehingga menghambat
proses pembekuan).
3) Transfusi virus, khususnya HIV dan hepatitis B atau C. Di banyak negara
dilakukan skrining semua darah untuk mencari adanya patogen ini.
4) Kelebihan Fe pada mereka yang banyak mendapat transfusi (misalnya pada
anemia herediter)
5) Supresi immun
6) Penyakit organ cangkok versus pejamu (graft versus host disease)

2. THALASEMIA
A. Definisi
Thalasemia adalah sekelompok heterogen gangguan genetik pada sintesis
hemoglobin yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai
globin. Thalassemia merupakan sekelompok anemia hipokromik herediter dengan
berbagai derajat keparahan. Defek genetik yang mendasari meliputi delesi total
atau parsial gen globin dan substitusi, delesi, atau insersi nukleotida. Akibat dari
berbagai perubahan ini adalah penurunan atau tidak adanya mRNA bagi satu atau
lebih rantai globin atau pembentukan mRNA yang cacat secara fungsional
sehingga mengakibatkan penurunan dan supresi total sintesis rantai polipeptida
Hb (Sudoyo, 2009).
B. Epidemiologi
Penyebaran thalasemia mulai dari Mediterania, Timur Tengah, Anak Benua
(sub-continent) India dan Burma, serta di daerah sepanjang garis antara Cina
bagian selatan, Thailand, semenanjung Malaysia, kepulauan Pasifik dan
Indonesia. Daerah-daerah tersebut lazim disebut daerah sabuk thalassemia,
dengan kisaran prevalens thalassemia sebesar 2,515%. World Health Organization
(WHO) pada tahun 1994 menyatakan bahwa tidak kurang dari 250 juta penduduk
dunia, yang meliputi 4,5% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat
(bentuk heterozigot). Dari jumlah tersebut sebanyak 80-90 juta adalah pembawa
sifat thalassemia β dan sisanya adalah pembawa sifat thalassemia α, jenis lain
pembawa sifat hemoglobin varian seperti HbE, HbS, HbO, dan lain-lain. Saat ini
sekitar 7% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat kelainan ini. Di
Indonesia, thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak
ditemukan. Angka pembawa sifat thalassemia β adalah 3-5%, bahkan di beberapa
daerah mencapai 10%, sedangkan angka pembawa sifat HbE berkisar antara 1,5-
36%. Berdasarkan hasil penelitian di atas dan dengan memperhitungkan angka
kelahiran dan jumlah penduduk Indonesia, diperkirakan jumlah pasien thalassemia
baru yang lahir setiap tahun di Indonesia cukup tinggi, yakni sekitar 2.500 anak
(HTA Indonesia, 2010).
C. Klasifikasi
Saat ini dikenal sejumlah besar sindrom thalasemia; masing-masing
melibatkan penurunan produksi satu atau lebih rantai globin, yang membentuk
bermacam-macam jenis Hb yang ditemukan pada sel darah merah. Jenis yang
paling penting dalam praktek klinis adalah sindrom yang mempengaruhi baik
sintesis rantai α maupun β (Yaish, 2013)
1. Thalassemia-α
Delesi gen globin-α menyebabkan sebagian besar kelainan ini. Terdapat
empat gen globin-α pada individu normal, dan empat bentuk thalassemia-α yang
berbeda telah diketahui sesuai dengan delesi satu, dua, tiga, dan semua empat gen
ini (Yaish, 2013).
Tabel 1. Thalassemia-α
Genotip Jumlah Hemoglobin Elektroforesis
Presentasi
gen α Saat Lahir > 6 bulan
Klinis
αα/αα 4 Normal N N
-α/αα 3 Silent carrier 0-3 % Hb Barts N
--/αα atau 2 Trait thal-α 2-10% Hb Barts N
–α/-α
--/-α 1 Penyakit Hb H 15-30% Hb Bart Hb H
--/-- 0 Hydrops fetalis >75% Hb Bart -
Keterangan :
N = hasil normal, Hb = hemoglobin, Hb Bart’s = γ4, HbH = β4
a. Silent Carrier Thalassemia-α
Pada tipe silent carrier, salah satu gen α pada kromosom 16
menghilang, menyisakan hanya 3 dari 4 gen tersebut. Penderita sehat
secara hematologis, hanya ditemukan adanya jumlah eritrosit yang
rendah dalam beberapa pemeriksaan. Pada tipe ini, diagnosis tidak
dapat dipastikan dengan pemeriksaan elektroforesis Hb, sehingga
harus dilakukan tes lain yang lebih canggih. Bisa juga dicari akan
adanya kelainan hematologi pada anggota keluarga (misalnya
orangtua) untuk mendukung diagnosis. Pemeriksaan darah lengkap
pada salah satu orangtua yang menunjukkan adanya hipokromia dan
mikrositosis tanpa penyebab yang jelas merupakan bukti yang cukup
kuat menuju diagnosis thalassemia (Yaish, 2013).
b. Trait Thalassemia-α
Trait ini dikarakterisasi dengan anemia ringan dan jumlah sel darah
merah yang rendah. Kondisi ini disebabkan oleh hilangnya 2 gen α
pada satu kromosom 16 atau satu gen α pada masing-masing
kromosom. Kelainan ini sering ditemukan di Asia Tenggara, India dan
Timur Tengah. Pada bayi baru lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb
Barts (γ4) dapat ditemukan pada elektroforesis Hb. Setelah umur satu
bulan, Hb Barts tidak terlihat lagi, dan kadar Hb A2 dan HbF secara
khas normal (Yaish, 2013).
c. Penyakit Hb H
Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin α, merepresentasikan
thalassemia-α intermedia, dengan anemia sedang sampai berat,
splenomegali, ikterus dan jumlah sel darah merah yang abnormal. Pada
sediaan apus darah tepi yang diwarnai dengan pewarnaan supravital
akan tampak sel-sel darah merah yang diinklusi oleh rantai tetramer β
(Hb H) yang tidak stabil dan terpresipitasi di dalam eritrosit, sehingga
menampilkan gambaran golf ball. Badan inklusi ini dinamakan sebagai
Heinz bodies (Yaish, 2013)

Gambar 2. Pewarnaan supravital pada sapuan apus darah tepi


Penyakit Hb H yang menunjukkan Heinz-Bodies.
d. Thalassemia-α Mayor
Bentuk thalassemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi
semua gen globin-α, disertai dengan tidak ada sintesis rantai α sama
sekali. Karena Hb F, Hb A, dan Hb A2 semuanya mengandung rantai
α, maka tidak satupun dari Hb ini terbentuk. Hb Barts (γ4)
mendominasi pada bayi yang menderita dan karena γ4 memiliki
afinitas oksigen yang tinggi, maka bayi itu mengalami hipoksia berat.
Eritrositnya juga mengandung sejumlah kecil Hb embrional normal
(Hb Portland = ζ2γ2) yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen
(Yaish, 2013).
Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari
bayi yang lahir hidup meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini
sangat hidropik, dengan gagal jantung kongestif dan edema anasarka
berat. Yang dapat hidup dengan manajemen neonatus agresif juga
nantinya akan sangat bergantung dengan transfusi.
2. Thalassemia-β
Sama dengan thalassemia-α, dikenal beberapa bentuk klinis dari
thalassemia-β, antara lain :
a. Silent Carrier Thalassemia-β
Penderita tipe ini biasanya asimtomatik, hanya ditemukan nilai
eritrosit yang rendah. Mutasi yang terjadi sangat ringan, dan
merepresentasikan suatu thalassemia-β+. Bentuk silent carrier
thalassemia-β tidak menimbulkan kelainan yang dapat diidentifikasi
pada individu heterozigot, tetapi gen untuk keadaan ini, jika
diwariskan bersama-sama dengan gen untuk thalassemia-β°,
menghasilkan sindrom thalassemia intermedia.

