Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan masif merupakan keadaan hilangnya volume darah total dalam periode 24 jam
(Mollison et al, 1997), dimana volume darah orang dewasa normal sekitar 7% dari berat tubuh ideal
dan 89% pada anak-anak. Definisi alternatif yang dapat lebih membantu dalam situasi akut adalah
hilangnya volume darah sebesar 50% dalam waktu 3 jam atau rata-rata laju hilangnya darah sebesar
lebih atau sama dengan 150 ml/menit (Fakhry & Sheldon, 1994). Kehilangan darah adalah penyebab
utama terjadinya syok pada pasien trauma. Syok adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan. Pada pasien syok penyebab yang paling sering disebabkan oleh hipovolemia.
Syok hemoragik disebabkan oleh karena kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Kebanyakan
kasus perdarahan masif diakibatkan oleh kasus-kasus trauma, diantaranya trauma thoraks, abdomen,
dan pelvis serta akibat proses di paru yang mengakibatkan hemoptisis masif seperti TB paru,
bronkiektasis, abses paru atau neoplasma yang secara kasar dapat diduga dari sifat perdarahan.
Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma
tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Ada hal yang perlu diperhatikan seperti:
a.

Terdapatnya darah dalam jumlah besar pada rongga perut dan pleura.

b.

Perdarahan pada tulang paha (femur shaft) dapat mencapai dua liter.

c.

Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter.2

Kehilangan darah biasanya sukar untuk ditentukan dan satu hal yang harus diperhatikan bahwa kadar
hemoglobin dan hematokrit tidak turun dalam beberapa jam setelah perdarahan akut.1
Akibat dari perdarahan masif didapatkan status pasien dengan keadaan klinis syok seperti
hipotensi, takikardi, takipneu, hipotermi, pucat, ekstrimitas dingin, melambatnya pengisian kapiler,
dan penurunan produksi urine.4 Prinsip pengelolaan dasar yang harus dipegang ialah bagaimana

menghentikan pendarahan dan mengganti kehilangan volume. Tujuan akhir dalam penatalaksanaan
perdarahan masif adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan dengan :
1.

Menjamin airway yang paten dengan secukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi.

2.

Menghentikan sumber perdarahan dengan tourniket balut tekan atau penjahitan

3.

Meletakkan penderita dalam posisi syok:

kepala setinggi atau sedikit lebih tinggi dari pada dada

tubuh horisontal atau dada sedikit lebih rendah

kedua tungkai lurus, diangkat 20 derajat

4. Memperhatikan keadaan umum dan tanda-tanda vital; awasi jalan napas. Bila perlu lakukan
resusitasi
5. Pemberian cairan:

cairan diberikan sebanyak mungkin dalam waktu singkat

sebelum darah tersedia dapat diberikan cairan:


1.

plasma : plasmanate

2.

plasma ekspander: plasmafusin (maksimal 20ml/kgbb), Dextran 70


(maksimum15ml/kgbb)

cairan lain: Ringer laktat, NaCl 0,9%, harus dikombinasi dengan cairan lain karena cepat
keluar ke ruang ekstravaskuler
6. Tranfusi darah5
Untuk mengatasi masalah perdarahan masif, maka diperlukan kerjasama dari berbagai pihak
dan ketepatan dalam bertindak sehingga pasien dapat ditangani dengan baik. Oleh karena itu, dalam

referat ini akan dibahas tentang kriteria perdarahan masif dan gejala-gejala klinisnya serta pedoman
tata laksana yang dapat diaplikasikan secara praktis untuk mengatasi pasien dengan perdarahan
masif.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Perdarahan masif merupakan keadaan hilangnya volume darah total dalam periode 24
jam (Mollison et al, 1997), dimana volume darah orang dewasa normal sekitar 7% dari berat
tubuh ideal dan 89% pada anak-anak. Definisi alternatif yang dapat lebih membantu dalam
situasi akut adalah hilangnya volume darah sebesar 50% dalam waktu 3 jam atau rata-rata
laju hilangnya darah sebesar lebih atau sama dengan 150 ml/menit (Fakhry & Sheldon,
1994). Keadaan perdarahan masif akan menyebabkan terjadinya syok hemoragik yang dapat
mengancam kehidupan. Pengenalan awal terhadap tanda-tanda syok dan intervensi terhadap
hal ini sangat penting untuk pasien. Prioritas utama yang harus segera dilakukan adalah
mengontrol perdarahan (dengan tindakan bedah maupun intervensi radiologi) dan menjaga
perfusi organ vital dengan cairan resusitasi dan transfusi darah melalui kateter intravena
dengan lubang besar.
II. Gejala Klinis Syok Hemoragik

