Anda di halaman 1dari 71

Cara Kerja

Antibiotik: Bagaimana Antibiotik


Membunuh Bakteri?
Antibiotik termasuk dalam obat-obatan terapi, diformulasikan untuk membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri tanpa menyebabkan efek berbahaya bagi tubuh.

Apa itu Antibiotik?

Penisilin (penicillin) merupakan antibiotik pertama yang ditemukan pada tahun 1928 dari spesies
jamur Penicillium oleh pemenang Nobel, Sir Alexander Flemming.
Namun, nama antibiotik baru diusulkan pada tahun 1942 oleh Selman Waksman Abraham,
seorang ahli biokimia dan mikrobiologi asal Amerika.

Kemajuan dalam bidang kimia obat memungkinkan kita memperoleh senyawa antibiotik dari
mikroorganisme hidup maupun zat sintetis.

Bagaimana Antibiotik Membunuh Bakteri?

Cara kerja antibiotik mengobati infeksi bakteri bervariasi sesuai dengan jenis dari antibiotik itu
sendiri.

Berdasarkan formulasi obat dan cara memerangi bakteri, ada dua jenis antibiotik bakteriostatik
(bacteriostatic) dan bakterisida (bactericide).

Antibiotik Bakteriostatik

Seperti namanya, antibiotik bakteriostatik menghambat pertumbuhan bakteri, alih-alih


membunuhnya secara langsung.

Karena bakteri patogen terhambat pertumbuhannya, sistem kekebalan tubuh dapat dengan mudah
memerangi infeksi.

Mekanisme kerja antibiotik bakteriostatik adalah dengan mengganggu sintesis protein pada
bakteri penyebab penyakit.

Contoh antibiotik bakteriostatik populer adalah spectinomycin (mengobati gonore), tetracycline


(umum digunakan untuk infeksi), chloramphenicol (untuk semua jenis infeksi bakteri), dan
macrolide (efektif untuk bakteri gram positif).

Antibiotik Bakterisida

Antibiotik bakterisida mengandung senyawa aktif yang secara langsung membunuh bakteri.

Untuk membunuh bakteri, antibiotik jenis ini menargetkan dinding sel luar, membran sel bagian
dalam, serta susunan kimia bakteri.

Contoh umum antibiotik bakterisida adalah penicillin (menyerang dinding sel luar), polymyxin
(menargetkan membran sel), dan quinolone (mengganggu jalur enzim).

Beberapa zat bakteriosida digunakan sebagai disinfektan, sterilisasi, dan antiseptik.

Antibiotik dengan Sasaran Spesifik


Satu jenis antibiotik tidak akan mampu membunuh semua baktreri.

Dengan demikian, selain klasifikasi menurut modus tindakan, antibiotik juga diklasifikasikan
berdasarkan kekhususan target.

Itu sebab, antibiotik juga bisa diklasifikasikan menjadi antibiotik spektrum luas dan antibiotik
spektrum sempit.

Antibiotik spektrum luas efektif membunuh jenis bakteri patogen (misalnya tetracycline,
tigecycline, dan chloramphenicol).

Sedangkan antibiotik spektrum sempit (misalnya oxazolidinone dan glycylcycline)


direkomendasikan untuk mengobati jenis tertentu dari bakteri penyebab penyakit.

Menghindari Resistensi Antibiotik

Penggunaan jangka panjang antibiotik atau terlalu sering menggunakan antibiotik dengan dosis
semakin meningkat akan menyebabkan resistensi (kekebalan) antibiotik.

Cara efektif menghindari resistensi antibiotik adalah dengan mengkonsumsi antibiotik di bawah
pengawasan dokter.

Macam-macam antibiotik, dosis penggunaan,


mekanisme kerja dan efek sampping.

Antimikroba yang Menghambat Sintesis Protein Mikroba


Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah golongan aminoglikosid, makrolid,
linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Untuk kehidupannya, sel mikroba perlu
mensintesis berbagai protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom, dengan
bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri atas atas dua subunit, yang
berdasarkan konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S.
untuk berfungsi pada sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada
pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S.

1. Aminoglikosid
Aminoglikosid adalah suatu golongan antibiotic bakterisid yang asalnya didapat dari
berbagai species Streptomyces dan memiliki sifat-sifat kimiawi antimikroba,
farmakologis, dan toksik yang karakteristik.

Golongan ini meliputi Streptomycin, neomycin, kanamycin, amikacin, gentamycin,


tobramycin, sisomycin, netilmycin, dsb

a. Sifat Kimiawi dan Fisik

Aminoglikosid mempunyai cincin Hexose yaitu streptidine (pada streptomycin),atau


2-deoxystreptamine (pada aminoglikosid lain), dimana berbagai gula amino
dikaitkan oleh ikatan glikosid. Agen-agen ini larut air, stabil dalam larutan dan lebih
aktif pada pH alkali dibandingkan pH asam.

b. Mekanisme Kerja

Aminoglikosida merupakan penghambat sintesis protein irreversible, namun


mekanisme pasti bakteriosidnya tidak jelas. Begitu memasuki sel, ia akan mengikat
protein subunit-30S yang spesifik (untuk streptomycin S12)

Aminoglikosid menghambat sintesis protein dengan 3 cara:

1. Agen-agen ini mengganggu kompleks awal pembentukan peptide


2. Agen-agen ini menginduksi salah baca mRNA, yang mengakibatkan
penggabungan
asam amino yang salah ke dalam peptide, sehingga menyebabkan suatu
keadaan
nonfungsi atau toksik protein.
3. Agen-agen ini menyebabkan terjadinya pemecahan polisom menjadi
monosom non-
fungsional.

c. Mekanisme Resistensi

Telah ditentukan 3 mekanisme prinsip yaitu


1) Mikroorganisme memproduksi suatu enzim transferase atau enzim-enzim yang
menyebabkan inaktivitas aminoglikosid, melalui adenilasi, asetilasi, atau
fosforilasi
2) Menghalangi masuknya aminoglikosida ke dalam sel
3) Protein reseptor sub unit ribosom 30S kemungkinan hilang atau berubah sebagai
akibat dari mutasi.

d. Farmakokinetika

Aminoglikosid diabsorbsi sangat buruk pada saluran gastrointestinal yang utuh.


Setelah suntikan intramuscular, aminoglikosid diabsorbsi dengan baik dan
mencapai konsentrasi puncak dalam darah antara 30-90 menit. Aminoglikosid
biasanya diberikan secara intravena 30-60 menit. Secara tradisional aminoglikosid
diberikan dalam 2 atau 3 dosis terbagi perhari bagi pasien-pasien dengan fungsi
ginjal normal

Aminoglikosid merupakan senyawa yang sangat polar dan tidak dapat langsung
memasuki sel. Sebagian besar aminoglikosid tidak dapat masuk ke mata dan SSP.
Aminoglikosid dibersihkan di ginjal, dan ekskresinya berbanding langsung dengan
klirens kreatinin. Waktu paruh normal dalam serum adalah 2-3 jam, namun
meningkat dalam 24-48 jam pada pasien dengan kerusakan fungsi ginjal yang
signifikan. Aminoglikosid hanya mengalami klirens secara sebagian dan tidak
beraturan melalui hemodialisis (misalnya 40-60% untuk gentamicyn), dan lebih
efektif jika klirens melalui dialysis peritoneal

Penyesuaian dosis harus dilakukan untuk menghindari akumulasi obat dan toksisitas
pada pasien-pasien dengan insufisiensi fungsi ginjal. Bisa jadi dosis obat dibiarkan
konstan dan interval antar dosis dinaikkan, atau interval dibiarkan konstan
sementara dosisnya dikurangi. Berbagai monogram dan formula telah
dikembangkan untuk menghubungkan kadar serum kreatinin dalam dengan
penyesuaian pada regimen pengobatan.

Dosis harian Aminoglikosid dihitung dengan cara mengalikan dosi harian maksimum
dengan rasio perbandingan klirens kreatinin yang diperkirakan terhadap klirens
normal yaitu 120 mg/min, yang merupakan nilai tipikal untuk pria dewasa normal
dengan bobot 70 kg. Untuk wanita berusia 60 tahun dengan bobot 60 kg dan serum
kreatinin 3 mg/dL, dosis tepat untuk gentamicyn adalah sekitar 50 mg/hari

Terdapat variasi individual yang patut dipertimbangkan dalam kadar serum


Aminoglikosid diantara pasien-pasien dengan nilai klirens kreatinin yang
diperkirakan sama. Oleh sebab itu, adalah wajib untuk mengukur kadar serum obat
untuk menghindari toksisitas berat khususnya apabila dosis tinggi diberikan selama
lebih dari beberapa hari atau jika fungsi ginjal berubah dengan cepat. Untuk
regimen tradisional dengan pemberian dosis dua atau tiga kali sehari, konsentrasi
serum puncak harus ditentukan dari sampel darah yang diambil sekitar 30-60 menit
setelah pemberian satu dosis dan konsentrasi trough dari sampel yang diambil
sebelum pemberian dosi berikutnya

e. Efek-efek yang Tidak Diinginkan

Semua Aminoglikosid bersafat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan


nefrotoksisitas cenderung ditemukan saat terapi dilanjutkan hingga lebih dari 5 hari,
pada dosis yang lebih tinggi, pada orang-orang lanjut usia dan dalam kondisi
insufisiensi fungsi ginjal. Penggunaan bersama diuretic loop (misalnya furosemid)
atau agen antimikroba nefrotoksik lain (missal vanomicyn atau amphotericyn) dapat
meningkatkan nefrotoksisitas dan sedapat mungkin dihindarkan.

f. Penggunaan Klinis
Aminoglikosid paling sering digunakan melawan bakteri enteric gram-negatif,
khusunya ketika isolatnya resisten obat dan ketika dicurigai sepsis. hampir selalu
digunakan dalam kombinasi dengan antibiotic beta-laktam dalam upaya untuk
memperluas cakupan meliputi patogen-patogen gram positif yang potensial dan
untuk mendapatkan keuntungan sinergisme kedua klas obat ini. Pemilihan
aminoglikosid dan dosisnya sebaiknya tergantung pada infeksi yang sedang
dihadapi dan kerentanan dari isolate tersebut.

2. Makrolid

Macrolide merupakan suatu kelompok senyawa yang berhubungan erat, dengan ciri
suatu cincin lakton (biasanya terdiri dari 14 atau 16 atom) di mana terkait gula-gula
deoksi. Obat prototipnya adalah Eritromycin, yang terdiri dari dua belahan gula
yang terkait pada cincin lakton 14-atom, diambil dari Streptomyces erytheus pada
tahun 1952. Clartromycin dan artitromycin merupakan turunan semisintesis
eritromycin.

1) Eritromicyn
Kimia
Struktur umum dari ertromycin ditunjukkan diatas cincin makrolida dan gula-gula
desosamin dan kladinose. Obat ini sulit larut dalam air (0,1%) namun dapat
langsung larut pada zat-zat pelarut organik. Larutan ini cukup satabil pada suhu
4oC, namun dapat kehilangan aktivitas dengan cepat pada suhu 20oC dan pada
suhu asam. Ertromycin biasanya tersedia dalam bentuk berbagai ester dan garam
Aktivitas Antimikroba

Eritromycin efektif terhadap organisme-oragnisme gram positif, terutama


pneumokokkus, sterptokokkus, dan corynebacteria, dalam konsentrasi plasma
sebesar 0,02 mg/mL. Selain itu mycoplasma, legionella, Chlamydia trachomatis, C
psittaci, C pneumonia, helicobacter, listeria, dan mycobacteria tertentu, juga rentan
terhadap ertromycin. Demikian pula organism-organisme gram negative, seperti
spesies neisseria, Bordetella pertussis, Batonella henselae, dan B quintana (agen-
agen penyebab pada penyakit catscratch dan angiomatosis basiler), beberapa
spesies rickettise, Tropenome pallidum, serta spesies campylobacter. Sekalipun
demikian, Haemophilus influenza agak kurang rentan. Hambatan sintesis protein
terjadi melalui ikatan ke RNA ribosom 50S. Sintesis protein terhambat karena reaksi-
reaksi translokasi aminoasil dan hambatan pembentuk awal.

Resistensi
Resistensi terhadap ertromycin biasanya dikode oleh plasmid. Terdapat 3
mekanisme yang telah dikenal :

1) Penurunan permeabilitas membrane sel atau pengaliran keluar (efflux) yang aktif
2) Produksi esterase (oleh enterobacteriaceae) yang menghidrolisi makrolida
3) Modifikasi situs ikatan ribosom (disebut juga preoteksi ribosom) oleh mutasi
kromosom atau oleh metilase pengganti atau penginduksi makrolida.

Farmakokinetika
Ertromycin basa dihancurkan oleh asam lambung dan harus diberikan dengan salut
enteric. Stearat dan ester cukup tahan pada keadaan asam dan diabsorbsi lebih
baik. Garam lauryl dan ester propionil ertromycin merupakan preprata oral yang
paling baik diabsorbsi. Dosis oral sebesar 2 g/hari menghasilkan konsentrasi basa
ertromycin serum dan konsentrasi ester sekitar 2 mg/mL. Akan tetapi, yang aktif
secara mikrobiologis adalah basanya, sementara konsentrasinya cenderung sama
tanpa memperhitungkan formulasi. Waktu paruh serum adalah 1,5 jam dalam
kondisi normal dan 5 jam pada pasien dengan anuria. Penyesuaian untuk gagal
ginjal tidak diperlukan. Ertromycin tidak dapat dibersihkan melalui dialysis. Jumlah
besar dari dosis yang diberikan diekskresikan dalam empedu dan hilang dalam
fases, hanya 5% yang diekskresikan dalam urine. Obat yang telah diabsorbsi
didistribusikan secara luas, kecuali dalam otak dan cairan serebrospinal. Ertromycin
diangkut oleh leukosit polimorfonukleus dan makrofag. Oabt ini melintasi sawar
plasenta dan mencapai janin.

Penggunaan Klinis

Eritromycin merupakan obat pilihan dalam:

a. Infeksi-infeksi corynebacterial (diphtheria, corynebacterial sepsis, erythasma)


b. Infeksi kuman Chlamydia pada pernafasan, neonates, okuler, atau genital
c. Mengobati pneumonia dalam komunitas.
d. Sebagai penggenti untuk individu yang alergi terhadap Penisiln, dalam infeksi
yang disebabkan oleh stapilokokkus, streptokokkus, dan pneumokokkus.

e. Sebagai profilaksis terhadap endokarditis dalam prosedur-prosedur dental pada


individu penyakit jantung valvular, sekalipun Clindamycin yang ditoleransi dengan
baik telah banyak menggantikannya.

Efek Samping

a. Efek-efek gastrointestinal : Anoreksia, mual, muntah dan diare sesekali


menyertai pemberian oral. Intoleransi ini disebabkan oleh stimulitas langsung pada
motilitas usus.

b. Toksisitas hati : dapat menimbulkan hepatitis kolestasis akut (demam, ikterus,


kerusakan fungsi hati), kemungkinan sebagai reaksi hepersensitivitas.

c. Interaksi-interaksi obat : menghambat enzim-enzim sitokrom P450 dan


meningkatkan konsentarsi serum sejumlah obat, termasuk teofilin, antikoagulan
oral, siklosporin, dan metilprednisolon. Meningkatkan konsentrasi serum digoxin
oral dengan jalan meningkatkan bioavailabilitas.

2) Claritromycin
Kimia
Claritromycin diturunkan dari eritromycin dengan penambahnsatu kelompok
methyl, serta memiliki satbilitas asam dan absorbi oral yang lebih baik
dibandingkan dengan eritromycin.

Aktivitas Antimikroba

Mekanisme kerja claritromycin sama dengan eritromycin, kecuali bahwa


claritromycin lebih aktif terhadap kompleks mycobacterium avium. Claritromycin
juga mempunyai aktivitas terhadap M leprae dan Toxoplasma gondii. Streptokokkus
dan stapilokokkus yang resisten terhadap eritromycin juga resisten terhadap
claritromycin.

Farmakokinetika

Dosis 500 mg menghasilkan konsentrasi serum sebesar 2-3 mg/mL. Waktu paruh
claritromycin (6 jam) yang lebih panjang dibandingkan dengan eritromycin
memungkinkan pemberian dosis 2 kali sehari. Claritromycin dimetabolisme dalam
hati. Metabolit utamanya adalah 14-hidroksiclaritromycin, yang juga mempunyai
aktivitas antibakteri. Sebagian dari obat aktif dan metabolit utama ini dieliminsai
dalam urine, dan pengurangan dosis dianjurkan bagi pasien-pasien dengan klirens
kreatinin dibawah 30 mL/menit.
Penggunaan Klinis
Keuntungan claritromycin dibandingkan eritromycin adalah lebih rendahnya
frekuensi intoleransi gastrointestinal dan lebih jarangnya frekuensi pemberian dosis.

2) Azitromycin
Kimia
Azitromycin merupakan senyawa dengan cincin makrolida lakton 15-atom yang
diturunkan dari eritromycin dengan penambahan suatu nitrogen yang dimetilasi ke
dalam cincin laktone eritromycin.
Aktivitas Antimikroba dan Penggunaan Klinis

Spektrum aktivitas dan penggunaan klinis identik dengan claritromycin. Azitromycin


aktif terhadap kompleks M avium dan T gondii. Azitromycin sedikit kurang aktif
dibandingkan eritromycin dan claritromycin terhadap satpilikokkus dan
sterptokokkus, namun sedikit lebih aktif terhadap H influenzae. Azitromycin sangat
aktif terhadap klamidia.

Farmakokinetika
Azitromycin berbeda dengan eritromycin dan claritromycin terutama dalam sifat
farmakokinetika. Satu dosi Azitromycin 500 mg dapat menghasilkan konsentrasi
serum yang lebih rendah, yaitu sekitar 0,4 g/mL. Akan tetapi Azitromycin dapat
melakukan penetrasi kesebagian besar jaringan dapat melebihi konsentrasi serum
sepuluh hingga seratus kali lipat. Obat dirilis perlahan dalam jaringan-jaringan
(waktu paruh jaringan adalah 2-4 hari) untuk menghasilkan waktu paruh eliminasi
mendekati 3 hari. Sifat-sifat yang unik ini memungkinkan pemberian dosis sekali
sehari dan pemendekan durasi pengobatan dalam banyak kasus.

Azitromycin diabsorbsi dengan cepat dan ditoleransi dengan baik secara oral. Obat
ini harus diberikan 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Antasida
aluminium dan magnesium tidak mengubah bioavaibilitas, namun memperlama
absorbsi dan dengan 15 atom (bukan 14 atom), maka Azitromycin tidak
menghentikan aktivitas enzim-enzim sitokrom P450, dan oleh karena itu tidak
mempunyai interaksi obat seperti yang ditimbulkan oleh eritromycin dan
claritmycin.

3. Tetrasiklin

Antibiotika golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan adalah klortetrasiklin


kemudian ditemukan oksitetrasiklin. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik
dari klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari species Streptomyces lain.
Demeklosiklin, doksisiklin dan minosiklin juga termasuk antibiotic golongan
tetrasiklin.
Mekanisme kerja

Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protin bakteri pada ribosomnya. Paling


sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotik ke dalam ribosom bakteri gram
negatif; pertam yang disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua ialah sistem
transport aktif. Setelah masuk maka antibiotik berikatan dengan ribosom 30S dan
menghalangi masuknya tRNA-asam amino pada lokasi asam amino.

Efek Antimikroba

Pada umumnya spektrum golongan tetrasiklin sama (sebab mekanismenya sama),


namun terdapt perbedaan kuantitatif dan aktivitas masing-masing drivat terhadap
kuman tertentu. Hanya mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi obat ini.

Golongan tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat bakteriostatik dan


bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman.

Spektrum antimikroba

Tetrasiklin memperlihatkan spektrum antibakteri luas yang meliputi kuman gram-


positif dan negatif, aerobik dan anaerobik. Selain itu juga aktif terhadap spiroket,
mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela dan protozoa tertentu.

Pada umunya tetrasiklin tidak digunakan untuk pengobatan infeksi oleh


streptokokus karena lebih efektif dengan penisilin G, eritromisin, sefalosporin;
kecuali doksisiklin yang digunakan untuk pengobatn sinusitis pada orang dewasa
yang disebabkan oleh Str. pneumoniae dan Str.pyogenes. banyak strai S.aureus
yang resisten terhadap tetrasiklin.

Tetrasiklin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin dalam pengobatan infeksi


batang gram-positif seperti B.anthracis, Erysipel, Iothrix rhusiopathiae, Clostridium
tetani dan Listeria monocytogenes.

Kebanyakan strain N.gonorrhoeae sensitif terhadap tetrasiklin, tetapi N.gonorrhoeae


penghasil penisilinase (PPNG) biasanya resisten terhadap tetrasiklin.

Efektivitasnya tinggi terhadap infeksi batang gram-negatif seperti Brucella,


Francisella tularensis, Pseudomonas mallei, Pseudomonas pseudomallei, Vibrio
cholorae, Campylobacter fetus, Haemophyllus ducreyi, dan Calymmatobacterium
granulomatis, Yersinia pestis, Pasteurella multocida, Spirillum minor, Leptotrichia
buccalis, Bordetella pertusis, Acinetobacter dan Fusobacterium. Strain tertentu
H.influenza mungkin sensitif tetapi E.coli, Klebsella, Enterobacter, Proteus indol
positif dan Pseudomonas umumnya resisten.