Gambar 3. Thalassemia β menurut Hukum Mendel


b. Trait Thalassemia-β
Penderita mengalami anemia ringan, nilai eritrosit abnormal,
dan elektroforesis Hb abnormal dimana didapatkan peningkatan
jumlah Hb A2, Hb F atau keduanya. Individu dengan ciri (trait)
thalassemia sering didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi besi dan
mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan preparat besi selama
waktu yang panjang. Lebih dari 90% individu dengan trait
thalassemia-β mempunyai peningkatan Hb-A2 yang berarti (3,4%-7%)
(Yaish, 2013).
Kira-kira 50% individu ini juga mempunyai sedikit kenaikan
HbF, sekitar 2-6%. Pada sekelompok kecil kasus, yang benar-benar
khas, dijumpai Hb A2 normal dengan kadar HbF berkisar dari 5%
sampai 15%, yang mewakili thalassemia tipe δβ (Yaish, 2013).
c. Thalassemia-β Yang Terkait Dengan Variasi Struktural Rantai β
Presentasi klinisnya bervariasi dari seringan thalassemia media
hingga seberat thalassemia-β mayor. Ekspresi gen homozigot
thalassemia (β+) menghasilkan sindrom mirip anemia Cooley yang
tidak terlalu berat (thalassemia intermedia). Deformitas skelet dan
hepatosplenomegali timbul pada penderita ini, tetapi kadar Hb mereka
biasanya bertahan pada 6-8 gr/dL tanpa transfuse (Yaish, 2013).
Kebanyakan bentuk thalassemia-β heterozigot terkait dengan
anemia ringan. Kadar Hb khas sekitar 2-3 gr/dL lebih rendah dari nilai
normal menurut umur. Eritrosit adalah mikrositik hipokromik dengan
poikilositosis, ovalositosis, dan seringkali bintik-bintik basofil. Sel
target mungkin juga ditemukan tapi biasanya tidak mencolok dan tidak
spesifik untuk thalassemia. MCV rendah, kira-kira 65 fL, dan MCH
juga rendah (<26 pg). Penurunan ringan pada ketahanan hidup eritrosit
juga dapat diperlihatkan, tetapi tanda hemolisis biasanya tidak ada.
Kadar besi serum normal atau meningkat (Yaish, 2013).
d. Thalassemia-β° Homozigot (Anemia Cooley, Thalassemia Mayor)
Ditandai dengan anemia hemolitik kronis yang progresif
selama 6 bulan kedua kehidupan. Transfusi darah yang reguler
diperlukan pada penderita ini untuk mencegah kelemahan yang amat
sangat dan gagal jantung yang disebabkan oleh anemia. Tanpa
transfusi, 80% penderita meninggal pada 5 tahun pertama kehidupan.
Pada kasus yang tidak diterapi atau pada penderita yang jarang
menerima transfusi pada waktu anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan
eritropoetik disumsum tulang maupun di luar sumsum tulang. Tulang-
tulang menjadi tipis dan fraktur patologis mungkin terjadi. Ekspansi
masif sumsum tulang di wajah dan tengkorak menghasilkan bentuk
wajah yang khas.

Gambar 4. Deformitas tulang pada thalassemia beta mayor (Facies


Cooley)
Pucat, hemosiderosis, dan ikterus sama-sama memberi kesan
coklat kekuningan. Limpa dan hati membesar karena hematopoesis
ekstrameduler dan hemosiderosis. Pada penderita yang lebih tua, limpa
mungkin sedemikian besarnya sehingga menimbulkan
ketidaknyamanan mekanis dan hipersplenisme sekunder. Pertumbuhan
terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas terlambat atau tidak
terjadi karena kelainan endokrin sekunder. Diabetes mellitus yang
disebabkan oleh siderosis pankreas mungkin terjadi. Komplikasi
jantung, termasuk aritmia dan gagal jantung kongestif kronis yang
disebabkan oleh siderosis miokardium sering merupakan kejadian
terminal.
Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia-β°
homozigot yang tidak ditransfusi adalah ekstrem. Disamping
hipokromia dan mikrositosis berat, banyak ditemukan poikilosit yang
terfragmentasi aneh (sel bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit
yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi
intraeritrositik yang merupakan presipitasi kelebihan rantai α, juga
terlihat pasca splenektomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi < 5
gr/dL kecuali mendapat transfusi. Kadar serum besi tinggi dengan
saturasi kapasitas pengikat besi (iron binding capacity). Gambaran
biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar HbF yang sangat tinggi
dalam eritrosit.
D. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) : diberikan setelah
kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi
transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.
Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan
melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama
5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.
b. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi.
c. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
d. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah
2. Bedah
a. Splenektomi, dengan indikasi :
ii. limpa yang terlalu besar, sehingga
membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan
intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur
iii. hipersplenisme ditandai dengan
peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi
eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.
b. Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi
penderita thalasemia dengan lebih dari seribu penderita thalasemia
mayor berhasil tersembuhkan dengan tanpa ditemukannya akumulasi
besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada
anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-
spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk
melakukan transplantasi ini.
3. Suportif
a. Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl.
Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang
adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat
mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB
untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
b. Diet
Pasien dianjurkan menjalani diet normal, dengan suplemen
sebagai berikut : asam folat, asam askorbat (vitamin C) dosis rendah,
dan alfa-tokoferol (vitamin E). Sebaiknya zat besi tidak diberikan,
dan makanan yang kaya akan zat besi juga dihindari. Kopi dan teh
diketahui dapat membantu mengurangi penyerapan zat besi di usus.
Pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung untuk mencari
tempat asal perdarahan yaitu:
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam berbagai posisi terutama
pada daerah 1/3 distal esophagus, kardia, dan fundus lambung
untuk mencari adanya varises.
b. Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan ini menjadi dangat penting untuk menentukan dengan
tepat letak asal atau sumber perdarahan.
E. Pencegahan
Pencegahan thalassemia terutama ditujukan untuk menurunkan
jumlah bayi lahir dengan thalassemia mayor. Ada 2 pendekatan target dalam
pencegahan thalassemia yaitu secara retrospektif dan prospektif. Pendekatan
retrospektif dilakukan dengan cara melakukan penelusuran terhadap anggota
keluarga dengan riwayat keluarga menderita thalassemia mayor. Sementara
pendekatan prospektif dilakukan dengan melakukan skrining untuk
mengidentifikasi karier thalassemia pada populasi tertentu. Secara garis
besar bentuk pencegahan thalassemia dapat berupa edukasi tentang penyakit
thalassemia pada masyarakat, skrining (carrier testing), konseling genetika
pranikah, dan diagnosis prenatal (HTA Indonesia, 2010).
 Edukasi
Edukasi masyarakat tentang penyakit thalassemia memegang
peranan yang sangat penting dalam program pencegahan. Masyarakat
harus diberi pengetahuan tentang penyakit yang bersifat genetik dan
diturunkan, terutama tentang thalassemia dengan frekuensi kariernya yang
cukup tinggi di masyarakat. Pendidikan genetika harus diajarkan di
sekolah, demikian pula pengetahuan tentang gejala awal thalassemia.
Media massa harus dapat berperan lebih aktif dalam menyebarluaskan
informasi tentang thalassemia, meliputi gejala awal, cara penyakit
diturunkan dan cara pencegahannya.
 Skrining Karier
Skrining massal dan konseling genetika telah berhasil di Italia,
Yunani dan tempat yang memiliki fekuensi gen thalassemia tinggi.
Skrining pada populasi (skrining prospektif) dikombinasikan dengan
diagnostik pranatal telah menurunkan insidens thalassemia secara
dramatis.
Skrining thalassemia ditujukan untuk menjaring individu karier
thalassemia pada suatu populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki
anak. Skrining ini bertujuan untuk mengidentifikasi individu dan pasangan
karier, dan menginformasikan kemungkinan mendapat anak dengan
thalassemia dan pilihan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya.
Target utama skrining adalah penemuan β- dan α o thalassemia, serta Hb S,
C, D, E.
Skrining dapat dilakukan di sekolah, klinik dokter keluarga, klinik
keluarga berencana, klinik antenatal, saat pranikah, atau pada saat bayi
baru lahir. Pada daerah dengan risiko tinggi dapat dilakukan program
skrining khusus pranikah atau sebelum memiliki anak.
Pendekatan genetik klasik dalam mendeteksi karier berdasarkan
penelusuran silsilah keluarga dianggap kurang efektif dibanding dengan
skrining populasi. Bila ada individu yang teridentifikasi sebagai karier,
maka skrining pada anggota keluarga yang lain dapat dilakukan. Skrining
silsilah genetik khususnya efektif pada daerah yang sering terjadi
perkawinan antar kerabat dekat. Algoritma skrining identifikasi karier
rekomendasi the Thalassemia International Federation (2003) mengikuti
alur pada gambar sebagai berikut :