Kehilangan darah adalah penyebab utama terjadinya syok pada pasien trauma. Syok
adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien syok
penyebab yang paling sering disebabkan oleh hipovolemia. Syok hemoragik disebabkan oleh
karena kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Kebanyakan kasus perdarahan masif
diakibatkan oleh kasus-kasus trauma, diantaranya trauma thoraks, abdomen, dan pelvis serta
akibat proses di paru yang mengakibatkan hemoptisis masif seperti TB paru, bronkiektasis,
abses paru atau neoplasma yang secara kasar dapat diduga dari sifat perdarahan.

Identifikasi awal pasien dengan perdarahan merupakan hal yang sangat penting dan
diagnosis harus segera ditegakkan. Hipovolemia oeh karena perdarahan berkaitan dengan
beragam gambaran klinis. Persatuan Ahli Bedah Amerika melalui protokol ATLS secara
tradisional membagi klasifikasi syok hemoragik berdasarkan jumlah darah yang hilang
(Tabel 1).6 Berdasarkan klasifikasi tersebut dapat diketahui gejala-gejala klinis pasien dengan
syok hemoragik dan pada perdarahan masif dengan hilangnya volume darah > 50% dalam
waktu 3 jam dapat disimpulkan bahwa klasifikasi perdarahan adalah derajat 4.
III. Tatalaksana Perdarahan Masif
Untuk mencapai resusitasi yang tepat, alangkah penting untuk mengetahui tahapan
kekacauan patofisiologis dari pasien dengan perdarahan masif berupa hipotermia,
koagulopati, dan asidosis yang disebut juga trias letal. Pasien perdarahan yang mengalami
trias ini berada pada tingkat mortalitas 90% dan membutuhkan transfusi masif.7 Trias letal
adalah sebagai berikut:
a. Hipotermia

Hipotermia sekunder yang disebabkan oleh trauma merupakan keadaan yang


sering terjadi. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan tubuh untuk
menjaga panas oleh karena gangguan termoregulasi sentral, blok respon
menggigil dan menurunnya aktivitas metabolic pada tingkat seluler. Resusitasi
juga merupakan alasan terjadinya hipotermia. Pemberian cairan intravena
dingin dan terpaparnya pasien selama evaluasi awal berkontribusi besar
menyebabkan hipotermia. Hipotermia signifikan secara klinis saat suhu tubuh
< 36C dan berlangsung selama 4 jam. Hipotermia memicu koagulopati
dengan memengaruhi fungsi platelet; ketidakseimbangan tromboksan dan
prostasiklin mengurangi respon aktivasi platelet. Hipotermia juga mengurangi
aktivasi enzim pada kaskade koagulasi. Pada suhu 35C, faktor pembekuan 11
dan 12 hanya berfungsi 65% dari normal.6 Korban trauma dengan suhu tubuh
< 35C memiliki prognosis yang buruk, dan korban dengan suhu tubuh 32C
memiliki tingkat mortalitas 100%.6 Data terbaru dari 31st Combat Support
Hospital di Irak menunjukkan bahwa 18% dari 2848 pasien trauma
mengalami hipotermia dan hipotermia tersebut secara signifikan berhubungan
dengan keadaan GCS, takikardia, hipotensi, hematokrit rendah, dan asidosis
yang menyebabkannya sebagai kontributor independen terhadap mortalitas
secara keseluruhan.6 Terapi untuk pasien hipotermi dapat dilakukan secara
pasif maupun aktif. Penghangatan secara pasif mencegah kehilangan panas
lebih lanjut dengan cara menyelimuti pasien dan menghangatkan ruang
operasi atau ruang resusitasi. Penghangatan secara aktif dengan cara menutupi
korban trauma dengan selimut penghangat listrik dan memberikan darah atau
cairan intravena yang sudah dihangatkan dan menghangatkan bagian kavitas
tubuh, bertujuan untuk menjaga temperature tubuh 36C.
b. Asidosis
Asidosis metabolik terjadi oleh karena perfusi jaringan yang tidak adekuat
dalam waktu lama. Hal ini menyebabkan metabolisme selular berubah dari
aerobik menjadi anaerobik dan meningkatkan produksi laktat yang
menyebabkan penurunan pH. Penurunan pH ini memiliki efek negatif
terhadap kontraktilitas jantung. Efek asidosis pada kaskade koagulasi
ditunjukkan oleh Meng et al. Mereka mengukur aktivitas dari faktor

