Anda di halaman 1dari 23

TUGAS THT-KL

HIDUNG TERSUMBAT
(OBSTRUKSI NASAL)

Oleh :
Aulia Ulfah Mutiara Dewi
G 99162085

Pembimbing :
dr. Antonius Christanto, M. Kes, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN KEPALA LEHER (THT-KL)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI
2017
A. Identifikasi Keluhan Utama Pasien yang datang Ke Poli THT-KL

Terdapat berbagai simptom atau keluhan utama yang dirasakan pasien


yang menyebabkan pasien tersebut datang ke poli THT-KL antara lain
sebagai berikut :

1. Keluhan utama pada telinga :


a. Gangguan pendengaran/pekak (tuli)
b. Suara berdenging/berdengung (tinitus)
c. Rasa pusing yang berputar (vertigo)
d. Rasa nyeri telinga (otalgia)
e. Keluar cairan dari telinga (otore)
f. Telinga terasa penuh
g. Benda asing dalam telinga (corpal)
h. Telinga gatal (itching)
i. Sakit kepala (cephalgia)
j. Sakit kepala sebelah (migraine)
2. Keluhan utama pada hidung :
a. Hidung tersumbat (obsruksi nasal)
b. Pilek/keluar cairan dari hidung (rhinorrea)
c. Bersin (sneezing)
d. Rasa nyeri di daerah muka dan kepala
e. Perdarahan dari hidung/mimisan (epistaksis)
f. Gangguan penghidu (anosmia/hiposmia)
g. Benda asing di dalam hidung (corpal)
h. Suara sengau (nasolalia)
i. Hidung berbau (foetor ex nasal)
3. Keluhan utama di tenggorokan :
a. Nyeri tenggorokan
b. Nyeri menelan (odinofagia)
c. Sulit menelan (disfagia)
d. Dahak di tenggorok
e. Rasa sumbatan di leher
f. Suara serak (hoarseness)
g. Benda asing di dalam tenggorokan (corpal)
h. Amandel (tonsil)
i. Bau mulut (halitosis)
j. Tenggorok kering
k. Tenggorok berlendir
l. Batuk
4. Keluhan lain di kepala leher :
a. Sesak napas
b. Benjolan di leher

B. Anatomi, Fisiologi dan Histologi Hidung


1. Anatomi Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah, sebagai berikut :
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Batang hidung (dorsum nasi)
c. Puncak hidung (hip)
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar di bentuk oleh :
a. Tulang : os nasal, proc frontalis os maksila, proc nasalis os frontal
b. Tulang rawan : kartilago nasalis lateralis superior, kartilago nasalis
lateralis inferior, kartilago ala minor, tepi anterior kartilago septum
c. Otot

1) M. Nasalis
Terletak di atas ala nasi dan berjalan dari medial ke lateral.
Mempunyai efek kompresi hidung, memanjangkan hidung dan
kontraksi nostril (antagonis M. procerus).
2) M. Dilator nares
Terletak pada ala nasi bagian lateral. Berfungsi untuk melebarkan ala
nasi.
3) M. Depresor septi nasi
Terletak di atas bibir atas dekat septum nasi. Berfungsi untuk
menurunkan tip hidung dan membuka nostril pada saat inspirasi
maksimal.
4) M. Procerus
Terletak pada akar hidung. Memiliki fungsi untuk menggerakkan kulit
di atas glabella. Bila kontraksi dapat menger-nyitkan dahi, mempunyai
efek memendekkan hidung.
d. Jaringan ikat
2. Anatomi Rongga Hidung (kavum nasi)

Mempunyai 4 dinding, yaitu :


a. Dinding medial : septum hidung
1) Tulang : lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista maksilaris os
maksila, krista nasalis os palatina
2) Tulang rawan :kartilago septum (lamina quadriangularis), kolumella
b. Dinding lateral
1) Sel ager nasi
2) Konka:
a) Konka inferior :
Konka yang paling besar. Di bawahnya terdapat meatus inferior,
tempat bermuara duktus nasolakrimalis.
b) Konka media :
Dibawahnya terdapat meatus medius. Tempat bermuara sinus
frontalis, sinus maksilaris, sinus etmoid anterior dan sinus
sfenoid.
c) Konka superior :
di bawahnya terdapat meatus superior, tempat muara sinus etmoid
posterior.
d) Konka suprema :
terletak paling atas, paling kecil dan sering tidak ada (rudimenter).