Gambar 5. Algoritma skrining thalassemia


Metode pemeriksaan thalassemia yang definitif dan akurat meliputi
pemeriksaan kualitatif HbA2, HbF, rasio sintesis rantai globin dan analisis
DNA untuk mengetahui mutasi spesifik. Namun, semua pemeriksaan ini
mahal. Pasien thalassemia selalu mengalami anemia hipokrom (MCH < 26
pg) dan mikrositik (MCV < 75 fl), karenanya kedua kelainan ini tepat
digunakan untuk pemeriksaan awal karier thalassemia. Kemungkinan
anemia mikrositik akibat defisiensi besi harus disingkirkan melalui
pemeriksaan porfirin bebas eritrosit, feritin serum atau kadar besi serum,
dengan total iron-binding capacity.
 Konseling genetika
Informasi dan konseling genetika harus tersedia ditempat skrining
karier dilakukan. Tenaga kesehatan tidak boleh memaksa orang untuk
menjalani skrining dan harus mampu menginformasikan pada peserta
skirining bila mereka teridentifikasi karier dan implikasinya. Prinsip dasar
dalam konseling adalah bahwa masing-masing individu atau pasangan
memiliki hak otonomi untuk menentukan pilihan, hak untuk mendapat
informasi akurat secara utuh, dan kerahasiaan mereka terjamin penuh. Hal
yang harus diinformasikan berhubungan dengan kelainan genetik secara
detil, prosedur obstetri yang mungkin dijalani dan kemungkinan kesalahan
diagnosis pranatal. Informasi tertulis harus tersedia, dan catatan medis
untuk pilihan konseling harus tersimpan. Pemberian informasi pada
pasangan ini sangat penting karena memiliki implikasi moral dan
psikologi ketika pasangan karier dihadapkan pada pilihan setelah
dilakukan diagnosis pranatal. Pilihan yang tersedia tidak mudah, dan
mungkin tiap pasangan memiliki pilihan yang berbeda-beda. Tanggung
jawab utama seorang konselor adalah memberikan informasi yang akurat
dan komprehensif yang memungkinkan pasangan karier menentukan
pilihan yang paling mungkin mereka jalani sesuai kondisi masing-masing.
 Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal meliputi skrining karier thalassemia saat
kunjungan pranatal pada wanita hamil, yang dilanjutkan dengan skrining
karier pada suaminya bila wanita hamil tersebut teridentifikasi karier. Bila
keduanya adalah karier, maka ditawarkan diagnosis pranatal pada janin
serta pengakhiran kehamilan bila ada risiko gen thalassemia homozigot.
Saat ini, program ini hanya ditujukan pada thalassemia β+ dan βO yang
tergantung transfusi dan sindroma Hb Bart’s hydrops.
Diagnosis pranatal dapat dilakukan antara usia 8-18 minggu
kehamilan. Metode yang digunakan adalah identifkasi gen abnormal pada
analisis DNA janin. Pengambilan sampel janin dilakukan melalui
amniosentesis atau biopsi vili korialis (VCS/ villi chorealis sampling).
Biopsi vili korialis lebih disukai, karena bila dilakukan oleh tenaga
ahli, pengambilan sampel dapat dilakukan pada usia kehamilan yang lebih
dini,3 yaitu pada usia gestasi 9 minggu. Namun WHO menganjurkan
biopsi vili korialis pada usia gestasi 10- 12 minggu, karena pada usia
kurang dari 10 minggu ditemukan risiko malformasi janin. Seluruh
prosedur pengambilan sampel janin harus dilakukan oleh ahli fetomaternal
dengan panduan USG kualitas tinggi. Risiko terjadinya abortus pada
biopsi villi korialis sekitar 1-2% bila dilakukan oleh tenaga ahli.
Sedangkan tindakan amniosentesis, yaitu mengambil cairan amnion,
umumnya efektif dilakukan pada usia kehamilan > 14 minggu. Hal ini
dikarenakan untuk menjaring sel-sel janin yang baru lepas dalam jumlah
cukup ke dalam cairan amnion. Teknik ini relatif lebih mudah, namun
mempunyai kelemahan pada usia kehamilan yang lebih besar.
Teknik lain yang juga sudah dikembangkan adalah isolasi darah
janin (fetal nucleated red blood cell) sebagai sumber DNA janin dari darah
perifer ibu.3 DNA janin dianalisis dengan metode polymerase chain
reaction (PCR). Untuk mutasi thalassemia, analisis dilakukan dengan
Southern blot analysis, pemetaan gen (gene mapping), dan restriction
fragmen length polymorphism (RFLP) analysis. Seiring dengan
munculnya trauma akibat terminasi kehamilan pada ibu hamil dengan
janin yang dicurigai mengidap thalassemia mayor, saat ini sedang
dikembangkan diagnosis pranatal untuk thalassemia β sebelum terjadinya
implantasi janin dengan polar body analysis.
Metode pengakhiran kehamilan yang digunakan tergantung dari
usia gestasi. Pada umumnya dibedakan menjadi 2 metode: operatif dan
medisinalis. Dengan standar prosedur yang sesuai, kedua metode ini, baik
operatif maupun medisinalis, mempunyai efektivitas yang baik dalam
pengakhiran kehamilan. Namun demikian beberapa praktisi kebidanan
seringkali mendasarkan pilihan metode pada usia kehamilan. Pada usia
gestasi kurang dari 13 minggu, metode standar pengakhiran kehamilan
adalah ―suction method ―. Setelah 14 minggu, aborsi dilakukan dengan
induksi prostaglandin. Metode aborsi lainnya yang bisa dilakukan adalah
kombinasi antara medisinalis dan cara operatif.
E. KOMPLIKASI
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi
darah yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam
darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh seperti
hepar, limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi
alat tersebut (hemokromatosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma
ringan. Kadang kadang thalasemia disertai tanda hiperspleenisme seperti
leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan
gagal jantung. Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah
transfusi telah diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis
mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes melitus dan jantung. Pigmentasi kulit
meningkat apabila ada hemosiderosis, karena peningkatan deposisi melanin
(Hassan, 2002).
Dampak Kelebihan Beban Besi Akibat Transfusi
Besi merupakan logam yang penting untuk sintesis hemoglobin, reaksi
oksidasi reduksi dan proliferasi sel, sedangkan kelebihan besi akan menyebabkan
disfungsi organ lewat produksi spesies oksigen reaktif. Jumlah kadar besi di
dalam tubuh berkisar antara 3-4 g, dua pertiga berada di dalam sel darah merah
dan didaur ulang dengan penghancuran eritrosit; sisanya disimpan dalam bentuk
ferritin/hemosiderin, sementara hanya 1-2 mg besi yang diserap lewat traktus
gastrointestinal dan beredar di dalam darah. Metabolisme besi tubuh merupakan
