Anda di halaman 1dari 26

1.

1 OAT

1. Farmakokinetik

 Isoniazid
Isoniazid diabsorbsi di traktus gastrointestinal setelah diminum oral.
Konsentrasi plasma tertinggi dicapai 1-2 jam setelah konsumsi. Jika
dikonsumsi bersama makanan, maka bioavailabilitasnya akan berkurang.
Sebagian besar beredar di dalam cairan, termasuk serebrospinal, kulit, sputum,
paru, saliva, dan otot. Metabolisme utamanya adalah mengalami asetilasi di
hepar, melewati beberapa proses dan diubah menjadi zat aktif oleh enzim
mikrosomal hepatik. Metabolit aktif ini dapat menyebabkan hepatotoksisitas.
Isoniazid diekskresikan dalam bentuk utuh dan metabolit melalui ginjal, dan
juga lewat air susu ibu. Selain itu sebagian kecil diekskresi melalui saliva,
sputum, dan feses. Waktu paruh isoniazid bervariasi dari 1-4 jam pada orang
normal, dan memanjang pada gagal ginjal atau gagal hati.

 Rifampicin
Bioavailabilitas rifampisin diperkirakan mencapai 90-95% karena bentuknya
yang siap diabsorbsi lewat traktus gastrointestinal. Kadar plasma tertinggi dari
rifampisin dicapai setelah 2-4 jam sejak masuk lewat oral. Konsumsinya
bersama makanan akan memperlambat tetapi tidak menurunkan absorbsi obat.
Waktu paruh dari rifampisin adalah 1,5-5 jam dan memanjang pada kerusakan
hati.
Sekitar 60-90% obat berikatan dengan protein plasma dan didistribusikan ke
organ-organ dan cairan tubuh seperti ke paru, hepar, empedu, dan urin. Dan
sebanyak 60-80% obat ini dimetabolisme di hepar. Sebagian kecil dari obat ini
dimetabolisme menjadi formilrifampin yang memiliki efek bakterisidal 10%.
Sekitar 15-30% obat dikeluarkan melalui ginjal dan hanya 7% dari obat ini
yang dibuang lewat urin dalam bentuk aslinya. Sekitar 60-65% dari obat ini
dibuang melalui empedu dan feses.

 Pirazinamid
Pirazinamid dapat diabsorbsi dengan baik di traktus gastrointestinal. Rata-rata
waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar maksimal di darah adalah 1,6
jam. Sedangkan waktu paruhnya adalah sekitar 10-20 jam. Pirazinamid dapat
didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan, termasuk hepatobilier, paru,
dan ginjal. Pirazinamid juga dapat masuk secara sempurna ke dalam cairan
serebrospinal. Volume total distribusi di tubuh obat ini mencapai 1,57-
1,84l/kg. Kadar obat yang berikatan dengan plasma rendah. Pirazinamid ini
dihidrolisa oleh enzim deamidase mikrosomal menjadi asam pirazinoat,
sebuah metabolit aktif, dan kemudian dihidroksilasi oleh enzim xanthine
oksidase menjadi asam 5-hidropirazinoat. Ekskresi pirazinamid sebagian besar
dalam bentuk metabolit. Dalam 72 jam, sekitar 3% dalam bentuk pirazinamid
yang tetap, 33% asam pirazinoat, dan 36% dalam bentuk metabolit lain
diekskresikan melalui urin.
 Etambutol
Etambutol dapat diabsrobsi dengan baik secara oral. Kadar dalam plasma
tertinggi dapat mencapai 4mg/l dan dicapai dalam 2-4 jam setelah konsumsi
sebanyak 15mg/kgBB. Volume distribusi dapat mencapai 39% dan berikatan
dengan protein plasma sebanyak 25%. Distribusinya luas ke seluruh tubuh
kecuali sistem saraf pusat. Penggunaan bersama dengan makanan akan
mempengaruhi absorpsinya di traktus gastrointestinal. Kadar dalam darah
pada anak-anak lebih rendah dari pada orang dewasa. Metabolisme obat ini
terjadi di hepar, dimana obat ini diubah menjadi bentuk metabolit aldehida
tidak aktif dan asam karboksilat. Ekskresi dari etambutol sebanyak 50-70%
melalui ginjal, sehingga ekskresi obat ini akan lebih lambat pada orang dengan
gangguan ginjal.