3) Meatus : inferior (terdapat muara duktus naso lakrimal), medius (


terdapat muara sinus frontal,maksila, etmoid anterior), superior
(terdapat muara sinus etmoid posterior, sinus sfenoid)
c. Dinding inferior
Dasar rongga hidung, dibentuk oleh os maksila dan os palatum
d. Dinding superior atau atap hidung
Dibentuk oleh os kribriformis (memisahkan rongga tengkorak rongga
hidung)

3. Vaskularisasi :
a. Arteri
1) Bagian atas : a. etmoid anterior dan a. etmoid posterior ( cabang
dari a. oftalmika dari a. carotis interna )
2) Bagian bawah : a. palatina mayor, a. sfenopalatina memasuki
hidung dari belakang ujung konka media
3) Bagian depan : cabang dari a. fasialis
4) Bagian depan septum : anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, a. palatina
mayor Pleksus kiesselbach (littles area) letaknya superfisial
dan mudah cedera oleh trauma
b. Vena
1) Berjalan berdampingan dgn arteri
2) Bagian luar hidung dan vestibulum bermuara ke v. oftalmika
sinus kavernosus
3) Vena di hidung tidak mempunyai katup memudahkan
penyebaran infeksi ke intracranial

4. Innervasi :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
5. Sinus Paranasal

a. Sinus frontalis
1) Terletak dalam os frontal
2) Asimetrik, memiliki septa
3) Dipisahkan tulang yang tipis dengan atap orbita dan kavum
kranialis
4) A. Supra orbitalis (cab.a.oftalmika) lewat celah pada atap
supraorbitalis.
b. Sinus sfenoidalis
1) Dalam os sfenoid
2) Asimetrik
3) Dipisah oleh septum intersfenoidaslis
4) Dapat meluas ke sayap besar os sfenoid, prosesus pterigoideus,
bagian basiler os oksipital
5) Batas :
Atas : fosa kranii media + sella tursica
Bawah : atap nasofaring (tebal)
Lateral : sinus kavernosus + a. Karotis interna
Belakang : fosa kranii post (pons serebri)

c. Sinus maksilaris
1) Terbesar, dalam os maksila
2) Batas:
Depan : tulang pipi (facial maxilla)
Belakang : pmk. Infra temporalis
Medial : dinding lateral kavum nasi
Atap : orbita
Dasar : prosesus alveolaris os maksila
3) Apeks sinus maksilaris meluas / masuk ke dalam os zigomatikus.
4) Bila dilihat dari rongga mulut, letak sinus sesuai dengan gigi molar
1,2,3
5) Akar gigi dapat sangat dekat dengan rongga sinus.
6) Dasar sinus maksilaris lebih rendah dari dasar kavum nasi.
d. Sinus ethmoidalis
1) Terdiri dari 3 - 18 sel
2) Tergantung muara saluran :
a. Sel ethmoidalis anterior
3) Sel ethmoidalis posterior
4) Batas :
Lateral : lamina papyracea dan tulang lakrimal
Medial : konka media + konka superior
Atas : dinding atas os etmoid dan os frontal
Depan : prosesus frontalis os maksila dan os nasal
Belakang : sinus sfenoidalis
6. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan
fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (respiratori) dan mukosa
penghidu (olfaktori).Mukosa pernafasan biasanya berwarna merah muda,
sedangkan pada daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia
dan diantaranya terdapat sel sel goblet.Pada bagian yang lebih terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia
menjadi sel epital skuamosa.Dalam keadaan normal mukosa berwarna
merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya.Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet.
Lamina propria dan kelenjar mukosa tipis pada daerah dimana aliran
udara lambat atau lemah.Jumlah kelenjar penghasil secret dan sel goblet,
yaitu sumber dari mucus, sebanding dengan ketebalan lamina propria.
Silia memiliki struktur mirip rambut, panjangnya sekitar mikron,
terletak pada permukaan epitel dan bergerak serempak secara cepat ke arah
aliran lapisan, kemudian membengkok dan kembali tegak secara
lambat.Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi
akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai
daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan
benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi
silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan
hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior
dan sepertiga bagian atas septum.Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis
semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated
epithelium).Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel
basal dan sel reseptor penghidu.Epitel organ pernafasan yang biasa berupa
toraks bersilia, bertingkat palsu, berbeda-beda pada berbagai bagian hidung,
bergantung pada tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian pula suhu,
dan derajat kelembaban udara.Mukoa pada ujung anterior konka dan septum
sedikit melampaui internum masih dilapisi oleh epitel berlapis torak tanpa
silia, lanjutan dari epitel kulit vestibulum. Sepanjang jalur utama arus
inspirasi epitel menjadi toraks bersilia pendek dan agak ireguler.Sel-sel
meatus media dan inferior yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki
silia yang panjang dan tersusun rapi.