suatu sistem setengah tertutup, dan secara kritikal diregulasi oleh beberapa faktor
termasuk hepcidin yang baru saja ditemukan. Dalam peredaran darah, besi
biasanya terikat pada transferrin dan kebanyakan besi terikat transferrin digunakan
oleh sumsum tulang untuk eritropoiesis. Oleh karena tidak adanya mekanisme
aktif di dalam tubuh untuk mengekskresikan besi, suatu akumulasi progresif besi
tubuh akan mudah terjadi sebagai akibat dari transfusi berkepanjangan pada
pasien dengan thalassemia. Setiap unit eritrosit yang ditransfusi mengandung 200-
250 mg besi sebagai bagian dari pigmen heme (Kohgo, 2008).
Pada saat eritrosit dipecah oleh sistem makrofag, besi dilepaskan dari
heme dan disimpan di dalam tubuh. Oleh karena pengeluaran besi harian oleh
tubuh dalam keringat dan pelepasan sel epitel hanya berkisar 1mg, maka
pemberian satu unit PRC berhubungan dengan sekitar 200 hari siklus besi harian
tubuh. Oleh karena kelebihan besi tidak dapat dieliminasi dari tubuh, maka
transfusi kronik akan menyebabkan keseimbangan besi tubuh sangat jauh dari
ekulibrium. Toksisitas besi dalam dosis tinggi disebabkan oleh karena
kemampuannya bereaksi dengan molekul oksigen, memindahkan elektron ke
dalamnya dan menghasilkan spesies oksigen antara, yang kemudian dengan
adanya besi akan menyebabkan terbentuknya radikal-radikal yang lebih reaktif
lagi. Radikal reaktif ini akan menyerang lipid, protein dan DNA, menyebabkan
terjadinya kerusakan sel yang pada akhirnya akan timbul sebagai disfungsi organ
(Jabar, 2007).
Hati merupakan organ terpenting untuk penyimpanan besi dengan
kapasitas terbesar untuk mensekuestrasi kelebihan besi. Perubahan periodik
disfungsi organ telah dipelajari pada pasien dengan thalassemia beta homozigot.
Biasanya dalam waktu 2 tahun transfusi, abnormalitas fungsi hati seperti
peningkatan enzim transaminase tidak terlalu nyata dan biasanya berada dalam
batas normal atau hanya sedikit meningkat. Selama periode ini, pemeriksaan
biopsi hati akan menunjukkan fibrosis ringan dengan inflamasi ringan dan
deposisi besi. Secara klinis, hati menjadi besar dan dapat dipalpasi dan
pemeriksaan fungsi hati lainnya dalam rentang normal atau sedikit meningkat.
Oleh karenanya penting untuk pasien-pasien tergantung transfusi dinilai secara
menyeluruh untuk memastikan adanya kelainan hati fibrotik atau sirosis dengan
pemeriksaan CT-Scan, MRI dan analisis biokimia termasuk pemeriksaan
transaminase serum (Kohgo, 2007).
Penyebab paling penting dari transfusi jangka panjang adalah kematian
mendadak oleh karena gagal jantung. Dilaporkan kurang lebih 70% kematian pada
pasien thalassemia beta disebabkan oleh sebab kardiogenik. Tanda-tanda disfungsi
kardiak termasuk hipertrofi jantung, aritmia dan endokarditis yang pada akhirnya
akan menyebabkan gagal jantung. Gangguan ventrikel kiri sangat menonjol dan
digambarkan oleh penurunan fraksi ejeksi ventrikel lewat pemeriksaan
echocardiogram. Oleh karena penurunan fraksi ejeksi ventrikel ini timbul sebelum
tanda-tanda klinis gagal jantung dan juga sebelum pembesaran bayangan jantung
pada rontgen dada, echocardiogram merupakan pemeriksaan paling berguna untuk
pemantauan kerusakan miokardial oleh kelebihan beban besi. Echocardiogram
yang disarankan untuk deteksi kegagalan jantung yang disebabkan oleh deposisi
besi di miokardial adalah dengan Doppler jaringan. Pemindaian dilakukan lewat
jendela akustik empat-bilik apikal. Laju miokardial kemudian diperiksa secara
terus menerus dari basal ke apeks di dalam dinding bebas ventrikel kiri dan kanan
juga di septum interventrikular. Penelitian oleh Vogel menemukan bahwa
sensitivitas echocardiogram Doppler untuk menemukan deposisi besi abnormal
sebesar 88% dengan spesifisitas 65% (menggunakan T2* MRI sebagai baku
emas) (Jabar, 2007).
MRI juga merupakan pemeriksaan yang berguna untuk menilai fungsi
ventrikular dan deposisi besi pada otot jantung dapat dideteksi dengan
peningkatan intensitas sinyal. Lebih jauh lagi, perhitungan T2 dan R2 dengan
MRI memungkinkan penilaian konsentrasi semi-kuantitatif pada otot jantung,
bahkan pada kadar yang relatif rendah. Penelitian oleh Vogel juga menemukan
nilai T2* yang normal berkisar antara 20 dan 83 ms, nilai T2* di bawah 20 ms
menandakan adanya deposisi besi miokard abnormal. Anderson dan kawan-kawan
juga menunjukkan bahwa MRI T2* dapat mendeteksi adanya deposisi besi
miokardial bahkan sebelum tanda dan gejala gagal jantung timbul serta sebelum
terapi kelasi secara umum dipertimbangkan (Kohgo, 2008).
Berdasarkan suatu studi kohort pasien dengan thalassemia beta, disfungsi
organ oleh karena kelebihan beban besi timbul pertama kali di hati pada saat kadar
ferritin melebihi 1.000 ng/dL dan keterlibatan organ lainnya termasuk jantung
mengikuti seiring dengan peningkatan kadar besi lebih lanjut. Deposisi jantung
signifikan biasanya dapat diamati pada saat kadar ferritin serum lebih dari 1.800-
2.500 ng/dL. Secara klinis, untuk mendeteksi adanya disfungsi organ,
pemeriksaan kadar ferritin harus dilakukan setiap 1-3 bulan sekali. Pada saat
kadar ferritin serum lebih dari 1.500 ng/dL, maka pasien harus diperiksa untuk
tanda dan gejala gagal jantung, aritmia serta pemeriksaan echocardiogram
periodik dapat dipertimbangkan. Selain deposisi besi di jantung dan hati, sel beta
pankreas merupakan salah satu target penting untuk toksisitas besi, yang dapat
menyebabkan intoleransi glukosa dan diabetes mellitus. Faktor tambahan yang
menyebabkan intoleransi glukosa adalah gangguan utilisasi insulin oleh hati, yang
mengakselerasi kerusakan sel beta oleh karena hiperinsulinemia. Ditinjau dari
perspektif pemeriksaan serial gula darah, urin dan glikoalbumin berguna untuk
memantau terjadinya diabetes mellitus, sedangkan pemeriksaan glikohemoglobin
tidak berguna oleh karena dampak transfusi berulang. Endokrinopati oleh karena
transfusi jangka panjang dapat diamati termasuk gangguan pertumbuhan, pubertas
inkomplit dan disfungsi tiroid. Pada pasien dengan thalassemia dan anemia sel
sabit, perhatian khusus harus diberikan kepada tanda dan gejala awal seperti
gangguan pertumbuhan dan imaturitas seksual (Jabar, 2007).
F. PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari thalassemia.
Kondisi klinis penderita thalassemia sangat bervariasi dari ringan bahkan
asimtomatik hingga berat dan mengancam jiwa (Yaish, 2013).

