Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saluran pernapasan atau traktus respiratorius (respiratory tract) adalah
bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai tempat lintasan dan tempat
pertukaran gas yang diperlukan untuk proses pernapasan. Saluran ini
berpangkal pada hidung atau mulut dan berakhir pada paru-paru. Saluran
pernapasan dibagi menjadi saluran pernapasan atas dan pernapasan bawah
dibatasi oleh laring (Boeis,2012).
Saluran napas atas terdiri dari hidung, faring dan laring, perbatasan
saluran napas atas dan bawah adalah kartilago krikoidea. Saluran napas
bawah dimulai dari ujung trakea (pinggir bawah kartilago krikoidea) sampai
bronkiolus terminalis (Djojodibroto,2014).
Sumbatan pada sistem pernapasan atas dapat disebabkan oleh banyak
penyebab, diantara lain disebabkan oleh trauma, sumbatan dari benda asing,
tumor, infeksi dan gangguan persarafan pada daerah kepala dan leher
(Yataco,2009).
Sumbatan dapat bersifat sebagian, dapat juga sumbatan total. Pada
sumbatan ringan dapat menyebabkan sesak, sedangkan sumbatan yang lebih
berat namun masih ada sedikit celah dapat menyebabkan sianosis, gelisah
bahkan penurunan kesadaran. Pada sumbatan total bila tidak ditolong dengan
segera dapat menyebabkan kematian (Soepardi,2012).
Sumbatan saluran napas atas adalah suatu keadaan darurat yang harus
segera diatasi untuk mencegah kematian. Diperlukan penanganan yang sesuai
dengan indikasi dan penyebab sumbatan saluran nafas atas, diantaranya
dengan menggunakan perasat Heimlich, intubasi endotrakea, laringoskopi,
trakeostomi, atau krikotiroidostomi. Oleh karena bahaya obstruksi pada
saluran nafas atas, yang dapat menyebabkan kematian, penting dilakukan
diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat (Yataco,2009).

1.1. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memahami mengenai anatomi
saluran napas atas, etiologi sumbatan saluran napas atas, diagnosis serta
2

penatalaksaan dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan


pengetahuan tentang sumbatan saluran napas atas.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Saluran Nafas Atas
3

Gambar 1. anatomi saluran nafas atas dan bawah

Saluran napas dibagi menjadi 2 yaitu saluran napas bagian atas (upper
respiratory tract) yang terdiri dari hidung, faring dan laring, dan saluran
napas bagian bawah (lower respiratory tract). Batas saluran napas bagian atas
dan bagian bawah adalah pinggir bawah kartilago krikoidea. Penjelasan
mengenai saluran napas bagian atas adalah sebagai berikut
1. Hidung
a. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian - bagiannya dari
atas ke bawah :
a) Pangkal hidung (bridge)
b) Batang hidung (dorsum nasi)
c) Puncak hidung (hip)
d) Ala nasi
e) Kolumela dan
f) Lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang
terdiri dari :
a) Tulang hidung (os.nasal)
b) Processus frontalis os maksilla
c) Processus nasalis os frontal

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang


tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
4

a) Sepasang Kartilago nasalis lateral superior


b) Sepasang Kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga
sebagai kartilago ala mayor dan
c) Tepi anterior kartilago septum (Seeley, 2004).

Gambar 2. Anatomi Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas


ke bawah: 1) Pangkal hidung (bridge), 2) Batang hidung (dorsum nasi),
3) Puncak hidung (hip), 4) Ala nasi, 5) kolumela dan 6) Lubang hidung
(nares anterior). Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os
nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os
frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 4) tepi
anterior kartilago septum (Sasaki,2003).

b. Hidung Dalam
Cavum nasal terletak dari nares di depan sampai choanae di
belakang Rongga hidung terdiri atas :
a) Vestibulum yang dilapisi oleh sel submukosa sebagai proteksi
5

b) Dalam rongga hidung terdapat rambut yang berperan sebagai


penapis udara
c) Struktur konka yang berfungsi sebagai proteksi terhadap udara luar
karena 94strukturnya yang berlapis
d) Sel silia yang berperan untuk mlemparkan benda asing ke luar dalam
usaha untuk membersihkan jalan napas (Seeley, 2004).

Gambar 3. Rongga hidung

Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan


menjadi rongga hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang
sempit, yang disebut septum. Masing-masing rongga hidung dibagi
menjadi 3 saluran oleh penonjolan turbinasi atau konka dari dinding
lateral. Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat
banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir di
sekresi secara terus-menerus oleh sel-sel goblet yang melapisi
permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke nasofaring
oleh gerakan silia (Seeley, 2004).
6