 Streptomisin
Streptomisin tidak dapat diabsorbsi dengan baik oleh traktus gastrointestinal,
tetapi melalui jalur intramuskular, antibiotik ini dapat berdifusi dengan baik ke
dalam komponen ekstraseluler dari jaringan tubuh dan mencapai konsentrasi
untuk efek bakterisidalnya, terutama pada cavitas tuberkulosis. Sebagian kecil
normalnya masuk ke dalam cairan serebrospinal, dan biasanya penetrasi ke
cairan serebrospinal ini akan meningkat jika terjadi inflamasi pada selaput
otak. Waktu paruh dari antibiotik ini adalah 2-3 jam, yang biasanya akan
memanjang pada bayi baru lahir, orang tua, maupun pasien dengan gagal
ginjal. Ekskresi dari streptomisin dalam bentuk utuh dan dikeluarkan melalui
urin.

A. Farmakodinamik

 Isoniazid
Mekanisme kerja utama dari isoniazid adalah dengan berfokus pada
pembentukan berbagai senyawa reaktif yaitu reactive oxygen species (ROS).
Setelah isoniazid beredar dalam aliran darah, isoniazid akan berdifusi secara
pasif masuk ke dalam tubuh bakteri, yang mana bentuk tidak aktif dari
isoniazid akan diaktifkan oleh MnCl2 20 dan enzim katalase-peroksidase.
Enzim ini juga berfungsi untuk melawan kadar pH rendah ketika terjadi proses
oksidatf yang mengubah radikal bebas oksigen menjadi H2O2 di dalam
fagosom. Proses ini juga mengubah isoniazid menjadi bentuk aktifnya, dimana
bentuk aktifnya ini akan berikatan dengan NADH di sisi aktif protein InhA.
Kompleks ini akan mengahmbat elongasi dari rantai terakhir asam lemak dan
karenanya pembentukan asam mikolat dan dinding sel pun terhambat,
sehingga juga menyebabkan deoksiribonucleotida acid (DNA) bakteri rusak,
dan kemudian bakteri tersebut akan mati.
Kerja dari isoniazid sangat penting di minggu pertama pengobatan terutama
pada bakteri yang cepat membelah. Pada bakteri yang lambat tumbuh, obat ini
bekerja sebagai bakterisidal

 Rifampisin
Rifampisin dapat dengan mudah berdifusi masuk menyebrangi membran sel
karena karakteristik lipofiliknya. Aktivitas bakterisidal obat ini bergantung
pada kemampuan obat ini untuk menghambat transkripsi ribonucleotida acid
(RNA).
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan berikatan pada beta subunit dari RNA
Polimerase (RNAP) yang bergantung pada DNA sehingga menghambat
transkripsi RNA. Komplek ikatan enzim dan obat ini menghambat inisiasi
pembentukan rantai RNA dan juga elongasinya

 Pirazinamid
Pirazinamid bekerja secara bakteriostatik. Pirazinamid dalam bentuk prodrug
akan dikonversi menjadi asam pirazinoat oleh enzim piramidase bakteri. Asam
pirazinoat dan analognya 5-kloro-pirazinamid dapat menghambat sintesis
asam lemak dari bakteri.
Pirazinamid mengganggu lalu lintas energi dan transport di membran bakteri.
Akumulasi dari asam pirazinoat di dalam kondisi asam akan mengasamkan
sitoplasma dan merusak sel bakteri

 Etambutol
Etambutol bekerja sebagai bakteriostatik melawan bakteri tuberkulosis dan
bakteri yang resisten terhadap agen antimycobacterial lainnya.
Mekanisme kerja dari etambutol adalah menghambat sintesis metabolit
penting dari metabolisme sel dan multiplikasi bakteri dengan menghambat
pembentukan asam mikolat dan dinding sel. Penghambatan sintesis dinding
sel dilakukan dengan menghambat arabinosyl transferases yang terlibat dalam
sintesis dinding sel. Hal ini kemudian mengakibatkan permeabilitas dinding
sel bakteri meningkat.