Histologi hidung adalah sebagai berikut:


a. Mukosa pernafasan (respiratori) epitel torak berlapis semu + silia + sel
goblet (pseudo stratified columnar epitelium) fungsi mendorong lendir
ke arah nasofaring untuk membersihkan diri dan mengeluarkan benda
asing yg masuk ke hidung
b. Mukosa penghidu : (atap rongga hidung, konka superior, sepertiga atas
septum) epitel torak berlapis semu tidak bersilia ( pseudostratified
columnar non ciliated epitelium)

7. Fisiologi Hidung
Jalan nafas ( aliran udara membentuk arkus/lengkungan):
a. Inspirasi : udara masuk dari nares anterior naik setinggi konka media
turun ke nasofaring
b. Ekspirasi : udara dari koana naik setinggi konka media di depan
memecah sebagian ke nares anterior dan sebagian kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dgn aliran dari nasofaring
c. Pengaturan udara (air conditioning) mengatur kelembapan (oleh
mukous blanket) dan suhu ( oleh banyaknya pembuluh darah dibawah
epitel , permukaan konka dan septum yg luas)
d. Penyaring dan pelindung, dari debu dan bakteri ( oleh : rambut /
vibrissae, silia, mucous blanket, lisozym), dibantu oleh adanya refleks
bersin untuk mengeluarkan partikel yg besar
e. Penghidu : partikel bau mencapai mukosa olfaktorius dgn cara berdifusi
dgn palut lendir atau bila menarik nafas kuat
f. Resonansi suara : Sumbatan hidung rinolalia (suara sengau)
g. Membantu proses bicara. konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara
h. Refleks nasal : Pada mukosa hidung ada reseptor refleks yg berhubungan
dengan sal cerna, kardiovaskuler, pernafasan : mis : iritasi mukosa
hidung bersin dan nafas berhenti, bau tertentu sekresi kel liur,
lambung dan pancreas

C. Mekanisme Patofisiologi Hidung Buntu


1. Peran sistem saraf
Aliran darah yang melalui pembuluh darah hidung dikontrol melalui
persarafan otonom yang terdiri dari persarafan simpatis dan parasimpatis.
Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2 yang
menginervasi pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut
simpatis melepaskan ko-transmitter noradrenalin dan neuropeptid Y. Vena
sinusiod di mukosa hidung diinervasi serabut saraf simpatis sehingga bila
distimulasi saraf ini akan melepaskan noradrenalin yang bekerja pada saraf
1 dan 2 yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Mediator
yang dilepas selama respon alergi dapat menginduksi vasodilatasi dengan
menghambat pelepasan noradrenalin dari ujung saraf simpatis.
Serabut saraf parasimpatis berasal dari nukleus salivatori superior
menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk nervus vidianus, kemudian
menginervasi pembuluh darah dan kelenjar eksokrin. Pada rangsangan
akan terjadi pelepasan ko-transmitter asetilkolin, vasoactive intestinal
peptide dan nitric oxid (NO) yang menyebabkan peningkatan sekresi
hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung.
Disamping saraf otonom, pengaturan nonadrenergik dan nonkolinergik
juga terlibat dalam pengaturan pembuluh darah mukosa hidung. Aktivasi
saraf sensorik C oleh zat iritan dan mediator lokal yang dilepas pada
respon alergi akan diikuti pelepasan neuropeptid seperti substance P,
neurokinin A dan calcitonin gen-related peptid. Substance p maupun
calcitonin gen related peptide (CGRP) dilepaskan dalam waktu tiga menit
setelah paparan alergen yang menginduksi sumbatan hidung dan
meningkatan permeabilitas vaskuler. Neuropeptid ini memiliki efek
potensial yang penting pada mekanisme sumbatan hidung karena
dilepaskan secara lokal di dekat pembuluh darah hidung dan memiliki efek
potensial untuk memodifikasi pembuluh darah hidung baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui pengaruhnya pada aktivasi
eosinofil.