Rongga hidung dimulai dari Vestibulum, yakni pada bagian


anterior ke bagian posterior yang berbatasan dengan nasofaring.
Rongga hidung terbagi atas 2 bagian, yakni secara longitudinal oleh
septum hidung dan secara transversal oleh konka superior, medialis, dan
inferior (Seeley, 2004).
Fungsi Rongga Hidung
Terdapat 3 fungsi Rongga Hidung, antara lain :
a) Dalam hal pernafasan, udara yang diinspirasi melalui rongga hidung
akan menjalani tiga proses yaitu penyaringan (filtrasi),
penghangatan, dan pelembaban. Penyaringan dilakukan oleh
membran mukosa pada rongga hidung yang sangat kaya akan
pembuluh darah dan glandula serosa yang mensekresikan mukus cair
untuk membersihkan udara sebelum masuk ke Oropharynx.
Penghangatan dilakukan oleh jaringan pembuluh darah yang sangat
kaya pada ephitel nasal dan menutupi area yang sangat luas dari
rongga hidung. Dan pelembaban dilakukan oleh concha, yaitu suatu
area penonjolan tulang yang dilapisi oleh mukosa.
b) Epithellium olfactory pada bagian meial rongga hidung memiliki
fungsi dalam penerimaan sensasi bau.
c) Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukkan suara-suara
fenotik dimana ia berfungsi sebagai ruang resonansi.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh
mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 3 buah konka. Yang
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang
lebih kecil lagi ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior
(Boies, 2012).
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior
merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka - konka dan
dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
7

dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius
terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara
konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid (Boies, 2012).

Vaskularisasi dan Persarafan


Pendarahan dinding medial dan lateral cavitas nasi terjadi melalui
cabang arteria spheno palatina, arteria ethmoidalis anterior dan arteria
ethmoidalis posterior, arteri palatina mayor, arteri labialis superior, dan
rami lateralis arteria facialis. Plexus venosus menyalurkan darah
kembali ke dalam vena sphenopalatina, vena facialis, dan vena
ophtalmica (Boies, 2012).
Persarafan bagian dua pertiga inferior membran mukosa hidung
terutama terjadi melalui nervus nasopalatinus, cabang nervus cranialis
V2. Bagian anterior dipersarafi oleh nervus ethmoidalis anteior, cabang
nervus nasociliaris yang merupakan cabang nervus cranialis V1.
Dinding lateral cavitas nasi memperoleh persarafan melalui rami
nasales maxilaris (nervus cranialis V2), nervus palatinus major, dan
nervus ethmoidalis anterior (Boies, 2012).

2. Faring
8

Gambar 4. Anatomi
Faring

Faring
merupakan
saluran yang
memiliki panjang kurang lebih 13 cm yang menghubungkan nasal dan
rongga mulut kepada larynx pada dasar tengkorak. Faring meluas dari
dasar cranium sampai tepi bawah cartilago cricoidea di sebelah anterior
dan sampai tepi bawah vertebra cervicalis VI di sebelah posterior. Dinding
faring terutama dibentuk oleh dua lapis otot-otot faring. Lapisan otot
sirkular di sebelah luar terdiri dari tiga otot konstriktor. Lapisan otot
internal yang terutama teratur longitudinal, terdiri dari muskulus
palatopharyngeus, musculus stylopharingeus, dan musculus
salphingopharingeus. Otot-otot ini mengangkat faring dan laring sewaktu
menelan dan berbicara. Faring adalah tempat dari tonsil dan adenoid.
Dimana terdapat jaringan limfe yang melawan infeksi dengan melepas sel
darah putih ( limfosit T dan B). Berdasarkan letaknya faring dibagi
menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring (Boies, 2012).
Nasofaring disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang
terletak dibelakang rongga hidung,diatas Palatum Molle dan di bawah
dasar tengkorak. Dinding samping ini berhubungan dengan ruang
9

telinga tengah melalui tuba Eustachius. Bagian tulang rawan dari tuba
Eustachius menonjol diatas ostium tuba yang disebut Torus Tubarius.
Tepat di belakang Ostium Tuba. Terdapat cekungan kecil disebut
Resesus Faringeus atau lebih di kenal dengan fosa Rosenmuller; yang
merupakan banyak penulis merupakan lokalisasi permulaan tumbuhnya
tumor ganas nasofaring (Boies, 2012).
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga
mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikalis. struktur yang
terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula,
tonsil lingual dan foramen sekum. Laringofaring batas laingofaring di
sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah laring,
batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebre
servikal (Boies, 2012).
Fungsi Faring
nasofaring  ada saluran penghubung antara nasopharinx dengan telinga
bagian tengah, yaitu Tuba Eustachius dan Tuba Auditory
 ada Phariyngeal tonsil (adenoids), terletak pada bagian
posterior nasopharinx, merupakan bagian dari jaringan
Lymphatic pada permukaan posterior lidah
 Mempunyai fungsi respiratorik.

orofaring  Merupakan bagian tengah faring antara palatum lunak dan


tulang hyoid. Refleks menelan berawal dari orofaring
menimbulkan dua perubahan, makanan terdorong masuk ke
saluran pencernaan (oesephagus) dan secara simultan katup
menutup laring untuk mencegah makanan masuk ke dalam
saluran pernapasan
 Mempunyai fungsi pencernaan makanan
laringofaring  Merupakan posisi terendah dari faring. Pada bagian
bawahnya, sistem respirasi menjadi terpisah dari sistem
digestil. Makanan masuk ke bagian belakang, oesephagus
10

dan udara masuk ke arah depan masuk ke laring.