 Streptomisin
Streptomisin adalah aminoglikosida yang aktif melawan basil aktif yang
sedang tumbuh. Cara kerja dari antibiotik ini adalah dengan menghambat
inisiasi dari translasi untuk sintesis protein. Lebih spesifik, streptomisin
bekerja dengan mengikat subunit 30S dari ribosom pada protein ribosomal
S12 dan rantai rRNA 16 yang dikode gen rpsL dan rrs. Kedua kode gen yang
sering menimbulkan resistensi. Ikatan streptomisin inilah yang kemudian
menghambat pembentukan polipeptida sehingga proses translasi pun
terhambat.

B. Dosis Obat
Alur tatalaksana pasien TB anak dapat dilihat pada skema di bawah ini.

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup


adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter
terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis
yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan
yang berarti, OAT tetap dihentikan.

Panduan obat TB pada anak


Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB
adalah minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama)
dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan,
kecuali pada TB berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada
tahap intensif maupun tahap lanjutan.

Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan


dalam bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa
pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif, yaitu
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap
lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniasid (H).

DOSIS OBAT :

 INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari


 Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari
 Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000 mg/hari
 Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari
 Streptomisin: 15–40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000 mg/hari

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang


relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam
bentuk Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC).
Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu:

 Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H


(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
 Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan
H (Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan.

Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan komposisi dari tablet KDT tersebut.
Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis KDT yang komposisi tablet RHZ
adalah R = 75 mg, H = 50 mg, Z = 150 mg dan komposisi tablet RH adalah R
= 75 mg dan H = 50 mg,

Tabel 14. Dosis KDT (R75/H50/Z150 dan R75/H50) pada anak


BERAT BADAN 2 BULAN TIAP 4 BULAN TIAP
(KG) HARI HARI
RHZ (75/50/150) RH (75/50)

5-9 1 tablet 1 tablet

10-14 2 tablet 2 tablet

15-19 3 tablet 3 tablet

20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:

 Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah


sakit
 Anak dengan BB ≥ 33 kg , disesuaikan dengan dosis dewasa
 Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
 OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh
atau digerus sesaat sebelum diminum.

Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT Kombipak Anak.
Dosisnya seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 15a. Dosis OAT Kombipak-fase-awal/intensif pada anak

JENIS BB<10 BB 10-20 KG BB 20-32


OBAT KG (KOMBIPAK) KG

Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel 15b. Dosis OAT Kombipak-fase-lanjutan pada anak


JENIS BB<10 BB 10-20 KG BB 20-32
OBAT KG (KOMBIPAK) KG

Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB


milier, meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain:

 Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH,


Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin).
 Pada tahap lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
 Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis
TB, TB endobronkial, meningitis TB dan peritonitis TB diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1–2 mg/kg BB/hari, dibagi
dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2–4 minggu
dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu 2–6
minggu. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses
inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

Perhatian: Hindarkan pemakaian streptomisin pada anak bila memungkinkan,


karena penyuntikan terasa sakit, dapat terjadi kerusakan permanen syaraf
pendengaran, dan terdapat risiko penularan HIV akibat perlakuan yang tidak
benar terhadap alat suntikan.
1.2 Obat Asma

A. Obat Metilxantin

 Mekanisme Kerja
Dalam PDPI, 2013 Menjelaskan bahwa Pada konsentrasi tinggi, obat
golongan ini in vitro terbukti menghambat beberapa anggota famili enzim
fosfodiesterase (PDE)). Karena fosfodiesterase menghidrolisis nukleotida
siklik, inhibisi ini menyebabkan mening- katnya konsentrasi cAMP
intrasel dan, di sebagian jaringan, cGMP. AMP siklik memiliki efek pada
beragam fungsi sel termasuk, tetapi tidak terbatas pada, stimulasi fungsi
jantung, relaksasi otot polos, dan penekanan aktivitas imun dan
inflamatorik sel-sel tertentu.

Dari berbagai isoform fosfodiesterase yang telah diketahui, PDE4 tampaknya


yang paling terlibat langsung dalam kerja metilxantin pada otot polos saluran
napas dan pada sel radang. Inhibisi PDE4 di sel-sel radang mengurangi
pengeluaran sitokin dan kemokin, yang pada gilirannya menyebabkan
penurunan migrasi dan pengaktifan sel imun. Dalam upaya untuk mengurangi
toksisitas sekaligus tetap mempertahankan efikasi, dikembangkan inhibitor
selektif untuk berbagai isoform PDE4. Banyak yang diabaikan setelah uji-uji
klinis memperlihatkan bahwa efek samping mual, nyeri kepala, dan diare
membatasi dosis ke kadar subterapetik, tetapi satu, roflumilas, baru-baru ini
disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai

 Farmakodinamika

Metilxantin memiliki efek pada susunan saraf pusat, ginjal, serta otot jantung
dan rangka serta dan otot polos. Dari ketiga obat, teofilin adalah yang paling
selektif dalam efeknya pada otot polos, sementara kafein memiliki efek pada
susunan saraf pusat yang paling mencolok.
A. Efek pada Susunan Saraf Pusat
B. Efek Kardiovaskular
C. Efek pada Saluran Cerna
D. EfekpadaGinjal
E. Efek pada Otot Polos
F. Efek pada Otot Rangka
B. OBAT SIMPATOMIMETIK
Agonis adrenoseptor memiliki beberapa efek farmakologik yang penting dalam
pengobatan asma. Obat-obat ini melemaskan otot polos saluran napas dan
menghambat pengeluaran berbagai mediator bronkokonstriksi dari sel mast. Mereka
juga dapat meng- hambat kebocoran mikrovaskular dan meningkatkan transpor
mukosilia dengan memperbesar aktivitas silia. Seperti di jaringan lain, agonis β
merangsang adenilil siklase dan meningkatkan pem- bentukan cAMP intrasel.

Efek agonis adrenoseptor pada saluran napas yang paling banyak diketahui adalah
relaksasi otot polos saluran napas. Meskipun belum ada bukti tentang persarafan
simpatis langsung otot polos saluran napas manusia, banyak bukti menunjukkan
bahwa adrenoseptor banyak ditemukan di otot polos saluran napas. Secara umum,
stimulasi reseptor β2 melemaskan otot polos saluran napas, menghambat pelepasan
mediator, serta menyebabkan takikardia dan tremor otot rangka sebagai efek samping

Obat simpatomimetik yang telah banyak digunakan dalam pengobatan asma adalah
epinefrin, efedrin, isoproterenol, dan albuterol serta obat β2-selektiflainnya. Karena
epinefrin dan isoproterenol meningkatkan kecepatan dan kekuatan kontraksi jantung
(diperantarai terutama oleh reseptor β1 ), keduanya dicadangkan untuk situasi khusus.

Secara umum, agonis adrenoseptor paling baik diberikan melalui inhalasi karena hal
ini menghasilkan efek lokal yang paling besar pada otot polos saluran napas dengan
toksisitas sistemik paling kecil. Pengendapan aerosol bergantung pada ukuran
partikel, pola bernapas, dan geometri saluran napas. Bahkan dengan partikel dalam
kisaran ukuran optimal 2-5 mm, 80-90% dari dosis total aerosol mengendap di mulut
atau faring. Partikel berukuran kurang dari 1-2 μm tetap tersuspensi dan mungkin
dikeluarkan kembali. Pengendapan aerosol di bronkus ditingkatkan oleh inhalasi
lambat dengan bernapas hampir penuh dan oleh menahan napas 5 detik pada akhir
inspirasi.

Epinefrin adalah bronkodilator kerja cepat yang efektif jika disuntikkan secara
subkutis (0,4 mL larutan 1:10.000) atau dihirup sebagai suatu mikroaerosol dari
wadah bertekanan (320 mcg per. semprotan). Bronkodilatasi maksimal tercapai 15
menit setelah inhalasi dan menetap 60-90 menit. Karena epinefrin merangsang
reseptor α dan β1 serta β2, efek samping terapi ini adalah takikardia, aritmia,dan
memburuknya angina pektoris. Efek kardiovaskular epinefrin bermanfaat untuk
mengobati vasodilatasi akut dan syok serta bronkospasme pada anafilaksis, tetapi
pemakaiannya untuk asma telah digeser oleh obat-obat β2 selektif lainnya.

Efedrin telah digunakan di Cina sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu sebelum
diperkenalkan ke dunia kedokteran Barat pada tahun 1924. Dibandingkan dengan
epinefrin, efedrin memiliki masa kerja lebih lama, dapat diberikan per oral, memiliki
efek sentral yang lebih mencolok, dan potensi. yang jauh lebih rendah. Karena
berkembangnya berbagai agonis β2- selektif yang lebih efektif, efedrin kini jarang
digunakan untuk asma.