Tetrasiklin merupakan obat yang sangat efektif untuk infeksi Mycoplasma


pneumoniae, Ureaplasma urealyticum, Chlamydia trachomatis, Chlamydia psittaci
dan berbagai riketsia. Selain itu juga aktif terhadap Borrelia recurrentis, Treponema
pertenue, Actinomyces israelii. dalam kadar tinggi aktif menghambat Entamoeba
histolytica.

Resistensi
Beberapa spesies kuman terutama streptokokus beta hemolotikus, E.coli,
Pseudomonas aeruginosa, Str.pneumoniae, N.gonorrhoeae, Bacteroides, Shigella,
dan S.aureus makin meningkatkan resistensinya terhadap tetrasiklin. Reistensi
terhadap satu jenis tetrasiklin biasanya disertai resistensi terhadap semua
tetrasiklin lainnya, kecuali minosiklin pada resistensi S.aureus dan doksiiklin pada
resistensi B.fragilis.

Farmakokinetik

Absorpsi
Sekitar 30-80% tetrasiklin diserap dalam salura cerna. Doksisiklin dan minosiklin
iserap lebih dari 90%. Absorpsi sebagian besar berlangsung di lambung dan usus
halus. Adanya makanan dalam lambung menghambat penyerapan, kecuali
minosiklin dan doksisiklin. Absorpsi dihambat dalam derajat tertentu oleh pH tinggi
dan pembentukan kelat yaitu kompleks tetrasiklin dengan suatu zat lain yang sukar
diserap seperti aluminium hidroksid, garam kalsium dan magnesium yang biasanya
terdapat dalam antasida, dan juga ferum. Tetrasiklin diberikan sebelum makan atau
2 jam sesudah makan.

Distribusi
Dalam plasma semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah
yang bervariasi. Dalam cairan cerebrospinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya
10-20% kadar dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya
meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik. Obat
golongan ini ditimbun di hati, limpa dan sumssum tulang serta di sentin dan email
gigi yang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin menembus sawar uri dan terdapat
dalam ASI dalam kadar yang relatif tinggi. Dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya,
doksisiklin dan minosiklin daya penetrasinya ke jaringan lebih baik.

Ekskresi
Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin dengan filtrasi glomerolus dan melalui
empedu. Pemberiaan per oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin diekskresi
melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam empedu
mencapai kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat yang diekskresi ke
dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik; maka obat ini masih
terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi
obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami
kumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap diekskresi melalui tinja.

Efek samping
Gangguan lambung. Penekanan epigastrik biasanya disebabkan iritasi ari mukosa
lambung dan sering kali terjadi pada penderita yang tidak patuh yang diobati
dengan obat ini.

Efek terhadap kalsifikasi jaringan. Deposit dalam tulang dan pada gigi timbul
selama kalsifikasi pada anak yang berkembang. Hal ini menyebabkan pewarnaan
dan hipoplasi pada gigibdan menganggu pertumbuhan sementara.

Hepatotoksisitas fatal. Efek samping ini telah diketahui timbul bila obat ini diberikan
pada perempuan hamil dengan dosis tinggi terutama bila penderita tersebut juga
pernah mengalami pielonefritis.

Fototoksisitas . Fototoksisitas, misalnya luka terbakar matahari yang berat terjadi


bila pasien menelan tetrasiklin terpajan oleh sinar matahari atau UV. Toksisitas ini
sering dijumpai dengan pemberian tetrasiklin, doksisiklin dan deklosiklin.

Gangguan keseimbangan. Efek samping ini misalnya pusing, mual, muntah terjadi
bila mendapat minosiklin yang menumpuk dalam endolimfe telinga dan
mempengaruhi fungsinya.

Pseudomotor serebri. Hipertensi intrakranial benigna ditandai dengan sakit kepala


dan pandangn kabur yang dapat terjadi pad orang dewasa. Meskipun penghentian
meminum obat membalikkan kondisi, namun tidak jelas apakah dapat terjadi
sekuela permanen.

Superinfeksi. Pertumbuhan berlebihan dari kandida (misalnya dalam vagina) atau


stafilokokus resisten (dalam usus) dapat terjadi.

Penggunaan klinik

Penyakit yang obat pilihannya golongan tetrasiklin adalah:

Riketsiosis. Perbaikan yangdramatik tampk setelah penggunaan obat golongan ini.


Demam mereda dalam 1-3 hari dan ruam kulit hilang dalam 5 hari. Perbaikan klinis
tampak 24 jam setelah terapi.

Infeksi klamidia. Limfogranuloma venereum: Golongan tetrasiklin merupakan obat


pilihan utama penyakit ini. Terapi 3-4 minggu dan 1-2 bulan untuk keadaan kronik.
Psitakosis: pemberiaan golongan tetrasiklin selama beberapa hari mengatasi gejala
klinis.
Inclusion conjunctivitis: pengobatannya dengan salep mata atau tetes mata yang

mengandung golongan tetrasiklin selama 2-3 minggu.

Trakoma: pengobatan dengan salep mata golongan tetrasiklin dikombinasikan


dengandoksisiklin oral selama 40 hari.

Uretritis nonspesifik. Pengobatan dengan tetrasiklin oral 4 kali sehari 500 mg


selama 7 hari.

Infeksi Mycoplasma pneumoniae. Dapat diatasi dengan obat golongan tetrasiklin.


Walaupun penyembuhan cepat dicapau, bakteri ini mungkin tetap ada dalam
sputum setelah obat dihentikan.

Infeksi basil

Bruselosis: Pengobatan yang memuaskan didapat setelah 3 minggu dengan

golongan tetrasiklin. Untuk kasus berat dikombinasi dengan streptomisin.

Tularemia: Terapi dengan tetrasiklin cukup baik meskipun streptomisin adalah


obat pilah utama penakit ini.
Kolera: tetrasiklin adalah antibiotik paling efektif untuk kasus i ni. Dapat

mengurangi kebutuhan cairan infus sebanyak 50 %dari yang dibutuhkan.

Sampar: stretomisin adalah pilihan utama untuk penyakit ini . namun bila
streptomisin tidak dapat digunakan maka dapat dipakai golongan tetrasiklin.

Infeksi kokus. Golongan tetrasiklin tida lagi diindikasikan untuk infeksi


staphylacoccus maupun streptococcus karena seing dijumpai resistensi. Adanya
resistensi strain Str.pneumoniaemembatasi penggunaannya untk penumonieae
akibat kuman ini.

Infeksi venerik.
Gonore: penisilin merupakan obat pilihan utama namun bagi paseien yang
alergi penisilin dapat diberikan tetrasiklin oral 4 kali sehari 500 mg atau doksisiklin
2 kali sehari 100 mg selama 7 hari. Tetrasiklin mempunyai masking effect terhadap
infeksi sifilis sehingga menyulitkn diagnosis.
Sifilis: tetrasiklin merupakan obat pilihan ke dua setelah penisilin untuk sifilis
dengan dosis 4 kali sehari 500 mg per oral selama 15 hari. Juga efektif untuk
chancroid dan granuloma inguinal.

Akne vulgaris.

tetrasiklin dapat menghambat prouksi asam lemak dari sebum, dengan dosis 2 kali
sehari 250 mg selama 2-3 minggu hingga beberapa bulan

Infeksi lain.

Actinomycosis: Golongan tetrsiklin dapat digunakan jik penisilin G tidak dpat


diberikan pada pasien.

Frambusia: respon penderita terhadapa golongan tetrasiklin berbeda-beda. Ada


yang hasilnya baik, dapula yang tidak memuaskan. Penisilin merupakan pilihan
utama untuk penyakit ini.

Leptospirosis: walaupun tetrasiklin dan penisilin G sering digunakan untuk


penyakit ini, efektivitasnya tidak terbukti secara mantap.

Infeksi saluran cerna: tetrasiklin merupakan ajuvan yang bermanfaat pada


amubiasis intestinal akut, dan infeksi Plasmodium falciparum. Selain itu efektif
untuk disentri oleh strain shigella yang peka.

Penggunaan topikal

Hanya dibatasi untuk infeksi mata saja. Salep mata golongan tetrasiklin efektif
untuk mengobati trakoma dan infeksi lain pada mata oleh gram-positif dan gram
negatif yang sensitif. Selain itu juga untuk profilaksis oftalmianeonatorum pada
neonatus.

Profilaksis pada penykit paru menahun


Banyak penelitian yang hasilnya kontroversial mengenai keamanan tetrasiklin 500
mg sehari per oral pad pasien ini. Bahaya potensial pemberiaan jangka lama ini
ialah timbulnya superinfeksi bakteri atau jamur yang sulit dikendalikan.

interaksi obat

Bila tetrasiklin diberikan dengan metoksifluoran maka dapat menyebabkan


nefrotoksisk. Bila dikombinasikan dengan penisilin maka aktivitas antimikrobanya
dihambat. Bila tetrasiklin digunakan bersamaan dengan produk susu maka akan
menurunkan absorpsinya karena membentuk khelat tetrasiklin dengan ion kalsium
yang tidak dapat diabsorpsi.
4. Kloramfenikol

Kloramfenikol diisolasi pertama kali dari Streptomyces venezuelae. Karena daya anti
mikrobanya yang kuat, maka penggunaannya meluas hingga tahun 1950, dan
diketahui obat ini dapt menimbulkan anemia aplastik yang fatal. Karena
toksisitasnya, penggunaan obat ini dibatasi hanya untuk mengobati infeksi yang
mengancam kehidupan dan tidak ada alternatif lain.

a. Mekanisme kerja
kloramfenikol bekerja dengan mengikat sub unit 50S ribosom bakteri dan
menghambat sintesis protein kuman. Yang dihambat ialah enzim peptidil trasferase
yang merupakan katalisator untuk pembentukan ikatan-ikatan peptida pada proses
sintesis protein kuman. Karena kemiripan ribosom mitokondria mamalia dengan
bakteri, sintesis protein pada organela ini dihambat dengan kadar klorafenikol tinggi
yang dapat menimbulkan toksisitas sumsum tulang. Efek toksiknya pada sel
mamalia terutama terlihat pada sistem hemopoetik dan diduga berhubungan
dengan mekanisme kerja obat ini.

b. Spektrum antibakteri

Spektrum antibakterinya meliputi D.pneumoniae, Streptomyces pyogenes,


Streptomycesviridans, Neiserria, Haemophilus, Bacillus sp, Listeria, Bartonella,
Brucella, P.multocida, C.diphtheriae, Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia,
Treponema, dan kebanyakan kuman anaerob.

Bebrapa strain D.pneumoniae, H.influenzae dan N.meningitidis brsifat resisten;


S.aureus umunya sensitif, sedang Enterobactericeae banyak yang telah resisten.

Obat ini juga efektif terhadap kebanyakan strain E.coli, K.pneumoniae dan
Pr.mirabilis . Kebanyakan strain Serratia, Providencia, dan Proteus rettgerii resisten,
juga kebanyakan strain Pseudomonas aeruginosa danstrain tertentu Salmonella
typhi.

c. Farmakokinetik

Setelah pemberiaan oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar punck dalam
darah tercapai dalam 2 jam. Untuk anak diberikan ester kloramfenikol palmitat atau
stearat yang tidak pahit. Bentuk ester ini akan terhidrolisis di usus dan
membebaskan kloramfenikol. Masa paruh eliminasi pada orang dewasa kurang lebih
3 jam, pada bayi umur kurang 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol
dalam darah terikat dengan albumin. Obat ini diditribusikan secara baik ke berbagai
jaringan tubuh, termasuk otak, cairan cerebrospinal dan mata. Dalam hati
kloramfenikol mengalami konyugasi dengan asam glukoronat oleh enzim glukuronil
transferase. Dalam waktu 24 jam, 80-90% kloramfenikol yang diberikan per oral
telah diekskresi melalui urin, hany 5-10% dalam bentuk aktif. Sisanya terdapat
dalam bentuk glukuronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif. Bentuk aktif
kloramfenikol diekskresi terutam melalui filtrat glomerulus sedangkan metabolitnya
dengan sekresi tubulus.

d. Efek samping

Reaksi hematologik. Terdapat dalam 2 bentuk. Pertama yaitu reaksi toksik dengan
manifestasi depresi sumsum tulang. Kelainan darah yng terlihat yaitu anemia,
retikulositopenia, peningkatan serum ion dan iron binding capacity serta vakuolisasi
seri eritrosit bentuk muda. Bentuk kedua prognosinya sangat buruk karena anemia
yang timbul bersifat irreversibel. Bentuk yang hebat bermanifestasi sebagai anemia
aplastik dengan pansitopenia.

Reaksi alergi

Kloramfenikol dapat menimbulkan kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan


anafilaksis. Kelainan menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan
demam tifoid walaupun jarang dijumpai.

Reaksi saluran cerna. Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare
dan enterokolitis.

Gray baby sindrom. Efek ini terjadi pada neonatus bila regimen dosis kloramfenikol
tidak disesuaikan secara akurat. Neonatus memiliki kapasitas rendah dalam
mengglukuronidasi antibiotika dan fungsi ginjalnya belum sempurna sehingga
kemampuannya untuk mengekskresi obat menurun, yang menumpuk sampai
tingkat yang mengganggu fungsi ribosom mitokondria. Hal ini menyebabkan
masuknya makanan terganggu, menekan pernafasan, kardiovaskular kolaps,
sianosis (karena itu disebut grey baby) dan kematian.

Reaksi neurologik. Terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium, dan sakit
kepala. Neuritis perifer atau neuropati optik dapat juga timbul terutama setelah
pengobatan lama.

e. Penggunaan klinik

Demam tifoid. Walaupun akhir-akhir ini sering dilaporkan adanya resistensi S.typhi
terhadap kloramfenikol, tapi masih tetap sebagai pilhan utama untuk penyakit ini.
Untuk pengobatannya, kloramfenikol diberikan 4 kali sehari 500 mg selama 2-3
minggu. Untuk anak 50-100 mg/kgBB sehari selama 10 hari. Dapat pula digunakan
tiamfenikol dengan dosis 50 mg/kgBB sehari pada minggu pertama dan diteruskan
1-2 minggu lagi dengan dosis separuhya.

Meningitis purulenta. Kloramfenikol efektif untuk penyakit yang disebabkan


H.influenzae ini. Untuk terapi awal pada anak, kloramfenikol diberikan bersama
dengan suntikan penisilin G.

Riketsiosis. Tetrasiklin merupakan obat pilihan pertama untuk penyakit ini. Namun
apabil tetrasiklin tidak dapat diberikan, maka digunakan kloramfenikol dengan dosis
awal 50 mg/kgBB dilanjutkan dengan pemberian 1 g tiap 8 jam. Untuk anak
kloramfenikol palmitat 100 mg/kgBB sehari. Dilanjutkan sampai 8 jam bebas
demam.

Infeksi lain. Klorafenikol memliki efktivitas yang sama dengan tetrasiklin dalam
pengobatan lymphogranuloma venerum, psittcosis, infeksi mycoplasma
pneumoniae dan
P.pestis. namun untuk kasus ini sebaiknya digunakan tetrasiklin yang toksisitasnya
relatif rendah. Kloramfenikol dapat digunakan untuk bruselosis dengan dosis 0,75-1
gram tiap 6 jam bila tetrasiklin tidak dapat diberikan. Kloramfenikol dapat pula
digunakan untuk mengatasi infeksi kuman anaerobik yang berasal dari lumen usus.

f. Interaksi obat

Kloramfenikol mampu menghambat fungsi penggabungan oksidase hepatik


sehingga dapat menghambat metabolisme obat seperti warfarin, fenitoin,
tolbutamid dan klopropamid, sehingga meningkatkan konsentrasi dan efeknya.

5. Klindamisin

a. Mekanisme kerja

Mekanisme kerja klindamisin sama dengan eritromisin yaitu mengikat secara


ireversibel pada tempat sub unit 50S ribosom bakteri, sehingga menghambat
langkah translokasi sintesis protein.

b. Spektrum antibakteri

Spektrum antibakterinya menyeruapai linkomisisn hanya in vitro klindamisin lebih


aktif. Obat ini aktif terhadap S.aureus, D.pneumoniae, Str.pyogenes, Str.anaerobic,
Str.viridans dan Actinomyces israelli. Obat ini juga aktif terhadap Bacteroides fragilis
dan kuman anaerob lainnya.

c. Farmakokinetik
Klindamisin diserap hampir lengkap pada pemberiaan oral. Adanya makanan dalam
lambung tidak banyak mempengaruhi absorpsi obat ini. Klindamisin palmitat yang
digunakan sebagai preparat oral pediiatrik, tidak aktif secara in vitro. Tetapi setelah
mengalami hidrolisis akan dibebakan klindamisin yang aktif. Klindamisin didistribusi
dengan baik, ke berbagai cairan tubuh, jaringan dan tulang, kecuali CSS walaupun
sedang terjadi meningitis. Dapat menembus sawar uri dengan baik. Kira-kira 90%
klindamisin dalam serum terikat dengan albumin. Hanya sekitar 10% klindamisin
diekskresi dalam bentuk asal melalui urin. Sejumlah kecil klindamisin ditemukan
dalam feses. Sebagian besar obat dimetabolisme menjadi N-demetilklindamisin dan
klindamisin sulfoksid untuk selanjutnya diekskresi melalui urin dan empedu.

d. Efek samping

selain kulit kemerahan, efek samping yang paling serius yang dapat berakibat fatal
yaitu kolitis pseudomembranosa yang disebabkan pertumbuhan berlebihan
Clostridium difficile yang mengeloborasi toksin nekrotik. Reaksi lain yang jarang
terjadi ialah sindrom stevens-johnson, peningkatan SGPT dan SGOT sementara,
granulisitopenia, trombositopenia dan reaksi anfilaksis. Tromboflebitis dapat terjadi
karena pemberian iv.

e. Penggunaan klinik

Walaupun beberapa infeksi kokus gram positif dapat diobati dengan klindamisin,
pengobatan ini harus dipertimbangkan baik-baik karena mungkin menimbulkan
kolitis. Klindamisin terutam bermanfaat untuk infeksi kuman anaerobik, terutama
B.fragilis. untuk pengobatan abses paru, pemberiaan klindamisin 3 kali 600 mg
secara iv lebih efektif daripada penisilin 1 juta unit tiap 4 jam. Peranan obat ini
untuk pneumonia aspirasi, pneumonia pasca obstruksi atau abses paru belum
dipastikan, tetapi didapat kesan bahwa klindamisin merupakan alternatif yang baik
untuk penisilin.

Antagonis Folat

1) Sulfonamida
Semua sulfonamida yang digunakan dalam klinik adalah analog struktural p-
aminobenzoat (PABA) sintetik.

Sulfadiazin perak, suksinilsulfatiazol, sulfasetamid, sulfadiazin, sulfametoksazol,


sulfasalazin, sulfisoksazol.

a. Mekanisme kerja

Menjadi impermeabel terhadap asam folat, banyak bakteri harus tergantung pada
kemampuannya untuk mensintesis asam folat dari PABA, pteridin dan glutamat.
Sebaliknya, manusia tidak dapat mensintesis asam folat dan folat didapat dari
vitamin dan makanannya.
Karena strukturnya mirip PABA, sulfonamida berkompetisi dengan substrat ini
untuk sintetase enzim dihidropteroat.
Hal ini menghilangkan kofaktor esensial sel terhadap purin, pirimidin dan sintesis
asam amino.

b. Spektrum Bakteri

Golongan sulfa termasuk kotrimoksasol (sulfametoksasol plus trimetoprim)


bersifat bakteriostatik.
Obat-obat ini aktif terhadap enterobakteria, klamidia, pneumocytis dan nokardia.

c. Resistensi

Resistensi secara umum bersifat irreversibel dan mungkin disebabkan oleh tiga
kemungkinan.
1. Perubahan enzim : Dihidropteroat sintetasi bakteri dapat mengalami mutasi atau
ditransfer melalui plasmid yang menimbulkan penurunan afinitas sulfa.

2. Penueunan masukan : Permeabilitas terhadap sulfa mungkin menurun pada


beberapa starin yang resisten.

3. Meningkatnya sintesis PABA

d. Farmakokinetik

1. Pemberian: Kebanaykan obat sulfa diabsorpsi secara baik setelah pemberian oral.
Karena resiko sensitasi sulfa biasanya tidak diberikan secara topikal.

2. Distribusi: Gol. Sulfa didistribusikan ke seluruh cairan tubuh dan penetrasinya


baik ke dalam cairan serebrospinal. Obat ini juga dapat melewati sawar plasenta
dan masuk ke dalam ASI. Sulfa berikatan dengan albumin serum dalam sirkulasi.

3. Metabolisme: Sulfa diasetilasi pada N4, terutama di hati. Produknya tanpa


aktivitas antimikroba, tetapi masih bersifat potensial toksik pada PH netral atau
asam yang menyebabkan kristaluria dan karena itu, dapat menimbulkan kerusakan
ginjal.