Vaskularisasi dan persarafan


Arteria tonsillaris, cabang arteria facialis melintas lewat musculus
constrictor pharyng superior dan masuk ke kutub bawah tonsil. Tonsila
palatina juga menerima ranting-ranting arterial dari arteria palatina
ascendens, arteria lingualis, arteria palatina descendens, dan arteria
pharyngea ascendens (Boies, 2012).
Ketiga muskulus konstriktor faring dipersyarafi oleh plexus
pharyngealis (nervus glossopharyngeus) yang terletak pada dinding lateral
faring, terutama pada muskulus konstriktor faringealis medius. Susunan
secara bertumpang tindih muskulus konstriktor menyisakan empat celah
pada otot-otot tersebut untuk struktur yang memasuki faring (Boies, 2012).
3. Laring
Laring tersusun atas 9 Cartilago (6 Cartilago kecil dan 3 Cartilago
besar). Terbesar adalah Cartilago thyroid yang berbentuk seperti kapal,
bagian depannya mengalami penonjolan membentuk “adam’s apple”, dan
di dalam cartilago ini ada pita suara. Sedikit di bawah cartilago thyroid
terdapat cartilago cricoid. Laring menghubungkan Laringopharynx dengan
trachea, terletak pada garis tengah anterior dari leher pada vertebrata
cervical 4 sampai 6 (Boies, 2012).
11

Gambar 5. Anatomi laring

Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya


vokalisasi. Laring juga melindungi jalan napas bawah dari obstruksi benda
asing dan memudahkan batuk. Laring sering disebut sebagai kotak suara
dan terdiri atas:

Epiglotis daun katup kartilago yang menutupi ostium ke


arah laring selama menelan
Glotis ostium antara pita suara dalam laring
Kartilago Thyroid kartilago terbesar pada trakea, sebagian dari
kartilago ini membentuk jakun ( Adam’s Apple )
Kartilago Krikoid satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam
laring (terletak di bawah kartilago thyroid )
Kartilago Aritenoid digunakan dalam gerakan pita suara dengan
kartilago thyroid
Pita suara ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang
menghasilkan bunyi suara; pita suara melekat
pada lumen laring.

2.2 Definisi Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA)


Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas
(laring) yang disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor dan
kelumpuhan nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada saluran
pernapasan terganggu (Soepardi, 2012).

2.3 Etiologi dan Gejala Klinis Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA)
Obstruksi saluran napas bagian atas disebabkan oleh kelainan
kongenital, trauma, tumor, infeksi, paralysis satu atau kedua plika vokalis,
maupun karena benda asing (Sjamsuhidajat, 2010).
12

Tabel 1. Etiologi obstruksi saluran nafas atas.

Jenis Kelainan

Kongenital Atresia koana


Stenosis supraglotis, glotis dan
subglotis
Laringomalasia

Radang Epiglotitis
Angina ludwig
Tonsilitis
Abses parafaring atau retrofaring

Traumatik Fraktur tulang mandibula


Paralisis n.laringeus
Cedera laringotrakeal
Intubasi lama : udem/stenosis

Tumor Hemangioma
Papiloma laring rekuren
Limfoma
Tumor ganas tiroid
Karsinoma sel skuamosa laring, faring

Lain-lain Benda asing


Udema angioneurotik

1. Kongenital
a. Atresia koana
Atresia koana adalah tertutupnya satu atau kedua posterior kavum
nasi oleh membran abnormal atau tulang. Hal ini terjadi akibat
kegagalan embriologik dari membran bukonasal untuk membelah
sebelum kelahiran. Gejala yang paling khas pada atresia koana adalah
tidak adanya atau tidak adekuatnya jalan napas hidung. Pada bayi baru
13

lahir yang hanya bisa bernapas melalui hidung, kondisi ini merupakan
keadaan gawat darurat dan perlu pertolongan yang cepat pada jalan
napas atas untuk menyelamatkan hidupnya. Obstruksi koana unilateral
kadang-kadang tidak menimbulkan gejala pada saat lahir tapi kemudian
akan menyebabkan gangguan drainase nasal kronis unilateral pada masa
anak-anak sedangkan atresia koana bilateral menyebabkan keadaan
darurat pada saat kelahiran.

