Anda di halaman 1dari 7

TUGAS FARMAKOKINETIKA

ULASAN VIDEO
FARMAKOKINETIKA NON LINEAR YANG TERJADI PADA
PENGGUNAAN OBAT GOLONGAN AMINOGLIKOSIDA



Disusun Oleh :
1. Nurfika Meiyati 2443011087
2. Yosefina Alfianita 2443011102
3. Dina Aprilia Ulaan 2443011208
4. Ayumas Suyati 2443011209
5. Rizka Muhita 2443011115
6. Januarisma 2443011164
7. Priska Anastasya 2443010233

Kelas : A ( Senin, 16.25 18.05 )


Fakultas Farmasi
Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya
Pendahuluan
Sejak ditemukan penisilin, masalah infeksi karena bakteri gram-positif dapat diatasi
dengan baik. Dalam menemukan antibakteri untuk mengatasi kuman gram-negatif, pada tahun
1943 telah berhasil diisolasi suatu turunan Streptomyces yang menghasilkan streptomisin.
Setelah streptomisin, ditemukan pula berbagai antibiotik lain yang memiliki berbagai sifat mirip
dengan streptomisin yaitu kanamisin, gentamisin, tobramisin, amikasin, netilmisin, neomisin.
Aminoglikosida merupakan penanggulangan infeksi berat yang disebabkan oleh bakteri gram-
negatif. Aminoglikosida dihasilkan oleh fungi Streptomyces micromonospora. Semua senyawa
turunan semi sintesisnya mengandung dua atau tiga gula amino didalam molekulnya, yang saling
terikat secara glukosidis. Dengan adanya gugusan amino, zat-zat ini bersifat basa lemah dan
garam sulfatnya yang digunakan dalam terapi mudah larut air. Aminoglikosida adalah antibiotika
golongan karbohidrat yang pada umumnya terdiri dari gugus aminosikloheksanol dan terikat
secara glikosidik dengan gula amino lain
Ditinjau dari struktur molekulnya, aminoglikosida dapat dibagi menjadi 2 golongan
besar, yaitu aminoglikosida berinti streptidin (streptomisin, dihidrostreptomisin, dll) dan 2-
deoksistreptamin (kanamisin, neomisin, gentamisin dll). Secara klinis, aminoglikosida sering
digunakan untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan gram negatif
termasuk Mycobacterium tuberculosis, baik dalam bentuk sediaan tunggal maupun kombinasi
dengan antibiotika lain. Aminoglikosida merupakan antibiotik utama untuk pengobatan infeksi
serius yang disebabkan gram negatif, karena obat ini menimbulkan efek toksik yang serius, maka
penggunaannya terbatas dan telah digantikan dengan obat yang lebih aman seperti generasi
ketiga sefalosporin, fluorokuinolon dan imipenem atau silastatin.
Semua obat dalam golongan aminoglikosida diketahui dapat menghambat sintesis protein
bakteri. Aktivitas aminoglikosida dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama perubahan pH,
kondisi aerobik dan anaerobik. Aktivitas aminoglikosida lebih tinggi pada suasana alkali
daripada suasan asam. Aminoglikosida berdifusi lewat kanal air yang dibentuk oleh porin protein
pada membran luar dari bakteri gram negatif masuk keruang periplasmik. Sedangkan transport
melalui membran dalam sitoplasma membutuhkan energi. Fase transport energi bersifat rate
limiting yaitu dapat diblok oleh Ca
++
dan Mg
++
, hiperosmolaritas, penurunan pH dan
anaerobiosis. Hal ini menerangkan penurunan aktivitas aminoglikosida pada lingkungan
anaerobik suatu abses atau urin asam yang bersifat hiperosmolar. Setelah masuk sel,
aminoglikosida terikat pada ribosom 30S dan menghambat sintesis protein. Terikatnya
aminoglikosida pada ribosom ini mempercepat transport aminoglikosida kedalam sel diikuti
dengan kerusakan membran sitoplasma dan disusul dengan kematian sel. Aminoglikosid
menghambat sintesis protein dengan 3 cara:
1. Mengganggu kompleks awal pembentukan peptide
2. Menginduksi salah baca mRNA, yang mengakibatkan penggabungan asam amino
yang salah ke dalam peptida, sehingga menyebabkan suatu keadaan nonfungsi atau
toksik protein
3. Menyebabkan terjadinya pemecahan polisom menjadi monosom non-fungsional
Aminoglikosida bekerja secara sinergis dengan antibiotic -laktam karena kerja -laktam
pada sintesis dinding sel meningkatkan difusi aminoglikosida kedalam bakteri. Semua
aminoglikosida bersifat bakterisid. Spektrum kerja aminoglikosida cukup luas dan meliputi
bakteri gram-negatif, antara lain E.coli, H.Influenzae, Enterobacter, Salmonella, dan Shigella.
Obat ini juga aktif terhadap sejumlah bakteri gram-positif yaitu Staphyl. aureus atau Staph.
epidermis. Obat-obat yang termasuk didalam golongan aminoglikosida diantaranya adalah
Streptomisin, Kanamisin, Amikasin, Gentamisin, Tobromasin, Neomisin dan Netimisin.
Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap
obat, yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme dan eksresi. Dalam arti sempit farmakokinetika
khususnya mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya di dalam
darah dan jaringan sebagai fungsi dari waktu (Tjay dan Rahardja, 2002).
Parameter yang digunakan untuk menilai dalam proses farmakokinetik diantaranya
adalah t maksimum (t
maks
) yaitu waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan
dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian
obat. Pada t
maks
, absorbsi obat adalah terbesar dan laju absorbsi obat sama dengan laju eliminasi
obat. Absorbsi masih berjalan setelah t
maks
tercapai tetapi pada laju yang lebih lambat. Harga t
maks
menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk mecapai konsentrasi plasma
puncak) bila laju absorbsi obat menjadi lebih cepat.
Konsentrasi plasma puncak (C
maks
) menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam
plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu hubungan antara efek
farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma.
Volume distribusi (Vd) yaitu volume yang didapatkan pada saat obat didistribusikan.
Menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan konsentrasi obat (C) dalam darah atau plasma.
AUC (Area Under Curve) adalah permukaan dibawah kurva (grafik) yang
menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat dihitung
secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavaibilitas suatu obat. AUC dapat digunakan
untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan kecepatan eliminasinya
tidak mengalami perubahan. Selain itu, antara kadar plasma puncak dan bioavaibilitas terdapat
hubungan langsung. MRT merupakan waktu keberadaan obat didalam tubuh. Tetapan laju
eliminasi dan waktu paruh dalam plasma kemudian klirens suatu obat yang merupakan faktor
untuk memprediksi laju eliminasi yang berhubungan dengan konsentrasi obat. Klirens dapat
dirumuskan berkenaan dengan darah (CLb), plasma (CLp) atau bebas dalam urin (CLu),
bergantung pada konsentrasi yang diukur. Eliminasi obat dari tubuh dapat meliputi proses-proses
yang terjadi dalam ginjal, paru, hati dan organ lainnya. Klirens obat adalah suatu ukuran
eliminasi obat dari tubuh tanpa mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya jaringan
tubuh atau organ dapat dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas
(volume distribusi) dimana obat terlarut di dalamnya.
Untuk beberapa obat rute pemberian mempengaruhi kecepatan metabolismenya. Obat-
obat yang diberikan secara oral diabsorbsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan
ditransport melalui pembuluh mesentranika menuju vena porta hepatik dan ke hati sebelum ke
sirkulasi sistemik. Obat-obat yang dimetabolisme dalam jumlah besar oleh hati atau sel-sel
mukosa usus halus menunjukkan avaibilitas sistemik yang jelek jika diberikan secara oral.