3. ANEMIA SIDEROBLASTIK
A. Definisi
Anemia sideroblastik adalah anemia mikrositik-hipokromik yang
disebabkan oleh abnormalitas metabolisme heme. Penderita anemia ini pada
sumsum tulangnya ditemukan sideroblas cincin, yang merupakan sel darah merah
berinti (eritrosit imatur) dengan lingkaran perinuklear mengandung granula besi
(agregat besi dalam mitokondria). Eritrosit imatur ini gagal menjadi matur dan
banyak hancur dalam sumsum tulang sebelm mencapai sirkulasi (Caudill, et al.,
2008).
B. Etiologi
Penyebab anemia sideroblastik dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok,
yaitu congenital anemia sideroblastik dan anemia sideroblastik yang didapat.
Anemia ini melibatkan sintesis heme yang abnormal sehingga terjadi deposisi
granular besi di mitokondria yang membentuk cincin di sekitar inti eritrosit
imatur. Penyebab kongenital sering ditemukan anemia normositik atau mikrositik,
sedangkan yang didapat sering ditemukan normositik atau makrositik (Saini, et
al., 2012).
1. Kongenital anemia sideroblastik (primer)
a. X-linked sideroblastic anemia
X-linked sideroblastic anemia merupakan penyebab paling umum
congenital anemia sideroblastik yang melibatkan defek ALAS2 (langkah
awal sintesis heme) dan mutasi ABC7.
b. Autosomal recessive sideroblastic anemia
Autosomal recessive sideroblastic anemia melibatkan mutasi pada gen
SLC25A38. Fungsi protein ini terlibat dalam transportasi mitokondria
glisin. Glisin adalah substrat untuk ALAS2 dan diperlukan untuk sintesis
heme.
c. Pearson syndrome yaitu defek protein mitokondria
d. DIDMOAD syndrome
e. Defek Glutaredoxin 5
f. Defek gen SCL19A2 (thiamine transporter)
2. Anemia sideroblastik yang didapat
a. Myelodysplastic syndrome
b. Penggunaan alkohol berlebih,
c. Defisiensi piridoksin,
d. Keracunan timbal,
e. Penggunaan obat-obatan seperti isoniazid, chloramphenicol, cycloserine,
dan linezolid
C. Patofisiologi
Perubahan pada anemia sideroblastik pada dasarnya terjadi kegagalan
inkorporasi besi ke dalam senyawa hem pada mitokondria yang mengakibatkan
besi mengendap pada mitokondria sehingga jika yang dicat dengan cat besi akan
terlihat bintik-bintik yang mengelilingi inti yang disebut sebagai sideroblas cincin.
Hal yang menyebabkan kegagalan pemnbentukan hemoglobin yang disertai
eritropoesis inefektif dan menimbulkan anemia hipokromik mikrositik.
Gambar 1. Ring Sideroblas (Mir, 2013)

Gambar 2. Sintesis Heme (Mir, 2013)


1. Kongenital anemia sideroblastik
X-linked sideroblastic anemia dibagi menjadi pyridoxine-responsive (>
50%) dan subtipe pyridoxine-resistant. Pada subtipe pyridoxine-responsive
menunjukkan bentuk defek δ-amino levulinic acid synthase (ALAS-2)
sehingga mengganggu pembentukan levulinic δ-amino dan pada akhirnya
tidak terbentuk protoporphiryn, tetapi di sisi lain terdapat besi yang masuk ke
mitokondria, dengan demikian terbentuk ring sideroblas dan mengakibatkan
anemia. Pada subtipe pyridoxine-resistant terjadi mutasi mutasi gen ABC7.
ABC-7 adalah adenosin trifosfat (ATP)- dependent transporter protein yang
terlibat dalam transfer sitosol kompleks besi-sulfur.
Pearson (sumsum tulang-pankreas) sindrom,] adalah gangguan
multisistem remaja disebabkan oleh penghapusan dalam DNA mitokondria
(mtDNA) dan menyebabkan anemia sideroblastik, neutropenia, sel vakuolisasi
terutama di prekursor sumsum tulang, eksokrin pankreas insufisiensi,
malabsorpsi, dan kegagalan pertumbuhan.
Sindrom DIDMOAD (diabetes insipidus, diabetes mellitus, atrofi optik,
dan tuli) dikaitkan dengan anemia sideroblastik yang responsif terhadap
vitamin B-1 (tiamin). Etiologi sindrom DIDMOAD adalah defek metabolisme
tiamin.
2. Anemia sideroblastik yang didapat
a. Myelodysplastic syndrome
b. Defisiensi nutrisi (tembaga dan vitamin B-12)
c. Penggunaan alkohol berlebih
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kekurangan besi
atau folat, hemolisis, toksisitas sumsum tulang langsung ke erythroid
prekursor, penghambatan pyridoxine, dan penghambatan enzim
ferrochelatase selama pembentukan heme.
d. Keracunan timbal,
e. Penggunaan obat-obatan
Gangguan inkorporasi besi ke dalam protoporfirin
// (pembentukan heme)

/Besi menumpuk gangguan pembentukan hemoglobin


/dalam mitokondria

//ring sideroblastik hipokromik mikrositer

eritropeisis inefektif
D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat
istirahat, fatigue, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat,
jantung berdebar, dan roaring in the ears), kelelahan, dan pusing. Pada anemia
yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang
mengancam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia dan/atau infark miokard).
Penyakit jantung, kerusakan hati, dan gagal ginjal dapat terjadi akibat
penumpukan zat besi dalam organ-organ ini (Papadakis, et al., 2005).
2. Pemeriksaan fisik
Pada anemia sideroblastik kulit terlihat pucat, anemia sedang sampai berat
terdapat anisocytosis dan poikilocytosis. Pada pemeriksaan abdomen dapat
ditemukan pembesaran lien dan hepar (Papadakis, et al., 2005).
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan Lab didapatkan (Papadakis, et al., 2005):
a. Peningkatan serum iron
b. Peningkatan kadar ferritin
c. Total iron-binding capacity normal
d. Saturasi transferin tinggi
e. Hematokrit sekitar 20-30%
f. Volume corpuscular rata-rata atau MCV biasanya normal atau rendah
untuk penyebab kongenital anemia sideroblastik
g. Pada keracunan timbal, melihat coarse basophilic stippling pada sel darah
merah pada apus darah tepi
h. Tes khusus: Prussian blue stain pada sel darah merah di sumsum tulang
yang mennjukan ring sideroblas. Pewarnaan biru Prusia melibatkan reaksi
non-enzimatik ferrous iron dengan ferrocyanide membentuk ferric-
ferrocyanide, yang berwarna biru.
E. Tatalaksana
Terapi yang digunakan untuk penderita anemia sideroblastik berupa
(Papadakis, et al., 2005):
Terapi untuk anemia sideroblastik berupa terapi simptomatik yaitu dengan
transfusi darah. Pemberian vitamin B6 dapat dicoba karena pada sebagian kecil
penderita bersifat responsif terhadap piridoksin. Untuk anak-anak diberikan dalam
dosis 200-500 mg/24 jam. Vitamin B6 merupakan kofaktor enzim ALA-sintase.

4. ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS


A. Definisi
Anemia penyakit kronik dikenal juga dengan nama anemia gangguan
kronik, anemia sekunder, atau anemia sideropenik dengan siderosis
retikuloendotelial. Anemia penyakit kronis berhubungan dengan proses
infeksi/inflamasi kronis, kerusakan jaringan, atau keganasan yang berlangsung
lebih dari 1 atau 2 bulan. Anemia penyakit kronis cadangan zat besi di dalam
tulang tidak dapat digunakan oleh sel darah merah yang baru, maka anemia ini
sering disebut anemia penggunaan ulang zat besi (Harmening, 2009).
B. Etiologi
Penyakit-penyakit yang menyebabkan anemia penyakit kronik meliputi
(Zarychanski, et al., 2008):
1. Infeksi kronik
Endokarditis bakterialis subakut , Osteomielitis, dan infeksi paru-paru
seperti abses, emfisema, dan TB.
2. Inflamasi kronik
a. Artritis rematoid
b. Demam rematik
c. SLE
3. Keganasan
a. Limfoma
b. Multipel mieloma
c. Leukimia
4. Gagal ginjal
C. Patofisiologi
Faktor penyebab
(infeksi ginjal, paru, inflamasi kronis)
1. Usia eritrosit memendek
2. Respon sumsum tulang terhadap anemia menurun
3. Perpindahan besi dari Sel RES ke Sumsum tulang
menurun
4. Peran sitokin terhadap RES dan SSTL

Beberapa mekanisme anemia akibat penyakit kronik adalah sebagai berikut


(Zarychanski, et al., 2008).
1. Peningkatan penghancuran eritrosit diduga karena:
a. Peningkatan aktivitas fagositosis makrofag
b. Demam yang merusak kestabilan membran eritrosit
c. Produksi hemolisin oleh tumor
d. Toksin bakteri yang menimbulkan hemolisis
e. Kerusakan vaskuler menyebabkan leakage dan penghancuran
eritrosit pada jaringan yang rusak.
2. Penyebab respon sumsum tulang terhadap anemia menurun adalah:
a. Hb menurun menyebabkan kadar eritropoetin berkurang pada
anemia defisiensi besi
b. Respon eritropoetin menurun
c. Prekursor eritroid tidak sensitif
d. Sitokin inflamasi : Il-1α, Il-1ß, TNFα, TGF-ßà menghambat
produksi eritropoetin.
3. Kegagalan perpindahan besi dari RES ke SSTL (reticuloendothelial Iron
Bloc)
a. Besi di RES meningkat
b. Besi di SSTL dan darah tepi menurun
Pada keadaan normal apotransferin mengikat makrofag dalam RES
sehingga besi dari eritrosit hancur. Besi akan diikat apotransferin
menghasilkan transferin. Transferin akan ke SSTL untuk sintesis Hb. Pada
infeksi kronik, IL-1 meningkat, merangsang apolaktoferin yang
berkompetisi dengan apotransferin pada makrofag. Apolaktoferin
berikatan dengan besi dalam RES menghasilkan laktoferin. Laktoferin ini
tidak dapat membawa besi ke SSTL
4. Pengaruh Sitokin terhadap RES dan SSTl
a. TNF-α : diperantarai INF-ß (mediator), menekan sistesis
eritropoetinàprekursor eritrosit menurun sehingga Hb menurun
b. IL-1 : merangsang IFN-γà menekan eritropoesis
c. IL-6 dan TGF-ß menekan eritropoesis
D. Penegekan diagnosis
1. Anamnesis
Gejalanya sama seperti anemia pada umumnya yaitu lelah, lemah, jantung
berdebar, pusing, sesak nafas, mual, dan muntah. Gejala tersebut timbul ringan
sampai sedang kadang asimtomatik (Harmening, 2009).
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan muka pucat, konjungtiva pucat,
takikardi, cepat lelah, lemah, takikardi, kuku pucat, capillary refill time
meningkat. Namun, pada pasien–pasien dengan gangguan paru yang berat,
demam, atau fisik dalam keadaan lemah akan menimbulkan berkurangnya
kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah sedang, yang mana ini nantinya
akan mencetuskan gejala (Harmening, 2009).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia ringan sampi sedang.
Pada pemeriksaan status besi didapatkan penurunan besi serum, tranferin
saturasi transferin, dan total protein pengikat besi, sedangkan kadar feritin
dapat normal atau meningkat. Kadar reseptor transferin di anemia penyakit
kronis adalah normal (Zarychanski, et al., 2008).
Hemoglobin Biasanya 7-11 g/dl
MCV dan MCH Normal atau rendah
Besi Serum Rendah
KIBT Normal atau rendah
Feritin >25 atau sering >50
Besi sumsum tulang Normal atau tinggi
Sideroblas Kurang
Respon besi Tidak ada
Reseptor Trasnferin Meningkat

Tabel 2.1 Hasil Pemeriksaan Lab Anemia Akibat Penyakit Kronik


b. Pemeriksaan darah tepi
Gambaran morfologi darah tepi: biasanya normositik-
normokromik atau mikrositik ringan. Gambaran mikrositik ringan
dapat dijumpai pada sepertiga pasien anemia penyakit kronik
(Harmening, 2009).
E. Tatalaksana
1. Rekombinan eritropoetin (Epo)
Pada pasien–pasien anemia penyakit kronik yang penyakit dasarnya anemia
karena kanker, gagal ginjal, HIV dan artritis rematoid. Dosisnya dapat dimulai
dari 50–100 Unit/Kg, 3x seminggu, pemberiannya secara intra venous (IV)
atau subcutan (SC). Bila dalam 2–3 minggu konsentrasi hemoglobin
meningkat dan/atau feritin serum menurun, maka kita boleh menduga bahwa
eritroit respons. Bila dengan dosis rendah responsnya belum adekuat, maka
dosisnya dapat ditingkatkan sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu (Zager, 2006).
2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC)
3. Prednisolon
Diberikan pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit dasarnya
artritis temporal, reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali
normal demikian juga dengan gejala–gejala polimialgia akan segera hilang
dengan cepat (Zager, 2006).
4. Kobalt klorida
Juga bermanfaat untuk memperbaiki anemia pada penyakit kronik dengan cara
kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi oleh karena efek
toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan (Zager, 2006).
5. Suplementasi zat besi
Tidak diindikasikan kecuali untuk mengatasi anemia artritis reumatid (Zager,
2006).