Gambr6.Atesikon

Atresia koana bilateral memerlukan tindakan yang darurat


bertujuan untuk menjamin jalan napas, karena dapat menyebabkan
asfiksia berat dan kematian setelah kelahiran. Kelainan penyerta yaitu
adanya meningosil sehingga operasi ini dilakukan bersama bagian
Bedah Saraf. Tindakan yang dilakukan adalah koanoplasti dan
pemasangan stent menggunakan pipa nasogastrik ukuran 12
(Soepardi,2012).
b. Stenosis subglotik
Pada daerah subglotik, 2-3 cm dari pita suara, sering terdapat
penyempitan. Kelainan yang dapat menyebabkan stenosis subglotik
ialah:
a) Penebalan jaringan submukosa dengan hyperplasia kelenjar mucus
dan fibrosis.
b) Kelainan bentuk tulang rawan krikoid dengan lumen yang lebih
kecil.
c) Bentuk tulang rawan normal dengan ukuran lebih kecil
14

d) Pergeseran cincin trakea pertama kearah atas belakang ke dalam


lumen krikoid.
Gejala stenosis subglotik ialah stridor, dispneu, retraksi di
suprasternal, epigastrium, interkostal serta subklavikula. Pada stadium
yang lebih berat akan ditemukan sianosis dan apnea sebagai akibat
sumbatan jalan, sehingga mungkin juga terjadi gagal pernafasan
(respiratory distress). Terapi tergantung kelainan yang menyebabkannya
(Soepardi,2012).

Gambar 7. Stenosis subglotik


15

Pada umumnya terapi stenosis subglotik yang disebabkan oleh


kelainan submukosa ialah dilatasi atau dengan laser CO 2. Stenosis
subglotik yang disebabkan oleh kelainan bentuk tulang rawan krikoid
dilakukan terapi pembedahan dengan melakukan rekontruksi
(Soepardi,2012).
nc.Lgoarimls
dPastiumwlepknogh,daitrslekwbhnmupoagti.Ddlsebrf,nyui(tod).Smpakgwejl,ntuhimbdakselyrng(Soepardi,2012).

Gambr8n.Lgoils

Tanudmbstjlpfihgeyknca(rs)dupt,imekolnavr.uBbstimh,edlknaor(Soepardi,2012).
2. Radang
a. Epiglotits akut
Epiglotitis akut adalah suatu keadaan inflamasi akut yang terjadi
pada daerah supraglotis dari orofaring, meliputi epiglotis, valekula,
aritenoid, dan lipatan ariepiglotika.4 Epiglotitis akut biasanya
disebabkan oleh infeksi bakteri, bakteri paling sering ditemukan adalah
Haemophilus influenza. Epiglotitis akut paling sering terjadi pada anak-
anak berusia 2-4 tahun namun akhir-akhir ini dilaporkan bahwa
prevalensi dan insidennya meningkat pada orang dewasa. 5 Onset dari
gejala epiglotitis akut biasanya terjadi tiba-tiba dan berkembang secara
cepat. Pada pasien anak-anak, gejala yang sering ditemui adalah sesak
16

napas dan stridor yang didahului oleh demam, sedangkan pada pasien
dewasa gejala yang terjadi lebih ringan, dan yang paling sering
dikeluhkan adalah nyeri tenggorokan dan nyeri saat menelan
(Soepardi,2012).
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan riwayat perjalanan penyakit
dan tanda serta gejala klinis yang ditemui, dan dari foto rontgen lateral
leher yang memperlihatkan edema epiglotis (thumb sign)dan dilatasi
6
dari hipofaring. Penatalaksanaan pada pasien dengan epiglotitis
diarahkan kepada mengurangi obstruksi saluran napas dan menjaganya
agar tetap terbuka serta mengeradikasi agen penyebab.4 Dapat
dilakukan intubasi jika telah terjadi obstruksi, dengan ekstubasi setelah
48-72 jam, serta pemberian antibiotika yang adekuat (Soepardi,2012).
3. Trauma
a. Fraktur tulang mandibula
Fraktur ini paling sering terjadi. Fraktur mandibula ini sangat
penting dihubungkan dengan adanya otot yang bekerja dan berregio
atau berisersio pada mandibula yaitu otot elevator, otot depressor, dan
otot protusor. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat
kerusakan rahang bawah dengan gejala berikut :
a) Pembengkakan, ekimosis atau laserasi pada kulit
b) Nyeri
c) Anastesi pada satu bibir bawah, gusi,
d) Maloklusi
e) Gangguan morbilitas atau krepitasi
f) Malfungsi berupa trismus, rasa nyeri waktu mengunyah
Penanggulangan fraktur madibula tergantung pada lokasi fraktur,
luasnya fraktur, dan keluhan yang diderita. Lokasi fraktur ditentukan
oleh pemeriksaan radiografi (Soepardi,2012).
b. Paralisis laring
1) Paralisis n. laringeus superior
Cabang ekstern n. laringeus superior mensarafi m. krikotiroid yang
menegangkan pikta suara.cabang internnya mengurus mukosa laring.
Paralisis n. laringeus superior di proksimal percabangannya menjadi
cabang ekstern dan intern menyebabkan penderita tersedak bila
minum akibat anastesi mukosa sebab tidak merasa minuman turun.
Terjadi juga perubahn nada dan resonansi suara bila penderita bicara
17