2. Pengaruh mediator lokal

Histamin merupakan mediator utama yang dilepaskan oleh sel mast dan
basofil. Efek histamin pada kelenjar karena aktivasi reflek parasimpatis
mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar yang menyebabkan gejala
rinore yang serose dan akan memperberat gejala sumbatan hidung.
Histamin juga menstimulasi sel-sel endotel untuk mensintesis relaxan yang
bekerja pada pembuluh darah seperti prostasiklin (PGI2) dan nitric oxid
(NO) yang menyebabkan vasodilatasi dan menyebabkan gejala sumbatan
hidung.
Efek prostaglandin D2 (PGD2) pada mukosa hidung diperantarai oleh
salah satu dari dua subtipe reseptor, yaitu tromboksan dan reseptor PGD2
spresifik. PGD2 yangdilepaskan oleh sel mast dan basofil akan terikat
pada reseptornya di pembuluh darah yang menyebabkan vasodilatasi.
Leukotrien LTC4 dan LTD4 adalah mediator lokal selanjutnya yang
bila bekerja pada reseptor LTD4 yang sama akan mengkinduksi
peningkatan resistensi saluran udara hidung dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah hidung.
Platelet activating factor (PAF) adalah produk pemecahan fosfolipid
dari membran sel setelah aktivasi imunologis. Mediator ini berasal dari
agen intermediate inaktif lyso-PAF. Perubahan menjadi aktif
membutuhkan enzim asetiltransferase. Meditor ini mempunyai peranan
dalam mekanisme sumbatan hidung dengan cara retraksi dan relaksasi sel-
sel endotel pembuluh darah dan vasodilatasi.

3. Pengaruh sunbatan
Hidung merupakan bagian konduksi dari sistem respirasi, berfungsi
sebagai pintu masuk udara dari lingkungan menuju alveolus. Apabila
saluran hidung seseorang mengecil atau tertutup oleh cairan, massa,
ataupun benda asing yang dapat menjadi penghalang udara masuk, maka
orang tersebut akan merasakan keluhan hidung buntu.

D. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang dengan


Keluhan Utama Hidung Buntu
Untuk mendiagnosis pasien dengan keluhan hidung bunti, diperlukan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang baik.
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan antara lain :
a) Keluhan hidung buntu sudah dirasakan berapa lama?
b) Sebelumnya hidung buntu, apa yang dilakukan?atau apa yang terjadi?
c) Hidung buntu di rasakan sepanjang hari atau hanya diwaktu-waktu
tertentu? Apakah hidung terasa buntu hanya pada saat tarik nafas atau
saat membuang nafas pun terasa buntu?
d) Apakah hidung buntu sudah mengganggu aktivitas sehari-hari? Hidung
yang buntu di kedua sisi atau hanya satu sisi? Bergantian atau hanya
satu hidung saja?
e) Apakah sudah meminum obat sebelumnya untuk menghilangkan atau
mengurangi keluhan hidung buntu? Apa yang dilakukan untuk
mengurangi keluhan hidung buntu?
f) Hidung semakin terasa buntu bila melakukan aktivitas apa? Pada saat
kapan saja? Apakah dipengaruhi posisi tertentu?
g) Adakah keluhan lainnya? Seperti mulut atau tenggorokan terasa kering
atau mimisan?
h) Adakah nyeri wajah atau nyeri disekitar kening? Dan adakah keluhan
nafas bau?
i) Apakah dulu pernah mengalami keluhan yang sama? Pernah ada trauma
pada hidung? Atau ada riwayat pemakaian obat tetes hidung dalam
jangka waktu lama?
j) Apakah ada riwayat alergi? Apakah bila memakan atau terkena sesuatu
menjadi gatal-gatal atau biduren?
k) Dalam waktu dekat ini pernahkan mengalami batuk pilek?
l) Apakah di keluarga ada yang mengeluhkan hal yang sama?
m) Apakah merokok atau meminum minuman keras?
n) Pekerjaan apa?