BAB 3
ANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang
dilakukan pada An. RAW yang datang bersama orang tuanya ke Poliklinik RSUD
AWS Samarinda pada 15 Juli 2019 dengan keluhan utama gusi berdarah sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit. Diagnosis masuk dan diagnosis kerja pasien ini
adalah Anemia Hipokrom Mikrositik suspek Thalasemia . Diagnosa ini ditegakkan
berdasarkan hasil dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
TEORI KASUS
ANAMNESIS
Anemia mikrositik hipokromik adalah RPS : Pasien datang ke
suatu kondisi dimana ukuran eritrosit yang poliklinik RSUD AWS dengan
lebih kecil dari normal dan mengandung keluhan gusi berdarah. Keluhan
konsentrasi hemoglobin yang juga kurang dari tersebut dirasakan sejak 3 hari
normal (indeks eritrosit: MCV < 73fl, MCH SMRS. Darah yang keluar dari
<23 pg, MCHC 26-35%). Penyebab anemia gusi tidak banyak hanya seperti
mikrositik hipokromik antara lain: anemia flek. Tidak ada kegiatan maupun
defisiensi besi, thalassemia major, anemia waktu tertentu yang mendahului
akibat penyakit kronik dan anemia timbulnya keluhan. Selain itu,
sideroblastik. pasien juga mengeluhkan adanya
ADB : Gejala umum anemia disebut juga badan lemas dan wajah pucat
sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia yang timbul bersamaan dengan
organ target serta akibat mekanisme keluhan utama. Pasien juga
kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar mengatakan terdapat BAB hitam
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap sejak 5 hari SMRS. Tidak ada
kasus anemia setelah penurunan hemoglobin darah berwarna merah yang
sampai kadar tertentu(Hb <7 g/dl). Sindrom keluar bersamaan sama BAB
anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, hitam, ampas (+), BAB cair (-),
telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang- mual (-), muntah (-), nyeri ulu
kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas, dan hati (-), dan demam (-). Pasien
dispepsia (Bakta, 2009). juga merasakan nafsu makan
Thalasemia : Gejala klinis pada thalasemia menurun sejak 5 hari SMRS.
hampir semua sama, yang membedakan adalah Tidak ada keluhan BAK dan
tingkat keparahannya, dari ringan BAB.
(asimptomatik) sampai parahnya gejala.. Gejala RPD : Pasien pernah mengalami
klinis biasa berupa tanda-tanda anemia seperti keluhan yang sama sejak usia 2
pucat, lemah, letih, lesu, tidak aktif beraktifitas tahun tetapi pasien tidak
atau jarang bermain dengan teman seusianya, merasakan lagi keluhan tersebut
sesak nafas kurang konsentrasi, sering pula selama 2 tahun terakhir ini.
disertai dengan kesulitan makan, gagal tumbuh, Dahulu pasien MRS dengan
infeksi berulang dan perubahan tulang. keluhan yang sama ± 2 kali
Anemia Sideroblastik : Gejala utama adalah dalam setahun dan selalu
sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat menerima transfusi darah tiap
istirahat, fatigue, gejala dan tanda keadaan MRS. Pasien tidak pernah
hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung menjalani operasi sebelumnya.
berdebar, dan roaring in the ears), kelelahan, Tidak ada alergi, tidak ada
dan pusing. Pada anemia yang lebih berat, keluarga dengan riwayat
dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi penyakit yang sama dan tidak
yang mengancam jiwa (gagal jantung, angina, ada menggunakan obat selama
aritmia dan/atau infark miokard). Penyakit keluhan berlangsung.
jantung, kerusakan hati, dan gagal ginjal dapat
terjadi akibat penumpukan zat besi dalam
organ-organ ini (Papadakis, et al., 2005).
Anemia Penyakit Kronis : Gejalanya sama
seperti anemia pada umumnya yaitu lelah,
lemah, jantung berdebar, pusing, sesak nafas,
mual, dan muntah. Gejala tersebut timbul
ringan sampai sedang kadang asimtomatik
(Harmening, 2009).
PEMERIKSAAN FISIK
Thalasemia : Pada pemeriksaan fisik  Keadaan Umum: Sakit sedang
didapatkan facies Cooley, conjungtiva anemis,  N : 92 x/i
bentuk tulang yang abnormal, pembesaran lien  RR : 22 x/i
dan atau hepar.  T: 36,1 oC
Anemia Sideroblastik : Pada anemia
 TD: 100/70 mmHg
sideroblastik kulit terlihat pucat, anemia sedang
 Konjungtiva anemis (+/+)
sampai berat terdapat anisocytosis dan
 Gusi Berdarah (+)
poikilocytosis. Pada pemeriksaan abdomen
dapat ditemukan pembesaran lien dan hepar  BB: 30 kg
Anemia penyakit kronis : Pada pemeriksaan  TB: 137 cm
fisik ditemukan muka pucat, konjungtiva pucat,  LILA: 19 cm
takikardi, cepat lelah, lemah, takikardi, kuku
pucat, capillary refill time meningkat. Namun,
pada pasien–pasien dengan gangguan paru
yang berat, demam, atau fisik dalam keadaan
lemah akan menimbulkan berkurangnya
kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah
sedang, yang mana ini nantinya akan
mencetuskan gejala