4. Ekskresi: Eliminasi sulfa yaitu melalui filtrasi glomerulus.

e. Efek Samping

Kristaluria: Nefrotoksisitas berkembang karena adanya kristaluria. Hidrasi dan


alkalinasi urin yang adekuat mencegah masalah tersebut dengan menurunkan
konsentrasi obat dan menimbulkan ionisasinya.
sulfisoksazol dan sulfametoksazol >> larut pada pH urin dibandingkan sulfa yang
lama (mis:sulfadiazin) shg <<>85 3,1 400 Non-ginjal

Norfloxacin 3,5-5 80 1,5 400 Gijal

Ofloxacin 5-7 95 2,9 400 Ginjal

Sparfloxacin 18 92 50% ginjal, 50% feses

Trovafloxacin 11 88 2,2 200 Non-ginjal

2) Rifampicin

Rifampisin adalah derivate semisintetik rifampisin B yaitu satu anggota kelompok


antibiotic makrosiklik yang disebut rifamisin. Kelompok zat ini dihasilkan oleh
Streptomyces mediterranei. Obat ini merupakan zwitter, larut dalam pelarut organic
dan air yang pH nya asam.

a. Aktivitas antibakteri
Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagal kuman gram-positif dan gram-
negatif. Terhadap kuman gram-positif kerjanya tidak sekuat penisilin G tetapi sediklt
lebih kuat daripada eritromisin, linkomisin, sefalotin. Terhadap kuman gram-negatif
kerjanya lebih lemah daripada tetrasiklin, kloramfenikol, kanamisin dan kolistin.
Antibiotik Ini sangat aktif terhadap N meningitis ; kadar hambat minimalnya
berkisar 0,1-0,8 g/ml. Obat ini dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis
virus.
In vivo, rifampisin meningkatkan aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap
M.tubercolosis, tetapi tidak bersifat aditif terhadap etambutol.

b. Farmakokinetik

Pemberian rifampisin per oral menghasilkan kadar puncak dalam plasma 2-4 jam;
dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan kadar sekitar 7 g/ml.

T : 1,5 5 jam

Ekskresi : empedu

Pemberian PAS bersama rifampisin akan menghambat absorpsi rifampisin


sehingga kadarnya dalam darah tidak cukup.

Rifampisin merupakan pemacu metabolisme obat yang cukup kuat, sehingga


berbagai obat hipoglikemik oral, kortikosteroid, dan kontrasepsi oral akan berkurang
efektivitasnya bila diberikan bersama rifampisin.
Mungkin dapat terjadi kehamilan pada pemberian bersama kontrasepsi oral.
Rifampisin mungkin menganggu metabolisme vitamin D sehingga dapat
menimbulkan kelainan tulang berupa osteomalasia.

Disulfiram dan probenesid dapat menghambat ekskresi rifampisin melalui ginjal.


Rifampisin tampaknya meningkatkan hepatotokslsltas INH terutama pada asetilator
lambat

c. Efek-efek yang tidak diinginkan


penyakit kuning (ikterus)

gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, sakit ulu hati, kejang perut dan
diare, begitu pula gejala gangguan SSP dan reaksi hipersensitasi.

d. Sediaan

Kapsul 150 mg dan 300 mg

Tablet 450 mg dan 600 mg

Suspensi yang mengandung 100 mg/5 ml rifampisin.

e. Dosis

Dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg ialah 450 mg/ hari dan untuk berat
badan lebih dari 50 kg ialah 1000 mg/hari. anak-anak 10-20 mg/kg BB per hari dan
dengan dosis maksimum 600 mg/ hari.

antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat

Mekanisme Kerja Antibiotik

Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan spectrum atau kisaran kerja,

mekanisme aksi, strain penghasil, cara biosintesis maupun berdasarkan struktur biokimianya.

Berdasarkan spektrum atau kisaran kerjanya antibiotik dapat dibedakan menjadi antibiotik

berspektrum sempit (narrow spectrum) dan antibiotik berspektrum luas ( broad spectrum).

Antibiotik berspektrum sempit hanya mampu menghambat segolongan jenis bakteri saja,

contohnya hanya mampu menghambat atau membunuh bakteri gram negative saja atau gram
positif saja. Sedangkan antibiotik berspektrum luas dapat menghambat atau membunuh bakteri

dari golongan gram positif maupun gram negatif. Berdasarkan mekanisme aksinya, antibiotik

dibedakan menjadi lima, yaitu antibiotik dengan mekanisme penghambatan sintesis dinding sel,

perusakan membran plasma, penghambatan sintesis protein, penghambatan sintesis asam

nukleat, dan penghambatan sintesis metabolit esensial.

Antibiotika digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi akibat kuman atau

juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar. Secara profilaktis juga diberikan

pada pasien dengan sendi dan klep jantung buatan, juga sebelum cabut gigi. Diperkirakan bahwa

antibiotik bekerja setempat didalam usus dengan menstabilisir floranya hewan tersebut. Kuman-

kuman buruk yang merugikan dikurangi jumlah dan aktivitasnya, sehingga zat-zat gizi dapat

dipergunakan lebih baik. Pertumbuhan dapat distimulasi dengan rata-rata 10 %. Meskipun di

kebanyakan Negara Barat penyalahgunaan ini dilarang dengan keras, namun masih tetap banyak

digunakan dalam makanan ternak, terutama makrolida dan glikopeptida.

Penghambatan pada sintesis asam nukleat berupa penghambatan terhadap

transkripsi replikasi mikroorganisme. Yang termasuk antibiotik penghambat sintesis asam

nukleat ini adalah antibiotik golongan kuinolon dan rifampin atau rifampisin.

Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA)

A. Golongan Kuinolon

Kuinolon, merupakan bakterisida karena menghambat lepasnya untai DNA yang terbuka

pada proses superkoil dengan menghambat DNA girase (enzim yang menekan DNA bakteri

menjadi superkoil). Untuk memasukkan DNA untai ganda yang panjang kedalam sel bakteri,

DNA diatur dalam loop (DNA terrelaksasi) yang kemudian diperpendek oleh proses superkoil.
Sel eukariotik tidak mengandung DNA girase. Sifat penting dari Kuinolon adalah penetrasinya

yang baik ke dalam jaringan dan sel (bandingkan dengan Penisilin), efektivitasnya bila diberikan

secara oral, dan toksisitasnya relatif rendah.

a) Pada awal tahun 1980, diperkenalkan golongan Kuinolon baru dengan atom Fluor pada cincin

Kuinolon ( karena itu dinamakan juga Fluorokuinolon). Perubahan struktur ini secara dramatis

meningkatkan daya bakterinya, memperlebar spektrum antibakteri, memperbaiki

penyerapannya di saluran cerna, serta memperpanjang masa kerja obat.Golongan Kuinolon ini

digunakan untuk infeksi sistemik.


b) Mekanisme Kerja Kuinolon

Pada saat perkembang biakkan kuman ada yang namanya replikasi dan transkripsi

dimana terjadi pemisahan double helix dari DNA kuman menjadi 2 utas DNA. Pemisahan ini

akan selalu menyebabkan puntiran berlebihan pada double helix DNA sebelum titik pisah.

Hambatan mekanik ini dapat diatasi kuman dengan bantuan enzim DNA girase. Peranan

antibiotika golongan Kuinolon menghambat kerja enzim DNA girase pada kuman dan bersifat

bakterisidal, sehingga kuman mati.

b) Efek Samping dan Interaksi Obat


Golongan antibiotika Kuinolon umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Efek

sampingnya yang terpenting ialah pada saluran cerna dan susunan saraf pusat. Manifestasi pada

saluran cerna,terutama berupa mual dan hilang nafsu makan, merupakan efek samping yang

paling sering dijumpai. Efek samping pada susunan syaraf pusat umumnya bersifat ringan berupa

sakit kepala, vertigo, dan insomnia. Efek samping yang lebih berat dari Kuinolon seperti

psikotik, halusinasi, depresi dan kejang jarang terjadi. Penderita berusia lanjut, khususnya

dengan arteriosklerosis atau epilepsi, lebih cenderung mengalami efek samping ini. Enoksasin

menghambat metabolisme Teofilin dan dapat menyebabkan peningkatan kadar Teofilin.


Siprofloksasin dan beberapa Kuinolon lainnya juga memperlihatkan efek ini walaupun tidak

begitu dramatis.
c) Penggunaan Klinik
a. Infeksi saluran kemih Seperti Prostatitis, Uretritis, Servisitis dan Pielonfritis.
b. Infeksi saluran cerna Seperti demam Tifoid dan Paratifoid
c. Infeksi saluran nafas bawah Seperti Bronkitis, Pneumonia, Sinusitis Penyakit yang ditularkan

melalui hubungan kelamin Gonore


Yang termasuk golongan ini antara lain adalah Spirofloksasin, Ofloksasin,

Moksifloksasin, Levofloksasin, Pefloksasin, Norfloksasin, Sparfloksasin, Lornefloksasin,

Flerofloksasin dan Gatifloksasin.


1) Asam Nalidiksat
Asam Nalidiksat adalah kuinolon pertama yang ditemukan memiliki aktivitas antibakteri, tapi

Asam Nalidiksat tidak mencapai kadar antibakteri sistemik dan sampai saat ini hanya digunakan

pada infeksi saluran kemih.


2) Norfloksasin
Norfloksasin tidak mempunya aktivitas sistemik, terkonsentrasi dalam urin dan merupakan obat

lini kedua pada infeksi saluran kemih


3) Siprofloksasin
Siprofloksasin merupakan agen antibakteri spektrum luas. Diabsorbsi baik secara oral dan dapat

secara intravena. Dieliminasi oleh ginjal dan (sebagian besar) dalamm bentuk yang tidak

berubah. Siprofloksasin mempunyai substituent 6-fluoro yang sangat memperkuat potensi

antibakteri melawan bakteri gram (+) dan terutama bakteri gram (-) (E. coli, P.aeruginosa,

Salmonella, Campylobacter). Efek samping jarang terjadi, meliputi mual, muntah, ruam, pusing,

dan sakit kepala. Konvulsi bisa terjadi karena kuinolon merupakan antagonis asam -

aminobutirat (GABA). Antibiotika Kuinolon ini tersedia dalam bentuk tablet dengan kandungan

Spirofloksasin 250 mg, 500 mg, 750 mg bahkan ada yang 1.000 mg. Juga tersedia dalam bentuk

infus dengan kandungan Spirofloksasin 200 mg/100 ml.


4) Ofloksasin
Ofloksasin merupakan derivat flouroquinolon yang memiliki efektivitas dan spektrum yang luas

sebagai antibiotik, namun ofloksasin juga dapat berperan sebagai fotosensitiser sehingga

menyebabkan fotohemolisis.
Antibiotika Kuinolon ini tersedia dalam bentuk tablet dengan kandungan Ofloksasin 200 mg dan

500 mg. Juga tersedia dalam bentuk infus dengan kandungan Ofloksasin 200 mg/100 ml.
5) Moksifloksasin
Antibiotika Kuinolon ini tersedia dalam bentuk tablet dengan Moksifloksasin kandungan 400 mg.

Juga tersedia dalam bentuk infus dengan kandungan Moksifloksasin 400 mg/250 ml.
6) Levofloksasin
Antibiotika Kuinolon ini tersedia dalam bentuk tablet dengan kandungan Levofloksasin 250 mg

dan 500 mg. Juga tersedia dalam bentuk infus dengan kandungan Levofloksasin 500 mg/100 ml.
7) Pefloksasin
Antibiotika Kuinolon ini tersedia dalam bentuk tablet dengan kandungan Pefloksasin 400 mg.

Juga tersedia dalam bentuk infus dengan kandungan Pefloksasin 400 mg/125 ml dan ampul

dengan kandungan Pefloksasin 400 mg/5 ml.


8) Norfloksasin
Antibiotika Kuinolon ini tersedia dalam bentuk tablet dengan kandungan 400 mg.
9) Sparfloksasin
Antibiotika Kuinolon ini tersedia dalam bentuk tablet dengan kandungan 200 mg.
10) Lornefloksasin
Antibiotika Kuinolon ini tersedia dalam bentuk tablet dengan kandungan 400 mg.
11) Flerofloksasin
Antibiotika Kuinolon ini tersedia dalam bentuk tablet dengan kandungan 400 mg. Juga tersedia

dalam bentuk infus dengan kandungan 400 mg/100 ml.


12) Gatifloksasin
Antibiotika Kuinolon ini tersedia dalam bentuk tablet dengan kandungan 400 mg. Juga tersedia

dalam bentuk vial untuk injeksi dengan kandungan 400 mg/40 ml.

B. Golongan Rifampisin

Rifampisin merupakan obat antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri.

Rifampicin sering dipakai untuk pengobatan tuberculosis (TBC). Obat ini juga dapat digunakan

untuk mencegah infeksi setelah berkontak dengan seseorang yang sedang menderita infeksi

serius. Obat ini hanya diberikan dengan resep dokter.


Infeksi jaringan lunak dan tulang. Seperti Osteomielitis. Untuk infeksi pasca bedah oleh

kuman enterokokus Ps. aeroginosa atau stafilokokus yang resisten terhadap Beta Laktam atau

Aminoglikosid. Rifampisin bekerja dengan membunuh bakteri yang menyebabkan infeksi. Cara

kerja obat ini yaitu dengan menonaktifkan enzim bakteri yang disebut RNA polimerase. Bakteri

menggunakan RNA polimerase untuk membuat protein dan untuk menyalin informasi genetik

(DNA) mereka sendiri. Tanpa enzim ini bakteri tidak dapat berkembang biak dan bakteri akan

mati. Kerja Obat Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak dapat

dibunuh oleh isoniazid. Mekanisme kerja, Berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim

bakteri Ribose Nukleotida Acid (RNA)-polimerase sehingga sintesis RNA terganggu. Interaksi

obat ini adalah mempercepat metabolisme metadon, absorpsi dikurangi oleh antasida,

mempercepat metabolisme, menurunkan kadar plasma dari dizopiramid, meksiletin, propanon

dan kinidin, mempercepat metabolisme kloramfenikol, nikumalon, warfarin, estrogen, teofilin,

tiroksin, anti depresan trisiklik, antidiabetik (mengurangi khasiat klorpropamid, tolbutamid,

sulfonil urea), fenitoin, dapson, flokonazol, itrakonazol, ketokonazol, terbinafin, haloperidol,

indinafir, diazepam, atofakuon, betabloker(propanolol),diltiazem, nifedipin, verapamil,

siklosprosin, mengurangi khasiat glukosida jantung, mengurangi efek kostikosteroid, flufastatin.

Rifampisin adalah suatu enzyme inducer yang kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes,

mengakibatkan turunnya konsentrasi serum obat-obatan yang dimetabolisme oleh isoenzyme

tersebut. Obat obat tersebut mungkin perlu ditingkatkan selama pengobatan TB, dan diturunkan

kembali 2 minggu setelah Rifampisin dihentikan. Obat-obatan yang berinteraksi: diantaranya :

protease inhibitor, antibiotika makrolid, levotiroksin, noretindron, warfarin, siklosporin, fenitoin,

verapamil, diltiazem, digoxin, nortriptilin, alprazolam, diazepam, midazolam, triazolam dan

beberapa obat lainnya.


Efek Samping Pada Saluran cerna ; rasa panas pada perut, sakit epigastrik, mual, muntah,

anoreksia, kembung, kejang perut, diare, SSP: letih rasa kantuk, sakit kepala, ataksia, bingung,

pening, tak mampu berfikir, baal umum, nyeri pada anggota, otot kendor, gangguan penglihatan,

ketulian frekuensi rendah sementara ( jarang). Hipersensitifitas: demam, pruritis, urtikaria, erupsi

kulit, sariawan mulut dan lidah, eosinofilia, hemolisis, hemoglobinuria, hematuria, insufiensi

ginjal, gagal ginjal akut( reversibel). Hematologi: trombositopenia, leukopenia transien, anemia,

termasuk anemia hemolisis. Intoksikasi lain: Hemoptisis, proteinurea rantai rendah, gangguan

menstruasi, sindrom hematoreal.

ANTIBIOTIKA TETRASIKLIN

Sejarah

Tetrasiklin pertama kali ditemukan oleh Lloyd Conover. Berita tentang Tetrasiklin yang
dipatenkan pertama kali tahun 1955. Tetrasiklin merupakan antibiotika yang memberi harapan
dan sudah terbukti menjadi salah satu penemuan antibiotika penting. Antibiotik golongan
tetrasiklin yang pertama ditemukan adalah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces
aureofaciens. Kemudian ditemukan oksitetrasiklin dari Streptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri
dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari spesies
Streptomyces lain.
P protection for its fermentation and production was also first issued in 1950.Pada tahun
1950, Profesor Harvard Robert Woodward menentukan struktur kimia Terramycin, nama merek
untuk anggota keluarga tetrasiklin; paten perlindungan untuk fermentasi dan produksi juga
pertama kali diterbitkan pada tahun 1950. A research team of seven scientists at , in collaboration
with Woodward, participated in the two-year research leading to the discovery .
Alasan mengapa disebut tetrasiklin karena terdiri dari 4 ("tetra-") hidrokarbon cincin ("-
cycl-") derivasi ("-ine) yang merupakan subclass dari poliketida yang memiliki kerangka
octahydrotetracene-2-karboksamida.

Struktur Molekul Tetrasiklin


Senyawa-senyawa yang termasuk kelompok tetrasiklin mempunyai kerangka dasar karbon
dari naftasen C-18 yang terhidrogenasi secara parsial, oleh karena itu disebut juga kerangka
hidronaftasen. Beberapa senyawa yang termasuk kelompok tetrasiklin tercantum pada gambar
berikut.

Struktur kimia golongan tetrasiklin


R1 R2 R3 R4 Nama senyawa
H H H H 6-Deoksi-6-dimetiltetrasiklin
H OH H H 6-dimetiltetrasiklin
H OH CH3 H Tetrasiklin (akromisin)
Cl OH H H 7-kloro-6- dimetiltetrasiklin
H OH CH3 OH 5-hidroksitetrasiklin (oksi-tetrasiklin, teramisin)
Cl OH CH3 H 7-klorotetrasiklin (klor-tetrasiklin, aureomisin)