Isoproterenol merupakan suatu bronkodilator kuat; jika dihirup dalam bentuk


mikroaerosol dari wadah bertekanan, isoproterenol 80-120 mcg menyebabkan
bronkodilatasi maksimal dalam 5 menit. Isoproterenol memiliki masa kerja 60 sampai
90 menit. Peningkatan angka kematian asma yang terjadi di Inggris pada pertengahan
tahun 1960-an diperkirakan disebabkan oleh aritmia jantung yang timbul karena
pemakaian isoprotere- nol inhalan dosis tinggi. Obat ini kini jarang digunakan untuk
asma. (GINA,2016)

C. OBAT ANTI_MUSKARINIK

 Mekanisme Kerja:

Antagonis muskarinik. secara kompetitif menghambat efek asetilkolin di


reseptor muskarinik. Di saluran napas, asetilkolin dikeluarkan dari ujung-
ujung eferen saraf vagus, dan antagonis muskarinik menghambat kontraksi
otot polos saluran napas dan peningkatan sekresi mukus yang terjadi sebagai
respons terhadap aktivitas vagus. Dibutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi—
jauh di atas kadar yang dicapai bahkan dengan terapi maksimal—untuk
menghambat respons otot polos saluran napas terhadap stimulasi non-
mukarinik. Selektivitas antagonis muskarinik ini menjadikannya sebagai alat
penelitian dalam memeriksa peran sistem parasimpatis dalam respons
bronkomotorik tetapi membatasi penggunaannya dalam mencegah
bronkospasme. Dalam dosis yang diberikan, obat antimuskarinik hanya
menghambat bagian respons yang diperantarai oleh reseptor muskarinik, yang
berbeda-beda sesuai rangsangan, dan yang tampaknya juga berbeda-beda di
antara individu terhadap stimulus yang sama.

 Pemakaian Klinis:

Obat antimuskarinik adalah bronkodilator yang efektif. Jika diberikan melalui


intravena, atropin, prototipe antagonis muskarinik, menyebabkan
bronkodilatasi pada dosis yang lebih rendah daripada yang diperlukan untuk
meningkatkan kecepatan jantung. Selektivitas efek atropin dapat ditingkatkan
lebih lanjut dengan memberikan obat melalui inhalasi atau menggunakan
turunan amonium kuaterner atropin yang lebih selektif, ipratropium bromida.

Ipratropium dapat diberikan dalam dosis tinggi melalui rute ini karena kurang
diserap ke dalam sirkulasi serta tidak mudah masuk ke susunan saraf pusat.
Studi-studi dengan obat ini memperlihatkan bahwa derajat keterlibatan jalur
parasimpatis dalam respons bronkomotor berbeda-beda pada setiap orang.
Pada sebagian, bronkokonstriksi dihambat secara efektif; pada yang lain,
hanya sedang. Kegagalan antagonis muskarinik dosis tinggi untuk semakin
menghambat respons pada orang-orang ini menunjukkan bahwa pastilah
terdapat mekanisme lain yang berperan di luar refleks parasimpatis.

Bahkan pada orang yang paling kurang terproteksi oleh obat antimuskarinik
ini, bronkodilatasi dan inhibisi parsial bronkokonstriksi tetap memiliki nilai
klinis potensial, dan obat antimuskarinik berguna bagi pasien yang intoleran
terhadap obat agonis β- inhalan. Meskipun obat antimuskarinik tampaknya
sedikit kurang efektif dibandingkan dengan obat agonis β dalam
menghilangkan bronkospasme asma, pada asma akut berat penambahan
ipratropium meningkatkan bronkodilatasi yang dihasilkan oleh albuterol
nebulized.

Ipratropium tampaknya minimal sama efektifnya pada pasien dengan PPOK


yang mencakup komponen reversibel parsial. Obat antimuskarinik selektif
yang bekerja lebih lama, tiotropium, telah disetujui untuk mengobati PPOK.
Obat ini mengikat reseptor M1, M2, dan M3 dengan afinitas setara, tetapi
terlepas lebih cepat dari reseptor M2, yang diekspresikan di ujung saraf eferen.
Hal ini berarti bahwa ipratropium tidak menghambat auto-down regulation
pengeluaran asetilkolin yang diperantarai oleh M2, oleh sebab itu sedikit
banyak memiliki selektivitas reseptor.