keras atau menyanyi terlalu lama karena tegangan pita suara


terganggu. Gerakan abduksi dan adduksi pita suara tidak terganggu
(Boies,2014).
2) Paralisis n. laringeus rekurens
N.laringeus rekurens atau n. laringeus inferior melayani m.abduktor
dan m.adduktor pita suara. Paralisis n. laringeus inferior
mengakibatkan suara mendesau. Gejala ini dapat menghilang dalam
beberapa minggu bila terjadi kompensasi oleh otot aduktor
kontralateral sehingga pita suara yang sehat bergerak melewati garis
tengah sehingga bertemu dengan pita suara yang lumpuh
(Boies,2014).
Paralisis bilateral n. laringeus rekurens menyebabkan sesak nafas
karena celah suara sempit karena kedua pita suara tidak dapat
abduksi pada inspirasi, sehingga menetap pada posisi paramedian.
Oleh karena itu, penderita terpaksa istirahat dan menghindari
keadaan yang memerlukan lebih banyak zat asam seperti kerja,
gerakan berlebihan, takut dan demam (Boies,2014).

4. Tumor
a. Hemangioma
Hemangioma biasanya timbul di daerah subglotik. Sering pula
disertai dengan hemangioma di tempat lain, seperti di leher.
18

Gambr9.Heongi

Gejalanya ialah terdapat hemoptisis dan bila tumor itu besar,


terdapat juga sumbatan laring. Terapinya ialah dengan bedah laser,
kortikosteroid atau dengan obat-obat skleroting (Soepardi,2012).
b. Papiloma laring
Tumor ini digolongkan dalam 2 jenis :
1) Papiloma laring juvenile, ditemukan pada anak, biasanya berbentuk
multiple dan mengalami regresi saat dewasa
2) Pada orang dewasa biasanya berbentuk tunggal, tidak akan
mengalami resolusi dan merupakan prekanker.
Gejala utama adalah suara parau. Kadang-kadang terdapat pula
betuk. Apabila papiloma telah menutup rima glottis maka timbul sesak
nafas dengan stridor. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
gejala klinis, pemeriksaan laring langsung, biopsy serta pemeriksaan
patologi-anatomik (Soepardi,2012).
19

Gambr10.oPpilng

Terapi :
- Ekstirpasi papiloma dengan bedah mikro atau juga dengan sinar
laser. Karena sering tumbuh lagi, tindakan ini diulang berkali-kali.
Kadang dalam seminggu tampak papiloma tumbuh lagi.
- Sekarang tersangka penyababnya ialah virus, untuk terapinya
diberikan vaksin dari massa tumor, obat anti virus, hormone, kalsium
atau ID methionin.
Tidak dianjurkan memberikan radioterapi karena papiloma dapat
berubah menjadi ganas.
5. Benda Asing Saluran Nafas Atas
a) Benda asing di hidung
Benda asing di hidung sering terjadi pada anak, dan pada anak
sering luput dari perhatian, gejala yang sering ditimbul yaitu hidung
tersumbat, rinore unilateral dengan cairan kental dan berbau, kadang –
kadang demam, nyeri, epitaksisi dan bersin. Hasil pemeriksaan
tampak edem dengan inflamasi mukosa hidung unilateral dan dapat
terjadi ulserasi (Soepardi,2012).
Cara mengeluarkan benda asing dari dalam hidung ialah dengan
memakai pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian
atas, menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring.
20

Setelah itu pengeit diturunkan sedikit dan ditarik ke depan, dengan


cara ini menda asing ikut terbawa keluar. Dapat pula menggunakan
cunam Nortman atau “wire loop”. Pemberian antibiotic sistemik
selama 5 – 7 hari hanya jika kasus benda asing hidung yang telah
menimbulkan infeksi (Soepardi,2012).
b) Benda asing di orofaring dan hipofaring
Benda asing di orofaring dan hipofaring dapat tersangkut antara
lain di tonsil, dasar lidah, valekula dan sinus piriformis yang akan
menimbulkan rasa nyeri menelan (odinofagia), baik saat makan
maupun meludah, terutama benda asing tajam seperti tulang ikan dan
tulang ayam. Pemeriksaan di dasar lidah, valekula dan sinus piriformis
diperlukan kaca tenggorokan yang besar (no 8 – 10). Benda asing di
sinus piriformis menunjukkan tanda Jakcson (Jackson’s Sign) yaitu
terdapat akumulasi ludah di sinus piriformis tempat benda asing
tersangkut (Soepardi,2012).
Bila benda asing menyumbat intoitus esophagus, maka tampak
ludah tergenang di kedua sinus piriformis. Benda asing di tonsil dapat
diambil dengan memakai pinset atau cunam. Biasanya yang
tersangkut di tonsil ialah benda tajam, seperti tulang ikan, jarum, atau
kail. Benda asing di dasar lidah, dapat dilihat dengan kaca
tenggorokan yang besar (Soepardi,2012).
Pasien diminta menarik lidah sendiri dan pemeriksaan
memegang kaca tenggorokan dengan tangan kiri, sedangkan tangan
kanan memegang cunam untuk mengambil benda tersebut. Bila pasien
sangat perasa sehingga menyulitkan tindakan, maka sebelumnya dapat
disemprotkan obat pelali (anestetikum), seperti xylocain atau
pantocain. Tindakan pada benda asing di valekula dan sinus piriformis
kadang – kadang untuk mengeluarkannya dilakukan dengan cara
laringoskopi langsung (Soepardi,2012).
21