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan hidung buntu meliputi:
a) Inspeksi
Bentuk luar hidung diperhatikan apakah ada deviasi atau depresi tulang
hidung. Adakah pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal.
b) Palpasi
Dengan jari dapat dipalpasi adanya krepitasi tulang hidung pada fraktur
os nasal atau rasa nyeri tekan pada peradangan hidung dan sinus
paranasal.
c) Pemeriksaan Rinoskopi Anterior
1) Lakukan tamponade kurang lebih selam 5 menit dengan kapas yang
dengan lidokain 2% dan efedrin.
2) Angkat tampon hidung
3) Inspeksi, mulai dari:
- cuping hidung (vestibulum nasi)
- bangun di rongga hidung
- meatus nasal
- konka nasal
- septum nasi
- keadaan rongga hidung : normal/ tidak; sempit/ lebar; ada
pertumbuhan abnormal: polip, tumor, benda asing
- adakah discharge dalam rongga hidung

d)Pemeriksaan Rinoskopi Posterior


1) Penyemprotan pada ronggga mulut dengan lidokain spray 2%, dan
tunggu beberapa menit
2) Masukkan kaca laring pada daerah ishmus faucium arah ke kranial
3) Evaluasi bayangan-bayangan di rongga hidung posterior (nasofaring)
4) Lihat bayangan di nasofaring :
- Fossa rossenmuler
- Torus tubarius
- Muara tuba auditiva eustachii
- Adenoid
- Konka superior
- Septum nasi posterior
- Choana
-
e) Pemeriksaan Transiluminasi / Diapanaskopi Sinus
Jika didapatkan nyeri tekan sinus atau gejala-gejala lain yang
menunjukkan sinusitis, pemeriksaan transiluminasi / diapanaskopi sinus
kadang dapat membantu diagnosis meskipun kurang sensitive dan
spesifik.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diajukan harus sesuai dengan arahan
penyakit pasien yang didapatkan pada saat anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan penunjang ini dilakukan untuk mengkonfirmasi dan
menegakkan diagnosis penyakit.
Untuk mengkonfismasi massa abnormal di hidung dilakukan pemeriksaan
nasoendoskopi. Apabila msasa tersebut dicurigai sebagai sel kanker, maka
dapat dilakukan pemeriksaan biopsi.
Pada kasus sinusitis, dapa dilakukan pemeriksaan radiologi untuk
mengetahui keparahan sinusitis dan letak sinus yang terinfeksi.
Sedangkan untuk menegakkan rhinitis alergi, dapat dilakukan pemeriksaan
skin prick test.

E. Diagnosis Banding Penyakit dengan Keluhan Utama Hidung Buntu


1. Polip nasi
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan dalam
rongga hidung, warna putih keabuan, yang dapat terjadi akibat inflamasi
mukosa. Keluhan utama adalah hidung rasa tersumbat ringan sampai berat,
rinore mulai jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin
disertai bersin, nyeri hidung disertai sakit kepala didaerah frontal. Bila
infeksi sekunder mungkin terdapat post nasal drip dan rinore purulen. Gejala
sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau,
halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Polip nasi yang
masif dapat menyebabkan deformitas. Pada rinoskopi anterior terlihat
sebagai massa warna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah
digerakkan. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan keluhan, mencegah
komplikasi dan rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk
menghilangkan polip nasi disebut sebagai polipektomi medikamentosa,
dapat diberikan secara topikal atau sistemik. Kasus polip yang tidak
membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif
dipertimbangkan untuk terapi bedah.
2. Deviasi septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi
septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu
cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan
demikian, dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.
Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral
atau juga bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar
mata. Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi
pada bagian atas septum. Penatalaksanaan dapat diberikan analgesik untuk
mengurangi rasa sakit, dekongestan untuk mengurangi sekresi cairan hidung
atau dengan pembedahan.