Farmakokinetik Non Linier
Farmakokinetik non linear merupakan model farmakokinetik yang tidak terjadi
perubahan parameter dengan peningkatan dosis atau pada pemberian berulang. Perubahan
parameter farmakokinetik dapat terjadi kibat perubahan enzimatis pada proses absorbsi distribusi
atau eliminasi obat yang menyebabkan terbentuknya penjenuhan (sistem jenuh). Umumnya
farmakokinetik non linear terjadi pada peningkatan dosis atau pemakaian secara kronis.



Faktor yang menyebabkan terjadinya farmakokinetik non linear diantaranya :
a. Proses penjenuhan
- Transport membran terfasilitasi
- Reaksi enzimatis atau metabolisme berkapasitas terbatas
b. Perubahan patologik dalam proses ADME
Beberapa obat dapat menyebabkan terjadinya model farmakokinetik non linear,
diantaranya adalah aminoglikosida. Aminoglikosida mempunyai efek nefrotoksik pada dosis
yang lebih tinggi. Sekitar 8-26% pasien yang menerima aminoglikosida selama lebih dari
beberapa hari akan mengalami kerusakan ginjal ringan yang hampir selalu reversibel. Toksisistas
terjadi akibat akumulasi dan resistensi aminoglikosida dalam sel tubulus proksimal. Manifestasi
awal kerusakan bagian ini adalah enzim-enzim pada brush holder tubulus ginjal. Seterlah
beberapa hari terjadi penurunan kemampuan ginjal dalam memekatkan urin, proteinuria ringan
dan munculnya keping-keping granular, kecepatan filtrasi glomerulus berkurang beberapa hari
kemudian. Kegagalan fungsi ginjal hampir selalu reversibel karena sel tubulus proksimal
memiliki kemampuan untuk berenegerasi.