Tetrasiklin adalah zat anti mikroba yang diperolah denga cara deklorrinasi klortetrasiklina,
reduksi oksitetrasiklina, atau denga fermentasi. Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut
dalam air, tetapi bentuk garam natrium atau garam HClnya mudah larut. Dalam keadaan kering,
bentuk basa dan garam HCl tetrasiklin bersifat relatif stabil. Dalam larutan, kebanyakan
tetrasiklin sangat labil sehingga cepat berkurang potensinya.
Di antara senyawa-senyawa tetrasiklin tersebut di atas, yang termasuk tetrasiklin alam ialah
tetrasiklin atau akromisin, oksitetrasiklin atau teramisin dan klortetrasiklin atau auromisin.
Sedangkan 6-dimetiltetrasiklin dan 7-kloro-6-dimetiltetrasiklin kedua-duanya dihasilkan oleh
turunan mikroba yang semula berasal dari Streptomyces Aureus. Kedua senyawa yang terakhir
ini sangat sukar diuraikan baik oleh asam maupun basa, sehingga berguna untuk pengobatan
secara oral.
Dari struktur senyawa-senyawa tetrasiklin seperti tertera pada gambar di atas, terlihat bahwa
perbedaan antara tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin masing-masing terletak pada
adanya atom klor pada C-7 (cincin D) dan gugus hidroksi pada C-4 (cincin A) dari kerangka
hidronaftasen.
Biosintesis dan Reaksi-Reaksi Pokok Tetrasiklin
Tetrasiklin adalah senyawa-senyawa yang termasuk golongan poliketida. Percobaan-
percobaan menunjukkan bahwa tertrasiklin berasal dari delapan unit malonil-koenzim A, seperti
ditunjukkan oleh gambar.
Sebagaimana ditunjukkan oleh gambar, malonamoil-koenzim A bertindak sebagai inisiator
untuk polimerisasi delapan molekul malonil-koenzim A menghasilkan suatu poliketida-amida
yang linier. Poliketida-amida ini selanjutnya direka menghasilkan tetrasiklin, melalui serentetan
reaksi sederhana dan berlangsung secara bertahap. Melalui rangkaian reaksi ini, dihasilkan
senyawa-senyawa antara yang utama, seperti pret etramid dan 6-metilpretetramid, yang
mengandung semua atom karbon yang diperlukan pada hasil-hasil akhir.
Tetrasiklin dari deret 6-dimetil, seperti 6-demetiltetrasiklin dan 7-kloro-6-deametiltetrasiklin,
diturunkan dari pretetramid. Sedangkan, tetrasiklin, deret 7-klorotetrasiklin, dan deret 5-
hidrositetrasiklin diturunkan dari 6-metilpretetramid.
Biosintesis tetrasiklin bermula dari karboksilasi asetil-KoA membentuk malonil-KoA
dengan enzim asetil-KoA karboksilase. Malonil-KoA kemudian bereaksi dengan 2-
oksosuksinamat menghasilkan malonamoil-KoA. 2-oksosuksinamat merupakan hasil dari
transaminasi asparagin dengan enzim asam okso-asparagin transaminase. Malonamoil-KoA
kemudian dikonversi lebih lanjut menjadi 4-hidroksi-6-metilpretetramida melalui 6-
metilpretetramida. Senyawa inilah yang akan diubah menjadi 4-dedimethylamino-4-okso-
anhidrotetrasiklin, yang merupakan intermediat dalam menghasilkan klorotetrasiklin dan
tetrasiklin.
Sifat Fungsi dan Mekanisme Kerja Tetrasiklin
1. Sifat kimiawi tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk garam natrium atau
garam HCl-nya mudah larut. Dalam keadaan kering, bentuk basa dan garam HCl tetrasiklin
bersifat relatif stabil. Dalam larutan, kebanyakan tetrasiklin sangat labil sehingga cepat
berkurang potensinya. Golongan tetrasiklin adalah suatu senyawa yang bersifat amfoter sehingga
dapat membentuk garam baik dengan asam maupun basa. Sifat basa tetrasiklin disebabkan oleh
adanya radikal dimetilamino yang terdapat didalam struktur kimia tetrasiklin, sedangkan sifat
asamnya disebabkan oleh adanya radikal hidroksi fenolik.
Tetrasiklin harus disimpan di tempat yang kering, terlindung dari cahaya. Tetrasiklin apabila
bereaksi dengan logam bervalensi 2 dan 3 (Ca, Mg, Fe ) maka akan membentuk kompleks yang
inaktif sehingga tetrasiklin tidak boleh diminum bersama dengan susu dan obat-obat antasida.
Obat ini dalam bentuk kering bersifat stabil, tidak demikian halnya bila antibiotika ini berada
dalam larutan air. Untuk tetrasiklin sediaan basah perlu ditambahkan buffer. Dalam larutan
tetrasiklin yang biasa digunakan untuk injeksi mengandung buffer dengan pelarut propylen glikol
pada pH 7,5, dapat tahan 1 tahun pada suhu kamar sampai 45C. Bila pH lebih tinggi dari 7,5
maka tingkat kestabilan tetrasiklin akan menurun.
2. Kegunaan Tetrasiklin
Kegunaan klinis tetrasiklin dalam kedokteran hewan yaitu:
Hewan Kecil
Tetrasiklin digunakan untuk mengatasi berbagai infeksi yang disebabkan oleh kuman
gram positif maupun gram negatif, terutama pada penyakit saluran pernafasan, perkencingan,
leptospirosis (penyakit manusia dan hewan dari kuman dan disebabkan
kuman Leptospira yang ditemukan dalam air seni dan sel-sel hewan yang terkena), dan
panleukopenia (penyakit yang menyebabkan jumlah sel darah putih kucing menurun dengan
drastis).
Hewan besar
Antibiotika ini hampir selalu diberikan untuk mengatasi berbagai penyakit pada hewan
besar, hal ini mungkin disebabkan karena sifat obat yang mempunyai spectrum luas. Dalam
kasus lapangan antibiotika ini biasa digunakan untuk mengatasi penyakit-penyakit seperti
metritis, pneumonia, mastitis, enteritis, leptospirosis, shipping fever, listeriosis, anaplasmosis,
penyakit jembrana dan antraks.
Untuk babi
Dapat digunakan untu mengatasi penyakit seperti radang usus, paru, dan lain-lain. Dalam
dosis rendah klortetrasiklin juga ditemukan tercampur dalam pakan.
Untuk unggas
Biasa digunakan untuk mengatasi penyakit pada unggas seperti CRD, sinusitis, infeksi
PPLO dan erysipelas. Dalam banyak pakan ayam juga ditemukan kadar tetrasiklin dengan dosis
rendah.
Penggunaan topikal
Tetrasiklin digunakan untuk mengatasi radang infeksi pada kulit, biasanya sediaan
tetrasiklin dikemas dalam bentuk salep 1%. Dapat digunakan untuk mengobati penyakit mata
seperti opthalmik, selain itu dapat juga digunakan untuk mengatasi pink eye.

3. Mekanisme Kerja Tetrasiklin


Tetrasiklin bersifat bakteriostatik dengan jalan menghambat sintesis protein. Hal ini dilakukan
dengan cara mengikat unit ribosoma sel kuman 30 S sehingga t-RNA tidak menempel pada
ribosom yang mengakibatkan tidak terbentuknya amino asetil RNA. Antibiotik ini dilaporkan
juga berperan dalam mengikat ion Fe dan Mg. Meskipun tetrasiklin dapat menembus sel
mamalia namun pada umumnya tidak menyebabkan keracunan pada individu yang
menerimanya.
Ada 2 proses masuknya antibiotik ke dalam ribosom bakteri gram negatif; pertama yang
disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua ialah sistem transport aktif. Setelah masuk
maka antibiotik berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi masuknya tRNA-asam amino
pada lokasi asam amino.
a. Efek Antimikroba
Pada umumnya spektrum golongan tetrasiklin sama (sebab mekanismenya sama), namun
terdapat perbedaan kuantitatif dan aktivitas masing-masing derivat terhadap kuman tertentu.
Hanya mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi obat ini. Golongan tetrasiklin termasuk
antibiotik yang terutama bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat sintesis
protein kuman.
b. Farmakokinetik
Absorpsi
Sekitar 30-80% tetrasiklin diserap dalam saluran cerna. Doksisiklin dan minosiklin diserap
lebih dari 90%. Absorpsi sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus. Adanya
makanan dalam lambung menghambat penyerapan, kecuali minosiklin dan doksisiklin. Absorpsi
dihambat dalam derajat tertentu oleh pH tinggi dan pembentukan kelat yaitu kompleks tetrasiklin
dengan suatu zat lain yang sukar diserap seperti aluminium hidroksid, garam kalsium dan
magnesium yang biasanya terdapat dalam antasida, dan juga ferum. Tetrasiklin diberikan
sebelum makan atau 2 jam sesudah makan.
Distribusi
Dalam plasma semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang
bervariasi. Dalam cairan cerebrospinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya 10-20% kadar
dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke cairan
tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik. Obat golongan ini ditimbun di hati, limpa dan
sumssum tulang serta di sentin dan email gigi yang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin
menembus sawar uri dan terdapat dalam ASI dalam kadar yang relatif tinggi. Dibandingkan
dengan tetrasiklin lainnya, doksisiklin dan minosiklin daya penetrasinya ke jaringan lebih baik.
Ekskresi
Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin dengan filtrasi glomerolus dan melalui empedu.
Pemberiaan per oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin. Golongan
tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam empedu mencapai kadar 10 kali kadar dalam
serum. Sebagian besar obat yang diekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi
enterohepatik; maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi
dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan
mengalami kumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap diekskresi melalui tinja.

Sintesa Tetrasiklin
Struktur molekul senyawa-senyawa tetrasiklin bukanlah tergolong sederhana, oleh karena itu
sintesa tetrasiklin melibatkan berbagai jenis reaksi organik. Kesulitan utama dalam mensintesa
molekul tetrasiklin yaitu terletak pada cincin A. Hal ini dikarenakan pada setiap atom karbon dari
cincin ini mengandung sedikitnya satu subtituen. Disamping itu, tiga dari enam atom karbon
asimetri dalam molekul tetrasiklin yang paling banyak tersubtitusi, seperti oksitetrasiklin
terdapat juga pada cincin A. Sehingga untuk menghasilkan satu isomer optic yang aktif, bebas
dari isomer-isomer lainnya memerlukan pendekatan yang berhati-hati.
Sintesa tetrasiklin dimulai dengan sintesa suatu senyawa antara trisiklik yang sudah
mengandung cincin B, C, dan D dari molekul tetrasiklin dengan menggunakan reaksi Diels
Alder. Sintesa ini diikuti oleh pengubahan-pengubahan terhadap gugus-gugus fungsi
menghasilkan suatu senyawa antara baru, yaitu suatu diendiolon. Dimana senyawa antara
diendiolon ini dapat dimodifikasi unsur-unsur yang diperlukan untuk membentuk cincin A dalam
molekul tetrasiklin.

Efek samping Tetrasiklin

Efek samping dalam penggunaan tetrasiklin diantaranya yaitu:


1. Perusakan warna pada gigi
Tetrasiklin mengandung gugus-gugus hidroksil, dimana gugus tersebut akan membentuk
ikatan bila dikombinasikan dengan Ca++ sebagai unsur-unsur pembentuk gigi. Tetrasiklin dapat
mengikat kalsium secara irreversible, kemudian berikatan dengan kristal hidroksiapatit baik di
dentin maupun enamel. Juga, mempunyai kemampuan membentuk kompleks atau ikatan dengan
kristal hidroksiapatit dalam gigi sehingga mengakibatkan terbentuknya senyawa orthocalcium
phosphat complex yang tertimbun pada gigi dan menyebabkan perubahan warna pada gigi.
Dentin ditunjukkan sebagai jaringan yang paling sulit untuk berubah warna daripada enamel jika
melalui plasenta.
Ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya perubahan warna pada gigi. Faktor-faktor
tersebut antara lain struktur kimia dari senyawa tetrasiklin, dosis yang digunakan, lamanya
pemakaian dan masa pembentukan gigi.
Faktor utama penyebab dari perubahan warna pada gigi anak akibat tetrasiklin adalah
pemberian obat dalam masa pembentukan gigi, baik gigi sulung maupun gigi permanen. Pada
masa pembentukan gigi, struktur gigi yang sedang mengalami kalsifikasi seperti kalsium akan
diikat oleh tetrasiklin secara irreversible. Kemudian ikatan tersebut mengikat hidroksi apatit
dalam struktur gigi yang sedang erupsi. Ikatan ini nantinya akan menetap pada dentin dan
enamel sehingga mengakibatkan perubahan warna pada gigi.
2. Merapuhkan gigi dan melubangi gigi
Pemakaian tetrasiklin yang terus-menerus menyebabkan email gigi tidak terbentuk sempurna,
dan permukaan gigi tidaklah halus dan rata. Gigi menjadi sulit dibersihkan, dan plak menempel
dengan kuat sehingga gigi mudah berlubang.
3. Gangguan pencernaan
Gangguan saluran pencernaan merupakan yang sering terjadi. Diantaranya seperti mual,
muntah, diare, nyeri menelan , iritasi kerongkongan. Efek samping yang jarang terjadi termasuk :
kerusakan hati, pankreatitis, gangguan darah, fotosensitif, reaksi hipersensitif (ruam, dermatitis
eksfoliatif, sindrom steven-johnson, urtikaria, angioedema, anafilaksis, carditis). Sakit kepala
dan gangguan penglihatan dapat terjadi dan dapat menjadi penanda peningkatan tekanan dalam
kepala dan segera hentikan pengobatan bila ini terjadi.

Hasil Analisis Jurnal

Judul : Evaluation of Antibacterial Activity of Tetracycline and Cephalexine Decomposed by


Sunlight
Ada beberapa faktor yang masih belum diketahui mengenai tetrasiklin dan Sefaleksin di
sekitar irak, maka dilakukanlah studi mengenai pengaruh sinar matahari terhadap tetrasiklin dan
sefaleksin. Tetrasiklin dan sefaleksin adalah suatu antibiotik yang sering sekali digunakan dalam
bidang kedokteran untuk mengobati adanya indikasi bakteri. Namun apabila terkena cahaya
matahari maka akan terjadi fotolisis, sehingga akan terdegradasi sebagai akibat dari energi yang
dihasilkan dari penyerapan cahaya matahari. Terdegradasinya senyawa tersebut tergantung
seberapa baik senyawa tersebut menyerap cahaya matahari.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terdegradasinya antibiotik ini adalah frekwensi dan
intensitas tumbukan molekul, konsentrasi, dan pH. Selain itu yang harus diperhatikan adalah
suhu, dan kelembapan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari aktivitas antibiotik Tetrasiklin dan
Sefaleksin yang terkena sinar matahari kemudian digunakannya untuk melawan E-coli dan
Staphylococcus sp.
Tetrasiklin dan Sefaleksin yang digunakan berasal dari SDI suatu perusahan di irak
sedangkan E-coli dan Staphylococcus sp didapatkan dari rumah sakit Ibin Gazwan. Kapsul
Tetrasiklin dan Sefaleksin dengan berat 250 mg dilarutkan dalam 10 ml air suling kemudian
diberikan perlakuan sinar matahari di siang hari pada bulan April di selatan Irak (suhu sekitar
tiga puluh lima).
Hasil penelitian membuktikan, bahwa efek dari Sinar matahari UV mengubah senyawa
antibiotik menjadi jenis spesies berbeda yang tidak diketahui dan menimbulkan banyak
pertanyaan tentang produk yang terbentuk itu. Apa senyawa ini adalah racun atau bukan.
Daerah hambatan untuk Tetracycline dan Sefaleksin pada spesies klinis Staphylococcus Sp
dan Escherichia coli. Hal ini menujukkan bahwa zona penghambatan senyawa antibiotik yang
terkena sinar matahari lebih kecil dibandingkan kontrol
Manfaat Tetrasiklin Untuk penyakit

Ini adalah beberapa contoh penyakit yang dapat di obati dengan golongan tetrasiklin :

1. Infeksi Klamidia
Limfogranuloma venereum.

Untuk penyakit ini golongan tetrasiklin merupakan obat pilihan utama. Pada infeksi akut
diberikan terapi selama 3-4 minggu dan untuk keadaan kronis diberikan terapi 1-2 bulan. Empat
hari setelah terapi diberikan bubo mulai mengecil.

Psikatosis

Pemberian golongan tetrasiklin selama beberapa hari dapat mengatasi gejala klinis. Dosis yang
digunakan ialah 2 gram per hari selama 7-10hari atau 1 gram per hari selama 21 hari.

Trakoma

Pemberian salep mata golongan tetrasiklin yang dikombinasikan dengan doksisiklin oral 2 x 100
mg/hari selama 14 hari memberikan hasil pengobatan yang baik.

2. Infeksi Basil
Bruselosis

Pengobatan dengan golongan tetrasiklin memberikan hasil baik sekali untuk penyakit ini. Hasil
pengobatan yang memuaskan biasanya didapat dengan pengobatan selama 3 minggu. Untuk
kasus berat, seringkali perlu diberikan bersama streptomisin 1gram sehari IM.

Tularemia

Obat pilihan utama untuk penyakit ini sebenarnya ialah streptomisin, tetapi terapi dengan
golongan tetrasiklin juga memberikan hasil yang baik.

Kolera

Doksisiklin dosis tunggal 300 mg merupakan antibiotik yang efektif untuk penyakit ini.
Pemberian dapat mengurangi volume diare dalam 48 jam.

berikut ini contoh obat yang mengandung tetrasiklin antara lain :

1. Conmycin

Komposisi : Tetracycline HCL

Indikasi : Infeksi karena organisme yang peka terhadap tetrasiklin

Dosis : 1 kaps 4 x/ hr. Brucellosis 500 mg 4 x/hr selama 3 minggu. Sifilis 30-40
g dalam dosis terbagi selama 15 hr.

Penggunaan obat : Berikan pada saat perut kosong 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan
dengan segelas air, dalam posisi tegak. Dapat diberikan bersama makanan untuk mengurangi rasa
tidak nyaman pada GI.

Kontra Indikasi : Riwayat hipersensitivitas terhadap tetrasiklin. Hamil, anak <12 tahun.

Efek samping : Anoreksia, mual, muntah, diare, gossitis, disfagia, enterokolitis, lesi
inflamasi, ruam makulopapular dan eritematosa, fotosensitif.

2. Corsamycin

Komposisi : Oxytetracycline HCl


Indikasi : Bronkitis akut dan kronis termasuk pencegahan eksaserbasi akut,
bronkopneumonia dan atipikal pneumonia disebabkan oleh mikoplasma pneumonia,
bronkiektasis terinfeksi, bronkiolitis, otitis media, angina vincenti, infeksi traktus urinatius,
uretritis non-GO, infeksi bakteri pada trakusGI dan biliaris, infeksi jaringan lunak, infeksi pasca
persalinan (endometritis), meningitis dan endokarditis, akne vulgaris, GO dan sifilis yang tidak
sesuai dengan penisilin. Granuloma inguinal dan khankroid, bruselosis, kolera, amubasis, tifus
dan Q-fever, psikatosis dan limfogranuloma venereum, trakoma.

Dosis : Dewasa 250-500mg tiap 6 jam selama 5-10 hari (untuk kebanyakan infeksi).
Infeksi nafas seperti eksaserbasi akut bronkitis dan pneumonia karena mikoplasma 500 mg 4
x/hr. Profilaksis infeksi saluran respiratorius 250 mg 2-3 x/hr. GO dan sifilis, bruselosis total
dosis 2-3 g/hr.

Penggunaan Obat : Berikan pada saat perut kosong 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan.

Kontra Indikasi : Hipersensitif, gangguan ginjal. Hamil, anak < 7 tahun.

Efek samping : Gangguan GI, gatal di anus dan vulva. Perubahan warna gigi dan hipoplasia
pada anak, hambatan pertumbuhan tulang sementara. Dosis tinggi: uremia.

ANTIBIOTIK (CARA KERJA dan PENGGOLONGANNYA)