Gambar 11. Laringoskopi

c) Benda asing di laring

Benda asing pada laring bisa bersifat total atau subtotal. Jika
benda asing dilaring menutupi secara total merupakan kegawatan dan
akan menimbulkan gejala berupa disfonia sampai afonia, apne dan
sianosis. Pertolongan pertama harus segera dilakukan karena asfiksia
dapat terjadi dalam waktu hany abeberapa menit. Tehnik yang
dilakukan berupa Heimlich (Heimlich manueuver). Menurut teori
Heimlich , benda asing masuk ke dalam laring ialah pada waktu
inspirasi, dengan demikian paru penuh oleh udara, diibaratkan sebagai
botol plastik yang tertutup, dengan menekan botol itu maka sumbatan
akan terlempar keluar (Soepardi,2012).

Gambar 12. Perasat Heimlich

Sumbatan tidak total dilaring dapat menyebabkan gejala suara


parau, disfonia sampai afonia, batuk yang di sertai sesak, odinofagia,
mengi, sianosis, hemoptisis dan rasa subyektif dari benda asing
(pasien akan menunjuk lehernya sesuai dengan letak benda asing itu
22

tersangkut) dan dispne dengan derajat bervariasi. Gejala dan tanda ini
jelas bila benda asing masih tersangkut di laring, dapat juga benda
asing sudah turun ke trakea, tetapi masih meninggalkan reaksi laring
oleh karena udem. Pada kasus sumbatan subtotal, tidak menggunakan
perasat Heimlich, pasien masih dapat dibawa ke rumah sakit terdekat
untuk di beri pertolongan dengan menggunakan laringoskop atau
bronkoskop, atau jika alat – alat tersebut tidak tersedia maka dapat di
lakukan trakeostomi, dengan pasien tidur dengan posisi
Trendelenburg, kepala lebih rendah dari badan, supaya benda asing
tidak turun ke trakea (Soepardi,2012).
2.4 Diagnosis Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Gejala dan tanda
sumbatan yang tampak adalah :
a. Serak (disfoni) sampai afoni
b. Sesak napas (dispnea)
c. Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.
d. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari
otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.
e. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)
f. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia
(Soepardi,2012).
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mengetahui letak dan penyebab sumbatan, diantaranya adalah :3
a. Laringoskop. Dilakukan bila terdapat sumbatan pada laring.
Laringoskop dapat dilakukan secara direk dan indirek.
b. Nasoendoskopi
c. X-ray. Dilakukan pada foto torak yang mencakup saluran nafas bagian
atas. Apabila sumbatan berupa benda logam maka akan tampak
gambaran radiolusen. Pada epiglotitis didapatkan gambaran thumb like.
d. Foto polos sinus paranasal
23

e. CT-Scan kepala dan leher


f. Biopsi
2.5 Stadium Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA)
Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium: 1

Stadium I Adanya retraksi di suprasternal dan stridor. Pasien tampak tenang


Stadium II Retraksi pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin
dalam, ditambah lagi dengan timbulnya retraksi di daerah
epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah.
Stadium III Retraksi selain di daerah suprastrenal, epigastrium juga terdapat
di infraklavikula dan di sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan
dispnea.
Stadium IV Retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak sangat
ketakutan dan sianosis, jika keadaan ini berlangsung terus maka
penderita akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik
karena hiperkapnea. Pada keadaan ini penderita tampaknya
tenang dan tertidur, akhirnya penderita meninggal karena asfiksia
(Soepardi,2012).

2.6 Tindakan Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA)


Pada prinsipnya penanggulangan pada obstruksi atau obstruksi saluran
napas atas diusahakan supaya jalan napas lancar kembali.

Tindakan konservatif Pemberian antiinflamasi, antialergi,


antibiotika serta pemberian oksigen
intermiten, yang dilakukan pada
obstruksi laring stadium I yang
disebabkan oleh peradangan.
Tindakan operatif/resusitasi Memasukkan pipa endotrakeal melalui
mulut (intubasi orotrakea) atau
melalui hidung (intubasi nasotrakea),
membuat trakeostoma yang dilakukan
pada obstruksi laring stadium II dan III,
atau melakukan krikotirotomi yang
dilakukan pada obstruksi laring stadium
IV.1,5,6
24

Untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas ada tiga cara, yaitu :