rekombinan VIIa terhadap fosfolipid dan platelet, dan hasilnya menunjukkan


bahwa terjadi penurunan sebesar 90% saat pH menurun dari 7.4 menjadi 7.6
Martini et al. menunjukkan efek asidosis terhadap koagulasi dengan
menginfus 12 babi dengan asam hidroklorida 0.2 mol/L hingga pH babi
tersebut 7.1. Ringer laktat diberikan secara kontinyu untuk menjaga pH
tersebut. Sampel darah diambil saat sebelum infus dan 15 menit setelah
induksi asidosis. Fungsi koagulasi dinilai dengan mengukur waktu protrombin
(PT), waktu tromboplastin parsial (PTT), dan trombin. Kesimpulan dari
penelitian tersebut adalah asidosis menurunkan konsentrasi fibrinogen hingga
66% 2%, menurunkan hitung platelet 49% 4%, dan menurunkan thrombin
menjadi 60% 4%. Asidosis juga memperpanjang PT dan PTT hingga 20%
[14]. Pengukuran yang sensitif adalah menilai oksigenasi jaringan dengan
mengukur defisit basa, yang merupakan pengukuran jumlah milimol basa
yang diperlukan untuk memperbaiki pH satu liter darah 7.4 dan nilai
normalnya adalah 3 hingga +3. Davis et al. mendemonstrasikan pengukuran
defisit basa tersebut lebih akurat dalam menentukan klirens asidosis setelah
syok trauma daripada pengukuran pH. Mereka melakukan analisis retrospektif
terhadap 674 korban trauma yang telah diukur ph dan defisit basanya selama
perawatan di RS. Defisit basa berbeda secara signifikan antara pasien yang
selamat dan tidak pada seluruh interval waktu pengukuran. Namun, perbedaan
yang sama tidak tampak saat pH dinilai membuat hal ini sulit diandalkan[15].
Terapi asidosis pada dasarnya merupakan perbaikan sirkulasi untuk menjaga
perfusi jaringan. Lier et al. menyediakan kajian yang komprehensif dari efek
asidosis dan merekomendasikan netralisasi asidosis untuk memperbaiki
koagulopati terutama saat korban trauma menerima transfusi masif.
Rekomendasi terhadap buffer tersebut dapat dicapai dengan menggunakan
natrium bikarbonat atau trishidroksimetilaminometan (THAM), yang
belakangan ini memberikan hasil yang sangat baik. Hal ini disebabkan karena
efeknya terhadap koagulasi yang tidak menghambat pembentukan trombin
bila dibandingkan dengan natrium bikarbonat, namun keduanya memiliki efek
yang negatif terhadap perubahan fibrinogen menjadi fibrin [16].

