Anda di halaman 1dari 7

A.

Patofisiologi dan Patogenesis


Penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi (Arora, 2014 &
Suwitra, 2007).
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β
(TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerolus maupun interstitial (Suwitra, 2007).
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan kemih
menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot (sama dengan
konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.
Retensi cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu
mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa terhadap
masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita sering menahan
cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal
jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi

1
aksis rennin dan angiotensin. Kerjasama keduanya meningkatkan sekresi
aldosteron (Price et al, 2005).
Saat muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium yang dapat
mempreberat stadium uremik. Dengan berkembangnya penyakit renal terjadi
asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus ginjal mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi
natrium bikarbonat (Price et al, 2005).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin yang
tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin adalah suatu
substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sum-sum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD, produksi erytropoetin
menurun dan anemia berat akan terjadi disertai keletihan, angina dan sesak nafas
(Price et al, 2005).
Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan fosfat.
Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling berlawanan. Dengan
menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat
serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et al, 2005).
Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang
akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat – zat sisa.
Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam urine
penderita.Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et al, 2005).
Penderita CKD juga dapat mengalami osteophorosis sebagai akibat dari
menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al,
2005).
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium,
yaitu:
a. Stadium ringan (Penurunan fungsi ginjal)

2
Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal dan penderita
asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui
dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test
pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti
(Suwitra, 2007).
b. Stadium sedang (insufisiensi ginjal)
Stadium ini terjadi dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah
rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini kadar BUN baru
mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini
berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini,
kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal.
Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya mengalami stress
akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi.
Pada stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan
poliuria (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala
ini timbul sebagai respons terhadap stress dan perubahan makanan atau
minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan
gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti (Suwitra, 2007).
c. Stadium berat (Gagal ginjal)
Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia, asidosis,
ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan elektrolit
(hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia). Keadaan gagal ginjal
terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai memberikan efek pada sistem
organ lain.
d. Stadium terminal gagal ginjal kronik (End Stage Renal Disease)
Stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium akhir
atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari
massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang
masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan

3
kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini
kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok
sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan.
Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala
yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis
dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya
menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena
kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang
tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang
dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh.
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium,
tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-stadium
tersebut (Suwitra, 2007).

B. Manifestasi klinis
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, dan kelainan kardiovaskular.
1. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia terjadi karena akibat
eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah akibat
hemolisis, defisiensi besi serta asam folat dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Eritropoetin, suatu subtansi normal yang diproduksi oleh
ginjal menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi ,
disertai keletihan dan nafas sesak.

4
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /
serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC),
feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan
adanya hemolisis dan sebagainya (Price et al, 2005).
2. Kelainan saluran cerna
Masalah utama hasil akumulasi biokimia tidak hanya urea saja, tetapi
bermacam-macam elektrolit dan zat lainnya, terutama nitrogen. Urea dapat
menyebabkan masalah pada saluran pencernaan pada pasien gagal ginjal.
Walaupun terjadi peningkatan kadar asam urat, tetapi gejala klinik gout jarang
terjadi. Gejala uremia berupa mual, muntah, dan hilang nafsu makan sering
merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama
pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah diduga berhubungan
dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah
yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah
pembatasan diet protein dan antibiotika (Price et al, 2005).
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Konsentrasi urin sering berkurang pada stadium awal
penyakit,menyebabkan poliuria dengan urin yang encer dan risiko dehidrasi
serta pengurangan elektrolit, ini terjadi pada fase poliuri gagal ginjal akut. Hal
ini dapat terjadi sebagai hasil dari induksi diuretik osmotik dengan
peningkatan kadar urea pada filtrasi tubulus. Pada stadium selanjutnya,
volume urin berkurang dan terjadi retensi natrium dan air yang dapat
menyebabkan hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik. Komplikasi lain
yang dapat terjadi karena hipervolemia adalah udem, termasuk udem paru dan
gagal jantung. Pada onset gagal ginjal akhir pasien dapat mengalami anuria.

4. Kelainan mata

5
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya
hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan
pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi
maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.
Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan
gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati
mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat
penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
5. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini
akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering
dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost. Urea dapat menyebabkan masalah pada kerapuhan
pembuluh kapiler, serta menyebabkan purpura (lebam) pada pasien gagal
ginjal
6. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal
jantung. Hipertensi terjadi karena adanya retensi cairan dan gangguan sistem
renin-angiotensin (Suwitra, 2007).

6
DAFTAR PUSTAKA

Arona, Pradeep. 2014. Chronic Kidney Disease. University of Buffalo State


University of New York School of Medicine and Biomedical Sciences.
http://emedicine. medscape.com/article/238798-overview. Diakses 1 November
2019.
Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses
perjalanan penyakit, volume 1, edisi 6. Jakarta: EGC.
Suwitra, K., 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Edisi keempat. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI,

Anda mungkin juga menyukai