3. Rhinitis alergi
Rinitis alergi adalah reaksi inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan allergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE. Secara
khas dimulai pada usia yang sangat muda dengan gejala kongesti atau
sumbatan hidung, bersin, mata berair dan gatal, dan post nasal drip.
Pengobatan yang paling ideal pada rhinitis alergi dengan menghindari
kontak dengan alergen penyebabnya dan eliminasi. Selain itu diberikan
antagonis histamin H-1 yang dapat dikombinasi dengan dekongestan
peroral. Terapi operatif dilakukan jika dengan terapi konservatif gagal.
4. Rhinitis vasomotor
Rinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai
dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa
hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini merupakan
keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinore yang hebat dan bersifat
mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat
bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama
sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila
dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung
dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh
karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh
karena asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai post nasal
drip.

5. Rhinitis medikamentosa
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan
respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian
vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu
lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung menetap.
Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang
berlebihan. Gejala ditandai dengan hidung tersumbat terus-menerus dan
berair. Pada pemeriksaan tampak edema/hipertrofi konka dengan sekret
hidung yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka
tidak berkurang. Pengobatan rhinitis medikamentosa dengan menghentikan
pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriktor hidung. Untuk mengatasi
sumbatan berulang dapat diberikan kortikosteroid oral dosis tinggi jangka
pendek dan diturunkan secara bertahap.

6. Sinusitis/Rhinosinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
Umumnya disertai dan dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis. Keluhan utama rhinosinusitis akut adalah hidung tersumbat
disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali
turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti
demam dan lesu. Nyeri tekan di daerah sinus yang terkena, kadang nyeri
terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis
maksila, nyeri diantara atau dibelakang bola mata menandakan sinusitis
etmoid, nyeri dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada
sinusitis sphenoid, nyeri di vertex, oksipital, belakang bola mata, atau
daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke gigi dan
telinga. Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post-
nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Tujuan terapi
sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan
mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka
sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara
alam. Indikasi bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) berupa
sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik
disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya
komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
F. Obat-obat Dalam Formarium Nasional (Fornas) yang Bisa Mengurangi
Keluhan Hidung Buntu

Golongan Obat Obat Menurut Fornas

Kortikosteroid Deksametason tab 0,5 , 4 mg;


metilprednisolon tab 4, 8, 16 mg;
hidrokortison tab 10 mg

Antibiotik Amoksisilin tab 250, 500mg; fenoksimetil


penisilin tab 125, 250, 500mg; sefaleksin
kaps 250, 500 mg; sefuroksim tab 250 mg,
tab sal 500 mg.

Antihistamin Setirisin tab 10 mg

Dekongestan Fexofenadine (Telfast tab 30mg): max


2x1; max 5 hari
Fexofadine (Telfast tab 120mg): max 1x1;
max 5 hari
Kombinasi Pseuudoephedrine HCl dan
Triptolidine (tab: Valved, Nichofed; syr:
Protifed, Nichofed)
Kombinasi Pseudoephedrine HCl dan
Terlenadine HCl (Rhinofed tab)
Kombinasi Pseudoephedrine sulfat dan
Loratadine (Cronase tab)
DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L. Boies: buku ajar penyakit THT (Boeis fundamentals of


otolaryngology). Edisi ke-6. Jakarta: EGC, hal; 174, 240-247, 1997.
Irawati, Nina, Elise Kasekeyan dan Nikmah Rusmono. 2007. Rinitis Alergi dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala &
Leher. Jakarta: FKUI. Halaman 128-134.
Irawati, Nina, Niken L. Poerbonegoro, Elise Kasekeyan. 2007. Rinitis Vasomotor
dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala
& Leher. Jakarta: FKUI. Halaman 135-138.
Kementrian Kesehatan. 2013. Formularium Nasional. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328/ Menkes/ SK/ VIII/2013.
Jakarta.
Mangunkusumo, Endang dan Damajanti Soetjipto. 2007. Sinusitis dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher.
Jakarta: FKUI. Halaman 150-153.
Mangunkusumo, Endang dan Retno S. Wardani. 2007. Polip Hidung dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher.
Jakarta: FKUI. Halaman 123-125.
Nizar, Nuty W. dan Endang Mangunkusumo. 2007. Kelainan Septum dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher.
Jakarta: FKUI. Halaman 126-127.
Soepardi, Efiaty Arsyad. 2007. Pemeriksaan Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala
dan Leher dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher. Jakarta: FKUI. Halaman 1-6.
Universitas Sumatra Utara. 2014. Patofisiologi Rinitis Alergi.
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf.
diakses Maret 2015.

Anda mungkin juga menyukai