c. Koagulopati
Hess et al. mengkaji penyebab koagulopati akut pada trauma. Teridentifikasi 6
penyebab: (1) kerusakan jaringan yang menyebabkan tereksposnya jaringan
endotel dan memicu kaskade koagulasi dan fibrinolisis; (2) syok, yang
bergantung pada derajat koagulopati; namun mekanisme ini masih belum
dipahami dnegan jelas; (3) hemodilusi dari pergeseran cairan selular dan
interstisial yang menyebabkan berkurangnya faktor pembekuan dalam plasma
dan pemberian cairan intravena yang juga menghalangi pembentukan bekuan
darah dan transfusi sel darah merah; (4) inflamasi yang mengganggu
koagulasi yaitu mencegah monosit berikatan dengan platelet, aktivasi jalur
trombomodulin-protein C dan berikatannya C4b terhadap protein S [17], dan
dua penyebab yang terakhir adalah (5) hipotermia dan (6) asidosis yang telah
dibahas sebelumnya. Koagulopati akut ditemukan pada satu dari empat pasien
trauma seperti yang ditunjukkan oleh Brohi et al. Mereka melakukan
penelitian retrospektif terhadap 1088 pasien yang masuk ke pusat trauma
antara tahun 1993 dan 1998. Terhadap pasien-pasien ini dilakukan pengukuran
profil koagulasi selama perawatan, termasuk pemeriksaan PT, APTT, dan
waktu thrombin. Hasilnya menunjukkan bahwa 24.4% pasien mengalami
koagulopati dan pasien-pasien ini memiliki tingkat mortalitas 46%. Hal ini
jauh berbeda dengan tingkat mortalitas 10.9% pada keadaan pembekuan darah
yang normal [18]. Hingga kini belum ada metode yang akurat untuk menilai
koagulopati akut karena trauma. Pemeriksaan konvensional adalah dengan
memeriksa PT, PTT, fibrinogen, dan hitung platelet, namun oleh karena
terbatasnya jumlah darah yang diperoleh pada perdarahan masif maka
seringkali pemeriksaan ini tidak memberikan informasi yang cukup tentang
pembekuan darah. Selain itu, hitung platelet biasanya normal pada fase awal
perdarahan. Terapi yang terbaru untuk mengatasi koagulopati adalah
melakukan transfusi empiris awal darah dan faktor-faktor pembekuan [19].
Setelah mengetahui bahaya keadaan yang memicu trias letal tersebut, maka perlu untuk
dilakukan penatalaksanaan yang segera bagi pasien dengan perdarahan masif. Manajemen
perdarahan massif secara komprehensif, meliputi (Diagram 1):
1. Umum

a. Melakukan intervensi sesuai dengan protokol yang direncanakan


Langkah-langkah spesifik yang dijelaskan di bawah harus dilakukan secepat mungkin.
Hal ini memerlukan koordinasi dan komunikasi yang baik antara departemen yang
berbeda, ruang operasi dan laboratorium dan spesialisasi yang berbeda dari operasi,
anestesi dan hematologi. Dokter yang bertanggung jawab atas pasien pada saat itu harus
bertanggung jawab untuk merinci tugas-tugas penting bagi pasien tersebut, seperti
pemesanan darah dan berkomunikasi dengan laboratorium.
b. Menghubungi dokter senior yang kompeten
Situasi klinis yang memiliki potensi untuk terjadinya perdarahan masif harus dapat
diketahui sedini mungkin dan dokter paling senior yang tersedia dengan pengalaman
dalam keadaan darurat tersebut harus diinformasikan tanpa penundaan.
c. Pastikan bahwa laboratorium yang relevan menyadari bahwa perdarahan masif sedang
berlangsung.
Laboratorium harus secara khusus diberitahu. Hal ini memungkinkan staf untuk
pertimbangan prioritas mereka, untuk menilai persediaan laboratorium terhadap
kemungkinan permintaan, untuk mempersiapkan permintaan dalam jumlah yang besar,
berulang dan mendesak untuk darah dan komponen, dan untuk memanggil back-up
bantuan awal jika diperlukan. Kontak langsung ataupun laporan singkat sangat penting:
menulis catatan seperti ASAP/CITO pada formulir pesanan darah juga berguna untuk
mempercepat proses pengiriman.
2. Spesifik
a. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.
Mempertahankan jalan napas dan memberikan 100% oksigen.
b. Kontrol sumber perdarahan dan mengatur akses intravena.
Kontrol perdarahan yang jelas dan pemasangan akses intravena yang memadai adalah hal
yang penting.
Mengidentifikasi dan mengendalikan sumber perdarahan, tindakan pembedahan atau
radiologis, harus dilaksanakan segera. Pasien harus dipindahkan dengan cepat ke daerah
di mana intervensi definitif untuk diagnosis dan pengobatan dapat dilakukan. Jika
fasilitas untuk manajemen spesifik tidak tersedia, daerah perdarahan harus ditangani
dahulu jika mungkin, untuk mengontrol perdarahan selagi pasien dipindahkan ke pusat
rujukan yang terdekat.
Akses Vena

Akses vena tidak boleh dimulai dalam tubuh yang terluka. Jika sumber perdarahan di
bawah diafragma, setidaknya satu jalur intravena harus pada ekstremitas atas. Sedangkan
pasien dengan cedera pada dada dan leher harus memiliki akses jarum lubang besar di
ekstremitas bawah. Pada pasien dengan beberapa luka-luka parah, di antaranya suspek
trauma torakoabdominal, salah satu situs akses harus di atas diafragma dan satu di bawah
diafragma.