1. Intubasi
a) Intubasi dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakeal lewat mulut atau
hidung.
b) Intubasi endotrakea merupakan tindakan penyelamat (lifesaving
procedure) dan dapat dilakukan tanpa atau dengan analgesia topikal
dengan xylocain 10%.
Indikasi intubasi endotrakea adalah :
a) Untuk mengatasi obstruksi saluran napas bagian atas.
b) Membantu ventilasi.
c) Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial.
d) Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau berasal dari
lambung.
Keuntungan intubasi, yaitu:
a) Tidak cacat karena tidak ada jaringan parut.

b) Mudah dikerjakan.
Kerugian intubasi, yaitu:
a) Dapat terjadi kerusakan lapisan mukosa saluran napas atas.
b) Tidak dapat digunakan dalam waktu lama.
c) Orang dewasa 1 minggu, anak-anak 7-10 hari.
d) Tidak enak dirasakan penderita.
e) Tidak bisa makan melalui mulut.
f) Tidak bisa bicara.
Komplikasi yang dapat timbul yaitu

Stenosis laring atau trakea.


Teknik intubasi endotrakea:
1) Posisi pasien tidur telentang, leher fleksi sedikit dan kepala ekstensi
2) Laringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan tangan kiri,
dimasukkan melalui mulut sebelah kanan, sehingga lidah terdorong ke kiri.
Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu laringoskop
diangkat keatas, sehingga pita suara dapat terlihat.
3) Dengan tangan kanan, pipa endotrakea dimasukkan melalui mulut terus
melalui celah antara kedua pita suara kedalam trakea.
4) Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik.
25

5) Jika menggunakan spatel laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur
telentang itu pundaknya harus diganjal dengan bantal pasir, sehingga
kepala mudah diekstensikan maksimal.
6) Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan
dimasukkan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat
horizontal ketas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat.
7) Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukkan melalui
celah pita suara sampai di trakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa
endotrakea difiksasi dengan plester.

2.
Gambar 13. Teknik pelaksanaan intubasi endotrakea

Laringotomi (Krikotirotomi)
Laringotomi dilakukan dengan membuat lubang pada membran
tirokrikoid (krikotirotomi). Krikotiromi merupakan tindakan penyelamat
pada pasien dalam keadaan gawat napas. Bahayanya besar tetapi mudah
dikerjakan, dan harus dikerjakan cepat walaupun persiapannya darurat.
Krikotirotomi merupakan kontraindikasi pada anak di bawah usia 12
tahun, demikian juga pada tumor laring yang sudah meluas ke subglotik
dan terdapat laringitis (Soepardi, 2012).
26

Bila kanul dibiarkan terlalu lama maka akan timbul stenosis


subglotik karena kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan-
jaringan di sekitar subglotis, sehingga terbentuk jaringan granulasi dan
sebaiknya diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam (Soepardi,
2012).
27

Gambar 14. Krikotirotomi yang dilakukan pada obstruksi laring


stadium IV
28

3. Trakeostomi
Trakeostomi adalah suatu tindakan bedah dengan mengiris atau
membuat lubang sehingga terjadi hubungan langsung lumen trakea dengan
dunia luar untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas (Soepardi,
2012).

Indikasi trakeostomi adalah:


a) Mengatasi obstruksi laring.
b) Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran pernapasan atas.
c) Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus.
d) Untuk memasang alat bantu pernapasan (respirator).
e) Untuk mengambil benda asing di subglotik, apabila tidak mempunyai
fasilitas bronkoskopi.
Keuntungan trakeostomi yaitu:
a) Dapat dipakai dalam waktu lama.
b) Trauma saluran napas tidak ada.
c) Penderita masih dapat berbicara sehingga kelumpuhan otot laring dapat
dihindari.
d) Penderita merasa enak dan perawatan lebih mudah
e) Penderita dapat makan seperti biasa.
f) Menghindari aspirasi, menghisap sekret bronkus.
g) Jalan napas lancar, meringankan kerja paru.
Kerugian trakeostomi, yaitu:
a) Tindakan lama.
b) Cacat dengan adanya jaringan sikatrik.

Jenis irisan trakeostomi ada dua macam:


a) Irisan vertikal di garis median leher.
b) Irisan horizontal.
Berdasarkan jenis trakeostomi:
a) Trakeostomi letak tinggi, yaitu di cincin trakea 2-3.
b) Trakeostomi letak tengah, yaitu setinggi trakea 3-4.
c) Trakeostomi letak rendah, yaitu setinggi cincin trakea 4-5.
29

Untuk perawatan trakeostomi, yang harus diperhatikan adalah:


1) Kelembaban udara masuk.
a) Dapat dilakukan dengan uap air basah hangat.
b) Nebulizer.
c) Kassa steril yang dibasahi diletakkan di permukaan stoma.
2) Kebersihan dalam kanul.
a) Jangan tersumbat oleh sekret, dianjurkan disuksion ½-1 jam pada
24 jam pertama dan tidak boleh terlalu lama setiap suksion,
biasanya 10-15 detik. Bila lama penderita bisa sesak atau hipoksia
atau cardiac arrest.
b) Lakukanlah berkali-kali sampai bersih.
3) Anak: kanul dibersihkan setiap hari kemudian pasang kembali.