Label: FARMAKOLOGI, MEKANISME PEYAKIT dan DASAR DASAR TERAPI

Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang


mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam
organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri.[4] Literatur lain
mendefinisikan antibiotik sebagai substansi yang bahkan di dalam konsentrasi
rendah dapat menghambat pertumbuhan dan reproduksi bakteri dan fungi.[5]
Berdasarkan sifatnya (daya hancurnya) antibiotik dibagi menjadi dua:
1. Antibiotik yang bersifat bakterisidal, yaitu antibiotik yang bersifat destruktif
terhadap bakteri.
2. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotik yang bekerja
menghambat pertumbuhan atau multiplikasi bakteri.
Cara yang ditempuh oleh antibiotik dalam menekan bakteri dapat bermacam-
macam, namun dengan tujuan yang sama yaitu untuk menghambat perkembangan
bakteri. Oleh karena itu mekanisme kerja antibiotik dalam menghambat proses
biokimia di dalam organisme dapat dijadikan dasar untuk mengklasifikasikan
antibiotik sebagai berikut:[6]
1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Yang termasuk ke
dalam golongan ini adalah Beta-laktam, Penicillin, Polypeptida, Cephalosporin,
Ampicillin, Oxasilin.
a) Beta-laktam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada
enzim DD-transpeptidase yang memperantarai dinding peptidoglikan bakteri,
sehingga dengan demikian akan melemahkan dinding sel bakteri Hal ini
mengakibatkan sitolisis karena ketidakseimbangan tekanan osmotis, serta
pengaktifan hidrolase dan autolysins yang mencerna dinding peptidoglikan yang
sudah terbentuk sebelumnya. Namun Beta-laktam (dan Penicillin) hanya efektif
terhadap bakteri gram positif, sebab keberadaan membran terluar (outer membran)
yang terdapat pada bakteri gram negatif membuatnya tak mampu menembus
dinding peptidoglikan.[7]
b) Penicillin meliputi natural Penicillin, Penicillin G dan Penicillin V, merupakan
antibiotik bakterisidal yang menghambat sintesis dinding sel dan digunakan untuk
penyakit-penyakit seperti sifilis, listeria, atau alergi bakteri gram
positif/Staphilococcus/Streptococcus. Namun karena Penicillin merupakan jenis
antibiotik pertama sehingga paling lama digunakan telah membawa dampak
resistansi bakteri terhadap antibiotik ini. Namun demikian Penicillin tetap digunakan
selain karena harganya yang murah juga produksinya yang mudah.
c) Polypeptida meliputi Bacitracin, Polymixin B dan Vancomycin. Ketiganya
bersifat bakterisidal. Bacitracin dan Vancomycin sama-sama menghambat sintesis
dinding sel. Bacitracin digunakan untuk bakteri gram positif, sedangkan Vancomycin
digunakan untuk bakteri Staphilococcus dan Streptococcus. Adapun Polymixin B
digunakan untuk bakteri gram negatif.
d) Cephalosporin (masih segolongan dengan Beta-laktam) memiliki mekanisme
kerja yang hampir sama yaitu dengan menghambat sintesis peptidoglikan dinding
sel bakteri. Normalnya sintesis dinding sel ini diperantarai oleh PBP (Penicillin
Binding Protein) yang akan berikatan dengan D-alanin-D-alanin, terutama untuk
membentuk jembatan peptidoglikan. Namun keberadaan antibiotik akan membuat
PBP berikatan dengannya sehingga sintesis dinding peptidoglikan menjadi
terhambat.[8]
e) Ampicillin memiliki mekanisme yang sama dalam penghancuran dinding
peptidoglikan, hanya saja Ampicillin mampu berpenetrasi kepada bakteri gram
positif dan gram negatif. Hal ini disebabkan keberadaan gugus amino pada
Ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus membran terluar (outer
membran) pada bakteri gram negatif.[9]
f) Penicillin jenis lain, seperti Methicillin dan Oxacillin, merupakan antibiotik
bakterisidal yang digunakan untuk menghambat sintesis dinding sel bakteri.
Penggunaan Methicillin dan Oxacillin biasanya untuk bakteri gram positif yang telah
membentuk kekebalan (resistansi) terhadap antibiotik dari golongan Beta-laktam.
g) Antibiotik jenis inhibitor sintesis dinding sel lain memiliki spektrum sasaran
yang lebih luas, yaitu Carbapenems, Imipenem, Meropenem. Ketiganya bersifat
bakterisidal.
2. Antibiotik yang menghambat transkripsi dan replikasi. Yang termasuk ke
dalam golongan ini adalah Quinolone, Rifampicin, Actinomycin D, Nalidixic acid,
Lincosamides, Metronidazole.
a) Quinolone merupakan antibiotik bakterisidal yang menghambat pertumbuhan
bakteri dengan cara masuk melalui porins dan menyerang DNA girase dan
topoisomerase sehingga dengan demikian akan menghambat replikasi dan
transkripsi DNA.[10] Quinolone lazim digunakan untuk infeksi traktus urinarius.
b) Rifampicin (Rifampin) merupakan antibiotik bakterisidal yang bekerja dengan
cara berikatan dengan -subunit dari RNA polymerase sehingga menghambat
transkripsi RNA dan pada akhirnya sintesis protein.[11] Rifampicin umumnya
menyerang bakteri spesies Mycobacterum.
c) Nalidixic acid merupakan antibiotik bakterisidal yang memiliki mekanisme
kerja yang sama dengan Quinolone, namun Nalidixic acid banyak digunakan untuk
penyakit demam tipus.
d) Lincosamides merupakan antibiotik yang berikatan pada subunit 50S dan
banyak digunakan untuk bakteri gram positif, anaeroba Pseudomemranous colitis.
Contoh dari golongan Lincosamides adalah Clindamycin.
e) Metronidazole merupakan antibiotik bakterisidal diaktifkan oleh anaeroba dan
berefek menghambat sintesis DNA.
3. Antibiotik yang menghambat sintesis protein. Yang termasuk ke dalam
golongan ini adalah Macrolide, Aminoglycoside, Tetracycline, Chloramphenicol,
Kanamycin, Oxytetracycline.
a) Macrolide, meliputi Erythromycin dan Azithromycin, menghambat
pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada subunit 50S ribosom, sehingga
dengan demikian akan menghambat translokasi peptidil tRNA yang diperlukan
untuk sintesis protein. Peristiwa ini bersifat bakteriostatis, namun dalam konsentrasi
tinggi hal ini dapat bersifat bakteriosidal. Macrolide biasanya menumpuk pada
leukosit dan akan dihantarkan ke tempat terjadinya infeksi.[12] Macrolide biasanya
digunakan untuk Diphteria, Legionella mycoplasma, dan Haemophilus.
b) Aminoglycoside meliputi Streptomycin, Neomycin, dan Gentamycin,
merupakan antibiotik bakterisidal yang berikatan dengan subunit 30S/50S sehingga
menghambat sintesis protein. Namun antibiotik jenis ini hanya berpengaruh
terhadap bakteri gram negatif.
c) Tetracycline merupakan antibiotik bakteriostatis yang berikatan dengan
subunit ribosomal 16S-30S dan mencegah pengikatan aminoasil-tRNA dari situs A
pada ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translasi protein.[13]
Namun antibiotik jenis ini memiliki efek samping yaitu menyebabkan gigi menjadi
berwarna dan dampaknya terhadap ginjal dan hati.
d) Chloramphenicol merupakan antibiotik bakteriostatis yang menghambat
sintesis protein dan biasanya digunakan pada penyakit akibat kuman Salmonella.
4. Antibiotik yang menghambat fungsi membran sel. Contohnya antara lain
Ionimycin dan Valinomycin. Ionomycin bekerja dengan meningkatkan kadar kalsium
intrasel sehingga mengganggu kesetimbangan osmosis dan menyebabkan
kebocoran sel.[14]
5. Antibiotik yang menghambat bersifat antimetabolit. Yang termasuk ke dalam
golongan ini adalah Sulfa atau Sulfonamide, Trimetophrim, Azaserine.
a) Pada bakteri, Sulfonamide bekerja dengan bertindak sebagai inhibitor
kompetitif terhadap enzim dihidropteroate sintetase (DHPS).[15] Dengan
dihambatnya enzim DHPS ini menyebabkan tidak terbentuknya asam tetrahidrofolat
bagi bakteri.[16] Tetrahidrofolat merupakan bentuk aktif asam folat[17], di mana
fungsinya adalah untuk berbagai peran biologis di antaranya dalam produksi dan
pemeliharaan sel serta sintesis DNA dan protein.[18] Biasanya Sulfonamide
digunakan untuk penyakit Neiserria meningitis.
b) Trimetophrim juga menghambat pembentukan DNA dan protein melalui
penghambatan metabolisme, hanya mekanismenya berbeda dari Sulfonamide.
Trimetophrim akan menghambat enzim dihidrofolate reduktase yang seyogyanya
dibutuhkan untuk mengubah dihidrofolat (DHF) menjadi tetrahidrofolat (THF).
c) Azaserine (O-diazo-asetyl-I-serine) merupakan antibiotik yang dikenal sebagai
purin-antagonis dan analog-glutamin. Azaserin mengganggu jalannya metabolisme
bakteri dengan cara berikatan dengan situs yang berhubungan sintesis glutamin,
sehingga mengganggu pembentukan glutamin yang merupakan salah satu asam
amino dalam protein.[19]
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik adalah dosis serta jenis
antibiotik yang diberikan haruslah tepat. Jika antibiotik diberikan dalam jenis yang
kurang efektif atau dosis yang tanggung maka yang terjadi adalah bakteri tidak
akan mati melainkan mengalami mutasi atau membentuk kekebalan terhadap
antibiotik tersebut.
Daftar Pustaka

[1] Mueller M, De la Pena A, Derendorf H. Issues in pharmacokinetics and


pharmacodynamics of anti-infective agents: kill curves versus MIC. Antimicrobial
agents and chemotherapy 2004;48:369-77. [2] Craig WA. Choosing an antibiotic on
the basis of pharmacodynamics. Ear NoseThroat J 1998;77:7-11.
[3] Van Saene HKF, Silvestri L, De la Cal MA. In: Gullo A, editor. Infection control in
the intensive care unit. 2nd ed. Milan: Springer; 2005. p. 91-155.
[4] Wikipedia the free encyclopaedia. Antibiotik [Online]. 2009 April 4 [cited 2009
April 7]; Available from: URL: URL:http://id.wikipedia.org/wiki/Antibiotik
[5] Koolman J, Roehm KH. Color atlas of biochemistry. 2 nd ed. New York: Thieme;
2005.
[6] SERVA electrophoresis. Antibiotics. [Online]. 2009 April 7 [cited 2009 April 7];
Available from: URL:
http://www.serva.de/servaWeb/www_root/ar03/templates/Ar03ProductFamily.jsp?
language=En&organisation=001&shopNavSeq=6
[7] Wikipedia the free encyclopaedia. Penicillin [Online]. 2009 April 1 [cited 2009
April 7]; Available from: URL: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Penicillin
[8] Wikipedia the free encyclopaedia. Cephalosporin [Online]. 2009 March 29 [cited
2009 April 7]; Available from: URL: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Cephalosporin
[9] Wikipedia the free encyclopaedia. Ampicillin [Online]. 2009 April 4 [cited 2009
April 7]; Available from: URL: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Ampicillin
[10] Wikipedia the free encyclopaedia. Quinolone [Online]. 2009 March 29 [cited
2009 April 7]; Available from: URL: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Quinolone
[11] Wikipedia the free encyclopaedia. Rifampicin [Online]. 2009 April 4 [cited 2009
April 7]; Available from: URL: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Rifampicin
[12] Wikipedia the free encyclopaedia. Macrolide [Online]. 2009 March 18 [cited
2009 April 7]; Available from: URL: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Macrolide
[13] Wikipedia the free encyclopaedia. Tetracycline [Online]. 2009 April 1 [cited
2009 April 7]; Available from: URL: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Tetracycline
[14] Wikipedia the free encyclopaedia. Ionomycin [Online]. 2009 Jan 22 [cited 2009
April 7]; Available from: URL: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Ionomycin
[15] Wikipedia the free encyclopaedia. Sulfonamide [Online]. 2009 March 27 [cited
2009 April 7]; Available from: URL: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Sulfonamide
[16]Wikipedia the free encyclopaedia. Dihydropteroate synthetase [Online]. 2008
June 30 [cited 2009 April 7]; Available from: URL:
URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Dihydropteroate synthetase
[17] Murray RK. Granner DK, Rodwell VW. Biokimia Harper. Jakarta: EGC; 2009.
[18] Wikipedia the free encyclopaedia. Folic acid [Online]. 2009 April 5 [cited 2009
April 7]; Available from: URL: URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Folic acid
[19] National Cancer Institute. NCI Drug Dictionary: Azaserine. [Online]. 2009 [cited
2009 April 7]; Available from: URL:
http://www.cancer.gov/Templates/drugdictionary.aspx?CdrID=39156

Mekanisme Kerja
Golongan makrolida menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnyadengan jalan
berikatan secara reversibel dengan Ribosom subunit 50S,. Sintesis proteinterhambat karena
reaksi-reaksi translokasi aminoasil dan hambatan pembentuk awalsehingga pemanjangan rantai
peptide tidak berjalan. Macrolide bisa bersifat sebagaibakteriostatik atau bakterisida, tergantung
antara lain pada kadar obat serta jenis bakteriyang dicurigai. Efek bakterisida terjadi pada kadar
antibiotika yang lebih tinggi,kepadatan bakteri yang relatif rendah, an pertumbuhan bakteri yang
cepat. Aktivitasanti bakterinya tergantung pada pH, meningkat pada keadaan netral atau sedikit
alkali.
Meskipun mekanisme yang tepat dari tindakan makrolid tidak jelas, telahdihipotesiskan bahwa
aksi mereka makrolid menunjukkan dengan menghambat sintesisprotein pada bakteri dengan
cara berikut:
1) Mencegah Transfer peptidil tRNA dari situs A ke situs P.
2) Mencegah pembentukan peptida tRNA.
3) Memblokir peptidil transferase.
4) Mencegah perakitan ribosom
Antibiotik macrolida terikat di lokasi P-dari subunit 50S ribosom. Hal inimenyebabkan
selama proses transkripsi, lokasi P ditempati oleh makrolida. Ketika t-RNA terpasang dengan
rantai peptida dan mencoba untuk pindah ke lokasi P, t-RNAtersebut tidak dapat menuju ke
lokasi P karena adanya makrolida, sehingga akhirnyadibuang dan tidak dipakai. Hal ini dapat
mencegah transfer peptidil tRNA dari situs Ake situs-P dan memblok sintesis protein dengan
menghambat translokasi dari rantaipeptida yang baru terbentuk. Makrolida juga memnyebabkan pemisahan
sebelum waktunya dari tRNA peptidal di situs A.
Mekanisme kerja makrolida, selain terikat di lokasi P dari RNA ribosom 50S, juga
memblokir aksi dari enzim peptidil transferase. Enzim ini bertanggung jawab
untuk pembentukan ikatan peptida antara asam amino yang terletak di lokasi Adan P
dalamribosom dengan cara menambahkan peptidil melekat pada tRNA ke asam
aminoberikutnya. Dengan memblokir enzim ini, makrolida mampu menghambat
biosintesisprotein dan dengan demikian membunuh bakteri.

D. Farmakokinetika
Dalam penjelasan farmakokinetik berikut akan dijelaskan mekanisme farmakokinetik 3
antibiotik turunan makrolida yaitu eritromycin, Claritromycin, danazitromycin.
1) Eritromycin
Ertromycin basa dihancurkan oleh asam lambung dan harus diberikan dengansalut enteric.
Stearat dan ester cukup tahan pada keadaan asam dan diabsorbsi lebihbaik. Garam lauryl dan
ester propionil ertromycin merupakan preprata oral yang paling baik diabsorbsi. Dosis oral
sebesar 2 g/hari menghasilkan konsentrasi basa ertromycinserum dan konsentrasi ester sekitar 2
mg/mL. Akan tetapi, yang aktif secaramikrobiologis adalah basanya, sementara konsentrasinya
cenderung sama tanpamemperhitungkan formulasi.
Waktu paruh serum adalah 1,5 jam dalam kondisi normal dan 5 jam pada pasiendengan
anuria. Penyesuaian untuk gagal ginjal tidak diperlukan. Ertromycin tidak dapatdibersihkan
melalui dialysis. Jumlah besar dari dosis yang diberikan diekskresikan dalamempedu dan hilang
dalam fases, hanya 5% yang diekskresikan dalam urine. Obat yangtelah diabsorbsi
didistribusikan secara luas, kecuali dalam otak dan cairan serebrospinal.Ertromycin diangkut
oleh leukosit polimorfonukleus dan makrofag. Oabt ini melintasisawar plasenta dan mencapai
janin.
2) Claritromycin
Dosis 500 mg menghasilkan konsentrasi serum sebesar 2-3 mg/mL. Waktuparuh
claritromycin (6 jam) yang lebih panjang dibandingkan dengan eritromycinmemungkinkan
pemberian dosis 2 kali sehari. Claritromycin dimetabolisme dalam hati.Metabolit utamanya
adalah 14-hidroksiclaritromycin, yang juga mempunyai aktivitasantibakteri. Sebagian dari obat
aktif dan metabolit utama ini dieliminsai dalam urine, danpengurangan dosis dianjurkan bagi
pasien-pasien dengan klirens kreatinin dibawah 30mL/menit.
3) Azitromycin
Azitromycin berbeda dengan eritromycin dan juga claritromycin, terutama dalam
sifatfarmakokinetika. Satu dosi Azitromycin 500 mg dapat menghasilkan konsentrasi serumyang
lebih rendah, yaitu sekitar 0,4 g/mL. Akan tetapi Azitromycin dapat melakukanpenetrasi ke
sebagian besar jaringan dapat melebihi konsentrasi serum sepuluh hinggaseratus kali lipat. Obat
dirilis perlahan dalam jaringan-jaringan (waktu paruh jaringanadalah 2-4 hari) untuk
menghasilkan waktu paruh eliminasi mendekati 3 hari. Sifat-sifatyang unik ini memungkinkan
pemberian dosis sekali sehari dan pemendekan durasi pengobatan dalam banyak kasus.
Azitromycin diabsorbsi dengan cepat dan ditoleransi dengan baik secara oral.Obat ini harus
diberikan 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Antasidaaluminium dan magnesium
tidak mengubah bioavaibilitas, namun memperlama absorbsi dan dengan 15 atom (bukan 14
atom), maka Azitromycin tidak menghentikan aktivitasenzim-enzim sitokrom P450, dan oleh
karena itu tidak mempunyai interaksi obatseperti yang ditimbulkan oleh eritromycin dan
claritmycin.
E. Kontra Indikasi
Hipersensitivitas terhadap Clarithromycin, Eritromisin atau antibiotik makrolida lainnya.

F. Efek Samping
Efek Samping dari makrolida :
1) Efek-efek gastrointestinal : Anoreksia, mual, muntah dan diare sesekali menyertaipemberian oral.
Intoleransi ini disebabkan oleh stimulitas langsung pada motilitasusus.
2) Toksisitas hati : dapat menimbulkan hepatitis kolestasis akut (demam, ikterus,kerusakan fungsi
hati), kemungkinan sebagai reaksi hepersensitivitas.
3) Interaksi-interaksi obat : menghambat enzim-enzim sitokrom P450 danmeningkatkan konsentarsi
serum sejumlah obat, termasuk teofilin, anti koagulanoral, siklosporin, dan metilprednisolon.
Meningkatkan konsentrasi serum digoxinoral dengan jalan meningkatkan bioavailabilitas.

G. Penggunaan Klinik
1) Infeksi Mycoplasma pneumonia
Eritromisin yang diberikan 4 kali 500 mg sehari per oral mempercepat turunnya panas dan
mempercepat penyembuhan sakit.
2) Penyakit Legionnaire
Eritromisin merupakan obat yang dianjurkan untuk pneumonia yang disebabakan oleh
Legionella pneumophila. Dosis oral ialah 4 kali 0,5-1 g sehari atau secara intravena 1-4 g sehari.
3) Infeksi Klamidia
Eritromisin merupakan alternatif tetrasiklin untuk infeksi klamidia tanpa komplikasi yang
menyerang uretra, endoserviks, rektum atau epididimis. Dosisnya ialah 4 kali sehari 500 mg per
oral yang diberikan selama 7 hari. Eritromisin merupakan obat terpilih untu wanita hamil dan
anak-anak dengan infeksi klamidia.
4) Difteri.
Eritromisin sangat efektif untuk membasmi kuman difteri baik pada infeksi akut maupun pada
carrier state. Perlu dicatat bahwa eritromisin maupun antibiotika lain tidak mempengaruhi
perjalanan penyakit pada infeksi akut dan komplikasinya. Dalam hal ini yang penting antitoksin.
5) Infeksi streptokokus
Faringitis, scarlet fever dan erisipelas oleh Str. Pyogenes dapat diatasi dengan pemberian
eritromisin per oral dengan dosis 30 mg/kg BB/hari selama 10 hari. Pneumonia oleh
pneumokokus juga dapat diobati secara memuaskan dengan dosis 4 kali sehari 250-500 mg.

6) Infeksi stapilokokus
Eritromisin merupakan alternatif penisilin untuk infeksi ringan oleh S. Aureus (termasuk strain
yang resisten terhadap penisilin). Tetapi munculnya strain-strain yang resisten telah mengurangi
manfaat obat ini. Untuk infeksi berat oleh stafilokokus yang resisten terhadap penisilin lebih
efektif bila digunakan penisilin yang tahan penisilinase (misalnya dikloksasilin atau
flkloksasilin) atau sefalosporin. Dosis eritromisin untuk infeksi stafilokokus pada kulit atau luka
ialah 4 kali 500 mg sehar yang diberikan selama 7-10 hari per oral.
7) Infeksi Campylobacter
Gastroenteritis oleh Campylobacter jejuni dapat diobati dengan eritromisin per oral 4 kali 250
mg sehari. Dewasa ini fluorokuinolon telah menggantikan peran eritromisin untuk infeksi ini.
8) Tetanus
Eritromisin per oral 4 kali 500 mg sehari selama 10 hari dapat membasmi Cl. tetani pada
penderita tetanus yan alergi terhadap penisilin. Antitoksin, obat kejang dan pembersih luka
merupakan tindakan lain yang sangat penting.
9) Sifilis
Untuk penderita sifilis stadium diniyang alergi terhadap penisilin, dapat diberikan eritromisin per
oral dengan dosis 2-4 g sehari selama 10-15 hari.
10) Gonore
Eritromisin mungkin bermanfaat untuk gonore diseminata pada wanita hamil yang alergi tehadap
penisilin. Dosis yang diberikan ialah 4 kali 500 mg sehari yang diberika selama 5 hari per oral.
Angka relaps hampir mencapai 25 %.
11) Penggunaan profilaksis
Obat terbaik untuk mencegah kambuhnya demam reumatik ialah penisilin. Sulfonamid dan
eritromisin dapat dipakai bila penderita alergi terhadap penisilin. Eritromisin juga dapat dipakai
sebagai pengganti penisilin untuk penderita endokarditis bakterial yang akan dicabut giginya.
Dosis eritromisin untuk keperluan ini ialah 1 g per oral yang diberikan 1 jam sebelum dilakukan
tindakan, dilanjutkan dengan dosis tunggal 500 mg yang diberikan 6 jam kemudian.
12) Pertusis
Bila diberikan pada awal infeksi, eritromisin dapat mempercepat penyembuhan.