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Normal ADB Anemia Thalasemia Hasil DL :
penyakit
Leu : 7,41
kronik
MCV 80 – 90 Menurun Menuru Menurun Hb : 6,0
fl <70 fl n/N
MCH 27 – 31 Menurun Menuru Menurun Hct : 20,9
pg n/N PLT : 447
Besi 50 – 150 Menurun Menuru Normal
serum μg/dL <50 μg/dL n MCV : 56,1
TIBC 240 – Meningka Menuru Normal/
MCH : 16
360 t n Meningkat
μg/dL >360
MCHC : 28,6
μg/dL APTT : 34
Saturasi 30 – Menurun Menuru Meningkat
transferi 35% < 15% n/N >20%
PT : 13,3
n 10-20% INR : 0,99
Besi Positif Negatif Positif Positif kuat
sumsum
FL : warna coklat, konsistensi
tulang lembek, darah (-), lender (-),
FEP 15 – 18 Meningka Mening Normal
eritrosit 0-1, leukosit 1-2, darah
μg/dL t kat
>100 samar (-)
μg/dL HDT :
Feritin 20 – 250 Menurun Normal Meningkat
serum μg/dL <20 μg/dL >50 μg/dL Eritrosit : Mikrositik Hipokrom,
Elektrof Normal Normal Hb A2
anisopoikilositosis, ovalosit (+),
oesis Hb Meningkat
Pada Anemia Sideroblastik : sel pensil (+), fragmented (+),
a. Peningkatan serum iron tear drop sel (+), polikromasia
b. Peningkatan kadar ferritin (+), sferosit (+), normoblast (-)
c. Total iron-binding capacity normal Leukosit : Jumlah normal,
d. Saturasi transferin tinggi PMN>L, morfologi normal, sel
e. Hematokrit sekitar 20-30% muda (-)
f. Volume corpuscular rata-rata atau MCV Trombosit : Jumlah normal,
biasanya normal atau rendah untuk morfologi normal
penyebab kongenital anemia sideroblastik Kesan : Anemia Mikrositik
g. Pada keracunan timbal, melihat coarse Hipokrom suspek Anemia
basophilic stippling pada sel darah merah Hemolitik DD
pada apus darah tepi Hemoglobinophati, Def
h. Tes khusus: Prussian blue stain pada sel fe/anemia penyakit kronik
darah merah di sumsum tulang yang Retikulosit 2,0, Saturasi
mennjukan ring sideroblas. Pewarnaan biru Transferin 2, Serum Iron 11,
Prusia melibatkan reaksi non-enzimatik UIBC 491, TIBC 502
ferrous iron dengan ferrocyanide Hb eletroforesis :
membentuk ferric-ferrocyanide, yang Ferritin : 2,9
berwarna biru. HbA2 : 2,3
HbF <1
Fraksi lain -
DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis Anemia Hipokrom Berdasarkan klinis diatas pasien
Mikrositik berdasarkan Anamnesis, diagnosis Anemia Hipokrom
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang Mikrositik
berupa pemeriksaan darah, Hb elektroforesis.
PENATALAKSANAAN
ADB Penatalaksanaan di berikan di
- Preparat besi ruang Melati yaitu:
Preparat yang tersedia ferous sulfat, ferous
 PRC 300 cc selama 2
glukonat, ferous fumarat, dan ferous
hari
suksinat. Dosis besi elemental 4-6
 IVFD D51/2 NS
mg/kgBB/hari. Respons terapi dengan
500cc/24 jam
menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu
 Inj PCT 300mg IV (k/p)
bulan, yaitu kenaikan kadar Hb sebesar 2
gr/dl atau lebih. Bila respons ditemukan,
terapi dilanjutkan sampai 2-3 bulan.
Komposisi besi elemental:
d. Ferous fumarat: 33% merupakan besi
elemental
e. Ferous glukonas: 11,6% merupakan besi
elemental
f. Ferous sulfat: 20% merupakan besi
elemental
- Transfusi darah
Jarang diperlukan, hanya diberi pada
keadaan anemia yang sangat berat dengan
kadar Hb < 4 gr/dl. Komponen darah yang
diberi PRC
Thalasemia
Penderita trait thalasemia tidak
memerlukan terapi ataupun perawatan lanjut
setelah diagnosis awal dibuat. Terapi preparat
besi sebaiknya tidak diberikan kecuali memang
dipastikan terdapat defisiensi besi dan harus
segera dihentikan apabila nilai Hb yang
potensial pada penderita tersebut telah tercapai.
a. Transfusi Darah
Transfusi darah harus dimulai pada usia
dini ketika anak mulai mengalami gejala dan
setelah periode pengamatan awal untuk menilai
apakah anak dapat mempertahankan nilai Hb
dalam batas normal tanpa transfusi.
- Transfusi darah bertujuan untuk
mempertahankan nilai Hb tetap pada level
9-9.5 gr/dL sepanjang waktu.
- Darah yang akan ditransfusikan harus
rendah leukosit; 10-15 mL/kg PRC dengan
kecepatan 5 mL/kg/jam setiap 3-5 minggu
biasanya merupakan regimen yang adekuat
untuk mempertahankan nilai Hb yang
diinginkan.
- Pertimbangkan pemberikan asetaminofen
dan difenhidramin sebelum transfusi untuk
mencegah demam dan reaksi alergi.
a. Terapi Khelasi (Pengikat Besi)
- Apabila diberikan sebagai kombinasi
dengan transfusi, terapi khelasi dapat
menunda onset dari kelainan jantung dan,
pada beberapa pasien, bahkan dapat
mencegah kelainan jantung tersebut.
- Chelating agent yang biasa dipakai adalah
DFO yang merupakan kompleks
hidroksilamin dengan afinitas tinggi
terhadap besi. Rute pemberiannya sangat
penting untuk mencapai tujuan terapi, yaitu
untuk mencapai keseimbangan besi negatif
(lebih banyak diekskresi dibanding yang
diserap). Karena DFO tidak diserap di usus,
maka rute pemberiannya harus melalui
parenteral (intravena, intramuskular, atau
subkutan).
- Dosis total yang diberikan adalah 30-
40mg/kg/hari diinfuskan selama 8-12 jam
saat pasien tidur selama 5 hari/minggu.
b. Diet
Pasien dianjurkan menjalani diet
normal, dengan suplemen sebagai berikut:
o Vitamin C à 100-250 mg/hari selama
pemberian kelasi besi.
o Asam Folat à 2-5 mg/hari untuk
memenuhi kebutuhan yang meningkat.
o Vitamin E à 200-400 IU setiap hari.
Anemia Sideroblastik
Terapi untuk anemia sideroblastik berupa terapi
simptomatik yaitu dengan transfusi darah.
Pemberian vitamin B6 dapat dicoba karena
pada sebagian kecil penderita bersifat responsif
terhadap piridoksin. Untuk anak-anak diberikan
dalam dosis 200-500 mg/24 jam.
Pada pasien–pasien anemia penyakit kronik
yang penyakit dasarnya anemia karena
kanker, gagal ginjal, HIV dan artritis
rematoid. Dosisnya dapat dimulai dari 50–
100 Unit/Kg, 3x seminggu, pemberiannya
secara intra venous (IV) atau subcutan
(SC). Bila dalam 2–3 minggu konsentrasi
hemoglobin meningkat dan/atau feritin
serum menurun, maka kita boleh menduga
bahwa eritroit respons. Bila dengan dosis
rendah responsnya belum adekuat, maka
dosisnya dapat ditingkatkan sampai 150
Unit/Kg, 3x seminggu.
Transfusi darah berupa packed red cell (PRC)
Prednisolon
Diberikan pada pasien anemia penyakit
kronik dengan penyakit dasarnya artritis
temporal, reumatik dan polimialgia.
Hemoglobin akan segera kembali normal
demikian juga dengan gejala–gejala
polimialgia akan segera hilang dengan
cepat.
Kobalt klorida
Juga bermanfaat untuk memperbaiki
anemia pada penyakit kronik dengan cara
kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan
eritropoetin, tetapi oleh karena efek
toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk
diberikan.
Suplementasi zat besi
Tidak diindikasikan kecuali untuk mengatasi
anemia artritis reumatoid

BAB 4
KESIMPULAN

Pasien An. RAW, berjenis kelamin laki laki, dengan usia 12 tahun dengan
keluhan gusi berdarah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit dengan diagnosis
Anemia hipokrom mikrositik et causa Thalasemia. Selama perawatan, ditemukan
anak tersebut sesuai dengan teori dan menjalani penatalaksanaan sesuai teori.
Secara umum, mulai dari anamnesis, hasil pemeriksaan fisik dan penunjang,
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus ini sudah sesuai dengan
teori yag penulis dapatkan dari literatur yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman Richard E., Kliegman Robert, Arvin Ann M., et al. Kelainan
Hemoglobin: Sindrom Thalasemia. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 2.
Edisi ke-15. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal 1708-1712.
2. Yaish Hassan M. Thalasemia. April 30, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/958850-overview.
3. Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. Sel darah merah:
Eritropoisis. Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak. Cetakan ketiga. Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta : 2010. Hal 1-6, 16-23.
4. Permono, Bambang H., Sutaryo, Ugrasena, IDG. Hemoglobin Abnormal:
Thalasemia. Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak.. Cetakan ketiga. Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta : 2010. Hal 64-84.
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hematologi. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas
Kedokteran Universita Indonesia: Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
6. U.S Department of Health & Human Services. Thalasemias. Available at:
http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/Thalasemia/Thalasemia_Causes.
html.
7. Bleibel, SA. Thalasemia Alpha. August 26, 2009. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/206397-overview
8. Takeshita, K. Thalasemia Beta. September 27, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/206490-overview
9. Yaish Hassan M. Thalasemia: Differential diagnoses & Workup. April 30,
2010. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/958850-diagnosis
10. Hay WW, Levin MJ. Hematologic Disorders. Current Diagnosis and
Treatment in Pediatrics. 18th Edition. New York : Lange Medical Books/
McGraw Hill Publishing Division ; 2007. Hal 841-845.
11. Haut, A., Wintrobe MM. The hemoglobinopathies and thalasemias. Forfar and
Arneil’s Textbook of Paediatrics. Edisi 7. Chruchill Livingstone. 2010. Hal
1621-1632.
12. Edward, J., & Benz, Jr. (2008). Disorders of Hemoglobin. In A. S. Fauci, & E.
Braunwald, Harrison's Priciples of Internal Medicine. 17th Ed (pp. 635-642).
United States: The McGraw-Hill Companies.
13. Gatot, D., Idjridinata, P., Abdulsalam, M., Lubis, B., Soedjatmiko, Hendarto,
A., et al. (2011). Rekomendasi Suplemen Besi Untuk Anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
14. Pudjiadi, A. H., Hegar, B., Handryastuti, S., Idris, N. S., Gandaputra, E. P., &
Harmoniati, E. D. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
15. Raspati, H., Reniarti, L., & Susanah, S. (2012). Anemia Defisiensi Besi. In B.
Permono, Sutaryo, I. Ugrasena, E. Windiastuti, & M. Abdulsalam, Buku Ajar
Hematologi-Onkologi Anak (pp. 30-43). Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Anda mungkin juga menyukai