Pengangkatan kanul dilakukan secepatnya, atau dengan indikasi


berikut:
a) Tutup lubang trakeostomi selama 3 menit, penderita tidak sesak.
b) Dalam 25 jam tidak ada keluhan sesak bila lubang trakeostomi ditutup
waktu tidur, makan dan bekerja.
c) Penderita sudah dapat bersuara.

Komplikasi trakeostomi:
a) Waktu operasi:
Perdarahan, lesi organ sekitarnya, apnea dan shock.
b) Pasca operasi:
Infeksi, sumbatan, kanul lepas, erosi ujung kanul atau desakan cuff pada
pembuluh darah, fistel trakeokutan, sumbatan subglotis dan trakea,
disfagia, granulasi.
30

Gambar 15. Trakeostomi yang dilakukan pada obstruksi


laring

stadium II dan III

4. Perasat Heimlich (Heimlich Maneuver)


Perasat heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang
menyumbat laring secara total atau benda asing ukuran besar yang terletak
di hipofaring (Soepardi, 2012).
Prinsip mekanisme perasat heimlich adalah dengan memberi tekanan
pada paru. Diibaratkan paru sebagai sebuah botol plastik berisi udara yang
31

tertutup oleh sumbatan. Dengan memencet botol plastik itu sumbatan akan
terlempar keluar. Perasat heimlich ini dapat dilakukan pada orang dewasa
dan juga pada anak. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ruptur lambung,
ruptur hati dan fraktur iga (Soepardi, 2012).
Teknik perasat heimlich:
1) Penolong berdiri di belakang pasien sambil memeluk badannya.
2) Tangan kanan dikepalkan dan dengqan bantuan tangan kiri, kedua
tangan diletakkan pada perut bagian atas.
3) Kemudian dilakukan penekanan pada rongga perut kearah dalam dan
kearah atas dengan hentakan beberapa kali. Diharapkan dengan
hentakan 4-5 kali benda asing akan terlempar keluar. Pada anak,
penekanan cukup dengan memakai jari telunjuk dan jari tengah kedua
tangan.
4) Pada pasien yang tidak sadar atau terbaring, dapat dilakukan dengan
cara penolong berlutut dengan kedua kaki pada kedua sisi pasien.
Kepalan tangan diletakkan di bawah tangan kiri di daerah epigastrium.
5) Dengan hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali
udara dalam paru akan mendorong benda asing keluar.
32

Gambar 16. Perasat heimlich


33

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Sumbatan atau obstruksi saluran napas atas merupakan
kegawatdaruratan yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian.
Obstruksi saluran napas atas dapat disebabkan oleh radang akut dan
radang kronis, benda asing, trauma akibat kecelakaan, perkelahian,
percobaan bunuh diri dengan senjata tajam dan trauma akibat tindakan
medik yang dilakukan dengan gerakan tangan kasar, tumor pada laring
berupa tumor jinak maupun tumor ganas, serta kelumpuhan nervus
rekuren bilateral.
Penanggulangan pada obstruksi saluran napas atas bertujuan agar
jalan napas lancar kembali. Tindakan konservatif berupa pemberian
antiinflamasi, anti alergi, antibiotika serta pemberian oksigen intermiten,
yang dilakukan pada sumbatan laring stadium I yang disebabkan oleh
peradangan. Tindakan operatif atau resusitasi dengan memasukan pipa
endotrakeal melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui hidung
(intubasi nasotrakea) membuat trakeostoma yang dilakukan pada
sumbatan laring stadium II dan III atau melakukan krikotirotomi yang
dilakukan pada sumbatan laring stadium IV. Perasat heimlich digunakan
untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring secara total atau
benda asing ukuran besar yang terletak di hipofaring. Penanggulanan
sumbatan saluran napas atas yang tepat dan cepat sangat dibutuhkan untuk
mencegah kematian.
34

DAFTAR PUSTAKA

1. Seeley, stephens, tate. 2004. Anatomy and physiology, sixth edition. The
McGrow – Hill Companies avaible in serve.
FKUnram.edu/anatomyfisiology
2. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Editor. Kepala dan Leher dalam: Buku
ajar ilmu bedah. Edisi revisi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2014.
3. Soepardi, efiaty dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Ed ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal:
162-259
4. Adams GL, Boies LR, Jr. Highler PA. Boies Buku Ajar THT. Edisi 6.
Effendi H. Santoso RAK. Editor. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.
5. Snow, J. B. Ballenger, J. J. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck
surgery. 16th ed. USA: BC Decker; 2003
6. Jong Wim De.,R.Sjamsuhidrajat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.
EGC.2005
7. Maisel, Robert H. Trakeostomi. In:BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6th
ed. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. p; 473-485
8. Hermani B, Abdurrachman. Penanggulangan sumbatan laring. Dalam:
S.A.Efiaty, I.Nurbaiti, B.Jenny, R.D.Ratna (editor). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2003 : 243 - 253.

Anda mungkin juga menyukai