Golongan-golongan antibiotik dan cara kerjanya

Antibiotic groups
Antibiotic groups Mode of action examples
Aminoglycosides Irreversible inhibition of protein synthesis Amikacin, Gentanicin,
by binding to reseptors on the 30S subunits Kanamycin, Neomycin,
of bacterial ribosome Netilmicin, Streptomycin,
Tobramycin

Carbacephem Inhibit synthesis of peptidoglycan causing Loracerbef


osmotic lysis

Carbapenems Inhibit synthesis of peptidoglycan causing Ertapenem, Imipenem,


osmotic lysis; resistant to -lactamase & Meropenem
has a wide spectrum of activity

Cephalosporin Bind to penicillin-binding proteins (PBP) of Cefaclor, Cefadroxil, Cefalexin,


bacteria; inhibit bacterial cell wall Cefamandole, Cefapirin,
peptidoglycan synthesis & activate bacterial Cefazolin, Cefdinir, Cefditoren,
cell wall autolytic enzymes Cefepim, Cefetamet pivoxil,
Cefixime, Cefmenoxime,
Cefminox, Cefodizime,
Cefonicid, Cefoperazone,
Cefotaxime, Cefotetan, Cefotiam,
cefoxitin, Cefpirome,
Cefpodoxime, Cefprozil,
Cefradine, Cefsulodin,
Ceftazidime, Ceftezole,
Ceftibuten, Ceftizoxime,
Ceftriaxone, Cefuroxime

Chloramphenicol Bind reversibly to a reseptor site on the 50S Chloramphenicol


subunit of bacterial ribosome

Glycopeptide Prevent further elongation & cros-linking Vancomycin, Teicoplanin


of bacterial peptidoglycan synthesis; active
against gram-positive bacteria including
methicillin-resistant Staphylococci

Colycylcycline Bind reversibly to receptors on the 30S Tigecycline


subunit of bacterial ribosome inhibiting
protein synthesis

Lincosamide Inhibit protein synthesis by interfering w/ Clindamycin, Lincomycin


initiation complexes & translocation
reactions on the bacterial 50S subunit

Ketolides Inhibit bacterial protein synthesis by Telithromycin


reversible binding to the 50S ribosomal
subunit

Macrolide Inhibit bacterial protein synthesis by Azithromycin, Clarithromycin,


reversible binding to the 50S ribosomal Dirithromycin, Erythromycin,
subunit Midecamycin, Roxithromycin,
Spiramycin, Troleandromycin

Monobactam Inhibit synthesis of peptidoglycan causing Aztreonam


osmotic lysis; resistant to -lactamases &
active against gram-negative rods

Nitroflurantoin Block aerobic energy production & Nitrofluratoin


synthesis of protein, DNA, RNA, & cell
walls

Oxazolidinones Cause faulty bacterial protein synthesis by Linezolid


binding to the 50S ribosomal subunit

Penicillins Inhibit synthesis of peptidoglycan causing Amoxicillin, Ampicillin,


osmotic lysis Bacampicillin, Carbenicillin,
Cloxacillin, Dicloxacillin,
Methicillin, Mezlocillin,
Penicillin G, Penicillin V,
Piperacillin, Ticarcillin

Penicillins w/ - Bind to Penicillin-binding protein (PBP) of Amoxicillin + Clavulanate,


lactamase inhibitors bacteria; inhibit bacterial cell wall Ampicillin + Sulbactam,
peptidoglycan synthesis & activate bacterial Ticarcillin + Clavulanate,
cell wall autolytic enzymes Piperacillin +Tazobactam

Polymixins Alter cytoplasmic membrane causing Polymyxin B


cellular leakage

Quinolones Inhibit topoisomerases that are essential for Cyprofloxacin, Enoxacin,


bacterial DNA replication and transcription; Levofloxacin, Lomefloxacin,
inhibit DNA gyrase Moxifloxacin,Nalidixic acid,
Norfloxacin, Ofloxacin,
Pazufloxacin, Rufloxacin,
Trovafloxacin

Streptogramins Cause faulty bacterial protein synthesis by Quinupristin + Dalfopristin


binding to the 50S ribosomal subunit

Sulphonamides Competitive inhibition of folic acid Sulfisoxazole, Sulfamethoxazole,


synthesis by acting as structural analogue of Sulfamethizole, Sulfasalazine
para-aminobenzoic acid (PABA)

Tetracyclines Bind reversibly to receptors on the 30S Chlortetracycline,


subunit of the bacterial ribosome inhibiting Demeclocycline, Doxycycline,
protein synthesis Lymecycline, Minocycline,
Oxytetracycline, Tetracycline

Trimethoprim Inhibits dihydrofolic acid reductase of Trimethoprim


bacteria & blocks metabolic sequences in
DNA synthesis

Tyrocidin Alter cytoplasmic membrane causing Tyrocidine, Gramicidin


cellular leakage

MEKANISME KERJA ANTIBIOTIK

I. PENDAHULUAN

Obat yang mengandung antibiotik sering kali menjadi buah simalakama. Pada satu sisi
dipercaya dapat mempercepat proses penyembuhan. Di lain sisi, antibiotik diyakini akan
menimbulkan masalah kesehatan baru pada si kecil.

Obat antibiotika, umumnya banyak dipakai untuk menyembuhkan berbagai macam


penyakit. Obat-obatan seperti Penisilin, Chloramphenicol, Cephalosporin, Tetrasiklin (khusus
anak di atas 8 tahun) dan Quinolon (khusus anak besar), diberikan dokter bersama sejumlah obat
lain. Umumnya,

dokter akan menyarankan untuk `meminumnya sampai habis, baik pada resep maupun secara
lisan.
Secara medis, antibiotik merupakan senyawa mikroorganisme seperti jamur atau bakteri
tertentu yang telah dijinakkan dan bila dimasukkan ke dalam tubuh dapat menjadi penyembuh
yang ampuh. Antibiotik berperang melawan bakteri-bakteri di dalam tubuh. Namun perlu diingat,
penggunaannya tidak boleh sembarangan. Bila dikonsumsi berlebihan akan berisiko tinggi pada
kesehatan.

Pada dasarnya, obat yang ditemukan oleh Alexander Fleming dari Scotlandia di tahun
1928 ini mempunyai dua cara kerja. Pertama, mampu menghambat pertumbuhan bakteri
penyakit (bakteriostasis) dan membunuh bakteri penyakit tersebut (baktericidal). Sehingga obat
ini mampu menghilangkan dan membasmi bakteri tanpa menimbulkan efek samping yang berarti
pada tubuh yang mengonsumsinya.

Namun, bukan berarti semua penyakit dapat diberikan antibiotik. Menurut Dr Hinky
Hindra Irawan Satari SpA MTropaed, obat antibiotik umumnya diberikan pada penyakit-penyakit
infeksi atau yang disebabkan oleh bakteria saja. Misalnya, penyakit-penyakit yang berkenaan
dengan infeksi saluran pernapasan, saluran pencernaan atau peradangan telinga.

II. PEMBAHASAN

Kemampuan suatu terapi antimikrobial sangat bergantung kepada obat, pejamu, dan agen
penginfeksi. Namun dalam keadaan klinik hal ini sangat sulit untuk diprediksi mengingat
kompleksnya interaksi yang terjadi di antara ketiganya.Namun pemilihan obat yang sesuai
dengan dosis yang sepadan sangat berperan dalam menentukan keberhasilan terapi dan
menghindari timbulnya resistansi agen penginfeksi.

Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek
menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses
infeksi oleh bakteri.Literatur lain mendefinisikan antibiotik sebagai substansi yang bahkan di
dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan dan reproduksi bakteri dan fungi.
Berdasarkan sifatnya (daya hancurnya) antibiotik dibagi menjadi dua:

1. Antibiotik yang bersifat bakterisidal, yaitu antibiotik yang bersifat destruktif terhadap bakteri.

2. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotik yang bekerja menghambat pertumbuhan
atau multiplikasi bakteri.

Cara yang ditempuh oleh antibiotik dalam menekan bakteri dapat bermacam-macam, namun
dengan tujuan yang sama yaitu untuk menghambat perkembangan bakteri. Oleh karena itu
mekanisme kerja antibiotik dalam menghambat proses biokimia di dalam organisme dapat
dijadikan dasar untuk mengklasifikasikan antibiotik sebagai berikut:

1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Ada antibiotik yang merusak
dinding sel mikroba dengan menghambat sintesis enzim atau inaktivasi enzim, sehingga
menyebabkan hilangnya viabilitas dan sering menyebabkan sel lisis. Antibiotik ini menghambat
sintesis dinding sel terutama dengan mengganggu sintesis peptidoglikan. Dinding sel bakteri
yang menentukan bentuk karakteristik dan berfungsi melindungi bagian dalam sel terhadap
perubahan tekanan osmotik dan kondisi lingkungan lainnya. Yang termasuk ke dalam golongan
ini adalah Beta-laktam, Penicillin, Polypeptida, Cephalosporin, Ampicillin, Oxasilin.

a. Beta-laktam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada enzim DD-
transpeptidase yang memperantarai dinding peptidoglikan bakteri, sehingga dengan demikian
akan melemahkan dinding sel bakteri Hal ini mengakibatkan sitolisis karena ketidakseimbangan
tekanan osmotis, serta pengaktifan hidrolase dan autolysins yang mencerna dinding
peptidoglikan yang sudah terbentuk sebelumnya. Namun Beta-laktam (dan Penicillin) hanya
efektif terhadap bakteri gram positif, sebab keberadaan membran terluar (outer membran) yang
terdapat pada bakteri gram negatif membuatnya tak mampu menembus dinding peptidoglikan.
b. Penicillin meliputi natural Penicillin, Penicillin G dan Penicillin V, merupakan antibiotik
bakterisidal yang menghambat sintesis dinding sel dan digunakan untuk penyakit-penyakit
seperti sifilis, listeria, atau alergi bakteri gram positif/Staphilococcus/Streptococcus. Namun
karena Penicillin merupakan jenis antibiotik pertama sehingga paling lama digunakan telah
membawa dampak resistansi bakteri terhadap antibiotik ini. Namun demikian Penicillin tetap
digunakan selain karena harganya yang murah juga produksinya yang mudah.
c. Polypeptida meliputi Bacitracin, Polymixin B dan Vancomycin. Ketiganya bersifat
bakterisidal. Bacitracin dan Vancomycin sama-sama menghambat sintesis dinding sel. Bacitracin
digunakan untuk bakteri gram positif, sedangkan Vancomycin digunakan untuk bakteri
Staphilococcus dan Streptococcus. Adapun Polymixin B digunakan untuk bakteri gram negatif.
d. Cephalosporin (masih segolongan dengan Beta-laktam) memiliki mekanisme kerja yang
hampir sama yaitu dengan menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri. Normalnya
sintesis dinding sel ini diperantarai oleh PBP (Penicillin Binding Protein) yang akan berikatan
dengan D-alanin-D-alanin, terutama untuk membentuk jembatan peptidoglikan. Namun
keberadaan antibiotik akan membuat PBP berikatan dengannya sehingga sintesis dinding
peptidoglikan menjadi terhambat.
e. Ampicillin memiliki mekanisme yang sama dalam penghancuran dinding peptidoglikan,
hanya saja Ampicillin mampu berpenetrasi kepada bakteri gram positif dan gram negatif. Hal ini
disebabkan keberadaan gugus amino pada Ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus
membran terluar (outer membran) pada bakteri gram negatif.
f. Penicillin jenis lain, seperti Methicillin dan Oxacillin, merupakan antibiotik bakterisidal yang
digunakan untuk menghambat sintesis dinding sel bakteri. Penggunaan Methicillin dan Oxacillin
biasanya untuk bakteri gram positif yang telah membentuk kekebalan (resistansi) terhadap
antibiotik dari golongan Beta-laktam.
g. Antibiotik jenis inhibitor sintesis dinding sel lain memiliki spektrum sasaran yang lebih
luas, yaitu Carbapenems, Imipenem, Meropenem. Ketiganya bersifat bakterisidal.

2. Antibiotik yang menghambat transkripsi dan replikasi. Yang termasuk ke dalam golongan
ini adalah Quinolone, Rifampicin, Actinomycin D, Nalidixic acid, Lincosamides, Metronidazole.

a. Quinolone merupakan antibiotik bakterisidal yang menghambat pertumbuhan bakteri dengan


cara masuk melalui porins dan menyerang DNA girase dan topoisomerase sehingga dengan
demikian akan menghambat replikasi dan transkripsi DNA. Quinolone lazim digunakan untuk
infeksi traktus urinarius.
b. Rifampicin (Rifampin) merupakan antibiotik bakterisidal yang bekerja dengan cara berikatan
dengan -subunit dari RNA polymerase sehingga menghambat transkripsi RNA dan pada
akhirnya sintesis protein. Rifampicin umumnya menyerang bakteri spesies Mycobacterum.
c. Nalidixic acid merupakan antibiotik bakterisidal yang memiliki mekanisme kerja yang sama
dengan Quinolone, namun Nalidixic acid banyak digunakan untuk penyakit demam tipus.
d. Lincosamides merupakan antibiotik yang berikatan pada subunit 50S dan banyak digunakan
untuk bakteri gram positif, anaeroba Pseudomemranous colitis. Contoh dari golongan
Lincosamides adalah Clindamycin.
e. Metronidazole merupakan antibiotik bakterisidal diaktifkan oleh anaeroba dan berefek
menghambat sintesis DNA.

3. Antibiotik yang menghambat sintesis protein. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah
Macrolide, Aminoglycoside, Tetracycline, Chloramphenicol, Kanamycin, Oxytetracycline.

a. Macrolide, meliputi Erythromycin dan Azithromycin, menghambat pertumbuhan bakteri


dengan cara berikatan pada subunit 50S ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat
translokasi peptidil tRNA yang diperlukan untuk sintesis protein. Peristiwa ini bersifat
bakteriostatis, namun dalam konsentrasi tinggi hal ini dapat bersifat bakteriosidal. Macrolide
biasanya menumpuk pada leukosit dan akan dihantarkan ke tempat terjadinya infeksi. Macrolide
biasanya digunakan untuk Diphteria, Legionella mycoplasma, dan Haemophilus.
b. Aminoglycoside meliputi Streptomycin, Neomycin, dan Gentamycin, merupakan antibiotik
bakterisidal yang berikatan dengan subunit 30S/50S sehingga menghambat sintesis protein.
Namun antibiotik jenis ini hanya berpengaruh terhadap bakteri gram negatif.
c. Tetracycline merupakan antibiotik bakteriostatis yang berikatan dengan subunit ribosomal
16S-30S dan mencegah pengikatan aminoasil-tRNA dari situs A pada ribosom, sehingga dengan
demikian akan menghambat translasi protein. Namun antibiotik jenis ini memiliki efek samping
yaitu menyebabkan gigi menjadi berwarna dan dampaknya terhadap ginjal dan hati.
d. Chloramphenicol merupakan antibiotik bakteriostatis yang menghambat sintesis protein dan
biasanya digunakan pada penyakit akibat kuman Salmonella.

4. Antibiotik yang menghambat fungsi membran sel. Dibawah dinding sel bakteri adalah
lapisan membran sel lipoprotein yang dapat disamakan dengan membran sel pada manusia.
Membran ini mempunyai sifat permeabilitas selejtif dan berfungsi mengontrol keluar masuknya
subtaansi dari dan kedalam sel, serta memelihara tekanan osmotik internal dan ekskresi waste
products. Selain itu membran sel juga berkaitan dengan replikasi DNA dan sintesis dinding sel.
Oleh karena itu substansi yang mengganggu fungsinya akan sangat lethal terhadap sel.
Contohnya antara lain Ionimycin dan Valinomycin. Ionomycin bekerja dengan meningkatkan
kadar kalsium intrasel sehingga mengganggu kesetimbangan osmosis dan menyebabkan
kebocoran sel.

5. Antibiotik yang menghambat bersifat antimetabolit. Yang termasuk ke dalam golongan ini
adalah Sulfa atau Sulfonamide, Trimetophrim, Azaserine.

a. Pada bakteri, Sulfonamide bekerja dengan bertindak sebagai inhibitor kompetitif terhadap
enzim dihidropteroate sintetase (DHPS). Dengan dihambatnya enzim DHPS ini menyebabkan
tidak terbentuknya asam tetrahidrofolat bagi bakteri. Tetrahidrofolat merupakan bentuk aktif
asam folat[17], di mana fungsinya adalah untuk berbagai peran biologis di antaranya dalam
produksi dan pemeliharaan sel serta sintesis DNA dan protein. Biasanya Sulfonamide digunakan
untuk penyakit Neiserria meningitis.
b. Trimetophrim juga menghambat pembentukan DNA dan protein melalui penghambatan
metabolisme, hanya mekanismenya berbeda dari Sulfonamide. Trimetophrim akan menghambat
enzim dihidrofolate reduktase yang seyogyanya dibutuhkan untuk mengubah dihidrofolat (DHF)
menjadi tetrahidrofolat (THF).
c. Azaserine (O-diazo-asetyl-I-serine) merupakan antibiotik yang dikenal sebagai purin-
antagonis dan analog-glutamin. Azaserin mengganggu jalannya metabolisme bakteri dengan cara
berikatan dengan situs yang berhubungan sintesis glutamin, sehingga mengganggu pembentukan
glutamin yang merupakan salah satu asam amino dalam protein.

III. KESIMPULAN

Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek
menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses
infeksi oleh bakteri.Literatur lain mendefinisikan antibiotik sebagai substansi yang bahkan di
dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan dan reproduksi bakteri dan fungi.

Sifat antibiotik untuk terapi harus memiliki toksisitas selektif yaitu harus dapat menghambat
mikroorganisme infektif dan bersifat toksik hanya terhadap patogen infektif tidak terhadap
inangnya.

Berdasarkan sifat nya antibiotik dibagi menjadi 2 yaitu antibiotik yang bersifat bakterisidal
dan antibiotik yang bersifat bakteriostatik

Mekanisme kerja antibiotik dalam menghambat proses biokimia di dalam organisme dapat
dijadikan dasar untuk mengklsifikasikan antibiotik.

Pemberian antibiotik adalah dosis serta jenis antibiotik yang diberikan haruslah tepat. Jika
antibiotik diberikan dalam jenis yang kurang efektif atau dosis yang tanggung maka yang terjadi
adalah bakteri tidak akan mati melainkan mengalami mutasi atau membentuk kekebalan terhadap
antibiotik tersebut.
Mekanisme kerja
Antibiotik beta-laktamase bekerja membunuh bakteri dengan cara menginhibisi sintesis dinding
selnya. Pada proses pembentukan dinding sel, terjadi reaksi transpeptidasi yang dikatalis oleh
enzim transpeptidase dan menghasilkan ikatan silang antara dua rantai peptida-glukan. Enzim
transpeptidase yang terletak pada membran sitoplasma bakteri tersebut juga dapat mengikat
antibiotik beta-laktam sehingga menyebabkan enzim ini tidak mampu mengkatalisis reaksi
transpeptidasi walaupun dinding sel tetap terus dibentuk. Dinding sel yang terbentuk tidak
memiliki ikatan silang dan peptidoglikan yang terbentuk tidak sempurna sehingga lebih lemah
dan mudah terdegradasi. Pada kondisi normal, perbedaan tekanan osmotik di dalam sel bakteri
gram negatif dan di lingkungan akan membuat terjadinya lisis sel. Selain itu, kompleks protein
transpeptidase dan antibiotik beta-laktam akan menstimulasi senyawa autolisin yang dapat
mendigesti dinding sel bakteri tersebut. Dengan demikian, bakteri yang kehilangan dinding sel
maupun mengalami lisis akan mati.

Mekanisme resistensi

Mekanisme degradasi antibiotik beta-laktam oleh enzim beta laktamase.

Beberapa bakteri diketahui memiliki resitensi terhadap antibiotik beta-laktam, salah satu
diantaranya adalah golongan Streptococcus aureus resisten-metisilin (Methicillin resistant
Staphylococcus aureus/MRSA). Bakteri-bakteri yang resisten terhadap antibiotik beta-laktam
memiliki 3 mekanisme resistensi, yaitu destruksi antibiotik dengan beta-laktamase, menurunkan
penetrasi antibiotik untuk berikatan dengan protein transpepidase, dan menurunkan afinitas
ikatan antara protein pengikat tersebut dengan senyawa antibiotik. Beberapa bakteri seperti
Haemophilus influenzae, golongan Staphylococcus, dan sebagian besar bakteri enterik berbentuk
batang memiliki enzim beta-laktamase yang dapat memecah cincin beta-laktam pada antibiotik
tersebut dan membuatnya menjadi tidak aktif. Secara detail, mekanisme yang terjadi diawali
dengan pemutusan ikatan C-N pada cincin beta-laktam dan mengakibatkan antibiotik tidak dapat
berikatan dengan protein transpeptdase sehingga terjadi kehilangan kemampuan untuk
menginhibisi pembentukan dinding sel bakteri. Beberapa studi menyatakan bahwa selain
ditemukan secara alami pada bakteri gram positif dan negatif, gen penyandi enzim beta-
laktamase juga ditemukan pada plasmida dan transposon sehingga dapat ditransfer antarspesies
bakteri. Hal ini menyebabkan kemampuan resistensi akan antibiotik beta-laktam dapat menyebar
dengan cepat. Difusi antibiotik beta laktam ke dalam sel bakteri terjadi melalui perantaraan
protein transmembran yang disebut porine dan kemampuan difusinya dipengaruhi oleh ukuran,
muatan, dan sifat hidrofilik dari suatu antibiotik.

Mengatasi resistensi antibiotik beta-laktam


Asam klavulanat, inhibitor beta-laktamase.

Untuk mengatasi degradasi cincing beta-laktam, beberapa antibiotik beta-laktam dikombinasikan


dengan senyawa inhibitor enzim beta-laktamase seperti asam clavulanat, tazobactam, atau
sulbactam. Salah satu antibiotik beta-laktam yang resisten beta laktamase adalah augmentin,
kombinasi amoxycillin dan asam klavulanat. Augmentin terbukti telah berhasil mengatasi infeksi
bakteri pada saluran kemih dan kulit. Asam klavulanat yng diproduksi dari hasil fermentasi
Streptomyces clavuligerus memiliki kemampuan untuk menghambat sisi aktif enzim beta-
laktamase sehingga menyebabkan enzim tersebut menjadi inaktif. Beberapa jenis antibiotik beta-
laktam (contohnya nafcillin) juga memiliki sifat resisten terhadap beta-laktamase karena
memiliki rantai samping dengan letak tertentu.

AMINOGLIKOSIDA

1. PENDAHULUAN

Sejak ditemukan penisilin, masalah infeksi mikroba Gram-positif umumnya dapat diatasi secara
baik. Dalam menemukan antimikroba untuk mengatasi kuman Gram-negatif, pada tahun 1943
berhasil diisolasi suatu turunan Streptomyces griseus yang menghasilkan streptomisin.

Setelah streptomisin ditemukan pula berbagai antibiotik lain yang memiliki berbagai sifat mirip
dengan streptomisin yaitu kanamisin, gentamisin, tobramisin, amikasin, netilmisin, neomisin.
Aminoglikosida merupakan penanggulangan infeksi berat oleh kuman Gram-negatif.
Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi streptomyces micromonospora
(Aminoglikosida yang berasal dari streptomises mendapat tambahan misin). Semua senyawa
turunan semi sintesisnya mengandung dua atau tiga gula-amino didalam molekulnya, yang saling
terikat secara glukosidis. Dengan adanya gugusan amino, zat-zat ini bersifat basa lemah dan
garam sulfatnya yang digunakan dalam terapi mudah larut air.