Diagram 1. Pedoman penatalaksanaan perdarahan masif untuk dewasa


(Clinical Guideline for: Management of Major Perioperative Blood Loss in Adults Trust Docs ID: id 1175 v3)

Tes laboratorium

Sampel darah harus diperoleh ketika memasang akses vena. Tujuannya adalah untuk
pemeriksaan darah, skrining antibodi dan pencocokan silang dari enam (6) unit sel darah
merah dan tes laboratorium awal:
hitung darah lengkap,
waktu protrombin (PT),
waktu aktivasi tromboplastin parsial (APTT),
fibrinogen,
urea dan elektrolit
Tes laboratorium harus diulang setidaknya empat jam atau setelah penggantian sepertiga
dari volume darah, untuk menilai efektivitas pengobatan.
c. Mengembalikan volume sirkulasi
Sejalan dengan intervensi untuk mengendalikan sumber perdarahan, volume
intravaskular harus dikembalikan untuk mempertahankan tekanan perfusi. Hipoperfusi yang
berkepanjangan dapat menyebabkan asidosis, peningkatan permeabilitas kapiler, konsumsi
faktor pembekuan dan pelepasan mediator inflamasi. Perubahan ini berkontribusi pada
pengembangan koagulopati dan cedera akhir-organ sekunder.
Pedoman umum untuk resusitasi cairan dalam tahap awal ialah merekomendasikan bolus
cairan awal satu sampai dua liter pada orang dewasa. Intervensi lebih lanjut ditentukan oleh
respon pasien.
Kegagalan untuk merespon resusitasi cairan tersebut memerlukan intervensi bedah segera
untuk mengontrol perdarahan.
Agar kontrol perdarahan menjadi lebih baik, klinis gol dalam resusitasi cairan adalah bukti
dari aliran darah ke organ dan perfusi jaringan membaik. Frekuensi denyut jantung, tekanan
darah, tekanan vena sentral (CVP) dan urin output (> 30 ml / jam atau 0.5ml / kg / hr) yang
digunakan pada awalnya.
Peningkatan tekanan darah, terutama jika dicapai dengan penggunaan inotropik, tidak selalu
sama dengan peningkatan perfusi.
Pemberian cairan intravena.

Penggunaan albumin, dan koloid lainnya dibandingkan kristaloid untuk penggantian volume
terus menjadi subyek perdebatan setelah dua dekade terakhir ini dalam penelitian metaanalisis.
Kristaloid yang murah, mudah didapatkan, efek samping yang minimal dan, dalam volume
besar, tidak mempengaruhi koagulasi.
Koloid (nonalbumin) menghasilkan ekspansi yang lebih efisien dalam mengembalikan
volume intravaskular, memiliki waktu yang lebih lama dalam intravaskuler, mempertahankan
tekanan onkotik lebih baik dan meningkatkan aliran darah mikrovaskuler. Kelemahan dari
koloid meliputi risiko reaksi anafilaksis / alergi, efek samping pada koagulasi lebih tinggi dan
pada fungsi ginjal. Kejadian efek samping bervariasi antara berbagai jenis koloid yang
tersedia.
Hidroksietil (HES) menyebabkan reaksi yang kurang diinginkan dibandingkan gelatin terkait
dengan gangguan yang lebih besar dalam koagulasi darah. Ada kekhawatiran tentang
penggunaan dosis yang melebihi yang direkomendasikan oleh produsen. Data pabrikan
merekomendasikan bahwa volume diberikan harus dibatasi 1,5 liter per 24 jam pada orang
dewasa. Penggunaan jangka pendek dari dosis maksimal HES pada perdarahan masif,
tampaknya memiliki efek yang dapat menurunkan efek merugikan seperti koagulasi.
Dalam praktek sehari-sehari untuk resusitasi sering dikombinasikan antara kristaloid hangat
dan koloid atas dasar bahwa kristaloid membangun kembali homeostasis cairan dan koloid
menyediakan ekspansi plasma dan peningkatan perfusi mikrovaskuler.
d. Antifibrinolitik
Dapat dipertimbangkan pemberian asam traneksamat. Keuntungan yang besar dapat
diperoleh jika pemberian selama satu jam setelah cedera (1g asam traneksamat iv selama 10
menit dilanjutkan dengan 1g asam traneksamat iv lebih dari 8 jam). Selain itu asam
traneksamat dapat menjadi pilihan pada pasien yang bermasalah dengan transfusi darah,
misalnya dengan gangguan antibodi atau pandangan agama tertentu. Asam traneksamat tidak
boleh diberikan lebih dari 3 jam setelah cedera.
e. Mulai Terapi Komponen Darah
Transfusi darah dengan sel darah merah dan komponen darah lainnya akan selalu diperlukan
pada pasien dengan perdarahan yang mengancam jiwa dan pendarahan yang berlangsung
terus-menerus. Setiap pasien harus dinilai secara individual sehubungan dengan persyaratan
khusus untuk transfusi darah dan komponen darah. Pada transfusi masif, persyaratan untuk
komponen darah harus diantisipasi dengan menilai klinis situasi. Waktu pengiriman, ukuran