Tiotropium juga diberikan melalui inhalasi, dan dosis tunggal 18 mcg


memiliki masa kerja 24 jam. Inhalasi tiotropium setiap hari terbukti tidak saja
memperbaiki kapasitas fungsional pasien dengan PPOK, tetapi juga
mengurangi frekuensi eksaserbasi penyakit mereka, dan tiotropium telah
disetujui oleh FDA sebagai pengobatan untuk PPOK. Obat ini belum disetujui
sebagai pengobatan untuk asma, tetapi penambahan tiotropium baru-baru ini
dibuktikan sama efektifnya seperti penambahan agonis β kerja-lama pada
pasien yang kurang dapat dikontrol dengan terapi kortikosteroid inhalan saja.

 Contoh obat dan dosis:

-Ipratropium Bromida= dewasa dan lansia: 1 dosis UDV 3-4 kali sehari.
Penderita obstruksi paru kronis yang memiliki kebiasaan merokok, dianjurkan
konseling dengan dokter untuk menentukan dosis dan kebiasaan merokok
sebaiknya dihentikan jika tidak ada perbaikan pada obstruksi paru kronis.

-Tiotropium Bromide= dewasa (termasuk lansia), 1 kali sehari satu kapsul


untuk inhalasi (22,5 mcg tiotropium bromide setara dengan18 mcg
tiotropium), tidak boleh ditelan, tidak boleh digunakan lebih dari 1 kali sehari.

-Glikoprionium Bromida= 50 mikrogram satu kali sehari

.(Bruton LL,2017)

Gambar:
D. KORTIKOSTEROID

 Mekanisme Kerja:

Dalam Buku Bruton LL, 2017 diketahui bahwa :

Kortikosteroid telah digunakan untuk mengobati asma sejak 1950 dan


dianggap bekerja melalui efek anti-inflamasi mereka yang luas, yang sebagian
diperantarai oleh inhibisi pembentukan sitokinsitokin inflamatorik. Obat
golongan ini tidak melemaskan otot polos saluran napas secara langsung tetapi
mengurangi reaktivitas bronkus dan menurunkan frekuensi kekambuhan asma
jika digunakan secara teratur. Efek mereka pada obstruksi saluran napas
mungkin sebagian disebabkan oleh kontraksi pembuluh darah yang
membengkak di mukosa bronkus dan penguatan efek agonis reseptor β, tetapi
efek terpenting mereka adalah menghambat infiltrasi saluran napas oleh
limfosit,eosinofil, dan sel mast.

 Pemakaian Klinis:

Karena efek samping yang parah jika diberikan dalam jangka panjang,
kortikosteroid oral dan parenteral dicadangkan bagi pasien yang memerlukan
terapi segera, yi mereka yang tidak membaik secara memadai setelah
pemberian bronkodilator atau mengalami perburukan gejala meskipun
mendapat terapi pemeliharaan. Terapi teratur atau "controller" dipertahankan
dengan kortikosteroid bentuk aerosol.

Terapi segera sering dimulai dengan dosis oral 30-60 mg prednison per hari
atau dosis intravena 1 mg/kg metilprednisolon setiap 6-12 jam; dosis harian
diturunkan setelah obstruksi saluran napas membaik.

Pada sebagian besar pasien, terapi kortikosteroid sistemik dapat dihentikan


dalam 7-10 hari, tetapi pada pasien lain gejala mungkin memburuk ketika
dosis diturunkan. Karena penekanan adrenal oleh kortikosteroid berkaitan
dengan dosis dan karena sekresi kortikosteroid endogen memiliki variasi
diurnal, kortikosteroid biasanya diberikan pada pagi hari setelah sekresi
hormon adrenokortikotropik endogen memuncak. Namun, untuk mencegah
asma malam hari, kortikosteroid oral atau inhalan paling efektif jika diberikan
pada sore hari.

Terapi aerosol merupakan cara terbaik untuk menghindari efek samping


sistemik terapi kortikosteroid. Diperkenalkannya berbagai kortikosteroid
seperti beklometason, budesonid, siklesonid, flunisolid, flutikason,
mometason, dan triamsinolon memungkinkan kita menyalurkan kortikosteroid
ke saluran napas dengan penyerapan sistemik minimal. Dosis harian rerata
empat semprotan dua kali sehari beklometason (400 mcg/hari) ekivalen
dengan sekitar 10-15 mg/hari prednison oral untuk mengontrol asma dengan
efek samping sistemik yang jauh lebih sedikit.