Antibiotika aminoglikosida adalah antibiotika golongan karbohidrat yang pada umumnya terdiri
dari bagian aminosikloheksanol dan terikat secara glikosidik dengan gula amino lain (Crueger,
1984). Ditinjau dari struktur molekulnya, aminoglikosida dapat dibagi menjadi 2 golongan besar,
yaitu aminoglikosida berinti streptidin (streptomisin, dihidrostreptomisin, dll) dan 2-
deoksistreptamin (kanamisin, neomisin, gentamisin dll).

Secara klinis aminoglikosida sering digunakan untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh kuman
Gram positif dan Gram negatif termasuk Mycobacterium tuberculosis, baik dalam bentuk
sediaan tunggal maupun kombinasi dengan antibiotika lain. Aminoglikosida merupakan
antibiotik utama untuk pengobatan infeksi serius yang disebabkan gram negatif, karena obat ini
menimbulkan efek toksik yang serius, maka penggunaannya terbatas dan telah digantikan dengan
obat yang lebih aman seperti generasi ketiga sefalosporin, fluorokuinolon dan
imipenem/silastatin.

2. MEKANISME KERJA AMINOGLIKOSIDA

Semua anggota aminoglikosida diketahui menghambat sintesis protein bakteri dengan


mekanisme yang ditentukan untuk streptomisin. Aktivitas aminoglikosida dipengaruhi oleh
berbagai faktor terutama perubahan pH, keadaan aerobik dan anaerobik. Aktivitas
aminoglikosida lebih tinggi pada suasana alkali daripada suasan asam.

Aminoglikosida berdifusi lewat kanal air yang dibentuk oleh porin proteins pada membran luar
dari bakteri gram negatif masuk keruang periplasmik. Sedangkan transport melalui membran
dalam sitoplasma membutuhkan energi. Fase transport yang dependen energi ini bersifat rate
limiting, dapat diblok oleh Ca++ dan Mg++, hiperosmolaritas, penurunan pH dan anaerobiosis. Hal
ini menerangkan penurunan aktivitas aminoglikosida pada lingkungan anaerobik suatu abses atau
urin asam yang bersifat hiperosmolar. Setelah masuk sel, aminoglikosida terikat pada ribosom
30S dan menghambat sintesis protein. Terikatnya aminoglikosida pada ribosom ini mempercepat
transport aminoglikosid kedalam sel diikuti dengan kerusakan membran sitoplasma dan disusul
dengan kematian sel.

Aminoglikosid menghambat sintesis protein dengan 3 cara:

1. Agen-agen ini mengganggu kompleks awal pembentukan peptide


2. Agen-agen ini menginduksi salah baca mRNA, yang mengakibatkan
penggabungan asam amino yang salah ke dalam peptide, sehingga
menyebabkan suatu keadaan nonfungsi atau toksik protein

3. Agen-agen ini menyebabkan terjadinya pemecahan polisom menjadi


monosom non-fungsional

Aminoglikosida bekerja secara sinergis dengan antibiotic -laktam karena kerja -laktam pada
sintesis dinding sel meningkatkan difusi aminoglikosida kedalam bakteri. Semua aminoglikosida
bersifat bakterisid.

Streptomisin digunakan untuk obat tuberculosis, plague, tularemia dan kombinasi dengan
penisilin untuk mengobati endokarditis.

Aktivitas antibakteri gentamisin, tobramisin, kanamisin, dan amikasin terutama tertuju pada basil
Gram negatif yang aerobik. Aktivitas terhadap mikroorganisme anaerobik atau bakteri fakultatif
dalam kondidi anaerobik rendah sekali. Ini dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa untuk
transport aminoglikosida membutuhkan oksigen (transport aktif). Aktivitas terhadap bakteri
Gram-positif sangat terbatas. Streptomisin dan gentamisin aktif terhadap enterokok dan
streptokok lain tetapi efektivitas klinis hanya dapat dicapai bila digabung dengan penisilin.

Spektrum kerja aminoglikosida cukup luas dan meliputi terutama banyak bacilli gram-negatif,
antara lain E.coli, H.Influenzae, enterobacter,salmonella, dan shigella. Obat ini juga aktif
terhadap sejumlah kuman Gram-positif yaitu staphyl. aureus/epidermis. Streptomisin, kanamisin,
dan amikasin aktif terhadap kuman tahan asam mycobacterium (TBC dan lepra). Amikasin dan
toramisin berkhasiat kuat terhadap pseudomonas, sedangkan gentamisin lebih ringan. Amikasin
memiliki spektrum kerja yang paling luas, sedangkan aktivitas kerja gentamisin dan tobramisin
sangat mirip, aktivitasnya adalah bakterisida.

3. PENGGOLONGAN AMINOGLIKOSIDA

a. Streptomysin

Streptomysin saat ini digunakan untuk pengobatan infeksi yang tidak lazim, pada umumnya
dalam bentuk kombinasi dengan senyawa antimikroba yang lain.

Streptomisin diperoleh dari streptomyces griseus oleh Waksman (1943) dan digunakan untuk
pengobatan tubercolosis. Penggunaan pada terapi TBC sebagai obat pilihan utama sudah lama
terdesak oleh obat lainnya yang berhubungan dengan toksisitasnya. Efek sampingnya terhadap
ginjal dan organ pendengaran.

Dosis streptomysin adalah 15 mg/kg per hari untuk pasien yang memiliki bersihan kreatinin di
atas 80 ml/menit. Biasanya streptomysin diberikan dalam dosis 100 mg 1 kali sehari yang
menghasilkan konsentrasi puncak dalam serum kurang lebih 50 hingga 60 g/mL dan
konsentrasi terendah kurang dari 1g/mL.

Penyakit yang diobati:

Tularemia

Pasien yang menderita tularemia sangat diuntungkan dengan pemberian streptomysin karena
dapat memperoleh kesembuhan total, namun tidak tertutup kemungkinan kronisitas dapat terjadi.
Pada pemberian streptomysin 1 sampai 2 g (15-25 mg/kg) per hari (dalam dosis terbagi) selama
7 sampai 10 hari.

Penyakit pes

Streptomysin merupakan salah satu senyawa yang paling efektif dalam pengobatan penyakit pes.
Dosis yang diberi 1-4 g per hari yang dibagi dalam 2 atau 4 dosis selama 7-10 hari.

Tuberkulosis

Streptomysin harus diberikan dalam bentuk kombinasi dengan sedikitnya 1 atau 2 obat lain yang
sesuai dengan galur-galur penyebab tersebut. Dosis untuk pasien yang fungsi ginjalnya normal
adalah 15 mg/kg per hari sebagai injeksi IM tunggal selama 2 sampai 3 bulan, dilanjutkan
dengan 2 atau 3 kali seminggu setelahnya.

b. Kanamisin

Penggunaan kanamisin terbatas karena spektrum aktivitasnya yang terbatas dibandingkan


aminoglikosida lainnya dan obat ini termasuk diantara yang paling toksik. Kanamisin atau
(KANTREX) tersedia untuk injeksi dan penggunaan oral. Dosis parenteral untuk dewasa adalah
15 mg/kg perhari (terbagi dalam dua hingga empat dosis yang sama dan berjarak)

Kanamisin hampir merupakan obat kuno yang indikasi penggunaannya sedikit, kanamisin
digunakan untuk mengobati tuberculosis dalam kombinasi dengan obat-obat efektif lainnya.
Karena terapi penyakit ini sangat lama dan melibatkan pemberian dosis obat total yang tinggi
disertai resiko ototoksisitas dan nefrotoksisitas kanamisin digunakan hanya untuk mengobati
pasien yang terinfeksi mikroorganisme yang telah resisten terhadap obat-obat yang lazim
digunakan.

Kanamisin dapat diberikan secara oral sebagai terapi tambahan pada kasus koma hepatik. Dosis
yang biasa digunakan untuk tujuan ini 4 hingga 6 g per hari untuk 36 hingga 72 jam, dosis
pernah diberikan hingga 12 g perhari (dalam dosis terbagi). Efek terhadap bakteri usus mungkin
tidak dapat dipertahankan bahkan saat dosis kanamisin sebesar itu diberikan.
c. Amikasin

Spektrum aktivitas antimikroba amikasin (AMIKIN) merupakan yang terluas dikelompok ini dan
karena resistensinya yang unik terhadap enzim penginaktivasi aminoglikosida. antibiotika ini
mempunyai peran khusus di rumah sakit tempat menyebarnya resistensi mikroorganisme
terhadap gentamisin dan tobramysin. Amikasin mirip dengan kanamisin dalam hal dosis dan sifat
farmakokinetiknya. Dosis yang dianjurkan untuk amikasin adalah 15 mg/kg per hari sebagai
dosis tunggal harian atau dibagi menjadi dua atau tiga bagian yang sama. Masing-masing dosis
atau rentang antar dosis harus diubah untuk pasien gagal ginjal. Obat ini cepat diabsorpsi setelah
injeksi intramuscular dengan konsentrasi puncak dalam plasma kira-kira 20 g/mL setelah
injeksi sebanyak 7,5 mg/kg. pemberian infus intravena dalam dosis yang sama selama periode 30
menit menghasilkan konsentrasi puncak dalam plasma hampir 40 g/ml pada akhir sesi infus,
yang kemudian turun hingga 20 g/ml 30 menit kemudian. Konsentrasi 12 jam setelah dosis 7,5
mg/kg biasanya antara 5 dan 10 g/ml. dosis satu kali sehari 15 mg/kg menghasilkan konsentrasi
puncak antara 50 dan 60 g/ ml dan konsentrasi terendah <1g/ml. Amikasin menjadi obat
pilihan untuk pengobatan infeksi basilus gram negatif nesokomial di rumah sakit tempat
resistensi terhadap gentamisin dan tobramysin merupakan persoalan serius. Beberapa rumah
sakit membatasi penggunaannya untuk menghindari galur resisten, walaupun beberapa pihak
menganggap kemungkinan itu sangat kecil. Karena keunikan resistensinya terhadap enzim
penginaktivasi aminoglikosida, amikasin aktif melawan sebagian besar basilus aerob gram
negatif di lingkungan maupun di rumah sakit. Termasuk diantaranya adalah sebagian
besar Pseudomonas aeruginosa. Amikasin efektif terhadap hampir semua galurenterobacter
dan e. coli yang resisten terhadap gentamisin dan tobramysin.

d. Gentamisin

Gentamisin adalah antiobiotika golongan aminoglikosida yang mempunyai potensi tinggi dan
berspektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif dengan sifat bakterisid.
Gentamisin mempunyai rentang terapi sempit, bersifat nefrotoksik dan ototoksik serta
mempunyai variabilitas farmakokinetik interindividu cukup lebar, maka pemantauan obat dalam
darah pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal adalah suatu kebutuhan agar keamanan dan
efikasi terapi tercapai. Hal ini juga penting karena profil dosis dan kadar gentamisin dalam darah
sukar diprediksi terutama kadar puncak dan waktu paruh eliminasi.

Penyakit yang diobati:

Peritonitis

Pasien yang mengalami penyakit ini akibat adanya dialisi peritoneal dapat memperoleh manfaat
dari terapi gentamisin. Karena konsentrasi antibiotik intraperitonial di bawah optimal dapat
terjadi setelah pemberian IM atau IV pada pasien yang menjalani dialysis, terapi pasien tersebut
harus dilanjutkan dengan menggunakan cairan yang mengandung sejumlah gentamisin dalam
konsetrasi yang sesuai.

Efek samping paling penting dan berat pada pemakaian gentamisin adalah nefrotoksisitas dan
ototoksisitas irreversible. Pemberian intratekal atau intraventrikular jarang digunakan karena
dapat menyebabkan peradangan lokal serta dapat mengakibatkan radikulitis dan komplikasi lain

e. Tobramysin

Aktivitas antimikroba dan sifat farmakokinetik tobramysin (NEBSIN) sangat mirip dengan
gentamisin. Tobramysin dapat diberikan secara intramuscular ataupun intravena. Dosis
konsentrasi serumserupa dengan gentamisin. Toksisitas paling umum terjadi pada konsentrasi
minimal yang melebihi 2 g/ ml pada periode yang diperpanjang. Pengamatan toksisitas ini
biasanya menunjukkan kerusakan fungsi ginjal sehingga memerlukan pengurangan dosis.

Indikasi penggunaan Tobramysin pada dasarnya identik dengan gentamisin. Aktivitas tobramysin
sangat baik terhadap P. aeroginosa dan bermanfaat untuk pengobatan bakterimia, osteomelitis
dan pneumonia yang disebabkan oleh Pseudomonas. Biasanya tobramysin digunakan secara
bersamaan dengan antibiotik - laktam antipseudomonas. Berlawanan dengan gentamisin,
tobramysin yang dikombinasi dengan penisilin menunjukkan aktivitas yang buruk terhadap
berbagai galur enterokokus.

Spektrum antimikrobanya mirip dengan gentamisin, tetapi kerja anti-pseudomonas in vitro-nya


lebih kuat. Digunakan pada infeksi pseudomonas yang resisten untuk gentamisin

Teobromysin, seperti halnya aminoglikosida lain, menyebabkan nefrotoksisitas dan otoksisitas.


Teobromysin mungkin tidak begitu toksik terhadap sel-sel rambut pada organ ujung koklea dan
organ ujung vestibula serta menyebabkan kerusakan tubulus ginjal yang lebih sedikit
dibandingkan gentamisin.

f. Neomysin

Neomysin merupakan antibiotik berspektrum luas. Mikroorganisme yang rentan biasanya


dihambat oleh konsentrasi 5 hingga 10 g/ml atau kurang. Spesies gram negatif yang sangat
peka adalahE.coli, Enterobacter erogenes dan Proteus vulgaris. Mikroorganisme gram positif
yang dapat dihambat meliputi S. aureus dan M. tuberculosis.

Pada saat ini neomysin tersedia dalam berbagai merek krim, salep dan produk lainnya, dalam
sediaan tunggal maupun kombinasi dengan polimiksin, basitrasin, antibiotik lain dan bermacam-
macam kortikosteroid. Tidak ada bukti bahwa sediaan topikal ini mempersingkat waktu untuk
menyembuhkan luka atau bahwa sediaan yang mengandung steroid lebih efektif.
Neomysisn telah digunakan secara luas untuk penggunaan topikal pada berbagai infeksi kulit dan
mebran mukus yang disebabkan oleh mikroorganisme yang rentan terhadap obat ini. Infeksi ini
meliputi infeksi luka bakar dan dermatosis terinfeksi. Namun pengobatan semacam ini tidak
membasmi bakteri dan lesi.

Pemberian oral neomysin (biasanya dengan kombinasi eritromisin basa) terutama digunakan
untuk persiapan usus untuk operasi.

Reaksi hipersensitivitas terutama ruam kulit terjadi 6% hingga 8% pasien jika diberikan secara
topical. Individu yang peka terhadap obat ini mungkin mengalami reaksi silang jika terpajan
aminoglikosida yang lain. Efek toksik neomysin yang paling penting adalah kerusakan ginjal dan
ketulian akibat kerusakan saraf pendengaran. Ini sering terjadi jika jumlah antibiotik yang relatif
besar ini digunakan secara parenteral dan merupakan alasan tidak digunakannya lagi neomysin
dengan cara ini. Toksisitas bahkan pernah muncul pada pasien dengan fungsi ginjal normal
dengan penggunaan topikal atau irigasi luka dengan larutan neomysin 0,5%.

Efek merugikan yang paling penting akibat pemakaian neomysin adalah malabsorpsi dan
superinfeksi usus. Individu yang diobati 4 hingga 6 g obat ini melalui mulut per hari terkadang
mengalami sindrom mirip sariawan disertai dengan steatorea. Pertumbuhan ragi yang berlebihan
diusus juga dapat terjadi.

g. Netilmisin

Merupakan aminoglikosida yang terbaru dipasarkan. Sifat farmakokinetik dan dosis penggunaan
netimisin sama dengan gentamisin dan tobramysin. Senyawa ini memiliki aktivitas antibakteri
yang luas terhadap bacillus aerob Gram-negatif. Sebagaimana amikasin, netilmisin tidak
dimetabolisme kebanyakan enzim penginaktivasi aminoglikosida, dan aktif melawan bakteri
tertentu yang resisten terhadap gentamisin.

Netilmisin merupakan antibiotik yang bermanfaat untuk pengobatan infeksi serius akibat
enterobacteriaceae yang rentan terhadap bacillus aerob Gram-negatif lainnya. Netilmisin terbukti
efektif melawan patogen-patogen tertentu yang resisten terhadap gentamisin, kecuali
enterokokus.

Seperti aminoglikosida lainnya netilmisin juga dapat menyebabkan otoksisitas dan nefrtoksisitas.

4. RESISTENSI

Masalah resistensi merupakan kesulitan utama dalam penggunaan streptomisin secara kronik
misalnya pada terapi tuberculosis atau endokartitis terhadap bakterial sub akut. Sifat resistensi
terhadap streptomisin mudah diperlihatkan dengan melakukan beberapa tahap pembiakan ulang
suatu mikroba dalam medium yang mengandung streptomisin. Resistensi terhadap streptomisin
dapat cepat terjadi, sedangkan aminoglikosida lainnya terjadi lebih berangsur-angsur.

Telah ditentukan 3 mekanisme prinsip yaitu

1) Mikroorganisme memproduksi suatu enzim transferase atau enzim-enzim yang


menyebabkan inaktivitas aminoglikosid, melalui adenilasi, asetilasi, atau fosforilasi

2) Menghalangi masuknya aminoglikosida ke dalam sel

3) Protein reseptor sub unit ribosom 30S kemungkinan hilang atau berubah sebagai akibat dari
mutasi. (3)

Resistensi aminoglikosida dapat disebabkan menurunnya asupan obat bila sistem transport
tergantung oksigen untuk aminoglikosida tidak ada, perubahan reseptor ditempat ikatan sub unit
ribosom 30S mempunyai afinitas yang rendah terhadap aminoglikosida.

Masalah resistensi merupakan kesulitan utama dalam penggunaan streptomisin secara kronik
misalnya pada terapi tubercolosis. Sifat resistensi terhadap streptomisin mudah diperlihatkan
dengan melakukan beberapa tahap pembiakan ulang suatu mikroba dalam medium yang
mengandung streptomisin. Resistensi terhadap streptomisin dapat cepat terjadi.

5. EFEK-EFEK YANG TIDAK DIINGINKAN

Semua Aminoglikosid bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas


cenderung ditemukan saat terapi dilanjutkan hingga lebih dari 5 hari, pada dosis yang lebih
tinggi, pada orang-orang lanjut usia dan dalam kondisi insufisiensi fungsi ginjal. Penggunaan
bersama diuretik loop(misalnya furosemid) atau agen antimikroba nefrotoksik lain (misal
vancomicyn atau amphotericyn) dapat meningkatkan nefrotoksisitas dan sedapat mungkin
dihindarkan.

6.EFEK AMINOGLIKOSIDA YANG MERUGIKAN

Ototoksisitas

Disfungsi vestibula dan auditori dapat terjadi setelah penggunaan setiap aminogilikosida.
Penelitian terhadap hewan dan manusia mencatat terjadinya akumulasi terhadap obat-obat ini
secara progresif dalam perilimfe dan endolimfe telinga bagian dalam. Akumulasi terjadi secara
dominan bila konsentrasi dalam plasma tinggi. Difusi balik dalam aliran darah terjadi perlahan;
waktu paruh aminoglikosida lima hingga enam kali lebih lama dalam cairan otak maupun dalam
plasma. Difusi balik tergantung pada konsentrasi dan dipermudah pada saat konsentrasi obat
terendah dalam plasma. Kemungkinan terjadinya ototoksisitas lebih besar pada pasien yang
konsentrasi obat dalam plasmanya meningkat terus menerus. Namun tobramysin dosis tunggal
dilaporkan menyebakan disfungsi koklea temporal yang ringan selama periode konsentrasi dalam
plasma mencapai puncaknya. Kaitan hasil pengamatan ini terhadap hilangnya pendengaran
secara permanen belum diketahui.

Sebagian besar ototoksisitas yang bersifat irreversibel terjadi akibat dekstruksi progresif sel-sel
sensorik ventribular atau koklea, yang sangat mudah rusak akibat aminoglikosida. Penelitian
terhadap marmot yang diberi gentamisin dosis tinggi menunjukkan terjadinya regenerasi sel-sel
rambut sensorik tipe I di bagian sentral ampularis Krista (organ vestibula) dan terjadinya
penggabungan rambut-rambut sensorik individual menjadi rambut-rambut raksasa.

Ototoksisitas aminoglikosida ditingkatkan oleh berbagai faktor antara lain: besarnya dosis,
adanya gangguan faal ginjal usia tua, riwayat penggunaan suatu obat ototoksik, pemberian
bersama asam etakrinat (suatu diuretik kuat), kadar puncak dan kadar lembah yang meningkat,
tetapi berkepanjangan dan demam.