persediaan lokal dan jarak ke bank darah terdekat adalah semua faktor yang harus
dipertimbangkan. Dalam situasi darurat, protokol untuk memeriksa darah dan administrasi
harus ditaati, karena kebanyakan transfusi morbiditas terkait adalah karena darah yang salah
ditransfusikan. Setelah pemberian resusitasi cairan, berikan 4 unit darah melalui penghangat
cairan:
Berikan golongan darah O jika dibutuhkan segera dan / atau golongan darah pasien

tidak diketahui
Pihak lab dan bank darah harus segera difollow-up untuk mengetahui golongan darah
yang spesifik dan dilakukan uji silang sel darah merah

Fresh Frozen Plasma (FFP)


Berdasarkan rekomendasi NHS,8 FFP harus digunakan awal pada transfusi darah masif. Hal
ini berdasarkan beberapa penelitian retrospektif besar terhadap warga sipil dan militer yang
menunjukkan perbaikan kelangsungan hidup saat rasio penggunaan FFP lebih dari 1:2
(FFP:PRBCs). Dosis minimal adalah 12-15 mL/kgBB (3 pak darah untuk dewasa). FFP tidak
memerlukan pencocokan rhesus dan tidak berisiko terhadap kekebalan anti D. Perlu diingat
bahwa FFP untuk golongan darah O hanya terbatas untuk pasien golongan darah O saja
karena dapat menyebabkan hemolisis pada pasien dengan golongan darah selain O. Pada
pasien lain, akan menerima darah dari bank darah FFP yang cocok namun tidak benar-benar
identik dengan golongan darah pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Stansby D, Maclennan, Hamilton, Manegement of massive blood loss: a template

2.

guideline. Available at www.BritishJournalofAnaesthesia.com 2000


http://www.primarytraumacare.org

3.

Mansiper A, Suprohaita, Wardhani IW, Setiowulan W, Kapita Selekta Kedokteran Ed.III

4.

FKUI Media Ausculapius jakarta 2000.


Purwadianto, Agus dan Sampurna Budi. Kedaruratan Medik. 2000. Jakarta. Binarupa

5.
6.

Aksara.
McSwain NE, Paturas JL, Wertz E. Advance Trauma Life Support. St Louis. Mosby. 1997.
The American College of Surgeons, Shock, in Advanced Trauma Life Support, The

7.

American College of Surgeons, Ed., pp. 5973, 1990.


Mohamed ES, Hussein N. Recent Advances of Hemorrhage Management in Severe

8.

Trauma. Emergency Medicine International Vol. 2014, Article ID 638956, page 2-3
Wilkinson K, OHare D. Guideline for the Management of: Massive Blood Loss in Adults

9.

(MBL). NHS Foundation Trust, 2015.


Pr IJ, Jakob S, Sisse RO. Current management of massive hemorrhage in trauma.
Johansson et al. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine,

10.

2012.
Jeannie LC, Sandro R. Assessment and management of massive bleeding: coagulation
assessment, pharmacologic strategies, and transfusion management. American Society of
Hematology, 2012.

Anda mungkin juga menyukai