Memang, salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam mengubah pasien dari
terapi kortikosteroid oral ke inhalan adalah menurunkan secara bertahap terapi
oral untuk menghindari insufisiensi adrenal. Pada pasien yang memerlukan
pemberian prednison berkelanjutan meskipun telah diberi kortikosteroid
inhalan dosi standar, dosis yang lebih tinggi tampaknya lebih efektif; inhalasi
flutikason dan siklesonid dalam dosis yang lebih tinggi, misalnya, terbukti
efektif untuk menyapih pasien dari pemberian prednison kronik. Meskipun
steroid inhalan dosis tinggi ini dapat menyebabkan supresi adrenal, risiko
toksisitas sistemik akibat pemakaian kronik tampaknya dapat diabaikan
dibandingkan dengan risiko terapi kortikosteroid oral yang mereka gantikan.

Suatu masalah khusus akibat kortikosteroid inhalan adalah timbulnya


kandidiasis orofaring. Risiko penyulit ini dapat dikurangi dengan meminta
pasien berkumur air dan mengeluarkannya setelah setiap terapi inhalan. Suara
serak juga dapat terjadi karena efek lokal langsung kortikosteroid inhalan pada
pita suara. Obat-obat ini relatif bebas dari penyulit jangka-pendek lain pada
dewasa, tetapi dapat meningkatkan risiko osteoporosis dan katarak pada
pemberian jangka-panjang Pada anak, kortikosteroid inhalan dibuktikan
memperlambat laju pertumbuhan sekitar 1 cm dalam tahun pertama
pengobatan, tetapi bukan laju pertumbuhan sesudahnya sehingga efek pada
tinggi saat dewasa minimal.
 Contoh obat dan dosis:

-Beklometason Dipropionat= aerosol inhalasi: 200 mcg 2 kali sehari atau 100
mcg 3-9 kali sehari (pada kondisi lebih berat dosis awal 600-800 mcg per
hari). Anak: 50-100 mcg 2-4 kali sehari atau 100-200 mcg 2 kali sehari.

-Budesonid= Terapi inhalasi glukokortikoid telah dimulai, asma berat,


pengurangan dosis atau pemberhentian glukokortikoid oral: dewasa, 200-1200
mcg perhari, terbagi ke dalam 2-4 pemberian. Dosis pemeliharaan 200-400
mcg dua kali sehari pagi dan malam, dapat ditingkatkan hingga 1200 mcg
pada asma berat.

Gambar:

E. Xhantin

Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah, selain sebgai
bronkodilator obat ini juga meningkatkan kekuatan otot diafragma. Metabolisme obat
golongan xanthin dipengaruhi oleh umur, merokok, gagal jantung dan infeksi
bakteri.Obat ini memberikan efek terapeutik berupa relaksasi otot bronkial,
menurunkan hipertensi pulmonal, memperbaiki kontraktilitas diafragma, peningkatan
cardiac output dan menghambat pelepasan mediator.

Daya bronkorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade reseptor adenosin.


Reseptor-reseptor tersebut memodulasi aktivitas adenylyl cyclase dan adenosine, yang
telah meyebabkan kontraksi otot polos jalan nafas dan menyebabkan keluarnya
histamine dari sel-sel mast jalan napas. Teopilin melawan efek tersebut dengan
menyekat reseptor adenosine permukaan sel. Selain itu, teofilin mencegah
hiperaktivitas dan bekerja profilaksi.

Dosis : oral 2-4 dd 175-350 mg. padaseranganhebat (eksaserbasi) i.v 240 mg, rectal 2-
3 dd 360 mg. dosismaksimal 1,5 g perhari. (Rang HP, 2015)
DAFTAR PUSTAKA

Brunton LL, Knollman BC, Dandan RH. Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of
Therapeutics. 13th ed. San Diego: McGraw-Hill; 2017

Rang HP et al. Rang & Dale's Pharmacology. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015

GINA (Global Initiative for Asthma)., 2006. Pocket Guide for Asthma

Management and Prevension. Based on the Global Strategi for Asthma

Management and Prevention

PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia)., 2003. Asma. Pedoman Diagnosis

dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia.


1.3 Resep OAT
1.4 Resep Obat Asma

Anda mungkin juga menyukai