Nefrotoksisitas

Sekitar 8 26% pasien yang menerima aminoglikosida selama lebih dari beberapa hari akan
mengalami kerusakan ginjal ringan yang hampir selalu reversibel. Toksisitas terjadi akibat
akumulasi dan resistensi amoniglikosida dalam sel tubulus proksimal. Manifestasi awal
kerusakan bagian ini adalah enzim-enzim pada brush bolder tubulus ginjal. Setelah beberapa hari
terjadi penurunan kemampuan ginjal dalam memekatkan urin, proteinuria ringan dan munculnya
keeping-keping granular, kecepatan filtrasi glomerulus berkurang beberapa hari kemudian. Fase
insufiensi ginjal nonoligiurik telah dipostulasikan sebagai akibat dari efek aminoglikosida pada
bagian distal nefron. Oleh beberapa peneliti hal ini diduga menurunkan kepekaan epitel duktus
pengumpul (collecting duct) terhadap hormone antidiuretik endogen. Walaupun nekrosis tubular
parah jarang terjadi namun paling umum adalah terjadinya sedikit kenaikan kreatinin dalam
plasma (0,5 2,0 mg/dl; 40 175 g/ml). Hipokalemia, hipokalsemia kadang-kadang terjadi.
Kegagalan fungsi ginjal hampir selalu reversibel karena sel tubulus proksimal memiliki
kemampuan untuk berenegerasi.

Beberapa variabel ternyata mempengaruhi nefrotoksisitas akibat aminoglikosida. Toksisitas


berkolerasi dengan jumlah total obat yang diberikan. Akibatnya toksisitas kemungkinan besar
akan ditemukan pada terapi jangka panjang.

7. EFEK SAMPING

Efek samping oleh aminoglikosida dalam garis besarnya dapat dibagi dalam tiga kelompok :

Alergi
Secara umum potensi aminoglikosida untuk menyebabkan alergi rendah. Demam, stomatitis, dan
syok anafilaksis, pernah dilaporkan

Reaksi iritasi dan toksik

Reaksi iritasi berupa rasa nyeri terjadi di tempat suntikan diikuti dengan radang dan dapat
disertai pula peningkatan suhu badan setinggi 0,5-1,5 o C. Reaksi ini sangat terkenal pada
suntikan streptomisin IM. Reaksi toksik terpenting oleh aminoglikosida ialah pada susunan saraf,
berupa gangguan pendengaran dan keseimbangan pada ginjal. Gejala lain pada susunan saraf
ialah gangguan pernapasan akibat efek kurariform pada sistem neuromuscular, neuritis perifer,
serta gangguan visus. Penyesuaian dosis dapat dilakukan dengan memperpanjang interval
pemberian atau mengurangi dosis keduanya. Monitoring kadar aminoglikosida pada gagal ginjal
merupakan pendekatan yang lebih tepat. Dikemukakan bahwa pengukuran kadar lembah lebih
bersifat prediktif untuk mencegah toksisitas, sedangkan kadar puncak prediktif untuk efek terapi
dan toksisitas.

Perubahan biologik

Efek samping ini bermanifestasi dalam dua bentuk, yaitu gangguan pada pola mikroflora tubuh
dengan gangguan absorpsi di usus. Perubahan pola mikroflora tubuh memungkinkan terjadinya
superinfeksi oleh kuman gram-positif, gram-negatif, maupun jamur. Superinfeksi Pseudomonas
dapat timbul akibat penggunaan kanamisin, sedangkan penggunaan gentamisin oral cenderung
menimbulkan kandidiasis. Frekuensi kejadian superinfeksi tidak diketahui, untuk streptomisin
parenteral diperkirakan 4%. Gangguan absorpsi dapat terjadi akibat pemberian neomisin per
oral 3 g atau lebih dalam sehari. Jenis zat yang dapat dihambat absorpsinya meliputi karbohidrat,
lemak, protein, mineral, dan vitamin. Mekanisme hambatan absorpsi ini antara lain terjadi akibat
gangguan sistem enzim dan nekrosis sel epitel kripta usus.

Sefalosporin
Bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan serta mengaktifkan enzim autolisis pada
dinding sel bakteri.
Sefalosporin termasuk golongan antibiotika Betalaktam. Seperti antibiotik Betalaktam lain,
mekanisme kerja antimikroba Sefalosporin ialah dengan menghambat sintesis dinding sel
mikroba. Yang dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi
pembentukan dinding sel.Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif maupun garam negatif,
tetapi spektrum masing-masing derivat bervariasi.

Antibioik sefalosporin terbagi menjadi 3 generasi, yang pertama adalah cephalothin dan
cephaloridine yang sudah tidak banyak digunakan. Generasi kedua (antara lain: cefuroxime,
cefaclor, cefadroxil, cefoxitin, dll.) digunakan secara luas untuk mengatasi infeksi berat dan
beberapa di antaranya memiliki aktivitas melawan bakteri anaerob. Generasi ketiga dari
sefalosporin (di antaranya: ceftazidime, cefotetan, latamoxef, cefotetan, dll.) dibuat pada tahun
1980-an untuk mengatasi infeksi sistemik berat karena bakteri gram negatif-basil.

Penggolongan Sefalosporin

Hingga tahun 2006 golongan Sefalosporin sudah menjadi 4 generasi, pembedaan generasi dari
Sefalosporin berdasarkan aktivitas mikrobanya dan yang secara tidak langsung sesuai dengan
urutan masa pembuatannya.
Berikut merupakan penggolongan generasi Sefalosporin

Berdasarkan khasiat antimikroba dan resistensinya terhadap betalakmase, sefalosporin lazimnya


digolongkan sebagai berikut :
1. Generasi ke I, yang termasuk dalam golongan ini adalah Sefalotin dan sefazolin, sefradin,
sefaleksin dan sefadroxil. Zat-zat ini terutama aktif terhadap cocci Gram positif, tidak berdaya
terhadap gonococci, H. Influenza, Bacteroides dan Pseudomonas. Pada umumnya tidak tahan
terhadap laktamase.
2. Generasi ke II, terdiri dari sefaklor, sefamandol, sefmetazol, dan sefuroksim lebih aktif
terhadap kuman Gram-negatif, termasuk H.influenza, Proteus, Klensiella, gonococci dan kuman-
kuman yang resisten untuk amoksisilin. Obat-obat ini agak kuat tahan-laktamase. Khasiatnya
terhadap kuman Gram-positif (Staph dan Strep) lebih kurang sama
3. Generasi ke III, Sefoperazon,sefotaksim, seftizoksim, seftriaxon, sefotiam, sefiksim,
sefpodoksim, dan sefprozil. Aktivitasnya terhadap kuman Gram-negatif lebih kuat dan lebih luas
lagi dan meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim. Resistensinya terhadap
laktamase juga lebih kuat, tetapi khasiatnya terhadap stafilokok jauh lebih rendah.
4. Generasi ke IV, Sefepim dan sefpirom. Obat-obat baru ini (1993) sangat resisten terhadap
laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap Pseudomonas.

Struktur

Sumber dan Sejarah

Antibiotik beta laktam merupakan antibiotik yang bermanfaat dan sering diresepkan oleh dokter,
memiliki struktur umum dan mekanisme kerja yang sama yaitu menghambat sintesis
peptidoglikan dinding sel bakteri. Sefalosporin termasuk golongan antibiotika Betalaktam.
Cephalosporium acremonium merupakan sumber awal senyawa sefalosporin, diisolasi pada
tahun 1948 oleh B rotzu dari laut didekat saluran pembuangan air dipesisir Sardinia. Filtrate
kasar jamur ini diketahui dapat menghambat pertumbuhan s. aureus secara in vitro dan
menyembuhkan infeksi stafilokokus dan demam tifoid pada manusia. Cairan kultur tempat
jamursardinia ini ditumbuhkan mengandug tiga antibiotik berbeda yang dinamakan sefalosporin
P,N, dan C. Dengan diisolasinya inti akti sefalosporin C, yaitu asam 7-aminosefalosporanat, dan
dengan penambahan rantai samping. Memungkinkan dibuatnya senyawa semisintetik dengan
aktivitas antibakteri yang jauh lebih besar dibandingkan senyawa induknya.

Pembuatan Antibiotik Sefalosporin

Cendawan C. acremonium ditumbuhkan pada agar-agar miring selama 7 hari, koloninya


disuspensikan dengan akuades steril dan dituangkan ke dalam cawan petri steril yang selanjutnya
diletakkan di bawah lampu ultraviolet (UV) yang telah dikondisikan dengan jarak 15 cm.
Pengambilan contoh sebanyak 1 ml dilakukan tepat pada saat cawan petri mulai diletakkan di
bawah lampu UV (0 menit) sampai 50 menit dengan interval pengambilannya setiap 5 menit.
Contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml akuades steril, dikocok, dan didiamkan
selama 30 menit dalam gelap. Dari setiap contoh tersebut dibuat kurva matinya untuk
mengetahui jarak dan waktu radiasi yang tepat. Selain itu juga dicoba kombinasi mutasi
menggunakan sinar UV dan metode kimia menggunakan etil metana sulfonat (EMS). Mutan
terpilih diseleksi lagi untuk mendapatkan mutan unggul yang menghasilkan antibiotik
sefaloporin C.
Penggunaan sinar UV 254 nm pada jarak 15 cm dari objek selama 29 menit dapat meningkatkan
produksi sefalosporin C sebesar 128.0% dari hasil mutasi I dan 149.1% dari hasil mutasi II.
Produksi sefalosporin C dapat ditingkatkan dengan mutasi fisik menggunakan sinar UV yang
dikombinasikan dengan cara kimia menggunakan EMS dengan konsentrasi 160 l/ml selama 45
menit, yakni menghasilkan kenaikan produksi sefalosporin C sebesar 198.8% pada mutan GBKI-
17.

Penggunaannya

Sebagian besar dari sefalosporin perlu diberikan parenteral dan terutama digunakan di rumah
sakit.
1. Generasi I, digunakan per oral pada infeksi saluran kemih ringan dan sebagai obat pilihan
kedua pada infeksi saluran napas dan kulit yang tidak begitu parah dan bila terdapat alergi untuk
penisilin.
2. Generasi II atau III, digunakan parenteral pada infeksi serius yang resisten terhadap
amoksisilin dan sefalosporin generasi I, juga terkombinasi dengan aminoglikosida (gentamisin,
tobramisin) untuk memperluas dan memperkuat aktivitasnya. Begitu pula profilaksis pada antara
lain bedah jantung, usus dan ginekologi. Sefoksitin dan sefuroksim (generasi ke II) digunakan
pada gonore (kencing nanah) akibat gonokok yang membentuk laktamase.
3. Generasi III, Seftriaxon dan sefotaksim kini sering dianggap sebagai obat pilihan pertama
untuk gonore, terutama bila telah timbul resistensi terhadap senyawa fluorkuinon
(siprofloksasin). Sefoksitin digunakan pada infeksi bacteroides fragilis.
4. Generasi IV, dapat digunakan bila dibutuhkan efektivitas lebih besar pada infeksi dengan
kuman Gram-positif.
Mekanisme kerja

Sefalosporin biasanya bakterisida terhadap bakteri dan bertindak dengan sintesis mucopeptide
penghambat pada dinding sel sehingga penghalang rusak dan tidak stabil. Mekanisme yang tepat
untuk efek ini belum pasti ditentukan, tetapi antibiotik beta-laktam telah ditunjukkan untuk
mengikat beberapa enzim (carboxypeptidases, transpeptidases, endopeptidases) dalam membran
sitoplasma bakteri yang terlibat dengan sintesis dinding sel. Afinitas yang berbeda bahwa
berbagai antibiotic beta-laktam memiliki enzim tersebut (juga dikenal sebagai mengikat protein
penisilin; PBPs) membantu menjelaskan perbedaan dalam spektrum aktivitas dari obat yang
tidak dijelaskan oleh pengaruh beta-laktamase. Seperti antibiotik beta-laktam lainnya,
sefalosporin umumnya dianggap lebih efektif terhadap pertumbuhan bakteri aktif.

Farmakokinetik (Umum)

Sampai saat ini, hanya beberapa sefalosporin generasi pertama lumayan diserap setelah
pemberian oral, tetapi ini telah berubah dengan ketersediaan aksetil (generasi kedua) dan
cefixime (generasi ketiga). Tergantung pada obat, penyerapan mungkin tertunda, berubah, atau
meningkat jika diberikan dengan makanan.
Sefalosporin secara luas didistribusikan ke sebagian besar jaringan dan cairan, termasuk tulang,
cairan pleura, cairan perikardial dan cairan sinovial. tingkat yang lebih tinggi ditemukan
meradang ditulang normal. Sangat tinggi ditemukan dalam urin, tetapi mereka menembus buruk
menjadi jaringan prostat dan aqueous humor. Tingkat Empedu dapat mencapai konsentrasi terapi
dengan beberapa agen selama obstruksi empedu tidak ada. Dengan pengecualian aksetil, tidak
ada sefalosporin generasi kedua atau yang pertama memasuki CSS (bahkan dengan meninges
meradang) di tingkat terapi efektif dalam terapi. Konsentrasi cefotaxime, moxalactam, aksetil,
ceftizoxime, seftazidim dan ceftriaxone dapat ditemukan dalam CSF parenteral setelah dosis
pasien dengan meninges meradang. Sefalosporin menyeberangi plasenta dan konsentrasi serum
janin dapat 10% atau lebih dari yang ditemukan dalam serum ibu. Protein mengikat obat secara
luas.
Sefalosporin dan metabolitnya (jika ada) diekskresikan oleh ginjal, melalui sekresi tubular dan /
atau filtrasi glomerulus. Beberapa sefalosporin (misalnya, cefotaxime, cefazolin, dan cephapirin)
sebagian dimetabolisme oleh hati untuk senyawa desacetyl yang mungkin memiliki beberapa
aktivitas antibakteri.

Indikasi Klinik

Sediaan Sefalosporin seyogyanya hanya digunakan untuk pengobatan infeksi berat atau yang
tidak dapat diobati dengan antimikroba lain, sesuai dengan spektrum antibakterinya. Anjuran ini
diberikan karena selain harganya mahal, potensi antibakterinya yang tinggi sebaiknya
dicadangkan hanya untuk hal tersebut diatas.
Kontra Indikasi

Hipersensitivitas pada antibiotik sefalosporin atau golongan betalaktam lainnya. Sebelum


penggunaan antibiotik sefalosporin, terlebih dahulu dilakukan skin test.
Kontraindikasi pada pasien yang memiliki riwayat hipersensitif terhadap mereka. Karena
mungkin ada reaktivitas silang, gunakan sefalosporin hati-hati pada pasien yang
didokumentasikan hipersensitif terhadap antibiotik beta-laktam lain (misalnya, penisilin,
cefamycins, carbapenems).
Antibiotik oral sistemik tidak boleh diberikan pada pasien dengan septikemia, syok atau penyakit
berat lainnya sebagai penyerapan obat dari saluran pencernaan mungkin jauh ditunda atau
berkurang. Rute parenteral (sebaiknya IV) harus digunakan untuk kasus ini.

Efek Samping

Reaksi hipersensitifitas dan dermatologi : shock, rash, urtikaria, eritema, pruritis, udema,
Hematologi : pendarahan, trombositopenia, anemia hemolitik Hematologi : pendarahan,
trombositopenia, anemia hemolitik
Saluran cerna, terutama penggunaan oral : colitis (darah dalam tinja), nyeri lambung, diare, rasa
tidak enak pada lambung, anoreksia, nausea, konstipasi.
Defisiensi vitamin K : karena sefalosporin menimbulkan efek anti vitamin K.
Efek pada ginjal : meningkatnya konsentrasi serum kreatinin, disfungsi ginjal dan toksik
nefropati.

3. Carbapenem
Hanya terdapat satu agen antibiotik dari golongan carbapenem yang digunakan untuk perawatan
klinis, yaitu imipenem yang memiliki kemampuan antibakterial yang sangat baik untuk melawan
bakteri gram negatif-basil (termasuk P. aeruginosa, Staphylococcus, dan bacteroides. Penggunaan
imipenem harus dikombinasikan dengan inhibitor enzim tertentu untuk melindunginya dari
degragasi enzim dari liver di dalam tubuh.

4. Monobactam
Golongan ini memiliki struktur cincin beta-laktam yang tidak terikat ke cincin kedua dalam
molekulnya. Salah satu antibiotik golongan ini yang umum digunakan adalah aztreonam yang
aktif melawan berbagai bakteri gram negatif, termasuk P. aeruginosa.
Mekanisme kerja
Antibiotik beta-laktamase bekerja membunuh bakteri dengan cara menginhibisi sintesis dinding
selnya. Pada proses pembentukan dinding sel, terjadi reaksi transpeptidasi yang dikatalis oleh
enzim transpeptidase dan menghasilkan ikatan silang antara dua rantai peptida-glukan. Enzim
transpeptidase yang terletak pada membran sitoplasma bakteri tersebut juga dapat mengikat
antibiotik beta-laktam sehingga menyebabkan enzim ini tidak mampu mengkatalisis reaksi
transpeptidasi walaupun dinding sel tetap terus dibentuk. Dinding sel yang terbentuk tidak
memiliki ikatan silang dan peptidoglikan yang terbentuk tidak sempurna sehingga lebih lemah
dan mudah terdegradasi. Pada kondisi normal, perbedaan tekanan osmotik di dalam sel bakteri
gram negatif dan di lingkungan akan membuat terjadinya lisis sel. Selain itu, kompleks protein
transpeptidase dan antibiotik beta-laktam akan menstimulasi senyawa autolisin yang dapat
mendigesti dinding sel bakteri tersebut. Dengan demikian, bakteri yang kehilangan dinding sel
maupun mengalami lisis akan mati.

Mekanisme resistensi

Mekanisme degradasi antibiotik beta-laktam oleh enzim beta laktamase:

Beberapa bakteri diketahui memiliki resitensi terhadap antibiotik beta-laktam, salah satu
diantaranya adalah golongan Streptococcus aureus resisten-metisilin (Methicillin resistant
Staphylococcus aureus/MRSA). Bakteri-bakteri yang resisten terhadap antibiotik beta-laktam
memiliki 3 mekanisme resistensi, yaitu destruksi antibiotik dengan beta-laktamase, menurunkan
penetrasi antibiotik untuk berikatan dengan protein transpepidase, dan menurunkan afinitas
ikatan antara protein pengikat tersebut dengan senyawa antibiotik. Beberapa bakteri seperti
Haemophilus influenzae, golongan Staphylococcus, dan sebagian besar bakteri enterik berbentuk
batang memiliki enzim beta-laktamase yang dapat memecah cincin beta-laktam pada antibiotik
tersebut dan membuatnya menjadi tidak aktif. Secara detail, mekanisme yang terjadi diawali
dengan pemutusan ikatan C-N pada cincin beta-laktam dan mengakibatkan antibiotik tidak dapat
berikatan dengan protein transpeptdase sehingga terjadi kehilangan kemampuan untuk
menginhibisi pembentukan dinding sel bakteri. Beberapa studi menyatakan bahwa selain
ditemukan secara alami pada bakteri gram positif dan negatif, gen penyandi enzim beta-
laktamase juga ditemukan pada plasmida dan transposon sehingga dapat ditransfer antarspesies
bakteri. Hal ini menyebabkan kemampuan resistensi akan antibiotik beta-laktam dapat menyebar
dengan cepat. Difusi antibiotik beta laktam ke dalam sel bakteri terjadi melalui perantaraan
protein transmembran yang disebut porine dan kemampuan difusinya dipengaruhi oleh ukuran,
muatan, dan sifat hidrofilik dari suatu antibiotik.

Mengatasi resistensi antibiotik beta-laktam


Asam klavulanat, inhibitor beta-laktamase.
Untuk mengatasi degradasi cincing beta-laktam, beberapa antibiotik beta-laktam dikombinasikan
dengan senyawa inhibitor enzim beta-laktamase seperti asam clavulanat, tazobactam, atau
sulbactam. Salah satu antibiotik beta-laktam yang resisten beta laktamase adalah augmentin,
kombinasi amoxycillin dan asam klavulanat. Augmentin terbukti telah berhasil mengatasi infeksi
bakteri pada saluran kemih dan kulit. Asam klavulanat yng diproduksi dari hasil fermentasi
Streptomyces clavuligerus memiliki kemampuan untuk menghambat sisi aktif enzim beta-
laktamase sehingga menyebabkan enzim tersebut menjadi inaktif. Beberapa jenis antibiotik beta-
laktam (contohnya nafcillin) juga memiliki sifat resisten terhadap beta-laktamase karena
memiliki rantai samping dengan letak tertentu.

KESIMPULAN

Antibiotik beta-laktam adalah golongan antibiotika yang memiliki kesamaan


komponen struktur berupa adanya cincin beta-laktam dan umumnya digunakan
untuk mengatasi infeksi bakteri. Terdapat sekitar 56 macam antibotik beta-laktam
yang memiliki antivitas antimikrobial pada bagian cincing beta-laktamnya dan
apabila cincin tersebut dipotong oleh mikroorganisme maka akan terjadi resistensi
terhadap antibiotik tersebut.

Antibiotik beta-laktam terbagi menjadi 4 golongan utama, yaitu penisilin, sefalosporin,


carbapenem, dan monobactam.

Antibiotik beta-laktamase bekerja membunuh bakteri dengan cara menginhibisi sintesis dinding
selnya.

Anda mungkin juga menyukai