Ulasan Video
Berdasarkan video dapat dilihat bahwa pemberian aminoglikosida dengan konsentrasi
yang tinggi dapat membunuh bakteri lebih cepat. Hal ini terjadi karena aminoglikosida
merupakan antibiotika bakterisid yang bekerja membunuh bakteri dengan membentuk ikatan
yang irreversible pada sub unit ribosom sehingga mencegah translasi protein dari mRNA.
Konsentrasi yang digunakan hingga mencapai 10-12x MIC bakteri, yaitu: 2-4x MIC ; 6-8x MIC ;
10-12x MIC dan digunakan juga kontrol MIC bakteri. Dari berbagai konsentrasi yang diuji,
didapatkan bahwa konsentrasi 10-12x MIC merupakan konsentrasi terbaik untuk membunuh
bakteri gram negatif yaitu Ps. Aeruginosa yang digunakan dalam penelitian. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa pemberian aminoglikosida setelah 8 jam dapat menyembabkan
pertumbuhan bakteri lagi jika konsentrasi antibiotik dibawah MIC (2 mg/L).
Aminoglikosida mempunyai ikatan protein dengan serum yang rendah, kelarutan dalam
air yang tinggi, mempunyai kalarutan dalam lipid yang rendah dan mempunyai distribusi yang
jelek pada jaringan adipose. Konsentrasi tinggi aminoglikosida dapat menembus didalam sel
dengan transport aktif seperti pada sel rambut pada telinga, dan sel tunular pada renal cortex
(ginjal). Sehingga konsentrasi yang tinggi dan penggunaan aminoglikosida selama lebih dari
beberapa dapat menyebabkan terjadinya penjenuhan sehingga terjadi akumulasi dan toksisitas
pada tubulus proksimal.
Adanya penjenuhan dapat diketahui dari parameter-parameter farmakokinetiknya seperti nilai t
1/2

yang menjadi lebih besar karena kenaikan dosis, AUC tidak sebanding dengan jumlah obat
dalam sistem sistemik dan eliminasi obatnya tidak mengikuti kinetika orde satu. Akumulasi dan
toksisitas pada tubulus proksimal yang terjadi karena adanya penjenuhan tersebut digambarkan
sebagai model farmakokinetika non linier. Efek samping yang dapat terjadi akibat penjenuhan
pada tubulus proksimal di ginjal adalah nefrotoksik.
Upaya untuk mengurangi atau mencegah efek nefrotoksis karena penggunaan
aminoglikosida dilakukan peneliti dengan pemberian aminoglikosida melalui infus dengan single
dose karena pada umumnya pemberian aminoglikosida per oral secara multiple dose. Digunakan
dosis obat sebesar 5mg/kg pada penelitian (lihat di video). Pada grafik dapat dilihat bahwa
pelepasan obat diperlambat dengan konsentrasi aminoglikosida yang rendah sehingga diharapkan
dapat mencegah terjadinya penjenuhan pada sistem. Hasil menunjukkan bahwa obat yang
diberikan pada pasien single dose dapat mengurangi nefrotoksisitas tapi dapat menyebabkan
ototoksisitas. Ototoksisitas terjadi karena akumulasi secara progresif dalam perilimfe dan
endolimfe telinga bagian dalam. Akumulasi terjadi secara dominan bila konsentrasi dalam
plasma tinggi. Difusi balik dalam aliran darah terjadi perlahan, waktu paruh aminoglikosida 5-6
kali lebih lama dalam cairan otak maupun dalam plasma. Difusi balik tergantung pada
konsentrasi dan dipermudah pada saat konsentrasi obat terendah dalam plasma. Kemungkinan
terjadinya ototoksisitas lebih besar pada pasien yang konsentrasi obat dalam plasmanya
meningkat terus menerus. Resiko ototoksisitas aminoglikosida meningkat oleh berbagai faktor
antara lain: besarnya dosis, adanya gangguan faal ginjal usia tua, riwayat penggunaan suatu obat
ototoksik, pemberian bersama asam etakrinat (suatu diuretik kuat), kadar puncak dan kadar
lembah yang meningkat, tetapi berkepanjangan dan demam. Sehingga, pemakaian dosis satu kali
sehari tidak dianjurkan untuk pasien endokarditis, ibu hamil, abnornmal volume distribusi.




Kesimpulan
Penggunaan aminoglikosida dosis tinggi dan penggunaan lebih dari beberapa hari
menyebabkan terjadinya penjenuhan pada sistem (dapat dinilai dari parameter
farmakokinetiknya) sehingga dapat mengakibatkan nefrotoksik dan ototoksik.




Daftar Pustaka
Crueger, W. Dan Crueger, A., 1984. Biotechnology: A Textbook of Industrial Microbiology,
Science Tech., USA
Katzung, B.G., 1988. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi keempat. Penerjemah: Bagian
Farmakologi FKUA. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Sandhu, J.S., Sehgal, A., Gupta, O., Singh, A., 2007. Aminoglycoside Nephrotoxicity Revisited.
Journal Indian Academy of Clinical Medicine, vol. 8, 4, 331-333.
Shargel, L. and A.B.C. Yu, 1999. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, 4th edition,
McGraw Hill, New York.

Anda mungkin juga menyukai